TINJAUAN PUSTAKA
3.1.2 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah yang terus berkembang di seluruh dunia yang
mengenai lebih dari dua puluh juta orang. Secara keseluruhan, prevalensi gagal jantung pada
populasi dewasa di negara maju adalah 2%. Sekitar 6,2 juta masyarakat di Amerika Serikat
memiliki manifestasi klinis gagal jantung pada periode 2013-2016. Berdasarkan data
Pusdatin pada tahun 2013, penderita gagal jantung di Indonesia paling banyak ditemukan
pada kelompok usia 55-64 tahun dan kelompok jenis kelamin wanita. Di Eropa, insidensi
1
gagal jantung bervariasi 0,4-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata
usia 74 tahun.2,3
Prevalensi gagal jantung mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring usia, dan
mengenai 6-10% orang dengan usia >65 tahun. Insidensi gagal jantung pada pria dua kali
lipat lebih tinggi seiring penambahan usia tiap 10 tahun setelah usia 65 tahun. Meskipun
insidensi relatif gagal jantung lebih rendah pada wanita dibandingkan pria, wanita
menyumbang setidaknya setengah kasus gagal jantung karena usia harapan hidup yang lebih
panjang. Di Amerika Utara dan Eropa, risiko terjadinya gagal jantung mencapai 1 dari 5
orang pada usia 40 tahun.2
3.1.3 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh adanya disfungsi miokardium, endokardium,
perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, gangguan katup, dan kelainan irama. Pada
negara-negara industri seperti Eropa dan AS, penyakit jantung koroner merupakan penyebab
utama gagal jantung pada pria dan wanita dan bertanggung jawab atas 60-75% kasus.
Hipertensi juga berkontribusi atas 75% kasus gagal jantung, termasuk pada kebanyakan
pasien dengan penyakit jantung koroner. Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai
etiologi utama gagal jantung, namun berdasarkan data rumah sakit di Palembang, hipertensi
merupakan penyebab gagal jantung terbanyak, diikuti penyakit jantung koroner dan katup.
Penyakit jantung koroner dan hipertensi saling meningkatkan risiko gagal jantung, begitu
pula diabetes mellitus (DM).1,2
Etiologi gagal jantung dapat dibedakan berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada
pasien. Pada 20-30% kasus gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, etiologi dasarnya
tidak diketahui. Pasien-pasien tersebut dirujuk dengan kardiomiopati non-iskemik, dilatasi,
atau idiopatik jika penyebabnya belum diketahui. Riwayat infeksi virus sebelumnya atau
paparan toksin, seperti alkoholik atau kemoterapi juga dapat memicu terjadinya
kardiomiopati dilatasi. Selain itu, kardiomiopati dilatasi juga dapat terjadi sekunder terhadap
defek genetik spesifik, seperti gen-gen pada sitoskeleton.2
Berikut ini adalah etiologi gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi dan cardiac output.
Fraksi Ejeksi Menurun (≤40%)
Penyakit arteri koronaria Chronic volume overload
● Infark Miokard ● Penyakit katup regurgitasi
● Iskemia Miokard ● Pirau aliran intrakardiak (kiri
ke kanan)
● Pirau aliran ekstrakardiak
Chronic pressure overload Penyakit paru kronik
● Hipertensi ● Cor pulmonal
● Penyakit katup obstruktif ● Gangguan vaskular paru
Kardiomiopati dilatasi non-iskemik Kerusakan akibat obat/zat toksik
● Gangguan genetik/familial ● Gangguan metabolik
● Gangguan infiltratif ● Virus
Penyakit Chagas Gangguan frekuensi dan ritme jantung
● Bradiaritia kronik
● Takiaritmia kronik
Fraksi Ejeksi Mid-Range (41%-49%)
Penyakit jantung iskemik Hipertensi
Penyakit ginjal kronis Penuaan
Fraksi Ejeksi Menetap (≥50%)
Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif
● Primer (kardiomiopati ● Gangguan infiltratif
hipertrofik) (amiloidosis, sarkoidosis)
● Sekunder (hipertensi) ● Storage disease
(hemokromatosis)
Penuaan Fibrosis
Gangguan endomiokardium
Keadaan High-Output
Gangguan metabolik Kebutuhan aliran darah yang berlebih
● Tirotoksikosis ● Systemic arteriovenous
shunting
● Anemia kronik
Gangguan nutrisional Penyakit Paget
● Beri-beri
Keadaan Low-Output
Hipertensi Kardiomiopati dilatasi
Kelainan katup Kelainan perikardium
3.1.5 Patofisiologi
Pada gagal jantung, remodelling ventrikel kiri terjadi sebagai respon terhadap
serangkaian kejadian kompleksi yang terjadi pada tingkat seluler dan molekular. Perubahan
yang terjadi meliputi:
a. Hipertrofi miosit
b. Perubahan kontraksi miosit
c. Kematian miosit secara progresif melalui proses nekrosis, apoptosis, dan kematian sel
autofagi
d. Desensitisasi β-adrenergik
e. Metabolisme dan energi miokardium yang abnormal
f. Reorganisasi matriks ekstraselular dengan disolusi kolagen struktural terorganisasi
disekitar miosit, sehingga digantikan dengan matriks kolagen interstisial yang tidak
menyediakan dukungan struktural pada miosit.
Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
● Sesak napas ● Peningkatan JVP
● Orthopneu ● Refluks hepatojugular
● Paroxysmal Nocturnal Dispneu ● Suara S3 gallop
(PND) ● Apeks jantung bergeser ke
● Toleransi aktivitas berkurang lateral
● Cepat lelah ● Murmur jantung
● Bengkak pada pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang Tipikal
● Batuk malam/dini hari ● Edema perifer
● Mengi ● Krepitasi pulmonal
● Berat badan bertambah ● Suara pekak di basal paru
>2kg/minggu saat perkusi
● Berat badan turun (gagal jantung ● Takikardia
stadium lanjut) ● Nada iregular
● Kembung/begah ● Napas cepat
● Mafsu makan menurun ● Hepatomegali
● Perasaan bingung (terutama pada ● Ascites
lansia) ● Kaheksia
● Depresi
● Berdebar
● Pingsan
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dengan minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor terpenuhi. 1
g. Latihan Fisik
Pada pasien gagal jantung kronik yang stabil, latihan fisik direkomendasikan.
Program latihan fisik, baik yang dikerjakan di rumah sakit ataupun di rumah, memiliki
efek yang sama baiknya. Latihan fisik yang dapat dilakukan adalah jalan 3-5
kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang.7
3.1.8.2 Farmakologis
Tujuan terapi gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi
(EF≤40%) adalah untuk mengurangi risiko kematian, mencegah
masuk rumah sakit berulang akibat perburukan gagal jantung
(menurunkan risiko kesakitan), dan memperbaiki status klinis,
kapasitas fungsional, serta kualitas hidup. Pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun, farmakoterapi
merupakan landasan utama tata laksana. Gambar berikut ini
merupakan strategi pengobatan pada pasien gagal jantung dengan
penurunan fraksi ejeksi.8
Gambar 3. Manajemen Pasien Gagal Jantung dengan Penurunan Fraksi Ejeksi8
Modulasi sistem renin angiotensin-aldosteron dan saraf simpatis melalui obat golongan
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensin Receptor-Neprilysin
Inhibitor (ARNI), β-blocker, dan Mineralocorticoid Receptor Antagonist (MRA) telah
menunjukkan peningkatan survival, menurunkan risiko masuk rumah sakit, dan meringankan
gejala pada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi. Oleh karena itu, obat-obatan
tersebut menjadi dasar farmakoterapi pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi,
kecuali jika pasien kontraindikasi atau tidak toleran terhadap obat-obatan ini. ARNI dapat
digunakan sebagai terapi pengganti ACE-I pada pasien yang tetap mengalami gejala atau
tidak terdapat perbaikan dengan pemberian ACE-I. The Sodium-Glucose Co-Transporter 2
(SGLT2) inhibitors dapagliflozin and empagliflozin dapat ditambahkan ke dalam terapi
bersama ACE-I/ARNI, β-blocker, dan Mineralocorticoid Receptor Antagonist (MRA) untuk
menurunkan risiko kematian kardiovaskular dan perburukan gagal jantung pada pasien
dengan penurunan fraksi ejeksi. Obat-obatan ini direkomendasikan pada semua pasien
dengan gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi tanpa memerhatikan apakah pasien
menderita diabetes atau tidak. Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan pada pasien dengan
penurunan fraksi ejeksi adalah diuretik, Angiotensin II type 1 Receptor Blocker (ARB), If-
channel inhibitor, kombinasi hidralazine dan Isosorbide Dinitrate (ISDN), digoksin, dan
soluble guanylate cyclase stimulator.8
Loop diuretic dirokemendasikan untuk menurunkan tanda dan/atau gejala kongesti pada
pasien dengan penurunan fraksi ejeksi. Loop diuretic menghasilkan diuresis yang lebih intens
dengan kerja yang lebih singkat dibandingkan thiazid meskipun keduanya bekerja secara
sinergis. Apabila terdapat resistensi diuretik, kedua jenis diuretik ini dapat dikombinasikan.
Namun efek samping lebih sering terjadi pada kombinasi keduanya sehingga pemberian
dalam bentuk kombinasi harus dilakukan secara hati-hati. Perlu diingat, ARNI, MRA, dan
SGLT2 inhibitor juga memiliki sifat diuretik. Prinsip penggunaan diuretik adalah mencapai
keadaan euvolemia dengan dosis diuretik serendah-rendahnya.8
Penggunaan ARB pada tatalaksana gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksitelah
berubah seiring waktu dalam beberapa tahun terakhir. Kini, ARB direkomendasikan pada
pasien yang tidak toleran terhadap ACE-I atau ARNI. Berdasarkan studi alternatif CHARM,
penggunaan Candesartan dapat menurunkan risiko kematian kardiovaskular dan risiko masuk
rumah sakit pada pasien yang tidak menerima ACE-I karena intoleransi sebelumnya.
