Anda di halaman 1dari 86

ANALISIS SITUASI PENYAKIT GLOBAL SEBAGAI

PENDEKATAN PENGKAJIAN PROGRAM

disusun guna memenuhi tugas praktikum mata kuliah Penyakit Golabal


dosen pengampu: Hanny Rasni, M.Kep

oleh:
Kelompok II
Moh. Taufiqurrahman 102310101026
Naufal Alfarizi 112310101040
Afifatuz Zaqiyah 102310101089
Endah Novianti 112310101002
Dahlia Kurniawati U. 112310101005
Siti Muawanah 112310101008
Rizqi Fauziyah Rofif 112310101009
Haidar Dwi Pratiwi 112310101012
Dhara Ayu P. 112310101013
Frandita Eldiansyah 112310101014
Ria Rohmawati 112310101015
Melinda Puspitasari 112310101025
Ratna Lauranita A. 112310101029
Bima Satriya D 112310101030
Nofita Nurhidayanti 112310101044
Dewa Ayu Dwi CYS 112310101046
Dewa Ayu Eka CMS 112310101047

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2014

1
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (POLIO)

1. Perencanaan
Tampaknya di era globalisasi dimana mobilitas penduduk antarnegara
sangat tinggi dan cepat, muncul kesulitan dalam mengendalikan penyebaran
virus ini. Selain pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus disertai
dengan peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan. Penggunaan
jamban keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan, serta
memelihara kebersihan makanan merupakan upaya pencegahan dan
mengurangi risiko penularan virus polio yang kembali mengkhawatirkan ini.
Menjadi salah satu keprihatinan dunia bahwa kecacatan akibat polio menetap
tidak bisa disembuhkan. Penyembuhan yang bisa dilakukan sedikit sekali
karena tidak ada obat untuk menyembuhkan polio. Namun, sebenarnya orang
tua tidak perlu panik jika bayi dan anaknya telah memperoleh vaksinasi polio
lengkap.
Berikut beberapa langkah atau program yang dapat dilakukan dalam
pencegahan penyebaran penyakit polio, di antaranya adalah:
a. Eradikasi Polio
Dalam World Health Assembly tahun 1988 yang diikuti oleh sebagian
besar negara di seluruh penjuru dunia dibuat kesepakatan untuk
melakukan Eradikasi Polio (ERAPO) tahun 2000, artinya dunia bebas
polio tahun 2000. Program ERAPO yang pertama dilakukan adalah
dengan melakukan cakupan imunisasi yang menyeluruh.
b. PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
Selanjutnya, pemerintah mengadakan PIN pada tahun 1995, 1996 dan
1997. Imunisasi polio yang harus diberikan sesuai dengan rekomendasi
WHO yaitu diberikan sejak lahir sebanyak 4 kali dengan interval 6-8
minggu. Kemudian diulang pada saat usia 1,5 tahun; 5 tahun; dan usia 15
tahun. Upaya imunisasi yang berulang ini tentu tidak akan menimbulkan
dampak negatif. Bahkan merupakan satu-satunya program yang efisien

2
dan efektif dalam pencegahan penyakit polio. Semua bayi harus
diimunisasi lengkap sebelum umur 1 tahun.
c. Survailance Acute Flaccid Paralysis
Mencari penderita yang dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15
tahun. Mereka harus diperiksa tinjanya untuk memastikan apakah karena
polio atau bukan. Berbagai kasus yang diduga infeksi polio harus benar-
benar diperiksa di laboratorium karena bisa saja kelumpuhan yang terjadi
bukan karena polio.
d. Mopping Up
Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak usia di bawah 5 tahun di
daerah ditemukannya penderita polio tanpa melihat status imunisasi polio
sebelumnya.
Berikut beberapa tujuan dari dilakukannya program-program
pencegahan diatas:
a. Tujuan jangka penjang(2011-2015):
Mewujudkan Indonesia sehat bebas polio.
b. Tujuan jangka pendek (2011-2012):
1. Meningkatkan cakupan/sasaran imunisasi.

2. Meningkatkan kewaspadaan dini dan surveillens epidemiologi


terhadap kemungkinan terjadinya KLB.

3. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan kader posyandu dan


pelaksana imunisasi.

4. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan


pentingnya PHBS.

5. Meningkatkan kedisiplinan terhadap jadwal pelaksanaan imunisasi


kepada kader posyandu dan komitment masyarakat.

