Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sejak ditetapkan sebagai pandemi, terjadi penularan wabah antar manusia di

Wuhan, China pada 31 Desember 2019, infeksi coronavirus-2019 (COVID-19) yang

menyebabkan penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome – Coronavirus 2 (SARS-

Cov-2) menjadi pandemi global. Penularan virus ini ditengarai terkait dengan

penjualan daging yang berasal dari binatang liar atau penangkaran hewan di pasar

makanan laut (Cui, dkk., 2019).

Gejala umum yang didapati oleh pasien adalah demam, batuk dan mialgia atau

kelelahan. Gejala yang spesifik yaitu batuk berdahak, sakit kepala, hemoptisis (batuk

yang mengandung darah) dan diare. Komplikasi termasuk sindrom gangguan

pernapasan akut, cedera jantung akut dan infeksi bakteri sekunder (Huang, dkk.,

2020). Sampai saat ini, jumlah informasi tentang virus ini meningkat setiap hari dan

semakin banyak data tentang penularan dan rutenya, reservoir, masa inkubasi, gejala

dan hasil klinis, termasuk tingkat kelangsungan hidup yang dikumpulkan diseluruh

dunia (Corman, dkk., 2020).

Sebagai penyakit baru, banyak yang belum diketahui tentang pandemi COVID-

19. Manusia cenderung takut pada sesuatu yang belum diketahui dan lebih mudah

menghubungkan rasa takut pada “kelompok yang berbeda/ lain”. Inilah yang

menyebabkan munculnya stigma sosial dan diskriminasi terhadap etnis tertentu dan

1
2

juga orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan virus COVID-19, Tingginya

angka positif COVID-19 di Indonesia membuat munculnya stigma Negatif

Masyarakat kepada pasien yang terpapar covid, bahkan bukan hanya pasien yang

positif COVID-19 yang mendapatkan stigma negatif, tenaga medis yang merupakan

garda terdepan dalam penanganan COVID-19 pun mendapatkan stigma negatif ketika

pulang kerumah untuk bertemu keluarga bahkan sampai menolak jenazah petugas

medis yang gugur dalam tugas kemanusiaan ini. Semuanya itu terjadi karena

kekhawatiran yang berlebihan dimasyarakat (Kompas, 2020).

Stigma merupakan suatu istilah yang menggambarkan suatu keadaan atau

kondisi terkait sudut pandang atas sesuatu yang dianggap bernilai negatif. Stigma

(World Health Organization, 2020)(Arboleda-Florez, 2002) dipahami sebagai

konstruksi sosial dimana tanda membedakan aib sosial melekat pada orang lain untuk

mengidentifikasi dan mendevaluasi mereka. Stigma negatif pada tenaga kesehatan

akan menurunkan animo masyarakat untuk datang ke layanan kesehatan, sehingga

berdampak pada jumlah kunjungan di layanan kesehatan. Data dari artikel

penelitian(Dai, 2020) menyebutkan banyak terjadi stigma negatif pada masyarakat

terkait pasien positif covid-19 dan tenaga kesehatan, masyarakat lebih menjaga jarak

dan terkesan mengucilkan mereka yang erat kaitannya dengan covid-19.

Berdasarkan hasil survey dari data kunjungan di puskesmas Sananwetan tahun

2020 terdapat penurunan jumlah kunjungan masyarakat ke puskesmas sebanyak

21,89% dan pada puskesmas kepanjenkidul terjadi penurunan jumlah kunjungan

sebanyak 47,63% dibandingkan dengan jumlah kunjungan tahun 2019, dari data

2
3

penurunan jumah kunjungan masyarakat ke puskesmas tersebut dapat menyebabkan

berbagai dampak dibidang kesehatan salah satunya adalah tidak terpantaunya masalah

kesehatan yang terjadi pada masyarakat, kesadaran masyarakat akan pentingnya

masalah kesehatan semakin berkurang, oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui

stigma pada masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah stigma pada masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengidentifikasi stigma masyarakat terhadap pelayanan puskesmas

selama pandemi covid-19 di wilayah puskesmas Sananwetan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Memberikan informasi guna meningkatkan strategi pelayanan kesehatan yang

dapat meningkatkan minat masyarakat akan pentingnya masalah kesehatan.

1.4.2 Manfaat praktis

Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi petugas puskesmas untuk

memberikan edukasi kepada masyarakat tentang covid-19 dan cara

pencegahannya, serta mengubah stigma negatif terhadap pelayanan puskesmas

khusunya selama pandemi covid-19.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pandemi covid-19

2.1.1 Pengertian pandemi covid-19

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang

disebabkan oleh Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya

kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir

Desember 2019 (Li et al, 2020).

Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi, kasus tersebut diduga

berhubungan dengan Pasar Seafood di Wuhan. Pada tanggal 7 Januari 2020,

Pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa penyebab kasus tersebut

adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2 (Severe

Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus ini berasal dari famili yang

sama dengan virus penyebab SARS dan MERS. Meskipun berasal dari famili

yang sama, namun SARS-CoV-2 lebih menular dibandingkan dengan SARS-

CoV dan MERS-CoV (CDC China, 2020).

Proses penularan yang cepat membuat WHO menetapkan COVID-19

sebagai KKMMD/PHEIC pada tanggal 30 Januari 2020. Angka kematian kasar

bervariasi tergantung negara dan tergantung pada populasi yang terpengaruh,

perkembangan wabahnya disuatu negara, dan ketersediaan pemeriksaan

laboratorium.

4
5

Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan

adanya kasus COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang melaporkan

kasus pertama COVID-19 adalah Jepang dan Korea Selatan yang kemudian

berkembang ke negara-negara lain. 4

Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020, WHO melaporkan 10.185.374 kasus

konfirmasi dengan 503.862 kematian di seluruh dunia (CFR 4,9%). Negara yang

paling banyak melaporkan kasus konfirmasi adalah Amerika Serikat, Brazil,

Rusia, India, dan United Kingdom. Sementara, negara dengan angka kematian

paling tinggi adalah Amerika Serikat, United Kingdom, Italia, Perancis, dan

Spanyol. Peta sebaran COVID- 19 di dunia dapat dilihat pada gambar 1.1

Sumber: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Situation Report (World Health


Organization, 2020)
Gambar 1. 1. Peta Sebaran COVID-19

Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret

2020 dan jumlahnya terus bertambah hingga sekarang. Sampai dengan Desember

2020 Kementerian Kesehatan melaporkan 700.097 kasus konfirmasi COVID-19

dengan 20.847 kasus meninggal yang tersebar di 34 provinsi. Kasus paling

5
6

banyak terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia

0-5 tahun. Angka kematian tertinggi ditemukan pada pasien dengan usia 55-64

tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa

kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun

dan paling sedikit terjadi pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus

merupakan kasus yang ringan, 14% parah, dan 5% kritis.

Orang dengan usia lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan diketahui

lebih berisiko untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut juga

diduga berhubungan dengan tingkat kematian. CDC China melaporkan bahwa

CFR pada pasien dengan usia ≥ 80 tahun adalah 14,8%, sementara CFR

keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian di Italia,

di mana CFR pada usia ≥ 80 tahun adalah 20,2%, sementara CFR keseluruhan

adalah 7,2% (Onder G, Rezza G, Brusaferro S, 2020).

Tingkat kematian juga dipengaruhi oleh adanya penyakit bawaan pada

pasien. Tingkat 10,5% ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular,

7,3% pada pasien dengan diabetes, 6,3% pada pasien dengan penyakit

pernapasan kronis, 6% pada pasien dengan hipertensi, dan 5,6% pada pasien

dengan kanker

2.1.2 Etiologi

Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family

coronavirus. Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul

dan tidak bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada coronavirus yaitu:

6
7

protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S

(spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga

Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau

manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus,

gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6

jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E

(alphacoronavirus), HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63

(alphacoronavirus) HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV

(betacoronavirus), dan MERS-CoV (betacoronavirus).

Gambar 1. 2. Struktur Coronavirus

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus

betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan

berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini

masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan

wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini,

International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan nama

penyebab COVID-19 sebagai SARS-CoV-2.

7
8

Sumber: (CDC, 2020)

Gambar 1. 3. Gambaran Mikroskopis SARS-CoV-2

Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas

permukaan, tetapi Perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya.

Lamanya coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi yang

berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau kelembapan lingkungan). Penelitian

(Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat bertahan

selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam

pada tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain,

SARS-COV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas efektif dapat

dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, ethanol 75%,

ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan

khloroform (kecuali khlorheksidin).

2.1.3 Penularan

Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).

Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet

cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi

sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui. Masa inkubasi COVID-

8
9

19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari namun dapat mencapai

14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari pertama penyakit

disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi. Orang yang terinfeksi

dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam sebelum onset gejala

(presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah onset gejala.

Sebuah studi (Du Z et. al, 2020) melaporkan bahwa 12,6% menunjukkan

penularan presimptomatik. Penting untuk mengetahui periode presimptomatik

karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet atau kontak dengan benda

yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa terdapat kasus konfirmasi yang

tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko penularan sangat rendah akan

tetapi masih ada kemungkinan kecil untuk terjadi penularan.

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa

COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke

orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan partikel

berisi air dengan diameter >5-10 µm. Penularan droplet terjadi ketika seseorang

berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang memiliki gejala

pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet berisiko mengenai

mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata).

Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang

terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu,

penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang

yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda yang

digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer).