Valsartan sebagai terapi tambahan terhadap terapi dasarnya, termasuk ACE-I, menurunkan
risiko masuk rumah sakit akibat gagal jantung pada Val-HeFT trial.8
Ivabradine (If-channel inhibitor) memperlambat denyut jantung dengan menghambat If-
channel pada sinus node. Oleh karena itu, ivabradine hanya efektif pada
pasien dengan irama sinus. Ivabradine menurunkan risiko kematian
kardiovaskular dan risiko masuk rumah sakit pada pasien gagal
jantung simtomatis dengan penurunan fraksi ejeksi ≤35%, riwayat
masuk rumah sakit dalam 12 bulan terakhir, irama sinus, dan HR≥70
kali/menit.8
Tidak ada bukti yang jelas untuk merekomendasikan terapi kombinasi hidralazin dan
ISDN dengan dosis pasti pada semua pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi.
Suatu penelitian RCT kecil pada pasien kulit hitam, tambahan kombinasi kedua obat ini pada
terapi konvensional (ACE-I, β-blocker, dan MRA) dapat menurunkan risiko kematian dan
masuk rumah sakit pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan NYHA kelas III-IV.
Namun penelitian ini sulit diterapkan pada ras atau suku lainnya. Kombinasi kedua obat ini
direkomendasikan pada pasien simtomatis dengan penurunan fraksi ejeksi yang intoleransi
atau kontra indikasi terhadap ACE-I, ARNI, atau ARB untuk menurunkan risiko kematian.8
Digoksin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan
memiliki irama jantung yang sinus untuk menurunkan risiko masuk rumah sakit. Selain itu,
pada pasien simtomatis gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi dan fibrilasi atrial
dengan denyut ventrikel yang cepat, digoksin dapat berguna ketika opsi terapi lainnya tidak
dapat dilakukan. Namun digoksin memiliki therapeutic window yang sempit sehingga
kadarnya harus diperiksa agar konsentrasi digoksin serum tetap <1,2 ng/mL. Perlu
diperhatika pemberiannya pada pasien wanita, lansia, lemah, hipokalemia, dam subjek kurang
gizi. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, digitoksin dapat dipertimbangkan. Namun,
pengguanaan digitoksin pada pasien gagal jantung dengan irama sinus masih dalam tahap
penyelidikan.8
Studi VICTORIA menilai efikasi dan keamanan vericiguat oral (soluble guanylate
cyclase stimulator) pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan gagal ginjal
dekompensata. Insidensi kematian akibat penyakit kardiovaskular dan insidensi masuk rumah
sakit akibat gagal jantung lebih rendah dibanding pasien-pasien yang mendapatkan plasebo.
Oleh karena itu, vericiguat dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pada penurunan
fraksi ejeksi untuk menurunkan risiko kematian kardiovaskular dan masuk rumah sakit akibat
gagal jantung.8
Berdasarkan panduan praktik klinis interna tahun 2019, secara praktik, berikut ini
merupakan terapi farmakologis pilihan pada gagal jantung.
a. Diuretik
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan diuretik regular dosis
rendahdengan tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema. Pada awal terapi, dapat dipilih golongan loop diuretic atau
tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis dapat dinaikkan, berikan diuretik IV, atau
kombinasikan loop diuretic dengan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton
dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung sedang hingga berat (kelas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik.
b. ACE-I
Penghambat reseptor ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal pada
gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai
dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu hingga mencapai dosis efektif.
c. β-blocker
Penghambat reseptor beta bermanfaat sama seperti penghambat reseptor ACE.
Pemberian dimulai dari dosis kecil kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan
kontrol yang ketat sindroma gagal jantung. Biasanya diberikan saat kondisi pasien
sudah stabil pada gagal jantung kelas II dan III. Penghambat reseptor beta yang dapat
digunakan meliputi carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-
sama dengan ACE-I dan diuretik.
d. ARB
Antagonis reseptor angiotensin II dapat digunakan bila terdapat kontraindikasi
penggunaan penghambat ACE.
e. Kombinasi hidralazin dan ISDN
Kombinasi kedua obat ini memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan
penghambat ACE sehingga dapat dipertimbangkan.
f. Digoksin
Digoksin diberikan pada pasien simtomatis dengan gagal jantung disfungsi ventrikel
kiri dan terutama yang disertai dengan fibrilasi atrial, digunakan bersamaan dengan
diuretik, ACE-I, dan β-blocker.
g. Antikoagulan dan antiplatelet
Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboliserebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi
atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis, dan transient ischemic attack,
trombus intrakardiak, dan aneurisma ventrikel.
h. Antiaritmia
Antiaritmia tidak direkomendasikan pada pasien yang asimtomatis atau aritmia
ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia kelas I harus dihindari kecuali pada aritmia
yang mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaronedapat digunakan
untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak.
3.1.9 Prognosis
Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis mencapai 30-40% sedangkan
dalam 5 tahun meningkat hingga 60-70%. Kematian disebabkan karena aritmia ventrikel.
Berdasarkan klasifikasi, NYHA kelas IV memiliki angka kematian 30-70%, sedangkan
NYHA kelas II 5-10%.1,2
3.2 Penyakit Ginjal Kronik
3.2.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang ireversibel.
Menurut guideline The National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality
Initative (NKF KDOQI), kriteria penyakit ginjal kronik sebagai berikut:11
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi:
4) Kelainan patologis
5) Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/l ,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau
lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. 11
3.2.2 Epidemiologi
Di Pada tahun 2017, terdapat 697,5 juta kasus CKD, dengan kasus CKD terbanyak
berada di China dan India. Prevalensi CKD mencapai 9,1% dari populasi manusia di dunia,
dengan pembagian CKD stadium 1-2 sebanyak 5%, stadium 3 sebanyak 3,9%, stadium 4
sebanyak 0,16%, stadium 5 sebanyak 0,07%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2018, prevalensi
CKD di Indonesia yaitu 449.800 orang, dengan prevalensi tertinggi di provinsi Maluku
sebanyak 4.351 orang. Menurut IRR 2018, pasien CKD lebih banyak pada laki-laki (57%)
dibandingkan perempuan (43%) dengan distribusi usia pasien terbanyak yaitu pada rentang
usia 45-54 tahun (30,82%).10
3.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar kategori albuminuria. Klasifikasi atas dasar derajat
penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-
Gault sebagai berikut: 11,13
( 140−umur ) xberat badan(kg)
LFG (ml/mnt/l ,73m =2
mg *)
72 xkreatinin plasma( )
dl
*pada perempuan dikalikan 0.85
3.2.4 Etiologi
Beberapa penyebab penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut.
1) Diabetes
Data dari United States Renal Data System 2009 menyebutkan bahwa sekitar 50%
pasien gagal ginjal terminal di Amerika Serikat merupakan penderita diabetes.
Tingginya kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus membuat ginjal harus
bekerja lebih keras dalam proses penyaringan darah, dan mengakibatkan kebocoran
pada ginjal. Awalnya, penderita akan mengalami kebocoran protein albumin yang
dikeluarkan oleh urin, kemudian berkembang dan mengakibatkan fungsi penyaringan
ginjal menurun. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus maka akan mengakibatkan
terjadinya gangguan ginjal kronis. 11
Pada penderita diabetes mellitus juga mempunyai kadar kolesterol dan trigliserida
plasma yang tinggi, sedangkan konsentrasi HDL (high density lipoprotein) sebagai
pembersih plak biasanya sangat rendah. Sirkulasi yang buruk ke beberapa organ
mengakibatkan hipoksia dan cedera jaringan, yang akan merangsang reaksi peradangan
yang dapat menimbulkan aterosklerosis. Patogenesis aterosklerosis dimulai dengan
adanya pada pembuluh darah. Dengan adanya hiperglikemia yang kronis, insulin dapat
secara langsung menstimulasi pembentukan aterosklerosis. Aterosklerosis akan
menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah yang berakibat pada berkurangnya
suplai darah ke ginjal. Hal ini akan mengakibatkan gangguan pada proses filtrasi di
glomerulus yang dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal.11
2) Hipertensi
Berdasarkan United States Renal Data System 2009, 51-63% dari semua pasien
GGK merupakan penderita hipertensi. Menurut American Kidney Fund, hipertensi
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan ginjal kronis. Peningkatan tekanan dan
regangan yang berlangsung kronis pada arteriol kecil dan glomeruli akan menyebabkan
pembuluh ini mengalami sklerosis. Lesi-lesi sklerotik pada arteri kecil, arteriol, dan
glomeruli menyebabkan terjadinya nefrosklerosis. Lesi ini bermula dari adanya
kebocoran plasma melalui membran intima pembuluh-pembuluh ini, hal ini
mengakibatkan terbentuknya deposit fibrinoid di lapisan media pembuluh darah, yang
disertai dengan penebalan progresif pada dinding pembuluh darah yang nantinya akan
membuat pembuluh darah menjadi vasokonstriksi dan akan menyumbat pembuluh
darah tersebut. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan
glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan
terjadinya gangguan ginjal kronis. 11
3) Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama pada glomerulus.
Glomerulonefritis terbagi menjadi dua, yaitu glomerulonefritis akut dan
glomerulonefritis kronis. Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat respon imun
terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta A). Glomerulonefritis
kronis tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga tubulus. Inflamasi ini mungkin
diakibatkan infeksi streptokokus, tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit
sistemik lain atau glomerulonefritis akut. 14
4) Pielonefritis kronis
Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri. Inflamasi
dapat berawal di traktus urinaria bawah (kandung kemih) dan menyebar ke ureter, atau
karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi traktus urinaria terjadi
akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau defek kongenital yang memicu
terjadinya pielonefritis. 14
5) Batu ginjal
Batu ginjal atau kalkuli urinaria terbentuk dari pengendapan garam kalsium,
magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersama urine, batu
yang lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri yang tajam
(kolik ginjal) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan. 14
6) Penyakit ginjal polikistik
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan berekspansi yang
lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat
penekanan.15
7) Penyakit endokrin (nefropati diabetik)
Nefropati diabetik (peyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan salah satu penyebab
kematian terpenting pada diabetes mellitus yang lama. Lebih dari sepertiga dari semua
pasien baru yang masuk dalam program ESRD (End Stage Renal Disease) menderita
gagal ginjal. Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di
ginjal pada diabetes mellitus. 15
3.2.5 Faktor Risiko
Faktor risiko dari penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut.
