Anda di halaman 1dari 11

DEFINISI

Pada awal 2020, dunia dikejutkan dengan mewabahnya pneumonia baru yang bermula dari
Wuhan, Provinsi Hubei yang kemudian menyebar dengan cepat ke lebih dari 190 negara dan
teritori. Wabah ini diberi nama coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang disebabkan oleh
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Penyebaran penyakit ini
telah memberikan dampak luas secara sosial dan ekonomi. Masih banyak kontroversi seputar
penyakit ini, termasuk dalam aspek penegakkan diagnosis, tata laksana, hingga pencegahan.
Oleh karena itu, kami melakukan telaah terhadap studi-studi terkait COVID-19 yang telah
banyak dipublikasikan sejak awal 2020 lalu sampai dengan akhir Maret 2020.
(http://jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/view/415)
Kasus Covid-19 di kalangan ibu hamil juga meningkat. Berbagai laporan ilmiah tentang
epidemiologi, gejala klinis, perjalanan penyakit, etiologi, mekanisme molekuler dan sitopatologi,
deteksi dini, diagnosis, pencegahan dan pengobatan dibanjiri media sosial dan ilmiah di seluruh
dunia. Berbagai Organisasi Profesi Kesehatan Dunia dari waktu ke waktu menerbitkan serangkaian
pedoman (guidelines) tentang pengelolaan penyakit ini selama kehamilan.

(http://www.obgynia.com/obgyn/index.php/obgynia/article/view/228)
Virus COVID- 19 bisa ditularkan dari manusia ke manusia lewat percikan batuk ataupun ludah. Bunda
berbadan dua mempunyai resiko lebih besar untuk terjadinya morbiditas dan mortalitas dibandingkan
dengan populasi universal. Buat itu dibutuhkan pengetahuan Bunda Berbadan dua terpaut penangkalan
COVID- 19. Tujuan riset ini ialah menganalisis pengetahuan serta perilaku bunda berbadan dua trimester
III terhadap penangkalan COVID- 19. Tata cara riset ini memakai pendekatan cross sectional. Populasi
dalam riset ini merupakan 64 bunda berbadan dua di Kota Bandung dengan ilustrasi bunda berbadan
dua yang berkunjung periksakan kehamilannya di Klinik Casa Medika. Instrumen riset berbentuk
kuesioner yang disebarkan lewat online. Persoalan meliputi 25 persoalan pengetahuan, 12 persoalan
perilaku serta 10 persoalan sikap penangkalan. Seluruh persoalan pada kuesioner sudah diuji validitas
serta reliabilitasnya. Hasil riset menampilkan kalau dari 64 responden, yang melaksanakan penangkalan
COVID- 19 dengan baik sebanyak( 56, 3%) responden, sebanyak( 62, 5%) responden berpengetahuan
baik serta sebanyak( 51, 6%) mempunyai perilaku positif terhadap penangkalan COVID- 19. Ada ikatan
signifikan antara pengetahuan dengan penangkalan COVID- 19 pada bunda berbadan dua. Perilaku tidak
menampilkan ikatan yang signifikan dengan sikap penangkalan COVID- 19. Buat bunda berbadan dua
dianjurkan supaya senantiasa mempertahankan perilaku positif terhadap penangkalan COVID- 19 dalam
kehidupan tiap hari sepanjang masa pandemi, supaya senantiasa bebas dari penularan COVID- 19.

(https://myjurnal.poltekkes-kdi.ac.id/index.php/HIJP/article/view/196)
ETIOLOGI
Penyebab COVID-19 adalah virus dalam keluarga coronavirus yang merupakan virus RNA
strain tunggal positif, berkapsul, tidak tersegmentasi. Virus ini mampu bertahan selama 72 jam
pada permukaan plastik, sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas, dapat diinaktivasi oleh
pelarut lemak seperti eter, etanol, dan desinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat,
dan kloroform (kecuali corhexidine).6 inkubasi periode COVID-19 rata-rata 5-6 hari, penularan
utama berasal dari orang yang bergejala ke orang yang berada dalam jarak dekat melalui
droplet.6 Penularan virus COVID-19

