Anda di halaman 1dari 53

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sejak ditetapkan sebagai pandemi, terjadi penularan wabah antar manusia di


Wuhan, China pada 31 Desember 2019, infeksi coronavirus-2019 (COVID-19)
yang menyebabkan penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome – Coronavirus 2
(SARS-Cov-2) menjadi pandemi global. Penularan virus ini ditengarai terkait
dengan penjualan daging yang berasal dari binatang liar atau penangkaran hewan
di pasar makanan laut (Cui, dkk., 2019).

Gejala umum yang didapati oleh pasien adalah demam, batuk dan mialgia
atau kelelahan. Gejala yang spesifik yaitu batuk berdahak, sakit kepala,
hemoptisis (batuk yang mengandung darah) dan diare. Komplikasi termasuk
sindrom gangguan pernapasan akut, cedera jantung akut dan infeksi bakteri
sekunder (Huang, dkk., 2020). Sampai saat ini, jumlah informasi tentang virus ini
meningkat setiap hari dan semakin banyak data tentang penularan dan rutenya,
reservoir, masa inkubasi, gejala dan hasil klinis, termasuk tingkat kelangsungan
hidup yang dikumpulkan di seluruh dunia (Corman, dkk., 2020).

Sebagai penyakit baru, banyak yang belum diketahui tentang pandemi


COVID-19. Manusia cenderung takut pada sesuatu yang belum diketahui dan
lebih mudah menghubungkan rasa takut pada “kelompok yang berbeda/ lain”.
Inilah yang menyebabkan munculnya stigma sosial dan diskriminasi terhadap
etnis tertentu dan juga orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan virus
COVID-19, Tingginya angka positif COVID-19 di Indonesia membuat
munculnya stigma Negatif Masyarakat kepada pasien yang terpapar covid, bahkan
bukan hanya pasien yg positif COVID-19 yang mendapatkan stigma negatif,
tenaga medis yang merupakan garda terdepan dalam penanganan COVID-19 pun
mendapatkan stigma negatif ketika pulang kerumah untuk bertemu keluarga

1
2

bahkan sampai menolak jenazah petugas medis yang gugur dalam tugas
kemanusiaan ini. Semuanya itu terjadi karena kekhawatiran yang berlebihan
dimasyarakat (Kompas, 2020).

Stigma merupakan suatu istilah yang menggambarkan suatu keadaan atau

kondisi terkait sudut pandang atas sesuatu yang dianggap bernilai negatif. Stigma

(Arboleda-Florez, 2002) dipahami sebagai konstruksi sosial dimana tanda

membedakan aib sosial melekat pada orang lain untuk mengidentifikasi dan

mengevaluasi mereka. Stigma negatif pada tenaga kesehatan akan menurunkan

animo masyarakat untuk datang ke layanan kesehatan, sehingga berdampak pada

jumlah kunjungan di layanan kesehatan. Data dari artikel penelitian (Nilam

Fitriani Dai, 2020) menyebutkan banyak terjadi stigma negatif pada masyarakat

terkait pasien positif covid-19 dan tenaga kesehatan, masyarakat lebih menjaga

jarak dan terkesan mengucilkan mereka yang erat kaitannya dengan covid-19.

Berdasarkan hasil survey dari data kunjungan di puskesmas Sananwetan


tahun 2020 terdapat penurunan jumlah kunjungan masyarakat ke puskesmas
sebanyak 21,89% dan pada puskesmas kepanjenkidul terjadi penurunan jumlah
kunjungan sebanyak 47,63% dibandingkan dengan jumlah kunjungan tahun 2019,
dari data penuruna jumah kunjungan masyarakat ke puskesmas tersebut dapat
menyebabkan berbagai dampak dibidang kesehatan salah satunya adalah tidak
terpantaunya masalah kesehatan yang terjadi pada masyarakat, kesadaran
masyarakat akan pentingnya masalah kesehatan semakin berkurang, oleh sebab itu
peneliti ingin mengetahui stigma pada masyarakat terhadap pelayanan puskesmas
selama pandemi covid-19.

1.2 Rumusan Malasah

Adakah stigma pada masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama


pandemi covid 19?
3

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengidentifikasi stigma masyarakat terhadap pelayanan puskesmas


selama pandemi covid 19 di wilayah puskesmas sananwetan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Memberikan informasi untuk menambah strategi bagi puskesmas guna

memberikan strategi pelayan kesehatan yang dapat meningkatkan minat masyarakat

akan pentingnya maslah kesehatn.

1.4.2 Manfaat praktis

Hasil penelitian ini untuk memberikan informasi kepada petugas

puskesmas untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang covid-19 dan

cara pencegahannya, serta mengubah stigma negatif terhadap pelayanan

puskesmas khusunya dimasa pandemi covid-19.


4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pandemi covid-19

2.1.1 Pengertian pandemi covid-19

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular

yang disebabkan oleh Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan

munculnya kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Wuhan,

China pada akhir Desember 2019 (Li et al, 2020).

Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, kasus tersebut diduga

berhubungan dengan Pasar Seafood di Wuhan. Pada tanggal 7 Januari 2020,

Pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa penyebab kasus tersebut

adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2

(Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus ini berasal dari

famili yang sama dengan virus penyebab SARS dan MERS. Meskipun

berasal dari famili yang sama, namun SARS-CoV-2 lebih menular

dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS-CoV (CDC China, 2020).

Proses penularan yang cepat membuat WHO menetapkan COVID-19

sebagai KKMMD/PHEIC pada tanggal 30 Januari 2020. Angka kematian

kasar bervariasi tergantung negara dan tergantung pada populasi yang

terpengaruh, perkembangan wabahnya di suatu negara, dan ketersediaan

pemeriksaan laboratorium.

4
5

Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan

adanya kasus COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang

melaporkan kasus pertama COVID-19 adalah Jepang dan Korea Selatan

yang kemudian berkembang ke negara-negara lain.

Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020, WHO melaporkan 10.185.374

kasus konfirmasi dengan 503.862 kematian di seluruh dunia (CFR 4,9%).

Negara yang paling banyak melaporkan kasus konfirmasi adalah Amerika

Serikat, Brazil, Rusia, India, dan United Kingdom. Sementara, negara

dengan angka kematian paling tinggi adalah Amerika Serikat, United

Kingdom, Italia, Perancis, dan Spanyol. Peta sebaran COVID- 19 di dunia

dapat dilihat pada gambar 1.1

Sumber: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation Report (World

Health Organization, 2020)

Gambar 1. 1. Peta Sebaran COVID-19

Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret

2020 dan jumlahnya terus bertambah hingga sekarang. Sampai dengan

Desember 2020 Kementerian Kesehatan melaporkan 700.097 kasus


6

konfirmasi COVID-19 dengan 20.847 kasus meninggal yang tersebar di 34

provinsi. Kasus paling banyak terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan

paling sedikit terjadi pada usia 0-5 tahun. Angka kematian tertinggi

ditemukan pada pasien dengan usia 55-64 tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui

bahwa kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia

30-79 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak

81% kasus merupakan kasus yang ringan, 14% parah, dan 5% kritis.

Orang dengan usia lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui

lebih berisiko untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga

diduga berhubungan dengan tingkat kematian. CDC China melaporkan

bahwa CFR pada pasien dengan usia ≥ 80 tahun adalah 14,8%, sementara

CFR keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama juga ditemukan pada

penelitian di Italia, di mana CFR pada usia ≥ 80 tahun adalah 20,2%,

sementara CFR keseluruhan adalah 7,2% (Onder G, Rezza G, Brusaferro S,

2020).

Tingkat kematian juga dipengaruhi oleh adanya penyakit bawaan pada

pasien. Tingkat 10,5% ditemukan pada pasien dengan penyakit

kardiovaskular, 7,3% pada pasien dengan diabetes, 6,3% pada pasien

dengan penyakit pernapasan kronis, 6% pada pasien dengan hipertensi, dan

5,6% pada pasien dengan kanker.


7

2.1.2 Etiologi

Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family

coronavirus. Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif,

berkapsul dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada

Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran),

glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong

ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronavirus ini dapat

menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Terdapat 4 genus yaitu

alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus, dan

deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang

dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E (alphacoronavirus), HCoV-

OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63 (alphacoronavirus) HCoV-HKU1

(betacoronavirus), SARS-CoV (betacoronavirus), dan MERS-CoV

(betacoronavirus).