1) Diabetes Melitus
Sekitar 40% dari pasien diabetes mellitus (DM) terdapat keterlibatan ginjal. Pada pasien
DM berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih,
infeksi batu saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik dan juga berbagai bentuk
glomerulonefritis yang selalu disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien
diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya
adalah penyakit ginjal diabetik, berupa glomerulosklerosis yang noduler dan difus. 16
2) Hipertensi
Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya hipertensi
dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan ginjal. Secara klinis sukar dibedakan
kedua keadaan ini, terutama pada keadaan penyakit ginjal menahun. Apakah hipertensi
yang menyebabkan penyakit ginjal menahun, atau penyakit ginjal yang menyebabkan
naiknya tekanan darah dan untuk mengetahui keadaan ini diperlukan adanya catatan
medis yang teratur dalam jangka waktu panjang. Beratnya pengaruh hipertensi pada
ginjal tergantung pada tingginya tekanan darah dan lamanya penderita hipertensi.
Makin tinggi tekanan darah dan lamanya penderita hipertensi makin berat komplikasi
yang dapat ditimbulkan.16
3) Obesitas Sentral
Seiring dengan terjadinya epidemi obesitas, disini juga terjadi peningkatan dari penyakit
ginjal tahap akhir pada dewasa, dan di populasi di perkirakan akan terjadi peningkatan
kejadian PGK dua kali lipat tiap dekadenya. Obesitas sudah dikenal baik sebagai faktor
risiko untuk hipertensi dan diabetes, yang merupakan penyebab tersering dari penyakit
ginjal tahap akhir. Sangat penting diketahui, bahwa dari studi observasional jangka
panjang bahwa terdapat hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian
baru dari penyakit ginjal tahap akhir. Selaras dengan hal tersebut, rasio pinggang ke
pinggul (waist to hip ratio) atau lingkar pinggang sudah diterima secara luas sebagai
faktor risiko PGK. 16
4) Usia
Hasil hubungan variabel usia secara statistik dengan kejadian penyakit ginjal kronik
mempunyai hubungan yang bermakna antara usia 60 tahun pada pasien hemodialisis.
Secara klinik pasien usia >60 tahun mempuyai risiko 2 kali lebih besar mengalami
gagal ginjal kronis dibandingkan dengan pasien usia. 16
5) Merokok
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan antara riwayat merokok dan kejadian
penyakit ginjal kronis pada pasien yang menjalani hemodialisa. Efek merokok fase akut
yaitu meningkatkan pacuan simpatis yang akan berakibat pada peningkatan tekanan
darah, takikardi, dan penumpukan katekolamin dalam sirkulasi. Pada fase akut beberapa
pembuluh darah juga sering mengalami vasokonstriksi misalnya pada pembuluh darah
koroner, sehingga pada perokok akut sering diikuti dengan peningkatan tahanan
pembuluh darah ginjal sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan fraksi
filter. 16
6) Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin secara statistik ada
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan
dengan kejadian penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisis. Secara klinik laki-laki
mempunyai risiko mengalami penyakit ginjal kronik 2 kali lebih besar daripada
perempuan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan
dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah
terkena penyakit ginjal kronis dibandingkan perempuan. Perempuan lebih patuh
dibandingkan laki-laki dalam menggunakan obat karena perempuan lebih dapat
menjaga diri mereka sendiri serta bisa mengatur tentang pemakaian obat. 16
3.2.6 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi
jangka panjang aksis renin angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstisial. 11
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan
pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat
badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lainnya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal.
Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. 11
3.2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: 11
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 10. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya. 11,13
Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renaI merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering
terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan
tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien
dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.11
Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik
secara umum yaltu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat
sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor.
Asupan fosfat dibatasi 600- 800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat
tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.11
b. Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida,
garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat
absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. 11
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada
kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga
colcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta
efek samping yang minimal. 11
3.2.10 Prognosis
CKD pada tahap awal dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan tingkat
pemanfaatan layanan kesehatan. Pasien PGK memiliki risiko lebih tinggi untuk dirawat di
rumah sakit dan peningkatan risiko untuk berkomplikasi menjadi penyakit kardiovaskular.
Risiko ini meningkat seiringan dengan penurunan nilai GFR. PGK merupakan penyakit yang
progresif dan dapat menjadi end-stage renal disease (ESRD) dan membutuhkan terapi
pengganti ginjal, seperti dialysis dan transplantasi. Penting sekali untuk merujuk pasien PGK
stadium 4 dan 5, terlambat merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi penggantian
ginjal) berkaitan erat dengan meningkatnya angka mortalitas setelah dialisis dimulai. Pasien
PGK derajat akhir memiliki peningkatan risiko kematian yang dikarenakan adanya
komplikasi dari penyakit kardiovaskular. Five year survival untuk pasien dialisis hanya
sekitar 34%.17
3.3.2 Epidemiologi
Gout mengenai 1-2% populasi dewasa, dan merupakan kasus artritis inflamasi
terbanyak pada pria. Prevalensi penyakit gout diperkirakan antara 13.6 per 1000 pria dan 6.4
per 1000 wanita. Prevalensi gout meningkat sesuai umur dengan rerata 7% pada pria umur
>75 tahun dan 3% pada wanita umur >85 tahun. Penelitian di Indonesia oleh Raka Putra dkk
menunjukkan prevalensi hiperurisemia di Bali 14.5%, sementara penelitian pada etnis
Sangihe di pulau Minahasa Utara oleh Ahimsa & Karema K didapatkan prevalensi gout
sebesar 29.2%.17
3.3.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, penyakit asam urat digolongkan menjadi 2, yaitu:
1. Gout primer
Penyebab kebanyakan belum diketahui (idiopatik). Hal ini diduga berkaitan dengan
kombinasi faktor genetik dan faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme
yang dapat mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat. Hiperurisemia atau
berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh dikatakan dapat menyebabkan terjadinya
gout primer. 18
Hiperurisemia primer adalah kelainan molekular yang masih belum jelas diketahui.
Berdasarkan data ditemukan bahwa 99% kasus adalah gout dan hiperurisemia primer. Gout
primer yang merupakan akibat dari hiperurisemia primer, terdiri dari hiperurisemia karena
penurunan ekskresi (80-90%) dan karena produksi yang berlebih (10-20%).18
Hiperurisemia karena kelainan enzim spesifik diperkirakan hanya 1% yaitu karena
peningkatan aktivitas varian dari enzim phosporibosylpyrophosphatase (PRPP) synthetase,
dan kekurangan sebagian dari enzim hypoxantine phosporibosyltransferase (HPRT).
Hiperurisemia primer karena penurunan ekskresi kemungkinan disebabkan oleh faktor
genetik dan menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat yang menyebabkan
hiperurisemia.18
2. Gout sekunder
Gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu kelainan yang menyebabkan
peningkatan biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP
atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan sekresi menurun.
Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis de novo terdiri dari kelainan karena
kekurangan menyeluruh enzim HPRT pada syndome Lesh-Nyhan, kekurangan enzim
glukosa-6 phosphate pada glycogen storage disease dan kelainan karena kekurangan enzim
fructose-1 phosphate aldolase melalui glikolisis anaerob. 18
Hiperurisemia sekunder karena produksi berlebih dapat disebabkan karena keadaan
yang menyebabkan peningkatan pemecahan ATP atau pemecahan asam nukleat dari dari inti
sel. Peningkatan pemecahan ATP akan membentuk AMP dan berlanjut membentuk IMP atau
purine nucleotide dalam metabolisme purin, sedangkan hiperurisemia akibat penurunan
ekskresi dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal,
penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid clearence dan pemakaian obat-
obatan. 18
2) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol meningkatkan produksi
asam urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari
metabolisme normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal
sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum.18
3) Konsumsi ikan laut
Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi. Konsumsi ikan
laut yang tinggi mengakibatkan asam urat. 18
4) Penyakit
Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan hiperurisemia, misalnya obesitas,
diabetes melitus, penyakit ginjal, hipertensi, dislipidemia, dsb. Adipositas tinggi dan
berat badan merupakan faktor resiko yang kuat untuk gout pada laki-laki, sedangkan
penurunan berat badan adalah faktor pelindung.18
5) Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya hiperurisemia. Mis. Diuretik,
antihipertensi, aspirin, dsb. Obat-obatan juga mungkin untuk memperparah keadaan.
Diuretik sering digunakan untuk menurunkan tekanan darah, meningkatkan produksi
urin, tetapi hal tersebut juga dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk membuang
asam urat. Hal ini pada gilirannya, dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah
dan menyebabkan serangan gout. Gout yang disebabkan oleh pemakaian diuretik dapat
"disembuhkan" dengan menyesuaikan dosis. Serangan Gout juga bisa dipicu oleh
kondisi seperti cedera dan infeksi.hal tersebut dapat menjadi potensi memicu asam urat.
Hipertensi dan penggunaan diuretik juga merupakan faktor risiko penting independen
untuk gout. Aspirin memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu: dosis rendah
menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat, sedangkan dosis
tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik. 18
6) Jenis Kelamin
Pria memiliki risiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan perempuan pada
semua kelompok umur, meskipun rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama
pada usia lanjut. Dalam Kesehatan dan Gizi Ujian Nasional Survey III, perbandingan
laki-laki dengan perempuan secara keseluruhan berkisar antara 7:1 dan 9:1. Dalam
populasi managed care di Amerika Serikat, rasio jenis kelamin pasien laki-laki dan
perempuan dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih muda dari 65 tahun, dan 3:1
pada mereka lima puluh persen lebih dari 65 tahun. Pada pasien perempuan yang lebih
tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi datang ke dokter didiagnosa sebagai gout, dan
proporsi dapat melebihi 50% pada mereka yang lebih tua dari 80 tahun. 18
3.3.5 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria dewasa kurang dari 7
mg/dl, dan pada wanita kurang dari 6 mg/dl. Apabila konsentrasi asam urat dalam serum
lebih besar dari 7 mg/dl dapat menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat. Serangan
gout tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau penurunan secara mendadak kadar
asam urat dalam serum. Jika kristal asam urat mengendap dalam sendi, akan terjadi respon
inflamasi dan diteruskan dengan terjadinya serangan gout. Dengan adanya serangan yang
berulang – ulang, penumpukan kristal monosodium urat yang dinamakan thopi akan
mengendap dibagian perifer tubuh seperti ibu jari kaki, tangan dan telinga. Akibat
penumpukan Nefrolitiasis urat (batu ginjal) dengan disertai penyakit ginjal kronis.20
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari
depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau dengan
hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan patella
yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian, gout ataupun
pseudogout dapat timbul pada keadaan asimptomatik. Pada penelitian penulis didapat 21%
pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperatur, pH, dan kelarutan urat
untuk timbul serangan gout. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih rendah
pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa kristal monosodium
urat diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal
monosodium urat pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma
ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut.20
Aktivasi komplemen
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik dan jalur
alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi aktivasi komplemen C1 tanpa peran immunoglobulin.