dapat melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan
permukaan yang digunakan oleh orang yang terinfeksi
SARS-CoV-2 memasuki epitel sistem pernapasan melalui reseptor angiotensin converting
enzyme 2 (ACE2) yang dominan di alveoli paru, tetapi juga ditemukan di organ lain seperti
mukosa saluran pencernaan dan rongga mulut. Ini menyebabkan vasodilatasi, antitrombotik, dan
anti-inflamasi. Pada kehamilan terjadi peningkatan reseptor ACE2, sehingga ibu hamil berisiko
lebih besar terinfeksi SARS-CoV-2.10 Pengikatan virus ke ACE2 mengurangi regulasi konversi
angiotensin II menjadi angiotensin I, sehingga terjadi peningkatan angiotensin II. Hal ini
menyebabkan vasokonstriksi dan disfungsi endotel. Kondisi ini menyerupai preeklamsia. Pada
keadaan yang lebih lanjut dapat menyebabkan gangguan pembekuan darah, trombosis, stroke,
dan emboli paru.11-13 Infeksi SARS-CoV-2 akan meningkatkan sitokin proinflamasi, seperti
interleukin IL-2, IL-7, IL-10, granulosit- faktor stimulan koloni, protein 10 yang dapat diinduksi
interferon-y, protein kemotraktan monosit 1, protein inflamasi makrofag 1 alfa, dan faktor
nekrosis tumor alfa.
Perubahan sistem kekebalan selama kehamilan diperlukan untuk perlindungan ibu dan janin dari
infeksi mikobakteri. Seiring dengan perubahan usia kehamilan, mekanisme respon imun adaptif
juga berubah. Trimester pertama disebut tahap proinflamasi untuk mendukung implantasi
embrio. Trimester kedua disebut tahap anti-inflamasi; Tahap ini diperlukan untuk menjaga
pertumbuhan janin dan pada trimester terakhir disebut tahap pro inflamasi karena mendekati
waktu persalinan. (http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/1190/886)

Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu: protein N (nukleokapsid), glikoprotein
M (membran), glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo
Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan
atau manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus, gammacoronavirus,
dan deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat
menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E (alphacoronavirus), HCoV-OC43 (betacoronavirus),
HCoVNL63 (alphacoronavirus) HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV (betacoronavirus),
dan MERS-CoV (betacoronavirus). Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk
dalam genus betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik, dan
berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam
subgenus yang sama dengan coronavirus yang menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004
silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses
(ICTV) memberikan nama penyebab COVID-19 sebagai SARS-CoV-2. Belum dipastikan berapa
lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas permukaan, tetapi perilaku virus ini
menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya. Lamanya coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi
kondisi-kondisi yang berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau kelembapan lingkungan).
Penelitian (Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa SARSCoV-2 dapat bertahan selama 72
jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang dari 4 jam pada tembaga dan kurang dari
24 jam pada kardus. Seperti virus corona lain, SARSCOV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet
dan panas. Efektif dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol
75%, ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan khloroform (kecuali
khlorheksidin

EPIDEMIOLOGI
COVID-19 merupakan salah satu virus dari kelompok coronavirus yang baru ditemukan pada
tahun 2019 dan menyebabkan gangguan sistem pernapasan. Kasus COVID-19 yang pertama kali
menyerang manusia ditemukan di Wuhan, Cina, dan dihubungkan dengan perdagangan pasar
hewan. Beberapa bukti sampai saat ini menunjukkan bahwa virus tersebut berasal dari hewan
atau zoonosis. Beberapa hewan yang diduga sebagai perantara dapat berupa hewan peliharaan
atau hewan liar seperti musang dan kelelawar yang sampai saat ini belum dapat diidentifikasi.5
Berdasarkan penelitian Center for Disease Control and Prevention (CDC) kasus lebih banyak
pada pria (51,4%) dengan rentang usia 30-79 tahun. Dari segi keparahan kasus, 81% merupakan
kasus ringan, 14% kasus berat, dan 5% kasus kritis. Beberapa risiko yang dapat meningkatkan
mortalitas seperti usia tua, memiliki penyakit penyerta (kardiovaskular, diabetes, asma,
hipertensi, kanker), dan obesitas.6 Pada kasus kehamilan, gejala yang ditimbulkan sama dengan
orang tidak hamil dan lebih sering ditemukan pada
kehamilan trimester III.7 Pada penelitian di New York, dari 215 wanita hamil yang menjalani
penapisan menjelang persalinan, 33 wanita (15%) menunjukkan hasil SARS-CoV-2 positif; dari
33 wanita tersebut, 87% kasus asimtomatik, sedangkan sisanya bergejala.5 Penelitian lain
mengemukakan bahwa 10 dari 14 wanita hamil positif COVID-19 asimtomatik dapat bergejala
selama proses persalinan atau postpartum.
(http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/1190/886)

