Anda di halaman 1dari 19

DENTISTRY PHARMACHY

SELF LEARNING REPORT

“ANTIBIOTIK”

Tutor:
Drg. Mutia Rochmawati, Sp. Perio

Disusun oleh:
Aisyah Ihdyavifah Siregar
G1B019008

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN KEDOKTERAN GIGI

PURWOKERTO

2020
ANTIBIOTIK

A. Defini dan Fungsi

Antibiotik merupakan suatu zat kimia yang berasal dari bakteri atau fungi,
antibiotic memiliki kemampuan dalam menghambat atau mematikan
pertumbuhan dari mikroorganisme yang bersifat petogen, untuk toksisitasnya
antibiotik memiliki tingkat toksik yang relaif kecil bagi manusia. Antibiotik
yang memiliki kemampuan menanggulangi penyakit yang bersifat infeksi,
penggunaannya harus secara rasional, tepat serta aman. Apabila antibiotik
digunankan dengan tidak rasional maka dampak negative yang akan timbul
seperti efek samping yang akan meningkat, kekebalan dari mikroorganisme
oleh beberapa antibiotic bahkan hingga berdampak kepada kematian (Pratiwi,
2017).

Antibiotik adalah suatu obat yang dipakai dalam mengatasi suatu infeksi
bakteri. Antibiotik memiliki sifat bakterisid (mematikan bakteri) atau bersifat
bakteriostatik (menghambat perkembangan dari bakteri). Apabila antibiotic
dikonsumsi dengan dosis yang terlalu tinggi, maka dapat menimbulkan
berbagai masalah serta terjadinya ancaman global untuk ksehatan terutama
terkait dengan resistensi. Resistensi merupakan kemampuan dari bakteri dalam
menetralisir serta menurunkan kemampuan kerja dari antibiotic (Nisak dll,
2016).

Antibiotik mempunyai dua efek yang utama yaitu, obat ini dapat
memberikan penyerangan terhadap organisme yang bersifat infeksius serta
dapat mengeliminasi bakteri lainnya yang tidak bersifat pathogen. Adapun efek
yang lain yaitu memberikan efek perubahan keseimbangan ekosistem antara
strain peka dan juga yang resisten, konsekuensi yang diterima seperti gangguan
ekologi microbial alami. Adanya perubahan ini memberikan dampak
berkembangnya jenis bakteri dengan jenis yang berbeda atau varian resisten
dari bakteri yang telah ada sebelumnya (Amin, 2014).
B. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

1. Farmakokinetik

Farmakokinetik adalah suatu aspek yang menerangkan perjalanan serta


bagaimana nasib obat yang terjadi ketika berada di dalam tubuh. Beberapa
proses yang terdapat pada farmakokinetik diantaranya absorbsi, distribusi,
metaboisme, dan ekskresi.

Pada tahap absorbsi berlangsung proses penyerapan obat di dalam


saluran pencernaan melalui pemberian secara oral. Apabila sudah mencapai
kadar puncak pada sirkulasi darah, maka kadar konsentrasi obat akan
mengalami penurunan dengan cepat pada fase yang disebut sebagai fase (α).

Tahap selanjutnya adalah fase beta (β) konsentrasi antibiotik akan


mengalami penurunan dengan perlahan serta secara stabil. Di fase ini
menentukan waktu paruh (t1/2) pada antibiotik. Di tahap absorbsi, hanya
beberapa obat yang mencapai pada sirkulasi sistemik dalam kondisi yang
masih utuh atau aktif, serta jumlah dosis obat yang akan mencapai sirkulasi
di sistemik dalam kondisi yang utuh atau aktif biasa dkatakan sebagai
bioavailibilitas. Untuk kesetaraan jumlah obat di sediaan dengan kadar obat
yang ada pada sirkulasi darah maupun suatu jaringan disebut dengan
bioekuivalensi.