2. Pengorganisasian

3
Dalam pelaksanaan program-progran ditas tentunya membutuhkan suatu
pengorganisasian. Dimana dalam pengorganisasian ini kegiatan yang
dilaksanakan oleh pihak Dinas Kesehatan bekerjasama dengan organisasi-
organisasi kesehatan yang ada di masing-masing wilayah sasaran
kegiatan(Puskesma, Pustu, Polindes, dan lain-lain). Pengorganisasian ini
secara umum mencakup pengornisasian waktu, tempat, dan biaya.
a. Waktu
Waktu pelaksanaan kegiatan di tentukkan pada panitia-panitia pelaksana
masing-masing wilayah.
b. Tempat
Pelaksanaan bertempat di Balai pertemuan masyarakat yang disepakati
oleh panitia dan pemerintah setempat.
c. Biaya
Biaya yang digunakan pada kegiatan tersebut bersumber dari Pemerintah
Pusat yang lansung dialokasikan untuk daerah-daerah yang rawan kasus
Polio.

3. Pengarahan
Pengarahan merupakan elemen tindakan dari manajemen keperawatan,
aktivitas yang dilakukan dalam pengarahan adalah terjadinya proses
interpersonal keperawatan untuk mennyelesaikan sasaran keperawatan.
Peangarahan dapat sebagai perwujudan dari fungsi kepemimpinan yang
meliputi proses pendelegasian, pengawasan, koordinasi dan pengedalian
implementasi rencana organisasi. Fungsi pengarahan lebih menekankan pada
kemampuan manajer dalam mengarahkan dan menggerakkan semua sumber
daya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Pengarahan tersebut
dilakukan pada setiap organisasi yang termasuk dalam program yang telah di
tetapkan. Pengarahan yang diberikan kepada pelaksana program pencegahan
meliputi:
 Kegiatan 1: Mengadakan Imunisasi Massal (Mopping Op)
1. Pemberian informasi :

4
a.Pentingnya imunisasi
b. Penyakit polio dan pencegahannya
2. Pelaksanaan imunisasi
 Kegiatan 2: Kampanye “Pencegahan polio dengan imunisasi”
1. Penyebaran sticker kepada masyarakat
2. Pemasangan spanduk di tempat-tempat umum
 Kegiatan 3: Pelatihan kepada Kader Posyandu dan Pelaksana
Imunisasi
 Kegiatan 4: Penyuluhan kepada Masyarakat akan Pentingnya PHBS
dan Solusi Pencegahan Penyakit Polio.
 Kegiatan 5: Pelatihan Surveillens Epedemiologi.
 Kegiatan 6: Mengadakan Surveillens Epidemiologi secara Langsung
di Daerah yang Terkena Wabah Polio
1. Pengumpulan data
2. Pengolahan data
3. Analisis data (Identifikasi kasus/masalah)
4. Interpretasi data
 Kegiatan 7 : Sweeping terhadap Anak Balita yang Belum Diimunisasi
1. Mengunjungi rumah keluarga yang memiliki balita
2. Memberi penjelasan yang cukup kepada keluarga tentang imunisasi
3. Diskusi dan tanya jawab
4. Memberikan imunisasi secara langsung pada balita.

5. Pengawasan
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam pengawasan adalah monitoring
dan evaluasi (Marquis & Huston, 2006). Dimana monitoring dapat dilakukan
oleh pihak dalam maupun luar organisasi. Tahapan yang dapat dilakukan
dalam monitoring adalah: 1) memutuskan informasi apa yang akan
dikumpulkan; 2) mengumpulkan data dan menganalisisnya; 3) memberikan
umpan balik hasil monitoring (Gillies, 2000). Monitoring yang dilakukan
dalam pelaksanaan program tersebut yaitu:

5
a. Mencatat frekuensi kunjungan pada saat imunisasi untuk menentukan
efektifitas pelaksanaan kegiatan dan guna menjangkau keseluruhan
cakupan atau sasaran imunisasi apakah masih ada balita yang belum
diimunisasi.
b. Melihat dan mengawasi hambatan-hambatan yang terjadi dalam
pelaksanaan kegiatan secara keseluruhan yang nantinya menjadi cerminan
untuk kegiatan kedepan.
c. Mencatat keluhan-keluhan kader posyandu terhadap kegiatan pelatihan
dan keluhan-keluhan masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan agar
kedepannya dapat dilakukan perbaikan.
d. Melihat dan mengawasi perkembangan pelaksanaan Surveillens
Epidemiologi apakah berlangsung lancar atau terdapat kendala.
Sedangkan evaluasi dapat dilakukan  dengan melihat hasil atau data:
a. Frekuensi atau jumlah bayi yang diimunisasi
b. Pre-test dan post-test.
c. Data Survei sebelum imunisasi dan setelah imunisasi.
Adapun criteria keberhasilan pelakksanaan kegiatan atau program, yakni:
a. Jumlah balita yang diimunisasi berkisar 90 %
b. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman kader posyandu dan
pelaksana imunisasi menjadi 90 %
c. Peningkatan Pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan
pentingnya PHBS menjadi 75 %
d. Diperolehnya data yang akurat pada pelaksanaan Surveillens
Epidemiologi yang dapat dijadikan bahan perencanaan.

6
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (DEMAM BERDARAH)

1. Perencanaan
1.1 Analisis kejadian penyakit
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian
kabupaten/kota di Indonesia. Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar
Biasa) di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan, namun
sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011 tercatat jumlah kasus
relative menurun sebagaimana tampak pada grafik di bawah. DBD pertama kali
dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48 penderita dan
angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di seluruh
provinsi di Indonesia.
Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih
kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun
1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka
kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas,
menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada
tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian
(CFR: 0,80 %) (Anonim, 2011).

7
Berdasarkan rekapitulasi data kasus yang ada sampai tanggal 22 Agustus
2011 tercatat hanya Provinsi Bali yang masih memiliki angka kesakitan DBD
diatas target nasional yaitu 55 per 100.000 penduduk sebagaimana tampak pada
grafik dibawah ini (Anonim, 2011).

Sedangkan angka kematian akibat DBD di beberapa wilayah masih cukup tinggi

8
di atas target nasional 1 % antara lain Provinsi Gorontalo, Riau, Sulawesi Utara
Bengkulu, Lampung, NTT, Jambi, Jawa Timur, Sumatra Utara dan Sulawesi
Tengah (lihat grafik di bawah ini).

Salah satu pokok program kesehatan adalah pemberantasan penyakit


menular dengan salah satu sasaran yang hendak dicapai adalah menurunnya angka
kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi kurang dari 20 per 100.000
penduduk di suatu wilayah dan secara nasional 5 per 100.000 penduduk dengan
angka kematian (CFR) di Rumah Sakit menjadi di bawah 1% (Depkes RI, 2004).

1.2 Tujuan
Menurut pedoman pemberantasan DBD dari Direktorat Jendral
pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan pemukiman (Dirjen
P2M PLP), program pemberantasan DBD memiliki tujuan:
a. Tujuan Umum
Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap masyarakat agar terhindar dari penyakit DBD melalui terciptanya
masyarakat yang hidup dari perilaku dan lingkungan yang sehat dan terbatas dari
penyakit DBD serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu dan merata.
b. Tujuan Khusus

9
1) Menurunkan angka kesakitan DBD 53 per 100.000 penduduk tahun
2012.
2) Tercapainya angka bebas jentik (ABJ) ≥ 95%.
3) Menurunnya angka kesakitan DBD < 1%.
4) Daerah KLB < 5%.

1.3 Prioritas Aktivitas yang Akan Dilakukan (Anonim. 2011)


a. Pengendalian vektor dengan melaksanakan Gerakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) terutama pada kabupaten dan kota endemis tinggi, dengan
tetap meningkatkan kewaspadaan di setiap wilayah.
b. Peningkatan surveilans kasus & vektor
c. Peningkatan kemitraan dengan lintas sektor dan lintas program terkait,
diantaranya melalui wadah POKJANAL (Kelompok Kerja Operasional)
DBD, UKS, BMKG, kalangan Akademisi dan lain-lain.
d. Penanggulangan kasus / KLB
1) Manajemen kasus di UPK sesuai standar Setiap kasus yang dilaporkan
dari UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) maka dilakukan langkah –
langkah Penanggulangan kasus/fokus yaitu: Penyelidikan Epidemiologi
(PE), Fogging Fokus, Larvasidasi dan Penyuluhan.
2) Peningkatan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB antara lain
dengan peningkatan surveilans dan memenuhi ketersediaan logistik
(insektisida, larvasida, dll) (Anonim. 2011)
2. Pengorganisasian
Pengorganisasian untuk menjalankan kegiatan program pemberantasan
penyakit DBD meliputi (Anonim, 2012):
a. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan adalah satu elemen yang sangat penting dalam
sistem penanggulangan DBD yang telah dilaksanakan. Kegiatan ini bertujuan
untuk mencatat, menilai dan melaporkan hasil kegiatan penanggulangan DBD
yang telah dicapai.
b. Penyelidikan epidemiologi (PE)

