Anda di halaman 1dari 86

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Gagal Jantung Kongestif


3.1.1 Definisi
Gagal jantung merupakan suatu keadaan patofisiologi dimana jantung mengalami
kegagalan dalam memompakan darah sesuai dengan kebutuhan di jaringan. Gagal jantung
bersifat progresif yang didahului oleh adanya kerusakan pada miolardium, yang berakibat
pada hilangnya fungsi miosit jantung, atau gangguan kemampuan miokardium untuk
berkontraksi secara normal. Secara praktis, gagal jantung didefinisikan sebagai sekumpulan
gejala dan tanda (sindroma) yang disebabkan adanya gangguan struktural dan fungsional
pengisian ventrikel atau ejeksi darah. Manifestasi klinis kardinal dari gagal jantung adalah
sesak napas (dispneu) dan kelelahan (fatigue) yang dapat membatasi toleransi aktivitas, dan
retensi cairan, yang dapat memicu kongesti paru dan/atau splanknik, dan/atau edema perifer.
Sindroma klinis gagal jantung dapat berasal dari gangguan pada perikardium, miokardium,
endokardium, katup jantung, pembuluh darah besar, atau dari abnormalitas metabolik
tertentu, tapi kebanyakan gejala yang dialami pasien berasal dari gangguan pada miokardium
ventrikel kiri. 1,2
Gagal jantung berkaitan dengan abnormalitas fungsi ventrikel kiri dengan spektrum
yang luas, bervariasi dalam ukuran dan fraksi ejeksi ventrikel kiri. Berdasarkan fraksi ejeksi
ventrikel kiri, gagal jantung terbagi menjadi dua yaitu gagal jantung dengan fraksi ejeksi
yang menurun/Heart Failure with Reduced Ejection Fraction (HFrEF), gagal jantung dengan
fraksi ejeksi mid-range/ Heart Failure with Mid-Range Ejection Fraction (HFmEF) dan gagal
jantung dengan fraksi ejeksi yang menetap/Heart Failure with Preserved Ejection Fraction
(HFpEF). Fraksi ejeksi penting dipertimbangkan untuk membedakan demografi, komorbid,
prognosis dan respon terhadap terapi pasien dengan gagal jantung.2

3.1.2 Epidemiologi
Gagal jantung merupakan masalah yang terus berkembang di seluruh dunia yang
mengenai lebih dari dua puluh juta orang. Secara keseluruhan, prevalensi gagal jantung pada
populasi dewasa di negara maju adalah 2%. Sekitar 6,2 juta masyarakat di Amerika Serikat
memiliki manifestasi klinis gagal jantung pada periode 2013-2016. Berdasarkan data
Pusdatin pada tahun 2013, penderita gagal jantung di Indonesia paling banyak ditemukan
pada kelompok usia 55-64 tahun dan kelompok jenis kelamin wanita. Di Eropa, insidensi

1
gagal jantung bervariasi 0,4-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata
usia 74 tahun.2,3
Prevalensi gagal jantung mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring usia, dan
mengenai 6-10% orang dengan usia >65 tahun. Insidensi gagal jantung pada pria dua kali
lipat lebih tinggi seiring penambahan usia tiap 10 tahun setelah usia 65 tahun. Meskipun
insidensi relatif gagal jantung lebih rendah pada wanita dibandingkan pria, wanita
menyumbang setidaknya setengah kasus gagal jantung karena usia harapan hidup yang lebih
panjang. Di Amerika Utara dan Eropa, risiko terjadinya gagal jantung mencapai 1 dari 5
orang pada usia 40 tahun.2

3.1.3 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh adanya disfungsi miokardium, endokardium,
perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, gangguan katup, dan kelainan irama. Pada
negara-negara industri seperti Eropa dan AS, penyakit jantung koroner merupakan penyebab
utama gagal jantung pada pria dan wanita dan bertanggung jawab atas 60-75% kasus.
Hipertensi juga berkontribusi atas 75% kasus gagal jantung, termasuk pada kebanyakan
pasien dengan penyakit jantung koroner. Di Indonesia belum ada data yang pasti mengenai
etiologi utama gagal jantung, namun berdasarkan data rumah sakit di Palembang, hipertensi
merupakan penyebab gagal jantung terbanyak, diikuti penyakit jantung koroner dan katup.
Penyakit jantung koroner dan hipertensi saling meningkatkan risiko gagal jantung, begitu
pula diabetes mellitus (DM).1,2
Etiologi gagal jantung dapat dibedakan berdasarkan fraksi ejeksi ventrikel kiri pada
pasien. Pada 20-30% kasus gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi, etiologi dasarnya
tidak diketahui. Pasien-pasien tersebut dirujuk dengan kardiomiopati non-iskemik, dilatasi,
atau idiopatik jika penyebabnya belum diketahui. Riwayat infeksi virus sebelumnya atau
paparan toksin, seperti alkoholik atau kemoterapi juga dapat memicu terjadinya
kardiomiopati dilatasi. Selain itu, kardiomiopati dilatasi juga dapat terjadi sekunder terhadap
defek genetik spesifik, seperti gen-gen pada sitoskeleton.2
Berikut ini adalah etiologi gagal jantung berdasarkan fraksi ejeksi dan cardiac output.
Fraksi Ejeksi Menurun (≤40%)
Penyakit arteri koronaria Chronic volume overload
● Infark Miokard ● Penyakit katup regurgitasi
● Iskemia Miokard ● Pirau aliran intrakardiak (kiri
ke kanan)
● Pirau aliran ekstrakardiak
Chronic pressure overload Penyakit paru kronik
● Hipertensi ● Cor pulmonal
● Penyakit katup obstruktif ● Gangguan vaskular paru
Kardiomiopati dilatasi non-iskemik Kerusakan akibat obat/zat toksik
● Gangguan genetik/familial ● Gangguan metabolik
● Gangguan infiltratif ● Virus
Penyakit Chagas Gangguan frekuensi dan ritme jantung
● Bradiaritia kronik
● Takiaritmia kronik
Fraksi Ejeksi Mid-Range (41%-49%)
Penyakit jantung iskemik Hipertensi
Penyakit ginjal kronis Penuaan
Fraksi Ejeksi Menetap (≥50%)
Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif
● Primer (kardiomiopati ● Gangguan infiltratif
hipertrofik) (amiloidosis, sarkoidosis)
● Sekunder (hipertensi) ● Storage disease
(hemokromatosis)
Penuaan Fibrosis
Gangguan endomiokardium
Keadaan High-Output
Gangguan metabolik Kebutuhan aliran darah yang berlebih
● Tirotoksikosis ● Systemic arteriovenous
shunting
● Anemia kronik
Gangguan nutrisional Penyakit Paget
● Beri-beri
Keadaan Low-Output
Hipertensi Kardiomiopati dilatasi
Kelainan katup Kelainan perikardium

Tabel 1. Etiologi Gagal Jantung2


3.1.4 Faktor Risiko
Faktor risiko kejadian gagal jantung dapat terbagi menjadi dua, yaitu faktor predisposisi
dan faktor presipitasi. Berikut ini merupakan beberapa faktor predisposisi kejadian gagal
jantung.
a. Penyakit jantung koroner
b. Hipertensi
c. Diabetes
d. Obesitas
e. Riwayat merokok
f. Diet tinggi lemak, kolesterol, dan garam
g. Kurangnya aktivitas fisik
h. Konsumsi alkohol berlebih
Adapun faktor risiko yang dapat mencetuskan sindroma gagal jantung (faktor
presipitasi) adalah sebagai berikut.
i. Infeksi
j. Aritmia
k. Infark jantung
l. Anemia
m. Hipertiroid
n. Kehamilan
o. Miokarditis
p. Virus
q. Demam reumatik
r. Endokarditis infektif1

3.1.5 Patofisiologi
Pada gagal jantung, remodelling ventrikel kiri terjadi sebagai respon terhadap
serangkaian kejadian kompleksi yang terjadi pada tingkat seluler dan molekular. Perubahan
yang terjadi meliputi:
a. Hipertrofi miosit
b. Perubahan kontraksi miosit
c. Kematian miosit secara progresif melalui proses nekrosis, apoptosis, dan kematian sel
autofagi
d. Desensitisasi β-adrenergik
e. Metabolisme dan energi miokardium yang abnormal
f. Reorganisasi matriks ekstraselular dengan disolusi kolagen struktural terorganisasi
disekitar miosit, sehingga digantikan dengan matriks kolagen interstisial yang tidak
menyediakan dukungan struktural pada miosit.

Stimulus-stimulus biologi tersebut memicu terjadinya berbagai perubahan, meliputi regangan


mekanis pada miosit, neurohormonal di sirkulasi (seperti norepinefrin dan angiotensin II),
sitokin pro-inflamasi (seperti tumor necrosis factor [TNF]), peptida lain dan faktor
pertumbuhan (seperti endothelin), dan reactive oxygen species (seperti superoksida).
Overekspresi berkelanjutan dari molekul-molekul aktif biologi tersebut berkontribusi dalam
progresivitas gagal jantung melalui efek destruktif yang mereka berikan pada jantung dan
sirkulasi.2

Gambar 1. Mekanisme Kompensasi RAAS dan Neurohormonal2


Aktivasi neurohormonal dan kelebuhan beban mekanis menghasilkan perubahan
transkripsi dan pascatranskripsi gen-gen dan protein-protein yang meregulasi interaksi
excitation-contraction coupling dan cross-bridge. Perubahan yang meregulasi excitation-
contraction meliputi penurunan fungsi Ca2+ adenosine trifosfatase retikulum sarkoplasma
yang menyebabkan penurunan uptake Kalsium ke retikulum sarkoplasma, dan
hiperfosforilasi reseptor ryanodine, yang memicu kebocoran kalsium dari retikulum
sarkoplasma. Sedangkan perubahan pada cross bridge meliputi penurunan ekspresi rantai
berat α-myosin dan peningkatan ekspresi rantai berat β-myosin, miositolisis, dan kerusakan
pada sambungan sitoskeletal diantara sarkomer dan matriks ekstraselular. Secara
keseluruhan, perubahan-perubahan ini mengganggu kemampuan miosit untuk berkontraksi
sehingga berkontribusi pada penurun fungsi sistolik ventrikel kiri pada pasien gagal jantung.2
Relaksasi miokardium merupakan proses yang bergantung pada adenosine trifosfat
(ATP) dan diregulasi oleh uptake kalsium sitoplasma ke retikulum sarkoplasma melalui Ca 2+
adenosine trifosfatase retikulum sarkoplasma dan pengeluaran kalsium melalui pompa
sarkolema. Oleh karena itu, penurunan konsentrasi ATP seperti yang terjadi pada kondisi
iskemia dapat mengganggu proses ini dan memicu perlambatan relaksasi miokardium. Selain
itu, apabila terjadi perlambatan pengisian ventrikel kiri karena penurunan pengembangan
ventrikel kiri (misalnya karena hipertrofi atau fibrosis), tekanan pengisian ventrikel kiri akan
tetap meningkat pada akhir diastole. Peningkatan denyut jantung dapat memperpendek waktu
pengisian diastolik yang dapat memicu peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri,
terutama pada ventrikel yang mengalami gangguan pengembangan ventrikel. Peningkatan
tekanan pengisian akhir diastolik menyebabkan peningkatan tekanan kapiler pulmonal yang
dapat memicu terjadinya gejala dispneu pada pasien dengan gangguan fungsi diastolik.
Gangguan relaksasi miokardium, peningkatan kekakuan miokardium sekunder terhadap
hipertrofi jantung dan peningkatan kolagen miokardium dapat berperan dalam kegagalan
diastolik. Disfungsi diastolik dapat terjadi dengan/tanpa disfungsi sistolik pada pasien gagal
jantung.2

Gambar 2. Patofisiologi Gagal Jantung1


Umumnya, adanya suatu beban/penyakit miokardium sebelumnya yang mengakibatkan
terjadinya remodelling struktural mendasari terjadinya gagal jantung. Remodelling struktural
ini kemudian diperberat oleh progresivitas beban/penyakit tersebut sehingga menghasilkan
sindroma klinis. Sindroma klinis inilah yang disebut dengan gagal jantung. Selain itu,
remodelling struktural ini memicu terjadinya berbagai mekanisme kompensasi sehingga
fungsi jantung dapat terpelihara (relatif normal). Kondisi ini disebut dengan gagal jantung
asimtomatis. Sindroma klinis pada gagal jantung simtomatis akan terliha apabila terdapat
faktor pencetus seperti infeksi, aritmia, infark miokardium, anemia, hipertiroid, kehamilan,
aktivitas berlebih, emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli paru, miokarditis, virus,
hipertensi, demam rematik, dan endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatik juga dapat
muncul apabila terjadi kerusakan miokardium akibat progresivitas penyakit jantung
sebelumnya yang mendasari terjadinya gagal jantung.1

3.1.6 Manifestasi Klinis


Gagal jantung merupakan suatu keadaan patofisiologi dimana jantung mengalami
kegagalan dalam memompakan darah sesuai dengan kebutuhan di jaringan. Adapun
manifestasi klinis yang dapat tampak pada pasien gagal jantung addalah sebagai berikut.2
a. Kelelahan (fatigue)
Gejala kardinal gagal jantung adalah keleahan (fatigue) dan sesak napas.
Meskipun kelelahan (fatigue) dapat ditemukan pada gagal jantung cardiac output yang
rendah, kelahan juga sering ditemukan pada abnormalitas otot skeletal dan komorbid
non-jantung (seperti anemia).
b. Dispneu
Gejala kardinal gagal jantung adalah keleahan (fatigue) dan sesak napas. Pada
tahap awal, dispneu hanya dirasakan ketika beraktivitas, namun seiring penyakit
berprogresi, dispneu, dispneu terjadi pada aktivitas yang lebih ringan, dan lama-
kelamaan dapat muncul bahkan pada saat pasien beristirahat. Mekanisme yang
mendasari terjainya dispneu pada gagal jantung bersifat multifaktorial. Mekanisme
dispneu yang utama adalah adanya kongesti paru dengan akumulasi cairan interstisial
dan intra-alveolar yang mengaktivasi reseptor jukstakapilari J yang memicu pernapasan
yang cepat dan dangkal (karakteristik dispneu jantung). Faktor lain yang berkontribusi
dispneu yang diperberat dengan aktivitas meliputi penurunan pengembangan paru,
peningkatan hambatan jalan napas, otot napas, dan/atau kelelahan diafragma
(diapraghmatic fatigue), dan anemia.
c. Orthopneu
Selain sesak napas yang memberat dengan aktivitas, karakteristik sesak napas
lainnya yang dapat ditemukan pada gagal jantung adalah orthopneu dan paroxysmal
nocturnal dispneu. Orthopneu merupakan sesak yang terjadi pada posisi pasien
terlentang. Umumnya kondisi ini terjadi sebagai manifestasi tahap lanjut gagal jantung
setelah dispneu yang memberat dengan aktivitas. Kondisi ini terjadi akibat adanya
redistribusi cairan dari dari sirkulasi splanknik dan ekstremitas bawah selama posisi
terlentang yang memicu peningkatan tekanan pada kapiler paru. Batuk malam hari
menjadi salah satu manifestasi yang sering ditemukan pada kondisi ini dan merupakan
gejala yang sering diabaikan pada gagal jantung. Orthopneu berkurang dengan posisi
duduk atau tidur dengan tambahan bantal.
d. Paroxysmal Nocturnal Dispneu (PND)
Selain sesak napas yang memberat dengan aktivitas, karakteristik sesak napas
lainnya yang dapat ditemukan pada gagal jantung adalah orthopneu dan paroxysmal
nocturnal dispneu. Paroxysmal Nocturnal Dispneu (PND) merujuk pada episode aku
sesak napas dan batuk berat yang umumnya terjadi di malam hari dan sering
membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah pasien tertidur. PND dapat
bermanifestasi sebagai batuk atau mengi yang kemungkinan diakibatkan adanya
peningkatan tekanan pada arteri bronkhial yang memicu kompresi jalan napas,
beriringan dengan edema paru interstisial yang memicu hambatan jalan napas. Berbeda
dengan orthopneu, batuk dan mengi pada pasien PND bersifat persisten dan tidak
berkurang gejalanya meskipun pasien dalam keadaan duduk/berdiri.
e. Pernapasan Cheyne-Stokes
Pada 40% pasien dengan gagal jantung tahap lanjut, ditemukan pernapasan
Cheyne-Stokes. Pernapasan Cheyne-Stokes merupakan pernapasan periodik atau siklik
yang umumnya dikaitkan dengan cardiac output yang rendah. Tipe pernapasan ini
disebabkkan adanya peningkatan sensitivitas pusat pernapasan terhadap PCO 2 arterial.
Terdapat fase apneu, selama penurunan PO2 arterial dan peningkatan PCO2 arterial.
Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat pernapasan yang memicu
terjadinya hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti dengan apneu berulang.
f. Gejala Gastrointestinal
Gejala lainnya yang dapat ditemukan pada pasien gagal jantung meliputi gejala
gastrointestinal dan serebral. Gejala gastrointestinal yang dimaksud meliputi anoreksia,
nausea, dan kenyang lebih awal terkait nyeri abdomen dan rasa penuh terkait edema
pada dinding usus dan/atau kongesti hepar. Kongesti hepar dan peregangan kapsula
hepar dapat memicu terjadinya nyeri pada kuadran kanan atas abdomen dan desakan
pada lambung (apabila terjadi hepatomegali).
g. Gejala Serebral
Gejala lainnya yang dapat ditemukan pada pasien gagal jantung meliputi gejala
gastrointestinal dan serebral. Sedangkan gejala serebral yang dapat ditemukan meliputi
kebingungan (konfusi), disorientasi, serta gangguan tidur dan mood, terutama pada
pasien dengan gagal jantung berat (umumnya pada lansia dengan arteriosklerosis
serebral dan penurunan perfusi serebral). Nokturia seing terjadi pada gagal jantung dan
dapat berkontribusi pada kondisi insomnia (gangguan tidur).
h. Kelainan pada Tanda Vital
Pada tahap awal gagal jantung, tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi,
namun umumnya akan menjadi rendah pada gagal jantung tahap lanjut karena disfungsi
ventrikel kiri yang berat. Tekanan nadi dapat teraba lebih kecil yang menggambarkan
adanya penurunan stroke volume. Adanya takikardia pada pasien gagal jantung
disebabkan oleh meningkatnya aktivitas adrenergik, namun tanda ini tidak spesifik
hanya pada gagal jantung. Vasokonstriksi perifer akibat aktivitas adrenergik berlebih
dapat menyebabkan ekstremitas teraba dingin dan sianosis pada bibir dan nail bed.
i. Peningkatan Tekanan Vena Jugular
Umumnya, tekanan vena jugular meningkat pada pasien gagal jantung. Namun
pada gagal jantung tahap awal, tekanan vena jugular bisa tampak normal saat
beristirahat tetapi dapat meningkat secara abnormal dengan penekanan yang terus
menerus pada abdomen (selama 15 detik) (refluks abdominojugular positif).
Pemeriksaan tekanan vena jugular dapat menggambarkan estimasi tekanan atrium
kanan.
j. Temuan Abnormal pada Paru
Adanya ronkhi paru (kasar atau halus) disebabkan oleh transudasi cairan dari
ruang intravaskular ke alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronkhi halus dapat
terdengar secara luas pada kedua lapangan paru. Ketika ditemukan tanpa penyakit paru
penyerta, ronkhi halus menjadi spesifik untuk gagal jantung. Ronkhi halus jarang
ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, meski dengan tekanan pengisian
ventrikel kiri meningkat, karena peningkatan drainase limfatik cairan alveolar.
Efusi pleura dapat terjadi akibat peningkatan tekanan kapiler sehingga
menyebabkan transudasi cairan ke kavitas pleura. Vena pleura bermuara ke vena
sistemik dan pulmonal sehingga kebanyakan, efusi pleura terjadi pada kondisi gagal
kedua ventrikel. Meskipun efusi pleura sering ditemukan bilateral pada gagal jantung,
namun apabila terjadi unilateral, umumnya lebih sering terjadi pada pleura sebelah
kanan.
k. Temuan Abnormal pada Jantung
Jika ditemukan kardiomegali, iktus kordis umumnya mengalami disposisi ke
bawah intercostal ke-5 dan/atau lateral dari line midklavikularis, dan iktus cordis dapat
teraba pada dua intercostal. Hipertrofi ventrikel kiri dapat memicu kondisi ini terjadi
secara terus menerus. Pada beberapa pasien, suara jantung ke-3 (S 3) dapat didengar atau
teraba pada apeks. Pasien dengan pelebaran atau hipertrofi ventrikel kanan dapat
memicu adanya denyut parasternal kiri selama fases sistolik yang terus menerus dan
memanjang. S3 (gallop protodiastolik) paling banyak terjadi pada pasien dengan volume
overload dengan tekikardia dan takipneu, serta sering menandakan adanya gangguan
hemodinamik yang berat. Suara jantung S4 bukanlah indikator spesifik untuk gagal
jantung, namun dapat ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur
regurgitasi katup mitral dan trikuspid sering ditemukan pada gagal jantung tahap lanjut.
l. Temuan Abnormal pada Abdomen dan Ekstremitas
Hepatomegali merupakan tanda yang penting pada pasien dengan gagal jantung.
Ketika terjadi hepatomegali, pelebaran hepar umumnya teraba lunak. Ascites pada
gagal jantung terjadi akibat peningkatan tekanan pada vena hepatika sehingga cairan
mengalir ke peritoneum, umumnya kondisi ini terjadi timbul lebih terlambat
dibandingkan manifestasi klinis lainnya. Ikterus juga dapat ditemukan pada penderita
gagal jantung akibat gangguan fungsi hepatik sekunder terhadap kongesti hepar dan
hipoksemia hepatoselular serta terkait dengan peningkatan bilirubin, baik indirek
ataupun direk. Kondisi ini juga umumnya timbul lebih terlambat dibandingkan
manifestasi klinis lainnya
Edema perifer merupan tanda kardinal gagal jantung, namun kondisi ini tidak
spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang telah ditangani secara adekuat
dengan diuretik. Umumnya edema perifer terjadi simetris, khususnya pada pergelangan
kaki dan regio pretibial, terutama pada pasien rawat jalan. Pada pasien yang di rawat
inap, edema dapat ditemukan juga pada area sakral (presakral) dan skrotum.
m. Kaheksia Jantung
Pada gagal jantung kronik yang berat, penurunan berat badan dan kaheksia yang berarti
dapat ditemukan. Mekanisme kaheksia pada gagal jantung belum sepenuhnya
diketahui. Namun apabila manifestasi klinis ini ditemukan, maka prognosis secara
keseluruhan akan menjadi buruk.2

Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
● Sesak napas ● Peningkatan JVP
● Orthopneu ● Refluks hepatojugular
● Paroxysmal Nocturnal Dispneu ● Suara S3 gallop
(PND) ● Apeks jantung bergeser ke
● Toleransi aktivitas berkurang lateral
● Cepat lelah ● Murmur jantung
● Bengkak pada pergelangan kaki
Kurang tipikal Kurang Tipikal
● Batuk malam/dini hari ● Edema perifer
● Mengi ● Krepitasi pulmonal
● Berat badan bertambah ● Suara pekak di basal paru
>2kg/minggu saat perkusi
● Berat badan turun (gagal jantung ● Takikardia
stadium lanjut) ● Nada iregular
● Kembung/begah ● Napas cepat
● Mafsu makan menurun ● Hepatomegali
● Perasaan bingung (terutama pada ● Ascites
lansia) ● Kaheksia
● Depresi
● Berdebar
● Pingsan

Tabel 2. Gejala dan Tanda Gagal Jantung2

Berdasarkan New York Heart Association dengan mempertimbangkan pengaruh


aktivitas terhadap manifestasi klinis gagal jantung, kapasitas fungsional jantung
diklasifikasikan ke dalam empat kelas yaitu sebagai berikut.
Kapasitas Fungsional Manifestasi Klinis
Kelas I Tidak ada batasan aktivitas fisik sehari-hari
tidak menimbulkan kelelahan, berdebar atau
sesak nafas.
Kelas II Terdapat batasan aktivitas ringan. Tidak
terdapat keluhan saat istrahat, namun
aktivitas sehari-hari menimbulkan kelelahan,
berdebar atau sesak nafas.
Kelas III Terdapat batasan aktivitas yang bermakna.
Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun
aktivitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,
berdebar atau sesak nafas.
Kelas IV Tidak dapat melakukan aktivitas tanpa
keluhan. Terdapat gejala saat istrahat.
Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas.

Tabel 3. Klasifikasi NYHA1,2


3.1.7 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan melalui proses anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan elektrokardiografi/foto thoraks, ekokardiografi-Doppler, pemeriksaan
biomarker, dan uji latihan.
a. Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting untuk mendapatkan riwayat gejala yang
terperinci, kondisi medis yang mendasarinya, dan kapasitas fungsional / toleransi
latihan untuk dapat mendiagnosis dan menatalaksana pasien secara memadai. Gejala
yang paling sering dilaporkan adalah sesak napas. Perincian lebih lanjut mengenai
gejala ini penting untuk membantu menjelaskan penyebab potensial gagal jantung yang
terjadi dan kemudian dapat digolongkan apakah sesak tersebut dipengaruhi aktivitas
(dispneu d’effort), perubahan posisi (orthopneu), dan apakah gejala tersebut terjadi
secara akut atau kronik. Gejala lain yang juga sering dilaporkan pada gagal jantung
meliputi nyeri dada, palpitasi, anoreksia, dan kelelahan (fatigue). Beberapa pasien juga
dapat mengalami batuk saat berbaring akibat adanya orthopneu.2
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien gagal jantung memerlukan penilaian secara
komprehensif. Tampilan umum pasien dengan gagal jantung kronik yang berat atau
pasien yang mengalami kegagalan jantung dekompensata akut, akan tampak tampilan
cemas (anxiety), diaforesis, dan status gizi yang buruk.
Temuan klasik pemeriksaan fisik pada gagal jantung adalah ronkhi halus paru
yang dapat diterjemahkan sebagai intensitas gagal jantung sedang-berat. Temuan ini
menunjukkan adanya edema paru akibat kongesti pulmonal. Seiring meningkatnya
tingkat keparahan, sputum berbusa dan bercampur darah dapat terlihat. Namun perlu
diingat, ketiadaan ronkhi halus tidak menyingkirkan kongesti pulmonal.
Distensi vena jugular merupakan temuan klasik lainnya yang harus dinilai pada
pasien gagal jantung. Peningkatan distensi vena jugular secara paradoksikal dapat
dijumpai bersamaan dengan pernapasan Kussmaul. Pada pasien dengan peningkatan
tekanan pengisian pada sisi kiri jantung, refluks hepatojugular (distensi vena jugular
setelah memberikan tekanan pada hepar dengan posisi pasien berbaring dengan sudut
45ᵒ) dapat ditemukan. Selain edema paru, manifestasi klinis edema perifer juga sering
ditemukan pada pasien gagal jantung. Edema perifer umumnya terjadi pada pasien
gagal jantung derajat berat akibat adanya overload volume cairan.
Temuan pada pemeriksaan fisik jantung yang dapat ditemukan pada pasien gagal
jantung meliputi S3 gallop, pulsus alternans, dan penguatan bunyi jantung II pada katup
pulmonal. Bunyi S3 gallop merupakan temuan yang paling signifikan dan awal pada
pasien gagal jantung, namun terkadang bunyi S3 gallop dapat tidak terdengar pada
pasien dengan obesitas. Pada kardiomiopati dilatasi, murmur regurgitasi pada katup
mitral dan trikuspid dapat dijumpai.2
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien dengan onset baru gagal jantung, gagal jantung kronik atau
dekompensasi akut, perlu dilakukan pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, Blood Urea
Nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepar, dan urinalisis. Beberapa pasien juga
perlu melakukan penilaian diabetes mellitus (glukosa darah puasa atau uji toleransi
glukosa oral), dislipidemia (profil lipid), dan abnormalitas tiroid (TSH dan free T4)
sesuai indikasi.2
d. Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG rutin 12 sadapan direkomendasikan pada pasien gagal jantung
untuk menilai ritme jantung dan menentukan adanya hipertrofi ventrikel kiri atau
adanya infark miokardial sebelumnya (ada/tidaknya gelombang Q) sekaligus menilai
lebar kompleks QRS untuk memastikan apakah pasien perlu diberikan terapi
resinkronisasi atau tidak. EKG yang normal dapat menyingkirkan disfungsi sistolik
ventrikel kiri.2
e. Pemeriksaan Foto Thoraks
Foto thoraks dada menyediakan informasi yang bermanfaat mengenai ukuran dan
bentuk jantung, sekaligus kondisi pembuluh darah paru, serta dapat mengidentifikasi
penyebab nonkardiak dari gejala yang dialami pasien. Meskipun pada pasiengagal
jantung akut memiliki gambaran hipertensi pulmonal, edema interstisial dan/atau
edema paru, mayoritas pasien gagal jantung kronik tidak memilikinya. Hal ini dapat
disebabkan karena adanya peningkatan kapasitas limfatik untuk membersihkan cairan
paru dan/atau interstisial.2
f. Ekokardiografi-Doppler
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan salah satu metode pencitraan jantung
noninvasif yang penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan menatalaksana gagal
jantung. Ekokardiogram dua dimensi dapat menyediakan informasi mengenai penilaian
ukuran ventrikel kiri secara semikuantitatif dan sekaligus fungsinya, serta ada/tidaknya
abnormalitas katup jantung dan/atau abnormalitas pergerakan dinding jantung regional
(mengindikasikan adanya infark miokardial sebelumnya). Adanya dilatasi atrium kiri
dan hipertrifi ventrikel kanan, bersamaan dengan abnormalitas pengisian diastolik
ventrikel kiri berguna untuk menilai gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menetap.
Selain itu, ekokardiogram dua dimensi juga penting dalam menilai ukuran ventrikel
kanan untuk evaluasi dan tata laksana cor pulmonale.2
g. Pemeriksaan Biomarker
Level peptida natriuretik di sirkulasi merupakan indikator tambahan yang
berguna dan penting dalam mendiagnosis pasien dengan gagal jantung. Baik Peptida
natriuretik tipe B (BNP) dan pro peptida natriuretik N terminal (NT-proBNP) yang
dilepaskan oleh jantung yang mengalami kegagalan, merupakan penanda yang relatif
sensitif pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun. Kedua penanda ini juga
dapat meningkat pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menetap tetapi
penigngkatannya lebih sedikit jika dibandingkan dengan peningkatan pada gagal
jantung dengan penurun fraksi ejeksi.2
Pada pasien rawat jalan, penilaian kedua penanda ini berguna untuk mendukung
pengambilan keputusan klinis terkait diagnosis gagal jantung. Selain itu, pengukuran
keduanya dapat berguna untuk menegakkan prognosis dan tingkat keparahan penyakit
pada gagal jantung kronik dan berguna juga untuk mencapai dosis optimal terapi medis
yang dipiih secara klinis pada pasien euvolemia. Namun perlu diketahui, level peptida
natriuretik meningkat seiring bertambahnya usia dan kerusakan ginjal, lebih meningkat
pada wanita, serta dapat juga meningkat pada gagal jantung kanan karna penyebab
tertentu. Level BNP dapat meningkat pada pasien yang mengonsumsi obat golongan
ARNI dan dapat ditemukan rendah palsu pada pasien obesitas.2
h. Uji Latihan
Treadmill atau uji latih sepeda tidak secara rutin disarankan pada pasien gagal
jantung, namun berguna dalam menilai kebutuhan untuk transplantasi jantung pada
pasien dengan gagal jantung tahap lanjut. Uptake oksigen puncak (vo2) <14 mL/kg per
menit dikaitkan dengan prognosis yang relatif buruk. Pasien dengan (vo 2) <14 mL/kg
per menit, secacara umum, memiliki survival yang lebih baik dengan transplantasi
dibantingkan jika ditatalaksana dengan obat-obatan.

Kriteria Frammingham dapat digunakan sebagai kriteria penegakkan diagnosis gagal


jantung. Kriteria Frammingham terbagi atas kriteria mayor dan kriteria minor yaitu sebagai
berikut.1

Kriteria Mayor Kriteria Minor


● Paroxysmal nocturnal dispneu ● Edema ekstremitas
● Orthopneu ● Batuk malam hari
● Distensi vena jugular ● Dispneu d’effort
● Ronkhi paru ● Hepatomegali
● Kardiomegali ● Efusi pleura
● Edema paru akut ● Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
● Gallop S3 normal
● Peninggian tekanan vena jugular ● Takikardia (>120x/menit)
● Refluks hepatojugular
Mayor atau Minor
Penurunan BB≥4,5 kg dalam 5 hari terapi

Tabel 4. Kriteria Frammingham1

Diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan dengan minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
mayor dan 2 kriteria minor terpenuhi. 1

3.1.8 Tata Laksana


3.1.8.1 Nonfarmakologis
a. Nutrisi (Diet Jantung)
Prinsip perencanaan diet pada gagal jantung adalah pembatasan garam atau natrium
hingga 2000 mg/hari dan pembatasan cairan hingga 2L/hari. Selain itu, diet pada gagal
jantung juga harus rendah pada lemak tersaturasi dan lemak trans, dan difokuskan pada
sayur-sayuran, buah, gandum utuh, dan protein rendah lemak (lean protein) untuk
menjaga kesehatan jantung secara keseluruhan.
● Pembatasan Konsumsi Garam
Cairan yang berlebih dalam tubuh akan memperberat beban kerja jantung.
Garam berisikan natrium yang dapat menyebabkan lebih banyak cairan yang
teretensi di dalam tubuh. Retensi cairan yang terjadi berkontribusi pada keajdian
edema pergelangan kaki dan pretibial, ascites, serta kongesti paru yang
menyebabkan terjadinya sesak.6
Membatasi konsumsi natrium/garam kadang sulit dilakukan. Hal ini
disebabkan karena selain berasal dari makanan yang diproses dan dipersiapkan
dengan garam, terdapat beberapa bahan makanan secara alamiah mengandung
natrium. Oleh karena itu, identifikasi makanan atau bahan makanan yang
mengandung garam/natrium sangat penting dilakukan. Berikut ini adalah makanan-
makanan yang mengandung natrium.6
Makanan Natrium Makanan Natrium
(mg) (mg)
Sayuran Buah
Segar atau dibekukan 1-70 Segar, dibekukan, 0-5
½c dikalengkan, ½ c
Dikalengkan atau 140-460 Buah dikeringkan 0-15
diberi saus
Jus tomat, kaleng, ½ c 330 Kacang-kacangan, Biji-bijian,
dan Polong
Gandum utuh Kacang tanah (peanut), 120
diasinkan, ½ c
Sereal, nasi, pasta 0-5 Kacang tanah (peanut), 0-5
(tanpa garam) yang tidak diasinkan, ½ c
dimasak ½ c
Sereal siap saji 1 c 0-360 Kacang (beans) 400
dimasak dari yang
dikeringkan atau
dibekukan, tidak
diasinkan, ½ c
Roti tawar, 1 lembar 110-175 Kacang (beans), 400
dikalengkan, ½ c
Susu Rendah Lemak, Bebas Daging Bebas Lemak, Ikan, dan
Lemak, dan Produk Susu Unggas
Susu, 1 c 107 Daging, ikan, unggas 30-90
segar, 3 oz
Yoghurt, 1 c 175 Tuna dikalengkan, 35-45
dikemas dengan air,
tidak ada tambahan
garam, 3 oz
Keju alami, 1 ½ oz 110-450 Tuna dikalengkan, 230-350
dikemas dengan air, 3
oz
Keju yang diproses, 2 600 Daging ham, bebas 1020
oz lemak, dipanggang, 3
oz

Tabel 5. Kadar Natrium dalam Makanan6


Satu sendok teh garam mengandung sekitar 2300 mg natrium. Oleh karena itu,
asupan harian garam (natrium maksimal 2000 mg) baik yang ditambahkan pada
makanan atau yang terkandung dalam bahan makanan itu sendiri, tidak boleh
melebihi jumlah 1 sendok teh garam.6

● Pembatasan Konsumsi Cairan Maksimal 2L/hari


Air minum dalam 1 gelas setara dengan 250 mL air. Jadi dalam sehari, pasien
gagal jantung maksimal mengonsumsi 8 gelas air. Apabila sering terlupa, air yang
akan diminum dalam sehari dapat dimasukkan ke dalam botol berukuran 2L sebagai
pengingat bahwa air yang boleh diminum dalam sehari hanya seukuran botol terebut
saja. Apabila pasien memiliki masalah mulut kering atau haus, dapat dicoba untuk
mengunyah mint atau buah-buah kecil seperti berries dan anggur kemudian dihisap.
Hal tersebut dapat menstimulasi produksi saliva sehingga mulut tidak lagi kering.6
Namun perlu diingat, cairan yang dihitung tidak hanya
berasal dari air minum saja, perhitungkan juga semua
minuman yang dikonsumsi pasien, seperti kopi, teh, jus, sup,
dan sebagainya. Batasi kopi atau minuman lain yang
mengandung kafein ≤4 gelas per hari serta hindari konsumsi
alkohol.6

b. Manajemen Perawatan Mandiri


Tindakan manajemen perawatan mandiri bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi, dan mendeteksi gejala wal
perburukan gagal jantung. Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran penting
dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberikan dampak yang
bermakna untuk meringankan gejala gagal jantung serta memperbaiki kapasitas
fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis pasien gagal jantung.7

c. Pemantauan Ketaatan Pasien Berobat


Ketaatan pasien berobat memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup, morbiditas,
dan mortalitas pasien. Hanya 20-60% pasien gagal jantung yang menaati terapi
farmakologi dan non farmakologi berdasarkan literatur. Oleh karena itu pemantauan
ketaatan minum obat penting untuk dilakukan.7

d. Pemantauan Berat Badan Mandiri


Pemantauan berat badan secara mandiri dan rutin setiap hari harus dilakukan oleh
pasien. Jika dijumpai kenaikan berat badan lebih dari 2 kg dalam 3 hari, dosis diuretik
harus ditingkatkan sesuai pertimbangan oleh dokter.7

e. Penurunan Berat Badan


Pada pasien gagal jantung dengan obesitas atau overweight, penurunan berat badan
sebanyak 5-10% secara perlahan dapat meringankan gejala gagal jantung yang dialami,
mencegah perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kualitas hidup.
● Makan dalam porsi yang lebih kecil dan seimbangkan zat gizi makanan di dalam
piring, meliputi ¼ protein, ¼ karbohidrat (termasuk kentang), dan ½ sayur.
● Makan 3 kali sehari, tidak boleh lebih dari 6 jam jaraknya (antara makan pagi-siang-
malam). Jangan lewatkan makan besar (3 kali sehari), selang diantara jam makan
dapat diisi dengan snack berupa buah.
● Pilih makanan yang rendah lemak dan gula.
● Buat target penurunan berat badan maksimal 0,5-1 kg per minggu.7

f. Pemantauan Kehilangan Berat Badan Tanpa Rencana


Pada kasus gagal jantung berat, malnutrisi klinis atau subklinis dapat dijumpai. Salah
satu prediktor penurunan angka kematian pada gagal jantung adaah kaheksia jantung.
Kaheksia didefinisikan jika selama 6 bulan terakhir, pasien kehilangan >6% berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan. Status nutrisi pasien harus dinilai
dengan hati-hati. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemantauan terhadap penurunan
berat badan tanpa rencana.7

g. Latihan Fisik
Pada pasien gagal jantung kronik yang stabil, latihan fisik direkomendasikan.
Program latihan fisik, baik yang dikerjakan di rumah sakit ataupun di rumah, memiliki
efek yang sama baiknya. Latihan fisik yang dapat dilakukan adalah jalan 3-5
kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang.7

