Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam beberapa decade terakhir, terjadi peningkatan resistensi bakteri terhadap


antibiotic yang tersedia dan semakin lama melampaui ketersediaan varian dari antibiotic itu
sendiri. Pada konsensus terbaru ditemukan bahwa Enterococcus faecium, Staphylococcus
aureus, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumanii, Pseudomonas aeruginosa, and
Enterobacter yang dikenal dengan “ESKAPE” menjadi patogen terbanyak yang mengalami
resistensi terhadap antibiotic.1

Saat ini terdapat beberapa jenis antibiotic terbaru yang dikembangkan. Teradapat 90
agent antibekteria yang dikembangkan secara in vitro oleh The European Centre for Disease
Prevention and Control/European Medicines Agency, dinyatakan 66 jenis yang dikatakan
sebagai agen yang benar-benar baru dan hanya 27 agen yang memiliki keuntungan potensial
dibanding antibiotik saat ini. Dari 27 agen tersebut hanya 15 yang dapat digunakan secara
sistematis dengan hanya 2 yang menunjukkan aktivitas terhadap bakteri gram negatif melalui
mekanisme baru.2,3

Dengan membatasi penggunaan antimicrobial atau antibiotik dan mempertajam


pemilihian jenis antibiotik, dosis, rute pemberian, dan durasi terapi diharapkan dapat
menjembatani jarak antara resistensi dan optimalisasi ketersediaan terapi yang membawa
perbaikan secara klinis pada pengobatan terhadap infeksi. Dengan menerapkan pengetahuan
terhadap prinsip farmakodinamik serta farmakokinetik dari masing-masing antibiotik
diharapkan dapat mengoptimalkan penggunaan antibiotik secara klinis.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1. Mekanisme Kerja Antibiotik

Antibiotik bekerja dengan memanfaatkan perbedaan prose fisiologis antara mamalia


dan mikroba. Tidak seperti mamalia, bakteria memiliki dinding sel, kebanyakan agen
antibakteria atau antibiotik bekerja dengan berikatan pada dinding sel atau menginhibisi
pembentukkan dari dinding sel.4

Gambar 2.1 Struktur dinding sel bakteri5

Sel bakteri dikelilingi oleh dinding sel yang terbentuk dari peptidoglikan, mengandung
rantai polimerasi gula yang panjang. Peptidog;ikan mengalami cross-linking dari turunan
glycan dengan cara transgikosidasi dan rantai peptide yang memanjang dari rantai gula pada
polimer yang membentuk ikatan silang satu peptide dengan peptide lain. D-alanyl-alanine
meripakan rantai peptide yang berikatan silang dengan residu glisin dengan penicillin binding

2
proteins (PBP). Seacra hipotesis antibiotik golongan betalactam memiliki kemiripan ikatan
dengan rentai peptide D-alanyl D-alanine yang seharusnya berikatan dengan PBP, kemiripan
tersebut menyebabkan PBP berikatan dengan betalaktam hingga akhirnya selbakteri
mengalami kegagalan dalam pembentukan dinding sel.5
Aminoglikosida merupakan antibiotic dengan molekul bermuatan positif yang dapat
melekat pada membrane luar bakteri yang bermuatan negatif, menyebabkan aminoglikosida
dapat melakukan penetrasi ke dalam sel bakteri, target utama aminoglikosida adalah ribosom.
Penterasi tersebut membutuhkan trasnspor aktif yang membutuhkan oksigen, maka dari itu
aminoglikosida bekerja lebih baik pada keadaan aerob dan tidak efektif terhadap bakteri
anaerob.5
Tetrasiklin bekerja pada tingkat rantai 16S r-RNA subunit ribosom 30S, mencegah
terjadinya ikatan antara t-RNA pada lokasi ribosom. Kloramfenikol bekerja pada 23S r-RNA
subunit ribosom 50S, menginhibisi sinteis protein dan mencegah ikatan antara t-RNA pada
lokasi ribosom. Makrolid berefek pada tingkatan pertama sintesis protein, translokasi dengan
bertarget pada peptidyl transferase pusat dari 23S r-RNA pada subunit ribosom,
mengakibatkan ikatan yang tidak sempurna dan tidak lengkap dari rantai peptide.5
Kuinolon menghinbisi enzim DNA gyrase pada bakteri yang berfungsi memperantarai
ikatan rantai DNA pada bakteri yang bertujuan untuk replikasi dan transkripsi. Sulfonamides
dan trimethoprim menginhibisi metabolism dari asam folat bakteri. Kombinasi sulfa dan
trimethoprim pada jalur biosintetik yang sama bersinergi dalam mencegah terjadinya mutasi
bakteri yang dapat menyebabkan resistensi.5