Pada keadaan monosodium urat tinggi, aktivasi sistem komplemen melalui jalur alternatif
terjadi apabila jalur klasik terhambat. Aktivasi C1 melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi
kolikrein dan berlanjut dengan mengaktifkan Hageman factor (Faktor XII) yang penting
dalam reaksi kaskade koagulasi. Ikatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses
opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai peranan penting agar partikel tersebut
mudah untuk dikenal, yang kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh neutrofil, monosit
dan makrofag. Aktivasi komplemen C5 (C5a) menyebabkan peningkatan aktivitas proses
kemotaksis sel neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan TNF. Aktivitas C3a
dan C5a menyebabkan pembentukan membrane attack complex (MAC). Membrane ini
merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang berperan dalam ion chanel yang
bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host. Hal ini membuktikan bahwa melalui
jalur aktivasi cascade komplemen kristal urat menyebabkan proses peradangan melalui
mediator IL-1 dan TNF serta sel radang neutrofil dan makrofag.20
Aspek selular
Pada proses inflamasi, makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam proses
peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL-1, TNF, IL-6
dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage Colony Stimulating Factor). Mediator ini
menyebabkan kerusakan jaringan dan mengaktivasi berbagai sel radang. Kristal urat
mengaktivasi sel radang dengan berbagai cara sehingga menimbulkan respon fungsional sel
dan gene expression. Respon fungsional sel radang tersebut antara lain berupa degranulasi,
aktivasi NADPH oksidasi gene expression. Sel radang melalui jalur signal transduction
pathway dan berakhir dengan aktivasi transcription factor yang menyebabkan gen berekspresi
dengan mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator kimiawi lain. signal transduction
pathway melalui 2 cara yaitu: dengan mengadakan ikatan dengan reseptor (cross-link) atau
dengan langsung menyebabkan gangguan nonspesifik pada membrane sel.
Ikatan dengan reseptor pada sel membrane akan bertambah kuat apabila kristal urat
berikatan sebelumnya dengan opsonin, misalnya ikatan immunoglobulin (Fc dan IgG) datau
dengan komplemen (C1q C3b). Kristal urat mengadakan ikatan cross-link dengan berbagai
reseptor, seperti reseptor adhesion molecule (integrin), nontyrosin kinase, reseptor Fc,
komplemen dan sitokin serta aktivasi reseptor melalui tirosin kinase dan second messenger
akan mengaktifkan transcription factor. 20
2) Artritis gout akut diselingi interval tanpa gejala klinis (fase interkritikal)
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam
waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit
yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan
utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa
demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang paling sering pada MTP-1 yang
biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena sendi lain
yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut dan siku. Serangan akut ini dilukiskan oleh
Sydenham sebagai: sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak diobati,
rekuren yang multipel, interval antar serangan singkat dan dapat mengenai beberapa
sendi. Pada serangan akut yang tidak berat, keluhan-keluhan dapat hilang dalam
beberapa jam atau hari. Pada serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu. 20
Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin,
kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan dan
peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah secara mendadak dengan alopurinol
atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.20
Serangan artritis gout akut yang pertama paling sering
mengenai sendi metatarsophalangeal (MTP) 1 yaitu sekitar
80−90% kasus, yang secara klasik disebut podagra. Onset
serangan tiba-tiba, sendi yang terkena mengalami eritema,
hangat, bengkak dan nyeri. Serangan artritis akut kedua dapat
dialami dalam 6 bulan sampai dengan 2 tahun setelah serangan
pertama. Serangan akut kedua dan seterusnya dapat mengenai
lebih dari satu persendian, dapat melibatkan tungkai atas,
durasi serangan lebih lama, interval antar serangan lebih
pendek dan lebih berat. Serangan artritis akut yang tidak
terobati dengan baik akan mengakibatkan artritis gout kronis.
20
Rekomendasi diagnosis: 21
1) Hiperurisemia tanpa gejala klinis ditandai dengan kadar asam urat serum > 6.8 mg/dl.
2) Serangan artritis gout akut ditandai dengan nyeri hebat, nyeri
sentuh/tekan, onset tiba-tiba, disertai bengkak dengan atau
tanpa eritema yang mencapai puncak dalam 6−12 jam pada satu
sendi (monoartritis akut). Manifestasi klinis gout yang tipikal,
yaitu podagra berulang disertai hiperurisemia.
3) Diagnosis definitif gout ditegakkan apabila ditemukan kristal MSU pada cairan sendi atau
aspirasi tofi.
4) Penemuan kristal MSU dari sendi yang tidak mengalami radang dapat menjadi diagnosis
definitif gout pada fase interkritikal.
5) Direkomendasikan pemeriksaan rutin kristal MSU terhadap semua sampel cairan sendi
bersumber dari sendi dengan inflamasi terutama pada kasus yang belum terdiagnosis.
6) Diagnosis gout akut, gout fase interkritikal, gout kronis dapat ditegakkan dengan kriteria
ACR/EULAR 2015.
7) Harus dilakukan evaluasi terhadap faktor risiko gout, penyakit komorbiditas termasuk
gambaran sindrom metabolik (obesitas, hiperglikemia, hiperlipidemia, hipertensi).
8) Gout dan artritis septik bisa merupakan kejadian koinsiden, sehingga pada saat dicurigai
terjadi artritis septik harus dilakukan pemeriksaan pengecatan Gram dan kultur cairan
sendi, walaupun telah didapatkan kristal MSU.
9) Kadar asam urat serum merupakan faktor risiko penting gout, namun nilai kadarnya
dalam serum tidak dapat memastikan maupun mengeksklusi adanya gout oleh karena
banyak orang mengalami hiperurisemia namun tidak menderita gout, disamping itu pada
serangan gout akut sangat mungkin terjadi saat kadar serum akan normal.
10) Ekskresi asam urat dari ginjal sebaiknya diukur kadarnya pada pasien gout dengan
kondisi khusus, terutama pada mereka yang memiliki riwayat keluarga, gout onset muda
yaitu usia.
3.3.8 Tatalaksana
Prinsip umum pengelolaan hiperurisemia dan gout: 21
1) Setiap pasien hiperurisemia dan gout harus mendapat informasi yang memadai tentang
penyakit gout dan tatalaksana yang efektif termasuk tatalaksana terhadap penyakit
komorbid.
2) Setiap pasien hiperurisemia dan gout harus diberi nasehat mengenai modifikasi gaya
hidup seperti menurunkan berat badan hingga ideal, menghindari alkohol, minuman
yang mengandung gula pemanis buatan, makanan berkalori tinggi serta daging merah
dan seafood berlebihan, serta dianjurkan untuk mengonsumsi makanan rendah lemak,
dan latihan fisik teratur.
3) Setiap pasien dengan gout secara sistematis harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan penapisan untuk penyakit komorbid terutama yang berpengaruh terhadap
terapi penyakit gout dan faktor risiko kardiovaskular, termasuk gangguan fungsi ginjal,
penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, penyakit arteri perifer, obesitas,
hipertensi, diabetes, dan merokok.
Gout Akut
Serangan gout akut harus mendapat penanganan secepat mungkin. Pasien harus
diedukasi dengan baik untuk dapat mengenali gejala dini dan penanganan awal serangan gout
akut. Pilihan obat untuk penanganan awal harus mempertimbangkan ada tidaknya
kontraindikasi obat, serta pengalaman pasien dengan obat-obat sebelumnya. 21
Rekomendasi obat untuk serangan gout akut yang onsetnya < 12 jam adalah kolkisin
dengan dosis awal 1 mg diikuti 1 jam kemudian 0.5 mg. Terapi pilihan lain diantaranya
OAINS, kortikosteroid oral dan/atau bila dibutuhkan aspirasi sendi diikuti injeksi
kortikosteroid. Kolkisin dan OAINS tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami
gangguan fungsi ginjal berat dan juga tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat
terapi penghambat P-glikoprotein dan/atau CYP3A4 seperti siklosporin atau klaritromisin. 21
Gambar 9. Algoritme pemilihan terapi pasien gout. 20
Obat penurun asam urat seperti alopurinol tidak disarankan memulai terapinya pada
saat serangan gout akut namun, pada pasien yang sudah dalam terapi rutin obat penurun asam
urat, terapi tetap dilanjutkan. 21
Obat penurun asam urat dianjurkan dimulai 2 minggu setelah serangan akut reda.
Terdapat studi yang menunjukkan tidak adanya peningkatan kekambuhan pada pemberian
alopurinol saat serangan akut, tetapi hasil penelitian tersebut belum dapat digeneralisasi
mengingat besar sampelnya yang kecil dan hanya menggunakan alopurinol. 21
Indikasi memulai terapi penurun asam urat pada pasien gout
adalah pasien dengan serangan gout ≥2 kali serangan, pasien
serangan gout pertama kali dengan kadar asam urat serum ≥ 8 atau
usia < 40 tahun. 21
Target terapi penurun asam urat adalah kadar asam urat serum < 6 mg/dL, dengan
pemantauan kadar asam urat dilakukan secara berkala. Pada pasien dengan gout berat
(terdapat tofi, artropati kronis, sering terjadi serangan artritis gout) target kadar asam urat
serum menjadi lebih rendah sampai < 5 mg/dL. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
membantu larutnya kristal monosodium urat (MSU) sampai terjadi total disolusi kristal dan
resolusi gout. Kadar asam urat serum < 3 mg/dL tidak direkomendasikan untuk jangka
panjang. 21
Semua pilihan obat untuk menurunkan kadar asam urat serum dimulai dengan dosis
rendah. Dosis obat dititrasi meningkat sampai tercapai target terapi dan dipertahankan
sepanjang hidup. Sebagai contoh alopurinol dimulai dengan dosis 100 mg/hari, kemudian
dilakukan pemeriksaan kadar asam urat setelah 4 minggu. Bila target kadar asam urat belum
tercapai maka dosis alopurinol ditingkatkan sampai target kadar asam urat tercapai atau telah
mencapai dosis maksimal. 21
Setiap pasien gout yang mendapatkan terapi penurun kadar asam urat berisiko
mengalami serangan gout akut, terutama pada awal dimulainya terapi penurun asam urat.