Kemudian setelah diabsorbsi, obat berikatan terhadap albumin sebagai


protein yang bersifat dominan pada serum lalu kemudian akan
didistribusikan di seluruh tubuh lewat jalur sirkulasi darah. Untuk
persentase pada antibiotik yang berikatan reversible dengan albumin serum
diistilahkan sebagai protein binding. Lalu obat akan melakukan pelepasan
ikatan terhadap albumin, kemudian menembus membrane sel sesuai dari
gradien konsentrasinya hingga mencapai ke tempat infeksi kemudian akan
berikatan dengan protein di dalam jaringan. Adapun faktor yang
mempengaruhi distribusi obat yaitu aliran darah, protein binding, pH serta
volume distribusi.
Setelah obat di distribusikan, lalu obat akan mengalami proses metabolism
dari berbagai enzim. Enzim yang paling penting adalah enzim sitokrom P450,
sehingga untuk pemberian obat-obatan yang memiliki kemampuan dalam
meningkatkan atau dalam menghambat kerja dari enzim ini maka akan
berdampak pada aktivitas antibiotik. untuk obat yang aktif maka kelarutan
akan ditingkatkan sehingga nantinya akan menjadi lebih mudah dilakukan
pengekresian, dan setelah itu nantinya obat akan menjadi inaktif. Tetapi
untuk obat yang bentuk prodrug, maka enzim akan bekerja dalam
mengaktivasi obat tersebut untuk diaktifkan.

Setelah proses metabolisme, antibiotik akan dieliminasi di ginjal lalu


dilakukan pengekskresian lewat urin dalam bentuk metabolit yang inaktif
maupun yang aktif. Selain melalui ginjal antibiotik juga dapat dieliminasi
lewat empedu dan ekresinya ke dalam usus. Lalu di usus sebagian obat akan
dibuang lewat feses, dan sebagian lagi diserap kembali dan dibuang lewat
ginjal. Adapun sebagian kecil pengekresian obat dilakukan lewat keringat,
air mata , air liur (Amin, 2014).

2. Farmakodinamik

Farmakodinamik merupakan suatu yang menerangkan bagaimana efek


suatu obat bekerja. Pada umumnya aktivitas dari antibiotic dibagi kedalam
dua bagian, yaitu bakterisidal (kemampuan mematikan mikroba) dan
bakteriostatik (menghambat perkembangan mikroba). Untuk antibiotik
bakterisidal contohnya seperti aminoglycoside, metronidazole, kuinolon,
rifampicin, betalactam, vancomycin, bacitracin, pyrazinamide, isoniazide.
Untuk obat yang bersifat bakteriostatik adalah chloramphenicol,
ethambutol, macrolide, tetracycline, sulfonamide, clindamycin,
trimethoprim. Tetapi sifat yang ada tidak bersifat mutlak karena antibiotic
bakteriostatik akan berubah menjadi bakteriosidal ketika kadarnya
ditingkatkan.

Kadar dari antibiotik yang minimal diperlukan dalam penghambatan


pertumbuhan maupun pembunuhan mikroba disebut dengan kadar hambat
minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi terhadap KHM
terdiri dari fungsi terhadap konsentrasinya (concentration dependent) serta
fungsi terhadap waktu (time dependent). Untuk antibiotik concentration
dependent apabila kadar obat semakin tinggi di sirkulasi darah maka daya
kerjanya akan semakin tinggi sehingga pada kecepatan dan efektivitas kerja
yang bisa ditingkatkan dengan meninggikan kadar obat di darah jauh diatas
KHM. Untuk antibiotik time dependent selagi kadar mampu dipertahankan
diatas KHM sedikit, maka ketika proses kerja berlangsung, kecepatan dan
juga efektivitas kerja dari obat mencapi nilai maksimal. Sebagai contoh
antibiotic jenis concentration dependent yaitu quinolone dan
aminoglycoside dan antibiotik jenis time dependent yaitu beta-lactam.

Ada sebagian dari golongan antibiotik yang mampu memperlihatkan


aktifitas dalam penghambatan pada perkembangan dari mikroorganisme
walau kadar yang ada lebih rendah dibanding KHM. Kondisi seperti ini
disebut dengan post-antibiotic effect. Kondisi ini pengaruhnya dari jenis
antibiotic serta mikroorganismenya sendiri, sebagi contoh qionolone dan
aminoglycoside dengan post-antibiotic effect yang memakan waktu cukup
lama terhadap suatu bakteri gram negatif (Amin, 2014).