Gambar 2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik5

3
II. 2. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Pharmacokinetics (PK) dan Pharmacodynamics (PD) merupakan alat dasar yang


penting unutk mencapai hasil optimal pemberian antibiotik. Dapat dikatakan bahwa PK
merupakan efek dari tubuh terhadap obat sedangkan PD merupakan efek dari obat terhadap
tubuh. Integrasi antara PK/PD dapat menentukan interaksi antara patogen, penjamu dan agen
antimicroba.4
Farmakokinetik (PK) dari sebuah obat mendeskripsikan perjalanan obat mulai dari
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi. PK mendefinisikan perubahan konsentrasi
dalam tubuh, jaringan dan cairan berdasarkan waktu semenjak dari pemberian obat tersebut.
Parameter yang menentukan antara lain adalah bioavailbilitas (proporsi obat yang diserap ke
dalam sirkulasi sistemik setelah pemberian atau masuknya obat ke dalam tubuh); konsentrasi
serum minimum dari obat tersebut (Cmin); konsentrasi serum maksimal (Cmax); waktu untuk
mencapai konsentrasi serum maksimal (Tmax); distirbusi volume (Vd-ukuran relative dari
distribusi obat ke seluruh tubuh); area dibawah konsentrasi serum-kurva waktu (AUC);
eliminasi waktu paruh (T1/2-waktu yang dibutuhkan untuk reduksi 50% dari konsentrasi
serum); dan waktu konsentrasi serum diatas MIC (T>MIC).4,6
Farmakodinamik (PD) dari sebuah obat mendeskripsikan efek dari konsentrasi plasma
antimikroba dan responnya, atau efek dari agen terhadap sel manusia dan patogen. PD
berkaitan erat dengan PK yang dapat ditemukan dan ditentukan. Konsentrasi obat dalam
plasma dimonitor pada waktu yang berbeda untuk menentukan parameter pokok dari PK
seperti klirens dan volume distribusi. Namun, terdapat kesulitan untuk menentukan secara
objektif dan tepat dari respon obat secara kuantitas. Parameter PD antara lain adalah waktu
dimana konsentrasi serum obat tetap diatas MIC untuk periode satu dosis (T>MIC), rasio dari
konsentrasi serum maksimal dengan MIC (Cmax/MIC) dan area konsentrasi pada kurva waktu
dalam periode 24 jam (AUC) dibagi dengan MIC (AUC/MIC). Beberapa agen masih
memberikan efek bakterisidal bahkan setelah terjadi klirens dari agen tersebut pada lokasi
terinfeksi. Post-antibiotic effects (PAE) telah diobservasi dan ditemukan bahwa agen dengan
PAE yang signifikan dapat tetap menekan pertumbuhan patogen bahkan setelah konsentrasi
serum di bawah MIC. Penggabungan antara PK dan PD adapat menentukan pemberian terapi
yang efektif dan optimal secara spesifik terhadap mikroorganisme atau patogen yang juga
spesifik.4,5,6

4
Gambar 2.4 Cmax, MIC, dan AUC berdasarkan konsentrasi plasma dan waktu

II. 3. MIC dan MBC

Secara umum antibiotic atau antibakteri dibagi menjadi dua kelompok: bakteriostatik
(menginhibisi pertumbuhan dari organisme) dan bakteriosid (membunuh organisme).
Antibiotik yang bersifat bakteriostatik membutuhkan bantuan dari host untuk dapat
mengeradikasi jaringan terinfeksi oleh bakteri, apabila terjadi gangguan pada system imun atau
kekebalan dari penjamu maka bakteri akan kembali menginfeksi atau aktif setelah efek dari
pemberian antibiotic hilang. Aktifitas antimikorbial ditentukan berdasarkan MIC (Minimum
Inhibitory Concentration) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration). MIC
didefinisikan sebgai konsentrasi minimal dari antibiotic yang mencegah terjadinya turbid pada
suspensi bakteri 105 colony-forming units (CFU) dari bakteri/mL setelah overnight incubation.
Turbidity biasanya ditandai dengan peningkatan setidaknya 10 kali lipat pada densitas
bacterial. Apabila konsentrai minimal antibiotic yang mencegah turbidity dapat menurunkan
densitas bakteri dari 105 hingga menjadi setidaknya 102 CFU/mL konsentrasi minimal yang
mencegah turbiditas tersebut juga merupakan MBC. Pada antibiotic yang bersifat baktersidal
biasanya nilai MBC akan sama dan seringkali tidak melebihi 4 kali lipat dari nilai MIC.
Sebaliknya pada antibiotic bersifat bekteriostatik nilai MBC akan berkali-kali lipat lebih tinggi
dibandingkan nilai MIC. Antibiotik bakteriostatik diantaranya adalah: macrolide, clindamycin
teteracyclines, sulfonamides dan chloramphenicols. Antibiotic golongan bakterisidal antara