Semakin poten dan semakin besar dosis obat penurun asam urat, maka semakin besar pula
risiko terjadinya serangan akut. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya serangan akut
gout direkomendasikan untuk memberikan terapi profilaksis selama 6 bulan sejak memulai
terapi penurun kadar asam urat. Profilaksis yang direkomendasikan adalah kolkisin dengan
dosis 0.5–1 mg/hari, dosis harus dikurangi pada gangguan fungsi ginjal. 21
Bila terdapat intoleransi atau kontraindikasi terhadap kolkisin, dapat dipertimbangkan
pemberian OAINS dosis rendah sebagai terapi profilaksis selama tidak ada kontraindikasi. 21
Gambar 10. Algoritme Rekomendasi Pengelolaan Hiperurisemia Pada Pasien Gout21
Latihan Fisik
Latihan fisik dilakukan secara rutin 3−5 kali seminggu selama
30−60 menit. Olahraga meliputi latihan kekuatan otot,
fleksibilitas otot dan sendi, dan ketahanan kardiovaskular.
Olahraga bertujuan untuk menjaga berat badan ideal dan
menghindari terjadinya gangguan metabolisme yang menjadi
komorbid gout. Namun, latihan yang berlebihan dan berisiko trauma
sendi wajib dihindari. 21
Lain-lain
Disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok. 21
3.3.9 Prognosis
Dengan pengobatan dini, pemantauan yang ketat disertai edukasi terhadap penderita,
prognosis artritis gout umumnya baik.21
3.4.2 Epidemiologi
Hipertensi adalah salah satu patologi yang paling umum di Amerika mempengaruhi
sekitar 75 juta orang dewasa atau satu dari tiga orang dewasa AS. Dari pasien yang
didiagnosis dengan hipertensi, hanya 54% yang memiliki kontrol tekanan darah yang
memadai. Prevalensi global hipertensi adalah 26,4% yang menyumbang 1,1 miliar orang,
namun hanya satu dari lima orang yang memiliki tekanan darah yang baik. Satu studi
menemukan bahwa hipertensi berkepanjangan akhirnya menyebabkan gagal jantung dengan
waktu rata-rata 14,1 tahun.
Meta-analisis telah menunjukkan hubungan log-linear antara tekanan darah tinggi dan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular yang meningkat secara substansial dengan usia.
● Pada pasien usia 45-54 years old - 36.1% dari laki-laki, 33.2% dari perempuan
● Pada pasien usia 55-64 - 57.6% dari laki-laki dan 55.5% dari perempuan
● Pada pasien usia 65-74 - 63.6% dari laki-laki dan 65.8% dari perempuan
● Pada pasien usia 75 or older 73.4% dari laki-laki dan 81.2% dari perempuan
Hipertensi sedikit lebih sering terjadi pada wanita dan meningkatkan risiko gagal
jantung (3 kali lipat) dibandingkan dengan pria (2 kali lipat). Wanita lebih cenderung
memiliki tekanan darah yang tidak terkontrol dan penelitian terbaru menunjukkan kelas obat
antihipertensi tertentu mungkin kurang efektif pada wanita. Kelompok etnis tertentu memiliki
predisposisi yang lebih tinggi untuk hipertensi. Prevalensi hipertensi di antara populasi Afrika
Amerika adalah yang tertinggi dari semua kelompok etnis di dunia pada 45,0% untuk laki-
laki dan 46,3% untuk perempuan. Angka ini 34,5% untuk laki-laki Kaukasia dengan 32,3%
untuk perempuan dan 28,9% di antara laki-laki Hispanik dengan 30,7% untuk perempuan.
Selain tingkat hipertensi tertinggi, orang kulit hitam Amerika memiliki risiko lebih tinggi
terkena gagal jantung, tekanan darah rata-rata lebih tinggi yang berkembang pada usia lebih
dini, dan kurang dapat menerima pengobatan. Semua faktor ini berkontribusi pada
peningkatan kematian dan beban penyakit yang lebih tinggi. 22
3.4.3 Etiologi
HHD merupakan hasil dari tekanan darah tinggi kronis. Menurut American Heart
Association 2017 saat ini mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik lebih
tinggi dari 120 mm Hg atau tekanan diastolik lebih dari 80 mm Hg. Risiko kematian
kardiovaskular berlipat ganda untuk setiap peningkatan tekanan darah sistolik 20mmHg dan
diastolik 10mmHg di atas tekanan darah dasar 115/75.
Sebagian besar (90 hingga 95%) pasien hipertensi akan diklasifikasikan sebagai
hipertensi primer atau esensial. Etiologi di balik hipertensi primer kurang dipahami. Namun,
kemungkinan merupakan interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Beberapa
faktor risiko seperti bertambahnya usia, riwayat keluarga, obesitas, diet tinggi natrium (lebih
dari 3g/hari), aktivitas fisik, konsumsi alkohol berlebihan memiliki korelasi kuat dan
independen dengan perkembangan hipertensi. Hipertensi telah ditemukan mendahului
perkembangan gagal jantung dengan rata-rata 14,1 tahun.
Penyakit jantung hipertensi bertanggung jawab untuk sekitar seperempat dari semua
penyebab gagal jantung. Menurut Framingham Heart Study, hipertensi memiliki peningkatan
2 kali lipat dalam perkembangan gagal jantung pada pria dan peningkatan 3 kali lipat untuk
wanita bila disesuaikan dengan faktor risiko dan usia tertentu. Uji coba SPRINT 2015
menunjukkan penurunan risiko perkembangan gagal jantung pada pasien dengan kontrol
tekanan darah yang lebih intensif dengan target tekanan darah sistolik 120mmHg (1,3%)
dibandingkan dengan 140mmHg (2,1%). Manajemen hipertensi yang tepat berkorelasi
dengan penurunan 64% dalam perkembangan gagal jantung. 22
3.4.4 Patofisiologi
Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan yang merugikan pada struktur
dan fungsi jantung melalui 2 cara yaitu secara langsung melalui peningkatan afterload dan
secara tidak langsung melalui nuerohormonal terkait dan perubahan vascular. Efek hipertensi
terhadap jantung berbeda-beda, pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri,
abnormalitas atrium kiri, penyakit katup, gagal jantung, iskemik miokard, dan aritmia kardia.
23
3. Penyakit Katup
Hipertensi yang kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin katup aorta, yang
menyebabkan terjadinya insufisiensi aorta signifikan. Beberapa derajat perubahan perdarahan
secara signifikan akibat insufisiensi aorta sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi
yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah yang dapat menentukan derajat insutisiensi
aorta, yang akan Kembali ke dasar bila tekanan darah terkontrol secara lebih baik. Sebagai
tambahan, selain menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga diperkirakan dapat
mempercepat proses sklerosis aorta dan menyebabkan regurgitasi mitral. 23
4. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang kronik.
Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak diketahui, sebagian
karena saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang mengalami disfungsi tidak mampu
menghasilkan tekanan darah yang tinggi, hal ini yang menjadi penyebab gagal jantung
tersebut. Prevalensi disfungsi diastolik yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan
tanpa HVK (Hipertensi Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis
dan terjadinya HVK dapat memberi pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan fase
kompensasi lambat dari diastolik ventrikel. 23
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi. Disfungsi
diastolik biasanya disertai dengan HVK. Sebagai tambahan, selain peningkatan afterload,
faktor - faktor lain yang ikut berperan dalam proses terjadinya disfungsi diastolik adalah
penyakit artei koroner, penuaan, disfungsi sistolik, dan abnormalitas struktur seperti fibrosis
dan HVK. Disfungsi sistolik yang asimtomatik biasanya juga terjadi. Pada bagian akhir
penyakit, HK gagal mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output dalam
menghadapi peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai berdilatasi untk
mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini memasuki tahap akhir, fungsi sistolik
ventrikel kiri menurun. Hal ini menyebabkan peningkatan lebih jauh pada aktivasi
neurohormonal dan sistem renin - angiotensin, yang menyebabkan peningkatan retensi garam
dan cairan serta meningkatkan vasokontriksi perifer. Apoptosis, atau program kematian sel,
distimulasi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat,
disadari sebagai pemegang peran penting dalam transisi dari tahap kompensata menjadi
dekompensata. Pasien menjadi simptomatik selama tahap asimtomatik dari disfungsi sistolik
atau diastolik ventrikel kiri, jantung menerima perubahan pada kondisi afterload dan masih
dapat terkompensasi. Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan edema
paru akut tanpa perlu perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara umum,
perkembangan dilatasi atau disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik maupun yang
simtomatik melambangkan kemunduran yang cepat pada status klinis dan menandakan
peningkatan risiko kematian. Sebagai tambahan, selain disfungsi ventrikel kiri, penebalan dan
disfungsi diastolik ventrikel kanan juga terjadi sebagai hasil dari penebalan septum dan
disfungsi ventrikel kiri. 23
5. Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi yang tinggi terhadap hipertensi. Hipertensi
adalah faktor risiko yang menentukan perkembangan penyakit arteri koroner, bahkan hampir
melipat gandakan risiko. Perkembangan iskemik pada pasien dengan hipertensi bersifat
multifaktorial. Hal yang penting pada pasien dengan hipertensi, angina dapat terjadi pada
pasien yang tidak mengalami penyakit arteri koroner epikardium. Penigkatan aferload
sekunder akibat hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri dan
tekanan transmural, menekan aliran darah koroner selama diastol. Sebagai tambahan,
mikrovaskular, diluar arteri koroner epikardium, telah terlihat mengalami disfungsi pada
pasien dengan hipertensi dan mungkin tidak mampu mengkompensasi peningkatan metabolik
dan kebutuhan oksigen.
Perkembangan dan progresifitas aterosklerosis. merupakan tanda penyakit arteri
koroner, di eksaserbasikan pada arteri yang menjadi subjek peningkatan tekanan darah kronis
mengurangi tekanan yang terkait dengan hipertensi dan disfungsi endotelial menyebabkan
gangguan pada sintesis dan pelepasan nitrit oksida yang merupakan vasodilator poten.