C. Golongan Obat dan Mekanisme Kerja

Menurut Supranoto (2020) penggolongan obat antibiotik dengan mekanisme


kerjanya dibagi menjadi beberapa gologan, yaitu :

1. Antibiotik yang dapat menghambat sintesis pada dinding sel

Dalam mekanisme pada antibiotic yang umum untuk jenis bakteri gram
positif yaitu merusak integritas dari dinding-dinding sel bakteri. Unsur
penyusun dari dinding sel bakteri yaitu peptidoglycan dan
lipopolisaccharides. Adapun target dari antibiotic golongan ini yaitu
merusak peptidoglycan. Berikut merupakan golongan dari antibiotic yang
bekerja sebagai penghambat suatu sintesis dinding sel bakteri.

a. β-Lactams
Antibiotik ini dapat merusak Penicillin-binding proteins (PBPs)
dimana fungsinya yaitu meregulasi penyusunan dari ikatan transpeptida
N-acetylglucosamine (NAG) serta N-acetylmuramic acid (NAM).
Adapun NAM dan juga NAG adalah molekul gula yang bekerja dalam
menyusun peptidoglycan dari dinding bakteri jenis gram positif serta
gram negative. Beberapa antibiotic yang mempunyai cincin β-Lactams
yaitu Cephalosporin, Penicillin, Carbapenem.

b. Glycopeptides

Adapun antibiotic yang termasuk pada golongan ini yaitu


Vancomycin. Golongan Glycopeptides bekerja dalam merusak ikatan
peptide D-alanin dengan D-alanin. Obat Vancomycin umumnya dipakai
sebagai obat antibiotic alternatif di kasus MRSA nasokomial.

c. Polypeptides

Pada antibiotik golongan ini mempunyai mekanisme kerja merusak


membran sel pada bakteri. selain merusak dapat juga menjadi deterjen
antara membran sel dan lipopolisakarida yang dapat menyebabkan
meningkatnya permeabilitas dari membran hingga kematian pada sel
bakteri. contoh antibiotic golongan Polypeptides adalah Bacitracin,
Colistin, Polymyxin.

d. Lipopeptides

Pada antibiotic golongan ini dapat bekerja dengan mengikat struktur


pada membran sel yang ada di bakteri dengan sifat irreversible yang
mengakibatkn terjadinya perubahan pada gradient konsentrasi ionic dan
menyebabkan kematian terhadap sel bakteri tersebut. Adapun salah satu
jenis dari antibiotik golongan Lipopeptides yaitu daptomycin.

e. Isoniazid, Ethionamide, Ethambutol, Cyloserine

Antibiotik golongan ini merupakan obat anti tuberculosis atau obat


infeksi Mycobacterium tuberculosis. Untuk Isoniazid, Ethionamide selain
kerjanya mampu dalam melakukan penghentian replikasi bakteri,
golongan ini dapat melakukan suatu penghambatan terhadap mycolic
acid. Untuk Ethambutol bertugas dalam menghambat sintesis dari
arabinogalactan di dinding sel mycobacteria. Cyloserine mampu dalam
menghambat 2 enzim sekaligus yaitu D-alanine-D-alanine synthase serta
alanine racemase dimana fungsinya adalah sebagai katalis sintesis dari
dinding sel pada bakteri.

b. Antibiotik yang mampu menghambat sintesis protein

Untuk antibiotik di golongan ini dapat menghambat bakteri ketika


sedang melakukan proses translasi mRNA di ribosom. Berikut beberapa
golongan antibiotic tersebut :

a. Aminoglycosides

Antibiotik ini tersusun dari gula amin yang saling terhubung pada
ikatan glikosidik dengan aminosiklitol. Golongan antibiotik ini dapat
menembus membran sekaligus dinding sel (pada bakteri gram negative).
Antibiotik yang termasuk kedalam golongan ini yaitu Amikacin,
Tobramycin, Streptomycin, Gentamicin.