3.1.8.2 Farmakologis
Tujuan terapi gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi
(EF≤40%) adalah untuk mengurangi risiko kematian, mencegah
masuk rumah sakit berulang akibat perburukan gagal jantung
(menurunkan risiko kesakitan), dan memperbaiki status klinis,
kapasitas fungsional, serta kualitas hidup. Pada pasien gagal
jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun, farmakoterapi
merupakan landasan utama tata laksana. Gambar berikut ini
merupakan strategi pengobatan pada pasien gagal jantung dengan
penurunan fraksi ejeksi.8
Gambar 3. Manajemen Pasien Gagal Jantung dengan Penurunan Fraksi Ejeksi8
Modulasi sistem renin angiotensin-aldosteron dan saraf simpatis melalui obat golongan
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensin Receptor-Neprilysin
Inhibitor (ARNI), β-blocker, dan Mineralocorticoid Receptor Antagonist (MRA) telah
menunjukkan peningkatan survival, menurunkan risiko masuk rumah sakit, dan meringankan
gejala pada pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi. Oleh karena itu, obat-obatan
tersebut menjadi dasar farmakoterapi pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi,
kecuali jika pasien kontraindikasi atau tidak toleran terhadap obat-obatan ini. ARNI dapat
digunakan sebagai terapi pengganti ACE-I pada pasien yang tetap mengalami gejala atau
tidak terdapat perbaikan dengan pemberian ACE-I. The Sodium-Glucose Co-Transporter 2
(SGLT2) inhibitors dapagliflozin and empagliflozin dapat ditambahkan ke dalam terapi
bersama ACE-I/ARNI, β-blocker, dan Mineralocorticoid Receptor Antagonist (MRA) untuk
menurunkan risiko kematian kardiovaskular dan perburukan gagal jantung pada pasien
dengan penurunan fraksi ejeksi. Obat-obatan ini direkomendasikan pada semua pasien
dengan gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi tanpa memerhatikan apakah pasien
menderita diabetes atau tidak. Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan pada pasien dengan
penurunan fraksi ejeksi adalah diuretik, Angiotensin II type 1 Receptor Blocker (ARB), If-
channel inhibitor, kombinasi hidralazine dan Isosorbide Dinitrate (ISDN), digoksin, dan
soluble guanylate cyclase stimulator.8
Loop diuretic dirokemendasikan untuk menurunkan tanda dan/atau gejala kongesti pada
pasien dengan penurunan fraksi ejeksi. Loop diuretic menghasilkan diuresis yang lebih intens
dengan kerja yang lebih singkat dibandingkan thiazid meskipun keduanya bekerja secara
sinergis. Apabila terdapat resistensi diuretik, kedua jenis diuretik ini dapat dikombinasikan.
Namun efek samping lebih sering terjadi pada kombinasi keduanya sehingga pemberian
dalam bentuk kombinasi harus dilakukan secara hati-hati. Perlu diingat, ARNI, MRA, dan
SGLT2 inhibitor juga memiliki sifat diuretik. Prinsip penggunaan diuretik adalah mencapai
keadaan euvolemia dengan dosis diuretik serendah-rendahnya.8
Penggunaan ARB pada tatalaksana gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksitelah
berubah seiring waktu dalam beberapa tahun terakhir. Kini, ARB direkomendasikan pada
pasien yang tidak toleran terhadap ACE-I atau ARNI. Berdasarkan studi alternatif CHARM,
penggunaan Candesartan dapat menurunkan risiko kematian kardiovaskular dan risiko masuk
rumah sakit pada pasien yang tidak menerima ACE-I karena intoleransi sebelumnya.
Valsartan sebagai terapi tambahan terhadap terapi dasarnya, termasuk ACE-I, menurunkan
risiko masuk rumah sakit akibat gagal jantung pada Val-HeFT trial.8
Ivabradine (If-channel inhibitor) memperlambat denyut jantung dengan menghambat If-
channel pada sinus node. Oleh karena itu, ivabradine hanya efektif pada
pasien dengan irama sinus. Ivabradine menurunkan risiko kematian
kardiovaskular dan risiko masuk rumah sakit pada pasien gagal
jantung simtomatis dengan penurunan fraksi ejeksi ≤35%, riwayat
masuk rumah sakit dalam 12 bulan terakhir, irama sinus, dan HR≥70
kali/menit.8
Tidak ada bukti yang jelas untuk merekomendasikan terapi kombinasi hidralazin dan
ISDN dengan dosis pasti pada semua pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi.
Suatu penelitian RCT kecil pada pasien kulit hitam, tambahan kombinasi kedua obat ini pada
terapi konvensional (ACE-I, β-blocker, dan MRA) dapat menurunkan risiko kematian dan
masuk rumah sakit pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan NYHA kelas III-IV.
Namun penelitian ini sulit diterapkan pada ras atau suku lainnya. Kombinasi kedua obat ini
direkomendasikan pada pasien simtomatis dengan penurunan fraksi ejeksi yang intoleransi
atau kontra indikasi terhadap ACE-I, ARNI, atau ARB untuk menurunkan risiko kematian.8
Digoksin dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan
memiliki irama jantung yang sinus untuk menurunkan risiko masuk rumah sakit. Selain itu,
pada pasien simtomatis gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi dan fibrilasi atrial
dengan denyut ventrikel yang cepat, digoksin dapat berguna ketika opsi terapi lainnya tidak
dapat dilakukan. Namun digoksin memiliki therapeutic window yang sempit sehingga
kadarnya harus diperiksa agar konsentrasi digoksin serum tetap <1,2 ng/mL. Perlu
diperhatika pemberiannya pada pasien wanita, lansia, lemah, hipokalemia, dam subjek kurang
gizi. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, digitoksin dapat dipertimbangkan. Namun,
pengguanaan digitoksin pada pasien gagal jantung dengan irama sinus masih dalam tahap
penyelidikan.8
Studi VICTORIA menilai efikasi dan keamanan vericiguat oral (soluble guanylate
cyclase stimulator) pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan gagal ginjal
dekompensata. Insidensi kematian akibat penyakit kardiovaskular dan insidensi masuk rumah
sakit akibat gagal jantung lebih rendah dibanding pasien-pasien yang mendapatkan plasebo.
Oleh karena itu, vericiguat dapat dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pada penurunan
fraksi ejeksi untuk menurunkan risiko kematian kardiovaskular dan masuk rumah sakit akibat
gagal jantung.8

Gambar 4. Farmakoterapi Gagal Jantung dengan Penurunan Fraksi Ejeksi8

Berdasarkan panduan praktik klinis interna tahun 2019, secara praktik, berikut ini
merupakan terapi farmakologis pilihan pada gagal jantung.
a. Diuretik
Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan diuretik regular dosis
rendahdengan tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan
menghilangkan edema. Pada awal terapi, dapat dipilih golongan loop diuretic atau
tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis dapat dinaikkan, berikan diuretik IV, atau
kombinasikan loop diuretic dengan tiazid. Diuretik hemat kalium, spironolakton
dengan dosis 25-50 mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal
jantung sedang hingga berat (kelas fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik.
b. ACE-I
Penghambat reseptor ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal pada
gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai
dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu hingga mencapai dosis efektif.

c. β-blocker
Penghambat reseptor beta bermanfaat sama seperti penghambat reseptor ACE.
Pemberian dimulai dari dosis kecil kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan
kontrol yang ketat sindroma gagal jantung. Biasanya diberikan saat kondisi pasien
sudah stabil pada gagal jantung kelas II dan III. Penghambat reseptor beta yang dapat
digunakan meliputi carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-
sama dengan ACE-I dan diuretik.
d. ARB
Antagonis reseptor angiotensin II dapat digunakan bila terdapat kontraindikasi
penggunaan penghambat ACE.
e. Kombinasi hidralazin dan ISDN
Kombinasi kedua obat ini memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan
penghambat ACE sehingga dapat dipertimbangkan.
f. Digoksin
Digoksin diberikan pada pasien simtomatis dengan gagal jantung disfungsi ventrikel
kiri dan terutama yang disertai dengan fibrilasi atrial, digunakan bersamaan dengan
diuretik, ACE-I, dan β-blocker.
g. Antikoagulan dan antiplatelet
Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboliserebral pada penderita dengan fibrilasi
atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi
atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis, dan transient ischemic attack,
trombus intrakardiak, dan aneurisma ventrikel.
h. Antiaritmia
Antiaritmia tidak direkomendasikan pada pasien yang asimtomatis atau aritmia
ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia kelas I harus dihindari kecuali pada aritmia
yang mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaronedapat digunakan
untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak.

Tabel 6. Dosis Farmakoterapi Gagal Jantung dengan Penurunan Fraksi Ejeksi8

3.1.9 Prognosis
Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis mencapai 30-40% sedangkan
dalam 5 tahun meningkat hingga 60-70%. Kematian disebabkan karena aritmia ventrikel.
Berdasarkan klasifikasi, NYHA kelas IV memiliki angka kematian 30-70%, sedangkan
NYHA kelas II 5-10%.1,2
3.2 Penyakit Ginjal Kronik
3.2.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang ireversibel.
Menurut guideline The National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality
Initative (NKF KDOQI), kriteria penyakit ginjal kronik sebagai berikut:11
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi:
4) Kelainan patologis
5) Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/l ,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau
lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. 11

Kriteria PGK (semua marker ada > 3 bulan)

Marker ● Albuminuria [AER ≥ 30 mg/24 jam; ACR ≥ 30 mg/g


kerusakan (≥ 3 mg/mmol)]
ginjal (satu atau ● Abnormalitas sedimentasi urin
● Abnormalitas elektrolit atau yang lain akibat gangguan tubular
lebih)
● Abnormalitas yang terdeteksi melalui histologi
● Abnormalitas struktural yang terdeteksi melalui pencitraan
● Riwayat transplantasi ginjal

Penurunan LFG LFG < 60 ml/min/1.73 m2 (LFG kategori G3a – G5)

Rumus menghitung LFG:

Tabel 7. Kriteria penyakit ginjal kronik.11

3.2.2 Epidemiologi
Di Pada tahun 2017, terdapat 697,5 juta kasus CKD, dengan kasus CKD terbanyak
berada di China dan India. Prevalensi CKD mencapai 9,1% dari populasi manusia di dunia,
dengan pembagian CKD stadium 1-2 sebanyak 5%, stadium 3 sebanyak 3,9%, stadium 4
sebanyak 0,16%, stadium 5 sebanyak 0,07%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2018, prevalensi
CKD di Indonesia yaitu 449.800 orang, dengan prevalensi tertinggi di provinsi Maluku
sebanyak 4.351 orang. Menurut IRR 2018, pasien CKD lebih banyak pada laki-laki (57%)
dibandingkan perempuan (43%) dengan distribusi usia pasien terbanyak yaitu pada rentang
usia 45-54 tahun (30,82%).10

3.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar kategori albuminuria. Klasifikasi atas dasar derajat
penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-
Gault sebagai berikut: 11,13
( 140−umur ) xberat badan(kg)
LFG (ml/mnt/l ,73m =2
mg *)
72 xkreatinin plasma( )
dl
*pada perempuan dikalikan 0.85

Tabel 8. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit.


Tabel 9. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologik.

3.2.4 Etiologi
Beberapa penyebab penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut.
1) Diabetes
Data dari United States Renal Data System 2009 menyebutkan bahwa sekitar 50%
pasien gagal ginjal terminal di Amerika Serikat merupakan penderita diabetes.
Tingginya kadar gula darah pada penderita diabetes mellitus membuat ginjal harus
bekerja lebih keras dalam proses penyaringan darah, dan mengakibatkan kebocoran
pada ginjal. Awalnya, penderita akan mengalami kebocoran protein albumin yang
dikeluarkan oleh urin, kemudian berkembang dan mengakibatkan fungsi penyaringan
ginjal menurun. Apabila hal ini berlangsung terus-menerus maka akan mengakibatkan
terjadinya gangguan ginjal kronis. 11
Pada penderita diabetes mellitus juga mempunyai kadar kolesterol dan trigliserida
plasma yang tinggi, sedangkan konsentrasi HDL (high density lipoprotein) sebagai
pembersih plak biasanya sangat rendah. Sirkulasi yang buruk ke beberapa organ
mengakibatkan hipoksia dan cedera jaringan, yang akan merangsang reaksi peradangan
yang dapat menimbulkan aterosklerosis. Patogenesis aterosklerosis dimulai dengan
adanya pada pembuluh darah. Dengan adanya hiperglikemia yang kronis, insulin dapat
secara langsung menstimulasi pembentukan aterosklerosis. Aterosklerosis akan
menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah yang berakibat pada berkurangnya
suplai darah ke ginjal. Hal ini akan mengakibatkan gangguan pada proses filtrasi di
glomerulus yang dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal.11
2) Hipertensi
Berdasarkan United States Renal Data System 2009, 51-63% dari semua pasien
GGK merupakan penderita hipertensi. Menurut American Kidney Fund, hipertensi
merupakan faktor risiko terjadinya gangguan ginjal kronis. Peningkatan tekanan dan
regangan yang berlangsung kronis pada arteriol kecil dan glomeruli akan menyebabkan
pembuluh ini mengalami sklerosis. Lesi-lesi sklerotik pada arteri kecil, arteriol, dan
glomeruli menyebabkan terjadinya nefrosklerosis. Lesi ini bermula dari adanya
kebocoran plasma melalui membran intima pembuluh-pembuluh ini, hal ini
mengakibatkan terbentuknya deposit fibrinoid di lapisan media pembuluh darah, yang
disertai dengan penebalan progresif pada dinding pembuluh darah yang nantinya akan
membuat pembuluh darah menjadi vasokonstriksi dan akan menyumbat pembuluh
darah tersebut. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan
glomerulus dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan
terjadinya gangguan ginjal kronis. 11
3) Glomerulonefritis
Glomerulonefritis adalah inflamasi nefron, terutama pada glomerulus.
Glomerulonefritis terbagi menjadi dua, yaitu glomerulonefritis akut dan
glomerulonefritis kronis. Glomerulonefritis akut seringkali terjadi akibat respon imun
terhadap toksin bakteri tertentu (kelompok streptokokus beta A). Glomerulonefritis
kronis tidak hanya merusak glomerulus tetapi juga tubulus. Inflamasi ini mungkin
diakibatkan infeksi streptokokus, tetapi juga merupakan akibat sekunder dari penyakit
sistemik lain atau glomerulonefritis akut. 14
4) Pielonefritis kronis
Pielonefritis adalah inflamasi ginjal dan pelvis ginjal akibat infeksi bakteri. Inflamasi
dapat berawal di traktus urinaria bawah (kandung kemih) dan menyebar ke ureter, atau
karena infeksi yang dibawa darah dan limfe ke ginjal. Obstruksi traktus urinaria terjadi
akibat pembesaran kelenjar prostat, batu ginjal, atau defek kongenital yang memicu
terjadinya pielonefritis. 14
5) Batu ginjal
Batu ginjal atau kalkuli urinaria terbentuk dari pengendapan garam kalsium,
magnesium, asam urat, atau sistein. Batu-batu kecil dapat mengalir bersama urine, batu
yang lebih besar akan tersangkut dalam ureter dan menyebabkan rasa nyeri yang tajam
(kolik ginjal) yang menyebar dari ginjal ke selangkangan. 14
6) Penyakit ginjal polikistik
Penyakit ginjal polikistik ditandai dengan kista multiple, bilateral, dan berekspansi yang
lambat laun mengganggu dan menghancurkan parenkim ginjal normal akibat
penekanan.15
7) Penyakit endokrin (nefropati diabetik)
Nefropati diabetik (peyakit ginjal pada pasien diabetes) merupakan salah satu penyebab
kematian terpenting pada diabetes mellitus yang lama. Lebih dari sepertiga dari semua
pasien baru yang masuk dalam program ESRD (End Stage Renal Disease) menderita
gagal ginjal. Diabetes mellitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di
ginjal pada diabetes mellitus. 15
3.2.5 Faktor Risiko
Faktor risiko dari penyakit ginjal kronik adalah sebagai berikut.
1) Diabetes Melitus
Sekitar 40% dari pasien diabetes mellitus (DM) terdapat keterlibatan ginjal. Pada pasien
DM berbagai gangguan pada ginjal dapat terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih,
infeksi batu saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik dan juga berbagai bentuk
glomerulonefritis yang selalu disebut sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien
diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya
adalah penyakit ginjal diabetik, berupa glomerulosklerosis yang noduler dan difus. 16
2) Hipertensi
Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya hipertensi
dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan ginjal. Secara klinis sukar dibedakan
kedua keadaan ini, terutama pada keadaan penyakit ginjal menahun. Apakah hipertensi
yang menyebabkan penyakit ginjal menahun, atau penyakit ginjal yang menyebabkan
naiknya tekanan darah dan untuk mengetahui keadaan ini diperlukan adanya catatan
medis yang teratur dalam jangka waktu panjang. Beratnya pengaruh hipertensi pada
ginjal tergantung pada tingginya tekanan darah dan lamanya penderita hipertensi.
Makin tinggi tekanan darah dan lamanya penderita hipertensi makin berat komplikasi
yang dapat ditimbulkan.16
3) Obesitas Sentral
Seiring dengan terjadinya epidemi obesitas, disini juga terjadi peningkatan dari penyakit
ginjal tahap akhir pada dewasa, dan di populasi di perkirakan akan terjadi peningkatan
kejadian PGK dua kali lipat tiap dekadenya. Obesitas sudah dikenal baik sebagai faktor
risiko untuk hipertensi dan diabetes, yang merupakan penyebab tersering dari penyakit
ginjal tahap akhir. Sangat penting diketahui, bahwa dari studi observasional jangka
panjang bahwa terdapat hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian
baru dari penyakit ginjal tahap akhir. Selaras dengan hal tersebut, rasio pinggang ke
pinggul (waist to hip ratio) atau lingkar pinggang sudah diterima secara luas sebagai
faktor risiko PGK. 16
4) Usia
Hasil hubungan variabel usia secara statistik dengan kejadian penyakit ginjal kronik
mempunyai hubungan yang bermakna antara usia 60 tahun pada pasien hemodialisis.
Secara klinik pasien usia >60 tahun mempuyai risiko 2 kali lebih besar mengalami
gagal ginjal kronis dibandingkan dengan pasien usia. 16
5) Merokok
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat hubungan antara riwayat merokok dan kejadian
penyakit ginjal kronis pada pasien yang menjalani hemodialisa. Efek merokok fase akut
yaitu meningkatkan pacuan simpatis yang akan berakibat pada peningkatan tekanan
darah, takikardi, dan penumpukan katekolamin dalam sirkulasi. Pada fase akut beberapa
pembuluh darah juga sering mengalami vasokonstriksi misalnya pada pembuluh darah
koroner, sehingga pada perokok akut sering diikuti dengan peningkatan tahanan
pembuluh darah ginjal sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan fraksi
filter. 16
6) Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin secara statistik ada
hubungan yang bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan
dengan kejadian penyakit ginjal kronis pada pasien hemodialisis. Secara klinik laki-laki
mempunyai risiko mengalami penyakit ginjal kronik 2 kali lebih besar daripada
perempuan. Hal ini dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan
dan menjaga pola hidup sehat dibandingkan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah
terkena penyakit ginjal kronis dibandingkan perempuan. Perempuan lebih patuh
dibandingkan laki-laki dalam menggunakan obat karena perempuan lebih dapat
menjaga diri mereka sendiri serta bisa mengatur tentang pemakaian obat. 16

