Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Disusun untuk Memenenuhi Tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah (KMB) 2


di Ruang Teratai 6 Selatan RSUP Fatmawati

DISUSUN OLEH:

Elina, S. Kep

411910950000030

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2019/ 1441 H
Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
1. DEFINISI
a. Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal
jantung akut yang didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid
onset) dari gejala – gejala atau tanda – tanda akibat fungsi jantung
yang abnormal. Disfungsi ini dapat berupa disfungsi sistolik maupun
diastolik, abnormalitas irama jantung, atau ketidakseimbangan preload
dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru tanpa kelainan
jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari gagal
jantung kronik (chronic heart failure) yang telah dialami sebelumnya.
ADHF muncul bila cardiac output tidak dapat memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh (Putra, 2012).
b. ADHF adalah didefinisikan sebagai perburukan keadaan dari simtom
HF yang biasanya disebabkan oleh edema pulmonal kardiogenik
dengan akumulasi cairan yang cepat pada paru (Pinto, 2012).
c. Gagal jantung merupakan gejala – gejala dimana pasien memenuhi
ciri berikut: gejala – gejala gagal jantung, nafas pendek yang khas
selama istirahat atau saat melakukan aktifitas, dan atau kelelahan;
tanda – tanda retensi cairan seperti kongestif pulmonal atau
pembengkakan tungkai (Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E,
2006)

2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung.
Penyebab yang paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana
terjadi kerusakan atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik,
peningkatan tahanan vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya
takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab gagal jantung
pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar 10% dan
kardiomiopati sebanyak 10% (Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G,
McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al, 208)

2
Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot
jantung secara struktur dan fungsionalnya menjadi abnormal dengan
ketiadaan penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit katup, atau
penyakit jantung kongenital lainnya] yang berperan terjadinya abormalitas
miokard (Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV,
Ponikowski P, Atar D et al, 2008).
Menurut Joseph (2009) penyebab umum ADHF biasaya berasal
dari ventrikel kiri, disfungsi diastolik, dengan atau tanpa Coronary Artery
Disease (CAD), dan abnormalitas valvular. Meskipun sebagian pasien
ADHF adalah pasien dengan riwayat Heart Failure (HF) dan jatuh pada
kondisi yang buruk, 20% pasien lainnya yang dinyatakan ADHF tidak
memiliki diagnosa HF sebelumnya.
Menurut ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure tahun 2008, penyebab umum gagal jantung
karena penyakit otot jantung adalah sebagai berikut :
Penyakit Jantung Banyak Manifestasi
Koroner
Hipertensi Sering dikaitkan dengan hipertrofi ventrikel
kanan dan fraks injeksi
Kardiomiopati Faktor genetic dan non – genetic (termasuk
yang didapat seperti myocarditis)
Hypertrophic (HCM), dilated (DCM),
restrictive (RCM), arrhythmogenic right
ventricular (ARVC), yang tidak
terklasifikasikan

Obat – obatan β - Blocker, calcium antagonists,


antiarrhythmics, cytotoxic agent

Toksin Alkohol, cocaine, trace elements (mercury,


cobalt, arsenik)
Endokrin Diabetes mellitus, hypo/hyperthyroidism,

3
Cushing syndrome, adrenal insufficiency,
excessive growth hormone,
phaeochromocytoma
Nutrisional Defisiensi thiamine, selenium, carnitine.
Obesitas, kaheksia
Infiltrative Sarcoidosis, amyloidosis, haemochromatosis,
penyakit jaringan ikat
Lainnya Penyakit Chagas, infeksi HIV, peripartum
cardiomyopathy, gagal ginjal tahap akhir

