Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

MULTIPLE FRAKTUR

Disusun untuk Memenenuhi Tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah (KMB) 2


di Ruang Bougenvil lantai 2 (HCU Bedah) RSUP Fatmawati

DISUSUN OLEH:

Elina, S. Kep

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2019/ 1441 H
Laporan Pendahuluan

Multiple Fraktur

A. Definisi

Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan


sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2015). Sedangkan menurut Price
dan Wilson (2005) fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang
ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi,
pemendekan, dan krepitasi (Doenges, 1999). Fraktur dapat terjadi pada setiap
bagian tubuh, termasuk pada ekstremitas bawah.

Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang biasanya disebabkan oleh


trauma atau tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga,keadaan tulang, dan jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut
lengkap atau tidak lengkap ( Silvia A. Prince, 2000 ).

Multiple fraktur adalah lebih dari satu garis fraktur ( Silvia A. Prince,
2000 ). Multiple fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas
jaringan tulang lebih dari satu garis ( Silvia A. Prince, 2000 ).

2
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan multiple
fraktur adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang
lebih dari satu garis yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang di tandai
oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas dan gangguan fungsi pada area
fraktur

Fraktur femur dan patella adalah terputusnya kontinuitas tulang femur


dan patella. Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat. Bila bagian
kaput, kolum atau trokhanter femur yang terkena, maka disebut fraktur
pinggul (Smeltzer & Bare, 2015). Terdapat dua tipe utama fraktur pinggul,
yaitu: (a) fraktur interkapsuler adalah fraktur kolum femur; (b) fraktur
ekstrakapsuler adalah fraktur daerah trokhanterik (antara basis kolum femur
dan trokhanter minor femur) dan daerah subtrokhanterik. Selain itu, fraktur
femur juga dapat terjadi pada daerah batang femur dan di daerah lutut
(suprakondiler dan kondiler).

B. Etiologi
Fraktur dapat terjadi akibat adanya trauma langsung, trauma tidak
langsung, proses penyakit, dan beban.
1. Trauma langsung
Kekerasan atau pukulan langsung menyebabkan patah tulang pada
titik terjadinya kekerasan. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang
lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2015).
2. Trauma tidak langsung
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tidak langsung terjadi jika
titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan (Corwin, 2000). Contoh
dari frakur trauma tidak langsung adalah patahnya tulang karena jatuh
terpeleset dikamar mandi pada orangtua.
3. Patologik
Corwin (2000) menyatakan fraktur patologik merupakan fraktur
yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa yang
disebabkan oleh suatu proses penyakit. Fraktur patologik terjadi pada
daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor,

3
kanker dan osteoporosis (Price & Wilson, 2005). Trauma patologis
adalah suatu kondisi rapuhnya tulang karena proses patologis
diantaranya:
a) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsorbsi tulang
melebihi kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang
menjadi keropos secara cepat dan rapuh sehingga mengalami patah
tulang, karena trauma minimal.
b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari
focus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c) Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak/ menipisnya bantalan
sendi dan tulang rawan (Arif Muttaqin, 2008).
4. Fraktur beban
Price dan Wilson (2005) menambahkan satu etiologi terjadinya
fraktur, yaitu diakibatkan karena beban yang berlebihan. Fraktur baban
atau fraktur kelelahan terjadi pada orang-orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam
angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru mulai latihan lari.
C. Jenis Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan berdasarkan komplit dan
ketidakkomplitan fraktur, sifat fraktur, sudut patah, jumlah garis patah,
dan jenis fraktur lainnya.
1. Berdasarkan komplit dan ketidakkomplitan fraktur
Kekuatan dan sudut dari tenaga yang menyebabkan fraktur,
keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan
apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price &
Wilson, 2005). Frakur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah
tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi
normal). Sedangakan fraktur tidak komplet, patah hanya terjadi pada
sebagian garis tengah tulang (Smeltzer & Bare, 2015).