Penurunan kadar nitrit oksida menyebabkan perkembangan a n makin cepatnya pembentukan
arteriosklerotis dan plak. Gambaran mortologi plak identik dibandingkan dengan plak yang
ditemukan pada pasien tanpa hipertensi. 23
6. Aritmia kardia
Aritmia kardia umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang mengalami
arterial fibrilasi kontraksi ventrikel yang prematur dan ventrikuler takikardi (Riaz, 2012).
Resiko henti jantung mendadak meningkat. Berbagai metabolisme diperkirakan memegang
peranan dalam patogenesis aritmia termasuk perubahan struktur dan metabolisme sel, tidak
homogen miokard, perfusi yang buruk. Fibrosis miokard dan ftluktuasi pada afterload. Semua
faktor tersebut dapat menyebabkan peningkatann resiko ventrikel takiaritmia23
Artrial fibrilasi (parokslsimal, kronik rekuren, atau kronik persisten), sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah merupakan faktor umum
bagi artrial fibrilasi. Pada suatu penelitian hampir 50 % pasien dengan artrial tibrilasi
mengidap hipertensi walaupun etiologi yang pasti tidak diketahui, abnormalitas struktr atrium
kiri, penyakit arteri koroner, dan HVK telah dianggap sebagi faktor yang mungkin berperan.
Perkembangan artrial fibrilasi dapat menyebabkan disfungi sistolik dekompensata dan yang
lebih penting, disfungsi diastolik, menyebabkan hilangnya kontraksi atrium, dan juga
meningkatkan resiko komplikasi tromboembolik, khususnya stroke (Riaz, 2012). Kontraksi
ventrikuler prematur, ventrikuler aritmia dan henti Jantung mendadak ditemukan lebih sering
pada pasien dengan HVK daripada pasien tanpa HVK. Penyebab aritmia tersebut dianggap
terjai bersama-sama dengan penyakit arteri koroner dan fibrosis miokard.23
● Diabetes Melitus
Sekitar 50 % penderita hipertensi esensial juga mengalami retensi insulin. Diketahui insulin
sensitisizer seperti agonist of perioxisome proliferutur activator receptor gamma dapat
mcnurunkan tekanan darah. Selanjutnya hiperinsulinemia merupakan prediktor penting dalam
meningkatkan ketebalan tunika intima dan media pada pasien dengan hipertensi yang
menyebabkan penyakit jantung koroner s ehingga mengindikasikan peningkatan risiko
penyakit kardiovaskular pada penderita. Hasil Framingham heart study pada tahun 2008
ditemukan bahwa penyakit diabetes pada laki-laki akan memiliki risiko sebesar 2,8 % dan
pada wanita sebesar 2,4 % untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. 25
● Obesitas
Obesitas sangat berhubungan dengan hipertensi. Sekitar 60 - 70 % penderita hipertensi juga
mengalami obesitas. Beberapa studi telah mengevaluasi bahwa indeks massa tubuh
merupakan salah satu faktor risiko terjdinya remodeling ventrikel kiri dan gagal jantung.
Penelitian yang dilakukan Satis Kencahiah, dkk pada tahun 2002 diperoleh hasil bahwa risiko
terjadinya gagal jantung akan meningkat 5 % pada laki - laki dan 7 % pada wanita setiap
kenaikkan indeks massa tubuh. Jika dibandingkan dengan seseorang yang memiliki berat
badan normal maka seseorang yang obesitas akan memiliki risiko 2 kali untuk mengalami
gagal jantung. 25
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor.24
Tabel 18. Klasifikasi NYHA
b. Iskemia Miokard
Angina adalah komplikasi yang sering terjadi pada pasien penderita hypertensive
heart disease yang tidak dapat dibedakan dari faktor penyebab miokard iskemik
lainnya. Gejala angina biasanya berupa nyeri dada substernal yang lebih dari 15
menit. Jika angina terjadi >20 menit biasanya sudah terjadi miokard infark. Nyeri
dada sering digambarkan seperti diremas, trrtimpa beban berat yang menyebar ke
leher, rahang, punggung atas atau lengan kiri. Selain itu nyeri sering diprovokasi
emosi atau aktivitas dan dapat dihilangkan dengan istirahat atau nilrogliserin
sublingual. Pemeriksaan pada penderita angina pektoris dalam keadaan serangan
dapat ditemukan bunyi jantung ketiga, keempat dan sering ditemukan bising sistolik
di apeks. Diantara serangan tidak ditemukan tanda fisik apapun. Penderita juga bisa
datang dengan gejala sindroma koroner akut seperti miokard infark dengan ST elevasi
atau miokard infark tanpa ST elevasi.26
c. Aritmia
Aritmia jantung dapat menyebabkan berbagai gejala seperti palpitasi, sinkop, fibrilasi
atrium, ventrikular takikardi dan sudden cardiac death.26
3.4.7 Diagnosis
Selain berdasarkan gejala dan manifestasi klinis, terdapat beberapa komponen yang
bisa dilakukan untuk penegakan diagnosis, antara lain:
1) Test Laboratorium:
Laboratorium yang perlu dilakukan sebelum memulai pengobalan hipertensi meliputi
urinalisis, glukosa darah dan hematokrit, potassium serum, kreatinin, kalsium dan profil lipid
(setelah 9-12 jam puasa) meliputi kadar kolesterol total, LDL, HDL, dan trigliserida. Tes
laboratorim yan g lebih ekstensif dapat dilakukan bagi pasien dengan hipertensi resistan.
Pengobatan yang nyata atau ketika evaluasi klinis mcnunjukkan bentuk hipertensi sekunder.
Selain pemeriksaan laboratorium untuk hipertensi, juga perlu dilakukan pemeriksaan kimia
darah untuk prenyakit jantung seperti CKMB, CK, LDH, SCOT, SGPT. 26
2) Radiologi
Foto toraks AP sangat penting dilakukan pada penderita hypertensive heart disease untuk
melihat perubahan-perubahan pada jantung akibat hipertensi yang tidak terkontrol. Tanda-
tanda radiologis hypertensive heart disease sebagai berikut:
a. Keadaan awal batas kiri bawah jantung menjadi bulat karena hipertrofi konsentrik
ventrikel kiri.
d. Pada keadan lanjut, apeks jantung memperbesar ke kiri dan ke bawah
e. Aortic knob memperbesar dan menonjol disertai kalsifikasi.
f. Aorta ascenden dan descenden melebar dan berkelok yang disebut pemanjangan aorta
g. Tanda-tanda bendungan pembuluh paru pada stadium payah jantung. (6).
Hasil foto radiologi diukur dengan Cardio Thorax Ratio (CTR). CTR adalah Suatu cara
pengukuran besamya jantung dengan mengukur perbandingan antara ukuran jantung dengan
lebarnya rongga dada pada foto thoraks proyeksi PA. Apabila nilai rationya melebihi 50%,
maka jantung pasien tersebut dapat dikategorikan kardiomegali. 26
3) Elektrokardiogram (EKG)
Hipertrofi ventrikel kiri, hipertrofi atrium kiri, fibrilasi atrium dan iskemik atau infark
miokard sering ditemukan pada penderita hypertensive heart disease. Gangguan-gangguan
pada jantung ini dapat dideteksi melalui EKG. Adapun gambaran EKGnya sebagai berikut:
a. Hipertrofi ventrikel kiri
Gambaran EKG hipertrofi ventrikel kiri sebagai berikut:
1) Hipertrofi ventrikel kiri disertai P-mitral.
2) Tinggi gelombang R pada V5 atau V6 >27 mm (27 mV)
3) Gelombang S di VI + gelombang R di V5 atau V6 >35 mm
4) Di V5 at u V6, VAT >0,05 detik
5) Segmen ST depresi dan gelombang T inverted (strain) di sadapan I, aVL, V5 dan V6
6) Terdapat deviasi aksis ke kiri (>30ᵒ)
7) R I + S III 🡪 25 mm (>2,5 mV)
8) R (I, II atau III) + S (I, II atau III) 🡪 20 mm (>2,0 mV )
9) S VI atau S V2 + R V5 atau R V6 🡪 35 mm (>3,5 mV)
Atau kriteria hipertrofi ventrikel kiri dapat ditegakkan bila kriteria I dan 2 ditemukan:
Kriteria 1
R I atau S III 🡪20 mm (>2,0 mV) atau
R I + S III 🡪 2 5 mm (>2, 5 mV) S VI atau
S V2 + R V5 atau R V6 🡪 3 5 m m (>3,5 mV)
Kriteria 2
Aksis antara -15 ^ dan -30° atau deviasi ke kiri > -30° atau segmen ST depresi di sadapan
yang memiliki amplitude gelombang R tinggi.
b. Hipertrofi Atrium Kiri
Gambaran EKG hipertrofi atrium kiri atau sering disebut dengan P mitral sebagai berikut:
1) Durasinya >0,12 detik dan sering berbentuk sela gunung pada sadapan I , II , aVL dan
V4-V6.
2) Pada VI atau V2, kedalamannya > l mm dan durasinya >0,04 detik.
d. Fibrilasi atrium
Gambaran EKG fibrilasi atrial ditandai sebagai berikut:
a. Irama : tida k teratur
b. Frekuensi : bervariasi
c. Gelombang P: jumlahnya tidak dapat diidentifikasi
d. Interval P-R: tidak dapat dihitung. 27
4) Ekhokardiografi
Ekhokardiografi digunakan untuk meiihat kctebalan dinding dan dimensi ruang ventrikel kiri
dan atrium kiri. Selain itu ekhokardiografi ini digunakan untuk meiihat fungsi dari ventrikel
kiri (melalui fraksi ejeksi) dan gerakan abnormal dari dindingnya. 27
Tabel 19. Parameter Ekokardiografi Berdasarkan Jenis Kelamin
4.2.9 Tatalaksana
American Cardiology Association/American Heart Association mengatakan bahwa
terapi non farmakologi pada HHD atau penyakit jantung coroner yakni dengan menerapkan
pola dietary approaches to stop hypertension (DASH), penurunan berat badan, mengurangi
asupan garam berlebih, olahraga teratur dan mengurangi konsumsi alkohol. 22,28
Terapi farmakologi:
● ACE-I
ACE-I bekerja dengan menghambat mekanisme angiotensin I ke angiotensin
II yang merupakan vasokonstriktor yang dapat meningkatkan retensi garam dan air.