9
10

Dalam konteks COVID-19, transmisi melalui udara dapat dimungkinkan

dalam keadaan khusus dimana prosedur atau perawatan suportif yang

menghasilkan aerosol seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka,

pemberian pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah

pasien ke posisi tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif

non-invasif, trakeostomi, dan resusitasi kardiopulmoner. Masih diperlukan

penelitian lebih lanjut mengenai transmisi melalui udara.

2.1.4 Manifestasi Klinis

Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara

bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun dan

tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, rasa

lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri dan

sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan,

diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit.

Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40%

kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang

termasuk pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5% kasus

akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan dilaporkan sembuh

setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute Respiratory Distress

Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-organ, termasuk gagal

ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat kematian. Orang lanjut usia

(lansia) dan orang dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya seperti

10
11

tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan paru, diabetes dan kanker berisiko

lebih besar mengalami keparahan.

2.1.5 Diagnosis

WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien

yang terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode

deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan

RT- PCR.

2.1.6 Tata Laksana

Hingga saat ini, belum ada vaksin dan obat yang spesifik untuk mencegah

atau mengobati COVID-19. Pengobatan ditujukan sebagai terapi simptomatis dan

suportif. Ada beberapa kandidat vaksin dan obat tertentu yang masih diteliti

melalui uji klinis (KEMENKES, 2020)

2.2 Konsep Puskesmas

2.2.1 Definisi Puskesmas

Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang

merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina

peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh

dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan

pokok (Herlambang, 2016).

Puskesmas didirikan untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar,

menyeluruh, paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk yang tinggal di

wilayah kerja Puskesmas. Program dan upaya kesehatan yang diselenggarakan

11
12

oleh Puskesmas merupakan program pokok (public health essential) yang wajib

dilaksanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat

(Herlambang, 2016).

Menurut (Notoatmodjo, 2003 dalam Herlambang, 2016), fungsi Puskesmas

dalam melaksanakan kegiatan dapat mewujudkan empat misi pembangunan

kesehatan yaitu: menggerakkan pembangunan kecamatan yang berwawasan

pembangunan, mendorong kemandirian masyarakat dan keluarga untuk hidup

sehat, memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata

dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu,

kelompok dan masyarakat. Dari beberapa definisi Puskesmas dapat disimpulkan

bahwa Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang

merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina

peran serta masyarakat, untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar,

menyeluruh, paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk.

2.2.2 Fungsi Puskesmas

Puskesmas sesuai dengan fungsinya sebagai pusat pembangunan

berawawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, meyediakan dan

menyelenggarakan pelayanan yang bermutu dalam memenuhi kebutuhan

masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam rangka mencapai

tujuan pembangunan kesehatan nasional yaitu terwujudnya kesehatan yang

12
13

setinggi-tingginya bagi masyarakat. Fungsi Puskesmas dapat dikelompokkan

menjadi 3 (tiga), yaitu:

A. Sebagai pusat penggerak pembangunan berawawasan kesehatan

masyarakat di wilayah kerjanya melalui, sebagai berikut:

a. Upaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah

kerjanya agar menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan

kesehatan.

b. Keaktifan memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari

penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah kerjanya.

c. Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit

tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan.

B. Pusat pemberdayaan masyarakat

a. Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga, dan

masyarakat memiliki kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani

diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat serta menetapkan,

menyelenggarakan, dan memantau pelaksanaan program kesehatan

serta memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu

kepada masyarakat diwilayah kerjanya.

b. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan

rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada masayrakat dengan

ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan.

13
14

C. Pusat Pelayanan Pertama

Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara

menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan, melalui pelayanan

kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat (Herlambang,

2016).

2.2.3 Wilayah Kerja Puskesmas

Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari

kecamatan. Bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas

antara lain faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografis dan

keadaan infrastruktur lainnya. Pembagian wilayah kerja Puskesmas ditetapkan

oleh bupati dan waliKota, dengan saran teknis dari kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota. Sasaran penduduk yang dilayani Puskesmas rata-rata 30.000

penduduk setiap Puskesmas (Herlambang, 2016).

Untuk perluasan jangakauan pelayanan kesehatan, maka sebuah Puskesmas

ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih sederhana disebut dengan

Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling. Khusus untuk Kota besar dengan

jumlah penduduk satu juta atau lebih,

wilayah kerja Puskesmas dapat satu Kelurahan. Puskesmas di ibukota

kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan

Puskesmas pembantu yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi Puskesmas

Kelurahan dan mempunyai fungsi koordinasi. Dengan adanya undang-undang

14
15

otonomi daerah, setiap daerah tingkat II mempunyai kesempatan

mengembangkan Puskesmas sesuai rencana strategis bidang kesehatan sesuai

situasi dan kondisi daerah tingkat II (Herlambang, 2016).

2.2.4 Ruang Lingkup Pelayanan Puskesmas

Pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas adalah pelayanan

menyeluruh yang meliputi pelayanan sebagai berikut: kuratif (pengobatan),

preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan), rehabilitative

(pemulihan kesehatan) (Herlambang, 2016).

2.2.5 Program Pokok Puskesmas (Rais dan Suhadi, 2015)

Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas yakni

terwujudnya kecamatan sehat menuju Indonesia Sehat. Puskesmas bertanggung

jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan

masyarakat.

2.2.6 Upaya Kesehatan Perseorangan

Dalam menyelenggarakan Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP) pada

masa pandemi COVID-19, Puskesmas mengimplementasikan Surat Edaran

Menteri Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES/303/2020 tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi

Informasi dan Komunikasi dalam rangka Pencegahan Penyebaran Coronavirus

Disease 2019 (COVID-19). Puskesmas menyampaikan informasi terkait

15
16

pembatasan atau penundaan pelayanan UKP untuk mengurangi risiko penularan

COVID-19. Informasi tersebut dapat disampaikan secara tertulis menggunakan

media cetak atau media komunikasi lainnya. Puskesmas juga dapat

memanfaatkan teknologi informasi seperti pendaftaran daring sebagai bentuk

pembatasan pelayanan. (KEMENKES, 2020)

A. Pelayanan di Dalam Gedung

Pelayanan medik dilaksanakan sesuai dengan Standar Prosedur

Operasional (SPO) pelayanan yang berlaku. Jika diperlukan, pelayanan

medik dapat dimodifikasi untuk mencegah penularan COVID-19, antara lain

dengan menerapkan triase/ skrining terhadap setiap pengunjung yang datang,

mengubah alur pelayanan, menyediakan ruang pemeriksaan khusus ISPA,

mengubah posisi tempat duduk pasien pada saat pelayanan (jarak dengan

petugas diperlebar), menggunakan Kotak khusus bagi pasien yang

mendapatkan tindakan yang berpotensi menimbulkan aerosol yang

dilakukan disinfeksi sesuai pedoman setelah pemakaian, atau menggunakan

sekat pembatas transparan antara petugas kesehatan dan pasien.

1. Pelayanan rawat jalan

a. Jadwal pelayanan dimodifikasi berdasarkan sasaran program.

b. Tata laksana kasus mengacu pada standar operasinal pelayanan

(SOP) pelayanan dengan menerapkan prinsip triase, PPI dan

physical distancing.

16
17

c. Pembatasan pelayanan gigi dan mulut, dimana pelayanan yang

dapat diberikan meliputi pelayanan pada keadaan darurat seperti

nyeri yang tidak tertahan, gusi yang bengkak dan berpotensi

mengganggu jalan nafas, perdarahan yang tidak terkontrol dan

trauma pada gigi dan tulang wajah yang berpotensi mengganggu

jalan nafas. Pelayanan gigi dan mulut darurat yang menggunakan

scaler ultrasonik dan high speed air driven dilakukan dengan APD

lengkap sesuai dengan pedoman karena memicu terjadinya

aerosol.

d. Surat keterangan sehat dapat dikeluarkan berdasarkan hasil

pemeriksaan kondisi pasien secara umum pada saat pemeriksaan

dilakukan. Surat keterangan bebas COVID-19 tidak dapat

dikeluarkan mengingat adanya orang yang terinfeksi COVID-19

tapi tidak bergejala serta konfirmasi COVID-19 melalui RT-PCR

tidak dapat dilakukan di Puskesmas.

e. Pada kasus pasien dengan penyakit kardiovaskuler seperti gagal

jantung, hipertensi, atau penyakit jantung iskemik, pemberian

terapi antagonis RAAS dapat dilanjutkan untuk pasien yang

terindikasi menerima pengobatan tersebut sesuai rekomendasi dari

Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PERKI).

Pada kasus pasien dengan penyakit kardiovaskular yang terinfeksi

COVID-19, keputusan terkait obat-obatan perlu dikaji secara

17
18

individual, dengan mempertimbangkan status hemodinamik dan

presentasi klinis pasien.

2. Pelayanan dengan tempat tidur atau rawat inap dan persalinan

a. Pelayanan rawat inap diprioritaskan pada kasus-kasus non

COVID-19. Pemberian pelayanan rawat inap kasus non COVID-

19 harus memperhatikan prinsip Pencegahan dan Pengendalian

Infeksi (PPI) dan physical distancing.

b. Pelayanan rawat inap pada kasus terkait COVID-19 dilakukan

berdasarkan ketentuan yang berlaku sesuai dengan standar

pelayanan kasus COVID-19, dengan mempertimbangkan

ketersediaan sumber daya (SDM, sarana, prasarana, alat

kesehatan, BMHP, APD dan pembiayaan) dan persetujuan dinas

kesehatan daerah kabupaten/Kota setempat.

c. Persalinan normal tetap dapat dilakukan di Puskesmas bagi ibu

hamil dengan status BUKAN ODP, PDP atau terkonfirmasi

COVID-19 sesuai kondisi kebidanan menggunakan APD sesuai

pedoman. Ibu hamil berisiko atau berstatus ODP, PDP atau

terkonfirmasi COVID-19 dilakukan rujukan secara terencana

untuk bersalin di Fasyankes rujukan.