3.2.6 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron
yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi
jangka panjang aksis renin angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstisial. 11
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,
yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan
pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat
badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lainnya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan
terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan
keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal.
Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. 11

3.2.7 Manifestasi Klinis


Pasien GGK stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30 mL/menit/1,73
m2 ) biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium
ini masih belum ditemukan gangguan elektrolit dan metabolik.
Sebaliknya, gejala-gejala tersebut dapat ditemukan pada GGK
stadium 4 dan 5 (dengan GFR < 30 mL/menit/1,73 m2 ) bersamaan dengan
poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga uremia yang ditandai dengan
peningkatan limbah nitrogen di dalam darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan
asam basa dalam tubuh yang pada keadaan lanjut akan menyebabkan gangguan fungsi pada
semua sistem organ tubuh.11
Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran
cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan neuropsikiatri.
1) Kelainan Hemopoeisis
Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal kronis.
Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau penjernihan kreatinin
kurang dari 25 ml per menit.
2) Kelainan Saluran Cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien penyakit ginjal
kronis terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk
amonia (NH3). Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa
lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau
hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3) Kelainan Mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien penyakit
ginjal kronis. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan
penyakit ginjal kronis yang adekuat, misalnya hemodialisis.
4) Kelainan Kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang
dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5) Kelainan Selaput Serosa
Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada penyakit
ginjal kronis terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah
satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
6) Kelainan Neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi. Kelainan
mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tida k jarang dengan gejala psikosis. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis,
dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang
otot atau muscular twitching sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan
yang berat, kemudian terjun menjadi koma.
7) Kelainan Kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi
mengenai sistem vaskuler, sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis terutama
pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung.
8) Hipertensi
Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor turut memegang peranan
seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron, penurunan
zat dipresor dari medulla ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik
lainnya seperti cardiac output dan hipokalsemia. 16

3.2.8 Penegakan Diagnosis


a. Anamnesis 11,13
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemi, lupus eritomatosus
sistemik (LES), dan lain sebagainya.
2) Riwayat hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia, abortus spontan)
3) Riwayat konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba, kemoterapi,
antiretroviral, proton pump inhibitor, paparan zat kontras)
4) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, nafsu makan menurun,
berat badan menurun, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume
overload), edema perifer, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis,
kejang-kejang sampai koma.
5) Riwayat penyakit ginjal pada keluarga dan evaluasi manifestasi sistem organ
seperti auditorik, visual, kulit, dan lainnya.
6) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida).
b. Pemeriksaan Fisik11,13
1) Difokuskan pada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ:
funduskopi, pemeriksaan precordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV).
2) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: edema, polineuropati
3) Gangguan endokrin-metabolik: amenorrhea, amlnutrisi, gangguan pertumbuhan
dan perkembangan, infestilitas dan disfungsi seksual.
4) Gangguan saluran cerna: anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin (uremic fetor),
disgeusia (metallic taste), konstipasi
5) Gangguan neuromuscular: letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi otot,
restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma.
6) Gangguan dermatologis: palor, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis, uremic frost,
nephrogenic fibrosing dermopathy.
c. Pemeriksaan Penunjang9,11
1) Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: 11,13
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan
fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cost, isostenuria.
2) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginal kronik meliputi: 11,13
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.
b. Pielografi intravena jarang dilakukan, karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping dapat terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
3) Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif
tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah
diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran
ginjal yang sudah menqecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan
obesitas. 11,13

3.2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi: 11
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
3. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,
dapat dilihat pada tabel berikut.

Derajat LFG (ml/menit/1,73m2) Rencana tatalaksana


1 ≥90 terapi peyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil
risiko kardiovaskular
2 60-89 menghambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
3 30-59 evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 <15 terapi pengganti ginjal

Tabel 10. Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya. 11,13

1. Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya


Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadl. Pada ukuran ginjal
yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG
sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak
banyak bermanfaat. 11,13
2. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien
Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed
factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain,
gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus u
rinarius, obstru ksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 11,13
3. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus.11,13

Gambar 5. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis. 11

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah:


1. Pembatasan Asupan Protein.
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan di
atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan
0,6 - 0,8/kgBB/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi
tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah
asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,
kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan
substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan
tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien.
Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya
sindrom uremik. 11
Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (protein overload) kan
mengakibatkan peru bahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan
tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltrotion), yang akan meningkatkan
progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan
dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber
yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia. 11

2. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus


Pemakaian obat antihipertenasi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron
dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi
membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama
pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis
sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa,
proteinuria merupakan faktor risiko teryadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata
lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit
ginjal kronik.
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin
(Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme
kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.11

Anjuran nutrisi pada pasien PGK adalah sebagi berikut.11


a. Protein:
- pasien non dialisis 0,6-0,75 gram/kgBB ideal/hari sesuai dengan CCT dan toleransi
pasien
- pasien hemodialisis 1-1,2 gram/kgBB ideal/hari
- pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
b. Pengaturan asam lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama
antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
c. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
d. Natrium <2 gram/hari (dalam bentuk garam <6 gram/hari)
e. Kalium: 40-70 mEg/hari
f. Fosfor: 5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD: 17 mg/hari
g. Kalsium: 1400-1600 mg/hari (tidak melebihi 2000 mg/hari)
h. Besi: 10-18 mg/hari
i. Magnesium: 200-300 mg/hari
j. Asam folat pasien HD: 5 mg
k. Air: jumlah urin 24 jam+500 ml (insensible water loss).

LFG Asupan protein Asupan Fosfat


(ml/menit/1,7 (g/kgBB ideal/hari) kalori (g/kgBB/
3m2) (kkal/kgBB hari)
ideal/hari)
>60 0,75 Tidak
dibatasi
25-60 0,6-0,8; termasuk ≥0,35 30-35 ≤10
g/kgBB/hari protein nilai
biologi tinggi.
5-25 0,6-0,8; termasuk ≥0,35 30-35 ≤10
g/kgBB/hari protein nilai
biologi tinggi atau tambahan
0,3 g asam amino esensial
atau asam keton
<60 (sindrom 0,8 (+1 g protein/g proteinuria atau 0,3 30-35 ≤9
nefrotik) g/kgBB tambahan asam amino esensial
atau asam keton)

Tabel 11. Anjuran nutrisi pada PGK berdasarkan LFG. 11

4. Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting,
karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit
kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian
dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap
kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan
pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan. 11

5. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi


Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai
dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. 11
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit
ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut
berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal,
perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut maupun kronik.11
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin
≤10 g% atau hematokrit ≤30% meliputi evaluasi terhadap status
besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat bei total/total iron binding
capacity, ferritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan
adanya hemolisis dan lain sebagainya.11
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping
penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang
dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian
karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada
penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat
dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal.
Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.11

Osteodistrofi Renal
Osteodistrofi renaI merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering
terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi
hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan
hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan
tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien
dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.11

Gambar 6. Pathogenesis terjadinya osteodistrofi renal.11

Mengatasi Hiperfosfatemia
a. Pembatasan asupan fosfat
Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik
secara umum yaltu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat
sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor.
Asupan fosfat dibatasi 600- 800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat
tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.11
b. Pemberian pengikat fosfat
Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida,
garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat
absorbsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai
adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. 11
c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)
Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada
kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga
colcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta
efek samping yang minimal. 11

Cara/Bahan Efikasi Efek Samping


Diet rendah fosfat Tidak selalu mudah Malnutrisi
Al(OH)3 Bagus Intoksikasi Al
CaCO3 Sedang Hiperkalsemia
Ca Asetat Sangat bagus Mual muntah
Mg(OH)2/MgCO3 Sedang Intoksikasi Mg

Tabel 12. Pengikat fosfat, efikasi, dan efek sampingnya. 11

Pemberian Kalsitriol (1.25 (OH2D3)


Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi
pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium
di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam kalsium
karbonat di jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat
mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu,
pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon
paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal. 11

Pembatasan Cairan dan Elektrolit


Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan.
Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air
yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalul urin
maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui
insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh),
maka air yang masuk dianjurkan 500- 800 ml ditambah jumlah urin.11
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan
kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal.
Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi
kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5
mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan
derajat edema yang terjadi. 11

Gambar 7. Patofisiologi hiponatremia.

6. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replocement Therapy)


Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis,
peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal. 11

3.2.10 Prognosis
CKD pada tahap awal dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan tingkat
pemanfaatan layanan kesehatan. Pasien PGK memiliki risiko lebih tinggi untuk dirawat di
rumah sakit dan peningkatan risiko untuk berkomplikasi menjadi penyakit kardiovaskular.
Risiko ini meningkat seiringan dengan penurunan nilai GFR. PGK merupakan penyakit yang
progresif dan dapat menjadi end-stage renal disease (ESRD) dan membutuhkan terapi
pengganti ginjal, seperti dialysis dan transplantasi. Penting sekali untuk merujuk pasien PGK
stadium 4 dan 5, terlambat merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi penggantian
ginjal) berkaitan erat dengan meningkatnya angka mortalitas setelah dialisis dimulai. Pasien
PGK derajat akhir memiliki peningkatan risiko kematian yang dikarenakan adanya
komplikasi dari penyakit kardiovaskular. Five year survival untuk pasien dialisis hanya
sekitar 34%.17

3.3 Gout Arthritis


3.3.1 Definisi
Artritis Gout merupakan penyakit progresif akibat deposisi kristal MSU di persendian,
ginjal, dan jaringan ikat lain sebagai akibat hiperurisemia yang telah berlangsung kronik.
Tanpa penanganan yang efektif, kondisi ini dapat berkembang menjadi gout kronik,
terbentuknya tofus, dan bahkan dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal berat, serta
penurunan kualitas hidup.17

3.3.2 Epidemiologi
Gout mengenai 1-2% populasi dewasa, dan merupakan kasus artritis inflamasi
terbanyak pada pria. Prevalensi penyakit gout diperkirakan antara 13.6 per 1000 pria dan 6.4
per 1000 wanita. Prevalensi gout meningkat sesuai umur dengan rerata 7% pada pria umur
>75 tahun dan 3% pada wanita umur >85 tahun. Penelitian di Indonesia oleh Raka Putra dkk
menunjukkan prevalensi hiperurisemia di Bali 14.5%, sementara penelitian pada etnis
Sangihe di pulau Minahasa Utara oleh Ahimsa & Karema K didapatkan prevalensi gout
sebesar 29.2%.17

3.3.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, penyakit asam urat digolongkan menjadi 2, yaitu:
1. Gout primer
Penyebab kebanyakan belum diketahui (idiopatik). Hal ini diduga berkaitan dengan
kombinasi faktor genetik dan faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme
yang dapat mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat. Hiperurisemia atau
berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh dikatakan dapat menyebabkan terjadinya
gout primer. 18
Hiperurisemia primer adalah kelainan molekular yang masih belum jelas diketahui.
Berdasarkan data ditemukan bahwa 99% kasus adalah gout dan hiperurisemia primer. Gout
primer yang merupakan akibat dari hiperurisemia primer, terdiri dari hiperurisemia karena
penurunan ekskresi (80-90%) dan karena produksi yang berlebih (10-20%).18
Hiperurisemia karena kelainan enzim spesifik diperkirakan hanya 1% yaitu karena
peningkatan aktivitas varian dari enzim phosporibosylpyrophosphatase (PRPP) synthetase,
dan kekurangan sebagian dari enzim hypoxantine phosporibosyltransferase (HPRT).
Hiperurisemia primer karena penurunan ekskresi kemungkinan disebabkan oleh faktor
genetik dan menyebabkan gangguan pengeluaran asam urat yang menyebabkan
hiperurisemia.18

Hiperurisemia akibat produksi asam urat yang berlebihan diperkirakan terdapat 3


mekanisme.17
1) Pertama, kekurangan enzim menyebabkan kekurangan inosine monopospate (IMP) atau
purine nucleotide yang mempunyai efek feedback inhibition proses biosintesis de novo.
2) Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan peningkatan jumlah PRPP yang tidak
dipergunakan. Peningkatan jumlah PRPP menyebabkan biosintesis de novo meningkat.
3) Ketiga, kekurangan enzim HPRT menyebabkan hipoxantine tidak bisa diubah kembali
menjadi IMP, sehingga terjadi peningkatan oksidasi hipoxantine menjadi asam urat.

2. Gout sekunder
Gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu kelainan yang menyebabkan
peningkatan biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP
atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan sekresi menurun.
Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis de novo terdiri dari kelainan karena
kekurangan menyeluruh enzim HPRT pada syndome Lesh-Nyhan, kekurangan enzim
glukosa-6 phosphate pada glycogen storage disease dan kelainan karena kekurangan enzim
fructose-1 phosphate aldolase melalui glikolisis anaerob. 18
Hiperurisemia sekunder karena produksi berlebih dapat disebabkan karena keadaan
yang menyebabkan peningkatan pemecahan ATP atau pemecahan asam nukleat dari dari inti
sel. Peningkatan pemecahan ATP akan membentuk AMP dan berlanjut membentuk IMP atau
purine nucleotide dalam metabolisme purin, sedangkan hiperurisemia akibat penurunan
ekskresi dikelompokkan dalam beberapa kelompok yaitu karena penurunan masa ginjal,
penurunan filtrasi glomerulus, penurunan fractional uric acid clearence dan pemakaian obat-
obatan. 18

3.3.4 Faktor Risiko


Berikut ini merupakan faktor risiko dari gout.
1) Suku bangsa /ras
Suku bangsa yang paling tinggi prevalensi nya pada suku maori di Australia. Prevalensi
suku Maori terserang penyakit asam urat tinggi sekali sedangkan Indonesia prevalensi
yang paling tinggi pada penduduk pantai dan yang paling tinggi di daerah Manado-
Minahasa karena kebiasaan atau pola makan dan konsumsi alkohol. 18

2) Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol meningkatkan produksi
asam urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai akibat produk sampingan dari
metabolisme normal alkohol. Asam laktat menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal
sehingga terjadi peningkatan kadarnya dalam serum.18
3) Konsumsi ikan laut
Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi. Konsumsi ikan
laut yang tinggi mengakibatkan asam urat. 18
4) Penyakit
Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan hiperurisemia, misalnya obesitas,
diabetes melitus, penyakit ginjal, hipertensi, dislipidemia, dsb. Adipositas tinggi dan
berat badan merupakan faktor resiko yang kuat untuk gout pada laki-laki, sedangkan
penurunan berat badan adalah faktor pelindung.18
5) Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya hiperurisemia. Mis. Diuretik,
antihipertensi, aspirin, dsb. Obat-obatan juga mungkin untuk memperparah keadaan.
Diuretik sering digunakan untuk menurunkan tekanan darah, meningkatkan produksi
urin, tetapi hal tersebut juga dapat menurunkan kemampuan ginjal untuk membuang
asam urat. Hal ini pada gilirannya, dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah
dan menyebabkan serangan gout. Gout yang disebabkan oleh pemakaian diuretik dapat
"disembuhkan" dengan menyesuaikan dosis. Serangan Gout juga bisa dipicu oleh
kondisi seperti cedera dan infeksi.hal tersebut dapat menjadi potensi memicu asam urat.
Hipertensi dan penggunaan diuretik juga merupakan faktor risiko penting independen
untuk gout. Aspirin memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu: dosis rendah
menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat, sedangkan dosis
tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik. 18
6) Jenis Kelamin
Pria memiliki risiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan perempuan pada
semua kelompok umur, meskipun rasio jenis kelamin laki-laki dan perempuan sama
pada usia lanjut. Dalam Kesehatan dan Gizi Ujian Nasional Survey III, perbandingan
laki-laki dengan perempuan secara keseluruhan berkisar antara 7:1 dan 9:1. Dalam
populasi managed care di Amerika Serikat, rasio jenis kelamin pasien laki-laki dan
perempuan dengan gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih muda dari 65 tahun, dan 3:1
pada mereka lima puluh persen lebih dari 65 tahun. Pada pasien perempuan yang lebih
tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi datang ke dokter didiagnosa sebagai gout, dan
proporsi dapat melebihi 50% pada mereka yang lebih tua dari 80 tahun. 18

7) Diet tinggi purin


Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa HDL yang merupakan bagian dari
kolesterol, trigliserida dan LDL disebabkan oleh asupan makanan dengan purin tinggi.18

3.3.5 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, kadar asam urat di dalam darah pada pria dewasa kurang dari 7
mg/dl, dan pada wanita kurang dari 6 mg/dl. Apabila konsentrasi asam urat dalam serum
lebih besar dari 7 mg/dl dapat menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat. Serangan
gout tampaknya berhubungan dengan peningkatan atau penurunan secara mendadak kadar
asam urat dalam serum. Jika kristal asam urat mengendap dalam sendi, akan terjadi respon
inflamasi dan diteruskan dengan terjadinya serangan gout. Dengan adanya serangan yang
berulang – ulang, penumpukan kristal monosodium urat yang dinamakan thopi akan
mengendap dibagian perifer tubuh seperti ibu jari kaki, tangan dan telinga. Akibat
penumpukan Nefrolitiasis urat (batu ginjal) dengan disertai penyakit ginjal kronis.20
Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monosodium urat dari
depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau dengan
hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan patella
yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan demikian, gout ataupun
pseudogout dapat timbul pada keadaan asimptomatik. Pada penelitian penulis didapat 21%
pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperatur, pH, dan kelarutan urat
untuk timbul serangan gout. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih rendah
pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa kristal monosodium
urat diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal
monosodium urat pada metatarsofalangeal-1 (MTP-1) berhubungan juga dengan trauma
ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut.20
Aktivasi komplemen
Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik dan jalur
alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi aktivasi komplemen C1 tanpa peran immunoglobulin.
Pada keadaan monosodium urat tinggi, aktivasi sistem komplemen melalui jalur alternatif
terjadi apabila jalur klasik terhambat. Aktivasi C1 melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi
kolikrein dan berlanjut dengan mengaktifkan Hageman factor (Faktor XII) yang penting
dalam reaksi kaskade koagulasi. Ikatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses
opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai peranan penting agar partikel tersebut
mudah untuk dikenal, yang kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh neutrofil, monosit
dan makrofag. Aktivasi komplemen C5 (C5a) menyebabkan peningkatan aktivitas proses
kemotaksis sel neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan TNF. Aktivitas C3a
dan C5a menyebabkan pembentukan membrane attack complex (MAC). Membrane ini
merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang berperan dalam ion chanel yang
bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host. Hal ini membuktikan bahwa melalui
jalur aktivasi cascade komplemen kristal urat menyebabkan proses peradangan melalui
mediator IL-1 dan TNF serta sel radang neutrofil dan makrofag.20