Faktor risiko :
Faktor presipitasi kardiovaskular
a. Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada
(kardiomiopati)
b. Sindroma koroner akut
 Infark miokardial/unstable angina pektoris dengan iskemia
yang bertambah luas dan disfungsi sistemik
 Komplikasi kronik IMA
 Infark ventrikel kanan
c. Krisis Hipertensi
d. Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikular, fibrilasi
atrial, takikardia supraventrikuler, dll).
e. Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae,
perburukan regurgitasi katup yang sudah ada
f. Stenosis katup aorta berat
g. Tamponade jantung
h. Diseksi aorta
i. Kardiomiopati pasca melahirkan

4
Faktor presipitasi non kardiovaskuler
a. Volume overload
b. Infeksi terutama pneumonia atau septikemia
c. Severe brain insult
d. Pasca operasi besar
e. Penurunan fungsi ginjal
f. Asma
g. Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol
h. Feokromositoma
(Putra, 2012)
3. PATOFISIOLOGI
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal
jantung kronik asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau
dapat juga terjadi pada mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung
sebelumnya. Etiologi ADHF dapat bersumber dari kardiovaskuler maupun
non kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan faktor presipitasi lainnya
akan menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang diakibatkan
oleh proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau
kerusakan katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel
sehingga terjadi gangguan preload maupun afterload sehingga
menurunkan curah jantung (Price, 2005).
Bila curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan
mekanisme neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah
jantung. Mekanisme ini melibatkan sistem adrenergik, renin angiotensin
dan aldosteron sehingga terjadi peningkatan tekanan darah akibat
vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air. Pada individu dengan
remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan
menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana
jantungnya telah mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa
dikompensasi agar tetap dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh.
Tetapi bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini

5
akan terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis tergantung dari
ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF (Price, 2005).
Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan
kontraksi miokard menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal
ini akan menimbulkan penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi
penurunan curah jantung. Penurunan kontraktilitas miokard pada ventrikel
kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel kiri) akan menyebabkan
peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena penurnan
kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran
balik vena). Hal ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru
– paru. B endungan ini akan menimbulkan transudasi cairan ke jaringan
dan alveolus paru sehingga terjadilah oedema paru. Oedema ini tentunya
akan menimbulkan gangguan pertukaran gas di paru – paru (Price, 2005).
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis
tubuh akan melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem
adrenergik dan RAA untuk mempertahankan curah jantung ke arah
normal. Sedangkan apabila tubuh tidak mampu lagi melakukan
kompensasi, maka penurunan curah jantung akan memicu penurunan
aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan aliran darah
ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh sistem renin angiotensin
aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena tidak
diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses
dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung
pada oedema perifer (Price, 2005).
Sedangkan menurut Mc.Bride BF, White M, dalam Acute
Decompensated Heart Failure: Pathophysiology tahun 2010 patofisiologi
ADHF yakni Ketidakmampuan dan kegagalan jantung memompa darah
secara langsung menciptakan suatu keadaan hipovolemik relatif yang lebih
dikenal dengan arterial underfilling. Selain itu respon terhadap faktor –
faktor neurohormonal (seperti sistem saraf simpatis, renin – angiotensin –
aldosterone system, arginine vasopressin dan endotelin – 1) menjadi
teraktivasi untuk mempertahankan euvolemia yang menyebabkan retensi