Agen penghambat ACE ini pada akhirnya akan menyebabkan vasodilatasi dan
mencegah terbentuknya cairan yang menghasilkan pelepasan aldosteron. Selain itu
ACE-I juga berperan dalam menghambat metabolisme bradikinin, yang merupakan
vasodilator berasal dari kininogen yang diubah oleh kalkrein menjadi bradikinin.
Bradikinin yang menumpuk akibat dihambat oleh ACE-I menyebabkan vasodilatasi
sehingga bradikinin akan berikatan dengan reseptor BK2 di pembuluh darah dan
mengaktifkan produksi prostaglandin yang juga nantinya menyebabkan vasodilatasi.
Peningkatan bradikinin tersebut dapat berikatan dengan reseptor batuk di bronkus
sehingga menyebabkan batuk sebagai efek samping dari ACE-I. Pada pasien penyakit
jantung hipertensi, ACE-I selain mengurangi massa ventrikel kiri juga mengurangi
fibrosis miokard, meningkatkan fungsi diastolik ventrikel kiri, serta telah terbukti
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien gagal jantung akibat disfungsi
sistolik. Misalnya kaptopril berperan dalam menghambat enzim pengubah yaitu
peptidil dipeptidase yang menghidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II dan
menginaktifkan bradikinin. Tidak seperti vasodilator langsung, obat ini tidak
mengaktivasi refleks simpatis dan aman digunakan pada orang dengan iskemik.
● ARB
Bekerja dengan mengikat reseptor angiotensin II dan menghambat angiotensin
II juga mendorong produksi aldosteron yang meningkatkan natrium dan air. ARB
tidak menghalangi kerusakan bradikinin yang menyebabkan batuk sehingga dikatakan
lebih selektif dibandingkan dengan ACE-I. Losartan dan valsartan merupakan yang
pertama kali di pasarkan. ARB umumnya digunakan sebagai alternatif bila terdapat
intoleransi ACE-I salah satu yang dilaporkan adalah losartan lebih efektif
dibandingkan amlodipin dalam mengurangi apoptosis kardiomiosit dan fibrosis
miokard pada pasien penyakit jantung hipertensi. Namun penggunaan ARB pada
pasien HFrEF dengan riwayat hipertensi masih kontroversial
● CCB
● Beta-Blockers
● Tiazide Diuretics
4.2.10 Prognosis
Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit progresif kronis yang membawa
peningkatan risiko kematian kardiovaskular secara signifikan. Hipertensi merupakan salah
satu faktor risiko utama untuk perkembangan beberapa penyakit kardiovaskular seperti
penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit serebrovaskular,
penyakit arteri perifer, aneurisma aorta, dan penyakit ginjal kronis. Prognosis keseluruhan
penyakit jantung hipertensi bervariasi tetapi tergantung pada berbagai faktor seperti
manifestasi spesifik penyakit, adanya penyakit kardiovaskular atau faktor risiko yang
menyertai, dan kondisi komorbiditas lainnya. Kalkulator risiko kardiovaskular tersedia, dan
pasien harus dikelompokkan menjadi risiko tinggi atau rendah untuk kejadian kardiovaskular.
Manifestasi spesifik dari HHD seperti gagal jantung atau fibrilasi atrium membawa
peningkatan risiko kematian kardiovaskular secara substansial. Pasien dengan gagal jantung
diastolik memberikan risiko dan morbiditas yang sama dengan pasien dengan gagal jantung
ejeksi rendah dengan mortalitas 6 bulan yang diamati setinggi 16%.22
BAB IV
ANALISIS KASUS
Tn. AA, usia 64 tahun dibawa ke IGD RSMH dengan keluhan sesak napas hebat sejak
±5 jam SMRS. Sesak timbul ketika pasien beraktivitas ringan seperti berjalan ke kamar
mandi dan tidak berkurang dengan istirahat. Sesak dipengaruhi posisi, sesak tidak
dipengaruhi emosi dan cuaca. Pasien sulit tidur telentang dan lebih nyaman pada posisi
duduk. Nyeri dada (-), jantung berdebar (-), demam (-), mual muntah (-). Pasien mengeluh
sembab pada kedua tungkai, tanpa disertai nyeri atau rasa panas. Keluhan utama pasien
dibawa ke IGD RSMH adalah sesak napas. Sesak napas dapat ditimbulkan oleh berbagai
sebab, seperti gangguan pada sistem respirasi (asma, PPOK), gagal jantung, gangguan
metabolik (asidosis atau alkalosis), dan gangguan hematologi (anemia). Berdasarkan keluhan
pasien, ditemukan adanya dispneu d’effort dan orthopneu, karakteristik sesak seperti ini
cenderung mengarah kepada sesak napas akibat gagal jantung. Sesak napas memberat dengan
aktivitas juga dapat terjadi pada pasien PPOK, namun apabila sesak yang terjadi juga
dipengaruhi oleh posisi, maka diagnosis PPOK dapat dikesampingkan terlebih dahulu. Sesak
yang tidak dipengaruhi emosi dan cuaca dapat membantu menyingkirkan diagnosis asma.
Tidak adanya nyeri dada, dapat menyingkirkan kondisi penyakit jantung koroner, tidak
adanya jantung berdebar dapat menyingkirkan kondisi aritmia, kedua kondisi tersebut dapat
menjadi etiologi dari gagal jantung. Tidak adanya mual muntah dapat menyingkirkan kondisi
gangguan metabolik, baik alkalosis maupun asidosis. Pasien ini mengeluhkan badan terasa
lemas, keluhan ini dapat menunjang kecurigaan adanya anemia.
Pasien mengeluhkan sembab pada kedua tungkai. Beberapa kondisi yang dapat
memicu sembab pada tungkai meliputi penyebab sistemik seperti gagal jantung, gangguan
ginjal, gangguan hepar, atau penyebab lokal seperti deep vein thrombosis (DVT). Tidak
adanya rasa nyeri, kemerahan, dan rasa panas pada tungkai yang sembab dapat
menyingkirkan diagnosis DVT. Selain itu, sembab pada pasien terjadi ada kedua tungkai,
kondisi ini juga membantu menyingkirkan diagnosis DVT. Umumnya, DVT terjadi pada
tungkai unilateral.
Pasien juga mengeluhkan nyeri disertai kemerahan, teraba hangat, dan bengkak
dengan benjolan keras pada persendian ibu jari kaki kanan kiri, nyeri disertai kemerahan,
teraba hangat dan bengkak tanpa benjolan keras pada lutut kanan dan kiri. Pasien mengaku
tidak bisa berjalan karena sakit yang dirasakan. Keluhan nyeri disertai kemerahan, teraba
75
hangat, dan bengkak dengan benjolan keras, tampak seperti kapur di bawah kulit, pada
persendian ibu jari kaki kanan kiri mengarah kepada gout arthritis fase akut disertai dengan
tofus yang ditandai dengan adanya benjolan keras disertai tanda tanda inflamasi pada sendi
MTP-1. Keluhan nyeri pada lutut sering disebabkan karena adanya osteoarthritis. Namun,
pada pasien ini terdapat tanda-tanda inflamasi seperti bengkak, kemerahan, dan teraba hangat,
sedangkan osteoarthritis merupakan jenis arthropati kronik non-inflamatori sehingga kondisi
ini dapat menyingkirkan diagnosis osteoarthritis. Keluhan nyeri sendi lutut yang melibatkan
sendi MTP-1, disertai dengan tanda-tanda inflamasi juga dapat diakibatkan oleh kondisi gout
arthritis. Serangan gout arthritis dapat bersifat monoartikular (1 sendi) atau oligoartikular (2-4
sendi). Pada pasien ini ditemukan serangan terjadi pada 4 sendi. Pada ±1 tahun 5 bulan yang
lalu, serangan terjadi monoartikular di MTP-1 kiri. Pasien mengaku tidak bisa berjalan karena
sakit yang dirasakan, kondisi ini dapat menunjang penegakkan diagnosis gout arthritis
berdasarkan ACR/EULAR 2015. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien sudah memenuhi 8
kriteria penegakkan diagnosis ACR/EULAR 2015 sehingga diagnosis gout arthritis dapat
ditegakkan.
. Pasien mengeluhkan nyeri hilang timbul pada pinggang kanan dan kiri. Nyeri
pinggang dapat disebabkan oleh gangguan pada ginjal ataupun gangguan pada sistem
muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal berkaitan erat dengan fungsi gerak tubuh sehingga
umumnya nyeri akibat gangguan muskuloskeletal dipengaruhi oleh pergerakan. Pada pasien
ini, nyeri tidak dipengaruhi oleh pergerakan sehingga diagnosis gangguan muskuloskeletal
dapat disingkirkan. Sedangkan pada gangguan ginjal, nyeri tidak dipengaruhi oleh
pergerakan, namun diperlukan pemeriksaan lanjutan, berupa pemeriksaan fisik dan
penunjang untuk mengakkan diagnosis gangguan/peyakit ginjal. Pasien mengaku nyeri pada
pinggang kanan dan kiri sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Berdasarkan onsetnya,
nyeri pinggang pasien ini tergolong nyeri pinggang kronik, kondisi ini dapat mengarah pada
kondisi penyakit ginjal kronik. Awalnya nyeri dirasakan hilang timbul dan tidak mengganggu
aktivitas. Semakin lama, keluhan nyeri pinggang semakin sering dirasakan dan terasa
semakin memberat, hal ini menunjukkan bahwa gangguan/penyakit yang terjadi bersifat
progresif.
Berdasarkan hasil anamnesis, pasien pernah didiagnosis mengalami payah jantung
(gagal jantung) sejak ± 1,5 tahun yang lalu dan didiagnosis hipertensi (darah tinggi) sejak
tahun 2008 dan mengonsumsi Valsartan hanya saat tekanan darahnya naik saja, tidak rutin.
Konsumsi obat antihipertensi yang tidak rutin dapat memicu hipertensi yang tidak terkontrol.
Hpertensi merupakan faktor risiko terjadinya gagal jantung. Hipertensi dapat menyebabkan
terjadinya hipertrofi ventrikel kiri, kegagalan pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan
kekakuan dinding ventrikel yang disebut dengan penyakit jantung hipertensi. Penyakit
jantung merupakan salah satu etiologi gagal jantung yang sering terjadi. Hipertensi juga dapat
menjadi faktor risiko terjadinya penyakit ginjal kronis, pemberian obat antihipertensi secara
rutin dapat mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal. Pada tahun 2008, pasien juga
memiliki riwayat penyakit jantung koroner dan telah menjalani operasi bypass di tahun yang
sama. Penyakit jantung koroner merupakan salah satu etiologi gagal jantung yang paling
sering terjadi.