Aspek selular
Pada proses inflamasi, makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam proses
peradangan yang dapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL-1, TNF, IL-6
dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage Colony Stimulating Factor). Mediator ini
menyebabkan kerusakan jaringan dan mengaktivasi berbagai sel radang. Kristal urat
mengaktivasi sel radang dengan berbagai cara sehingga menimbulkan respon fungsional sel
dan gene expression. Respon fungsional sel radang tersebut antara lain berupa degranulasi,
aktivasi NADPH oksidasi gene expression. Sel radang melalui jalur signal transduction
pathway dan berakhir dengan aktivasi transcription factor yang menyebabkan gen berekspresi
dengan mengeluarkan berbagai sitokin dan mediator kimiawi lain. signal transduction
pathway melalui 2 cara yaitu: dengan mengadakan ikatan dengan reseptor (cross-link) atau
dengan langsung menyebabkan gangguan nonspesifik pada membrane sel.
Ikatan dengan reseptor pada sel membrane akan bertambah kuat apabila kristal urat
berikatan sebelumnya dengan opsonin, misalnya ikatan immunoglobulin (Fc dan IgG) datau
dengan komplemen (C1q C3b). Kristal urat mengadakan ikatan cross-link dengan berbagai
reseptor, seperti reseptor adhesion molecule (integrin), nontyrosin kinase, reseptor Fc,
komplemen dan sitokin serta aktivasi reseptor melalui tirosin kinase dan second messenger
akan mengaktifkan transcription factor. 20

3.3.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut, interkritikal gout dan gout
menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat
deposisi yang progresif kristal urat. 20
1) Hiperurisemia tanpa gejala klinis
Hiperurisemia tanpa gejala klinis ditandai dengan kadar asam urat serum > 6.8 mg/dl,
yang berarti telah melewati batas solubilitasnya di serum. Periode ini dapat berlangsung
cukup lama dan sebagian dapat berubah menjadi artritis gout. 20

2) Artritis gout akut diselingi interval tanpa gejala klinis (fase interkritikal)
Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam
waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit
yang hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan
utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa
demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang paling sering pada MTP-1 yang
biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena sendi lain
yaitu pergelangan tangan/kaki, lutut dan siku. Serangan akut ini dilukiskan oleh
Sydenham sebagai: sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak diobati,
rekuren yang multipel, interval antar serangan singkat dan dapat mengenai beberapa
sendi. Pada serangan akut yang tidak berat, keluhan-keluhan dapat hilang dalam
beberapa jam atau hari. Pada serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa hari
sampai beberapa minggu. 20
Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin,
kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan dan
peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah secara mendadak dengan alopurinol
atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.20
Serangan artritis gout akut yang pertama paling sering
mengenai sendi metatarsophalangeal (MTP) 1 yaitu sekitar
80−90% kasus, yang secara klasik disebut podagra. Onset
serangan tiba-tiba, sendi yang terkena mengalami eritema,
hangat, bengkak dan nyeri. Serangan artritis akut kedua dapat
dialami dalam 6 bulan sampai dengan 2 tahun setelah serangan
pertama. Serangan akut kedua dan seterusnya dapat mengenai
lebih dari satu persendian, dapat melibatkan tungkai atas,
durasi serangan lebih lama, interval antar serangan lebih
pendek dan lebih berat. Serangan artritis akut yang tidak
terobati dengan baik akan mengakibatkan artritis gout kronis.
20

Stadium interkritikal merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode


interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak didapatkan tanda-tanda radang
akut, namun pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa
proses peradangan tetap berlanjut, walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi
satu atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan akut.
Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan asam urat yang tidak benar, maka
dapat timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai beberapa sendi dan
biasanya lebih berat. Manajemen yang tidak baik, maka keadaan interkritik akan
berlanjut menjadi stadium menahun dengan pembentukan tofi. 20

3) Artritis gout kronis


Artritis gout kronis ditandai dengan inflamasi ringan pada sendi disertai destruksi
kronis pada sendi-sendi yang mengalami serangan artritis akut. Pada pemeriksaan fisik
akan dijumpai deformitas sendi dan tofus pada jaringan (kristal MSU dikelilingi sel
mononuclear dan sel raksasa). Artritis gout kronis berkembang dalam 5 tahun dari onset
pertama artritis gout akut pada sekitar 30% pasien yang tidak terobati dengan baik. 20
Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular.
Tofi ini sering pecah dan sulit sembuh dengan obat, kadangkadang dapat timbul infeksi
sekunder. Pada tofus yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya kurang
memuaskan. Lokasi tofi yang paling sering pada cuping telinga, MTP-1, olekranon,
tendon Achilles danjari tangan. Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran
kemih sampai penyakit ginjal menahun. 20

3.3.7 Penegakan Diagnosis


Kriteria diagnosis artritis gout akut dapat menggunakan kriteria menurut American
College of Rheumatology (ACR)/European League against Rheumatism (EULAR).
Gambar 8. Langkah–langkah dalam menggunakan kriteria ACR/EULAR Tahun 201521
Tabel 13. Kriteria Gout dari ACR/EULAR 201521

Rekomendasi diagnosis: 21
1) Hiperurisemia tanpa gejala klinis ditandai dengan kadar asam urat serum > 6.8 mg/dl.
2) Serangan artritis gout akut ditandai dengan nyeri hebat, nyeri
sentuh/tekan, onset tiba-tiba, disertai bengkak dengan atau
tanpa eritema yang mencapai puncak dalam 6−12 jam pada satu
sendi (monoartritis akut). Manifestasi klinis gout yang tipikal,
yaitu podagra berulang disertai hiperurisemia.
3) Diagnosis definitif gout ditegakkan apabila ditemukan kristal MSU pada cairan sendi atau
aspirasi tofi.
4) Penemuan kristal MSU dari sendi yang tidak mengalami radang dapat menjadi diagnosis
definitif gout pada fase interkritikal.
5) Direkomendasikan pemeriksaan rutin kristal MSU terhadap semua sampel cairan sendi
bersumber dari sendi dengan inflamasi terutama pada kasus yang belum terdiagnosis.
6) Diagnosis gout akut, gout fase interkritikal, gout kronis dapat ditegakkan dengan kriteria
ACR/EULAR 2015.
7) Harus dilakukan evaluasi terhadap faktor risiko gout, penyakit komorbiditas termasuk
gambaran sindrom metabolik (obesitas, hiperglikemia, hiperlipidemia, hipertensi).
8) Gout dan artritis septik bisa merupakan kejadian koinsiden, sehingga pada saat dicurigai
terjadi artritis septik harus dilakukan pemeriksaan pengecatan Gram dan kultur cairan
sendi, walaupun telah didapatkan kristal MSU.
9) Kadar asam urat serum merupakan faktor risiko penting gout, namun nilai kadarnya
dalam serum tidak dapat memastikan maupun mengeksklusi adanya gout oleh karena
banyak orang mengalami hiperurisemia namun tidak menderita gout, disamping itu pada
serangan gout akut sangat mungkin terjadi saat kadar serum akan normal.
10) Ekskresi asam urat dari ginjal sebaiknya diukur kadarnya pada pasien gout dengan
kondisi khusus, terutama pada mereka yang memiliki riwayat keluarga, gout onset muda
yaitu usia.

3.3.8 Tatalaksana
Prinsip umum pengelolaan hiperurisemia dan gout: 21
1) Setiap pasien hiperurisemia dan gout harus mendapat informasi yang memadai tentang
penyakit gout dan tatalaksana yang efektif termasuk tatalaksana terhadap penyakit
komorbid.
2) Setiap pasien hiperurisemia dan gout harus diberi nasehat mengenai modifikasi gaya
hidup seperti menurunkan berat badan hingga ideal, menghindari alkohol, minuman
yang mengandung gula pemanis buatan, makanan berkalori tinggi serta daging merah
dan seafood berlebihan, serta dianjurkan untuk mengonsumsi makanan rendah lemak,
dan latihan fisik teratur.
3) Setiap pasien dengan gout secara sistematis harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan penapisan untuk penyakit komorbid terutama yang berpengaruh terhadap
terapi penyakit gout dan faktor risiko kardiovaskular, termasuk gangguan fungsi ginjal,
penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, penyakit arteri perifer, obesitas,
hipertensi, diabetes, dan merokok.

Hiperurisemia tanpa gejala klinis


Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan modifikasi gaya
hidup, termasuk pola diet seperti pada prinsip umum pengelolaan hiperurisemia dan gout.
Penggunaan terapi penurun asam urat pada hiperurisemia tanpa gejala klinis masih
kontroversial. The European League Against Rheumatism (EULAR), American Colleague of
Rheumatology (ACR) dan National Kidney Foundation (NKF) tidak merekomendasikan
penggunaan terapi penurun asam urat dengan pertimbangan keamanan dan efektifitas terapi
tersebut. Sedangkan rekomendasi dari Japan Society for Nucleic Acid Metabolism,
menganjurkan pemberian obat penurun asam urat pada pasien hiperurisemia asimptomatik
dengan kadar urat serum >9 atau kadar asam urat serum >8 dengan faktor risiko
kardiovaskular (gangguan ginjal, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit jantung iskemik).
21
Rekomendasi pengelolaan hiperurisemia tanpa gejala klinis: 21
1) Pilihan tata laksana yang paling disarankan adalah modifikasi gaya hidup.
2) Pemberian obat penurun asam urat tidak dianjurkan secara rutin dengan pertimbangan
risiko dan efektifitas obat penurun asam urat.

Gout Akut
Serangan gout akut harus mendapat penanganan secepat mungkin. Pasien harus
diedukasi dengan baik untuk dapat mengenali gejala dini dan penanganan awal serangan gout
akut. Pilihan obat untuk penanganan awal harus mempertimbangkan ada tidaknya
kontraindikasi obat, serta pengalaman pasien dengan obat-obat sebelumnya. 21
Rekomendasi obat untuk serangan gout akut yang onsetnya < 12 jam adalah kolkisin
dengan dosis awal 1 mg diikuti 1 jam kemudian 0.5 mg. Terapi pilihan lain diantaranya
OAINS, kortikosteroid oral dan/atau bila dibutuhkan aspirasi sendi diikuti injeksi
kortikosteroid. Kolkisin dan OAINS tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami
gangguan fungsi ginjal berat dan juga tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat
terapi penghambat P-glikoprotein dan/atau CYP3A4 seperti siklosporin atau klaritromisin. 21
Gambar 9. Algoritme pemilihan terapi pasien gout. 20

Obat penurun asam urat seperti alopurinol tidak disarankan memulai terapinya pada
saat serangan gout akut namun, pada pasien yang sudah dalam terapi rutin obat penurun asam
urat, terapi tetap dilanjutkan. 21
Obat penurun asam urat dianjurkan dimulai 2 minggu setelah serangan akut reda.
Terdapat studi yang menunjukkan tidak adanya peningkatan kekambuhan pada pemberian
alopurinol saat serangan akut, tetapi hasil penelitian tersebut belum dapat digeneralisasi
mengingat besar sampelnya yang kecil dan hanya menggunakan alopurinol. 21
Indikasi memulai terapi penurun asam urat pada pasien gout
adalah pasien dengan serangan gout ≥2 kali serangan, pasien
serangan gout pertama kali dengan kadar asam urat serum ≥ 8 atau
usia < 40 tahun. 21

Fase Interkritikal dan Gout Kronis


Fase interkritikal merupakan periode bebas gejala diantara dua serangan gout akut.
Pasien yang pernah mengalami serangan akut serta memiliki faktor risiko perlu mendapatkan
penanganan sebagai bentuk upaya pencegahan terhadap kekambuhan gout dan terjadinya
gout kronis. 21
Pasien gout fase interkritikal dan gout kronis memerlukan terapi penurun kadar asam
urat dan terapi profilaksis untuk mencegah serangan akut. Terapi penurun kadar asam urat
dibagi dua kelompok, yaitu: kelompok inhibitor xantin oksidase (alopurinol dan febuxostat)
dan kelompok urikosurik (probenecid). 21
Alopurinol adalah obat pilihan pertama untuk menurunkan kadar asam urat, diberikan
mulai dosis 100 mg/hari dan dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimal 900
mg/hari (jika fungsi ginjal baik). Apabila dosis yang diberikan melebihi 300 mg/hari, maka
pemberian obat harus terbagi. 21
Jika terjadi toksisitas akibat alopurinol, salah satu pilihan
adalah terapi urikosurik dengan probenecid 1−2 gr/hari.
Probenecid dapat diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal
normal, namun dikontraindikasikan pada pasien dengan urolitiasis
atau ekskresi asam urat urin ≥800 mg/24jam. Pilihan lain adalah
febuxostat, yang merupakan inhibitor xantin oksidase non purin
dengan dosis 80−120 mg/hari. Kombinasi inhibitor xantin oksidase
dengan obat urikosurik atau peglotikase dapat diberikan pada
pasien gout kronis dengan tofi yang banyak dan/atau kualitas hidup
buruk yang tidak dapat mencapai target kadar asam urat serum
dengan pemberian dosis maksimal obat penurun asam urat tunggal. 21
Tabel 14. Jenis-jenis Obat Penurun Kadar Serum Urat21

Target terapi penurun asam urat adalah kadar asam urat serum < 6 mg/dL, dengan
pemantauan kadar asam urat dilakukan secara berkala. Pada pasien dengan gout berat
(terdapat tofi, artropati kronis, sering terjadi serangan artritis gout) target kadar asam urat
serum menjadi lebih rendah sampai < 5 mg/dL. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
membantu larutnya kristal monosodium urat (MSU) sampai terjadi total disolusi kristal dan
resolusi gout. Kadar asam urat serum < 3 mg/dL tidak direkomendasikan untuk jangka
panjang. 21
Semua pilihan obat untuk menurunkan kadar asam urat serum dimulai dengan dosis
rendah. Dosis obat dititrasi meningkat sampai tercapai target terapi dan dipertahankan
sepanjang hidup. Sebagai contoh alopurinol dimulai dengan dosis 100 mg/hari, kemudian
dilakukan pemeriksaan kadar asam urat setelah 4 minggu. Bila target kadar asam urat belum
tercapai maka dosis alopurinol ditingkatkan sampai target kadar asam urat tercapai atau telah
mencapai dosis maksimal. 21
Setiap pasien gout yang mendapatkan terapi penurun kadar asam urat berisiko
mengalami serangan gout akut, terutama pada awal dimulainya terapi penurun asam urat.
Semakin poten dan semakin besar dosis obat penurun asam urat, maka semakin besar pula
risiko terjadinya serangan akut. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya serangan akut
gout direkomendasikan untuk memberikan terapi profilaksis selama 6 bulan sejak memulai
terapi penurun kadar asam urat. Profilaksis yang direkomendasikan adalah kolkisin dengan
dosis 0.5–1 mg/hari, dosis harus dikurangi pada gangguan fungsi ginjal. 21
Bila terdapat intoleransi atau kontraindikasi terhadap kolkisin, dapat dipertimbangkan
pemberian OAINS dosis rendah sebagai terapi profilaksis selama tidak ada kontraindikasi. 21
Gambar 10. Algoritme Rekomendasi Pengelolaan Hiperurisemia Pada Pasien Gout21

Rekomendasi Pengelolaan Gout Pada Pasien Gangguan Fungsi Ginjal


Pasien gout dengan gangguan fungsi ginjal dosis obat penurun kadar asam urat serum
(misalnya: probenecid dan alopurinol) harus memperhatikan bersihan kreatinin. Pasien
dengan gangguan fungsi ginjal berat dan mengalami serangan gout akut dapat diberikan
kortikosteroid oral dan injeksi intraartikuler. Bila nyeri masih belum teratasi dapat
ditambahkan analgesia golongan opioid. Alopurinol dan metabolitnya mempunyai waktu
paruh yang panjang. Pada gangguan fungsi ginjal dosis alopurinol disesuaikan dengan
bersihan kreatinin. Febuxostat dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal,
dan tidak membutuhkan penyesuaian dosis apabila bersihan kreatinin >30 ml/ menit.
Pemberian kolkisin tidak memerlukan penyesuain dosis pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal yang memiliki bersihan kreatinin >60 ml/min/1.73m2. Sedangkan pada pasien yang
memiliki bersihan kreatinin 30─60 ml/ min/1.73 m2 dosis yang diberikan dibatasi 0.5 mg,
pasien dengan bersihan kreatinin 10─30 ml/min/1.73 m2 dosis dibatasi 0.5 mg setiap 2─3
hari, dan 12 pemberian kolkisin perlu dihindari pada pasien dengan bersihan kreatinin 10─30
ml/min/1.73 m2 dosis dibatasi 0.5 mg setiap 2─3 hari, dan pemberian kolkisin perlu dihindari
pada pasien dengan bersihan kreatinin <10 ml/min/1.73 m2. 21

Tabel 15. Rekomendasi Dosis Alopurinol Berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus. 21

Tatalaksana non farmakologi


Meliputi edukasi pasien, perubahan gaya hidup, dan tatalaksana terhadap penyakit
komorbid antara lain hipertensi, dislipidemia, dan diabetes mellitus. 21
Diet
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gout diantaranya
faktor genetik, berat badan berlebih (overweight), konsumsi obat-obatan tertentu (contoh:
diuretik), gangguan fungsi ginjal, dan gaya hidup yang tidak sehat (seperti: minum alkohol
dan minuman berpemanis). Hindari makanan yang mengandung tinggi purin dengan nilai
biologik yang tinggi seperti hati, ampela, ginjal, jeroan, dan ekstrak ragi. Makanan yang
harus dibatasi konsumsinya antara lain daging sapi, domba, babi, makanan laut tinggi purin
(sardine, kelompok shellFish seperti lobster, tiram, kerang, udang, kepiting, tiram, skalop).
Alkohol dalam bentuk bir, wiski dan fortiFied wine meningkatkan risiko serangan gout.
Demikian pula dengan fruktosa yang ditemukan dalam corn syrup, pemanis pada minuman
ringan dan jus buah juga dapat meningkatkan kadar asam urat serum. Sementara konsumsi
vitamin C, dairy product rendah lemak seperti susu dan yogurt rendah lemak, cherry, dan
kopi menurunkan risiko serangan gout. 21
Pengaturan diet juga disarankan untuk menjaga berat tubuh yang ideal. Diet yang
ketat dan tinggi protein sebaiknya dihindari. Selain pengaturan makanan, konsumsi air yang
cukup juga menurunkan risiko serangan gout. Asupan air minum >2 liter per hari disarankan
pada keadaan gout dengan urolithiasis. Sedangkan saat terjadi serangan gout
direkomendasikan untuk meningkatkan asupan air minum minimal 8 – 16 gelas per hari.
Keadaan dehidrasi merupakan pemicu potensial terjadinya serangan gout akut.21