6
cairan, vasokonstriksi, atau keduanya. Pada pasien tanpa gagal jantung,
respon ini untuk mengakhiri volume cairan yang telah dipertahakan
(Mc.Bride BF, White M, 2010)
Aktivasi neurohormonal juga menstimulasi aktivasi sitokin
proinflamasi dan mediator – mediator apoptosis miosit. Elevasi
neurohormonal dan imunomodulator yang diamati pada pasien dengan
ADHF yang dikaitkan dengan perburukan gejala gagal jantung dan
perburukan prognosis pasien . Pada pasien dengan gagal jantung, aktivasi
sistem saraf simpatik mencegah terjadinya arterial underfilling yang
meningkatkan cardiac output sampai toleransi berkembang dengan dua
mekanisme. Pertama, myocardial 1 – receptor terpisah dari second
messenger protein, yang mengurangi jumlah cyclic adenosine 5¸-
monophosphate (cAMP) yang dibentuk untuk sejumlah interaksi reseptor
ligan tertentu. Kedua, mekanisme dephosphorylation menginternalisasi 1-
reseptor dalam vesikula sitoplasma di miosit tersebut.
Bahkan dengan latar belakang tingkat toleransi., peningkatan
marker akut pada katekolamin diamati di antara pasien dengan ADHF
masih mengangkat cAMP miokard, meningkatkan konsentrasi kalsium
intraseluler dan tingkat metabolisme anaerobik. Hal ini dapat
meningkatkan risiko tachyarrhythmias ventrikel dan kematian sel
terprogram. Selain itu, overdrive simbol-menyedihkan menyebabkan
ditingkatkan 1-reseptor rangsangan tidak mengakibatkan toleransi dan
meningkatkan derajat vasokonstriksi sistemik, meningkatkan stres dinding
miokard. Selanjutnya, peningkatan vasokonstriksi sistemik mengurangi
tingkat filtrasi glomerulus, sehingga memberikan kontribusi bagi aktivasi
sistem renin angiotensin aldosterone (Mc.Bride BF, White M, 2010)

4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan
kelelahan yang sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi.
Gejala – gejala ini juga dapat disebabkan pleh kondisi lain yang mirip
dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang diidentifikasikan pada

7
pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal termasuk
pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat
sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal jantung (Lindenfeld J,
2010).
Menurut ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure tahun 2008, manifestasi klinis acute
decompensated heart failure antara lain tertera dalam tabel berikut:
Gambaran Klinis Gejala Tanda
yang Dominan
Edema perifer/ Sesak napas, Edema Perifer,
kongesti kelelahan, Anoreksia peningkatan vena
jugularis, edema
pulmonal,
hepatomegaly, asites,
overload cairan
(kongesti), kaheksia
Edema pulmonal Sesak napas yang Crackles atau rales
berat saat istirahat pada paru-paru bagian
atas, efusi, Takikardia,
takipnea
Syok kardiogenik Konfusi, kelemahan, Perfusi perifer yang
(low output dingin pada perifer buruk, Systolic Blood
syndrome) Pressure (SBP) <
90mmHg, anuria atau
oliguria
Tekanan darah tinggi Sesak napas Biasanya terjadi
(gagal jantung peningkatan tekanan
hipertensif) darah, hipertrofi
ventrikel kiri
Gagal jantung kanan Sesak napas, Bukti disfungsi
kelelahan ventrikel kanan,
peningkatan JVP,

8
edema perifer,
hepatomegaly,
kongesti usus.

Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute


Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute
decompensated heart failure antara lain tertera dalam tabel berikut :
Volume Overload
a. Dspneu saat melakukan kegiatan
b. Orthopnea
c. Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
d. Ronchi
e. Cepat kenyang
f. Mual dan muntah
g. Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegaly
h. Distensi vena jugular
i. Reflex hepatojugular
j. Asites
k. Edema perifer

Hipoperfusi
a. Kelelahan
b. Perubahan status mental
c. Penyempitan tekanan nadi
d. Hipotensi
e. Ekstremitas dingin
f. Perburukan fungsi ginjal

Decompensasi cordis akut dapat dimanifestasikan oleh penurunan


curah jantung dan/atau pembendungan darah di vena sebelum jantung kiri
atau kanan, meskipun curah jantung mungkin normal atau kadang-kadang