3. Pelayanan gawat darurat

Pelayanan gawat darurat tetap dilaksanakan sesuai standar pelayanan

yang berlaku dengan memperketat proses triase dan memperhatikan prinsip

18
19

PPI. Apabila tidak dapat ditentukan bahwa pasien memiliki potensi

COVID-19 maka pasien diperlakukan sebagai kasus COVID-19.

B. Pelayanan di Luar Gedung

1. Pelayanan dapat dilakukan dengan cara kunjungan langsung atau

melalui sistem informasi dan telekomunikasi dengan tetap

memperhatikan prinsip PPI, penggunaan APD sesuai pedoman serta

physical distancing.

2. Bila pemantauan kasus dilakukan dengan cara kunjungan langsung,

maka petugas Puskesmas dapat melakukan pemantauan progres hasil

PISPK ataupun pengumpulan data bila belum dilakukan sebelumnya.

3. Pelaksana pelayanan di luar gedung adalah petugas Kesehatan

Puskesmas, yang dapat juga melibatkan lintas sektor seperti RT/ RW,

kader dasawisma, atau jejaring Puskesmas atau bersama satgas

kecamatan/ desa/ Kelurahan/RT/ RW yang sudah dibentuk dengan

tupoksi yang jelas.

C. Pelayanan Farmasi

1. Pelayanan kefarmasian tetap dilaksanakan sesuai dengan standar

pelayanan kefarmasian dengan memperhatikan kewaspadaan standar

serta menerapkan physical distancing (mengatur jarak aman antar

pasien di ruang tunggu, mengurangi jumlah dan waktu antrian).

Apabila diperlukan, pemberian obat terhadap pasien dengan gejala

ISPA dapat dilakukan terpisah dari pasien non ISPA untuk mencegah

19
20

terjadinya transmisi. Kegiatan pelayanan diupayakan memanfaatkan

sistem informasi dan telekomunikasi.

2. Pengantaran obat dapat bekerjasama dengan pihak ketiga melalui jasa

pengantaran, dengan ketentuan bahwa jasa pengantaran wajib

menjamin keamanan dan mutu, menjaga kerahasiaan pasien,

memastikan obat dan BMHP sampai pada tujuan dan

mendokumentasikan serah terima obat dan BMHP.

3. Petugas farmasi berkoordinasi dengan program terkait melakukan

penyesuaian kebutuhan obat dan BMHP termasuk APD dan

Desinfektan serta bahan untuk pemeriksaan laboratorium COVID-19

(rapid test, kontainer steril, swab dacron atau flocked swab dan Virus

Transport Medium (VTM).

4. Untuk pelayanan farmasi bagi lansia, pasien PTM, dan penyakit kronis

lainnya, obat dapat diberikan untuk jangka waktu lebih dari 1 bulan,

hal ini mengacu pada Surat Edaran Direktur Jaminan Pelayanan

Kesehatan BPJS No. 14 Tahun 2020 tentang Pelayanan Kesehatan bagi

Peserta JKN Selama Masa Pencegahan COVID-19.

D. Pelayanan Laboratorium

1. Pelayanan laboratorium untuk kasus non COVID-19 tetap

dilaksanakan sesuai standar dengan memperhatikan PPI dan physical

distancing.

2. Pemeriksaan laboratorium terkait COVID-19 (termasuk pengelolaan

dan pengiriman spesimen) mengacu kepada pedoman yang berlaku,

20
21

dilakukan oleh tenaga kesehatan yang telah memperoleh peningkatan

kapasitas terkait pemeriksaan rapid test dan pengambilan swab.

3. Petugas laboratorium menghitung kebutuhan rapid test, kontainer

steril, swab dacron atau flocked swab dan Virus Transport Medium

(VTM) sesuai arahan dinas kesehatan daerah kabupaten/Kota dengan

memperhatikan prevalensi kasus COVID-19 di wilayah kerjanya.

4. Mengingat adanya cross reaction dengan flavavirus dan virus

unspecific lainnya (termasuk COVID-19) setiap pemeriksaan

Serological Dengue IgM positif pada keadaan pandemi COVID-19

harus dipikirkan kemungkinan infeksi COVID-19 sebagai differential

diagnosis terutama bila gejala klinis semakin berat.

E. Sistem Rujukan

Sistem rujukan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

dengan memperhatikan:

1. Merujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)

sesuai dengan kasus dan sistem rujukan yang telah ditetapkan oleh

dinas kesehatan daerah kabupaten/Kota sesuai peraturan yang berlaku.

2. Standar pelayanan:

a. Puskesmas menempatkan pasien yang akan dirujuk pada ruang

isolasi tersendiri yang terpisah.

b. Mendapat persetujuan dari pasien dan/ atau keluarganya.

c. Melakukan pertolongan pertama atau stabilisasi pra rujukan.

21
22

d. Melakukan komunikasi dengan penerima rujukan melalui

pemanfaatan aplikasi SISRUTE (https://sisrute.kemkes.go.id/) dan

memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima (tersedia

sarana dan prasarana serta kompetensi dan tersedia tenaga

kesehatan). Rujukan Suspek PDP melalui Sisrute mengacu pada

user manual sebagaimana lampiran buku Juknis ini.

e. Membuat surat pengantar rujukan dan resume klinis rangkap dua.

f. Transportasi untuk rujukan sesuai dengan kondisi pasien dan

ketersediaan sarana transportasi.

g. Pasien yang memerlukan asuhan medis terus menerus didampingi

oleh tenaga Kesehatan yang kompeten dan membawa formulir

monitoring khusus untuk kasus COVID-19 sesuai dengan Pedoman.

3. Pemantauan rujukan balik.

Rujukan dilaksanakan dengan menerapkan PPI, termasuk desinfeksi

ambulan.

F. Pemulasaraan Jenazah

1. Pemulasaraan jenazah kasus COVID-19 dilakukan mengacu pada

pedoman yang berlaku. Apabila Puskesmas diberikan tugas untuk

melaksanakan pemulasaraan jenazah kasus COVID-19, maka dinas

kesehatan daerah kabupaten/ Kota harus memastikan ketersediaan

sumber daya di Puskesmas seperti SDM yang telah memperoleh

peningkatan kapasitas, APD petugas, ruangan, peti jenazah dan bahan

habis pakai lainnya terkait pelaksanaan pemulasaraan. Puskesmas

22
23

melakukan koordinasi dengan gugus tugas COVID-19 kabupaten Kota

dan RS rujukan COVID-19 terdekat untuk pemulasaraan dan

pemakaman.

2. Surat keterangan kematian menggunakan formulir surat keterangan

kematian yang berlaku di Puskesmas sesuai hasil pemeriksaan dokter.

Penyebab kematian perlu dipastikan oleh dokter yang memeriksa

apakah terkait dengan COVID-19 atau tidak karena hal ini akan

memperngaruhi prosedur pemulasaran jenazah.

2.2.7 Upaya Kesehatan Promotif dan Preventif

Promosi kesehatan adalah suatu proses untuk memampukan masyarakat

dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka, dengan promosi

kesehatan kata lain adalah upaya yang dilakukan terhadap masyarakat

sehingga masyarakat mau dan mampu untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2012). Promosi kesehatan juga

merupakan revitalisasi pendidikan kesehatan pada masa lalu, dimana dalam

konsep promosi kesehatan bukan hanya proses penyadaran masyarakat dalam

hal pemberian dan peningkatan pengetahuan masyarakat dalam bidang

kesehatan saja, melainkan juga upaya untuk bagaimana mampu menjembatani

adanya perubahan Perilaku seseorang. Menurut Undang-Undang No 36 tahun

2009 upaya preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu

masalah kesehatan penyakit.

23
24

2.2.8 Promosi Kesehatan

Menurut (Hartono, 2010) banyak sekali tersedia peluang untuk

melaksanakan promosi kesehatan oleh puskesmas. Secara umum peluang itu

dapat dikategorikan sebagai berikut.

A. Dalam gedung

Dalam gedung puskesmas, promosi kesehatan dilaksanakan seiring

dengan pelayanan yang diselenggarakan puskesmas, sehingga dapat

dikatakan bahwa di dalam gedung terdapat peluang-peluang:

a. Promosi kesehatan di tempat pendaftaran, yaitu di tempat pasien/

klien harus melapor/ mendaftar sebelum mendapatkan pelayanan

kesehatan.

b. Promosi kesehatan dalam pelayanan medis di poliklinik, di

pelayanan KIA/ KB, dan di ruang perawatan (untuk puskesmas

dengan tempat perawatan).

c. Promosi kesehatan dalam pelayanan penunjang medis, yaitu di

kamar obat/ apotek dan di laboratorium.

d. Promosi kesehatan dalam pelayanan klinik-klinik khusus seperti

klinik sanitasi.

e. Promosi kesehatan di tempat pembayaran rawat, yaitu di ruang

dimana pasien rawat inap harus menyelesaikan pembayaran biaya

24
25

rawat inap, sebelum meninggalkan puskesmas (untuk puskesmas

dengan tempat perawatan).

f. Promosi kesehatan di lingkungan puskesmas, yaitu di tempat parkir,

halaman, dinding, kantin/ kios, tempat ibadah, dan pagar halaman

puskesmas.