Tabel 16. Rekomendasi Diet untuk Pasien Gout21

Latihan Fisik
Latihan fisik dilakukan secara rutin 3−5 kali seminggu selama
30−60 menit. Olahraga meliputi latihan kekuatan otot,
fleksibilitas otot dan sendi, dan ketahanan kardiovaskular.
Olahraga bertujuan untuk menjaga berat badan ideal dan
menghindari terjadinya gangguan metabolisme yang menjadi
komorbid gout. Namun, latihan yang berlebihan dan berisiko trauma
sendi wajib dihindari. 21

Lain-lain
Disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok. 21

3.3.9 Prognosis
Dengan pengobatan dini, pemantauan yang ketat disertai edukasi terhadap penderita,
prognosis artritis gout umumnya baik.21

3.4 Penyakit Jantung Hipertensi


3.4.1 Definisi
Hypertensive heart disease (HHD) adalah istilah yang diterapkan untuk menyebutkan
penyakit jantung secara keseluruhan yang mengacu pada konstelasi perubahan pada ventrikel
kiri, atrium kiri, dan arteri koroner sebagai akibat dari peningkatan tekanan darah kronis,
yang meningkatkan beban kerja pada jantung yang menyebabkan perubahan struktural dan
fungsional. Perubahan ini termasuk hipertrofi ventrikel kiri, yang dapat berkembang menjadi
gagal jantung. Penyakit jantung hipertensi pada akhirnya mencakup semua sekuel langsung
dan tidak langsung dari tekanan darah tinggi kronis yang meliputi gagal jantung sistolik atau
diastolik, aritmia konduksi, terutama fibrilasi atrium, dan peningkatan risiko penyakit arteri
koroner.22

3.4.2 Epidemiologi
Hipertensi adalah salah satu patologi yang paling umum di Amerika mempengaruhi
sekitar 75 juta orang dewasa atau satu dari tiga orang dewasa AS. Dari pasien yang
didiagnosis dengan hipertensi, hanya 54% yang memiliki kontrol tekanan darah yang
memadai. Prevalensi global hipertensi adalah 26,4% yang menyumbang 1,1 miliar orang,
namun hanya satu dari lima orang yang memiliki tekanan darah yang baik. Satu studi
menemukan bahwa hipertensi berkepanjangan akhirnya menyebabkan gagal jantung dengan
waktu rata-rata 14,1 tahun.
Meta-analisis telah menunjukkan hubungan log-linear antara tekanan darah tinggi dan
peningkatan risiko penyakit kardiovaskular yang meningkat secara substansial dengan usia.

● Pada pasien usia 45-54 years old - 36.1% dari laki-laki, 33.2% dari perempuan
● Pada pasien usia 55-64 - 57.6% dari laki-laki dan 55.5% dari perempuan
● Pada pasien usia 65-74 - 63.6% dari laki-laki dan 65.8% dari perempuan
● Pada pasien usia 75 or older 73.4% dari laki-laki dan 81.2% dari perempuan
Hipertensi sedikit lebih sering terjadi pada wanita dan meningkatkan risiko gagal
jantung (3 kali lipat) dibandingkan dengan pria (2 kali lipat). Wanita lebih cenderung
memiliki tekanan darah yang tidak terkontrol dan penelitian terbaru menunjukkan kelas obat
antihipertensi tertentu mungkin kurang efektif pada wanita. Kelompok etnis tertentu memiliki
predisposisi yang lebih tinggi untuk hipertensi. Prevalensi hipertensi di antara populasi Afrika
Amerika adalah yang tertinggi dari semua kelompok etnis di dunia pada 45,0% untuk laki-
laki dan 46,3% untuk perempuan. Angka ini 34,5% untuk laki-laki Kaukasia dengan 32,3%
untuk perempuan dan 28,9% di antara laki-laki Hispanik dengan 30,7% untuk perempuan.
Selain tingkat hipertensi tertinggi, orang kulit hitam Amerika memiliki risiko lebih tinggi
terkena gagal jantung, tekanan darah rata-rata lebih tinggi yang berkembang pada usia lebih
dini, dan kurang dapat menerima pengobatan. Semua faktor ini berkontribusi pada
peningkatan kematian dan beban penyakit yang lebih tinggi. 22

3.4.3 Etiologi
HHD merupakan hasil dari tekanan darah tinggi kronis. Menurut American Heart
Association 2017 saat ini mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik lebih
tinggi dari 120 mm Hg atau tekanan diastolik lebih dari 80 mm Hg. Risiko kematian
kardiovaskular berlipat ganda untuk setiap peningkatan tekanan darah sistolik 20mmHg dan
diastolik 10mmHg di atas tekanan darah dasar 115/75.
Sebagian besar (90 hingga 95%) pasien hipertensi akan diklasifikasikan sebagai
hipertensi primer atau esensial. Etiologi di balik hipertensi primer kurang dipahami. Namun,
kemungkinan merupakan interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Beberapa
faktor risiko seperti bertambahnya usia, riwayat keluarga, obesitas, diet tinggi natrium (lebih
dari 3g/hari), aktivitas fisik, konsumsi alkohol berlebihan memiliki korelasi kuat dan
independen dengan perkembangan hipertensi. Hipertensi telah ditemukan mendahului
perkembangan gagal jantung dengan rata-rata 14,1 tahun.
Penyakit jantung hipertensi bertanggung jawab untuk sekitar seperempat dari semua
penyebab gagal jantung. Menurut Framingham Heart Study, hipertensi memiliki peningkatan
2 kali lipat dalam perkembangan gagal jantung pada pria dan peningkatan 3 kali lipat untuk
wanita bila disesuaikan dengan faktor risiko dan usia tertentu. Uji coba SPRINT 2015
menunjukkan penurunan risiko perkembangan gagal jantung pada pasien dengan kontrol
tekanan darah yang lebih intensif dengan target tekanan darah sistolik 120mmHg (1,3%)
dibandingkan dengan 140mmHg (2,1%). Manajemen hipertensi yang tepat berkorelasi
dengan penurunan 64% dalam perkembangan gagal jantung. 22
3.4.4 Patofisiologi
Peningkatan tekanan darah menyebabkan perubahan yang merugikan pada struktur
dan fungsi jantung melalui 2 cara yaitu secara langsung melalui peningkatan afterload dan
secara tidak langsung melalui nuerohormonal terkait dan perubahan vascular. Efek hipertensi
terhadap jantung berbeda-beda, pada jantung dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri,
abnormalitas atrium kiri, penyakit katup, gagal jantung, iskemik miokard, dan aritmia kardia.
23

1. Hipertrofi ventrikel kiri


Pada pasien dengan hipertensi, 15-20 % mengalami hipertrofi ventrikel kiri (HVK).
Risiko HVK meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. Prevalensi HVK berdasarkan
penemuan lewat RKG (bukan merupakan alat pemeriksaan yang sensitif) pada saat
menegakkan diagnosis hipertensi sangatlah bervariasi. Penelitian telah menunjukkan hubunga
n langsung antara dcrajat dan lama berlangsungnya peningkatan tekanan darah dengan HVK
(Riaz, 2012). HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan massa pada ventrikel kiri,
sebagai respon miosit terhadap berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan
darah. Hipertrofi miosit dapat terjadi sebagai kompensasi terhadap peningkatan afterload.
Rangsangan mekanik dan neurohormonal yang menyertai hipertensi dapat menyebabkan
aktivasi pertumbuhan sel-sel otot jantung, ekspresi gen (beberapa agen diberi ekspresi secara
primer dalam perkembangan miosit janin), dan HVK. Sebagai tambahan, aktivasi sistem
renin-angiotensin melalui aksi angiotensin II pada reseptor angiotensin I mendorong
pertumbuhan sel-sel interstisial dan komponen matrik sel. Jadi, perkembangan HVK
dipengaruhi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan struktur
interstisium skeleton cordis.23
Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk remodeling konsentrik, HVK
konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah peningkatan pada kctebalan dan
massa ventrikel kiri disertai peningkatan tekanan dan volume diastolik ventrikel kiri,
umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Bandingkan dengan HVK eksentrik, di
mana penebalan ventrikel kiri tidak merata namun hanya tcrjadi pada sisi tertentu, misalnya
pada septum. LVH konsentrik merupakan pertanda prognosis yang buruk pada kasus
hiperetensi. Pada awalnya proses HVK merupakan kompensasi perlindungan sebagai respon
terhadap peningkatan tekanan dinding ventrikel untuk mempertahankan cardiac output yang
adekuat, namun HVK kemudian mendorong terjadinya disfungsi diastolik otot jantung, dan
akhirnya menyebabkan disfungsi sistolik otot jantung. 23
2. Abnormalitas Atrium Kiri
Sering kali tidak terduga, perubahan struktur dan fungsi atrium kiri sangat umum tcrjadi
pada pasien dengan hipertensi. Peningkatan afterload membebani atrium kiri lewat
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri sebagai tambahan untuk meningkatkan
tekanan darah yang menyebabkan gangguan pada fungsi atrium kiri ditambah peningkatan
ukuran dan penebalan atrim kiri. Peningkatan ukuran atrium kiri pada kasus hipertensi yang
tidak disertai penyakit katup jantung atau disfungsi sistolik menunjukkan kronisitas hipertensi
dan mungkin berhubungan dengan beratnya disfungsi diastolik ventrikel kiri. Sebagai
tambahan, perubahan struktur ini menjadi faktor predisposisi terjadinya atrial fibrilasi pada
pasien-pasien tersebut. Atrial fibrilasi, dengan hilangnya kontribusi atrium pada disfungsi
diastolik, dapat mempercepat terjadinya gagal jantung. 23

3. Penyakit Katup
Hipertensi yang kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin katup aorta, yang
menyebabkan terjadinya insufisiensi aorta signifikan. Beberapa derajat perubahan perdarahan
secara signifikan akibat insufisiensi aorta sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi
yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah yang dapat menentukan derajat insutisiensi
aorta, yang akan Kembali ke dasar bila tekanan darah terkontrol secara lebih baik. Sebagai
tambahan, selain menyebabkan regurgitasi aorta, hipertensi juga diperkirakan dapat
mempercepat proses sklerosis aorta dan menyebabkan regurgitasi mitral. 23

4. Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang kronik.
Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak diketahui, sebagian
karena saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang mengalami disfungsi tidak mampu
menghasilkan tekanan darah yang tinggi, hal ini yang menjadi penyebab gagal jantung
tersebut. Prevalensi disfungsi diastolik yang asimtomatik pada pasien dengan hipertensi dan
tanpa HVK (Hipertensi Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan afterload yang kronis
dan terjadinya HVK dapat memberi pengaruh buruk terhadap fase awal relaksasi dan fase
kompensasi lambat dari diastolik ventrikel. 23
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi. Disfungsi
diastolik biasanya disertai dengan HVK. Sebagai tambahan, selain peningkatan afterload,
faktor - faktor lain yang ikut berperan dalam proses terjadinya disfungsi diastolik adalah
penyakit artei koroner, penuaan, disfungsi sistolik, dan abnormalitas struktur seperti fibrosis
dan HVK. Disfungsi sistolik yang asimtomatik biasanya juga terjadi. Pada bagian akhir
penyakit, HK gagal mengkompensasi dengan meningkatkan cardiac output dalam
menghadapi peningkatan tekanan darah, kemudian ventrikel kiri mulai berdilatasi untk
mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini memasuki tahap akhir, fungsi sistolik
ventrikel kiri menurun. Hal ini menyebabkan peningkatan lebih jauh pada aktivasi
neurohormonal dan sistem renin - angiotensin, yang menyebabkan peningkatan retensi garam
dan cairan serta meningkatkan vasokontriksi perifer. Apoptosis, atau program kematian sel,
distimulasi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat,
disadari sebagai pemegang peran penting dalam transisi dari tahap kompensata menjadi
dekompensata. Pasien menjadi simptomatik selama tahap asimtomatik dari disfungsi sistolik
atau diastolik ventrikel kiri, jantung menerima perubahan pada kondisi afterload dan masih
dapat terkompensasi. Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan edema
paru akut tanpa perlu perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri. Secara umum,
perkembangan dilatasi atau disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik maupun yang
simtomatik melambangkan kemunduran yang cepat pada status klinis dan menandakan
peningkatan risiko kematian. Sebagai tambahan, selain disfungsi ventrikel kiri, penebalan dan
disfungsi diastolik ventrikel kanan juga terjadi sebagai hasil dari penebalan septum dan
disfungsi ventrikel kiri. 23

5. Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi yang tinggi terhadap hipertensi. Hipertensi
adalah faktor risiko yang menentukan perkembangan penyakit arteri koroner, bahkan hampir
melipat gandakan risiko. Perkembangan iskemik pada pasien dengan hipertensi bersifat
multifaktorial. Hal yang penting pada pasien dengan hipertensi, angina dapat terjadi pada
pasien yang tidak mengalami penyakit arteri koroner epikardium. Penigkatan aferload
sekunder akibat hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri dan
tekanan transmural, menekan aliran darah koroner selama diastol. Sebagai tambahan,
mikrovaskular, diluar arteri koroner epikardium, telah terlihat mengalami disfungsi pada
pasien dengan hipertensi dan mungkin tidak mampu mengkompensasi peningkatan metabolik
dan kebutuhan oksigen.
Perkembangan dan progresifitas aterosklerosis. merupakan tanda penyakit arteri
koroner, di eksaserbasikan pada arteri yang menjadi subjek peningkatan tekanan darah kronis
mengurangi tekanan yang terkait dengan hipertensi dan disfungsi endotelial menyebabkan
gangguan pada sintesis dan pelepasan nitrit oksida yang merupakan vasodilator poten.
Penurunan kadar nitrit oksida menyebabkan perkembangan a n makin cepatnya pembentukan
arteriosklerotis dan plak. Gambaran mortologi plak identik dibandingkan dengan plak yang
ditemukan pada pasien tanpa hipertensi. 23

6. Aritmia kardia
Aritmia kardia umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang mengalami
arterial fibrilasi kontraksi ventrikel yang prematur dan ventrikuler takikardi (Riaz, 2012).
Resiko henti jantung mendadak meningkat. Berbagai metabolisme diperkirakan memegang
peranan dalam patogenesis aritmia termasuk perubahan struktur dan metabolisme sel, tidak
homogen miokard, perfusi yang buruk. Fibrosis miokard dan ftluktuasi pada afterload. Semua
faktor tersebut dapat menyebabkan peningkatann resiko ventrikel takiaritmia23
Artrial fibrilasi (parokslsimal, kronik rekuren, atau kronik persisten), sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah merupakan faktor umum
bagi artrial fibrilasi. Pada suatu penelitian hampir 50 % pasien dengan artrial tibrilasi
mengidap hipertensi walaupun etiologi yang pasti tidak diketahui, abnormalitas struktr atrium
kiri, penyakit arteri koroner, dan HVK telah dianggap sebagi faktor yang mungkin berperan.
Perkembangan artrial fibrilasi dapat menyebabkan disfungi sistolik dekompensata dan yang
lebih penting, disfungsi diastolik, menyebabkan hilangnya kontraksi atrium, dan juga
meningkatkan resiko komplikasi tromboembolik, khususnya stroke (Riaz, 2012). Kontraksi
ventrikuler prematur, ventrikuler aritmia dan henti Jantung mendadak ditemukan lebih sering
pada pasien dengan HVK daripada pasien tanpa HVK. Penyebab aritmia tersebut dianggap
terjai bersama-sama dengan penyakit arteri koroner dan fibrosis miokard.23

3.4.5 Faktor Risiko


● Usia
Prevalensi hipertensi meningka seiring dengan perubahan usia. Lebih dari 50 % pada
orang berusia 60-6 9 tahun dan lebih dari 70 % pada usia 70 tahun atau lebih menderita
hipertensi. Prevalensi hypertensive heart disease juga mengikuti pola ini yang juga akan
dipengaruhi oleh beratnya hipertensi itu sendiri. Pada penelitian Rama Chandra n S. Vassan ,
dkk pada Framingham heart study ditemukan bahwa seseorag yan g memiliki tekanan darah
normal dan tinggi (tekanan darah sistolik 130-139 mmHg atau diastolik 85-8 9 mmHg) ,
maka pada usi 35-64 tahun setelah 10 tahun , insiden menderita penyakit kardiovaskuler
sekitar 4 % pada wanita dan 8 % pada pria , sedangkan pad subjek yang berusia 65-90 tahun
insiden penyakit kardiovaskuler ini akan meningkat pada kedua jenis kelamin yaitu 25 %
pada wanita dan 18 % para pria. 24
Setelah usia 45 tahun, dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya
penumpukan zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur
menyempit dan menjadi kaku. Tekann darah sistolik meningkat karena kelenturan pembuluh
darah besar yang berkurang kepada penambahan usia sampai dekade ke 7. Sedangkan
tekanan darah diastolik meningkat sampai dekade kelima dan keenam kemudian menetap
atau cenderung menurun. Selain itu pada usia lanjut akan menyebabkan beberapa perubahan
fisiologis seperti peningkatan resistensi perifer dan aktivasi aktivitas simpatik, penurunan
sensitivitas reflek baroreseptor dan peran ginjal karena penurunan aliran darah dan laju tiltrasi
glomerulus pada ginjal. 24
● Jenis kelamin
Dibawah usia 55 tahun, prevalensi hipertensi lebih tinggi pada pria dari pada wanita
dan akan lebih tinggi lagi pada wanita setelah usia 55 tahun. Perempuan relatf keba l\
terhadap hipertensi sampai usia setelah menopause dilindungi oleh hormon esterogen yang
berperan dalam meningkatkan kadar Highl Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol
HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses
aterosklerosis. Efek perlindungan esterogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas
wanita pada usia premenopause. 24
● Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskuler prematur (laki-laki kurang dari 55
tahun, perempuan kurang dari 65 tahun. 24
● Derajat Hipertensi
Risiko penyakit kardiovaskuler pada penderita hipertensi tentu akan dipengaruhi derajat
hipertensi itu sendiri. Pada penelitian Ramachandra S. Vasan , dkk pada Framingham heart
study ditemukan bahwa seseorang yang memiliki tekanan darah normal tinggi (tekanan darah
sistolik 130-139 mmHg atau tekanan diastolik 85-89 mmHg) memiliki faktor risiko 2,5 kali
pada wanita dan 1,6 kal pada pria untuk mengalami penyakit kardiovaskuler dibandingkan
dengan seseorang yang memiliki tekanan darah normal (tekanan darah sistolik 120-129
mmHg atau tekanan darah diastolik 80-8 4 mmHg) yang hanya memiliki risiko menderita
penyakit kardiovaskuler sebesar 1,5 lipat pada wanita dan 1,3 kali lipat pada pria. 24
● Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungk n dengan
insiden hipertensi maligna yang akan berlanjut menjadi hypertensive heart disease. Merokok
dapat merangsang proses ateroskelerosis karena efek langsung terhadap dinding arteri.
Karbon monoksida dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan
mobilisasi katckolamin yang dapat mcnambah reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan
pada dinding arteri. Pada penelitian Framingham heart study tahun 200 8 ditemukan bahwa
laki-laki perokok memiliki resiko penyakit kardiovaskuler sebesar 3,3 % dan pada wanita
perokok sebesar 2,0%.25
● Dislipidemia
Hipertensi adalah faktor risiko utama terjadinya penyakt kardiovaskular dan jarang terjadi
tanpa disertai gangguan metabolik lainya. Dislipidemia adalah gangguan metabolik yang
paling sering pada penderita hipertensi, terjadi secara bersamaan pada 1/3 pasien dengan
hipertensi. Dari hasil penelitian Framingham heart study pada tahun 2008 ditemukan bahwa
laki-laki dengan kadar kolesterol total 200 atau lebih akan memiliki risiko 3,3 % dan pada
wanita sebesar 2,4 % untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. 25
Ateroskelerosis adalah penyakit kardiovaskuler yang paling erat kaitannya dengan
dislipidemia yang meliputi proses patologi yang menyebabkan disfungsi endothelial akibat
retensi, akumulasi dan oksidasi lipoprotein di dinding arteri. Di sisi lain, peningkatan
afterload akibat hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan dinding dinding ventrikel kiri
dan tekanan transmural. Menekan aliran darah koroner selama diastolik. Sebagai tambahan,
mikrovaskuler diluar arteri koroner epikardium. Telah terlihat mengalami disfungsi pada
pasien dengan hipertensi dan mungkin tidak mampu mengkompensasi peningkatan metabolik
dan kebutuhan oksigen. Kombinasi dari keadaan di atas akan mempercepat terjadinya
iskemik atau infark miokard pada penderita hipertensi yang bersamaan dengan dislipidemia.
25