9
di atas normal.Tanda dominan gagal jantung adalah meningkatnya volume
intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan arteri dan vena
yang meningkat akibat turunnya curah jantung dan kegagalan jantung.
Peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat menyebakan cairan mengalir
dari kapiler ke alveoli, akibatnya terjadi edema paru yang dimanifestasikan
dengan batuk dan nafas pendek. Meningkatnya tekanan vena sistemik
dapat mengakibatkan edema perifer umum dan penambahan berat badan.
Turunnya curah jantung pada gagal jantung dimanifestasikan secara luas
karena darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ (perfusi rendah)
untuk menyampaikan oksigen yang dibutuhkan. Beberapa efek yang
biasanya timbul akibat perfusi rendah adalah pusing, konfusi, kelelahan,
tidak toleran terhadap aktivitas dan panas, ektremitas dingin, dan haluaran
urin berkurang (oliguri). Tekanan perfusi ginjal menurun, mengakibatkan
pelepasan renin dari ginjal, yang pada gilirannya akan menyebabkan
sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume
intravaskuler.
Dampak dari cardiac output dan kongesti yang terjadi pada sistem vena
atau sistem pulmonal antara lain:
 Lelah
 Angina
 Cemas
 Penurunan aktifitas GI
 Kulit dingin dan pucat
Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balik dari ventrikel
kiri, antara lain :
 Dyspnea
 Batuk
 Orthopnea
 Rales paru
 Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru

10
Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :
 Edema perifer
 Distensi vena leher
 Hati membesar (hepatomegali)
 Peningkatan central venous pressure (CPV)
Respon terhadap kegagalan jantung :
1. Peningkatan tonus simpatis >> Peningkatan sistem saraf simpatis yang
mempengaruhi arteri dan vena jantung. Akibatnya meningkatkan aliran
balik vena ke jantung dan peningkatan kontraksi. Tonus simpatis
membantu mempertahankan tekanan darah normal
2. Retensi air dan natrium >> Bila ginjal mendeteksi adanya penurunan
volume darah yang ada untuk filtrasi, ginjal merespon dengan
menahan natrium dan air dengan cara demikian mencoba untuk
meningkatkan volume darah central dan aliran balik vena.

5. KLASIFIKASI
Klasifikasi ADHF dapat dilihat melalui tabel Forrester Hemodynamic
Subsets

Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology


(ACC) dan American Heart Association (AHA) 2008 :
1) Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung
struktural atau tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium
ini termasuk mereka yang mengidap hipertensi, DM, sindroma
metabolik, penyakit aterosklerosis atau obesitas.
2) Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri
yang asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV

11
remodeling, fraksi ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau
penyakit katup jantung asimptomatik.
3) Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal
jantung saat ini atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung
struktural, dyspnea, fatigue, dan penurunan toleransi aktivitas.
4) Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat
muncul saat istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien
memerlukan rawat inap.

Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi menjadi


4 kelas berdasarkan tanda dan gejala pasien, respon terapi dan status
fungsional yaitu :
1) Functional Class I ( FC I ) : asimptomatik tanpa hambatan aktivitas
fisik.
2) Functional Class II ( FC II ) : hambatan aktivitas fisik ringan, pasien
merasa nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue,
palpitasi atau angina dengan aktivitas biasa.
3) Functional Class III ( FC III ) : hambatan aktivitas fisik nyata, pasien
merasa nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue,
palpitasi atau angina dengan aktivitas biasa ringan.
4) Functional Class IV ( FC IV ) : ketidaknnyamanan saat melakukan
aktivitas fisik apapun, dan timbul gejala sesak pada aktivitas saat
istirahat.
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang untuk kasus ADHF menurut Hanafiah (2006):
1) Laboratorium :
 Hematologi : Hb, Ht, Leukosit.
 Elektrolit : K, Na, Cl, Mg.
 Enzim Jantung (CK-MB , Troponin, LDH).
 Gangguan fungsi ginjal dan hati : B UN, Creatinin, Urine Lengkap,
SGOT, SGPT.
 Gula darah.