10
Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita panas atau
yang 1 minggu yang lalu menderita panas dan pemeriksaan jentik di rumah
kasus DBD dan rumah sekitarnya dalam radius 100 m atau lebih kurang 20
rumah, serta di sekolah jika kasus DBD adalah anak sekolah. Hasil penyelidikan
epidemiologi ada 2 yaitu PE (+) atau PE (-) digunakan untuk menentukan
penanggulangan kasus.
Penyelidikan epidemiologi positif yaitu ditemukan 3 atau lebih kasus
demam tanpa sebab yang jelas dan atau ditemukan 1 kasus yang meninggal
karena sakit DBD dalam radius 100 m atau lebih kurang 20 rumah di sekitarnya,
sedangkan PE negatif adalah kecuali tersebut pada PE positif. Tujuan
penyelidikan epidemiologi adalah untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD
tambahan dan luasnya penyebaran serta mengetahui kemungkinan terjadinya
penyebarluasan penyebaran penyakit DBD lebih lanjut di lokasi tersebut.
c. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan serangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-
prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok atau
masyarakat secara keseluruhan dapat bebas dari penyakit DBD dengan cara
memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatannya. Penyuluhan bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan dan praktek mengenai
pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD. Penyuluhan dapat diberikan oleh
dokter, paramedis, atau kader terlatih mengenai penyakit DBD. Materinya
meliputi pemberantasan sarang nyamuk, abatisasi selektif, tanda dan gejala
penyakit DBD serta penanggulangan penyakit DBD di rumah.
d. Kemitraan
Kemitraan adalah suatu proses kerjasama yang melibatkan berbagai pihak
dan sektor dalam masyarakat termasuk kalangan swasta, organisasi profesi dan
organisasi sosial kemasyarakatan serta lembaga swadaya masyarakat dalam
penanggulangan penyakit DBD dalam rangka sosialisasi dan advokasi program
untuk memperoleh dukungan dalam rangka penanggulangan DBD.
e. Fogging fokus dan fogging masal

11
Merupakan serangkaian kegiatan dalam pemberantasan nyamuk Aedes
Aegypti dewasa untuk memutus rantai penularan. Fogging dilakukan pada
kasus-kasus dengan PE positif, 2 penderita positif atau lebih, ditemukan 3
penderita demam dalam radius 100 m dari tempat tinggal penderita DBD positif
atau ada 1 penderita DBD meninggal.
f. Pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
Sudah tidak diragukan lagi bahwa penyebaran wabah dengue disebabkan
oleh nyamuk Aedes Aegypti, terutama nyamuk betina. Nyamuk ini sangat pintar
menyembunyikan suaranya dengan membuat gerakan sayap yang halus sehingga
nyaris tak terdengar. Nyamuk betina ini menghisap darah manusia sebagai bahan
untuk mematangkan telurnya. Hingga kini belum diketahui mengapa hanya
darah manusia yang dikonsumsi nyamuk ini, tidak darah makhluk hidup
lainnya.Bila nyamuk jenis lain bertelur dan menetaskannya pada sarangnya,
Aedes Aegypti betina melakukannya di atas permukaan air. Karena dengan
demikianlah, telur-telurnya itu berpotensi menetas dan hidup. Telur menjadi
larva yang kemudian mencari makan dengan memangsa bakteri yang ada di air
tersebut. Karena itu tidak heran bila nyamuk penyebab demam berdarah ini
berkembang biak pada genangan air, terutama yang kotor.
Penyebaran wabah dengue dipengaruhi oleh ada tidaknya nyamuk Aedes
aegypti yang dipengaruhi lagi oleh ada tidaknya genangan air yang kotor.
Pemberantasan sarang nyamuk merupakan serangkaian kegiatan untuk
meningkatkan peran serta dan swadaya masyarakat dalam rangka memberantas
nyamuk Aedes aegypty. Tujuan kegiatan PSN adalah memberantas nyamuk
Aedes aegypti dengan menghilangkan tempat-tempat perindukan/sarang nyamuk
sehingga penularan penyakit DBD dapat dicegah atau dibatasi. Pelaksana PSN-
DBD adalah individu, keluarga atau masyarakat. Kegiatan dilakukan secara
berkesinambungan dan bisa secara massal/serentak.
Pertama adalah membunuh nyamuk, baik dengan pestisida maupun dengan
ovitrap, yakni dengan bak perangkap yang ditutup kasa. Penggunaan pestisida,
selain memerlukan biaya dan berbahaya pada manusia, juga akan memicu
munculnya nyamuk yang resistan, sehingga cara ini bukanlah cara yang efektif