B. Luar gedung

Banyak tatanan dimana puskesmas dapat melakukan promosi

kesehatan di masyarakat, yakni:

a. Tatanan rumah tangga, yaitu di pemukiman penduduk misalnya di

kompleks-kompleks perumahan, dasa wisma, rukun tetangga/rukun

warga dan lain-lain.

b. Tatanan sarana pendidikan, yaitu di sekolah-sekolah, madrasah,

pondok pesantren, kursus-kursus, perguruan tinggi dan lain-lain.

c. Tatanan tempat kerja, yaitu di pabrik-pabrik, kanto-kantor,

koperasi-koperasi, himpunan petani, pelelangan ikan, komplek

pertokoan dan lain-lain.

d. Tatanan tempat umum, yaitu di terminal, stasiun, dermaga/

pelabuhan, pasar, restauran, penginapan dan lain-lain (Hartono,

2010).

25
26

2.2.9 Tingkat-Tingkat Pencegahan Penyakit

Menurut (Pane, 2018) ada lima tingkat pencegahan penyakit yaitu sebagai

berikut:

1. Peningkatan kesehatan (Health promotion)

2. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit-penyakit tertentu

(General and spesifik protection)

3. Menegakkan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat

(Early diagnosis and prompt treatment)

4. Pembatasan kecacatan (Disability limitation)

5. Penyembuhan kesehatan (Rehabilitation)

Hal tersebut di atas dijabarkan dalam upaya-upaya pencegahan sebagai

berikut:

A. Upaya peningkatan kesehatan

Yaitu upaya pencegahan yang umumnya bertujuan meningkatkan

taraf kesehatan individu/keluarga/masyarakat, misalnya:

1. Penyuluhan kesehatan, perbaikan gizi, penyusunan pola gizi

memadai, pengawasan pertumbuhan anak balita dan usia remaja.

2. Perbaikan perumahan yang memenuhi syarat kesehatan.

3. Kesempatan memperoleh hiburan sehat yang memungkinkan

pengembangan kesehatan mental dan sosial.

26
27

4. Pendidikan kependudukan, nasihat perkawinan, pendidikan seks,

dan sebagainya.

5. Pengendalian faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

kesehatan.

B. Perlindungan umum dan khusus

Golongan masyarakat tertentu serta keadaan tertentu yang secara

langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kesehatan. Upaya-upaya

yang termasuk perlindungan umum dan khusus antara lain:

1. Peningkatan hygiene perorangan dan perlindungan terhadap

lingkungan yang tidak menguntungkan.

2. Perlindungan tenaga kerja terhadap setiap kemungkinan timbulnya

penyakit akibat kerja.

3. Perlindungan terhadap bahan-bahan beracun, korosif, alergen dan

sebagainya.

4. Perlindungan terhadap sumber-sumber pencemaran.

C. Upaya pencegahan sekunder

Pada pencegahan sekunder termasuk upaya yang bersifat diagnosis

dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt teratment) meliputi

mencari kasus sedini mungkin:

1. Melakukan general check up rutin pada setiap individu.

27
28

2. Melakukan berbagai survei (survei sekolah, rumah tangga) dalam

rangka pemberantasan penyakit menular.

3. Pengawasan obat-obatan, termasuk obat terlarang yang

diperdagangkan bebas, golongan narkotika, psikofarmaka dan obat-

obatan bius lainnya.

D. Upaya pencegahan tersier

Pencegahan tersier berupa pencegahan terjadinya komplikasi

penyakit yang lebih parah. Bertujuan menurunkan angka kejadian cacat

fisik maupun mental, meliputi upaya-upaya sebagai berikut:

1. Penyempurnaan cara pengobatan serta perawatan lanjut.

2. Rehabilitasi sempurna setelah penyembuhan penyakit (rehabilitasi

fisik dan mental).

3. Mengusahakan pengurangan beban sosial penderita, sehingga

mencegah kemungkinan terputusnya kelanjutan pengobatan serta

kelanjutan rehabilitasi dan sebagainya (Syafrudin, 2009).

2.3 Stigma

2.3.1 Pengertian stigma

Stigma merupakan suatu istilah yang menggambarkan suatu keadaan atau

kondisi terkait sudut pandang atas sesuatu yang dianggap bernilai negatif. Stigma

(Arboleda-Florez, 2002) dipahami sebagai konstruksi sosial di mana tanda

membedakan aib sosial melekat pada orang lain untuk mengidentifikasi dan

28
29

mendevaluasi mereka. Biasanya stigma ada pada beban penyakit (Wilsher,

2011).

Stigma sosial dalam konteks kesehatan adalah hubungan negatif antara

seseorang atau sekelompok orang yang berbagi karakteristik tertentu dan

penyakit tertentu (WHO, 2020).

Stigma yang terjadi dimasyarakat dapat menyebabkan: 1) Mendorong

orang untuk menyembunyikan penyakit untuk menghindari diskriminasi, 2)

Mencegah orang mencari perawatan kesehatan segera, dan 3) Mencegah mereka

untuk mengadopsi Perilaku sehat. Stigma dari beberapa penyakit dan kelainan

merupakan isu sentral dalam kesehatan masyarakat (Septiawan, Mulyani dan

Susanti, 2018).

Para penderita dari beberapa penyakit tertentu sering mendapatkan stigma

yang memberikan rasa rendah diri. Penderita kusta, TBC, diabetes, dan lain-lain

dianggap memiliki stigma negatif di masyarakat. Sehingga orang-orang di

sekitarnya cenderung menjauh dan tidak mau terlibat kontak dengan mereka

walaupun mereka sudah dinyatakan sembuh sekalipun.

Menurut (Aikins, 2006), terdapat konsensus bahwa penelitian stigma

mengambil dua jalur oposisi dan terisolasi yaitu:

1. Pendekatan mikro-sosial, dicirikan oleh kerja psikologis (sosial),

memeriksa stigma di tingkat individu dan antar-individu

2. Pendekatan makro-sosial, dilambangkan dengan karya sosiologis,

berkaitan dengan analisis tingkat kelompok (sosial / budaya) dan

struktural.

29
30

2.3.2 Mekanisme Stigma

Mekanisme stigma terbagi menjadi empat menurut (Major & O’Brien,

2005), yaitu:

A. Adanya perlakukan negatif dan diskriminasi secara langsung

Mekanisme stigma yang pertama yaitu adanya perlakukan negatif

dan diskriminasi secara langsung yang artinya terdapat pembatasan pada

akses kehidupan dan diskriminasi secara langsung sehingga berdampak

pada status sosial, psychological well-being dan kesehatan fisik. Stigma

dapat terjadi dibeberapa tempat seperti di sebuah toko, tempat kerja, setting

pendidikan, pelayanan kesehatan dan sistem peradilan pidana (Eshieman,

dalam Major & O’Brien, 2005).

B. Proses konfirmasi terhadap harapan atau self fullfilling prophecy

Stigma menjadi sebuah proses melalui konfirmasi harapan atau self

fullfilling prophecy (Jussim dkk., dalam Major & O’Brien, 2005). Persepsi

negatif, Stereotip dan harapan bisa mengarahkan individu untuk

berperilaku sesuai dengan stigma yang diberikan sehingga berpengaruh

pada pikiran, perasaan dan perilaku individu tersebut.

C. Munculnya Stereotip secara otomatis

Stigma dapat menjadi sebuah proses melalui aktivitas sehingga

memunculkan penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan presepsi

secara negatif pada suatu kelompok.

D. Terjadinya proses ancaman terhadap identitas dari individu

30
31

2.3.3 Tipe Stigma

Menurut (Scheid & Brown, 2010) mendefinisikan 3 tipe stigma sebagai

berikut:

1. Stigma yang berhubungan dengan cacat tubuh yang dimiliki oleh

seseorang.

2. Stigma yang berhubungan dengan karakter individu yang umum

diketahui seperti bekas narapidana, pasien rumah sakit jiwa dan lain

sebagainya.

3. Stigma yang berhubungan dengan ras, bangsa dan agama. Stigma

semacam ini ditransmisikan dari generasi ke generasi melalui keluarga.

2.3.4 Dimensi Stigma

Menurut (Scheid & Brown, 2010) komponen-komponen dari stigma

sebagai berikut:

1. Labeling

Labeling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan

berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggota masyarkat

tersebut (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010). Sebagian besar

perbedaan individu tidak dianggap relevan secara sosial, namun beberapa

perbedaan yang diberikan dapat menonjol secara sosial. Pemilihan

karakteristik yang menonjol dan penciptaan label bagi individu atau

kelompok merupakan sebuah prestasi sosial yang perlu dipahami sebagai

komponen penting dari stigma. Berdasarkan pemaparan diatas, Labeling

adalah penamaan berdasarkan perbedaan yang dimiliki kelompok tertentu.

31
32

2. Stereotip

Stereotip adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri

dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits

tertentu (Judd, Ryan & Parke dalam Baron & Byrne, 2004). Menurut

(Rahman, 2013) Stereotip merupakan keyakinan mengenai karakteristik

tertentu dari anggota kelompok tertentu. Stereotip adalah komponen

kognitif yang merupakan keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki

oleh orang-orang dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial

tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).

3. Separation

Separation adalah pemisahan “kita” (sebagai pihak yang tidak

memiliki stigma atau pemberi stigma) dengan “mereka” (kelompok yang

mendapatkan stigma). Hubungan label dengan atribut negatif akan menjadi

suatu pembenaran ketika individu yang dilabel percaya bahwa dirinya

memang berbeda sehingga hal tersebut dapat dikatakan bahwa proses

pemberian Stereotip berhasil (Link & Phelan dalam Scheid & Brown,

2010).

