Anda di halaman 1dari 17

MODUL BASIC SURGICAL SCIENCE

SELF LEARNING REPORT

SMALL GROUP DISCUSSION-1

“SISTEMIK PENYULIT TINDAKAN BMM”

Tutor:

Drg. Anindita Laksitasari

Disusun oleh:

Aisyah Ihdyavifah Siregar

G1B019008

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2021
Keadaan Sistemik yang Harus Dipertimbangkan Pengaruhnya Karena
Dapat Menjadi Penyulit Tindakan BMM (ekstraksi gigi)

A. Covid-19

1. Gambaran umum dan klasifikasi atau tingkat keparahan covid-19

Novel corona virus 2019 telah diresmikan oleh WHO sebagai penyakit corona
virus (Covid-19) . Corona virus ini merupakan suatu virus genom RNA indra positif
non segmen dimana dilingkupi atau dikelilingi oleh sebuah amplop yang menjadi
penyebab infeksi dari saluran pernafasan serta pencernaan yang dapat terjadi pada
manusia dan hewan. Efek dari infeksi virus ini dapat menimbulkan suatu gejala berupa
sesak napas, batuk yang kering, sakit pada tenggorokan, mengalami kebingungan,
demam tinggi, mual, muntah, tremor bahkan menyebabkan diare. Masa inkubasi dari
covid-19 ini selama 2-14 hari, dengan tingkat virulensi yang sangat tinggi. Infeksi
corona virus ini dapat terjadi melalui droplet, tertular dari manusia ke manusia lain yang
terjadi dari sekresi individu yang terinfeksi seperti terkena dari batuk, bersin, tetesan
pernafasan atau dari aerosol. Aerosol tersebut dapat masuk ke tubuh manusia (paru-
paru) lewat inhalasi hidung atau dari mulut (Hastuti dan Djanah, 2020).

Virus corona merupakan zoonosis, yang memungkinkan virus tersebut asalnya


dari hewan yang ditularkan ke manusia. Covid-19 ini belum diketahui secara pasti dari
proses penularan yang terjadi pada hewan ke manusia, namun dari data filogenetik
kemungkinan besar bahwa virus ini juga merupakan suatu zoonosis. Umumnya
penularan dari virus ini lewat droplet dan kontak dengan virus, lalu virus tersebut akan
masuk ke mukosa yang terbuka (Nawas dan Yunus, 2020).

Menurut Lucaciu dkk (2020), penyebaran covid-19 ditularkan dari manusia ke


manusia lewat jalur transmisi aerosol dan droplet ketika seorang sedang berbicara, batuk
dan bersin. Seorang dengan kondisi gejala yang ringan kemungkinan akan sembuh
dalam waktu satu minggu, untuk seorang yang sudah berada pada kondisi dengan gejala
yang berat akann mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis serta
dapat mengakibatkan kegagalan pada multi organ seperti gagal serta mengakibatkan
jantung akut yang berujung pada kematian. Seorang yang memiliki resiko tinggi
mengalami kondisi yang parah yaitu orang lanjut usia dan orang yang mengalami
komorbid yaitu orang yang mengalami gangguan pada jantung, diabetes, kanker dan
hipertensi (Susilo dkk., 2020).

Menurut Nawas dan Yunus (2020), klasifikasi infeksi dari covid-19 yang ada di
Indonesia pada saat sekarang ini berdasarkan oleh buku panduan tata laksana
pneumonia covid-19 Kemenkes RI. Ada sedikit perbedaan dengan klasifikasi dari
WHO, dimana kasus suspek dikatakan sebagai Pasien dalam Pengawasan (PdP) serta
terdapat penambahan yaitu Orang dalam Pemantauan (OdP). Klasifikasi menurut buku
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease, yaitu :

a. Pasien dalam Pengawasan (PdP)