12
untuk jangka panjang. Untuk jangka pendek, cara ini masih bisa digunakan. Cara
kedua adalah membuat nyamuk transgenik supaya tidak terinfeksi oleh virus
dengue. Jika nyamuk tidak bisa diinfeksi oleh virus dengue, otomatis manusia
tidak akan pernah terinfeksi oleh virus dengue. Cara ini digunakan oleh beberapa
peneliti untuk mengatasi masalah malaria. Namun, pengembangan cara ini masih
memerlukan puluhan tahun untuk bisa diaplikasikan. Cara yang ketiga adalah
pemberantasan sarang nyamuk yang efektif dan efisien melalui kegiatan 3-M,
yaitu menguras, menutup/menabur abate di tempat penampungan air, dan
mengubur/menyingkirkan barang-barang bekas yang memungkinkan dijadikan
tempat perindukan dan perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes Aegypti. Cara
inilah yang efektif yang bisa kita lakukan dengan kondisi kita saat ini.
Sasaran PSN-DBD adalah semua tempat yang dapat menjadi sarang
nyamuk, alami ataupun buatan, baik di dalam maupun di luar rumah, serta
tempat-tempat umum (termasuk bangunan kosong dan lahan tidur).

3. Pengarahan
Pengarahan merupakan aplikasi tindakan manajemen keperawatan.
Aktivitas yang dilakukan dalam pengarahan pada program ini adalah (Anonim,
2012):
a. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan dilakukan berdasarkan klasifikasi dan tipe
penderita. Semua unit pelaksana harus melakukan sistem dan pencatatan yang
baku. Pencatatan dan pelaporan dilakukan berjenjang dalam kurun waktu secara
harian, bulanan, triwulan, semester dan tahunan.
b. Penyelidikan epidemiologi (PE)
Penyelidikan epidemiologi dilakukan oleh petugas Puskesmas yang telah
dilatih meliputi pencarian kasus tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik
Aedes Aegypti. Kegiatan ini segera dilaksanakan setelah menerima laporan
kasus dalam waktu maksimal 3x24 jam. Hasilnya kemudian dicatat pada form
PE untuk digunakan sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus.
Langkah-langkah pelaksanaan PE adalah sebagai berikut:

13
1) Setelah menerima laporan adanya kasus/tersangka DBD, petugas
Puskesmas/ koordinator DBD segera mencatat dalam buku catatan harian
penderita penyakit DBD dan menyiapkan peralatan survei (tensimeter,
senter dan formulir PE) serta menyiapkan surat tugas;
2) Petugas Puskesmas melapor kepada lurah dan ketua RT/RW setempat
bahwa di wilayahnya terdapat penderita/tersangka penderita DBD dan akan
dilaksanakan PE. Lurah/kader akan memerintahkan ketua RW agar
pelaksanaan PE dapat didampingi oleh ketua RT, kader atau tenaga
masyarakat lainnya. Keluarga penderita/tersangka penderita DBD serta
keluarga lainnya juga membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan PE;
3) Petugas Puskesmas melakukan wawancara dengan keluarga untuk
mengetahui ada/tidaknya penderita panas saat itu dan dalam kurun waktu 1
minggu sebelumnya. Bila terdapat penderita panas tanpa sebab yang jelas,
saat itu akan dilakukan pemeriksaan terhadap adanya tanda perdarahan di
kulit dan uji tourniquet. Selanjutnya petugas melakukan pemeriksaan jentik
pada tempat penampungan air dan benda-benda lain yang dapat menjadi
tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes Aegypti, baik di dalam maupun
di luar rumah. Hasil seluruh pemeriksaan tersebut dicatat dalam formulir
PE;
4) Hasil PE dilaporkan kepada kepala Puskesmas dan selanjutnya kepala
Puskesmas akan melaporkan hasil PE dan rencana penanggulangan
seperlunya kepada lurah melalui camat. Berdasarkan hasil PE ini dilakukan
pelaksanaan penanggulangan seperlunya.
c. Penyuluhan
Penyuluhan diberikan oleh dokter, paramedis, atau kader terlatih mengenai
penyakit DBD. Materinya meliputi pemberantasan sarang nyamuk, abatisasi
selektif, tanda dan gejala penyakit DBD serta penanggulangan penyakit DBD di
rumah.
d. Kemitraan
Dalam kemitraan ini pemerintah dan masyarakat menunjukkan kepedulian
terhadap penanggulangan DBD di bawah koordinasi Pokja/Pokjanal DBD.