4. Diskriminasi

Diskriminasi adalah Perilaku yang merendahkan orang lain karena

keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013). Menurut (Taylor,

Peplau, dan Sears, 2009) diskriminasi adalah komponen behavioral yang

merupakan Perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut

adalah anggota dari kelompok tertentu.

32
33

Menurut (Link, Yang, Phelan & Collins, 2001) mengidentifikasi

dimensi dari stigma yang tediri dari enam dimensi, yaitu:

1) Concealability, menunjukkan atau melakukan deteksi tentang

karakteristik dari individu lain. Concealability bervariasi tergantung

pada sifat stigma tersebut. Individu yang mampu menyembunyikan

kondisinya, biasanya sering melakukan stigma tersebut.

2) Course, menunjukkan kondisi stigma reversibel atau ireversibel.

Individu yang mengalami kondisi ireversibel maka cenderung untuk

memperoleh sikap yang lebih negatif dari orang lain.

3) Disruptiveness, menunjukkan tanda-tanda yang diberikan oleh orang

lain kepada individu yang mengakibatkan ketegangan atau

menghalangi interaksi interpersonal.

4) Aesthetic, mencerminkan persepsi seseorang terkait dengan hal yang

menarik atau menyenangkan.

5) Origin, merujuk kepada bagaimana munculnya kondisi yang

menyebabkan stigma.

6) Peril, merujuk pada perasaan bahaya atau ancaman yang dialami

orang lain. Ancaman dalam pengertian ini dapat mengacu pada

bahaya fisik atau perasaan yang tidak nyaman.

2.3.5 Proses Stigma

Menurut (Major & O’Brien, 2005) stigma terjadi karena individu memiliki

beberapa atribut dan karakter dari identitas sosialnya namun akhirnya terjadi

devaluasi pada konteks tertentu. Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid &

33
34

Brown, 2010) stigma terjadi ketika muncul beberapa komponen yang saling

berkaitan. Adapun komponen-komponen tersebut, yaitu:

1. Komponen pertama adalah individu membedakan dan memberikan label

atas perbedaan yang dimiliki oleh individu tersebut.

2. Komponen kedua adalah munculnya keyakinan dari budaya yang dimiliki

individu terhadap karakteristik individu atau kelompok lain dan

menimbulkan Stereotip.

3. Komponen ketiga adalah menempatkan individu atau kelompok yang

telah diberikan label pada individu atau kelompok dalam kategori yang

berbeda sehingga terjadi Separation.

4. Komponen keempat adalah individu yang telah diberikan label

mengalami diskriminasi.

Pada awal tahun 2020, seiring dengan munculnya pandemi global COVID-19,

seakan-akan menambah deretan penyakit yang bisa menimbulkan stigma negatif

bagi penderita maupun keluarganya. COVID-19 termasuk penyakit yang bisa

menular dengan sangat cepat dan bisa mengakibatkan kematian. Terlebih lagi

saat ini COVID-19 belum ditemukan obatnya.

2.3.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi stigma terhadap pandemi covid-19

Beberapa faktor yang sering terjadi pada masyarakat terhadap pandemi

covid-19 menurut (Abudi, 2020).

A. Faktor Individu

Masyarakat Indonesia sering mendapat berita-berita hoax yang tidak

sesuai dengan kenyataannya. Banyak masyarakat dengan status suspek dan

34
35

status probable, yang harus melakukan isolasi diri dirumah membuat

lingkungan tempat tinggal menjadi resah. Apalagi ketika di awal kasus

Covid-19 semua orang takut untuk tertular penyakit ini.

Masyarakat dan pasien kurang informasi tentang Covid-19 sehingga

belum memahami bagaimana penularan dan proses penyembuhan dari

Covid-19 sehinga mudah untuk menyerap informasi yang tidak diketahui

benar atau salahnya hal ini memicu timbulnya stigma maupun diskriminasi.

Hal ini mempengaruhi kurangnya kesadaran dari setiap orang untuk

melakukan kegiatan positif seperti memberi dukungan atau semangat

kepada orang dengan status suspek, probable, dan status terkonfirmasi.

B. Faktor Interpersonal/ Keluarga dan Komunitas

Penyebab stigma negatif dengan status suspek, probable, dan status

terkonfirmasi Covid-19 hingga tenaga kesehatan pun mendapatkan stigma,

yaitu dari keluarganya sendiri yang memang sengaja mengucilkan mereka.

Mereka menganggap bahwa yang terkena Covid-19 dapat menularkan dan

apabila terkena virus Covid-19 tidak akan sembuh sepenuhnya hal itu

karena informasi yang didapatkan masyarakat tidak sepenuhnya benar.

Pengucilan bagi mereka dengan status suspek, probable, dan status

terkonfirmasi Covid-19 oleh tetangga sekitar tempat tinggal yang sangat

meresahkan, membuat tidak nyaman dan menimbulkan perasaan tidak

percaya diri meskipun telah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Mereka

dicap sebagai pembawa virus yang dapat menularkan pada orang lain.

35
36

C. Faktor Pelayanan kesehatan

Tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien

membuat warga yang tinggal di sekitar mereka menjadi takut. Perasaan

takut kembali mempengaruhi diskriminasi terhadap orang yang melakukan

kontak dengan pasien Covid-19. Selain itu, faktor lainnya adalah ketakutan

dari tenaga kesehatan akibat banyak dokter, perawat dan tenaga medis

lainnya yang meninggal.

Pada bulan September kemarin Indonesia memperingati peristiwa

100 dokter yang meninggal akibat Covid-19. Kehilangan teman sejawat

memang menyedihkan, terlebih lagi mereka meninggal disaat berjuang

untuk menangani pasien Covid-19. Para tenaga kesehatan tentu sangat

menanti terjadinya penurunan jumlah kasus baru.

Tak jarang para tenaga kesehatan memposting kegiatan mereka pada

akun sosial media di sela kesibukan dengan alat pelindung yang berlapis-

lapis. Masyarakat yang menyaksikan dapat memberikan bermacam-macam

pendapat. Ada yang kagum dengan perjuangan tenaga kesehatan dan ada

yang sedih melihat mereka letih bekerja namun angka kasus baru tetap

bertambah.

D. Faktor Sosial-Ekonomi

Perekonomian yang semakin menurun akibat pandemi ini

mengakibatkan masyarakat keluar rumah untuk mencari penghasilan guna

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi kebanyakan dari masyarakat

bekerja di sektor informal. Kemudian kurangnya rasa simpati, kesatuan dan

36
37

gotong royong masyarakat untuk bersama menghentikan rantai penularan

virus corona. Fenomena stigmatisasi akan terus bertambah seiring angka

kejadian kasus baru masih belum teratasi.

E. Faktor Budaya dan Lingkungan

Budaya buruk masyarakat yang tinggal di desa sering berkumpul

untuk bergosip masih berkembang dikalangan masyarakat, terutama

kalangan ibu rumah tangga. Kemudian kurangnya sosialisasi dilingkungan

tempat tinggal mengenai penyebaran Covid-19 sehingga tidak diterimanya

orang dengan kasus suspek, kasus probable dan kasus konfirmasi positif

untuk melakukan isolasi mandiri di lingkungan tempat tinggal.

2.3.7 Istilah Terkait COVID-19

COVID-19 sebagai penyakit yang baru saja muncul, masih berkembang

dengan pesat trend-nya. Bagi sebagian orang dengan imunitas yang baik,

COVID-19 dapat dilawan dengan sistem imun dalam tubuhnya sendiri. Karena

orang yang menderita COVID-19 atau terinfeksi virus corona ini baru bisa

diketahui setelah melakukan test tertentu.

Untuk membantu pemerintah dan pihak kesehatan menganalisis para

pasiennya, maka setidaknya ada 4 (empat) sebutan orang terkait COVID-19

yaitu, orang dalam pemantauan (ODP), orang tanpa gejala (OTG), positif

COVID-19. Orang dalam pemantauan (ODP) merupakan orang yang memenuhi

sejumlah kriteria: demam (suhu ≥ 38°C) atau riwayat demam, batuk atau pilek,

memiliki riwayat perjalanan ke negara yang memiliki transmisi lokal COVID-19,

tinggal di daerah dengan transmisi lokal di Indonesia dalam 14 hari terakhir

37
38

sebelum timbul gejala, namun tidak memiliki riwayat kontak dengan orang

positif COVID-19. Pasien dalam pengawasan (PDP) atau suspek merupakan

orang yang memenuhi keriteria: memiliki demam dan atau riwayat demam dan

satu dari gejala berikut batuk/ pilek/ sesak napas tanpa disertai pneumoni,

memiliki riwayat perjalanan/ bepergian ke negara yang memiliki transmisi lokal

COVID-19 atau memiliki riwayat perjalanan, tinggal di daerah dengan transmisi

lokal di Indonesia dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, atau riwayat

demam atau batuk/pilek tanpa disertai pneumonia, dan memiliki riwayat kontak

dengan kasus konfirmasi positif COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) adalah

orang-orang yang tidak menunjukkan gejala tetapi mempunyai risiko tertular dari

orang yang terkonfirmasi positif Covid-19. Kategori OTG juga memiliki riwayat

kontak erat, baik kontak fisik atau berada dalam ruangan dengan radius satu

meter dari pasien COVID-19. Dan kelompok yang paling ditakuti adalah “Positif

Corona” atau bisa juga disebut dengan “kasus konfirmasi”. Pada status ini,

seseorang yang terbukti positif terinfeksi “SARS-CoV-2” berdasarkan hasil

laboratorium.