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya kasus pneumonia yang tidak
diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir Desember 2019.2 Berdasarkan hasil
penyelidikan epodemiologi, kasus tersebut diduga berhubungan dengan Pasar Seafood di Wuhan.
Pada tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China bahwa penyebab kasus tersebut adalah
Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi nama SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory
Syndrome Coronavirus 2). Virus ini berasal dari famili yang sama dengan virus penyebab SARS
dan MERS. Meskipun berasal dari famili yang sama, namun SARS-CoV-2 lebih menular
dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS-CoV (CDC China, 2020). Proses penularan yang
cepat membuat WHO menetapkan COVID-19 sebagai KKMMD/PHEIC pada tanggal 30 Januari
2020. Angka kematian kasar bervariasi tergantung negara dan tergantung pada populasi yang
terpengaruh, perkembangan wabahnya di suatu negara, dan ketersediaan pemeriksaan
laboratorium. Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan adanya kasus
COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang melaporkan kasus pertama COVID-19
adalah Jepang dan Korea Selatan yang kemudian berkembang ke negara-negara lain. Sampai
dengan tanggal 23 Juli 2020, WHO melaporkan 14.971.036 kasus konfirmasi dengan 618.017
kematian di seluruh dunia (CFR 4,1%). Negara yang paling banyak melaporkan kasus konfirmasi
adalah Amerika Serikat, Brazil, Rusia, India, dan United Kingdom. Sementara, negara dengan
angka kematian paling tinggi adalah Amerika Serikat, United Kingdom, Italia, Perancis, dan
Spanyol.

Indonesia melaporkan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020. Kasus meningkat dan
menyebar dengan cepat di seluruh wilayah Indonesia. Sampai tanggal 23 Juli 2020 ada sebanyak
93.657 kasus yang terkonfirmasi COVID-19 dengan jumlah kematian 4.576 orang (CFR 4,9%)
yang tersebar di 34 provinsi. dan menjadi negara dengan peringkat 10 besar negara kasus
tertinggi positif konfirmasi COVID-19. Sebanyak 51,5% kasus terjadi pada laki-laki. Kasus
paling banyak terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan paling sedikit pada pada rentang usia
45-54 tahun dan paling sedikit pada usia 0-5 tahun. Angka kematian tertinggi ditemukan pada
pasien usia 55-64 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui
bahwa kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun dan
paling sedikit terjadi pada usia

DIAGNOSIS

DIAGNOSIS PADA IBU HAMIL


Skrining sebaiknya dilakukan saat kontak pertama kali dengan fasilitas kesehatan dengan
anamnesis termasuk riwayat kontak, pemeriksaan fisik peningkatan suhu dan laju napas,
pemeriksaan penunjang laboratorium dan pencitraan.32
Manifestasi klinis infeksi COVID-19 dalam kehamilan tidak berbeda dari infeksi virus pada
umumnya. Gejala meliputi demam (53%), batuk (42%), sesak napas (12%), nyeri kepala, dan
kehilangan penciuman atau anosmia.33 Gejala lebih berat ditemukan pada ibu hamil yang
memiliki faktor risiko seperti ras Asia, berkulit gelap, usia di atas 35 tahun, obesitas, dan
memiliki penyakit komorbiditas (gangguan sistem imun, diabetes, kanker, dan penyakit paru
kronik).34 Ras dan kulit gelap berkaitan dengan kurangnya pigmen melanin yang meningkatkan
risiko defisiensi vitamin D yang berkaitan dengan terjadinya sindrom distress pernapasan akut.35
Penentuan diagnosis COVID-19 dalam kehamilan sama dengan populasi wanita tidak hamil,
yaitu berdasarkan klinis dan pemeriksaan Reverse Transcription followed by Polymerase Chain
Reaction (RT-PCR) sebagai diagnosis baku.36 Pencitraan CT scan atau rontgen thorax sangat
berguna saat pasien masuk, sebanyak 93% kasus menunjukkan gambaran CT scan yang
spesifik.Pemeriksaan penunjang lain