 Orang dengan kondisi mengalami infeksi saluran pernpasan akut (ISPA) yang
diikuti dengan gejala demam (≥38 ºC) maupun riwayat demam, juga disertai
oleh salah satu gejala dari penyakit pernapasan. Bisa batuk, sakit tenggorokan,
pneumonia, pilek atau sesak napas. Biasanya orang yang mengalami kondisi ini
pada 14 hari terakhir memiliki riwayat perjalanan ataupun memiliki riwayat
tinggal di wilayah yang melaporkan transmisi lokal.
 Orang dalam kondisi demam (≥38 ºC) maupun riwayat demam atau ISPA.
Sebelum gejala timbul, pada saat 14 hari terakhir mempunyai riwayat
berkontak dengan orang yang sudah terkonfirmasi covid-19.
 Orang dengan kondisi ISPA yang berat atau pneumonia berat, dimana orang
tersebut sangat diharuskan untuk dirawat di rumah sakit. Kondisi ini tidak
terdapat penyebab lainnya berdasarkan dari gambaran klinis yang meyakinkan
b. Orang dalam Pemantauan (OdP)
 Orang dengan kondisi demam (≥38 ºC) ataupun gejala dalam gangguan sistem
pernapasan seperti halnya sakit tenggorokan, pilek atau batuk. Kondisi ini tidak
terdapat penyebab lainnya berdasarkan dari gambaran klinis. Orang dengan
kondisi seperti ini pada 14 hari terakhir sebelum gejala muncul, mempunyai
riwayat perjalanan ataupun menetap di suatu wilayah yang melaporkan
transmisi lokal.
 Orang yang sedang mengalami gejala dengan gangguan sistem pernapasan
seperti halnya sakit tenggorokan, pilek atau batuk. Sebelum gejala timbul, pada
14 hari terakhir orang tersebut mempunyai riwayat berkontak dengan orang
yang sudah terkonfirmasi covid-19.
c. Orang tanpa Gejala (OTG)
Tidak timbul gejala pada seseorang dan seseorang tersebut mempunyai potensi
untuk tertular covid-19 dari orang yang sudah terkonfirmasi. Orang tanpa gejala ini
adalah orang yang memiliki riwayat kontak yang erat dengan kasus covid-19 yang
sudah terkonfirmasi.
d. Kasus konfirmasi
Seseorang yang sudah terinfeksi dengan covid-19. Pemeriksaan tes yang dilakukan
menunjukkan hasil positif yang dilakukan melalui pemeriksaan PCR (Polymerase
Chain Reaction).

Menurut Erlina dkk (2020), Berdasarkan beratnya dari kasus covid-19 akan dibedakan
menjadi tanpa gejala, ringan, sedang , berat dan kritis.
a. Tanpa gejala
Kondisi tanpa gejala ini adalah kondisi yang paling ringan. Dimana pasien tidak
ditemukan suatu gejala yang timbul.
b. Ringan
Pasien ini disertai gejala tetapi tidak ada bukti pneumonia virus atau tanpa adanya
hipoksia. Gejala yang terjadi seperti batuk, fatigue, demam, napas yang pendek,
myalgia, anoreksia. Timbul gejala yang tidak spesifik lainnya seperti gejala sakit di
tenggorokan, sakit kepala, mual, muntah, diare, kongesti pada hidung, anosmia,
atau terjadi hilangnya pengecapan (ageusia) biasanya terjadi ketika sebelum gejala
pernapasan terjadi. Pasien yang usia tua dan mengalami immunocompromised
timbul gejala atipikal seperti terjadi fatigue, turunnya kesadaran, turunnya
mobilitas, nafsu makan yang hilang, delirium, diare, dan pada kondisi ini tidak
terjadi demam.
c. Sedang
Pada pasien usia remaja maupun dewasa timbul tanda klinis pneumonia seperti
demam, sesak napas dan batuk, tetapi pada kondisi ini tidak ada terjadi pneumonia
berat termasuk SpO2≥93% dengan udara ruangan. Pada anak-anak, pasien tersebut
terdapat tanda klinis pneumonia yang tidak berat seperti batuk, sulit
bernapas+napas cepat.
Untuk kriteria dari napas cepat : usia<2 bulan, ≥60x/menit; pada usia 2-11 bulan,
≥50x/menit; pada usia 1-5 tahun, ≥40x/menit; pada usia>5 tahun, ≥30x/menit.
d. Pneumonia berat
Pada pasien usia remaja maupun dewasa timbul tanda klinis pneumonia seperti
batuk,sesak napas, demam, nepas cepat. Ditambah terjadinya frekuensi napas>30x/
menit atau SpO2<93% di udara dalam ruangan. Pada pasien anak-anak, timbul
tanda klinis pneumonia seperti batuk atau terjadi kesulitan dalam bernapas,
ditambah setidaknya terjadi kondisi seperti berikut :
 Sianosis sentral atau SpO2<93%
 Timbul tanda-tanda bahaya umum : tidak mempu untuk menyusu atau minum,
turunnya kesadaran atau letargi, kejang.
 Distress pernapasan berat seperti grunting, tarikan dari dinding dada sangat
berat.
 Napas cepat : untuk usia <2 bulan, ≥60x/menit; untuk usia 2-11 bulan,
≥50x/menit, untuk usia 1-5 tahun, ≥40x/menit; pada usia>5 tahun, ≥30x/menit.
e. Kritis
Pasien dalam kondisi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), terjadi sepsis
dan syok sepsis