Diagnosis COVID-19 harus dikonfirmasikan dengan reverse transcription

polymerase chain reaction (RT-PCR) atau sekuensing gen untuk spesimen

pernapasan atau darah, sebagai indikator kunci untuk rawat inap. Selanjutnya

bisa dilakukan CT scan dada yang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk

diagnosis COVID-19 dibandingkan dengan RT-PCR dari sampel swab di daerah

epidemi Cina (Ai, Yang and Xia, 2020).

38
39

2.3.8 Dampak sosial dari Stigma

Dampak sosial dari stigma masyarakat yaitu:

a. Mendorong orang untuk menyembunyikan penyakit yang diderita

untuk menghindari diskriminasi.

b. Mencegah orang mencari perawatan kesehatan segera ketika

mengalami gejala, mencegah mereka untuk mengembangkan

Perilaku sehat dan berkontribusi pada masalah kesehatan yang lebih

berat, penularan berkelanjutan dan kesulitan dalam mengendalikan

penyebaran virus corona.

Tindakan yang dapat dilakukan untuk melawan sikap stigmatisasi:

a. Sebarkan informasi yang benar tentang Covid -9 berdasarkan fakta

b. Memberikan dukungan kepada orang yang terstigma

c. Sebarkan pemberitaan yang dapat berperan mengurangi stigma

d. Memperkuat suara, gambar atau cerita dari orang yang telah sembuh

dari Covid-19 atau kelompok orang/keluarga yang selama ini telah

mendukung pasien untuk pulih

e. Meminta cerita dari berbagai macam kelompok etnis untuk

memberikan gambaran bahwa usaha mereka untuk sembuh semua

sama

f. Pelaporan media harus seimbang dan kontekstual, disebarkan

berdasarkan bukti informasi dan membantu memerangi rumor yang

mengarah pada stigmatisasi

39
40

2.4 Kerangka Konseptual

Faktor-faktor yang Individu memberikan 1. Stigma sosial Stigma masyarakat terhadap


mempengarauhi stigma label pelayanan puskesmas:
terhadap pandemi covid-19: 2. Stigma terhadap
a. Faktor Individu pelayanan kesehatan 1. Pandangan masyarakat
b. Faktor Interpersonal/ Muncul keyakinan bahwa jika datang ke
Keluarga dan terhadap pemikiran fasilitas kesehatan akan
Komunitas negatif 3. Dampak ekonomi terinfeksi penyakit
c. Faktor Pelayanan terhadap pandemi
kesehatan covid 19 2. Ketakutan masyarakat
Menempatkan Individu
d. Faktor Sosial- terhadap petugas
Ekonomi yang telah diberi label
pada kelompok berbeda kesehatan yang
e. Faktor Budaya dan
Lingkungan sehingga terjadi separation menangani covid

Individu yang telah diberi Dampak terhadap jumlah


label mengalami kunjungan ke fasilitas
kesehatan puskesmas
keterangan: : Diteliti diskriminasi

: Tidak diteliti

Gambar 3.1: Kerangka konsep stigma pada masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19

40
41

BAB 3

METODOLOGI PENILITIAN

3.1 Desain Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif

deskriptif eksplorasi. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat

deskriptif, gambar atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-

fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Sugiyono, 2013).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat untuk melakukan penelitian yaitu wilayah pelayanan Puskesmas

Sananwetan Kota Blitar, waktu yang digunakan mulai April 2021.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat Kelurahan

Sananwetan yaitu dengan jumlah 4.658 kepala keluarga.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian meliputi sejumlah elemen (responden) yang lebih besar

dari persyaratan minimal sebanyak 30 elemen/ responden. Menurut (Supranto,

2006), untuk menghitung jumlah sampel yang diperlukan:

41
42

Adapun penentuan sampel mengambil presisi ditetapkan sebesar 10%

dengan tingkat kepercayaan 90%, maka ukuran sampelnya dapat ditetapkan

sebagai berikut:

4.658
n= 2
4.658 ( 0 , 10 ) +1

4.658
n=
4.658(0 ,01)+1

4.658
n=
465 , 8+1

4.658
n=
466 , 8

n = 99,7 = 100

Dari hasil perhitungan tersebut maka jumlah sampel yang diambil adalah

100 orang dari jumlah keseluruhan 4.658 kepala keluarga di Kelurahan

Sananwetan tahun 2020.

42
43

3.3.3 Sampling

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Non

Probability Sampling. dengan metode Convenience Sampling/Accidental

Sampling.

Pemilihan sampel dalam penelitian ini yaitu seluruh masyarakat di

Kelurahan Sananwetan. Metode pengumpulan data menggunakan Kuesioner.

43
44

3.4 Definisi Operasional

Tabel 3.1: Definisi Operasional Penelitian Stigma Masyarakat Terhadap Pelayanan


Puskesmas Selama Pandemi Covid-19.
Variebel Definisi Indikator Instrumen Skala Skor
Penelitian Operasional
Stigma Presepsi Komponen stigma: Kuesione Ordinal Kusioner stigma
masyarakat negatif a. Labeling r masyarakat
terhadap masyarakat b. Strereotip terhadap
pelayanan tentang c. Sparation pelayanan
kesehatan pelayanan d. Diskriminasi puskesmas selama
kesehatan di pandemi covid-19
dalam gedung dalam prosentase
puskesmas 76-100% (ada
meliputi: stigma negatif
a. Pelayanan terhadap
rawat jalan pelayanan
b. Pelayanan puskesmas selama
rawat inap pandemi covid-19
dan yang timbul di
persalinan masyarakat)
c. Pelayanan 56-75%
gawat (masyarakat
darurat netral terhadap
pelayanan
puskesmas selama
pandemi covid-
19)
<55% (tidak ada
stigma negatif
terhadap
pelayanan
puskesmas selama
pandemi covid-19
yang timbul di
masyarakat)

44
45

3.5 Pengumpulan Data

3.5.1 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner stigma

terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19 melalui google formulir

yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan komponen-komponen stigma

menurut (Scheid & Brown, 2010).

Tabel 3.2: Kisi-kisi Kuesioner Stigma Masyarakat Terhadap Pelayanan


Puskesmas Selama Pandemi Covid-19.

No Indikator Nomor pertanyaan


1 Labeling 1, 7, 9, 10
2 Stereotip 4, 5, 6, 8
3 Sparation 2
4 Diskriminasi 3

Secara umum teknik dalam pemberian skor yang digunakan dalam

kuesioner penelitian ini adalah teknik skala likert, Untuk keperluan analisis

kuantitatif, kuesioner dalam penelitian ini terdiri dari 10 pertanyaan tentang

stigma masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19,

pertanyaan nomor 1-8 merupakan pertanyaan yang bersifat negatif, artinya

masyarakat menganggap bahwa ada stigma negatif di pelayanan kesehatan, dan

pertanyaan nomor 9-10 adalah pertanyaan yang bersifat positif, artinya

masyarakat menganggap bahwa tidak ada stigma negatif di pelayanan kesehatan,

45
46

jawaban dari setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner diberi nilai skor sebagai

berikut:

1. Pertanyaan yang berstigma negatif terhadap pelayanan kesehatan

SS : Sangat setuju skor 5

S : Setuju skor 4

RG : Ragu skor 3

TS : Tidak Setuju skor 2

STS : Sangat Tidak Setuju skor 1

2. Pertanyaan yang berstigma positif terhadap pelayanan kesehatan

SS : Sangat setuju skor 1

S : Setuju skor 2

RG : Ragu skor 3

TS : Tidak Setuju skor 4

STS : Sangat Tidak Setuju skor 5

Berdasarkan aturan normatif, untuk menentukan prosentase perolehan skor

yang dihitung maka peneliti menggunakan rumus sebagai berikut:

Sp
N= x 100
Sm

Keterangan:

N= nilai yang didapat

Sp= Skor perolehan

Sm= Skor maximal

46
47

Dari hasil penghitungan diatas kemudian diinterpretasikan sebagai berikut:

A. 76-100% (ada stigma negatif terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19 yang timbul dimasyarakat)

B. 56-75% (masyarakat netral terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19)

C. <55% (tidak ada stigma negatif terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19 yang timbul di masyarakat)

3.5.2 Prosedur Pengumpulan Data

Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari Stikes

Patria Husada Blitar yang ditujukan kepada:

a. Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Penanggulangan

Bencana Daerah Kota Blitar

b. Dinas Kesehatan Daerah Kota Blitar

c. Puskesmas Sananwetan Kota Blitar

d. Kelurahan Sananwetan Kota Blitar

2. Mendapatkan surat rekomendasi untuk memberikan izin penelitian

dari Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Penanggulangan Bencana

Daerah Kota Blitar

3. Membawa surat rekomendasi dari Badan Kesatuan Bangsa Politik

dan Perlindungan Masyarakat Kota Blitar kepada:

a. Dinas Kesehatan Kota Blitar

b. Puskesmas Sananwetan Kota Blitar

47
48

c. Kelurahan Sananwetan Kota Blitar untuk memperoleh izin

penelitian di wilayah Kelurahan Sananwetan.

4. Peneliti dibantu oleh 4 kader posyandu dalam menyebarkan

kuesioner melalui google formulir yang disebarkan melalui whatsapp

group, kemudian peneliti menjelaskan tata cara pengisian kuesioner

kepada kader posyandu, didalam kuesioner dijelaskan secara singkat

tentang penelitian, nama responden hanya ditulis dengan inisial, dan

kerahasiaan data responden terjamin, jika responden setuju,

responden tinggal memilih pernyataan “Ya”.

5. Masyarakat yang mengisi kuesioner dianggap sebagai sampel

penelitian kemudian hasil pengisian kuesioner tersebut diolah untuk

dijadikan penelitian.