seperti laboratorium, yaitu darah rutin, hitung jenis sel darah putih, C-reactive protein (CRP),
rapid test antibody juga direkomendasikan sebagai skrining. Peningkatan CRP dan penurunan
jumlah limfosit ditemukan pada wanita hamil dengan COVID-19.Perhitungan rasio neutrofil-
limfosit (NLR) mudah dilakukan dan dapat dipakai sebagai salah satu metode skrining, namun
nilainya sangat dipengaruhi kondisi seperti preeklampsia, HELLP sindrom, diabetes gestasional,
kehamilan ektopik, dan hiperemesis gravidarum. Sebagai metode skrining, nilai NR ditetapkan
pada wanita hamil sebesar 5,8.40
Penggolongan diagnosis tidak berbeda dengan orang tidak hamil, yaitu terbagi menjadi kasus
suspek, kasus probable, dan kasus konfirmasi. Kriteria kasus suspek yaitu orang dengan gejala
dan dalam 14 hari terakhir memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di wilayah transmisi lokal,
namun belum dibuktikan dengan hasil swab. Kasus probable yaitu kasus suspek, namun belum
ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus konfirmasi adalah seseorang yang
dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium
RT-PCR (http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/1190/886)

TATALAkSANA
Pandemi COVID- 19 tidak mengambil alih berartinya pengecekan antenatal. Tetapi dalam penerapannya,
pengecekan antenatal dimodifikasi dengan kurangi jumlah serta waktu kunjungan. Saran minimun
kunjungan asuhan antenatal sebanyak 6 kali yang dibagi jadi satu kali pada trimester awal, 2 kali pada
trimester kedua, serta 3 kali pada trimester ketiga. 40 Kunjungan harus awal dicoba pada trimester awal
buat skrining aspek resiko( HIV, sifilis, hepatitis B). Kunjungan pada trimester kedua pada 20- 24 minggu
serta 28 minggu; dikala kunjungan dicoba USG buat skrining preeklampsia ataupun kelainan bawaan.
Kunjungan pada trimester 3 dicoba oleh dokter buat persiapan persalinan. Saat sebelum kunjungan
hendak dicoba skrining COVID- 19. Bila terdapat indikasi semacam batuk, demam, perih tenggorok,
hingga kunjungan bisa ditunda sepanjang 7 hari. Bila terdapat riwayat kontak dengan permasalahan
positif hingga kunjungan bisa ditunda sepanjang 14 hari. 41 Pada perempuan berbadan dua dengan
COVID- 19 positif asimtomatik serta gejala

ringan, kunjungan bisa ditunda 14 hari; tetapi bila timbul kegawatan obstetri( persalinan prematur,
gerak bakal anak menurun, perdarahan, mual serta muntah) ataupun perburukan indikasi COVID- 19
semacam sesak serta syok, lekas ke rumah sakit. Gejala rawat inap apabila jenis ringan diiringi komorbid
ataupun jenis sedang- kritis. 41