b. Tetracylines

Antibiotik ini termasuk pada salah satu antibiotik dengan spectrum


luas. Mekanisme kerja dari obat ini yaitu melakukan penghambatan kerja
pada ribosom 30S yang menyebabkan suatu bakteri tidak memiliki
kemampuan menyintesis protein dari asam nukleat. Penggunaan
golongan antibiotic ini sangat berguna untuk penyakit infeksi. Beberapa
contoh obatnya yaitu Chlamydia, Rickettsia, Mycoplasma.

c. Glycylcines

Mekanisme dari antibiotik ini sama seperti Tetracylines tetapi afinitas


dengan ribosom lebih besar. Contoh obat antibiotik dari golongan ini
adalah Tigercycline.
d. Oxazolidonones

Golongan antibiotik ini mempunyai spectrum sempit. Golongan


antibiotic ini memiliki kemampuan dalam mengikat subunit oleh ribosom
50S dan tidak mampu membentuk protein yang struktural serta
fungsional. Contoh obat antibiotik golongan Oxazolidonones yaitu
Linezolid.

e. Chloramphenicol

Golongan antibiotik ini mempunyai spektrum yang luas dan efek


bakteriostatik. Antibiotik ini dapat mengikat suatu komponen
peptidyltransferase pada subunit ribosom 50S. Keadaan ini dapat
mengakibatkan elongasi protein akan terganggu.

f. Macrolides

Antibiotik golongan ini dapat mengikat dengan sifat reversible 23S


rRNA dengan subunit ribosom 50S. sehingga mengakibatkan adanya
gangguan elongasi protein pada ribosom bakteri. contoh obat antibiotic
golongan Macrolide yaitu Roxithromycin, Clarithromycin, Azithromycin.

g. Ketolides

Antibiotik ini merupakan turunan dari Erythromycini yang di


variasikan sedemikian mungkin sehingga menyebabkan memiliki
kemampuan dalam peningkatan stabilitas di suasana asam.

h. Clindamycin

Antibiotik ini memiliki mekanisme kerja yang sama seperti


Chloramphenicol dan juga Macrolides. Golongan antibiotic ini mampu
aktif digunakan ketika pada keadaan infeksi Staphylococcus serta bakteri
basil yang bersifat gram negatif. Tetapi antibiotic golongan Clindamycin
ini cenderung kurang efektif dipakai pada bakteri bersifat anaerobic.
i. Streptogramins

Adapun yang termasuk kedalam golongan dari antibiotic ini yaitu


Quinusprostin-Dalfopristin. Dalfopristin bertugas dalam mengikat
subunit ribosom 50S yang dapat merubah konformasinya serta yang
menjadi kemungkinan Quinuspristin juga mengikatnya. Dalfopristin
dapat mencegah elongasi di protein. Sedangkan Quinuspristin fungsinya
adalah mengawali pelepasan dari protein premature pada ribosom.

3. Antibiotik yang berperan dalam menghambat sintesis asam nukleat

a. Quinolones

Golongan antibiotic ini dapat mengganggu kerja dari enzim DNA


topoisomerase II (Gyrase) yang berperan penting pada replikasi,
rekombinase serta perbaikan dari DNA bakteri. Obat antibiotic yang
termasuk kedalam mekanisme ini yaitu Levoflaxin,Ciproflaxin,
Moxiflaxin. Golongan ini sering efektif dalam kondisi infeksi Bacillus
antrachis dan Bacillus cereus selain itu juga infeksi pada Salmonella dan
Shigella.

b. Rifampin dan Rifabutin

Mekanisme dari antibiotic ini yaitu menghambat RNA polymerase


pada proses transkripsi DNA berlangsung. Obat golongan ini umumnya
dipakai untuk terapi infeksi dari Mycobacterium tuberculosis dan
Mycobacterium leprae.

c. Metronidazole

Antibiotik golongan ini dapat mereduksi grup nitro di enzim


nitroreductase yang nantinya dapat menghasilkan komponen
sitotoksik. Adapun fungsi dari komponen sitotoksik ini yaitu dapat
menghambat proses kinerja DNA ketika mengekspresikan protein.
Golongan Metronidazole ini sering dipakai untuk pengobatan infeksi
Entamoeba serta Giadia.
4. Antibiotik yang berperan dalam menghambat Asam Folat dan senyawa
metabolit lain

Asam folat berperan dalam metabolisme untuk beberapa bakteri.