● Diabetes Melitus
Sekitar 50 % penderita hipertensi esensial juga mengalami retensi insulin. Diketahui insulin
sensitisizer seperti agonist of perioxisome proliferutur activator receptor gamma dapat
mcnurunkan tekanan darah. Selanjutnya hiperinsulinemia merupakan prediktor penting dalam
meningkatkan ketebalan tunika intima dan media pada pasien dengan hipertensi yang
menyebabkan penyakit jantung koroner s ehingga mengindikasikan peningkatan risiko
penyakit kardiovaskular pada penderita. Hasil Framingham heart study pada tahun 2008
ditemukan bahwa penyakit diabetes pada laki-laki akan memiliki risiko sebesar 2,8 % dan
pada wanita sebesar 2,4 % untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. 25
● Obesitas
Obesitas sangat berhubungan dengan hipertensi. Sekitar 60 - 70 % penderita hipertensi juga
mengalami obesitas. Beberapa studi telah mengevaluasi bahwa indeks massa tubuh
merupakan salah satu faktor risiko terjdinya remodeling ventrikel kiri dan gagal jantung.
Penelitian yang dilakukan Satis Kencahiah, dkk pada tahun 2002 diperoleh hasil bahwa risiko
terjadinya gagal jantung akan meningkat 5 % pada laki - laki dan 7 % pada wanita setiap
kenaikkan indeks massa tubuh. Jika dibandingkan dengan seseorang yang memiliki berat
badan normal maka seseorang yang obesitas akan memiliki risiko 2 kali untuk mengalami
gagal jantung. 25

3.4.6 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda-tanda fisik hypertensive heart disease tergantung dari durasi. tingkat
keparahan dan tipe dari penyakitnya sendiri. Sebelum menegakkan diagnosis hypertensive
heart disease harus ditemukan adanya hipertensi, faktor-faktor risiko terjadinya hipertensi dan
etiologi untuk hipertensi sekunder.
a. Gagal jantung
Diagnosis gagal jantung kongestif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria Framingham
seperti berikut:
Kriteria Mayor Kriteria Minor
● Paroxysmal nocturnal dispneu ● Edema ekstremitas
● Orthopneu ● Batuk malam hari
● Distensi vena jugular ● Dispneu d’effort
● Ronkhi paru ● Hepatomegali
● Kardiomegali ● Efusi pleura
● Edema paru akut ● Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
● Gallop S3 normal
● Peninggian tekanan vena jugular ● Takikardia (>120x/menit)
● Refluks hepatojugular
Mayor atau Minor
Penurunan BB≥4,5 kg dalam 5 hari terapi

Tabel 17. Kriteria Framingham

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor.24
Tabel 18. Klasifikasi NYHA

b. Iskemia Miokard
Angina adalah komplikasi yang sering terjadi pada pasien penderita hypertensive
heart disease yang tidak dapat dibedakan dari faktor penyebab miokard iskemik
lainnya. Gejala angina biasanya berupa nyeri dada substernal yang lebih dari 15
menit. Jika angina terjadi >20 menit biasanya sudah terjadi miokard infark. Nyeri
dada sering digambarkan seperti diremas, trrtimpa beban berat yang menyebar ke
leher, rahang, punggung atas atau lengan kiri. Selain itu nyeri sering diprovokasi
emosi atau aktivitas dan dapat dihilangkan dengan istirahat atau nilrogliserin
sublingual. Pemeriksaan pada penderita angina pektoris dalam keadaan serangan
dapat ditemukan bunyi jantung ketiga, keempat dan sering ditemukan bising sistolik
di apeks. Diantara serangan tidak ditemukan tanda fisik apapun. Penderita juga bisa
datang dengan gejala sindroma koroner akut seperti miokard infark dengan ST elevasi
atau miokard infark tanpa ST elevasi.26
c. Aritmia
Aritmia jantung dapat menyebabkan berbagai gejala seperti palpitasi, sinkop, fibrilasi
atrium, ventrikular takikardi dan sudden cardiac death.26

3.4.7 Diagnosis
Selain berdasarkan gejala dan manifestasi klinis, terdapat beberapa komponen yang
bisa dilakukan untuk penegakan diagnosis, antara lain:
1) Test Laboratorium:
Laboratorium yang perlu dilakukan sebelum memulai pengobalan hipertensi meliputi
urinalisis, glukosa darah dan hematokrit, potassium serum, kreatinin, kalsium dan profil lipid
(setelah 9-12 jam puasa) meliputi kadar kolesterol total, LDL, HDL, dan trigliserida. Tes
laboratorim yan g lebih ekstensif dapat dilakukan bagi pasien dengan hipertensi resistan.
Pengobatan yang nyata atau ketika evaluasi klinis mcnunjukkan bentuk hipertensi sekunder.
Selain pemeriksaan laboratorium untuk hipertensi, juga perlu dilakukan pemeriksaan kimia
darah untuk prenyakit jantung seperti CKMB, CK, LDH, SCOT, SGPT. 26

2) Radiologi
Foto toraks AP sangat penting dilakukan pada penderita hypertensive heart disease untuk
melihat perubahan-perubahan pada jantung akibat hipertensi yang tidak terkontrol. Tanda-
tanda radiologis hypertensive heart disease sebagai berikut:
a. Keadaan awal batas kiri bawah jantung menjadi bulat karena hipertrofi konsentrik
ventrikel kiri.
d. Pada keadan lanjut, apeks jantung memperbesar ke kiri dan ke bawah
e. Aortic knob memperbesar dan menonjol disertai kalsifikasi.
f. Aorta ascenden dan descenden melebar dan berkelok yang disebut pemanjangan aorta
g. Tanda-tanda bendungan pembuluh paru pada stadium payah jantung. (6).
Hasil foto radiologi diukur dengan Cardio Thorax Ratio (CTR). CTR adalah Suatu cara
pengukuran besamya jantung dengan mengukur perbandingan antara ukuran jantung dengan
lebarnya rongga dada pada foto thoraks proyeksi PA. Apabila nilai rationya melebihi 50%,
maka jantung pasien tersebut dapat dikategorikan kardiomegali. 26

3) Elektrokardiogram (EKG)
Hipertrofi ventrikel kiri, hipertrofi atrium kiri, fibrilasi atrium dan iskemik atau infark
miokard sering ditemukan pada penderita hypertensive heart disease. Gangguan-gangguan
pada jantung ini dapat dideteksi melalui EKG. Adapun gambaran EKGnya sebagai berikut:
a. Hipertrofi ventrikel kiri
Gambaran EKG hipertrofi ventrikel kiri sebagai berikut:
1) Hipertrofi ventrikel kiri disertai P-mitral.
2) Tinggi gelombang R pada V5 atau V6 >27 mm (27 mV)
3) Gelombang S di VI + gelombang R di V5 atau V6 >35 mm
4) Di V5 at u V6, VAT >0,05 detik
5) Segmen ST depresi dan gelombang T inverted (strain) di sadapan I, aVL, V5 dan V6
6) Terdapat deviasi aksis ke kiri (>30ᵒ)
7) R I + S III 🡪 25 mm (>2,5 mV)
8) R (I, II atau III) + S (I, II atau III) 🡪 20 mm (>2,0 mV )
9) S VI atau S V2 + R V5 atau R V6 🡪 35 mm (>3,5 mV)
Atau kriteria hipertrofi ventrikel kiri dapat ditegakkan bila kriteria I dan 2 ditemukan:
Kriteria 1
R I atau S III 🡪20 mm (>2,0 mV) atau
R I + S III 🡪 2 5 mm (>2, 5 mV) S VI atau
S V2 + R V5 atau R V6 🡪 3 5 m m (>3,5 mV)
Kriteria 2
Aksis antara -15 ^ dan -30° atau deviasi ke kiri > -30° atau segmen ST depresi di sadapan
yang memiliki amplitude gelombang R tinggi.
b. Hipertrofi Atrium Kiri
Gambaran EKG hipertrofi atrium kiri atau sering disebut dengan P mitral sebagai berikut:
1) Durasinya >0,12 detik dan sering berbentuk sela gunung pada sadapan I , II , aVL dan
V4-V6.
2) Pada VI atau V2, kedalamannya > l mm dan durasinya >0,04 detik.

c. Iskemik / Infark Miokard


Gambaran EKG pada iskemik miokard ditandai dengan adanya hiperakut gelombang T atau
depresi segmen ST disertai T inverted atau hanya T inverted. Sedangkan gambaran EKG
pada infark miokard bisa ditemukan elevasi segmen ST, T inverted dan Q patologis.

d. Fibrilasi atrium
Gambaran EKG fibrilasi atrial ditandai sebagai berikut:
a. Irama : tida k teratur
b. Frekuensi : bervariasi
c. Gelombang P: jumlahnya tidak dapat diidentifikasi
d. Interval P-R: tidak dapat dihitung. 27
4) Ekhokardiografi
Ekhokardiografi digunakan untuk meiihat kctebalan dinding dan dimensi ruang ventrikel kiri
dan atrium kiri. Selain itu ekhokardiografi ini digunakan untuk meiihat fungsi dari ventrikel
kiri (melalui fraksi ejeksi) dan gerakan abnormal dari dindingnya. 27
Tabel 19. Parameter Ekokardiografi Berdasarkan Jenis Kelamin

4.2.8 Diagnosis Banding


Untuk membuat diagnosis penyakit jantung hipertensi penyebab lain dari
gagal jantung pertama-tama harus disingkirkan. Kardiomiopati iskemik adalah
penyebab paling umum dari gagal jantung yang mencakup lebih dari setengah dari
semua gagal jantung. Jadi semua pasien dengan gagal jantung onset baru harus
memiliki evaluasi perfusi koroner sebelum membuat diagnosis HHD.28
● Kardiomiopati iskemik atau penyakit arteri koroner
● Kardiomiopati hipertrofik
● Kardiomiopati karena etiologi lain seperti obat-obatan atau infeksi
● Gangguan katup seperti stenosis aorta
● Sleep apneu

4.2.9 Tatalaksana
American Cardiology Association/American Heart Association mengatakan bahwa
terapi non farmakologi pada HHD atau penyakit jantung coroner yakni dengan menerapkan
pola dietary approaches to stop hypertension (DASH), penurunan berat badan, mengurangi
asupan garam berlebih, olahraga teratur dan mengurangi konsumsi alkohol. 22,28
Terapi farmakologi:
● ACE-I
ACE-I bekerja dengan menghambat mekanisme angiotensin I ke angiotensin
II yang merupakan vasokonstriktor yang dapat meningkatkan retensi garam dan air.
Agen penghambat ACE ini pada akhirnya akan menyebabkan vasodilatasi dan
mencegah terbentuknya cairan yang menghasilkan pelepasan aldosteron. Selain itu
ACE-I juga berperan dalam menghambat metabolisme bradikinin, yang merupakan
vasodilator berasal dari kininogen yang diubah oleh kalkrein menjadi bradikinin.
Bradikinin yang menumpuk akibat dihambat oleh ACE-I menyebabkan vasodilatasi
sehingga bradikinin akan berikatan dengan reseptor BK2 di pembuluh darah dan
mengaktifkan produksi prostaglandin yang juga nantinya menyebabkan vasodilatasi.
Peningkatan bradikinin tersebut dapat berikatan dengan reseptor batuk di bronkus
sehingga menyebabkan batuk sebagai efek samping dari ACE-I. Pada pasien penyakit
jantung hipertensi, ACE-I selain mengurangi massa ventrikel kiri juga mengurangi
fibrosis miokard, meningkatkan fungsi diastolik ventrikel kiri, serta telah terbukti
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien gagal jantung akibat disfungsi
sistolik. Misalnya kaptopril berperan dalam menghambat enzim pengubah yaitu
peptidil dipeptidase yang menghidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II dan
menginaktifkan bradikinin. Tidak seperti vasodilator langsung, obat ini tidak
mengaktivasi refleks simpatis dan aman digunakan pada orang dengan iskemik.
● ARB
Bekerja dengan mengikat reseptor angiotensin II dan menghambat angiotensin
II juga mendorong produksi aldosteron yang meningkatkan natrium dan air. ARB
tidak menghalangi kerusakan bradikinin yang menyebabkan batuk sehingga dikatakan
lebih selektif dibandingkan dengan ACE-I. Losartan dan valsartan merupakan yang
pertama kali di pasarkan. ARB umumnya digunakan sebagai alternatif bila terdapat
intoleransi ACE-I salah satu yang dilaporkan adalah losartan lebih efektif
dibandingkan amlodipin dalam mengurangi apoptosis kardiomiosit dan fibrosis
miokard pada pasien penyakit jantung hipertensi. Namun penggunaan ARB pada
pasien HFrEF dengan riwayat hipertensi masih kontroversial
● CCB
● Beta-Blockers
● Tiazide Diuretics

4.2.10 Prognosis
Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit progresif kronis yang membawa
peningkatan risiko kematian kardiovaskular secara signifikan. Hipertensi merupakan salah
satu faktor risiko utama untuk perkembangan beberapa penyakit kardiovaskular seperti
penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit serebrovaskular,
penyakit arteri perifer, aneurisma aorta, dan penyakit ginjal kronis. Prognosis keseluruhan
penyakit jantung hipertensi bervariasi tetapi tergantung pada berbagai faktor seperti
manifestasi spesifik penyakit, adanya penyakit kardiovaskular atau faktor risiko yang
menyertai, dan kondisi komorbiditas lainnya. Kalkulator risiko kardiovaskular tersedia, dan
pasien harus dikelompokkan menjadi risiko tinggi atau rendah untuk kejadian kardiovaskular.
Manifestasi spesifik dari HHD seperti gagal jantung atau fibrilasi atrium membawa
peningkatan risiko kematian kardiovaskular secara substansial. Pasien dengan gagal jantung
diastolik memberikan risiko dan morbiditas yang sama dengan pasien dengan gagal jantung
ejeksi rendah dengan mortalitas 6 bulan yang diamati setinggi 16%.22
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. AA, usia 64 tahun dibawa ke IGD RSMH dengan keluhan sesak napas hebat sejak
±5 jam SMRS. Sesak timbul ketika pasien beraktivitas ringan seperti berjalan ke kamar
mandi dan tidak berkurang dengan istirahat. Sesak dipengaruhi posisi, sesak tidak
dipengaruhi emosi dan cuaca. Pasien sulit tidur telentang dan lebih nyaman pada posisi
duduk. Nyeri dada (-), jantung berdebar (-), demam (-), mual muntah (-). Pasien mengeluh
sembab pada kedua tungkai, tanpa disertai nyeri atau rasa panas. Keluhan utama pasien
dibawa ke IGD RSMH adalah sesak napas. Sesak napas dapat ditimbulkan oleh berbagai
sebab, seperti gangguan pada sistem respirasi (asma, PPOK), gagal jantung, gangguan
metabolik (asidosis atau alkalosis), dan gangguan hematologi (anemia). Berdasarkan keluhan
pasien, ditemukan adanya dispneu d’effort dan orthopneu, karakteristik sesak seperti ini
cenderung mengarah kepada sesak napas akibat gagal jantung. Sesak napas memberat dengan
aktivitas juga dapat terjadi pada pasien PPOK, namun apabila sesak yang terjadi juga
dipengaruhi oleh posisi, maka diagnosis PPOK dapat dikesampingkan terlebih dahulu. Sesak
yang tidak dipengaruhi emosi dan cuaca dapat membantu menyingkirkan diagnosis asma.
Tidak adanya nyeri dada, dapat menyingkirkan kondisi penyakit jantung koroner, tidak
adanya jantung berdebar dapat menyingkirkan kondisi aritmia, kedua kondisi tersebut dapat
menjadi etiologi dari gagal jantung. Tidak adanya mual muntah dapat menyingkirkan kondisi
gangguan metabolik, baik alkalosis maupun asidosis. Pasien ini mengeluhkan badan terasa
lemas, keluhan ini dapat menunjang kecurigaan adanya anemia.
Pasien mengeluhkan sembab pada kedua tungkai. Beberapa kondisi yang dapat
memicu sembab pada tungkai meliputi penyebab sistemik seperti gagal jantung, gangguan
ginjal, gangguan hepar, atau penyebab lokal seperti deep vein thrombosis (DVT). Tidak
adanya rasa nyeri, kemerahan, dan rasa panas pada tungkai yang sembab dapat
menyingkirkan diagnosis DVT. Selain itu, sembab pada pasien terjadi ada kedua tungkai,
kondisi ini juga membantu menyingkirkan diagnosis DVT. Umumnya, DVT terjadi pada
tungkai unilateral.
Pasien juga mengeluhkan nyeri disertai kemerahan, teraba hangat, dan bengkak
dengan benjolan keras pada persendian ibu jari kaki kanan kiri, nyeri disertai kemerahan,
teraba hangat dan bengkak tanpa benjolan keras pada lutut kanan dan kiri. Pasien mengaku
tidak bisa berjalan karena sakit yang dirasakan. Keluhan nyeri disertai kemerahan, teraba