Penindakan dikala perawatan meliputi oksigen dengan sasaran saturasi oksigen

95%, pemberian unfractionated heparin 5000 unit subkutan per 12 jam ataupun Low Molecular Weight
Heparin( LMWH) 40 miligram/ hari buat yang belum melahirkan dalam waktu dekat selaku penangkalan
tromboemboli serta pemberian antivirus, ialah remdesivir ataupun lopinavir ataupun ritonavir
dikombinasikan dengan interferon-ß. 42 Riset menampilkan remdesivir efisien menginhibisi replikasi
SARS- CoV- 2 secara in vitro serta tidak terdapat fakta dampak teratogenik. Pemberian klorokuin buat
menginhibisi proliferasi SARS- CoV- 2 dengan mekanisme mengusik glikosilasi halte ACE2. Klorokuin bisa
melewati sawar darah plasenta tetapi terkategori nyaman serta tidak teruji berhubungan dengan berat
lahir, perkembangan, serta pertumbuhan bakal anak. 37 Tidak hanya itu, kortikosteroid buat
pematangan paru masih bisa diberikan bila umur kehamilan 22 sampai kurang dari 34 minggu.
Pemberian kortikosteroid diiringi pemberian tokolitik semacam nifedipin. 43 Profilaksis dengan aspirin
dosis rendah diindikasikan pada perempuan yang mempunyai resiko preeklampsia. Obat- obat lain
semacam vit C, vit D, zink, serta antibiotik cocok klinis tiap- tiap bunda berbadan dua. 41

Terminasi dicoba cocok umur kehamilan serta gejala. Pada permasalahan ringan serta tidak terdapat
kegawatan obstetrik, terminasi bisa ditunda sampai penderita sembuh ataupun negatif COVID- 19. Pada
permasalahan berat dipertimbangkan terminasi, bila terminasi hendak membetulkan keadaan bunda
hingga dicoba pada umur kehamilan 32- 34 minggu. 44 Perihal ini sebab kehamilan hendak tingkatkan
mengkonsumsi oksigen, merendahkan kapasitas residual paru, serta tingkatkan tekanan diafragma yang
hendak memperberat indikasi pneumonia. 45 Pemilihan metode persalinan disesuaikan gejala obstetri.
Sectio cesarea( SC) dicoba cocok gejala ataupun bila terdapat perburukan keadaan bunda serta balita.
Persalinan pervaginam bukan kontraindikasi penderita konfirmasi serta bila penderita sudah

inpartu bisa dipertimbangkan percepatan proses persalinan, misalnya dengan induksi ataupun dorongan
perlengkapan semacam vakum serta forsep pada kala II. 40 Campuran induksi mekanik dengan Foley
kateter serta misoprostol 25 mcg ataupun oksitosin direkomendasikan. 40 Pembatasan cairan dengan
total cairan kurang dari 75 mL/ jam sebab resiko edema paru, penjepitan tali pusat dini buat kurangi
resiko penularan. 41 Perlengkapan penunjang lain berbentuk pemakaian barrier sepanjang
persalinan( chamber persalinan serta hepafilter). 46

Perawatan postpartum dengan pemantauan bunda serta balita. Bunda dengan permasalahan ringan
serta asimtomatik dievaluasi sampai 24 jam bila lahir otomatis pervaginam serta 48 jam bila secara SC.
Setelahnya penderita boleh keluar dari rumah sakit serta dilanjutkan dengan isolasi mandiri di rumah
ataupun tempat isolasi komunitas. 41 Pada permasalahan berat ataupun kritis dianjurkan perawatan
intensif. Balita yang lahir dari bunda permasalahan suspek ataupun permasalahan konfirmasi
menempuh swab PCR dalam 24 jam awal, bila hasil awal negatif dilanjutkan pengecekan ulang pada
umur 48 jam. 45 Inisiasi Menyusui Dini( IMD) dicoba bila klinis bunda serta balita normal. Balita yang
lahir dari bunda suspek ataupun konfirmasi COVID- 19 dirawat di ruang isolasi spesial tidak bersama
dengan balita lain. 42 Bagi World Health Organization serta CDC bunda serta balita boleh dirawat
gabung bila klinis bunda serta balita baik, keduanya permasalahan konfirmasi, mau menyusui tetapi
dengan senantiasa memakai perlengkapan pelindung diri( masker serta face shield).
(http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/viewFile/1190/886)