Gambar 1. 2. Struktur Coronavirus


8

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus

betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik,

dan berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa

virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang

menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas

dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV)

memberikan nama penyebab COVID-19 sebagai SARS-CoV-2.

Sumber: (CDC, 2020)

Gambar 1. 3. Gambaran Mikroskopis SARS-CoV-2

Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di

atas permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus

lainnya. Lamanya coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-

kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau kelembapan

lingkungan). Penelitian (Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa

SARS-CoV-2 dapat bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik dan

stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan kurang dari 24 jam pada

kardus. Seperti virus corona lain, SARS-COV-2 sensitif terhadap sinar

ultraviolet dan panas efektif dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid
9

solvents) seperti eter, etanol 75%, ethanol, disinfektan yang mengandung

klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali khlorheksidin).

2.1.3 Penularan

Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).

Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak

(civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan

yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.

Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan

14 hari namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh

di hari-hari pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret

yang tinggi. Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai

dengan 48 jam sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan

14 hari setelah onset gejala.

Sebuah studi (Du Z et. al, 2020) melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan

penularan presimptomatik. Penting untuk mengetahui periode

presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet atau

kontak dengan benda yang terkontaminasi.

Sebagai tambahan, bahwa terdapat kasus konfirmasi yang tidak bergejala

(asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat rendah akan tetapi masih

ada kemungkinan kecil untuk terjadi penularan.

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan

bahwa COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala

(simptomatik) ke orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet.


10

Droplet merupakan partikel berisi air dengan diameter >5-10 µm. Penularan

droplet terjadi ketika seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter)

dengan seseorang yang memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau

bersin) sehingga droplet berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau

konjungtiva (mata).

Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang

terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu,

penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan

orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau

benda yang digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau

termometer).

Dalam konteks COVID-19, transmisi melalui udara dapat dimungkinkan

dalam keadaan khusus dimana prosedur atau perawatan suportif yang

menghasilkan aerosol seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction

terbuka, pemberian pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum

intubasi, mengubah pasien ke posisi tengkurap, memutus koneksi ventilator,

ventilasi tekanan positif non- invasif, trakeostomi, dan resusitasi

kardiopulmoner. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai

transmisi melalui udara.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara

bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun

dan tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling umum adalah
11

demam, rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami

rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis,

sakit tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit.

Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi,

40% kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit

sedang termasuk pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah,

dan 5% kasus akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan

dilaporkan sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik,

gagal multi- organ, termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut hingga

berakibat kematian. Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi

medis yang sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan

jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar mengalami

keparahan.

2.1.5 Diagnosis

WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien

yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode

deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti

pemeriksaan RT- PCR.

2.1.6 Tata Laksana

Hingga saat ini, belum ada vaksin dan obat yang spesifik untuk

mencegah atau mengobati COVID-19. Pengobatan ditujukan sebagai terapi


12

simptomatis dan suportif. Ada beberapa kandidat vaksin dan obat tertentu

yang masih diteliti melalui uji klinis (KEMENKES, 2020)

2.2 Konsep Puskesmas

2.2.1 Definisi Puskesmas

Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang


merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran
serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan
terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok
(Herlambang, 2016).

Puskesmas didirikan untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar,


menyeluruh, paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk yang tinggal di
wilayah kerja Puskesmas. Program dan upaya kesehatan yang diselenggarakan
oleh Puskesmas merupakan program pokok (public health essential) yang wajib
dilaksanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
(Herlambang, 2016).

Menurut (Notoatmodjo, 2003 dalam Herlambang, 2016), fungsi


Puskesmas dalam melaksanakan kegiatan dapat mewujudkan empat misi
pembangunan kesehatan yaitu: menggerakkan pembangunan kecamatan yang
berwawasan pembangunan, mendorong kemandirian masyarakat dan keluarga
untuk hidup sehat, memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu, merata dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan
individu, kelompok dan masyarakat. Dari beberapa definisi Puskesmas dapat di
simpulkan bahwa Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan
fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga
membina peran serta masyarakat, untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar,
menyeluruh, paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk.
13

2.2.2 Fungsi Puskesmas

Puskesmas sesuai dengan fungsinya sebagai pusat pembangunan


berawawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, meyediakan dan
menyelenggarakan pelayanan yang bermutu dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam rangka mencapai
tujuan pembangunan kesehatan nasional yaitu terwujudnya kesehatan yang
setinggi-tingginya bagi masyarakat. Fungsi Puskesmas dapat dikelompokkan
menjadi 2 (tiga), yaitu:

1. Sebagai pusat penggerak pembangunan berawawasan kesehatan masyarakat di


wilayah kerjanya melalui, sebagai berikut:

a. Upaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya


agar menyelenggarakan pebangunan yang berwawasan kesehatan.

b. Keaktifan memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari


penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.

c. Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit


tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan.

2. Pusat pemberdayaan masyarakat

a. Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga,


dan masyarakat memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan
melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat serta
menetapkan, menyelenggarakan, dan memantau pelaksanaan program
kesehatan serta memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
dan terpadu kepada masyarakat diwilayah kerjanya.

b. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan


rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada masayrakat dengan
ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan.
14

3. Pusat Pelayanan Pertama

Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara


menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan, melalui pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat (Herlambang, 2016).

2.2.3 Wilayah Kerja Puskesmas

Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari


kecamatan. Bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas
antara lain faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografis dan
keadaan infrastruktur lainnya. Pembagian wilayah kerja Puskesmas ditetapkan
oleh bupati dan walikota, dengan saran teknis dari kepala dinas kesehatan
kebupaten/kota. Sasaran penduduk yang dilayani Puskesmas rata-rata 30.000
penduduk setiap Puskesmas (Herlambang, 2016).

Untuk perluasan jangakauan pelayanan kesehatan, maka sebuah


Puskesmas ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana
disebut dengan Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling. Khusus untuk kota
besar dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih,

wilayah kerja Puskesmas dapat satu kelurahan. Puskesmas di ibukoa


kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan
Puskesmas pembantu yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi Puskesmas
kelurahan dan mempunyai fungsi koordinasi. Dengan adanya undang-undang
otonomi daerah, setiap daerah tingkat II mempunyai kesempatan mengembangkan
Puskesmas sesuai rencana strategis bidang kesehatan sesuai situasi dan kondisi
daerah tingkat II (Herlambang, 2016).

2.2.4 Ruang Lingkup Pelayanan Puskesmas

Pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas adalah pelayanan


menyeluruh yang meliputi pelayanan sebagai berikut: kuratif (pengobatan),
preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan), rehabilitative
(pemulihan kesehatan) (Herlambang, 2016).
15

2.2.5 Program Pokok Puskesmas (Rais dan Suhadi, 2015)

Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas yakni


terwujudnya kecamatan sehat menuju Indonesia Sehat. Puskesmas bertanggung
jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan
masyarakat.

2.2.6 Upaya Kesehatan Perseorangan

Dalam menyelenggarakan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) pada


masa pandemi COVID-19, Puskesmas mengimplementasikan Surat Edaran
Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi
dan Komunikasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Coronavirus Disease 2019
(COVID-19). Puskesmas menyampaikan informasi terkait pembatasan atau
penundaan pelayanan UKP untuk mengurangi risiko penularan COVID-19.
Informasi tersebut dapat disampaikan secara tertulis menggunakan media cetak
atau media komunikasi lainnya. Puskesmas juga dapat memanfaatkan teknologi
informasi seperti pendaftaran daring sebagai bentuk pembatasan pelayanan.
(KEMENKES, 2020)

A. Pelayanan di Dalam Gedung

Pelayanan medik dilaksanakan sesuai dengan Standar Prosedur


Operasional (SPO) pelayanan yang berlaku. Jika diperlukan, pelayanan medik
dapat dimodifikasi untuk mencegah penularan COVID-19, antara lain dengan
menerapkan triase/ skrining terhadap setiap pengunjung yang datang, mengubah
alur pelayanan, menyediakan ruang pemeriksaan khusus ISPA, mengubah posisi
tempat duduk pasien pada saat pelayanan (jarak dengan petugas diperlebar),
menggunakan kotak khusus bagi pasien yang mendapatkan tindakan yang
berpotensi menimbulkan aerosol yang dilakukan disinfeksi sesuai pedoman
setelah pemakaian, atau menggunakan sekat pembatas transparan antara petugas
kesehatan dan pasien.
16