14
e. Fogging fokus dan fogging masal
Fogging dilakukan pada kasus-kasus dengan PE positif, 2 penderita positif
atau lebih, ditemukan 3 penderita demam dalam radius 100 m dari tempat
tinggal penderita DBD positif atau ada 1 penderita DBD meninggal. Fogging
fokus dilaksanakan 2 siklus dengan radius 200 m dalam selang waktu 1 minggu,
sedangkan fogging masal dilakukan 2 siklus di seluruh wilayah tersangka KLB
dengan selang waktu 1 bulan. Obat yang dipakai adalah Malathion 96 EC atau
Fendona 30 EC.
f. Pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
Pada dasarnya PSN-DBD adalah kegiatan dari, oleh, dan untuk
masyarakat, sehingga jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan merupakan
kesepakatan masyarakat setempat yang diorganisasikan oleh kelompok kerja
pemberantasan dan pencegahan DBD (POKJA DBD) dalam wadah
LKMD.Penggerakan masyarakat dalam kegiatan PSN-DBD dilakukan dengan
kerja sama lintas sektoral yang dikoordinasikan oleh kepala wilayah/daerah
setempat melalui wadah Pokjanal/Pokja DBD. Kegiatan ini dilakukan selama 1
bulan, pada saat sebelum perkiraan peningkatan jumlah kasus yang ditentukan
berdasarkan data kasus bulanan DBD dalam 3-5 tahun terakhir.
Pemberantasan sarang nyamuk dilakukan seminggu sekali, alasannya daur
hidup nyamuk Aedes aegypti adalah 8-10 hari. Jika PSN dilakukan seminggu
sekali maka rantai pertumbuhan dari mulai telur menjadi jentik atau dari jentik
menjadi kepompong dan dari kepompong menjadi dewasa atau dari dewasa
kembali bertelur akan terputus sebelu nyamuk dapat menyelesaikan daur
hidupnya.Sasaran penggerakan PSN-DBD di desa/kelurahan adalah semua
rumah keluarga, sehingga dilaksanakan PSN-DBD di rumah secara terus-
menerus. Kegiatan rutin penggerakan PSN-DBD di desa/kelurahan meliputi :
Pokok-Pokok Kegiatan Penggerakan PSN-DBD adalah:
1. Penggerakan PSN-DBD di desa/kelurahan;
a) Penyuluhan kelompok masyarakat oleh kader dan tokoh masyarakat antara
lain di Posyandu, tempat ibadah dan dalam pertemuan warga masyarakat,