5
lain adalah: beta-lactams, vancomycin, amynoglycosides, fluorokuinolons, dan
metronidazoles.6

Gambar 2.3 Antibiotik farmakodinamik. A, waktu pada saat konsentrasi antibiotic


melebihi MBC. B, Waktu saat konsentrasi antibiotic di bawah MBC namun di atas MBC. C,
efek antimikroba presisten (PAE). D, pertumbuhan bakteri residual6

II. 4. Time-Dependent Agents

Jenis antibiotic time-dependent baru akan menunjukkan efek antimikroba pada saat
mencapai batas maksimal dan berhenti setelah serum konsentrasi di bawah MIC, atau dengan
kata lain efek membunuh bakteri muncul saat ambang batas terlampaui. T>MIC
mengakibatkan efek antibacterial dan digambarkan sebagai persentase dari interval pemberian
dosis. T>MIC dapat diperpanjang dengan menambahkan frekuensi pemberian dosis.
Antibiotik golongan betalaktam (penicillins, cephalosporins, dan carbapenems)
mencapai puncak efektivitas pada konsentrasi 4-5 kali di atas MIC, peningkatan konsentrasi
tidak menunjukkan peningkatan aktivitas bakterisidal. Magnitudo dari efek membunuh
patogen lebih dipengaruhi oleh durasi paparan bakteri dengan antibiotik (T>MIC) dibanding
derajat paparan diatas MIC. T>MIC yang efektif dapat dicapai dengan pemberian dosis tinggi
dalam interval waktu yang singkat atau dengan pemberian melalui infus yang terus menerus.
Pemberian infus berkelanjutan mengoptimalisasi efek dari antimikroba dan meminimalisir
fluktuasi dari konsentrasi serum.1,4

6
II. 5. Concentration-dependent Agents

Cmax/MIC dan AUC/MIC menjadi acuan untuk efektivitas dari bakterisidal sebuah
antibiotic. Jenis antibiotic quinolones, dan aminoglycosides menunjukkan efek bakterisidal
bergantung dengan konsentrasi. Tingkat konsentrasi serum antibiotik concentration-dependent
yang tinggi mempercepat kemampuan antibiotic tersebut dalam membuhuh bakteri. Akantetapi
peningkatan Cmin juga meningkatkan toksisitas dari antibiotic. Pemberian dosis tinggi dengan
interval yang diperpanjang pada saat ini menjadi pilihan klinisi dalam mengoptimalisasi efek
bakterisidal.4

Gambar 2.5 Kelas antibiotic dan strategi optimalisasi antibiotik1

7
BAB III
KESIMPULAN

Peningkatan jumlah bakteri yang resisten terhadap pemberian antibiotic pada beberapa
tahun terakhir sebagian disebabkan karena pemberian antibiotic yang tidak sesuai baik secara
dosis, frekuensi maupun jenis antibiotic. Penemuan antibiotic jenis baru tidak dapat membantu
untuk mengatasi terjadinya resistensi pada beberapa jenis bakteri, sejauh ini penelitian untuk
bakteri jenis baru memakan waktu lama, tidak sesuai dengan penginkatan jumlah bakteri
resisten. Diperlukan metode baru dalam menangani permasalahan resistensi.
Melalui farmakodinamik dan farmakokinetik dari obat, dapat dipelajari untuk
meningkatkan atau mengoptimalisasi efek dari suatu obat yang dapat membantu menangani
masalah resistensi bakteri saat ini. Pemberian antibiotic perlu diperhatikan jenis, durasi,
frekuensi, maupun dosis supaya menjadi efektif dan tepat guna, dengan demikian dapat
mengurangi atau setidaknya menekan timbulnya resistensi pada jenis-jensi bakteri.

8
DAFTAR PUSTAKA

1
Conors KP, Kuti JL, Nicolau DP. Optimizing Antibiotic Pharmacodynamics for Clinical
Practice. Center for Anti-Infective Research and Development, Hartford Hospital, Hartford
Connecticut. USA. 2013

2
Butler MS, Cooper MA. Antibiotics in the clinical pipeline in 2011. J Antibiot. Tokyo. 2011

3
Jabes D. The antibiotic R&D pipeline: an update. Curr Opin Microbiol. 2011

4
Finberg RW, Guharoy R, Clinical Use of Anti-infective Agents: A Guide on How to
Prescribe Drugs Used to Treat Infections. Springer Science+Bussines Media. 2012.

5
Kapoor G, Saigal S, Elongavan A. Action and Resistance Mechanisms of Antibiotics: A
Guide for Clinicians. Journal of Anaesthesiology Clinical Pharmacology. 2017.

6
Levison ME, Levison JH. Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of Antibacterial
Agents. National Library of Medicine National Institutes of Health. 2013.

Anda mungkin juga menyukai