1. Pelayanan rawat jalan

a. Jadwal pelayanan dimodifikasi berdasarkan sasaran program.

b. Tata laksana kasus mengacu pada standar operasinal pelayanan


(SOP) pelayanan dengan menerapkan prinsip triase, PPI dan
physical distancing.

c. Pembatasan pelayanan gigi dan mulut, dimana pelayanan yang


dapat diberikan meliputi pelayanan pada keadaan darurat seperti
nyeri yang tidak tertahan, gusi yang bengkak dan berpotensi
mengganggu jalan nafas, perdarahan yang tidak terkontrol dan
trauma pada gigi dan tulang wajah yang berpotensi mengganggu
jalan nafas. Pelayanan gigi dan mulut darurat yang menggunakan
scaler ultrasonik dan high speed air driven dilakukan dengan APD
lengkap sesuai dengan pedoman karena memicu terjadinya aerosol.

d. Surat keterangan sehat dapat dikeluarkan berdasarkan hasil


pemeriksaan kondisi pasien secara umum pada saat pemeriksaan
dilakukan. Surat keterangan bebas COVID-19 tidak dapat
dikeluarkan mengingat adanya orang yang terinfeksi COVID-19
tapi tidak bergejala serta konfirmasi COVID-19 melalui RT-PCR
tidak dapat dilakukan di Puskesmas.

e. Pada kasus pasien dengan penyakit kardiovaskuler seperti gagal


jantung, hipertensi, atau penyakit jantung iskemik, pemberian
terapi antagonis RAAS dapat dilanjutkan untuk pasien yang
terindikasi menerima pengobatan tersebut sesuai rekomendasi dari
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI).
Pada kasus pasien dengan penyakit kardiovaskular yang terinfeksi
COVID-19, keputusan terkait obat- obatan perlu dikaji secara
17

individual, dengan mempertimbangkan status hemodinamik dan


presentasi klinis pasien.

2. Pelayanan dengan tempat tidur atau rawat inap dan persalinan

a. Pelayanan rawat inap diprioritaskan pada kasus-kasus non COVID-


19. Pemberian pelayanan rawat inap kasus non COVID-19 harus
memperhatikan prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
dan physical distancing.

b. Pelayanan rawat inap pada kasus terkait COVID-19 dilakukan


berdasarkan ketentuan yang berlaku sesuai dengan standar
pelayanan kasus COVID-19, dengan mempertimbangkan
ketersediaan sumber daya (SDM, sarana, prasarana, alat kesehatan,
BMHP, APD dan pembiayaan) dan persetujuan dinas kesehatan
daerah kabupaten/kota setempat.

c. Persalinan normal tetap dapat dilakukan di Puskesmas bagi ibu


hamil dengan status BUKAN ODP, PDP atau terkonfirmasi
COVID-19 sesuai kondisi kebidanan menggunakan APD sesuai
pedoman. Ibu hamil berisiko atau berstatus ODP, PDP atau
terkonfirmasi COVID-19 dilakukan rujukan secara terencana untuk
bersalin di Fasyankes rujukan.

3. Pelayanan gawat darurat

Pelayanan gawat darurat tetap dilaksanakan sesuai standar


pelayanan yang berlaku dengan memperketat proses triase dan
memperhatikan prinsip PPI. Apabila tidak dapat ditentukan bahwa
pasien memiliki potensi COVID-19 maka pasien diperlakukan
sebagai kasus COVID-19.
18

B. Pelayanan di Luar Gedung

1. Pelayanan dapat dilakukan dengan cara kunjungan langsung atau


melalui sistem informasi dan telekomunikasi dengan tetap
memperhatikan prinsip PPI, penggunaan APD sesuai pedoman
serta physical distancing.

2. Bila pemantauan kasus dilakukan dengan cara kunjungan langsung,


maka petugas Puskesmas dapat melakukan pemantauan progres
hasil PISPK ataupun pengumpulan data bila belum dilakukan
sebelumnya.

3. Pelaksana pelayanan di luar gedung adalah petugas Kesehatan


Puskesmas, yang dapat juga melibatkan lintas sektor seperti RT/
RW, kader dasawisma, atau jejaring Puskesmas atau bersama
satgas kecamatan/ desa/ kelurahan/RT/ RW yang sudah dibentuk
dengan tupoksi yang jelas.

C. Pelayanan Farmasi

1. Pelayanan kefarmasian tetap dilaksanakan sesuai dengan standar


pelayanan kefarmasian dengan memperhatikan kewaspadaan
standar serta menerapkan physical distancing (mengatur jarak aman
antar pasien di ruang tunggu, mengurangi jumlah dan waktu
antrian). Apabila diperlukan, pemberian obat terhadap pasien
dengan gejala ISPA dapat dilakuan terpisah dari pasien non ISPA
untuk mencegah terjadinya transmisi. Kegiatan pelayanan
diupayakan memanfaatkan sistem informasi dan telekomunikasi.

2. Pengantaran obat dapat bekerjasama dengan pihak ketiga melalui


jasa pengantaran, dengan ketentuan bahwa jasa pengantaran wajib
menjamin keamanan dan mutu, menjaga kerahasiaan pasien,
memastikan obat dan BMHP sampai pada tujuan dan
mendokumentasikan serah terima obat dan BMHP.
19

3. Petugas farmasi berkoordinasi dengan program terkait melakukan


penyesuaian kebutuhan obat dan BMHP termasuk APD dan
Desinfektan serta bahan untuk pemeriksaan laboratorium COVID-
19 (rapid test, kontainer steril, swab dacron atau flocked swab dan
Virus Transport Medium (VTM).

4. Untuk pelayanan farmasi bagi lansia, pasien PTM, dan penyakit


kronis lainnya, obat dapat diberikan untuk jangka waktu lebih dari
1 bulan, hal ini mengacu pada Surat Edaran Direktur Jaminan
Pelayanan Kesehatan BPJS No. 14 Tahun 2020 tentang Pelayanan
Kesehatan bagi Peserta JKN Selama Masa Pencegahan COVID-19.

D. Pelayanan Laboratorium

1. Pelayanan laboratorium untuk kasus non COVID-19 tetap


dilaksanakan sesuai standar dengan memperhatikan PPI dan
physical distancing.

2. Pemeriksaan laboratorium terkait COVID-19 (termasuk


pengelolaan dan pengiriman spesimen) mengacu kepada pedoman
yang berlaku, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah
memperoleh peningkatan kapasitas terkait pemeriksaan rapid test
dan pengambilan swab.

3. Petugas laboratorium menghitung kebutuhan rapid test, kontainer


steril, swab dacron atau flocked swab dan Virus Transport Medium
(VTM) sesuai arahan dinas kesehatan daerah kabupaten/kota
dengan memperhatikan prevalensi kasus COVID-19 di wilayah
kerjanya.

4. Mengingat adanya cross reaction dengan flavavirus dan virus


unspecific lainnya (termasuk COVID-19) setiap pemeriksaan
Serological Dengue IgM positif pada keadaan pandemi COVID-19
20

harus dipikirkan kemungkinan infeksi COVID-19 sebagai


differential diagnosis terutama bila gejala klinis semakin berat.

E. Sistem Rujukan

Sistem rujukan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan


memperhatikan:

1. Merujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)


sesuai dengan kasus dan sistem rujukan yang telah ditetapkan oleh
dinas kesehatan daerah kabupaten/kota sesuai peraturan yang
berlaku.

2. Standar pelayanan:

a. Puskesmas menempatkan pasien yang akan dirujuk pada ruang


isolasi tersendiri yang terpisah.

b. Mendapat persetujuan dari pasien dan/ atau keluarganya.

c. Melakukan pertolongan pertama atau stabilisasi pra rujukan.

d. Melakukan komunikasi dengan penerima rujukan melalui


pemanfaatan aplikasi SISRUTE (https://sisrute.kemkes.go.id/) dan
memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima (tersedia
sarana dan prasarana serta kompetensi dan tersedia tenaga
kesehatan). Rujukan Suspek PDP melalui Sisrute mengacu pada
user manual sebagaimana lampiran buku Juknis ini.

e. Membuat surat pengantar rujukan dan resume klinis rangkap dua.

f. Transportasi untuk rujukan sesuai dengan kondisi pasien dan


ketersediaan sarana transportasi.

g. Pasien yang memerlukan asuhan medis terus menerus didampingi


oleh tenaga Kesehatan yang kompeten dan membawa formulir
21

monitoring khusus untuk kasus COVID-19 sesuai dengan


Pedoman.

h. Pemantauan rujukan balik.