2. Keterkaitan covid-19 dengan prosedur BMM khususnya ekstrasi gigi

Pada kesehatan gigi dan juga mulut memiliki pengaruh terhadap kesehatan secara
sistemik serta memiliki pengaruh dengan daya tahan tubuh terhadap infeksi dari covid-
19. Dalam interaksi antar dokter gigi dan pasien pada masa pandemi memiliki
kerentanan yang tinggi dalam menularkan virus covid-19, dikarenakan virus covid-19
ditularkan melalui kontak antar manusia selain itu juga dapat menular lewat droplet dari
orang yang sudah terinfeksi, covid-19 ini juga dapat ditularkan lewat aerosol pasien dan
aerosol tersebut nantinya dapat menyebar ke ruangan klinik dan dokternya. Dari
tindakan yang dilakukan dokter gigi akan menghasilkan aerosol yang cukup besar dan
selain itu juga pada saat melakukan tindakan maka akan ada kontak yang dekat antara
dokter dan rongga mulut pasien, sehingga mengakibatkan virus akan mudah menular
dari satu orang ke orang lain. Maka pada saat kondisi pandemi tindakan dari perawatan
gigi harus dilakukan seminimal mungkin untuk mencegah terjadinya penularan covid-
19 (Stefania dan Ballini, 2020).

3. Solusi yang dapat dilakukan jika pasien memerlukan tindakan ekstraksi gigi

Pencabutan gigi yang dilakukan tanpa keluhan harus ditunda pada saat masa
pandemic. Maka dari itu cara untuk mencegah agar tidak terjadi keadaan darurat pada
gigi ketika pandemic yaitu selalu proaktif untuk menjaga kebersihan mulut seperti rajin
untuk menyikat gigi, pagi setelah makan dan menyikat gigi malam sebelum tidur.

Apabila pasien sangat mebutuhkan perawatan gigi di praktik dokter gigi pada
masa pandemi, maka ada beberapa managemen yang harus dilakukan pada saat sebelum
kedatangan pasien, ketika pasien menunggu diruang tunggu, tahapan ketika perawatan
gigi dan setelah perawatan gigi. pada saat pasien belum datang maka dapat memastikan
pasien tersebut tidak mengalami gejala dari covid-19 dengan cara melakukan tahapan
screening dari riwayat kesehatan pada pasien. Ketika melakukan screening dapat
menanyakan (a) apakah pasien tersebut memiliki riwayat demam 14 hari terakhir?, (b)
apakah sedang atau memiliki riwayat kelainan pernafasan sepertibatuk atau kesulitan
untuk bernafas pada 14 hari terakhir?, (c) apakah pernah mengunjungi tempat transmisi
covid pada 14 hari terakhir?, (d) apakah pasien memiliki riwayat kontak dengan pasien
yang sudah terkonfirmasi covid pada 14 hari terakhir?, (e) apakah dalam 14 hari terakhir
ada pergi ditempat yang ramai. Ketika pasien datang dilakukan pengecekan suhu tubuh
terlebih dahulu menggunakan thermometer yang tidak berkontak dengan tubuh (Comis
dkk., 2020;Bhanushali dkk., 2020)

Ketika pasien di ruang tunggu, pasien dapat mencermati poster yang berisi
edukasi mengenai cara mencuci tangan, etika batuk, dan cara untuk melakukan hidup
sehat. Harus membatasi jumlah pasien yang ada di ruang tunggu dengan mengatur
jadwal pasien agar tidak bersamaan ketika diruang tunggu. Apabila ruang tunggu sudah
penuh sarankan pasien agar menunggu diluar. Ketika tindakan perawatan berlangsung
dokter menggunakan alat pelindung diri yang lengkap seperti sarung tangan, penutup
kepala, mata dan wajah, gown, masker N95 ataupun menggunakan alat respirator. Tidak
lupa untuk melakukan hand hygiene sebelum dan sesudah perawatan serta mematuhi
prosedur 6 langkah cuci tangan menurut WHO dan memahami dengan baik 5 moment
dalam mencuci tangan. Pada saat sebelum memulai tindakan perawatan, pasien
dianjurkan untuk berkumur terlebih dahulu dengan 0,5-1% hydrogen peroksida atau
dengan 0,2% povidone iodine tujuannya untuk melemahkan virus SARS-CoV2 apabila
ada di saliva. Usahakan untuk tidak memakai rontgen foto intraoral pada masa
pandemic dikarenakan dapat memicu pasien untuk reflek batuk dan sekresi air liur,
cukup menggunakan rontgen foto ekstraoral seperti radiografi panoramik dan CT scan.
Ketika melakukan tindakan yang berkaitan dengan tingginya tingkat aerosol maka dapat
memakaikan rubber dam pada pasien dan bekerja pada posisi arah jarum jam 10 atau 11
dan menghindari untuk berada di posisi jarum jam 8. Melakukan 4 handed dentistry
dengan memakai high volume suction serta menggunakan antiretractive handpiece yang
dapat memberikan sebuah perlindungan tambahan terhadap kontaminasi silang.
Meberikan ruang perawatan yang terisolasi dan berventilasi atau ruangan yang
bertekanan negative. Apabila perawatan sudah selesai dapat segera melakukan
desinfeksi pada lantai menggunakan 1% sodium hipoklorit, dan dapat menyiram saluran
air menggunakan 0,01% sodium hipoklorit (Comis dkk., 2020)