12
 Kolesterol, trigliserida.
 Analisa Gas Darah
2) Elektrokardiografi, untuk melihat adanya :
 Penyakit jantung koroner : iskemik, infark.
 Pembesaran jantung (LVH : Left Ventricular Hypertrophy).
 Aritmia.
 Perikarditis.
3) Foto Rontgen Thoraks, untuk melihat adanya :
 Edema alveolar.
 Edema interstitials.
 Efusi pleura.
 Pelebaran vena pulmonalis.
 Pembesaran jantung.
 Echocardiogram menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung
 Radionuklir.
 Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.
 Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard
4) Pemantauan Hemodinamika (Kateterisasi Arteri Pulmonal
Multilumen) bertujuan untuk :
 Mengetahui tekanan dalam sirkulasi jantung dan paru.
 Mengetahui saturasi O2 di ruang-ruang jantung
 Biopsi endomiokarditis pada kelainan otot jantung.
 Meneliti elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent.
 Mengetahui beratnya lesi katup jantung.
 Mengidentifikasi penyempitan arteri koroner.
 Angiografi ventrikel kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma
ventrikel, fungsi ventrikel kiri).
 Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri coroner)
5) Echocardiogram - Menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung
(Putra, 2012)

13
7. PENATALAKSANAAN MEDIS
1) Tirah Baring
Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung
kongesti tahap akut dan sulit disembuhkan.
2) Pemberian diuretik
Pemberian terapi diuretik bertujuan untuk memacu ekskresi natrium
dan air melalui ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia
merespon pembatasan aktivitas, digitalis dan diet rendah natrium
3) Pemberian morphin
Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer,
menurunkan aliran balik vena dan kerja jantung, menghilangkan
ansietas karena dispnea berat.
4) Terapi vasodilator
Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada
penatalaksanaan gagal jantung. Obat ini berfungsi untuk memperbaiki
pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga
tekanan pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan dan dapat dicapai
penurunan dramatis kongesti paru dengan cepat.
5) Terapi digitalis
Digitalis adalah obat utama yang diberikan untuk meningkatkan
kontraktilitas (inotropik) jantung dan memperlambat frekuensi
ventrikel serta peningkatam efisiensi jantung. Ada beberapa efek yang
dihasilkan seperti : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan
vena dan volume darah, dan peningkatan diuresis yang mengeluarkan
cairan dan mengurangi edema.
6) Inotropik positif
 Dopamin >> Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang
alpha-adrenergik beta-adrenergik dan reseptor dopamine ini
mengakibatkan keluarnya katekolamin dari sisi penyimpanan saraf.
Memperbaiki kontraktilitas curah jantung dan isi sekuncup.
Dilatasi ginjal-serebral dan pembuluh koroner. Pada dosis maximal

14
10-20 mg/kg BB akan menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan beban kerja jantung.
 Dobutamin >> Merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip
dopamine memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit
vasokonstriksi dan tachicardi.
7) Dukungan diet (pembatasan natrium)
Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur, atau
mengurangi edema, seperti pada hipertensi atau gagal jantung. Dalam
menentukan ukuran sumber natrium harus spesifik dan jumlahnya
perlu diukur dalam milligram.
Tindakan-tindakan mekanis
 Dukungan mekanis ventrikel kiri (mulai 1967) dengan
komterpulasi balon intra aortic / pompa PBIA. Berfungsi untuk
meningkatkan aliran koroner, memperbaiki isi sekuncup dan
mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri.
 Tahun 1970, dengan extracorporeal membrane oxygenation
(ECMO). Alat ini menggantikan fungsi jantung paru.
Mengakibatkan aliran darah dan pertukaran gas. Oksigenasi
membrane extrakorporeal dapat digunakan untuk memberi waktu
sampai tindakan pasti seperti bedah by pass arteri koroner,
perbaikan septum atau transplantasi jantung dapat dilakukan
(Nasution, 2006).
Menurut Heart Failure Society of America tahun 2010, terapi untuk pasien
ADHF dapat berangkat dari goal treatment di bawah ini :