3. Rujukan dilaksanakan dengan menerapkan PPI, termasuk


desinfeksi ambulans.

F. Pemulasaraan Jenazah

1. Pemulasaraan jenazah kasus COVID-19 dilakukan mengacu pada


pedoman yang berlaku. Apabila Puskesmas diberikan tugas untuk
melaksanakan pemulasaraan jenazah kasus COVID-19, maka dinas
kesehatan daerah kabupaten/ kota harus memastikan ketersediaan
sumber daya di Puskesmas seperti SDM yang telah memperoleh
peningkatan kapasitas, APD petugas, ruangan, peti jenazah dan
bahan habis pakai lainnya terkait pelaksanaan pemulasaraan.
Puskesmas melakukan koordinasi dengan gugus tugas COVID-19
kabupaten kota dan RS rujukan COVID-19 terdekat untuk
pemulasaraan dan pemakaman.

2. Surat keterangan kematian menggunakan formulir surat keterangan


kematian yang berlaku di Puskesmas sesuai hasil pemeriksaan
dokter. Penyebab kematian perlu dipastikan oleh dokter yang
memeriksa apakah terkait dengan COVID-19 atau tidak karena hal
ini akan memperngaruhi prosedur pemulasaran jenazah.

2.2.7 Upaya Kesehatan Promotif dan Preventif

Promosi kesehatan adalah suatu proses untuk memampukan masyarakat


dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka, dengan promosi
kesehatan kata lain adalah upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga
masyarakat mau dan mampu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
mereka sendiri (Notoatmodjo, 2012). Promosi kesehatan juga merupakan
revitalisasi pendidikan kesehatan pada masa lalu, dimana dalam konsep promosi
22

kesehatan bukan hanya proses penyadaran masyarakat dalam hal pemberian dan
peningkatan pengetahuan masyarakat dalam bidang kesehatan saja, melainkan
juga upaya untuk bagaimana mampu menjembatani adanya perubahan perilaku
seseorang. Menurut Undang-Undang No 36 tahun 2009 upaya preventif adalah
suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah kesehatan penyakit.

2.2.8 Promosi Kesehatan

Menurut (Hartono, 2010) banyak sekali tersedia peluang untuk melaksanakan


promosi kesehatan oleh puskesmas. Secara umum peluang itu dapat dikategorikan
sebagai berikut.

1. Dalam gedung

Dalam gedung puskesmas, promosi kesehatan dilaksanakan seiring dengan


pelayanan yang diselenggarakan puskesmas, sehingga dapat dikatakan bahwa di
dalam gedung terdapat peluang-peluang:

a. Promosi kesehatan di tempat pendaftaran, yaitu di tempat pasien/ klien harus


melapor/ mendaftar sebelum mendapatkan pelayanan kesehatan.

b. Promosi kesehatan dalam pelayanan medis di poliklinik, di pelayanan KIA/


KB, dan di ruang perawatan (untuk puskesmas dengan tempat perawatan).

c. Promosi kesehatan dalam pelayanan penunjang medis, yaitu di kamar obat/


apotik dan di laboratorium.

d. Promosi kesehatan dalam pelayanan klinik-klinik khusus seperti klinik sanitasi.

e. Promosi kesehatan di tempat pembayaran rawat, yaitu di ruang di mana pasien


rawat inap harus menyelesaikan pembayaran biaya rawat inap, sebelum
meninggalkan puskesmas (untuk puskesmas dengan tempat perawatan).

f. Promosi kesehatan di lingkungan puskesmas, yaitu di tempat parkir, halaman,


dinding, kantin/ kios, tempat ibadah, dan pagar halaman puskesmas.
23

2. Luar gedung

Banyak tatanan dimana puskesmas dapat melakukan promosi kesehatan di


masyarakat, yakni:

a. Tatanan rumah tangga, yaitu di pemukiman penduduk misalnya di kompleks-


kompleks perumahan, dasa wisma, rukun tetangga/rukun warga dan lain-lain.

b. Tatanan sarana pendidikan, yaitu di sekolah-sekolah, madrasah, pondok


pesantren, kursus-kursus, perguruan tinggi dan lain-lain.

c. Tatanan tempat kerja, yaitu di pabrik-pabrik, kanto-kantor, koperasi-koperasi,


himpunan petani, pelelangan ikan, komplek pertokoan dan lain-lain.

d. Tatanan tempat umum, yaitu di terminal, stasiun, dermaga/ pelabuhan, pasar,


restauran, penginapan dan lain-lain (Hartono, 2010).

2.2.9 Tingkat-Tingkat Pencegahan Penyakit

Menurut (Pane, 2018) ada lima tingkat pencegahan penyakit yaitu sebagai berikut.

1. Peningkatan kesehatan (Health promotion)

2. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu(General


and spesifik protection)

3. Menegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (Early
diagnosis and prompt treatment)

4. Pembatasan kecacatan (Disability limitation)

5. Penyembuhan kesehatan (Rehabilitation)

Hal tersebut di atas dijabarkan dalam upaya-upaya pencegahan sebagai berikut.


24

a. Upaya peningkatan kesehatan

Yaitu upaya pencegahan yang umumnya bertujuan meningkatkan taraf kesehatan


individu/keluarga/masyarakat, misalnya:

1. Penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi, penyusunan pola gizi memadai,


pengawasan pertumbuhan anak balita dan usia remaja.

2. Perbaikan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan.

3. Kesempatan memperoleh hiburan sehat yang memungkinkan pengembangan


kesehatan mental dan sosial.

4. Pendidikan kependudukan, nasihat perkawinan, pendidikan seks, dan


sebagainya.

5. Pengendalian faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan.

b. Perlindungan umum dan khusus

Golongan masyarakat tertentu serta keadaan tertentu yang secara langsung atau
tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan. Upaya-upaya yang termasuk
perlindungan umum dan khusus anatara lain:

1. Peningkatan higiene perorangan dan perlindungan terhadap lingkungan yang


tidak menguntungkan.

2. Perlindungan tenaga kerja terhadap setiap kemungkinan timbulnya penyakit


akibat kerja.

3. Perlindungan terhadap bahan-bahan beracun, korosif, alergen dan sebagainya.

4. Perlindungan terhadap sumber-sumber pencernaan.


25

2. Upaya pencegahan sekunder

Pada pencegahan sekunder termasuk upaya yang bersifat diagnosis dini dan
pengobatan segera (early diagnosis and prompt teratment) meliputi mencari kasus
sedini mungkin:

1. Melakukan general check up rutin pada setiap individu.

2. Melakukan berbagai survei (survei sekolah, rumah tangga) dalam rangka


pemberantasan penyakit menular.

3. Pengawasan obat-obatan, termasuk obat terlarang yang diperdagangkan bebas,


golongan narkotika, psikofarmaka dan obat-obatan bius lainnya.

3. Upaya pencegahan tersier

Pencegahan tersier berupa pencegahan terjadinya komplikasi penyakit yang lebih


parah. Bertujuan menurunkan angka kejadian cacat fisik maupun mental, meliputi
upaya-upaya sebagai berikut.

1. Penyempurnaan cara pengobatan serta perawatan lanjut.

2. Rehabilitasi sempurna setelah penyembuhan penyakit (rehabilitasi fisik dan


mental).

3. Mengusahakan pengurangan beban sosial penderita, sehingga mencegah


kemungkinan terputusnya kelanjutan pengobatan serta kelanjutan rehabilitasi
dan sebagainya (Syafrudin, 2009).

2.3 Stigma

2.3.1 Pengertian stigma

Stigma merupakan suatu istilah yang menggambarkan suatu keadaan atau

kondisi terkait sudut pandang atas sesuatu yang dianggap bernilai negatif. Stigma

(Arboleda-Florez, 2002) dipahami sebagai konstruksi sosial di mana tanda


26

membedakan aib sosial melekat pada orang lain untuk mengidentifikasi dan

mendevaluasi mereka. Biasanya stigma ada pada beban penyakit (Wilsher, 2011).

Stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah hubungan negatif antara

seseorang atau sekelompok orang yang berbagi karakteristik tertentu dan penyakit

tertentu (WHO, 2020).

Stigma yang terjadi dimasyarakat dapat menyebabkan: 1) Mendorong

orang untuk menyembunyikan penyakit untuk menghindari diskriminasi, 2)

Mencegah orang mencari perawatan kesehatan segera, dan 3) Mencegah mereka

untuk mengadopsi perilaku sehat.

Stigma dari beberapa penyakit dan kelainan merupakan isu sentral dalam

kesehatan masyarakat (Septiawan, Mulyani dan Susanti, 2018).

Para penderita dari beberapa penyakit tertentu sering mendapatkan stigma

yang memberikan rasa rendah diri. Penderita kusta, TBC, diabetes, dan lain-lain

dianggap memiliki stigma negatif di masyarakat. Sehingga orang-orang di

sekitarnya cenderung menjauh dan tidak mau terlibat kontak dengan mereka

walaupun mereka sudah dinyatakan sembuh sekalipun.

Menurut (Aikins, 2006), terdapat konsensus bahwa penelitian stigma

mengambil dua jalur oposisi dan terisolasi yaitu :

1) Pendekatan mikro-sosial, dicirikan oleh kerja psikologis (sosial),

memeriksa stigma di tingkat individu dan antar-individu;

2) Pendekatan makro-sosial, dilambangkan dengan karya sosiologis,

berkaitan dengan analisis tingkat kelompok (sosial / budaya) dan

struktural.
27

2.3.2 Mekanisme Stigma

Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut (Major & O’Brien,

2005), yaitu :

a. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung

Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan

negatif dan diskriminasi secara langsung yang artinya terdapat

pembatasan pada akses kehidupan dan diskriminasi secara langsung

sehingga berdampak pada status sosial, psychological well-being dan

kesehatan fisik. Stigma dapat terjadi dibeberapa tempat seperti di

sebuah toko, tempat kerja, setting pendidikan, pelayanan kesehatan

dan sistem peradilan pidana (Eshieman, dalam Major & O’Brien,

2005).

b. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy

Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan

atau self fullfilling prophecy (Jussim dkk., dalam Major & O’Brien,

2005). Persepsi negatif, stereotipe dan harapan bisa mengarahkan

individu untuk berperilaku sesuai dengan stigma yang diberikan

sehingga berpengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku individu

tersebut.

c. Munculnya stereotip secara otomatis

Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivitas sehingga

memunculakan penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan

presepsi secara negatif pada suatu kelompok.


28

d. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu

2.3.3 Tipe Stigma

Menurut (Scheid & Brown, 2010) mendefinisikan 3 tipe stigma sebagai

berikut :

a. Stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh yang dimiliki oleh

seseorang.

b. Stigma yang berhubungan dengan karakter individu yang umum

diketahui seperti bekas narapidana, pasien rumah sakit jiwa dan lain

sebagainya.

c. Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama. Stigma

semacam ini ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui

keluarga.

2.3.4 Dimensi Stigma

Menurut (Scheid & Brown, 2010) komponen-komponen dari stigma

sebagai berikut :

a. Labeling

Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan

berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat

tersebut (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian besar

perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun

beberapa perbedaan yang diberikan dapat menonjol secara sosial.

Pemilihan karakteristik yang menonjol dan penciptaan label bagi

individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu


29

dipahami sebagai komponen penting dari stigma.Berdasarkan

pemaparan di atas, labeling adalah penamaan berdasarkan perbedaan

yang dimiliki kelompok tertentu.

b. Stereotip

Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang

terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial

tertentu dan traits tertentu (Judd, Ryan & Parke dalam Baron &

Byrne, 2004). Menurut (Rahman, 2013) stereotip merupakan

keyakinan mengenai karakteristik tertentu dari anggota kelompok

tertentu. Stereotip adalah komponen kognitif yang merupakan

keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang

dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor,

Peplau, & Sears, 2009).

c. Separation

Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak

memiliki stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok

yang mendapatka stigma). Hubungan label dengan atribut negatif akan

menjadi suatu pembenaran ketika individu yang dilabel percaya bahwa

dirinya memang berbeda sehingga hal tersebut dapat dikatakan bahwa

proses pemberian stereotip berhasil (Link & Phelan dalam Scheid &

Brown, 2010).
30

d. Diskriminasi

Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena

keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut

(Taylor, Peplau, dan Sears, 2009) diskriminasi adalah komponen

behavioral yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena

individu tersebut adalah anggota dari kelompok tertentu.

Menurut (Link, Yang, Phelan & Collins, 2001) mengidentifikasi dimensi dari

stigma yang tediri dari enam dimensi, yaitu:

a. Concealability, menunjukkan atau melakukan deteksi tentang

karakteristik dari individu lain. Concealability bervariasi tergantung

pada sifat stigma tersebut. Individu yang mampu menyembunyikan

kondisinya, biasanya sering melakukan stigma tersebut.

b. Course, menunjukkan kondisi stigma reversibel atau ireversibel.

Individu yang mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk

memperoleh sikap yang lebih negatif dari orang lain.

c. Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan oleh orang

lain kepada individu yang mengakibatkan ketegangan atau menghalangi

interaksi interpersonal.

d. Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang

menarik atau menyenangkan.

e. Origin, merujuk kepada bagaimana munculnya kondisi yang

menyebabkan stigma.
31

f. Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami

orang lain. Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacu pada

bahaya fisik atau perasaan yang tidak nyaman.

2.3.5 Proses Stigma

Menurut (Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu memiliki

beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya namun akhirnya terjadi

devaluasi pada konteks tertentu. Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid &

Brown, 2010) stigma terjadi ketika muncul beberapa komponen yang saling

berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut, yaitu :

a. Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan

label atas perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut

b. Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang

dimiliki individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain

dan menimbulkan stereotip.

c. Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang

telah diberikan label pada individu atau kelompok dalam kategori

yang berbeda sehingga terjadi separation.

d. Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label

mengalami diskriminasi.

Pada awal tahun 2020, seiring dengan munculnya pandemi global COVID-

19, seakan-akan menambah deretan penyakit yang bisa menimbulkan stigma

negatif bagi penderita maupun keluarganya. COVID-19 termasuk penyakit yang


32

bisa menular dengan sangat cepat dan bisa mengakibatkan kematian. Terlebih lagi

saat ini COVID-19 belum ditemukan obatnya.

2.3.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi stigma terhadap pandemi covid 19

Beberapa faktor yang sering terjadi pada masyarakat terhadap pandemi

covid 19 menurut (Abudi, 2020).

1. Faktor Individu

Masyarakat Indonesia sering mendapat berita-berita hoax yang tidak sesuai

dengan kenyataannya. Banyak masyarakat dengan status suspek dan status

probable, yang harus melakukan isolasi diri dirumah membuat lingkungan tempat

tinggal menjadi resah. Apalagi ketika di awal kasus Covid-19 semua orang takut

untuk tertular penyakit ini.

Masyarakat dan pasien kurang informasi tentang Covid-19 sehingga belum

memahami bagaimana penularan dan proses penyembuhan dari Covid-19 sehinga

mudah untuk menyerap informasi yang tidak diketahui benar atau salahnya hal ini

memicu timbulnya stigma maupun diskriminasi. Hal ini mempengaruhi

kurangnya kesadaran dari setiap orang untuk melakukan kegiatan positif seperti

memberi dukungan atau semangat kepada orang dengan status suspek, probable,

dan status terkonfirmasi.

2. Faktor Interpersonal/ Keluarga dan Komunitas

Penyebab stigma negatif dengan status suspek, probable, dan status

terkonfirmasi Covid-19 hingga tenaga kesehatan pun mendapatkan stigma, yaitu

dari keluarganya sendiri yang memang sengaja mengucilkan mereka. Mereka

menganggap bahwa yang terkena Covid-19 dapat menularkan dan apabila terkena
33

virus Covid-19 tidak akan sembuh sepenuhnya hal itu karena informasi yang

didapatkan masyarakat tidak sepenuhnya benar.