15
b) Kerja bakti PSN-DBD secara serentak dan berkala untuk membersihkan
lingkungan termasuk tempat-tempat penampungan air untuk keperluan
sehari-hari,
c) Kunjungan rumah berkala sekurang-kurangnya setiap 3 bulan (untuk
penyuluhan dan pemeriksaan jentik) oleh tenaga yang telah dibimbing dan
dilatih. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengingatkan keluarga agar selalu
melaksanakan PSN-DBD.
2. Penggerakan PSN-DBD di sekolah dan tempat umum lainnya;
Pembinaan kegiatan PSN-DBD di sekolah diintegrasikan dalam proses
belajar-mengajar, baik melalui intra maupun ekstra kurikuler termasuk program
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Kegiatan penggerakan PSN-DBD di sekolah
dilaksanakan sesuai petunjuk teknis pelaksanaan PSN-DBD di sekolah melalui
UKS yang telah diedarkan Dirjen Dikdasmen Depdikbud melalui surat edaran
No. 81/TPUKS 00/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993. Pembinaan kegiatan PSN-
DBD di tempat umum lainnya dipadukan dalam program pemeliharaan
kesehatan lingkungan antara lain melalui pemeriksaan sanitasi tempat umum.
3. Penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat luas
Pemantauan gerakan PSN-DBD dilakukan secara berkala minimal setiap 3
bulan. Pemantauan dilaksanakan antara lain dengan pemeriksaan jentik berkala
(PJB) pada sejumlah sampel rumah, sekolah dan tempat umum lainnya.
Indikator keberhasilan PSN-DBD adalah angka bebas jentik (ABJ), yaitu
persentase rumah/bangunan yang tidak ditemukan jentik sebesar 95%. Mengenai
kegiatan PSN tersebut. Hasil pemeriksaan jentik dicatat dalam formulir PJB-1.
Kemudian minta tandatangan kepala keluarga/anggota keluarga pada formulir
tersebut. Formulir PJB-1 yang telah diisi disampaikan kepada pihak puskesmas
setiap hari. Dibuat rekapitulasi untuk memperoleh angka bebas jentik (ABJ) tiap
kelurahan. Untuk evaluasi/penilaian kualitas kegiatan pemeriksaan jentik berkala
digunakan format penilaian kualitas kegiatan PJB.
g. Peningkatan profesionalisme SDM

16
Dilakukan dengan pelatihan tatalaksana kasus, petugas laboratorium,
penanggung jawab program, supervisor, dan penyemprot. Selain itu juga
dilakukan survey vektor dan PSP (sosial budaya).

4. Pengawasan
Pengawasan merupakan aplikasi dari tindakan manajemen keperawatan.
Aktivitas yang terjadi selama pengawasan adalah proses pengevaluasian sejauh
mana implementasi rencana kegiatan yang telah dilakukan, pemberian masukan
atau feedback dan pembuatan prinsip-prinsip organisasi melalui pembuatan
standar. Evaluasi dari program ini adalah dengan menggunakan indikator untuk
mengukur keluaran sebagai keberhasilan dari suatu program, kemudian
membandingkan hasil pencapaian tiap-tiap indicator keluaran dengan tolok ukur
masing-masing. Hal ini berguna untuk mengidentifikasi masalah yang ada pada
pelaksanaan program. Sumber rujukan tolok ukur penilaian yang digunakan
adalah:
1. Pencegahan dan Pemberantasan DBD di Indonesia. Kemenkes RI Tahun
2011.
2. Standard Penanggulangan Penyakit DBD. Volume 2 Edisi I Tahun 2002.
3. Kebijakan Program P2-DBD Depkes RI Tahun 2004.
4. Buku Pedoman Kerja Puskesmas Jilid I Tahun 1999.
5. Stratifikasi Puskesmas.

17
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (MALARIA)

18
1.1. Perencanaan
1.1.1 Analisis Situasi
Gambaran Berdasar Laporan Rutin Program
Perencanaan dari program malaria ini didasarkan pada angka kejadian
penyakit malaria di Indonesia sejak tahun 2007 dapat dipantau dengan
menggunakan indikator Annual Parasite Incidence (API). Hal ini sehubungan
dengan kebijakan Kementerian Kesehatan mengenai penggunaan satu indikator
untuk mengukur angka kejadian malaria, yaitu dengan API. Pada tahun 2007
kebijakan ini mensyaratkan bahwa setiap kasus malaria harus dibuktikan dengan
hasil pemeriksaan sediaan darah dan semua kasus positif harus diobati dengan
pengobatan kombinasi berbasis artemisinin atau ACT (Artemisinin-based
Combination Therapies). Dapat dilihat pada grafik perkembangan kejadian
malaria dibawah.

19
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Gambar 4. API per 100.000 Penduduk per provinsi Tahun 2009
Situasi Malaria Berdasarkan Survei dan Penelitian
Prevalensi malaria berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun
2010. Prevalensi malaria berdasarkan Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk
point prevalence. Point prevalence menunjukan proporsi orang di populasi yang
terkena penyakit pada waktu tertentu. Data malaria dikumpulkan dengan dua cara
yaitu wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan pemeriksaan darah
menggunakan dipstick (Rapid Diagnostic Test/RDT). Besarnya sampel untuk
pemeriksaan RDT yang merupakan subsampel dari sampel Kesehatan masyarakat
adalah sejumlah 75.192 dan yang dapat dianalisis adalah 72.105 (95,9%).
Dari hasil Riskesdas diperoleh Point prevalence malaria adalah 0,6%, namun hal
ini tidak menggambarkan kondisi malaria secara keseluruhan dalam satu tahun
karena setiap wilayah dapat mempunyai masa-masa puncak (pola epidemiologi)
kasus yang berbeda-beda. Spesies parasit malaria yang paling banyak ditemukan
adalah Plasmodium falciparum (86,4%) sedangkan sisanya adalah Plasmodium
vivax dan campuran antara P. falciparum dan P. Vivax. Namun data sebaran
parasit perwilayah tidak diperoleh, sehingga tidak dapat diketahui jenis parasit
yang dominan per suatu wilayah.