15
Discharge Planning pada pasien ADHF dapat dilakukan jika
pasien dapat memenuhi kriteria di bawah ini :
 Faktor eksaserbasi dapat ditangani.
 Pemberian obat oral stabil dalam 24 jam
 Pasien dan keluarga sudah di KIE
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri terdokumentasi.
 Adanya konseling smoking cessation.
 Kontrol ulang selama 7-10 hari setelah KRS.
 Sudah menerima semua terapi.
 Dokumentasi discharge planning sudah dibuat.
Terapi farmakologis meliputi :
a. Digitalis, untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan
memperlambat frekuensi jantung. Misal : digoxin.
b. Diuretik, untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal serta
mengurangi edema paru. Misal : furosemide ( lasix ).
c. Vasodilator, untuk mengurangi impedansi ( tekanan ) terhadap
penyemburan darah oleh ventrikel. Misal : natrium nitropusida,
nitrogliserin.
d. Angiotensin Converting Enzyme inhibitor ( ACE inhibitor ) adalah
agen yang menghambat pembentukan angiotensin II sehingga
menurunkan tekanan darah. Obat ini juga menurunkan beban awal (
preload ) dan beban akhir ( afterload ). Misal : captopril, quinapril,
ramipril, enalapril, fosinopril,dll.
e. Inotropik ( Dopamin dan Dobutamin )
 Dopamin digunakan untuk meningkatkan tekanan darah , curah
jantung dan produksi urine pada syok kardiogenik.
 Dobutamin menstimulasi adrenoreseptor di jantung sehingga
meningkatkan kontraktilitas dan juga menyebabkan vasodilatasi
sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah. Dopamin dan
dobutamin sering digunakan bersamaan.

16
Algoritma ADHF menurut Empowering Physician with Evidence Based
Content, penatalaksanaan ADHF adalah seperti berikut :

17
18
PATWAY

19
20
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan Perubahan
kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
reflek batuk, penumpukan secret.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju
filtrasi glomerulus, meningkatnya produksi ADH dan retensi
natrium/air.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan dan


No. Intervensi
keperawatan Kriteria hasil
1. Penurunan NOC : NIC :
curah jantung 1. Cardiac Pump Cardiac Care
berhubungan effectiveness 1. Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas,lokasi, durasi)
dengan 2. Circulation 2. Catat adanya disritmia jantung
Perubahan Status 3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output
kontraktilitas 3. Vital Sign Status 4. Monitor status kardiovaskuler
miokardial/peru Setelah diberikan 5. Monitor status pernafasan yang menandakan gagal jantung
bahan asuhan keperawatan 6. Monitor abdomen sebagai indicator penurunan perfusi
inotropik. selama ….x…. 7. Monitor balance cairan
diharapkan tanda 8. Monitor adanya perubahan tekanan darah
vital dalam batas 9. Monitor respon pasien terhadap efek pengobatan
yang dapat diterima antiaritmia
(disritmia terkontrol 10. Atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari
atau hilang) dan kelelahan
bebas gejala gagal 11. Monitor toleransi aktivitas pasien
jantung. 12. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan ortopneu
Kriteria Hasil: 13. Anjurkan untuk menurunkan stress
1. Tanda Vital

21
dalam rentang
normal (Tekanan Vital Sign Monitoring
darah, Nadi, 1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
respirasi) 2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
2. Dapat 3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
mentoleransi 4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
aktivitas, tidak 5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah
ada kelelahan aktivitas
3. Tidak ada edema 6. Monitor kualitas dari nadi
paru, perifer, dan 7. Monitor adanya puls paradoksus
tidak ada asites 8. Monitor adanya puls alterans
4. Tidak ada 9. Monitor jumlah dan irama jantung
penurunan 10. Monitor bunyi jantung
kesadaran 11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
12. Monitor suara paru
13. Monitor pola pernapasan abnormal
14. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
15. Monitor sianosis perifer
16. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
17. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign
2. Bersihan jalan NOC : NIC :
nafas tidak 1. Respiratory Airway suction
efektif status : 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
berhubungan Ventilation 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning.
dengan 2. Respiratory 3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
penurunan status : Airway 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan.
reflek batuk, patency 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
penumpukan 3. Aspiration memfasilitasi suksion nasotrakeal
secret. Control 6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan tindakan
Setelah diberikan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah
asuhan keperawatan kateter dikeluarkan dari nasotrakeal