Pengucilan bagi mereka dengan status suspek, probable, dan status

terkonfirmasi Covid-19 oleh tetangga sekitar tempat tinggal yang sangat

meresahkan, membuat tidak nyaman dan menimbulkan perasaan tidak percaya

diri meskipun telah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Mereka dicap sebagai

pembawa virus yang dapat menularkan pada orang lain.

3. Faktor Pelayanan kesehatan

Tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien membuat

warga yang tinggal di sekitar mereka menjadi takut. Perasaan takut kembali

mempengaruhi diskriminasi terhadap orang yang melakukan kontak dengan

pasien Covid-19. Selain itu, faktor lainnya adalah ketakutan dari tenaga kesehatan

akibat banyak dokter, perawat dan tenaga medis lainnya yang meninggal.

Pada bulan September kemarin Indonesia memperingati peristiwa 100

dokter yang meninggal akibat Covid-19. Kehilangan teman sejawat memang

menyedihkan, terlebih lagi mereka meninggal disaat berjuang untuk menangani

pasien Covid-19. Para tenaga kesehatan tentu sangat menanti terjadinya

penurunan jumlah kasus baru.

Tak jarang para tenaga kesehatan memposting kegiatan mereka pada akun

sosial media di sela kesibukan dengan alat pelindung yang berlapis-lapis.

Masyarakat yang menyaksikan dapat memberikan bermacam-macam pendapat.

Ada yang kagum dengan perjuangan tenaga kesehatan dan ada yang sedih melihat

mereka letih bekerja namun angka kasus baru tetap bertambah.


34

4. Faktor Sosial-Ekonomi

Perekonomian yang semakin menurun akibat pandemi ini mengakibatkan

masyarakat keluar rumah untuk mencari penghasilan guna memenuhi kebutuhan

sehari-hari. Apalagi kebanyakan dari masyarakat bekerja di sektor informal.

Kemudian Kurangnya rasa simpati, kesatuan dan gotong royong masyarakat untuk

bersama menghentikan rantai penularan virus corona. Fenomena stigmatisasi akan

terus bertambah seiring angka kejadian kasus baru masih belum teratasi.

5. Faktor Budaya dan Lingkungan

Budaya buruk masyarakat yang tinggal di desa sering berkumpul untuk

bergosip masih berkembang di kalangan masyarakat, terutama kalangan Ibu

rumah tangga. Kemudian kurangnya sosialisasi di lingkungan tempat tinggal

mengenai penyebaran Covid-19 sehingga tidak diterimanya orang dengan kasus

suspek, kasus probable dan kasus konfirmasi positif untuk melakukan isolasi

mandiri di lingkungan tempat tinggal.

2.3.7 Istilah Terkait COVID-19

COVID-19 sebagai penyakit yang baru saja muncul, masih berkembang

dengan pesat trend-nya. Bagi sebagian orang dengan imunitas yang baik, COVID-

19 dapat dilawan dengan sistem imun dalam tubuhnya sendiri. Karena orang yang

menderita COVID-19 atau terinfeksi virus corona ini baru bisa diketahui setelah

melakukan test tertentu.

Untuk membantu pemerintah dan pihak kesehatan menganalisis para

pasiennya, maka setidaknya ada 4 (empat) sebutan orang terkait COVID-19 yaitu,

orang dalam pemantauan (ODP), orang tanpa gejala (OTG), positif COVID-19.
35

Orang dalam pemantauan (ODP) merupakan orang yang memenuhi sejumlah

kriteria: demam (suhu ≥ 38°C) atau riwayat demam, batuk atau pilek, memiliki

riwayat perjalanan ke negara yang memiliki transmisi lokal COVID-19, tinggal di

daerah dengan transmisi lokal di Indonesia dalam 14 hari terakhir sebelum timbul

gejala, namun tidak memiliki riwayat kontak dengan orang positif COVID-19.

Pasien dalam pengawasan (PDP) atau suspek merupakan orang yang memenuhi

keriteria: memiliki demam dan atau riwayat demam dan satu dari gejala berikut

batuk/ pilek/ sesak napas tanpa disertai pneumoni, memiliki riwayat perjalanan/

bepergian ke negara yang memiliki transmisi lokal COVID-19 atau memiliki

riwayat perjalanan, tinggal di daerah dengan transmisi lokal di Indonesia dalam 14

hari terakhir sebelum timbul gejala, atau riwayat demam atau batuk/pilek tanpa

disertai pneumonia, dan memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi positif

COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) adalah orang- orang yang tidak

menunjukkan gejala tetapi mempunyai risiko tertular dari orang yang

terkonfirmasi positif Covid-19. Kategori OTG juga memiliki riwayat kontak

berat, baik kontak fisik atau berada dalam ruangan dengan radius satu meter dari

pasien COVID-19. Dan kelompok yang paling ditakuti adalah “Positif Corona”

atau bisa juga disebut dengan “kasus konfirmasi”. Pada status ini, seseorang yang

terbukti positif terinfeksi “SARS-CoV-2” berdasarkan hasil laboratorium.

Diagnosis COVID-19 harus dikonfirmasikan dengan reverse transcription

polymerase chain reaction (RT-PCR) atau sekuensing gen untuk spesimen

pernapasan atau darah, sebagai indikator kunci untuk rawat inap. Selanjutnya bisa

dilakukan CT scan dada yang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk
36

diagnosis COVID-19 dibandingkan dengan RT-PCR dari sampel swab di daerah

epidemi Cina (Ai, Yang and Xia, 2020).

2.3.8 Dampak sosial dari Stigma

Dampak sosial dari stigma masyarakat yaitu :

a. Mendorong orang untuk menyembunyikan penyakit yang diderita

untuk menghindari diskriminasi

b. Mencegah orang mencari perawatan kesehatan segera ketika mengalami

gejala, mencegah mereka untuk mengembangkan perilaku sehat dan

berkontribusi pada masalah kesehatan yang lebih berat, penularan

berkelanjutan dan kesulitan dalam mengendalikan penyebaran virus

corona.

Tindakan yang dapat dilakukan untuk melawan sikap stigmatisasi :

a. Sebarkan informasi yang benar tentang Covid -9 berdasarkan fakta

b. Memberikan dukungan kepada orang yang terstigma

c. Sebarkan pemberitaan yang dapat berperan mengurangi stigma

d. Memperkuat suara, gambar atau cerita dari orang yang telah

sembuh dari Covid 19 atau kelompok orang/keluarga yang selama

ini telah mendukung pasien untuk pulih

e. Meminta cerita dari berbagai macam kelompok etnis untuk

memberikan gambaran bahwa usaha mereka untuk sembuh semua

sama
37

f. Pelaporan media harus seimbang dan kontekstual, disebarkan

berdasarkan bukti informasi dan membantu memerangi rumor yang

mengarah pada stigmatisasi.


38

2.4 Kerangka Konseptual

Faktor-faktor yang Individu memberikan 1. Stigma sosial Stigma masyarakat terhadap


mempengarauhi stigma label pelayanan puskesmas :
terhadap pandemi covid 19 : 2. Stigma terhadap
a. Faktor Individu pelayanan kesehatan 1. Pandangan masyarakat
b. Faktor Interpersonal/ bahwa jika datang ke
Keluarga dan Muncul keyakinan
fasilitas kesehatan akan
Komunitas terhadap pemikiran
3. Dampak ekonomi terinfeksi penyakit
c. Faktor Pelayanan negatif terhadap pandemi
kesehatan covid 19 2. Ketakutan masyarakat
d. Faktor Sosial- Menempatkan Individu
terhadap petugas
Ekonomi yang telah diberi label
kesehatan yang
e. Faktor Budaya dan pada kelompok berbeda
Lingkungan menangani covid
sehingga terjadi separation

Individu yang telah diberi 1. Dampak terhadap jumlah


label mengalami kunjungan ke fasilitas
: Diteliti diskriminasi kesehatan puskesmas
keterangan :
: Tidak diteliti

Gambar 3.1: Kerangka konsep stigma pada masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid 19
39

BAB 3

METODE PENILITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu, untuk melihat

gambaran fenomena (termasuk kesehatan) yang terjadi di dalam suatu populasi

tertentu (Notoatmodjo, 2010).