3.6 Analisis Data

3.6.1 Analisis univariat

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis bersifat kualitatif yaitu

memberikan arti dan data yang ada sesuai kenyataan yang ada di lapangan

sehingga didapat kesimpulan atas masalah yang diteliti. Untuk mengetahui

bagaimana stigma masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi

covid-19. Data yang diperoleh melalui angket kemudian diuji dengan

menggunakan uji prosentase.

Uji prosentase akan diuji dengan menggunakan rumus: P=F/Nx100%=..%

48
49

Keterangan:

P = Prosentase

F = Jumlah yang diperoleh

N= Jumlah responden

Kategori prosentase adalah:

Prosentase Kategori Penilaian

a. 76-100% (ada stigma negatif terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi

covid-19 yang timbul dimasyarakat)

b. 56-75% (masyarakat netral terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi

covid-19)

c. <55% (tidak ada stigma negatif terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19 yang timbul di masyarakat)

Kemudian mendiskripsikan melalui distribusi frekuensi untuk menilai

prosentase pendapat dan gambaran yang diberikan responden.

3.7 Pengolahan Data

Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-langkah yang harus ditempuh,

diantaranya:

3.7.1 Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan

data atau setelah data terkumpul (Sugiyono, 2012).

3.7.2 Coding

49
50

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila

pengolahan dan analisis data menggunakan komputer. Biasanya dalam

pemberian kode dibuat juga daftar kode dan artinya dalam satu buku (code book)

untuk memudahkan kembali melihat lokasi dan suatu kode dari satu variabel

(Notoatmodjo, 2010).

3.7.3 Data Entry

Data entry adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke

dalam master table atau database komputer, kemudian membuat distribusi

frekuensi sederhana atau dengan membuat tabel kontigensi (Notoatmodjo, 2010).

3.7.4 Tabulating

Mengelompokkan data kedalam suatu data tertentu menurut sifat yang

dimiliki sesuai dengan tujuan penelitian (Notoatmodjo, 2010).

3.8 Etika Penelitian

3.8.1 Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden peneliti dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent

tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan memberikan lembar persetujuan

untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subyek mengerti

maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya (Sugiyono, 2012).

3.8.2 Tanpa Nama (anonymity)

Masalah etika keperawatan merupakan msalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

50
51

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan

kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan

(Sugiyono, 2012).

3.8.3 Kerahasiaan (confidentiality)

Masalah ini merupakan etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan

hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah. Semua informasi yang

telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data

tertentu yang akan diperoleh pada hasil riset (Sugiyono, 2012).

3.9 Kerangka Kerja

Tingkat pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat menentukan bentuk dasar

pemikiran baginya untuk bersikap dan berperilaku, cukup, atau kurang. Demikian

pula dengan stigma terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19 saat ini.

Terjadi peningkatan atau punurunan minat kunjungan ke pelayanan puskesmas dalam

permasalahan ini, tentu terkait erat dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang

dimiliki terhadap stigma pandemi covid-19 yang terjadi saat ini. Diharapkan dengan

tingkat pengetahuan yang semakin baik, semakin besar pula tingkat kunjungan

masyarakat ke pelayanan kesehatan puskesmas Sananwetan Kota Blitar khususnya.

51
52

Berdasarkan pada pemikiran di atas, maka kerangka kerja penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Populasi adalah seluruh masyarakat di Kelurahan Sananwetan dengan jumlah


4.658 kepala keluarga

Sampel:
Mengambil 100 orang yang dipilih secara acak untuk dijadikan sampel penelitian

Pengumpulan Data:
Melakukan survey lapangan dan memberikan kuisioner tentang stigma
masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid 19 melalui
google formulir di Kelurahan Sananwetan Kota Blitar.

Penyajian data

Kesimpulan

Gambar3.1: Kerangka kerja penelitian stigma masyarakat terhadap pelayanan


puskesmas selama pandemi covid-19.

52
53

53
54

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pada bab ini disajikan hasil penelitian dan pembahasan tentang stigma

masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19. Penelitian

dilakukan pada bulan april 2021. Pengumpulan data dilakukan pada 100 responden

yang bersedia mengisi kuisioner yang telah diberikan peneliti.

Penyajian dalam data ini yaitu data khusus dan data umum. Data khusus terdiri

atas data berdasarkan stigma masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19. Sedangkan data umum terdiri dari usia responden. Data–data hasil

penelitian tersebut disajikan dalam bentuk tabel.

4.2 Gambaran dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di wilayah kerja puskesmas sananwetan yaitu di

kelurahan sananwetan.

4.3 Karakteristik Responden

Penelitian stigma pada masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama

pandemi covid-19. Mulai dilaksanakan penelitian tanggal 1 sampai 15 April 2021,

dengan besar sampel 102 responden. Pemilihan responden dipilih secara acak, calon

responden yang bersedia mengisi kuisioner dipilih sebagai responden. Adapun hasil

penelitian disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

54
55

1. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan jenis kelamin Responden

Jenis Frekuensi Prosentase (%)


kelamin
Laki-laki 14 13.7
Perempuan 88 86.3
Jumlah 102 100

Hasil penelitian pada tabel 4.1 dijelaskan bahwa responden yang berjenis kelamin

perempuan berjumlah 88 orang (86,3%) dan responden yang berjenis kelamin laki-

laki berjumlah 14 orang (13,7%).

2. Karakteristik responden berdasarkan umur

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan umur Responden

Umur Frekuensi Prosentase (%)

<45 th 92 90.2
>45 th 10 9.8
Jumlah 102 100

Hasil penelitian pada tabel 4.2 dijelaskan bahwa sebagian besar responden yang

berumur dibawah 45 Tahun berjumlah 92 orang (90,1%) dan sebagian kecil

responden berumur lebih dari 45 tahun berjumlah 10 orang (9,8%).

55
56

4.4 Hasil Penelitian

1. Karakteristik responden berdasarkan komponen stigma masyarakat terhadap

pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19.

Pengukuran stigma pada masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi

covid-19 merupakan penilaian masyarakat terhadap pelayanan kesehatan khususnya

puskesmas selama pandemi covid-19. Dalam pembahasan ini peneliti menjelaskan

untuk menilai apakah terjadi stigma di masyarakat, maka peneliti memilih 4

komponen dari stigma yaitu Labeling, Sparation, Sparation, Diskriminasi.

Tabel 4.3 Analisis Data Frekuensi stigma masyarakat terhadap pelayanan puskesmas

selama pandemi covid-19 .

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation


Stigma masyarakat 102 54 100 78.88 8.399
Valid N (listwise) 102

Hasil analisa data univariat untuk mengetahui ada tidaknya stigma pada masyarakat

terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19 ditunjukkan pada tabel 4.6

menunjukkan nilai rata-rata dari pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah

78.88%, yang berarti bahwa masyarakat cenderung berstigma negatif terhadap

pelayanan puskesmas selama masa pandemi covid-19.

56
57

4.5 Pembahasan

Pada pembahasan ini dari hasil data umum akan diuraikan mengenai jenis

kelamin dan usia responden yang telah bersedia mengisi kuisioner yang telah

diberikan oleh peneliti. Hasil penelitian pada 102 responden yang bersedia mengisi

kuisioner yang dibagikan oleh peneliti pada tabel 4.1 adalah jenis kelamin laki-laki

dengan jumlah 14 (13.7%) responden, dan responden dengan jumlah terbanyak yaitu

responden dengan jenis kelamin perempuan yang berjumlah 88 (86.3%) reponden.

Sedangkan data destribusi menurut usia dengan rentan usia terbanyak adalah usia

dibawah 45 tahun dengan jumlah 92 (90.2%) responden dan usia diatas 45 tahun

dengan jumlah 10 (9.8%) responden

Teori (Rahman, 2013) Sparation merupakan keyakinan mengenai karakteristik

tertentu dari anggota kelompok tertentu. Sparation adalah komponen kognitif yang

merupakan keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam

suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).

Sparation adalah kerangka berpikir atau aspek kognitif yang terdiri dari pengetahuan

dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu (Judd, Ryan &

Parke dalam Baron & Byrne, 2004). Menurut (Rahman, 2013.

Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa responden perempuan

cenderung lebih memiliki stigma negatif, dan rentan umur kurang dari 45 tahun

cenderung lebih berfikiran negatif terhadap pelayanan kesehatan dimasa pandemi

covid-19.

57
58

4.5.1 Analisis Data Frekuensi stigma masyarakat terhadap pelayanan

puskesmas selama pandemi covid-19

Hasil analisa data univariat untuk mengetahui ada tidaknya stigma pada

masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19

ditunjukkan pada tabel 4.3 menunjukkan nilai rata-rata dari pertanyaan yang

diajukan kepada responden adalah 78.88%, yang berarti bahwa masyarakat

cenderung berstigma negatif terhadap pelayanan puskesmas selama masa

pandemi covid-19. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat

memiliki stigma negatif terhadap pelayanan kesehatan puskesmas khusunya,

karena masyarakat menganggap dapat tertular virus covid-19

4.6 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai keterbatasan penelitian yaitu waktu

penelitian yang sangat sempit sehingga rentang hasil penelitian yang didapat sangat

kecil. Maka diharapkan adanya penelitian selanjutnya dengan waktu yang lebih

panjang dengan mengontrol faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stigma

negatif terhadap pelayanan kesehatan dimasa pandemi covid-19.

58
59

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan meguraikan kesimpulan hasil dan saran pada penelitian.