22
selama ….x…. 8. Monitor status oksigen pasien
diharapkan klien 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan suction
dapat menunjukkan 10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila pasien
keefektifan jalan menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi O2, dll.
napas
Kriteria Hasil : Airway Management
1. Mendemonstrasi 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust
kan batuk efektif bila perlu
dan suara nafas 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
yang bersih, 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas
tidak ada sianosis buatan
dan dyspneu 4. Pasang mayo bila perlu
(mampu 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
mengeluarkan 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
sputum, mampu 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
bernafas dengan 8. Lakukan suction pada mayo
mudah, tidak ada 9. Berikan bronkodilator bila perlu
pursed lips) 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
2. Menunjukkan 11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
jalan nafas yang 12. Monitor respirasi dan status O2
paten (klien tidak
merasa tercekik,
irama nafas,
frekuensi
pernafasan dalam
rentang normal,
tidak ada suara
nafas abnormal)
3. Mampu
mengidentifikasi
kan dan
mencegah factor

23
yang dapat
menghambat
jalan nafas

3. Gangguan NOC : NIC :


pertukaran gas 1. Respiratory Airway Management
berhubungan Status : Gas 1. Pasang mayo bila perlu
dengan edema exchange 2. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
paru 2. Respiratory 3. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
Status : 4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
ventilation 5. Lakukan suction pada mayo
3. Vital Sign Status 6. Berika bronkodilator bial perlu
Setelah diberikan 7. Berikan pelembab udara
asuhan keperawatan 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
selama ….x…. 9. Monitor respirasi dan status O2
diharapkan
gangguan Respiratory Monitoring
pertukaran gas 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
teratasi 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan
Kriteria Hasil : otot tambahan, retraksi otot supraclavicular dan
1. Mendemonstrasi intercostals
kan peningkatan 3. Monitor suara nafas, seperti dengkur
ventilasi dan 4. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia, kussmaul,
oksigenasi yang hiperventilasi, cheyne stokes, biot
adekuat 5. Catat lokasi trakea
2. Memelihara 6. Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis)
kebersihan paru 7. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak
paru dan bebas adanya ventilasi dan suara tambahan
dari tanda tanda 8. Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi
distress crakles dan ronkhi pada jalan napas utama
pernafasan 9. auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui
3. Mendemonstrasi hasilnya

24
kan batuk efektif
dan suara nafas
yang bersih,
tidak ada
sianosis dan
dyspneu (mampu
mengeluarkan
sputum, mampu
bernafas dengan
mudah, tidak ada
pursed lips)
4. Tanda tanda vital
dalam rentang
normal

4. Kelebihan NOC : NIC :


volume cairan 1. Electrolit and Fluid management
berhubungan acid base balance 1. Timbang popok/pembalut jika diperlukan
dengan 2. Fluid balance 2. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
menurunnya 3. Hydration 3. Pasang urin kateter jika diperlukan
laju filtrasi Setelah diberikan 4. Monitor hasil Lab yang sesuai dengan retensi cairan
glomerulus, asuhan keperawatan (BUN, Hmt , osmolalitas urin )
meningkatnya selama ….x…. 5. Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP,
produksi ADH diharapkan dan PCWP
dan retensi keseimbangan 6. Monitor vital sign
natrium/air. volume cairan dapat 7. Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan (cracles, CVP ,
dipertahankan edema, distensi vena leher, asites)
Kriteria hasil 8. Kaji lokasi dan luas edema
1. Terbebas dari 9. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung intake kalori
edema, efusi, harian
anaskara 10. Monitor status nutrisi
2. Bunyi nafas 11. Berikan diuretik sesuai interuksi