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif

deskriptif eksplorasi. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status

kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu system pemikiran

ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian

deskriptif ini adalah untuk membuat deskriptif, gambar atau lukisan secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta - fakta, sifat-sifat serta hubungan

antar fenomena yang diselidiki (Sugiyono, 2013).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat untuk melakukan penelitian yaitu wilayah pelayanan Puskesmas

Sananwetan Kota Blitar, waktu yang digunakan mulai Februari 2020.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat kelurahan sananwetan yaitu

dengan jumlah 4.658 kepala keluarga.

39
40

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah

dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012). Sampel penelitian

meliputi sejumlah elemen (responden) yang lebih besar dari persyaratan minimal

sebanyak 30 elemen/ responden. Menurut (Supranto, 2006), untuk menghitung

jumlah sampel yang diperlukan :

Adapun penentuan sampel mengambil presisi ditetapkan sebesar 10%


dengan tingkat kepercayaan 90%, maka ukuran sampelnya dapat ditetapkan
sebagai berikut :

Dimana :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = level signifikansi yang diinginkan (umumnya 0,05 untuk bidang non-

eksak dan 0,01 untuk bidang eksakta)

4.658
n= 2
4.658 ( 0 , 10 ) +1

4.658
n=
4.658(0 ,01)+1

4.658
n=
465 , 8+1

4.658
n=
466 , 8

n = 99,7 = 100
41

Dari hasil perhitungan tersebut maka jumlah sampel yang diambil adalah
100 kepala keluarga dari jumlah keseluruhan 4.658 kepala keluarga di kelurahan
sananwetan tahun 2020.

3.3.3 Sampling

a. Teknik Sampling

Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Untuk

menentukan sampel dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang

digunakan (Sugiyono, 2012). Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini

menggunakan Non Probability Sampling. Non Probability Sampling adalah teknik

pengambilan sampel yang anggota populasinya tidak mempunyai peluang yang

sama untuk menjadi anggota sampel (Asnawi, 2009). Teknik pengambilan sampel

Non Probability Sampling peneliti menggunakan metode Convenience Sampling.

Convenience Sampling/ Accidental Sampling adalah teknik penentuan sampel

berdasarkan kebetulan, yaitu kepala keluarga yang secara kebetulan bertemu

dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang

kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.

Pemilihan sampel dalam penelitian ini yaitu seluruh kepala keluarga di

kelurahan sananwetan. Metode pengumpulan data dimaksudkan untuk

memperoleh informasi yang relevan, akurat dan reliabel. Metode yang di gunakan

yaitu metode Kuesioner, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan

cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden

untuk dijawab oleh responden (Sugiyono, 2012). Dalam hal ini yang dimaksud

adalah responden yang berada di kelurahan sananwetan kota Blitar.


42

3.4 Definisi Operasional

Tabel 3.1: Definisi Operasional Penelitian Stigma Masyarakat Terhadap


Pelayanan Puskesmas Selama Pandemi covid 19 Blitar.
Variebel Definisi Indikator Instrumen Skala Skor
Penelitian Operasional
Stigma Presepsi Upaya kesehatan Kuisioner Ordinal Kusioner stigma
masyarakat masyarakat perseorangan : masyarakat
terhadap negatif a. Pelayanan terhadap
pelayanan tentang rawat jalan pelayanan
kesehatan pelayanan b. Pelayanan puskesmas selama
kesehatan di rawat inap dan pandemi covid-19
dalam persalinan dalam prosentase
gedung c. Pelayanan 76-100% (ada
puskesmas gawat darurat stigma negative
terhadap
pelayanan
puskesmas selama
pandemi covid-19
yang timbul di
masyarakat)
56-75%
(masyarakat
netral terhadap
pelayanan
puskesmas selama
pandemi covid-
19)
<55% (tidak ada
stigma negatif
terhadap
pelayanan
puskesmas selama
pandemi covid-19
yang timbul di
masyarakat)

Definisi operasional adalah mendefinisikan variebel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan

observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena.

Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran


43

dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara di mana variabel

dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya (Sugiyono, 2012).

3.5 Pengumpulan Data

3.5.1 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner tentang stigma

terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19 dimasyarakat yang

diperoleh dari JUKNIS (Kemenkes, 2020) yang dikembangkan oleh peneliti

menjadi kuisioner. Secara umum teknik dalam pemberian skor yang digunakan

dalam kuisioner penelitian ini adalah teknik skala likert, skala likert adalah skala

yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan presepsi seseorang atau

sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiono, 2013). Untuk keperluan

analisis kuantitatif, kuisioner dalam penelitian ini terdiri dari 12 pertanyaan

tentang stigma masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-

19, jawaban dari setiap pertanyaan yang ada pada kuisioner diberi nilai skor

sebagai berikut :

SS : Sangat setuju skor 5

S : Setuju skor 4

RG : Ragu skor 3

TS : Tidak Setuju skor 2

STS : Sangat Tidak Setuju skor 1

Berdasarkan aturan normative, untuk menentukan prosentase perolehan

skor yang di hitung maka peneliti menggunakan rumus sebagai berikut:


44

Sp
N= x 100
Sm

Keterangan:

N= nilai yang didapat

Sp= Skor perolehan

Sm= Skor maximal

Dari hasil penghitungan di atas kemudian di interpretasikan sebagai berikut:

a. 76-100% (ada stigma negative terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19 yang timbul di masyarakat)

b. 56-75% (masyarakat netral terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19)

c. <55% (tidak ada stigma negative terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19 yang timbul di masyarakat)

3.5.2 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan

proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian.

Langkah- langkah dalam pengumpulan data bergabung pada rancangan penelitian

dan teknik instrumen yang digunakan (Nursalam, 2011). Data ini diperoleh

dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari Stikes Patria


Husada Blitar yang ditujukan kepada Kepala Puskesmas Sananwetan
kota Blitar.
2. Mendapatkan surat rekomendasi untuk memberikan izin penelitian dari
Puskesmas Sananwetan kota Blitar
3. Membawa surat rekomendasi dari Puskesmas Sananwetan kota Blitar ke
45

kelurahan sananwetan untuk memperoleh izin penelitian di wiayah


kelurahan sananwetan.
4. Peneliti dibantu oleh kader posyandu dalam menyebarkan kuisioner
melalui google form yang disebarkan melalui wahatsapp grup, kemudian
peneliti menjelaskan tata cara pengisian kuisioner kepada kader
posyandu, didalam kuisioner dijelaskan secara singkat tentang penelitian,
nama responden hanya ditulis dengan inisial, dan kerahasiaan data
responden terjamin, jika responden setuju, responden tinggal mengeklik
pernyataan setuju.
5. Masyarakat yang mengisi kuisioner dianggap sebagai sampel penelitian
kemudian hasil pengisian kuisioner tersebut diolah untuk dijadikan
penelitian.

3.6 Analisis Data

1. Analisis univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Untuk data numerik digunakan nilai mean
atau rata-rata, median dan standar deviasi. Proses analisis data dilakukan dengan
cara meng-entry data dari hasil pengumpulan data dari responden ke paket
komputer (Notoadmodjo, 2010). Penelitian ini menggunakan statistik deskritif.
Analisa univariat dilakukan yaitu terhadap variabel stigma masyarakat terhadap
pelayanan puskesmas dimasa pandemi covid-19 pada kelompok intervensi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis bersifat kualitatif
yaitu memberikan arti dan data yang ada sesuai kenyataan yang ada di lapangan
sehingga didapat kesimpulan atas masalah yang diteliti. Untuk mengetahui
bagaimana meneliti stigma pada masyarakat terhadap pelayanan puskesmas
selama pandemi covid-19. Data yang diperoleh melalui angket kemudian diuji
dengan menggunakan uji prosentase.
Uji prosentase akan diuji dengan menggunakan rumus: P=F/Nx100%=..%
Keterangan:
46

P = Prosentase

F = Jumlah yang diperoleh

N= Jumlah responden

Kategori prosentase adalah:

Prosentase Kategori Penilaian

76%-100% Baik

55%-75% Cukup Baik

<55% Kurang Baik

Menurut (Arikunto, 2009) kriteria penilaian dapat dijabarkan sebagai berikut:

Baik : Masyarakat yang mengetahui, peduli, dan memahami tentang stigma yang

terjadi terhadap covid-19.

Cukup Baik : Masyarakat yang mengetahui dan peduli namun tidak memahami

tentang stigma yang terjadi terhadap covid-19.

Kurang Baik : Masyarakat yang mengetahui, tidak peduli dan tidak memahami

tentang stigma yang terjadi terhadap covid-19.