B. Hipertensi

1. Gambaran umum dan klasifikasi atau tingkat keparahan hipertensi

Hipertensi merupakan suatu penyakit yang memiliki potensi kematian dini pada
seluruh dunia, sehingga hipertensi ini disebut sebagai “Silent Killer”. Pada umumnya
orang yang menderita hipertensi ini tidak merasakan adanya gejala yang timbul.
Hipertensi ini disebut juga sebagai tekanan darah tinggi dimana sistolik lebih dari sama
dengan 140 mmHg dan tekanan darah di diastolic lebih dari sama dengan 90 mmHg
(Wijaya dkk., 2019).

Adapun faktor pemicu untuk terjadinya hipertensi ini berasal dari faktor genetic,
usia, jenis kelamin, obesitas, tingkatan stress yang tinggi, mengonsumsi alcohol dan
garam. Hipertensi ini memicu untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler, stroke, gagal
ginjal hingga kematian. Upaya untuk meredahkan kejadian hipertensi ini dapat
dilakukan dengan mengukur tekanan darah, melakukan penyuluhan tentang gambaran
hipertensi, pengobatan serta penanganannya dalam penurunan tekanan darah. Selain itu
dapat memonitoring tekanan darah dengan rutin, melakasanakan program hidup sehat
bebas asap rokok, diet dengan kalori seimbang lewat konsumsi serat yang tinggi, rendah
garamdan lemak (Wijaya dkk., 2019).

Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi merupakan sindrom


atau suatu kumpulan dari gejala kardiovaskuler yang diakibatkan dari kondisi lain yang
kompleks dan memiliki hubungan satu sama lain. WHO menerangkan bahwa hipertensi
terjadi dengan meningkatnya tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih dan tekanan di
diastolic 95 mmHg. (JNC VII) mengatakan bahwa hipertensi merupakan peningkatan
tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg (Nuraini, 2015).

JNC VII menyatakan klasifikasi tekanan darah , sebagai berikut :

Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik


Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
Pre-Hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi stage-1 140-159 mmHg 80-99 mmHg
Hipertensi stage-2 ≥ 160 mmHg ≥ 100 mmHg

Seiring bertambahnya usia, maka tekanan darah juga akan mengalami


peningkatan. Setelah usia 45 tahun, pada bagian dinding arteri terjadi penebalan
dikarenakan penumpukan zat kolagen di lapisan otot, sehingga menyebabkan pembuluh
darah akan menyempit secara berangsur-angsur dan akan kaku. Peningkatan dari
tekanan darah sistolik karena adanya kelenturan dari pembuluh darah besar yang akan
berkurang dan untuk tekanan darah diastolik akan meningkat hingga decade kelima dan
decade keenam lalu menetap ataupun akan cenderung terjadi penurunan. Hipertensi
yang tidak terkontrol menyebabkan komplikasi, apabila terkena jantung akan
mengakibatkan terjadinya infark miokard, gagal jantung kongestif, jantung koroner.
Apabila terkena otak akan mengakibatkan stroke, ensevalopati hipertensif. Apabila
terkena ginjal mengakibatkan terjadinya gagal ginjal kronis. Apabila terkena mata akan
mengakibatkan retinopati hipertensif (Nuraini, 2015).
Hipertensi diklasifikasikan kedalam dua jenis yaitu hipertensi primer atau esensial
dan hipertensi sekunder yang disebabkan oleh penyakit endokrin, penyakit ginjal,
jantung dan gangguan dari anak ginjal.

a. Hipertensi primer merupakan hipertensi yang masih belum diketahui secara pasti
penyebabnya, kondisi ini ditandai dengan meningkatnya sistem kerja dari jantung
yang diakibatkan oleh penyempitan dari pembuluh darah perifer. Hipertensi primer
ini merupakan kelompok dari hipertensi yang sering terjadi. Kemungkinan
penyebabnya multifactor, terdiri atas faktor genetic, lifestyle dan juga diakibatkan
oleh lingkungan.
b. Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang diakibatkan oleh suatu penyakit
sistemik yang lain seperti penyakit renal arteri stenosis, hyperldosteronism,
pheochromocytoma, hyperthyroidism, gangguan pada hormon atau penyakit
sistemik lainnya.