Adapun antibiotic yang termasuk golongan dari Antimetabolites yaitu
Dapsone dan Trimethoprim.

a. Sulfonamides

Antibiotik golongan ini dapat menghambat pembentukan dari suatu


asam folat dikarenakan antibiotik ini adalah competitor p-aminobenzoic.

b. Trimethoprim

Antibiotik ini bekerja dalam menghambat dihydrofolate reductase


serta dapat mencegah perubahan dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat
dengan adanya pencegahan yang terjadi akan mengakibatkankan
terhambatnya pembentukan dari thymidine serta beberapa purin, glisin,
metionin.

c. Dapsone

Mekanisme dari antibiotik ini yaitu menghambat asam folat di


mycobacteria.

d. P-aminosalicylic

Mekanisme dari antibiotik ini yaitu dapat menghambat asam folat di


mycobacteria.

e. Clofazimine

Antibiotik ini bersifat lipofilik yang dapat berfungsi dalam pengikatan


DNA mycobacteria.
f. Pyrazinamide

Antibiotik golongan ini sangat aktif dalam melakukan perlawanan


terhadap M. tuberculosis dalam kondisi pH yang rendah seperti di dalam
fargolisosom. Bentuk aktif dari obat antibiotic jenis ini yaitu pyrazionic
acid yang terhidrolisis di hepar.

Antibiotik yang berperan sebagai inhibitor sintesis dinding sel bakteri

Menurut Pratiwi (2017), antibiotic ini memiliki mekanisme kerja


dengan melakukan pemecahan terhadap enzim pada dinding sel serta
bekerja dalam menghambat sel enzim pada saat pembentukan dinding
sel. Adapun yang menjadi contoh yaitu golongan β-laktam.

Obat antibiotic golongan β-laktam sifatnya bakterisidal dan bersifat


efektif terhadap organisme yang bersifat gram positif dan gram negative.
Antibiotic ini dapat mengganggu proses dari sintesis pada peptidoglikan,
sebagai contoh yaitu heteropolimer yang dapat memberikan suatu
stabilitas mekanik terhadap dinding sel dari bakteri. β-laktam terdiri atas
penisilin, carbapenem, monobaktm, sefalosporin, dan juga inhibitor pada
sintesis di dinding sel lain contohnya vancomysin, daptomysin serta ada
fosfomysin.

a. Penicillin

Penicillin dibagi atas penicillin G, ampicillin, nafcillin. Adapun


penicillin G aktivitasnya paling kuat terhadap suatu bakteri yang
bersifat gram positif, kokus gram negative, serta bakteri non
betalactamase producing anaerobs. Pada ampicillin mempunyai
spectrum yang luas. Ampicillin ini efektif terhadap suatu mikroba
yang bersifat gram positif dan negative. Nafcillin memiliki
kemampuan yang resisten terhadap stapilokokus beta laktamase,
selain itu juga aktif di streptokokus tetapi di enterokokus tidak aktif,
kokus dengan gram negative, serta di bakteri anaerob (Katzung,
2017).
b. Sefalosforin

sefalosforin merupakan antibiotik yang kerjanya adalah melakukan


penghambatan terhadap pembentukan peptidoglikan dengan
mekanisme yang tidak berbeda dari penisilin. Sefalosporin dapat
diklasifikasikan dengan berdasar generasi (Katzung, 2017).

1) Generasi pertama

Pada generasi pertama tingkat keaktifan terhadap bakteri gram positif


sangat tinggi, selain itu juga pada pneumokokus, streptokokus, dan
stapilokokus. Generasi pertama ini sangat efektif dalam melakukan
perlawanan dari infeksi yang ditularkan lewat kulit dari pasien
pembedahan. Contohnya sefaleksin, sefalotin, sefazolin, serta ada
sefadrosil (Katzung, 2017).