25
bersih, tidak ada 12. Batasi masukan cairan pada keadaan hiponatrermi dilusi
dyspneu/ dengan serum Na < 130 mEq/L
ortopneu 13. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul
3. Terbebas dari memburuk
distensi vena
jugularis, reflek Fluid Monitoring
hepatojugular (+) 1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan
4. Memelihara eliminasi
tekanan vena 2. Tentukan kemungkinan faktor resiko dari ketidak
sentral, tekanan seimbangan cairan (Hipertermia, terapi diuretik, kelainan
kapiler paru, renal, gagal jantung, diaporesis, disfungsi hati, dll )
output jantung 3. Monitor berat badan
dan vital sign 4. Monitor serum dan elektrolit urine
dalam batas 5. Monitor serum dan osmilalitas urine
normal 6. Monitor BP, HR, dan RR
5. Terbebas dari 7. Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan irama
kelelahan, jantung
kecemasan atau 8. Monitor parameter hemodinamik infasif
kebingungan 9. Catat secara akutar intake dan output
6. Menjelaskan 10. Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem perifer dan
indikator penambahan BB
kelebihan cairan 11. Monitor tanda dan gejala dari edema
12. Beri obat yang dapat meningkatkan output urin
5. Intoleransi NOC : NIC :
aktivitas 1. Energy Energy Management
berhubungan Conservation 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan
dengan 2. Self Care : ADLs aktivitas
kelemahan Setelah diberikan 2. Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan terhadap
asuhan keperawatan keterbatasan
selama ….x…. 3. Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan
diharapkan terjadi 4. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
peningkatan 5. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan emosi

26
toleransi pada klien secara berlebihan
setelah dilaksanakan 6. Monitor respon kardiovaskuler terhadap aktivitas
tindakan 7. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
keperawatan selama
di RS Activity Therapy
Kriteria Hasil : 1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi Medik dalam
1. Berpartisipasi merencanakan progran terapi yang tepat.
dalam aktivitas 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu
fisik tanpa dilakukan
disertai 3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten yangsesuai
peningkatan dengan kemampuan fisik, psikologi dan social
tekanan darah, 4. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber
nadi dan RR yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan
2. Mampu 5. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas seperti
melakukan kursi roda, dll
aktivitas sehari 6. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang disukai
hari (ADLs) 7. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan di waktu luang
secara mandiri 8. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
9. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas
10. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
11. Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual

27
DAFTAR PUSTAKA
Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. 2006. Applying Consensus
Guidelines in the Management of acute decompensated heart failure.
California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting.
www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf.
Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et
al. 2008. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure 2008. European Journal of Heart Failure [serial on
the internet]. http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf
#page= 1&view=FitH.
Hanafiah, A. 2006. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Heart Failure Society of America. 2010. Evaluation and management of patients
with acute decompensated heart failure: HFSA 2010 comprehensive heart
failure practice guideline. J Card Fail. 2010;16:e134-e156.
Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, et al. 2009. Acute decompensated heart
failure: contemporary medical management. Tex Heart Inst J. 2009
;36:510–520.
Kirk JD. 2004. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To
Cclassification Aand Treatment. Philadelphia : Departement of
Emergency Medicine University of Pennsylvania. www.emcreg.org.
Lindenfeld J. 2010. Evaluation and Management of Patients with Acute
Decompensated Heart Failure. Journal of Cardiac Failure.
http://www.heartfailureguideline.org/assets/document/2010_heart_failure
_guideline_sec_12.pdf.
Mc.Bride BF, White M. 2010. Acute Decompensated Heart Failure:
Pathophysiology. Journal of Medicine.
http://www.medscape.com/viewarticle/459179_3
Nasuution SA, Ismail D. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3. Jakarta:
EGC

28
Price A.S Wilson L.M. 2005. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit-
edisi 6. Jakarta : ECG.
Putra, Semara. 2012. Asuhan Keperawatan pada Pasien ADHF. Jakarta : ECG.
Tallaj JA, Bourge RC. 2003. The Management of Acute Decompensated Heart
Failure. Birmingham : University of Alabama. http://www.fac.org.ar.

29

Anda mungkin juga menyukai