TATALAKSANA COVID 19 PADA KEHAMILAN


1. Terapi Medis dan Suportif
Ibu hamil dengan penyakit ringan namun mempunyai komorbiditas (misalnya, hipertensi
yang tidak terkontrol atau diabetes gestasional atau pregestasional, penyakit ginjal kronis,
penyakit kardiopulmoner kronis, keadaan imunosupresif) atau penyakit sedang sampai kritis
harus dirawat di rumah sakit.
Pasien rawat inap yang hamil dengan penyakit berat, yang mendapat terapi oksigen
disertai komorbiditas, atau dalam kondisi kritis harus dirawat oleh tim multi disiplin di rumah
sakit rujukan tingkat lanjut tipe B atau A dengan layanan obstetri dan unit perawatan intensif
orang dewasa (ICU). Status COVID-19 saja tidak selalu menjadi alasan untuk memindahkan
wanita hamil yang tidak kritis dengan dugaan atau konfirmasi COVID-19.
Klasifikasi keparahan penyakit menurut US National Institutes of Health, adalah sebagai
berikut:
 Ringan – setiap tanda dan gejala (misalnya, demam, batuk, sakit tenggorokan,
malaise, sakit kepala, nyeri otot) tanpa sesak napas, dyspnea, atau foto thoraks
abnormal.
 Sedang – adanya bukti gangguan saluran napas bawah dengan penilaian klinis
atau pencitraan dan saturasi oksigen (SpO2) > 93 % pada suhu kamar.
 Berat – frekuensi pernapasan > 30 kali per menit, SpO2 ≤ 93 persen pada suhu
kamar, rasio PaO2/FiO2 < 300, atau infiltrasi paru > 50 %.
 Penyakit kritis – kegagalan pernafasan, syok sepsis, dan/atau beberapa disfungsi
organ. Definisi lain dari keparahan (misalnya, berat = saturasi oksigen periferal
ibu [SpO2] ≤ 94 persen pada suhu, memerlukan oksigen tambahan, ventilasi
mekanis, atau oksigenasi membran ekstrorporeal)

2. Terapi Suportif Oksigen


Selama kehamilan, saturasi oksigen perifer ibu (SpO2) harus dijaga pada ≥95 persen,
yang melebihi kebutuhan pengiriman oksigen ibu, untuk kebutuhan janin. Jika SpO2 turun di
bawah 95 persen, analisis gas darah arteri (AGD) diperlukan untuk mengukur tekanan parsial
oksigen (PaO2): Maternal PaO2 > 70 mmHg diperlukan untuk mempertahankan gradien difusi
oksigen dari ibu ke sisi janin dari plasenta.
3. Profilaksis Tromboemboli Vena
Data tentang risiko tromboemboli pada COVID-19 walaupun masih terbatas namun
menunjukkan peningkatan risiko. American Society of Hematology, Society of Critical Care
Medicine, dan International Society of Thrombosis and Haemostasis merekomendasikan terapi
profilaksis tromboemboli vena secara rutin pada pasien yang dirawat di RS dengan COVID19
kecuali ada kontraindikasi (misalnya, perdarahan, trombositopenia berat).1 Semua ibu hamil
dengan COVID-19, harus dilakukan penilaian kemungkinan terjadinya tromboemboli vena
(VTE).3 Pemberian profilaksis VTE antepartum untuk yang tidak sakit parah atau kritis dan akan
segera melahirkan dapat diberikan unfractioned heparin 5000 unit secara subkutan setiap 12 jam.
Low molecular weight heparin 40 mg per hari untuk yang belum melahirkan atau yang
postpartum. Semua wanita hamil yang telah dirawat di rumah sakit dan telah terkonfirmasi
COVID-19 diberikan tromboprofilaksis selama 10 hari setelah keluar dari rumah sakit. Untuk
wanita dengan morbiditas persisten, pertimbangkan durasi tromboprofilaksis yang lebih lama.
Pertimbangkan untuk memperpanjang ini sampai 6 minggu pascapersalinan untuk wanita dengan
morbiditas berkelanjutan yang signifikan.