4
2. Berdasarkan sifat fraktur
Fraktur tertutup (closed) tidak menyebabkan robeknya kulit karena
tidak ditembus oleh fragmen tulang (Price & Wilson, 2005). Frakur
terbuka (open atau compound) yaitu fraktur dengan luka pada kulit
atau membran mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur terbuka
digradasi menjadi: Grade I dengan luka bersih kurang dari satu cm
panjangnya; Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif; Grade III dengan luka yang terkontaminasi dan
mengalami jaringan lunak yang ekstensif (Smeltzer & Bare, 2015).
3. Berdasarkan sudut patah
Fraktur transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak lurus
terhadap sumbu tulang. Fraktur oblik adalah fraktur dengan garis patah
membentuk sudut terhadap tulang. Fraktur spiral adalah fraktur
memuntir seputar batang tulang (Price & Wilson, 2005).
4. Berdasarkan jumlah garis patah
Fraktur kominutif atau komunita adalah fraktur dengan tulang
pecah menjadi beberapa fragmen (Smeltzer & Bare, 2015). Fraktur
segmental yaitu dua fraktur berdekatan pada satu tulang menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya (Price & Wilson,
2006). Fraktur multiple yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama (Corwin, 2000).
5. Jenis fraktur lain
Fraktur kompresi adalah fraktur di mana tulang mengalami
kompresi dan biasanya terjadi pada tulang belakang. Fraktur
patologik, yaitu fraktur yang terjadi pada daerah tulang yang
berpenyakit (kista, penyakit Paget, metastasis tulang, tumor).
Greenstick merupakan fraktur di mana salah satu sisi tulang patah
sedang sisi lainnya membengkok. Avulsi adalah tertariknya fragmen
tulang oleh ligament atau tendon pada pelekatannya.

5
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan dan
perubahan warna lokal (Smeltzer & Bare, 2015).
1. Nyeri
Nyeri akan terjadi terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang di imobilisasi. Nyeri diakibatkan oleh mekanisme dari
otot untuk melindungi jaringan yang lunak. Spasme otot yang
menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang
untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. Nyeri juga
diakibatkan oleh pembengkakan lokal pada daerah yang cedera,
sehingga menekan ujung saraf nyeri.
2. Deformitas
Pergeseran fragmen pada fraktur menyebabkan deformitas,
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan
ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.

6
3. Pemendekan tulang
Pemendekan tulang sebenarnya diakibatkan karena kontraksi otot
yang melekat di atas dan di bawah tempat fraktur. Pemendekan tulang
biasanya terlihat pada tulang panjang
4. Krepitus
Krepitus atau derik tulang akan teraba saat ekstremitas diperiksa
dengan tangan. Krepitus terjadi akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal
Beberapa jam atau hari setelah terjadinya fraktur akan timbul
pembengkakan dan peruabahan warna lokal. Hal tersebut timbul akibat
dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

Manifestasi klinis yang terlihat pada klien dengan fraktur kolum


femur, yaitu tungkai dapat mengalami pemendekan, adduksi, dan rotasi
eksterna. Pasien akan mengeluh nyeri ringan pada selangkangan atau di
sisi medial lutut. Klien biasanya merasakan nyeri hebat apabila tungkai
digerakkan dan merasa lebih nyaman jika tungkai difleksikan dalam posisi
rotasi eksternal. Pada fraktur ekstrakapsuler, ekstremitas jelas tampak
memendek, dengan rotasi eksternal yang lebih besar dibandingkan fraktur
interkapsuler, memperlihatkan spasme otot yang tidak memungkinkan
ekstremitas pada posisi normal (Smeltzer & Bare, 2015).

E. Komplikasi
1. Komplikasi awal
Komplikasi awal fraktur dapat berupa syok, sindrom emboli lemak,
sindrom kompartemen, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
1) Syok hipovolemik
Hal ini terjadi akibat adanya perdarahan, baik kehilangan darah
eksterna muapun yang tidak tampak. Syok terjadi pada fraktur
ektremitas, toraks, pelvis, dan vertebra. Tulang merupakan daerah
yang sangat vaskular sehingga dapat terjadi kehilangan darah yang