Pasien memiliki riwayat kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak dan
berkolesterol tinggi. Kolesterol plasma yang tinggi terutama yang bersifat aterogenik yaitu
LDL, berperan penting dalam kejadian aterosklerosis. Aterosklerosis memicu terjadinya
kekakuan pada pembuluh darah sehingga resistensi di pembuluh darah akan meningkat.
Meningkatnya resistensi pembuluh darah dapat memicu dan memperberat hipertensi. Selain
itu aterosklerosis merupakan pemicu utama penyakit jantung koroner. Pasien juga memiliki
riwayat kebiasaan merokok ½ bungkus/hari sejak usia 20 tahun, dan sudah berhenti sejak 14
tahun yang lalu. Berdasarkan perhitungan indeks Brinkmann, pasien memiliki IB sebesar 240
dan tergolong sebagai perokok sedang. Riwayat merokok juga merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya hipertensi pada pasien ini. Pasien memiliki kebiasaan mengonsumsi kopi
dan teh manis ada, 1 gelas/hari sejak usia 20 tahun. Pembuatan kopi dan teh manis umumnya
diberikan gula tambahan. Gula tambahan mengandung sukrosa, sukrosa merupakan sumber
utama fruktosa. Fruktosa yang tinggi dapat dipecah menjadi purin yang merupakan cikal
bakal terbentuknya asam urat sehingga dapat memicu hiperurisemia hingga gout.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya tekanan darah 140/70 mmHg yan
tergolong dalam hipertensi stage 1 dan skala VAS 6 yang tergolong dalam moderate to
severe pain, sedangkan tanda vital lainnya dalam batas normal. Pada pasien juga ditemukan
adanya konjungtiva pucat. Konjungtiva pucat merupakan salah satu tanda anemia, namun
diperlukan pemeriksaan hemoglobin untuk memastikannya. Ditemukan juga adanya
peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi basah halus pada bagian basal paru, dan pitting
edema pretibial. Temuan klinis tersebut mengarah pada tanda-tanda kongesti akibat gagal
jantung sehingga tanda-tanda ini dapat menunjang penegakkan diagnosis gagal jantung
kongestif sesuai dengan kriteria Frammingham.
Kriteria Mayor Kriteria Minor
● Paroxysmal nocturnal dispneu ● Edema ekstremitas
● Orthopneu ● Batuk malam hari
● Distensi vena jugular ● Dispneu d’effort
● Ronkhi paru ● Hepatomegali
● Kardiomegali ● Efusi pleura
● Edema paru akut ● Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
● Gallop S3 normal
● Peninggian tekanan vena jugular ● Takikardia (>120x/menit)
● Refluks hepatojugular
Mayor atau Minor
Penurunan BB≥4,5 kg dalam 5 hari terapi
Pada pasien ini ditemukan batas jantung kiri bergeser ke arah lateral yaitu pada ICS V
2 cm lateral dari linea midclavicularis sinistra. Kondisi ini dapat menujukkan adanya
hipertrofi atau dilatasi ventrikel kiri jantung. Kondisi ini dapat disebabkan oleh adanya
penyakit jantung hipertensi ataupun kardiomiopati yang dapat menjadi penyebab gagal
jantung. Jika ditinjau dari sisi usia, penyakit jantung hipertensi umumnya lebih sering terjadi
pada usia >60 tahun. sedangkan kardiomiopati umumnya ditemukan pada usia yang lebih
muda yaitu pada dekade ke-3 atau dekade ke-4. Pasien ini berusia 64 tahun, oleh karena itu,
penyakit jantung hipertensi lebih mungkin terjadi pada pasien ini, diperkuat dengan riwayat
hipertensi lama.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya nyeri ketok CVA (+) dan ballotement (+)
pada sisi kanan dan kiri. Nyeri ketok CVA (+) mengindikasikan adanya peregangan pada
kapsul ginjal, salah satu penyebab terseringnya adalah hidronefrosis. Ballotement (+)
menunjukkan adanya pembesaran ginjal akibat adanya hidronefrosis atau massa.
Hidronefrosis dapat terjadi akibat adanya penyumbatan (obstruksi) pada ureter atau pelvis
ginjal. Nyeri ketok CVA, ballotement (+), diperkuat dengan adanya nyeri pinggang yang
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu dapat mengindikasikan adanya penyakit ginjal kronik
akibat adanya obstruksi pada ginjal atau ureter pasien. Adanya tofi pada articulationes
metatarsophalangeal I dekstra et sinistra, bengkak disertai kemerahan dan teraba hangat pada
articulationes genu dekstra et sinistra dan articulationes metatarsophalangeal I dekstra et
sinistra, dan ROM articulationes genu dekstra et sinistra dan articulationes
metatarsophalegeal I dekstra et sinistra terbatas yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat
membantu penegakkan diagnosis arthritis gout pada pasien ini.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya penurunan
hemoglobin (anemia) dengan MCH dan MCHC dalam batas normal (normositik
normokrom). Terdapat berbagai penyebab anemia normositik normokrom yaitu sebagai
berikut
Adapun pengobatan yang diberikan pada pasien ini adalah furosemide 1x2 gr IV,
valsartan 1x20 mg PO, CaCO 3 3x1 tab PO, lansoprazole 2x30 mg PO, colchicine 1x0,5 mg
PO, sukralfat 3x10 cc PO, atorvastatin1x20 mg PO, ciprofloxacin 2x500 mg PO, dan
febuxostat 1x80 mg PO. Furosemide 1x2 gr IV diindikasikan untuk tanda-tanda kongesti
akibat gagal jantung. Valsartan 1x20 mg PO diindikasikan untuk hipertensi yang diderita
pasien. Pemberian golongan ARB pada pasien ini didasarkan pada kondisi komorbid yang
menyertai hipertensi yaitu hipertrofi ventrikel kiri. Berdasarkan WHO/ISH statement on
hypertension tahun 2003, antihipertensi yang disarankan pada paasien dengan hipertrofi
ventrikel kiri adalah golongan ARB. Pemberian antihipertensi juga dapat mencegah
perburukan penyakit jantung hipertensi dan penyakit ginjal kronis yang dialami pasien.
CaCO3 3x1 tab PO diindikasi untuk kondisi hipokalsemia yang dialami pasien. Lansoprazole
2x30 mg PO dan sukralfat 3x10 cc PO diindikasikan sebagai gastroprotektor karena adanya
riwayat penggunaan NSAID, yaitu etoricoxib, dan adanya temuan nyeri tekan epigastrium
pada pemeriksaan fisik. Colchicine diberikan atas indikasi adanya serangan gout akut dengan
onset <12 jam, dosis awal colchine diberikan sebesar 1 mg (2 tablet) dilanjutkan dengan dosis
0,5 mg 1 jam kemudian. Atorvastatin1x20 mg PO diberikan dengan indikasi adanya
hiperkolesterolemia. Pada pasien ini ditemukan adanya sistitis, oleh karena itu, pasien
diberikan antibiotik ciprofloxacin 2x500 mg PO. Sedangkan, febuxostat 1x80 mg PO
diberikan atas indikasi hiperurisemia simtomatis dengan gout arthritis dan nefrolithiasis,
namun obat ini hanya diberikan ketika pasien telah melewati fase gout akut.
Pada hasil pemantauan, didapatkan sesak yang dialami pasien terus mengalami
perbaikan hingga tidak dirasakan lagi, selain itu ronkhi basah halus di basal dan edema
pretibial juga tidak ditemukan lagi pada pemantauan terakhir. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa prognosis quo ad vitam pasien ini bonam. Pasien ini mengalami penyakit ginjal kronik
stage IV dimana kerusakan ginjal sudah terjadi secara irreversibel sehingga penurunan
fungsinya juga terjadi secara irreversibel. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa kemungkinan
pasien ini untuk sembuh dari penyakit ginjal kronik sangat sulit. Oleh karena itu, prognosis
quo ad fungsionam dan sanationam pasien ini malam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2014. 2259–83 hal.
2. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 20 ed. New York: McGraw Hill; 2018. 908–918 hal.
6. Aldous D. Eating plan for heart failure. Ottawa Cardiovasc Cent [Internet].
2010;123456:1–6. Tersedia pada:
http://www.cvtoolbox.com/downloads/diets/heart_failure_eating_plan_2010.pdf
8. McDonagh TA, Metra M, Adamo M, Gardner RS, Baumbach A, Böhm M, et al. 2021
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur
Heart J. 2021;42(36):3599–726.
10. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE, Collins KJ, Dennison Himmelfarb
C, et al. 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood
Pressure in Adults: A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol.
2018;71(19):e127–248.
84
11. Suwitra K. Nefrourologi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
2014. 2159–2165 p.
12. Indonesian, Registry R. 11th Report Of Indonesian Renal Registry 2018. 2018.
13. Idrus Alwi, Salim Simon, Rudy Hidayat, Juferdy Kurniawan DLT. Panduan praktik
klinis. Keempat. Jakarta: InternaPublishing; 2019. 47–59, 437–442 p.
14. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2004.
15. Price, S.A., dan Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinik Proses Penyakit. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC; 2012.
16. Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD; 2006.
18. Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S SJ. Kelley’s Textbook of Rheumatology,
8th ed. Philadelphia: W.B Saunders; 2009.
19. Al. AR et. The American College of Rheumatology criteria for the classification and
reporting of osteoarthritis os the knee.
20. Tehupeiory ES. Artritis Gout dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
22. Moningka MLM. Diagnosis dan Tatalaksana Terkini Penyakit Jantung Hipertensi.
Manado: Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi. 2021.
23. Borhade MB. StatPearls Book, Cape Fear Valley Hospital. 2021.
25. Panggabean MM. Penyakit Jantung Hipertensi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006.
26. Vasan RS. Impact of High Normal Blood Pressure on The Risk of Cardiovaskular
Disease. New England Journal of Medicine. 2001.
27. Basha A. Penyakit Jantung Hipertensif. Buku Ajar kardiologi. Jakarta: Gaya Baru.
1998.
28. Prisant LM. Hypertensive Heart Disease, The journal of Clinical Hypertension. 2005.
29. Rasad S. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua . Balai Penerbit FK UI , Jakarta. 2005.