Kesimpulan menjelaskan secara singkat hasil penelitian. Selain itu, pada bab ini juga

akan diuraikan saran-saran yang berkaitan dengan penelitian.

5.1 Kesimpulan Penelitian

Berdasarkan hasil pembahasan yang diuraikan sebelumnya penelitian yang

dilakukan pada masyarakat, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Hasil analisa data univariat untuk mengetahui ada tidaknya stigma masyarakat

terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19 menunjukkan nilai

rata-rata dari pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah 78.88%,

yang berarti bahwa masyarakat cenderung berstigma negatif terhadap

pelayanan puskesmas selama masa pandemi covid-19.

5.2 Saran Penelitian

1. Bagi Responden

Masyarakat dapat mengetahui komponen stigma agar masyarakat tidak

mudah termakan isu negatif yang beredar tentang covid-19.

59
60

2. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai

penanganan dan sebagai acuan agar dapat memberikan informasi yang edukatif

bagi masyarakat awam terkait virus covid-19.

3. Bagi Tempat Penelitian

Memberi informasi kepada tempat penelitian mengenai pandangan

masyarakat terhadap pelayanan puskesmas selama pandemi covid-19, agar

puskesmas dapat meningkatkan kembali minat masyarakat untuk berkunjung ke

puskesmas.

60
61

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, L. A. (2020). Stigma Terhadap Orang Positif. 2.


Abudi, R., Mokodompis, Y., & Magulili, A. N. (2020). STIGMA TERHADAP
ORANG POSITIF COVID-19 (Stigma Against Positive People Covid-19).
Jambura Journal of Health Sciences and Research, 2(2), 77–84.
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3582624

Aikins de-Graft , Ama (2006) Reframing applied disease stigma research: a


multilevel analysis of diabetes stigma in Ghana. Journal of community and
applied social psychology, 16 . pp. 426-441.

Ai, T., Yang, Z. and Xia, L. Correlation of Chest CT and RT-PCR Testing in
Coronavirus Disease. Radiology, 2020; 2019, pp. 1-8. doi:
10.14358/PERS.80.2.000.

ArboledArboleda-Florez, J. (2002) „What causes stigma?‟, World Psychiatry, 1(1),


pp.25–26. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1489829/.a-Florez, 2002

Arikunto, S., 2009. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi 6.
Jakarta: Rineka Cipta.

Asnawi, Nur & Masyhuri. 2009. Metodologi Risert Manajemen Pemasaran. UIN.
Malang Press

Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Psikologi sosial edisi kesepuluh. Jakarta: Erlangga.

Burhan, E., Susanto, A. D., Nasution, S. A., Ginanjar, E., Pitoyo, W., Susilo, A.,
Firdaus, I., Santoso, A., Arifa, D., Arif, S. K., Wulung, N. G. H. L.,
Adityaningsih, D., Syam, F., Rasmin, M., Rengganis, I., Sukrisman, L., Wiyono,
W. H., Isbaniah, F., Elhidsi, M., … Sambo, M. (n.d.). COVID-19.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020. Supplement: Community
Containment Measures, Including Non Hospitasl Isolation and Quarantine.
https://www.cdc.gov/sars/guidance/d-quarantine/app3.html

Corman, V. M., Landt, O., Kaiser, M., Molenkamp, R., Meijer, A., Chu, D. K.,
Bleicker, T., Brünink, S., Schneider, J., Schmidt, M. L., Mulders, D. G.,
Haagmans, B. L., van der Veer, B., van den Brink, S., Wijsman, L., Goderski,
G., Romette, J.-L., Ellis, J., Zambon, M., … Drosten, C. (2020). Detection of
2019 novel coronavirus (2019-nCoV) by real-time RT-PCR. Eurosurveillance,
25(3). https://doi.org/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.3.2000045\

61
62

Covid-, P. M. T. (n.d.). No Title. 14–16.


Cui, J., Li, F., & Shi, Z. L. (2019). Origin and evolution of pathogenic coronaviruses.
Nature Reviews Microbiology, 17(3), 181–192. https://doi.org/10.1038/s41579-
018-0118-9
Dai, N. F. (2020). Stigma Masyarakat Terhadap Pandemi Covid-19. Prodi Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia Timur, 66–73.

Du Z, Xu X, Wu Y, Wang L, Cowling BJ, Meyers LA. Serial interval of COVID-19


among publicly reported confirmed cases. Emerging infectious diseases.
2020;26(6).

Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. 2020. Pedoman


Pencegahan dan pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) Revisi Ke-3.
Kementerian Kesehatan RI. Jakarta

Hartono, B., 2010. Promosi Kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit. Rineka cipta.
Jakarta.

Herdiana, I. (2020). Stigma Saat Pandemi COVID-19 dan Tindakan Melawannya.


Psychology, 10.

Herlambang, Susatyo. (2016). Manajemen Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit.


Gosyen Publishing. Yogyakarta https://id.m.Kompas.com.news/berita

Ilmiah, J., Batanghari, U., & Putri, R. N. (2020). Indonesia dalam Menghadapi
Pandemi Covid-19. 20(2), 705–709. https://doi.org/10.33087/jiubj.v20i2.1010
Indahtianti, V. (2013). Hubungan Pelayanan Sirkulasi Dengan Pembentukan Citra
Perpustakaan (Studi Deskriptif di Perpustakaan Universitas Pendidikan
Indonesia). 25–41.
file:///C:/Users/USER/Downloads/S_KTP_0903939_CHAPTER3.pdf

KKementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Peraturan menteri kesehatan


Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman PPI. Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi (PPI).

Kemenkes. (2020). Pedoman kesiapan menghadapi COVID-19. Pedoman Kesiapan


Menghadapi COVID-19, 0–115.
Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor hk.01.07/menkes/413/2020
tentang pedoman pencegahan dan pengendalian. (2020). 2019.

Li, Q. et al. Early transmission dynamics in Wuhan, China, of novel coronavirus–


infected pneumonia. N. Engl. J. Med. https://doi.org/10.1056/NEJMoa2001316
(2020).

62
63

Link BG, Phelan JC. 2001. Conceptualizing stigma. Annu. Rev. Sociol, 27, 363-385.

Lucyati, A. (2020). Peningkatan Peran Puskesmas yang Fokus pada Pelayanan


Promotif-Preventif. Rakerkesnas Tahun 2020 “ Promotif Preventif Membentuk
SDM Unggul Indonesia Maju 2045 “, 3–4.No Title. (2017).

Major, B., & O'Brien, L. T. (2005). The social psychology of stigma. Annual review
of psychology (56), 393. doi:10.1146/annurev.psych.56.091103.070137

Nilam, Dai. F. (2020). Stigma Masyarakat Terhadap Pandemi Covid-19. 66–73.

Notoadmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.


Notoadmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.

Oktaviannoor, H., Herawati, A., Hidayah, N., Martina, M., & Hanafi, A. S. (2020).
Pengetahuan dan stigma masyarakat terhadap pasien Covid-19 dan tenaga
kesehatan di Kota Banjarmasin. Dinamika Kesehatan: Jurnal Kebidanan Dan
Keperawatan, 11(1), 98–109. https://doi.org/10.33859/dksm.v11i1.557
Onder G, Rezza G, Brusaferro S. Case-Fatality Rate and Characteristics of Patients
Dying in Relation to COVID-19 in Italy. JAMA. Published online March 23,
2020. doi:10.1001/jama.2020.4683
Pelayanan, D., Primer, K., Jenderal, D., Kesehatan, P., & Kesehatan, K. (2020).
pandemi COVID-19 dengan.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2020, Pnumonia COVID-19 Diagnosis


dan Penalaksaan di Indonsia. Jakarta

Rahman, A. A. (2013). Psikologi sosial integrasi pengetahuan wahyu dan


pengetahuan empirik. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Riadi, A. (2019). Pedoman dan Pencegahan Coronavirus (COVID- 19). Math


Didactic: Jurnal Pendidikan Matematika, 4, 1–214.
https://doi.org/10.33654/math.v4i0.299

63
64

Scheid, T. L., & Brown, T. N. (2010). A handbook for the study of mental health
social context, theories, and system second edition. New York: Cambridge
University Press.

Septiawan, L. F., Mulyani, S. and Susanti, D. A. (2018) „Stigma patient leader

in sumberarum village district dander district bojonegoro year 2017‟8(2),

pp. 27–32. Available at: http://ejournal.rajekwesi.ac.id/index.php/jurnal-

penelitiankesehatan/article/download/173/134.

Shaluhiyah, Z., Musthofa, S. B., & Widjanarko, B. (2014). Stigma Masyarakat


terhadap Orang dengan HIV / AIDS Public Stigma to People Living with HIV /
AIDS. 3, 333–339.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Administrasi. Cetakan ke-19. Alfabeta. Bandung

Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2013). Statistika untuk penelitian. Bandung: CV Alfabeta.

Supranto. 2006. Mengukur Tingkat Kepuasan Pelanggan atau Konsumen. Jakarta:


Rineka Cipta.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi sosial edisi kedua belas.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group

World Health Organization. (2020). Stigma Sosial Terkait Dengan COVID-19.


Unicef, 1–5.

Wilsher, E. J. (2011) The impact of Neglected Tropical Diseases, and their associated
stigma, on people’s basic capabilities. Durham University. Available at:
http://etheses.dur.ac.uk/3301/1/THESIS_FINALpdf.pdf.

Yamali, F. R., & Putri, R. N. (2020). Dampak Covid-19 Terhadap Ekonomi


Indonesia. Ekonomis: Journal of Economics and Business, 4(2), 384.
https://doi.org/10.33087/ekonomis.v4i2.179

64

Anda mungkin juga menyukai