7
cukup besar terutama pada pelvis dan femur (Smeltzer & Bare,
2001).
2) Sindrom kompartemen, yaitu ditandai oleh karusakan atau
kematian saraf dan pembuluh darah yang disebabkan oleh
pembengkakan dan edema di daerah fraktur. Hal ini menimbulkan
hipoksia jaringan dan dapat menyebabkan kematian saraf- saraf
yang mempersarafi daerah tersebut (Corwin, 2000). Smeltzer dan
Bare (2015) menyatakan sindrom kompartemen dapat diakibatkan
oleh dua hal, yaitu: (a) penurunan ukuran kompartemen otot karena
fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan
yang menjerat, atau (b) peningkatan isi kompartemen otot karena
edema atau iskemia dan cedera remuk.
3) Sindrom emboli lemak. Embolus lemak terjadi setelah tulang
patah, terutama tulang panjang. Pada saat terjadi fraktur, globula
lemak dapat masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang
lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena ketokolamin yang
dilepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilisasi asam lemak
dan memudahkan terjadinya globula lemak dalam aliran darah
(Smeltzer & Bare, 2015). Embolus lemak yang timbul setelah
fraktur tulang panjang dapatmengganggu sirkulasi paru dan
menimbulkan distres atau kegagalan pernafasan (Corwin, 2000).
4) Infeksi terjadi karena trauma pada jaringan. Sistem pertahanan
tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Infeksi pada fraktur,
biasanya terjadi pada fraktur tebuka. Pada trauma orthopedik
infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke dalam. Infeksi
juga dapat terjadi akibat prosedur pembedahan.
5) Avaskular nekrosis (AVN). AVN merupakan kematian pada
jaringan atau tulang akibat berkurang atau tidak adanya pasokan
darah. AVN terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang

8
2. Komplikasi lambat
Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain:
malunion, delayed union, dan non union.
1) Malunion dalam suatu keadaan di mana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupakan
penyembuhan tulang yang disertai dengan perubahan bentuk
(deformitas).
2) Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
namun dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
3) Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-
9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Pasien biasanya mengeluh tidak nyaman dan
gerakan yang menetap pada tempat fraktur. Faktor yang ikut
berperan dalam masalah penyambungan meliputi infeksi pada
tempat fraktur, imobilisasi dan manipulasi yang tidak memadai,
jarak yang terlalu jauh antara fragmen tulang, dan gangguan
asupan darah yang menyebabkan nekrosis avaskular (Smeltzer &
Bare, 2015).
F. Penyembuhan Tulang
Tulang dapat mengalami proses penyembuhan, yaitu (Smeltzer &
Bare, 2015):

9
1. Fase hematoma (24-72 jam): ketika terjadi fraktur, maka terjadi proses
inflamasi pada daerah yang cedera. Pembentukan hematom terjadi
karena adanya perdarahan. Makrofag akan menginvasi daerah yang
luka dan membersihkan daerah terebut.
2. Fase ploriferasi (3 hari-2 minggu): mulai terbentuk benang-benang
fibrin dalam jendalan darah, terjadi revaskularisasi, dan invasi
fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast akan menghasilkan
matriks kolagen pada patahan tulang
3. Fase pembentukan kalus (3-6 minggu): pertumbuhan jaringan berlanjut
dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah
sudah terhubungkan. Kalus terutama terdiri dari kartilago, osteoblast,
kalsium, dan fosfor. Fragmen patahan tulang dihubungkan dengan
jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat imatur. Pembentukan
kalus dapat dilihat melalui pemeriksaan sinar-x.
4. Fase osifikasi (3 minggu-6 bulan): pembentukan kalus mulai
mengalami penulangan. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang
benar-benar telah bersatu dengan keras.
5. Fase remodelling dan konsolidasi (6-8 bulan): konsolidasi terjadi
diindikasikan dengan kalus yang terus berkembang, jarak antara
fragmen tulang makin memendek, dan kemudian menutup.

10
Remodelling terjadi ketika jaringan tulang yang berlebihan
direabsorbsi dan dikikis oleh osteoklast sampai akhirnya menyatu.
Tulang akan kembali kepada bentuk dan kekuatan struktural sebelum
terjadinya fraktur.

Fraktur kolum femur menyebabkan penyembuhan yang lebih sulit jika


dibandingkan dengan fraktur trokhanter. Hal ini diakibatkan oleh karena
sistem pembuluh darah yang memasok darah ke kaput dan kolum femur
dapat mengalami kerusakan akibat fraktur. Kerusakan pembuluh darah
tersebut mengakibatkan terhentinya nutrisi untuk tulang dan menyebabkan
sel menjadi mati (Smeltzer & Bare, 2015).