Menurut Efendi Sianturi (2004) dalam Artiyaningrum (2015), dilihat dari gejala
klinis, hipertensi di klasifikasikan kedalam 2 jenis, yaitu :
a. Hipertensi benigna merupakan hipertensi yang tidak menimbulkan suatu gejala
apapun, dan biasanya akan ditemukan pada saat melakukan check-up. pada
hipertensi ini didapatkan tekanan darah sistolik dan diastolic belum terjadi
peningkatan, kondisi ini bersifat ringan ataupun sedang dan belum memunculkan
suatu kelainan dari kerusakan di organ dalam.
b. Hipertensi maligna merupakan hipertensi yang masuk dalam fase membahayakan,
kondisi ini ditandai dari tekanan darah yang mengalami peningkatan secara tiba-
tiba dan tidak biasa, tekanan darah diastolic biasanya mencapai ≥120-130 mmHg.
Hipertensi ini diakibatkan oleh adanya komplikasi pada organ seperti pada otak,
ginjal dan organ jantung. Hipertensi ini harus segera mendapatkan terapi.

2. Keterkaitan hipertensi dengan prosedur BMM khususnya ekstrasi gigi

Pada pasien hipertensi yang ingin melakukan tindakan perawatan ekstraksi gigi,
maka akan menyebabkan pasien tersebut tekanan darahnya akan mengalami
peningkatan. Adapun faktor penyebab dari meningkatnya tekanan darah yaitu ketika
pasien dilakukan ekstraksi pada giginya maka akan terjadi suatu stress psikologi dan
fisik, timbulnya stimulasi nyeri, lamanya durasi pencabutan dan penggunaan anestesi
yang mengandung vasokonstriktor, timbulnya rasa cemas, serta kemungkinan adanya
pengalaman yang buruk terhadap tindakan perawatan gigi, hal tersebut memiliki
hubungan yang signifikan terhadap peningkatan tekanan darah dan juga denyut jantung
pasien. Dari keadaan ini akan memicu suatu reaksi pertahanan dengan ditandai saraf
simpatis yang meningkat. Stimulasi dari saraf simpatis akan memberikan pengaruh pada
peningkatan kontraktilitas di jantung sehingga mengakibatkan tekanan darah akan
meningkat. Tetapi adapun faktor yang paling mendominasi yaitu dari pemberian
anestesi dan tindakan ekstraksi gigi karena faktor dari stress mental hanya mengalami
peningkatan yang minimal terhadap pasien tersebut (Karamoy dkk., 2015).

Adapun faktor lain yang dapat menyebabkan tekanan darah meningkat pada
pasien hipertensi ketika dilakukan pencabutan gigi yaitu kerentanan terhadap jantung
serta pembuluh darah yang memiliki resiko dalam peningkatan tekanan darah dari batas
normal. Seorang dengan riwayat hipertensi akan mengakibatkan peningkatan tekanan
darah yang lebih tinggi daripada seorang yang tidak mempunyai riwayat hipertensi.
Faktor tersebut dikarenakan saraf simpatis yang hiperaktif sehingga menimbulkan suatu
respon yang berlebihan pada penderita hipertensi (Rahman dkk., 2017).

3. Solusi yang dapat dilakukan jika pasien memerlukan tindakan ekstraksi gigi

Sebelum melakukan tindakan ekstraksi gigi maka perlu dilakukan pemeriksaan


tekanan darah terlebih dahulu agar dapat menghindari berbagai permasalahan dalam
perederan darah yang tidak diinginkan. Apabila hasil dari pemeriksaan tekanan darah
pada penderita hipertensi berkisar 140-160/90-95 mmHg, maka dapat dilakukan
ekstraksi gigi atau tindakan operasi pada gigi dengan aman. Namun, apabila hasil
didaptkan berkisar 160-190/95-110 mmHg maka pasien segera diberikan premedikasi
setengah jam sampai satu jam sebelum dilakukannya tindakan ekstraksi atau
pembedahan pada gigi, terutama hal ini dapat dilakukan pada pasien yang sedang
mengalami stress. Apabila setelah pemberian premedikasi, tekanan darah masih tinggi
semisal lebih dari 180/110 mmHg maka sebaiknya tindakan perawatan gigi ditunda
terlebih dahulu dan pasien harus berkonsultasi dengan dokter yang sudah merawat
terlebih dahulu (Fragiskos, 2017).