2) Generasi kedua

Aktivitas dari generasi kedua ini yaitu sebagai antibiotik untuk


paparan dari bakteri gram negative yang jauh lebih luas. Seperti
sefamandol, sefoksitin, sefaklor, dan sefotetan (Katzung, 2017).

3) Generasi ketiga

Aktivitas dari generasi ketiga ini sensitive dengan bakteri gram


negative, generasi ketiga ini berkemampuan dalam melintasi blood-
brain barrier (Katzung, 2017).

4) Generasi keempat

Antibiotik generasi keempat yaitu cefepine. Aktivitasnya baik jika


pada P. aeruginosa, S. aureus, S. pneumonia, dan juga pada
enterobacteriaceae. Pada haemophilus dan Neisseria antibiotic
generasi keempat ini sangatlah aktif (Katzung, 2017).

c. Carbapenem
Aktivitas dari carbapenem ini lebih luas dibandingkan pada sebagian
besar dari beta-laktam. Spectrum aktivitas pada carbapenem ini
mampu mengambat bakteri gram postif, negative dan anaerob. Jenis
yang termasuk dalam carbapenem yaitu meropenem, doripenem, serta
imipenem (Katzung, 2017).

d. Monobaktam

Monobaktam memiliki aktivitas yang bersifat resisten pada beta-


laktamase dari bakteri gram negative. Aktivitas dari monobaktam ini
bekerjanya sangat baik pada Pseudomonas aeruginosa, gonokokus,
haemophilus influenza, dan pada Enterobacteriacease (Katzung,
2017).

D. Jenis-Jenis Obat dan Dosisnya

1. Golongan Penisilin

a. Amoxicilin

Indikasi dari obat ini infeksi pada kulit dan pada jaringan lunak, saluran
pernafasan, gonore, saluran pencernaan. Efek samping yang dapat
ditumbulkan dari obat ini yaitu reaksi kepekaan seperti contohnya
eritematous makulopopular rashes. Dosis yang digunakan pada obat ini
yaitu untuk dewasa dan anak dengan BB > 20 kg : 250-500 mg setiap 8
jam. Untuk anak dengan BB < 20 kg : 20-40 mg/kg BB sehari 8 jam
(ISO, 2019).

b. Ampicillin

Indikasi pada obat ini untuk infeksi pada saluran pernafasan, saluran
kemih, gonoroe yang tidak terkomplikasi, infeksi pada saluran
pencernaan dan alat kelamin wanita. Efek samping yang dapat
ditimbulkan seperti urtikaria dan ruam kulit, glossitis, stomatitis, diare,
mual, muntah, anemia, leukopenia, trombositopenia. Dosis yang
digunakan untuk dewasa dan anak > 20 kg : sehari 3-4 kali sebanyak 250
-500 mg. Untuk anak dibawah 20 kg : sehari 50-100mg/kgBB dibagi
menjadi 4 dosis tiap 6 jam(ISO, 2019).

c. Broadapen

Indikasi dari obat ini untuk infeksi yang diakibatkan olehn adanya bakteri
gram positif serta gram negative yang peka dengan ampisil. Efek
samping yang dapay ditimbulkan untuk dewasa sehari 4 kali sebanyak
250-500 mg, untuk anak : sehari sebanyak 20-40 mg/Kg/BB terbagi
kedalam 3 dosis (ISO, 2019).

d. Danoxilin

Indikasi dari obat ini untuk infeksi pada saluran nafas, saluran cerna, dan
saluran pada kencing. Dosis yang digunakan pada obat ini untuk dewasa
dan anak >20 kg : sehari sekali sebanyak 250-500 mg, untuk anak < 20
kg dengn infeksi ringan ke sedang sebanyak 20-40 mg/kg BB/ hari
terbagi ke dalam 3 dosis. Untuk infeksi berat : 50-75 mg/kg BB/ hari
dibagi menjadi 3-4 dosis (ISO, 2019).

e. Lansiclav

Indikasi dari obat ini yaitu untuk infeksi saluran pernafasan atas bawah,
tulang, kulit, jaringan lunak, dan saluran kemih. Efek samping yang
dapat ditimbulkan seperti iritasi pada saluran cerna, reaksi
hipersensitivitas. Dosisnya taitu untuk dewasa dan anak > 12 tahun sehari
3 kali untuk satu kapsul (ISO, 2019).