4. Deksametason
Deksametason 6 mg setiap hari selama 10 hari atau sampai keluar dari RS
direkomendasikan untuk pasien tidak hamil yang sakit parah yang menggunakan oksigen
tambahan atau dukungan ventilasi. Glukokortikoid juga dapat berperan dalam manajemen syok
refraktori pada pasien sakit kritis dengan COVID-19.
Pada ibu hamil yang memenuhi kriteria untuk penggunaan glukokortikoid untuk
perawatan ibu COVID-19 (seperti yang disebutkan di atas), dan berisiko lebih tinggi untuk
kelahiran preterm dalam tujuh hari, direkomendasikan memulai terapi dengan dosis biasa
dexamethasone (empat dosis 6 mg yang diberikan secara intramuskuler 12 jam terpisah) atau
betametason (dua dosis 12 mg yang diberikan secara intramuskuler 24 jam terpisah) untuk
menginduksi pematangan paru janin diikuti oleh prednisolon (40 mg per hari secara oral) ) atau
hidrokortison (80 mg intravena dua kali sehari) untuk menyelesaikan pemberin steroid ibu. Hal
ini untuk menghindari paparan deksametason atau betametason yang berkepanjangan terhadap
janin, yang melalui sawar plasenta dalam bentuk aktif secara metabolik dan mungkin memiliki
efek buruk (misalnya, peningkatan risiko kelahiran prematur, gangguan perkembangan saraf
jangka panjang).

5. Terapi Anti Viral


Remdesivir adalah analog nukleotida yang memiliki aktivitas melawan SARS-CoV-2
secara in vitro dan coronaviruses terkait (termasuk sindrom pernapasan akut parah [SARS] dan
Timur Tengah terkait sindrom pernapasan coronavirus [MERS-CoV]) baik secara in vitro dan
dalam penelitian hewan. Remdesivir mengikat RNA-dependent RNA polymerase virus,
menghambat replikasi virus melalui terminasi dini proses transkripsi RNA. Remdesivir belum
mendapat persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA). Namun dapat digunakan
dengan aturan khusus FDA (emergency use authorization) untuk penanganan orang dewasa,
anak-anak, dan ibu hamil yang terinfeksi Covid-19 dan saat ini sedang dalam uji klinis. Beberapa
data pendahuluan dari studi RCT multinasional (Adaptive COVID-19 Treatment Trial [ACTT])
menunjukkan bahwa pasien Covid-19 yang mendapat remdezivir memiliki waktu pulih secara
klinis lebih pendek dibandingkan yang mendapat plasebo. Namun data uji klinis untuk menilai
efektifitas remdesivir pada pasien dengan gejala ringan dan sedang masih sangat terbatas. Obat
ini telah digunakan tanpa laporan tentang toksisitas janin pada wanita hamil dengan Ebola dan
infeksi virus Margburg. Hampir semua uji acak dari obat selama pandemi COVID-19 telah
mengecualikan wanita hamil dan menyusui.
Karena persediaan remdesivir terbatas, direkomendasikan agar remdesivir diprioritaskan
untuk digunakan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 yang
membutuhkan oksigen tambahan tetapi yang tidak menggunakan oksigen aliran tinggi, ventilasi
noninvasif, ventilasi mekanis, atau oksigenasi membran ekstrakriloreal (ECMO). Penggunaan
selama 5 hari atau sampai keluar rumah sakit (AI). Jika pasien yang menggunakan oksigen
tambahan saat menerima remdesivir berkembang hingga membutuhkan oksigen aliran tinggi,
ventilasi mekanis noninvasif atau invasif, atau ECMO, maka pemberian remdesivir harus
dihentikan.
Lopinavir / Ritonavir adalah terapi kombinasi antiprotease dan merupakan rejimen obat
yang disukai karena diketahui relatif aman dalam kehamilan. Obat ini adalah inhibitor SARS-
CoV 3CLpro in vitro, dan protease ini juga memiliki ikatan kuat terhadap SARS-CoV 2. Dosis
yang dianjurkan adalah dua kapsul Lopinavir /Ritonavir (200 mg / 50 mg per kapsul) secara oral
bersama dengan nebulisasi inhalasi interferon-α (5 juta IU dalam 2 mL air steril untuk injeksi)
dua kali sehari. Obat ini sudah banyak digunakan dalam terapi ibu hamil dengan HIV, dan tidak
ada bukti teratogenesitas karena transfer plasentanya rendah. Namun data yang menunjukkan 40
efikasi leponavir/ritonavir pada pasien dengan Covid-19 sangat terbatas, dan kemungkinan dosis
yang lebih tinggi dibandingkan terapi HIV diperlukan untuk tatalaksana SARS-CoV 2.
Chloroquine dan hydroxychloroquine telah dievaluasi untuk pengobatan COVID-19
dalam uji klinis acak kecil, seri kasus, dan studi observasi. Hydrochloroquine (HCQ) adalah
analog chloroquine yang digunakan untuk terapi penyakit autoimun, seperti Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) dan Rheumatoid Arthritis (RA). Hydrochloroquine memiliki keuntungan
dengan efek toksisitas berat yang lebih ringan dan interaksi obat yang lebih sedikit dibandingkan
chloroquine. Hydrochloroquine adalah obat yang sedang dalam penelitian untuk terapi Covid-19
dan sampai saat ini belum terbukti efektif pada kehamilan. HCQ teramsuk aman dalam
kehamilan, sudah dibuktikan melalui terapi SLE dan penyakit rematik pada kehamilan. Selain itu
HCQ juga aman pada ibu menyusui karena kadar yang terdeteksi di air susu ibu sangat sedikit.
Direkomendasikan untuk tidak menggunakan klorokuin atau hydroxychloroquine untuk
pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji klinis (AII). Panel merekomendasikan untuk tidak
menggunakan klorokuin dosis tinggi (600 mg dua kali sehari selama 10 hari) untuk pengobatan
COVID-19 (AI). Direkomendasikan pula untuk tidak menggunakan hydroxychloroquine plus
azithromycin untuk pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji klinis (AIII).
Beberapa penelitian menunjukkan kejadian aritmia pada pasien covid-19 yang mendapat
terapi HCQ atau chloroquine, sering pada kombinasi dengan azithromycin dan obat lain yang
memperpanjang interval QTc, karena itu FDA merekomendasikan untuk tidak menggunakan
HCQ atau chloroquine untuk terapi covid-19 di luar rumah sakit atau uji klinis.