Menurut Fragiskos (2017), Tindakan pencegahan yang perlu dilakukan sebelum


memulai perawatan dental pada penderita hipertensi agar tidak terjadi tekanan darah
yang tidak terkontrol, yaitu :

a. Pemakaian premedikasi sebelum dilakukan operasi


b. Memantau tekanan darah sebelum diberikan anestesi dan selama prosedur
pembedahan dilakukan
c. Aspirasi awal agar terhindari dalam pemberian intravascular, terutama pada bius
lokal yang mengandung vasokonstriktor
d. Menghindari noradrenalin terhadap pasien yang telah menerima antihipertensi agen

C. Diabetes

1. Gambaran umum dan klasifikasi atau tingkat keparahan diabetes

Diabetes Melitus (DM) atau umumnya dikenal sebagai penyakit kencing manis
merupakan penyakit yang kronis dengan ditandai kadar gula darah yang melebihi
normal dimana pada pancreas tidak dapat meproduksi insulin sesuai jumlah yang
dibutuhkan oleh tubuh, yaitu kadar gula darah ≥ 200mg/dl dan juga kadar gula darah
puasa ≥126mg/dl. Penyakit diabetes ini disebut sebagai penyakit “Silent Killer”
dikarenakan pada penyakit ini gejala yang timbul tidak diketahui oleh penderitanya,
sehingga pada saat telah diketahui sudah menunjukkan terjadinya komplikasi. Diabetes
ini dapat mengenai hampir dari seluruh sistem di tubuh manusia, dari kulit hingga
mengenai jantung yang dapat menimbulkan suatu komplikasi (Hestiana, 2017).

Diabetes mellitus ini pada umumnya disebabkan dari pengkonsumsian makanan


yang tidak terkontrol atau disebabkan dari efek samping pemakaian suatu obat tertentu.
Faktor penyebab dari diabetes mellitus ini juga dikarenakan oleh kerusakan pada sel
betha dari pulau Langerhans di organ pancreas yang fungsinya untuk memproduksi
hormon insulin. Hormon insulin memiliki fungsi dalam kontrol gula darah, pada saat
jumlah dari insulin mengalami penurunan maka akibatnya sel di dalam tubuh tidak akan
mendapatkan suplai nutrisi yang cukup sehingga sel-sel rusak di seluruh tubuh. Untuk
gejala yang umum dari diabtes ini seperti sering buang air kecil(polyuria) di malam
hari, selalu lapar (polifagia) dan selalu merasa haus (polydipsia).

Ada dua tipe diabetes mellitus dilihat secara klinis, diabetes mellitus tipe I dan
tipe 2. Pada diabetes mellitus tipe 2 ini adalah kasus terbanyak. Diabetes mellitus tipe 2
merupakan diabetes yang tidak tergantung pada insulin (DMTTI), dimana memiliki
kelainan pada jaringan perifer dengan diawali resistensi insulin lalu diikuti disfungsi
pada sel beta pancreas. Diabetes mellitus tipe 2 ini berlangsung dengan lambat dan
sangat progresif, gejala yang ditimbulkan sering tidak disadari karena gejala seringnya
bersifat ringan, seperti polyuria, kelelahan, polydipsia, iritabilitas dan proses
penyembuhan yang lama dari luka. Diabetes yang terjadi jika tidak segera disembuhkan,
maka akan menyebabkan terjadinya komplikasi, seperti terjadinya penyakit gagal ginal,
stroke, jantung koroner, aterosklerosis, gangren atau luka di kaki, kesemutan dan
retinopatidiabetik. Maka dari itu harus segera diberikan penanganan untuk mengontrol
serta menrunkan kadar dari gula darah yang telah meningkat (Asman dkk., 2020).

Pada diabetes tipe 1 (T1D) terjadi pada saat sistem imun sedang mengalami
kerusakan yang parah pada sel beta di pancreas sehingga mengakibatkan hormon insulin
mengalami kekurangan dalam memperoleh vitamin. Faktor penyebab terjadinya
diabetes mellitus tipe 1 disebabkan oleh faktor di lingkungan yang secara genetic
mempunya predisposisi. Menurut (WHO, 2016) diabetes mellitus tipe 1 (T1D) faktor
penyebabnya tidak diketahui dan tidak dapat dilakukan pencegahan sehingga harus
diberikan insulin secara intensif, tetapi pada T1D ini dapat dilakukan pengidentifikasian
lewat screening terhadap Glutamic Acid Decarboxylase Antibodies (GADAs) dan 1slet
Antigen-2 Antibodies (IA-2As) di waktu kanak-kanak. Sedangkan diabetes mellitus tipe
2 (T2D) menurut (WHO, 2016) diakibatkan oleh adanya kondisi yang tidak normal dari
organ pancreas sehingga tidak mampu untuk memproduksi hormon insulin dalam
mengontrol kadar gula di dalam darah (Rosalina, 2018).