2. Golongan Aminogikosida

a. Gentamisin

Indikasi dari obat ini untuk infeksi oleh pseudomona aeruginosa, escheria
coli, serratia spp, citribacter spp, staphylococcus spp. Dosis yang
digunakan untuk dewasa sehari 3-4 mg/Kg BB/ hari yang dibagi kedalam
6-8 jam. Untuk anak 6-7,5 mg yang terbagi setiap 8 jam.Bayi sebanyak
7,5 mg/Kg BB setiap 8 jam (ISO, 2019).

b. Alostil

Indikasi pada obat ini untuk infeksi dari kuman yang bersifat gram
negative di intra abdominal, saluran nafas bawah, jaringan lunak,
saluran kemih, dan untuk pasca operasi. Efek samping yang dapat
muncul adalah nefrotoksis, ototoksis. Dosis yang dipakai IM : 15
mg/Kg BB/hari yang dibagi menjadi 2 dosis. Neonatus atau premature
doisnya mula-mula 10 mg/Kg BB/hari setelah itu dlanjutkan dengan
15 mg ?KgBB/ hari dibagi menjadi 2 dosis. IV : 500 mg alostil yang
dilarutkan kedalam NaCL sebanyak 5% (ISO, 2019).

c. Simikan

Indikasi pada obat ini untuk bakterimia, septisemia, infeksi yang


terjadi pada saluran nafas, tulang dan sendi. Dosis untuk dewasa,
anak, dan bayi : 15 mg/Kg BB dibagi menjadi 2-3 dosis dengan
interval yang sama. Bayi baru lahir 10mg/Kg BB yang diikuti dengan
7,5 mg/kg setiap 12 jam (ISO, 2019).

3. Golongan Kloramfenikol

a. Chloramphenicol

Indikasi obat ini untuk tifus yang disebabkan Influenzae, rickettsia. Dosis
yang diberikan untuk dewasa, anak, dan bayi > minggu : sehari sebanyak
50 mg/Kg BB yang terbagi kedalam 3-4 dosis (ISO, 2019).

b. Rindofen

Indikasi pada obat ini untuk Tipoid, infeksi yang dikarenakan oleh
salmonella, paratipoid. Efek samping yang dapat muncul adalah reaksi
alergi, dosis yang digunakan untuk dewasa, anak, dan bayi > 2 minggu
yaitu sehari 50mg/Kg BB terbagi dalam 3-4 dosis (ISO, 2019).
4. Golongan Kuinolon

a. Floksid

Indikasi pada obat untuk infeksi kuman yang bersifat pathogen, infeksi
dari saluran cerna termasuk tiroid dan juga paratiroid, infeksi saluran
pernafasan terkecuali pada pneumonia yang diakibatkan streptokokus,
infeksi tulang, sendi dan jaringan lunak. Efek samping yang dapat timbul
seperti mual, muntah, pusing, diare, gemetar dan insomnia. Dosis yang
dipakai adalah sehari 1-2 kali untuk 250-500 mg yang terkandung pada
berat ringan dari penyakit (ISO, 2019).

b. Levofloxasin

Indikasi dari obat untuk sinusitis maksilaris yang bersifat akut, infeksi
pada kulit, bronchitis kronis. Dosisnya sehari sekali untuk 250-500 mg
yang dikonsumsi selama 7-14 hari (ISO, 2019).

5. Golongan Mikrolida

a. Spirasin

Indikasi obat ini yaitu untuk Infeksi pada saluran pernafasan, infeksi
kulit, otitis media. Efek samping yang dapat terjadi adalah timbul rasa
mual, nyeri di epigastrum, reaksi hipersensitivitas di kulit, epigastrum
dan diare. Dosis yang digunakan untuk dewasa sehari 3 kali untuk 1
tablet selama 5 hari. Untuk anak 50-100 mg/Kg BB yang dibagi menjadi
2-4 dosis selama 5 hari (ISO, 2019).