6. Antibiotik
Kerusakan paru-paru yang luas oleh virus secara substansial meningkatkan risiko
pneumonia bakteri sekunder. Antibiotik diindikasikan hanya jika ada bukti infeksi bakteri
sekunder. Namun, antibiotik harus diberikan tanpa penundaan jika sepsis bakteri dicurigai.
Ceftriaxone intravena dapat diberikan pada awalnya sambil menunggu hasil kultur dan
sensitivitas.

7. Imunomodulator
Plasma konvalesens
Mengikuti protokol transfusi plasma konvalesens. Sampai saat ini belum cukup data untuk
merekomendasikan penggunaan atau tidak dari terapi ini untuk tatalaksana Covid-19.
Interleukin-1 dan Interleukin-6 Inhibitor
Sampai saat ini belum cukup data untuk merekomendasikan penggunaan atau tidak Interleukin1
inhibitor (seperti anakinra) dan Interleukin-6 inhibitor (seperti sarilumab, siltuximab,
tocilizumab) untuk tatalaksana Covid-19. Sehingga pemakaiannya secara rutin untuk penanganan
Covid-19 pada kehamilan tidak dianjurkan, melainkan hanya untuk uji klinis. Dari beberapa obat
ini, hanya Tocilizumab yang digunakan sebagai obat off-label untuk ibu hamil dengan gejala
berat atau kritis dengan kecurigaan adanya sindroma aktivasi sitokin (cytokine storm) dengan
peningkatan kadar IL-6 sebagai upaya terakhir atau berdasar protokol penelitia.
1. https://www.uptodate.com/contents/coronavirus-disease-2019-covid-19-
pregnancyissues
2. https://www.covid19treatmentguidelines.nih.gov/overview/management-of-covid-
19/
3. RCOG.Corona virus infection in pregnancy. Information for Health Professionals.
Versi II:published 24 July 2020.
4. Liang H, Acharya G. Novel corona virus disease (COVID-19) in pregnancy: What
clinical recommendations to follow? Acta Obstet Gynecol Scand. 2020;99:439–442.
5. Api O, Sen C, Debska M, Saccone G, D'Antonia F, Volpe N, Yayla M, Esin S, Turan
S, Kurjak A, Chervenak F, 2020. Clinical management of coronavirus disease 2019
(COVID19) in pregnancy: recommendations of WAPM-World Association of
Perinatal Medicine. J. Perinatal. Med. 2020.)

Anda mungkin juga menyukai