Menurut Rahmasari dan Wahyuni (2019), terdapat klasifikasi lain dari diabetes
mellitus, yaitu :

a. Diabetes mellitus tipe spesifik lain


Kondisi ini merupakan gangguan metabolic yang ditandai dari peningkatan kadar
glukosa dalam darah sebagai akibat dari adanya gangguan genetic dari fungsi sel
beta, gangguan genetic dari kerja insulin, penyakit eksokrin pada pancreas seperti
cystic fibrosis dan diakibatkan dari obat atau bahan kimia (seperti halnya dalam
pengobatan dari HIV/AIDS atau setelah dilakukan transplatasi organ)
b. Diabetes mellitus gestasional
Diabetes tipe ini dapat terjadi ketika masa kehamilan berlangsung, dimana
intoleransi pada glukosa ditemukan pertama kali ketika masa kehamilan trimester
kedua dan ketiga.

Untuk komplikasi diabetes mellitus di bidang kedokteran gigi yaitu oral diabetic
yaitu kondisi mulut yang kering, gusi yang mudah mengalami perdarahan, resorbsi pada
tulang alveolaris, kalukulus dan periodontitis (Rikawarastuti dkk., 2015).

2. keterkaitan diabetes dengan prosedur BMM khususnya ekstraksi gigi

Pada pasien penderita diabetes mellitus yang menjadi faktor pertimbangan


sebelum melakukan tindakan ekstraksi gigi yaitu terhambatnya dalam proses
penyembuhan luka dan rekonstruksi pada tulang. Pada saat setelah dilakukan tindakan
pencabutan gigi maka akan meninggalkan suatu luka di bagian soket giginya. Biasanya
luka tersebut mudah untuk sembuh, tetapi tidak jarang juga timbul berbagai macam
komplikasi yang dapat menghambat terjadinya proses dalam penyembuhan luka
tersebut. Proses dalam penyembuhan dari luka akan berlangsung melalui tahapan-
tahapan biologis yang sifatnya kompleks. Ketika terjadi peningkatan kadar gula dalam
darah maka fungsi dari sel darah putih akan menurun dimana sel darah putih memiliki
peran dalam penyembuhan suatu luka, maka apabila fungsinya menurun dapat
menghambat proses dari penyembuhan luka setelah pencabutan gigi (Fakhrruazi, 2017).

Pada tindakan bedah maka akan menimbulkan suatu respon stress yang ditandai
dengan meningkatnya sekresi dari hormon pituitary dan adanya aktivasi dari sistem
saraf simpatik. Hormon tersebut berperan dalam melawan homeostasis dari glukosa,
dikarenakan mempunyai efek anti insulin dan hiperglikemik yang mengakibatkan kadar
gula darah akan mengalami peningkatan. Peningkatan dari kadar gula darah yang
minimal dapat terjadi selama atau setelah dilakukannya tindakan bedah minor dibawah
efek dari anestesi lokal. Pada anestesi lokal yang memiliki kandungan adrenalin juga
mempunyai kemmpuan berkontribusi dalam peningkatan kadar gula di darah
(Fakhrruazi dkk., 2017).

3. Solusi yang dapat dilakukan jika pasien memerlukan tindakan ekstraksi gigi

Menurut Little dkk (2013), pada pasien penderita diabetes mellitus yang
memerlukan tindakan ekstraksi gigi diperlukan pemantauan untuk menghindari
terjadinya komplikasi tidak terkontrol. Hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Antibiotik profilaksis tidak diperlukan, tetapi untuk penderita diabetes mellitus


yang disertai dengan OH buruk dan sangat sulit untuk dikontrol, maka perlu
diberikan profilaksis
b. Pada pasien diabetes mellitus dengan komplikasi penyakit jantung dan juga
hipertensi, maka dibatasi pemberian anestesi dengan epinefrin
c. Monitor tekanan darah untuk komplikasi dari diabetes mellitus yang umum terjadi
yaitu hipertensi
d. Mengonfirmasi pasien apakah memiliki gangguan jantung dari komplikasi diabetes
mellitus
e. Memperbaiki pola hidup dan menghindari timbulnya stress
f. Pasien diarahkan untuk mengonsumsi obat diabetes secara rutin sebelum dilakukan
tindakan dan diberitahu untuk tetap makan secara normal pada saat sebelum
dilakukan tindakan bedah. Tujuannya untuk menghindari terjadinya hipoglikemi
yang diakibatkan dari pengonsumsian obat diabetes yang tidak diimbangi dengan
intake makan yang cukup. Sebaiknya tindakan bedah dilakukan pada pagi hari 1-
1,5 jam sesudah sarapan.
g. Tindakan pembedahan dilakukan ketika kadar dari gula darah sewaktu < 200
mg/dL.
DAFTAR PUSTAKA