b. Xorin

Indikasi obat yaituantibiotika. Dosis yang digunakan untuk dewasa sehari


300 mg, 1 tablet pagi dan sore hari pada saat sebelum makan (ISO,
2019).

c. Uplores
Indikasi obat ini untuk infeksi yang disesbakan oleh mikroorganisme
yang sensitive, pada THT, infeksi kulit, bronkopulmonari, genital
terkecuali pada gonokokus. Efek samping yang dapat diterima adalah
mual, muntah, diare alergi kulit. Dosis yang digunakan untuk dewasa
sehari 2 kali untuk 1 kapsul. Anak dengan BB 24-40 kg sehari 2kali 100
mg (ISO, 2019).

6. Golongan sefalosporin

a. Anfix

Indikasi obat untuk Infeksi pada saluran kemih tanpa terjadi komplikasi,
faringitis, tonsillitis, otitis media, bronchitis akut, gonorrhea tanpa terjadi
komplikasi, eksaserbasi bronchitis kronik. Dosis obat yang dipakai untuk
dewasa 200 mg / hari, untuk infeksi yang lebih berat 400 mg/hari. Anak 6
bulan-12 tahun 8 mg/kg/ hari atau sebanyak 4 mg/Kg per 12 jam, umur
lebih dari 12 tahun atau BB > 50 kg sebanyak 200 mg / hari (ISO, 2019).

b. Cefadroxil

indikasi dari obat ini untuk infeksi yang serius penyebabnya


mikroorganisme yang sensitive. Efek amping yang dapat terjadi adalah
nyeri pada lambung, adanya reaksi hipersensitivitas, reaksi yang lain
yang merupakan disfungsi dari hepatic, serta gastrointestinal. Dosis yang
digunakan untuk dewasa 1-2 gram sehari, untuk anak sehari 2 kali ½ - 2
sdt (ISO, 2019).

7. Golongan Tetraksilin

a. Tetrin

Indikasi pada obat ini untuk infeksi yang sangat sensitive dengan
tetraksilin. Efek samping yang dapat terjadi adalah mual, muntah, dan
diare. Dosis yang digunakan sehari 4 kali untuk 1 kap 250 mg, sirup 1
gram sehari dengan dosis yang terbagi menjadi 2-4 dosis (ISO, 2019).
b. Tetrasanbe

Indikasi pada obat ini untuk infeksi pada saluran pencernaan, pernafasan,
infeksi alat kelamin, kulit, jaringan lunak dan infeksi pada sistemik.
Dosis yang digunakan sehari 4 kali 1 kap untuk 250 mg, sehari 2 hingga
4 kali 1 kap 500 mg (ISO, 2019).

c. Selesiklin

Indikasi dari obat ini yaitu pneumonia serta infeksi yang disebabkan oleh
suatu infeksi yang disebabkan oleh rickettsia. Dosis yang digunakan
untuk sehari 4 kali 1 kap, untuk anak diatas 8 tahun sebanyak 25-
50mg/Kg BB/ hari yang terbagi kedalam 4 dosis.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, L. Z., 2014. Pemilihan antibiotik yang rasional. Jurnal Medicinus. Vol 27
(3) : 40-45

Ikatan Apoteker Indonesia., 2019. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia. Vol
52. ISFI penerbitan : Jakarta

Katzung, B.G., 2017. Basic and Clinical Pharmacology. 14th Edition. McGraw
Hill. Singapore

Nisak, M., Syarafina, A., Shintya, P., Miranti, A., Fatmawati, L., Nilarosa, A. D.
et al., 2016. Profil penggunaan dan pengetahuan antibiotic pada ibu-ibu. Jurnal
Farmasi Komunitas. Vol 3 (1) : 12-17

Pratiwi, R. H., 2017. Mekanisme pertahanan bakteri pathogen terhadap antibiotik.


Jurnal Pro-Life. Vol 4 (3) : 418-429

Supranoto, Y. T. N., 2020. Uji sensitivitas antibiotik terhadap bakteri hasil kultur
infeksi luka operasi patah tulang terbuka : studi kasus di RSUD dr. Soebandi
Jember. Skripsi. Universitas Jember. Jember

Anda mungkin juga menyukai