75
hangat, dan bengkak dengan benjolan keras, tampak seperti kapur di bawah kulit, pada
persendian ibu jari kaki kanan kiri mengarah kepada gout arthritis fase akut disertai dengan
tofus yang ditandai dengan adanya benjolan keras disertai tanda tanda inflamasi pada sendi
MTP-1. Keluhan nyeri pada lutut sering disebabkan karena adanya osteoarthritis. Namun,
pada pasien ini terdapat tanda-tanda inflamasi seperti bengkak, kemerahan, dan teraba hangat,
sedangkan osteoarthritis merupakan jenis arthropati kronik non-inflamatori sehingga kondisi
ini dapat menyingkirkan diagnosis osteoarthritis. Keluhan nyeri sendi lutut yang melibatkan
sendi MTP-1, disertai dengan tanda-tanda inflamasi juga dapat diakibatkan oleh kondisi gout
arthritis. Serangan gout arthritis dapat bersifat monoartikular (1 sendi) atau oligoartikular (2-4
sendi). Pada pasien ini ditemukan serangan terjadi pada 4 sendi. Pada ±1 tahun 5 bulan yang
lalu, serangan terjadi monoartikular di MTP-1 kiri. Pasien mengaku tidak bisa berjalan karena
sakit yang dirasakan, kondisi ini dapat menunjang penegakkan diagnosis gout arthritis
berdasarkan ACR/EULAR 2015. Berdasarkan hasil anamnesis, pasien sudah memenuhi 8
kriteria penegakkan diagnosis ACR/EULAR 2015 sehingga diagnosis gout arthritis dapat
ditegakkan.
. Pasien mengeluhkan nyeri hilang timbul pada pinggang kanan dan kiri. Nyeri
pinggang dapat disebabkan oleh gangguan pada ginjal ataupun gangguan pada sistem
muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal berkaitan erat dengan fungsi gerak tubuh sehingga
umumnya nyeri akibat gangguan muskuloskeletal dipengaruhi oleh pergerakan. Pada pasien
ini, nyeri tidak dipengaruhi oleh pergerakan sehingga diagnosis gangguan muskuloskeletal
dapat disingkirkan. Sedangkan pada gangguan ginjal, nyeri tidak dipengaruhi oleh
pergerakan, namun diperlukan pemeriksaan lanjutan, berupa pemeriksaan fisik dan
penunjang untuk mengakkan diagnosis gangguan/peyakit ginjal. Pasien mengaku nyeri pada
pinggang kanan dan kiri sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Berdasarkan onsetnya,
nyeri pinggang pasien ini tergolong nyeri pinggang kronik, kondisi ini dapat mengarah pada
kondisi penyakit ginjal kronik. Awalnya nyeri dirasakan hilang timbul dan tidak mengganggu
aktivitas. Semakin lama, keluhan nyeri pinggang semakin sering dirasakan dan terasa
semakin memberat, hal ini menunjukkan bahwa gangguan/penyakit yang terjadi bersifat
progresif.
Berdasarkan hasil anamnesis, pasien pernah didiagnosis mengalami payah jantung
(gagal jantung) sejak ± 1,5 tahun yang lalu dan didiagnosis hipertensi (darah tinggi) sejak
tahun 2008 dan mengonsumsi Valsartan hanya saat tekanan darahnya naik saja, tidak rutin.
Konsumsi obat antihipertensi yang tidak rutin dapat memicu hipertensi yang tidak terkontrol.
Hpertensi merupakan faktor risiko terjadinya gagal jantung. Hipertensi dapat menyebabkan
terjadinya hipertrofi ventrikel kiri, kegagalan pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan
kekakuan dinding ventrikel yang disebut dengan penyakit jantung hipertensi. Penyakit
jantung merupakan salah satu etiologi gagal jantung yang sering terjadi. Hipertensi juga dapat
menjadi faktor risiko terjadinya penyakit ginjal kronis, pemberian obat antihipertensi secara
rutin dapat mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal. Pada tahun 2008, pasien juga
memiliki riwayat penyakit jantung koroner dan telah menjalani operasi bypass di tahun yang
sama. Penyakit jantung koroner merupakan salah satu etiologi gagal jantung yang paling
sering terjadi.
Pasien memiliki riwayat kebiasaan mengonsumsi makanan berlemak dan
berkolesterol tinggi. Kolesterol plasma yang tinggi terutama yang bersifat aterogenik yaitu
LDL, berperan penting dalam kejadian aterosklerosis. Aterosklerosis memicu terjadinya
kekakuan pada pembuluh darah sehingga resistensi di pembuluh darah akan meningkat.
Meningkatnya resistensi pembuluh darah dapat memicu dan memperberat hipertensi. Selain
itu aterosklerosis merupakan pemicu utama penyakit jantung koroner. Pasien juga memiliki
riwayat kebiasaan merokok ½ bungkus/hari sejak usia 20 tahun, dan sudah berhenti sejak 14
tahun yang lalu. Berdasarkan perhitungan indeks Brinkmann, pasien memiliki IB sebesar 240
dan tergolong sebagai perokok sedang. Riwayat merokok juga merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya hipertensi pada pasien ini. Pasien memiliki kebiasaan mengonsumsi kopi
dan teh manis ada, 1 gelas/hari sejak usia 20 tahun. Pembuatan kopi dan teh manis umumnya
diberikan gula tambahan. Gula tambahan mengandung sukrosa, sukrosa merupakan sumber
utama fruktosa. Fruktosa yang tinggi dapat dipecah menjadi purin yang merupakan cikal
bakal terbentuknya asam urat sehingga dapat memicu hiperurisemia hingga gout.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya tekanan darah 140/70 mmHg yan
tergolong dalam hipertensi stage 1 dan skala VAS 6 yang tergolong dalam moderate to
severe pain, sedangkan tanda vital lainnya dalam batas normal. Pada pasien juga ditemukan
adanya konjungtiva pucat. Konjungtiva pucat merupakan salah satu tanda anemia, namun
diperlukan pemeriksaan hemoglobin untuk memastikannya. Ditemukan juga adanya
peningkatan tekanan vena jugularis, ronkhi basah halus pada bagian basal paru, dan pitting
edema pretibial. Temuan klinis tersebut mengarah pada tanda-tanda kongesti akibat gagal
jantung sehingga tanda-tanda ini dapat menunjang penegakkan diagnosis gagal jantung
kongestif sesuai dengan kriteria Frammingham.
Kriteria Mayor Kriteria Minor
● Paroxysmal nocturnal dispneu ● Edema ekstremitas
● Orthopneu ● Batuk malam hari
● Distensi vena jugular ● Dispneu d’effort
● Ronkhi paru ● Hepatomegali
● Kardiomegali ● Efusi pleura
● Edema paru akut ● Penurunan kapasitas vital 1/3 dari
● Gallop S3 normal
● Peninggian tekanan vena jugular ● Takikardia (>120x/menit)
● Refluks hepatojugular
Mayor atau Minor
Penurunan BB≥4,5 kg dalam 5 hari terapi

Pada pasien ini ditemukan batas jantung kiri bergeser ke arah lateral yaitu pada ICS V
2 cm lateral dari linea midclavicularis sinistra. Kondisi ini dapat menujukkan adanya
hipertrofi atau dilatasi ventrikel kiri jantung. Kondisi ini dapat disebabkan oleh adanya
penyakit jantung hipertensi ataupun kardiomiopati yang dapat menjadi penyebab gagal
jantung. Jika ditinjau dari sisi usia, penyakit jantung hipertensi umumnya lebih sering terjadi
pada usia >60 tahun. sedangkan kardiomiopati umumnya ditemukan pada usia yang lebih
muda yaitu pada dekade ke-3 atau dekade ke-4. Pasien ini berusia 64 tahun, oleh karena itu,
penyakit jantung hipertensi lebih mungkin terjadi pada pasien ini, diperkuat dengan riwayat
hipertensi lama.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya nyeri ketok CVA (+) dan ballotement (+)
pada sisi kanan dan kiri. Nyeri ketok CVA (+) mengindikasikan adanya peregangan pada
kapsul ginjal, salah satu penyebab terseringnya adalah hidronefrosis. Ballotement (+)
menunjukkan adanya pembesaran ginjal akibat adanya hidronefrosis atau massa.
Hidronefrosis dapat terjadi akibat adanya penyumbatan (obstruksi) pada ureter atau pelvis
ginjal. Nyeri ketok CVA, ballotement (+), diperkuat dengan adanya nyeri pinggang yang
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu dapat mengindikasikan adanya penyakit ginjal kronik
akibat adanya obstruksi pada ginjal atau ureter pasien. Adanya tofi pada articulationes
metatarsophalangeal I dekstra et sinistra, bengkak disertai kemerahan dan teraba hangat pada
articulationes genu dekstra et sinistra dan articulationes metatarsophalangeal I dekstra et
sinistra, dan ROM articulationes genu dekstra et sinistra dan articulationes
metatarsophalegeal I dekstra et sinistra terbatas yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat
membantu penegakkan diagnosis arthritis gout pada pasien ini.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, ditemukan adanya penurunan
hemoglobin (anemia) dengan MCH dan MCHC dalam batas normal (normositik
normokrom). Terdapat berbagai penyebab anemia normositik normokrom yaitu sebagai
berikut

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, retikulosit didapatkan normal, namun pada


pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan sumsum tulang belakang. Jika dilihat dari hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik, didapatkan kecurigaan adanya penyakit ginjal kronik, oleh
karena itu kemungkinan besar anemia pada pasien diakibatkan oleh penyakit ginjal kronik.
Pada penyakit ginjal kronik, terjadi penurunan produksi erythropoetin (EPO) oleh sel
peritubular ginjal yang memiliki fungsi untuk menstimulasi produksi sel darah merah. Oleh
karena itu, anemia sering terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik. Pada pasien ini juga
ditemukan peningkatan ureum dan kreatinin yang mengindikasikan adanya gangguan fungsi
ginjal. Kemudian, dilakukan penghitungan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) dengan rumus
Cockroft-Gault dan didapapatkan hasil 20,75 pada pemeriksaan tanggal 5 April 2022. Pada
pasien ini juga ditemukan adanya penurunan creatinine clearance dan kreatinin urine.
Adanya klinis berupa nyeri pinggang sejak 3 bulan yang lalu, nyeri ketok CVA dan
ballotement (+), didukung dengan gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan
ureum dan kreatinin serum, penurunan LFG, dan penurunan creatinine clearance dan
kreatinin urine, memenuhi kriteria penegakkan diagnosis penyakit
ginjal kronis berdasarkan KDIGO 2012, yaitu adanya abnormalitas
struktur atau fungsi ginjal yang berlangsung ≥ 3 bulan, disertai
dengan gejala dan tanda klinis. Selain itu, berdasarkan
pemeriksaan laboratorium juga ditemukan adanya hipokalsemia.
Kondisi hipokalsemia ini dapat diakibatkan oleh penyakit ginjal
kronis yang diderita pasien.
Pada pemeriksaan laboratorium juga ditemukan adanya kondisi hiperkolesterolemia
(peningkatan kolesterol total dan LDL, disertai penurunan HDL) dan hiperurisemia dengan
asam urat darah 12,3 mg/dL. Hiperkolesterolemia dapat menjadi faktor risiko atherosklerosis
yang dapat memicu hipertensi dan penyakit jantung koroner. Sedangkan hiperurisemia
menjadi penyebab terjadinya arthritis gout dan temuan ini dapat menunjang penegakkan
diagnosis arthritis gout berdasarkan kriteria ACR/EULAR 2015. Selain itu hiperurisemia juga
dapat memicu pembentukan batu pada ginjal yang dapat menjadi salah satu etiologi penyakit
ginjal kronis yang terjadi.
Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan adanya abnormalitas berupa urine yang keruh,
hematuria, leukosit esterase positif +++, dengan sedimen berupa epitel positif +, leukosituria,
dan bakteriuria. Temuan ini mengarah pada kondisi infeksi saluran kemih. Berdasarkan hasil
pemeriksaan kultur urine, didapatkan hasil berupa bakteri Acinetobacter baumanii dengan
bacil (+) dan jumlah koloni >100,000/mL. hasil kultur urine ini mendukung penegakkan
diagnosis infeksi saluran kemih. Berdasarkan hasil pemeriksaan USG TUG, didapatkan
adanya kesan sistitis.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi, didapatkan kesan hipertrofi ventrikel kiri dan
infark miokard anteroseptal lama. Kesan hipertrofi ventrikel kiri mendukung diagnosis
penyakit jantung hipertensi pada pasien ini, sedangkan kesan infark miokard anteroseptal
lama dapat menunjukkan riwayat penyakit jantung koroner yang pernah dialami pasien pada
tahun 2008. Pada pemeriksaan rontgen thoraks, didapatkan kesan kardiomegali dengan tanda
kongestif pulmonum. Kardiomegali dapat terjadi akibat adanya hipertrofi ventrikel kiri pada
penyakit jantung hipertensi, sedangkan kesan kongestif pulmonum memperkuat diagnosis
gagal jantung kongestif. Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan kesan penyakit jantung
hipertensi dengan diagnosis banding penyakit jantung koroner, dengan fungsi ejeksi ventril
kiri mid-range.
Pada pemeriksaan USG genu, didapatkan hasil double countour pada kedua genu
dekstra et sinistra yang merupakan gambaran khas pada arthritis gout. Temuan ini dapat
menunjang penegakkan diagnosis arthritis gout berdasarkan ACR/EULAR 2015 dan
menyingkirkan diagnosis osteoarthritis.

Adapun pengobatan yang diberikan pada pasien ini adalah furosemide 1x2 gr IV,
valsartan 1x20 mg PO, CaCO 3 3x1 tab PO, lansoprazole 2x30 mg PO, colchicine 1x0,5 mg
PO, sukralfat 3x10 cc PO, atorvastatin1x20 mg PO, ciprofloxacin 2x500 mg PO, dan
febuxostat 1x80 mg PO. Furosemide 1x2 gr IV diindikasikan untuk tanda-tanda kongesti
akibat gagal jantung. Valsartan 1x20 mg PO diindikasikan untuk hipertensi yang diderita
pasien. Pemberian golongan ARB pada pasien ini didasarkan pada kondisi komorbid yang
menyertai hipertensi yaitu hipertrofi ventrikel kiri. Berdasarkan WHO/ISH statement on
hypertension tahun 2003, antihipertensi yang disarankan pada paasien dengan hipertrofi
ventrikel kiri adalah golongan ARB. Pemberian antihipertensi juga dapat mencegah
perburukan penyakit jantung hipertensi dan penyakit ginjal kronis yang dialami pasien.
CaCO3 3x1 tab PO diindikasi untuk kondisi hipokalsemia yang dialami pasien. Lansoprazole
2x30 mg PO dan sukralfat 3x10 cc PO diindikasikan sebagai gastroprotektor karena adanya
riwayat penggunaan NSAID, yaitu etoricoxib, dan adanya temuan nyeri tekan epigastrium
pada pemeriksaan fisik. Colchicine diberikan atas indikasi adanya serangan gout akut dengan
onset <12 jam, dosis awal colchine diberikan sebesar 1 mg (2 tablet) dilanjutkan dengan dosis
0,5 mg 1 jam kemudian. Atorvastatin1x20 mg PO diberikan dengan indikasi adanya
hiperkolesterolemia. Pada pasien ini ditemukan adanya sistitis, oleh karena itu, pasien
diberikan antibiotik ciprofloxacin 2x500 mg PO. Sedangkan, febuxostat 1x80 mg PO
diberikan atas indikasi hiperurisemia simtomatis dengan gout arthritis dan nefrolithiasis,
namun obat ini hanya diberikan ketika pasien telah melewati fase gout akut.
Pada hasil pemantauan, didapatkan sesak yang dialami pasien terus mengalami
perbaikan hingga tidak dirasakan lagi, selain itu ronkhi basah halus di basal dan edema
pretibial juga tidak ditemukan lagi pada pemantauan terakhir. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa prognosis quo ad vitam pasien ini bonam. Pasien ini mengalami penyakit ginjal kronik
stage IV dimana kerusakan ginjal sudah terjadi secara irreversibel sehingga penurunan
fungsinya juga terjadi secara irreversibel. Kondisi ini juga menjelaskan bahwa kemungkinan
pasien ini untuk sembuh dari penyakit ginjal kronik sangat sulit. Oleh karena itu, prognosis
quo ad fungsionam dan sanationam pasien ini malam.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K MS, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2014. 2259–83 hal.

2. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 20 ed. New York: McGraw Hill; 2018. 908–918 hal.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2018. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2019.

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular. Pedoman Tatalaksana Sindrom


Koroner Akut Edisi Ketiga. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular;
2015.

5. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular. Panduan Praktik Klinis dan Clinical


Pathway Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular; 2016.

6. Aldous D. Eating plan for heart failure. Ottawa Cardiovasc Cent [Internet].
2010;123456:1–6. Tersedia pada:
http://www.cvtoolbox.com/downloads/diets/heart_failure_eating_plan_2010.pdf

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung


2020. 2nd ed. Perhimpun Dr Spes Kardiovask Indones 2020. 2020;6(11):951–2.

8. McDonagh TA, Metra M, Adamo M, Gardner RS, Baumbach A, Böhm M, et al. 2021
ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur
Heart J. 2021;42(36):3599–726.

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar.


Kementerian Kesehatan RI. Jakarta; 2018.

10. Whelton PK, Carey RM, Aronow WS, Casey DE, Collins KJ, Dennison Himmelfarb
C, et al. 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/ASH/ASPC/NMA/PCNA
Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and Management of High Blood
Pressure in Adults: A Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol.
2018;71(19):e127–248.

84
11. Suwitra K. Nefrourologi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
2014. 2159–2165 p.

12. Indonesian, Registry R. 11th Report Of Indonesian Renal Registry 2018. 2018.

13. Idrus Alwi, Salim Simon, Rudy Hidayat, Juferdy Kurniawan DLT. Panduan praktik
klinis. Keempat. Jakarta: InternaPublishing; 2019. 47–59, 437–442 p.

14. Sloane E. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2004.

15. Price, S.A., dan Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinik Proses Penyakit. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC; 2012.

16. Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Fakultas Kedokteran UNPAD; 2006.

17. Aeddula. SRVNR. Chronic Renal Failure. 2020;

18. Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S SJ. Kelley’s Textbook of Rheumatology,
8th ed. Philadelphia: W.B Saunders; 2009.

19. Al. AR et. The American College of Rheumatology criteria for the classification and
reporting of osteoarthritis os the knee.

20. Tehupeiory ES. Artritis Gout dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-4.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.

21. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Rekomendasi Pedoman Diagnosis dan


Pengelolaan Gout. 2018. 1–33 p.

22. Moningka MLM. Diagnosis dan Tatalaksana Terkini Penyakit Jantung Hipertensi.
Manado: Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi. 2021.

23. Borhade MB. StatPearls Book, Cape Fear Valley Hospital. 2021.

24. Riaz K. Hypertensive Heart Disease , Wright Slate University. 2012.

25. Panggabean MM. Penyakit Jantung Hipertensi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4 ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006.

26. Vasan RS. Impact of High Normal Blood Pressure on The Risk of Cardiovaskular
Disease. New England Journal of Medicine. 2001.
27. Basha A. Penyakit Jantung Hipertensif. Buku Ajar kardiologi. Jakarta: Gaya Baru.
1998.

28. Prisant LM. Hypertensive Heart Disease, The journal of Clinical Hypertension. 2005.

29. Rasad S. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua . Balai Penerbit FK UI , Jakarta. 2005.

Anda mungkin juga menyukai