Kemudian mendiskripsikan melalui distribusi frekuensi untuk menilai prosentase

pendapat dan gambaran yang diberikan responden.

3.7 Pengolahan Data

Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh,

diantaranya :

1. Editing
47

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul (Sugiyono, 2012).

2. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat

penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer.

Biasanya dalam pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya

dalam satu buku (code book) untuk memudahkan kembali melihat lokasi

dan suatu kode dari satu variabel (Notoatmodjo, 2010).

3. Data Entry

Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke

dalam master table atau database komputer, kemudian membuat distribusi

frekuensi sederhana atau dengan membuat table kontigensi (Notoatmodjo,

2010).

4. Tabulating

Mengelompokkan data ke dalam suatu data tertentu menurut sifat yang

dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian (Notoatmodjo, 2010).

3.8 Etika Penelitian

a. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent


48

tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan memberikan lembar persetujuan

untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subyek mengerti

maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya (Sugiyono, 2012).

b. Tanpa Nama (anonymity)

Masalah etika keperawatan merupakan msalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan

kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan

(Sugiyono, 2012).

c. Kerahasiaan (confidentiality)

Masalah ini merupakan etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan

hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah. Semua informasi yang

telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data

tertentu yang akan diperoleh pada hasil riset (Sugiyono, 2012).

3.9 Kerangka Kerja

Tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat menentukan bentuk

dasar pemikiran baginya untuk bersikap dan berperilaku, cukup, atau kurang.

Demikian pula dengan dengan stigma terhadap pelayanan kesehatan di masa

pandemi covid 19 saat ini. Terjadi peningkatan atau punurunan minat kunjungan

ke pelayanan puskesmas dalam permasalahan ini, tentu terkait erat dengan tingkat

pengetahuan masyarakat yang dimiliki terhadap stigma pandemi covid 19 yang


49

terjadi saat ini. Diharapkan dengan tingkat pengetahuan yang semakin baik,

semakin besar pula tingkat kunjungan masyarakat ke pelayanan kesehatan

puskesmas sananwetan kota blitar khususnya.

Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka kerangka kerja penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Populasi adalah kepala keluarga di kelurahan sananwetan dengan jumlah


4.658

Sampel:
Mengambil 100 kepala keluarga yang dipilih secara acak untuk
dijadikan sampel penelitian

Pengumpulan Data:
Melakukan survey lapangan dan memberikan kuisioner tentang
stigma masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dimasa pandemi
covid 19 di kelurahan sananwetan kota blitar.
50

Penyajian data

Kesimpulan

Gambar3.1: Kerangka kerja Penelitian stigma pada masyarakat terhadap


pelayanan puskesmas selama pandemi covid 19.

DAFTAR PUSTAKA

Abudi, R., Mokodompis, Y., & Nurfadias, A. (2020). STIGMA TERHADAP


ORANG POSITIF COVID-19 Stigma Against Positive People Covid-19.
2(2). Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo

Aikins de-Graft , Ama (2006) Reframing applied disease stigma research: a


multilevel analysis of diabetes stigma in Ghana. Journal of community and
applied social psychology, 16 . pp. 426-441.

Ai, T., Yang, Z. and Xia, L. Correlation of Chest CT and RT-PCR Testing in
Coronavirus Disease. Radiology, 2020; 2019, pp. 1-8. doi:
10.14358/PERS.80.2.000.

ArboledArboleda-Florez, J. (2002) „What causes stigma?‟, World Psychiatry,


1(1), pp.25–26. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1489829/.a-Florez, 2002

Arikunto, S., 2009. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi 6.
Jakarta : Rineka Cipta.

Asnawi, Nur & Masyhuri. 2009. Metodologi Risert Manajemen Pemasaran. UIN.
Malang Press
51

Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial edisi kesepuluh. Jakarta :
Erlangga.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020. Supplement:


Community Containment Measures, Including Non Hospitasl Isolation and
Quarantine. https://www.cdc.gov/sars/guidance/d-quarantine/app3.html

Centers for Disease Controland Prevention (CDC). 2020. Coronavirus.


https://www.cdc.gov/coronavirus/index.html.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020. Symptom and
diagnosis.https://www.cdc.gov/coronavirus/about/symptoms.html.

Corman, V. M., Landt, O., Kaiser, M., Molenkamp, R., Meijer, A., Chu, D. K.,
Bleicker, T., Brünink, S., Schneider, J., Schmidt, M. L., Mulders, D. G.,
Haagmans, B. L., van der Veer, B., van den Brink, S., Wijsman, L., Goderski,
G., Romette, J.-L., Ellis, J., Zambon, M., … Drosten, C. (2020). Detection of
2019 novel coronavirus (2019-nCoV) by real-time RT-PCR.
Eurosurveillance, 25(3). https://doi.org/10.2807/1560-
7917.ES.2020.25.3.2000045\

Cui, J., Li, F., & Shi, Z.-L. (2019). Origin and evolution of pathogenic
coronaviruses. Nature Reviews Microbiology, 17(3), 181–192.
https://doi.org/10.1038/s41579-018-0118-9

Du Z, Xu X, Wu Y, Wang L, Cowling BJ, Meyers LA. Serial interval of COVID-


19 among publicly reported confirmed cases. Emerging infectious diseases.
2020;26(6).

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2020. Pedoman


Pencegahan dan pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) Revisi Ke-
3. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Hartono, B., 2010. Promosi Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit. Rineka
cipta. Jakarta.

Herlambang, Susatyo. (2016). Manajemen Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit.


Gosyen Publishing. Yogyakarta

https://id.m.Kompas.com.news/berita

Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor


hk.01.07/menkes/413/2020 tentang pedoman pencegahan dan pengendalian.
(2020). 2019.
52

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Peraturan menteri kesehatan


Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman PPI.
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Peraturan menteri kesehatan


Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan Krisis
Kesehatan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Kesiapsiagaan


Menghadapi MERSCoV di Indonesia.

Li, Q. et al. Early transmission dynamics in Wuhan, China, of novel coronavirus–


infected pneumonia. N. Engl. J. Med.
https://doi.org/10.1056/NEJMoa2001316 (2020).

Link BG, Phelan JC. 2001. Conceptualizing stigma. Annu. Rev. Sociol, 27, 363-
385.

Major, B., & O'Brien, L. T. (2005). The social psychology of stigma. Annual
review of psychology (56), 393.
doi:10.1146/annurev.psych.56.091103.070137

Nilam, Dai. F. (2020). Stigma Masyarakat Terhadap Pandemi Covid-19. 66–73.

Notoadmodjo, S. . 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT.


Rineka Cipta

Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu


keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Onder G, Rezza G, Brusaferro S. Case-Fatality Rate and Characteristics of


Patients Dying in Relation to COVID-19 in Italy. JAMA. Published online
March 23, 2020. doi:10.1001/jama.2020.4683

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2020, Pnumonia COVID-19


Diagnosis dan Penalaksaan di Indonsia. Jakarta

Rahman, A. A. (2013). Psikologi sosial integrasi pengetahuan wahyu dan


pengetahuan empirik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
53

Scheid, T. L., & Brown, T. N. (2010). A handbook for the study of mental health
social context, theories, and system second edition. New York: Cambridge
University Press.

Septiawan, L. F., Mulyani, S. and Susanti, D. A. (2018) „Stigma patient leader

in sumberarum village district dander district bojonegoro year 2017‟8(2),

pp. 27–32. Available at: http://ejournal.rajekwesi.ac.id/index.php/jurnal-

penelitiankesehatan/article/download/173/134.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Administrasi. Cetakan ke-19. Alfabeta.


Bandung

Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.

Sugiyono. (2013). Statistika untuk penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Supranto. 2006. Mengukur Tingkat Kepuasan Pelanggan atau Konsumen. Jakarta:


Rineka Cipta.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial edisi kedua
belas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

WHO. 2020. Social Stigma associated with COVID-19. A guide to preventing and
addressing social stigma. https://www.unicef.org/documents/social-stigma-
associated-coronavirus- disease-2019

Wilsher, E. J. (2011) The impact of Neglected Tropical Diseases, and their


associated stigma, on people’s basic capabilities. Durham University.
Available at: http://etheses.dur.ac.uk/3301/1/THESIS_FINALpdf.pdf.

Anda mungkin juga menyukai