G. Penatalaksanaan Fraktur
Penanganan fraktur meliputi rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
1. Rekognisi : dilakukan untuk mengetahui jenis fraktur, lokasi dan
keadaan secara umum.
2. Reduksi : mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan
rotasi anatomis. Reduksi terbagi menjadi tiga, yaitu reduksi terbuka,
tertutup, dan traksi. Reduksi tertutup dilakukan dilakukan dengan
mengembalikan fragmen tulang ke posisinya dengan manipulasi dan
traksi manual. Alat imobilisasi seperti gips, bidai, atau alat lai dipasang
sebagai alat imobilisasi dan menstabilkan ekstremitas. Sinar-x
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam
kesejajaran yang benar. Traksi digunakan untuk mendapatkan efek
reduksi dan imobilisasi. Traksi dibagi menjadi traksi kulit dan skeletal.
Berat beban yang dipasang pada traksi kulit adalah satu per sepuluh
berat badan klien. Sedangkan pada traksi skeletal, beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Reduksi terbuka
merupakan proses mengembalikan fragmen tulang melalui proses
pembedahan (Smeltzer & Bare, 2015).
3. Retensi : imobilisasi atau mempertahankan posisi tulang. Posisi
tulang harus diimobilisasi dalam posisi dan kesejajaran yang benar

11
sampai terjadinya penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan melalui
fiksasi interna maupun eksterna.
4. Rehabilitasi: mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
untuk menghindari atrofi atau kontraktur. Mobilisasi dini harus segera
dimulai dan dilakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan
anggota tubuh dan mobilisasi jika keadaan memungkinkan.

Pembedahan yang biasanya dilakukan pada klien fraktur dibagi menjadi


ORIF dan OREF. Kedua tindakan terebut merupakan gabungan antara reduksi
dan retensi pada penatalaksanaan fraktur.

1. ORIF (open reduction and internal fixation): memperbaiki fungsi


dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas serta mengurangi nyeri
dan disabilitas. Alat yang digunakan untuk fiksasi interna adalah dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam. Alat-alat
tersebut dipasang pada sisi tulang atau dipasang melalui fragmen
tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang .
2. OREF (open reduction and external fixation): fiksasi eksternal
digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak. Alat ini dapat memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur
kominutif sementara jaringan lunak yang lunak dapat ditangani dengan
aktif. Cara yang dilakukan pada OREF adalah dengan mereduksi garis
fraktur, kemudian disejajarkan dan diimobilisasi dengan sejumlah pin
yang dimasukkan ke dalam fragmen tulang. Pin yang telah terpsang,
dijaga tetap dalam posisinya yang dikaitkan pada kerangkanya
(Smeltzer & Bare, 2015).
H. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien
fraktur adalah sebagai berikut:
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas

12
2. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi
tulang)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskular,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan
traksi (pen, kawat, sekrup)
5. Defisit perawatan diri b/d kelemahan neuromuskular,
penurunan kekuatan dan kesadaran, serta kehilangan kontrol
otot
6. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran
darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)
7. Resiko kekurangan volume cairan b/d ketidakadekuatan intake
dan output cairan
8. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan b/d asupan nutrisi tidak
adekuat

13
Daftar Pustaka

Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi, jilid 2. Jakarta : EGC.


Rasjad C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone.
Corwin, E. (2000). Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC
Doenges, M., dkk. (1999). Rencana asuhan keperawatan: Pedoman untuk
perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien (M. Kariasa & N. M.
Sumarwati, Terj.). Edisi 3. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Integumen. Jakarta: Salemba Medika
NANDA. (2012). Diagnosis keperawatan: Definisi dan klasifikasi 2012-2014.
(Made Sumarwati dan Nike Budhi Subekti, Penerjemah). Jakarta: EGC
Price, S. & Wilson. L. (2005). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. (Edisi 6, volume 2). Jakarta: EGC
Smeltzer, S. & Bare, B. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC

14

Anda mungkin juga menyukai