Artiyaningrum, B., 2015. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian hipertensi tidak
terkendali pada penderita yang melakukan pemeriksaan rutin di puskesmas
kedungmundu kota Semarang tahun 2014. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Semarang.

Asman, A., Sinthania, D., Marni, L., 2020. Perawatan diabetes mellitus di komunitas.
Jurnal Kesehatan Medika Siantika. Vol 11 (1) : 125-132.

Bhanushali, P., Katge, F., Deshpande, S., Chimata, V. K., Shetty, S., Pradhan, D., 2020.
Covid-19;changing trends and its impact on future dentistry. Hindawi
International Journal of Dentistry. Vol 2020 : 1-6.

Comis, K. G., Becker, K., Brunello, G., Gurzawska, A., Schwarz, F., 2020.
Recommendations for dental care during covid-19 pandemic. Journal of Clinical
Medicine. Vol 9 (1833) : 1-15.

Erlina, B., Susanto, A. D., Isbaniyah, F.,Nasution, S. A., Ginanjar, E. et al., 2020. Pedoman
Tatalaksana Covid-19. PDPI. Jakarta.

Erlina, B., Susanto, A. D., Isbaniyah, F.,Nasution, S. A., Ginanjar, E. et al., 2020. Pedoman
Tatalaksana Covid-19. PDPI. Jakarta.

Hastuti, N., Djanah, S. N., 2020. Studi tinjauan pustaka : penularan dan pencegahan
penyebab covid-19. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol 7 (2) : 70-76.

Hestiana, D. W., 2017. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan dalam


pengelolaan diet pada pasien rawat jalan diabetes mellitus tipe 2 di kota
Semarang. Jurnal of Health Education. Vol 2 (2): 138-145.

Nawas, M. A., Yunus, F., 2020. Penyakit Virus Corona 2019. Jurnal Respirologi
Indonesia. Vol 40 (2) : 119-129.

Nuraini, B., 2015. Risk factors of hypertemnsion. J Majority. Vol 4 (5) : 10-19.
Karamoy, M.S., Mariarti, N. W., Mintjelungan, C., 2015. Gambaran tekanan darah pasien
pencabutan gigi di RSGM PSPDG FK Unsrat. Jurnal e-GiGi (eG). Vol. 3 (2).

Rahman, K. M., Amir, D., Noer, M., 2017. Efek pencabutan gigi terhadap peningkatan
tekanan darah pada pasien hipertensi. Jurnal FK Unand. Vol 6 (1) : 61-64.

Rahmasari, I., dan Wahyuni, E. S., 2019. Efektivitas memordoca carantia (pare) terhadap
penurunan kadar glukosa darah. Jurnal Ilmiah Rekam Medis dan Informatika
Kesehatan. Vol 9 (1) : 57-64.

Rikawarastuti., Anggreni, E., Ngatemi., 2015. Diabetes mellitus dan tingkat keparahan
jaringan periodontal. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Vol 9 (3) : 277-
281.

Rosalina,F. D., 2018. Klasifikasi tingkat keparahan diabetic retinopathy berdasarkan


deteksi objek microaneurysms, hemorrhages, dan hard exudates menggunakan
metode morfologi matematika dan backpropagation. Skripsi. Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel. Surabaya.

Stefania, C., dan Ballini, A., 2020. Corona virus disease 2019 pandemic burst and its
relevant consequences in dental practice. The Open Dentistry Journal. Vol 14.

Susilo, A., Rumende, C.M., Pitoyo, C.W., Santoso, W.D., Yulianti, M., Herikurniawan
dkk., 2020. Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal
Penyakit Dalam Indonesia. Vol.7 (1); 45-67.

Wijaya, A. K., Oktavidiati, E., Fredrika, L., 2019. Pemanfaatan daun seledri diperkarangan
rumah untuk pengontrolan tekanan darah dan membantu perekonomian keluarga.
Jurnal Pengabdian Masyarakat Bumi Rafflesia. Vol 2 (2) : 138-147.

Anda mungkin juga menyukai