20
Sumber : Riskesdas 2010
Sehingga, berdasarkan data diatas maka perlu adanya perencanaan terkait program
penatalaksanaan atau pemberantasan malaria.
1.1.2 tujuan jangka panjang (strategi)
program yang dijalankan pada pemberantasan malaria ini menggunakan
program upaya pemberantasan malaria dengan tujuan menurunkan angka
kejadian malaria di Indonesia.
1.1.3 tujuan jangka pendek (operasional)
Berdasarkan program yang sudah ada tujuan jangka pendek yang dapat
dilakukan yaitu dengan :
a. upaya pengendalian yang dilaporkan melalui laporan rutin program :
1. pemakaian kelambu
2. pengendalian vektor
3. diagnosa dan pengobatan
b. Upaya pengendalian yang dilaporkan dari Survei dan Penelitian
1. riskesdas 2010
2. survei khusus
1.2 Pengorganisasian
Untuk tiap-tiap program yang telah ada pengorganisasiannya dilakukan
sebagai berikut :

21
a. Pemakaian kelambu
Pemakaian kelambu adalah salah satu dari upaya pencegahan penularan
penyakit malaria. Melalui bantuan Global Fund (GF) komponen malaria
ronde 1 dan 6 telah dibagikan kelambu berinsektisida ke 16 provinsi.
Pelaksanaan dari pemakaian kelambu itu tentunya melalui
pengorganisasian oleh tenaga kesehatan.
b. Pengendalian Vektor
Untuk meminimalkan penularan malaria maka dilakukan upaya
pengendalian terhadap Anopheles sp sebagai nyamuk penular malaria.
Beberapa upaya pengendalian vektor yang dilakukan misalnya terhadap
jentik dilakukan larviciding (tindakan pengendalian larva Anopheles sp
secara kimiawi, menggunakan insektisida), biological control
( menggunakan ikan pemakan jentik), manajemen lingkungan, dan lain-
lain. Pengendalian terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan
penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS/ indoors residual
spraying) atau menggunakan kelambu berinsektisida. Namun perlu
ditekankan bahwa pengendalian vektor harus dilakukan secara REESAA
(rational, effective, efisien, suntainable, affective dan affordable)
mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas dan bionomik vektor
yang beraneka ragam sehingga pemetaan breeding places dan perilaku
nyamuk menjadi sangat penting. Untuk itu diperlukan peran pemerintah
daerah, seluruh stakeholders dan masyarakat dalam pengendalian vektor
malaria. Untuk pengorganisasian dilakukan oleh tenaga kesehatan
setempat. Dengan manajemen yang sudah ditetapkan dan disamakan.
c. Diagnosis dan Pengobatan
Selain pencegahan, diagnosis dan pengobatan malaria juga merupakan
upaya pengendalian malaria yang penting.
Pemeriksaan Sediaan Darah (SD)
Untuk diagnosis malaria salah satu yang perlu dilihat adalah pemeriksaan
sediaan darah. Untuk pemeriksaan sediaan darah dari tahun 2008 sampai
tahun 2010 terjadi peningkatan penderita malaria klinis yang diperiksa

22
sediaan darahnya. Pada tahun 2008 dari 1.912.698 malaria klinis diperiksa
sediaan darahnya hanya 921.599 (48,18%). Tahun 2009 dan 2010 malaria
klinis yang diperiksa sedian darahnya sudah di atas 50% (tahun 2009
sebesar 75,61%, tahun 2010 sebesar 64,44%). Pencapaian ini dapat
dipertahankan dan terus ditingkatkan dengan dukungan dari pemerintah
dan pemerintah daerah untuk menjaminan ketersediaan bahan/reagen
lab/mikroskospis malaria, kemampuan petugas kesehatan, jangkauan
pelayanan kesehatan dan ketersediaan obat malaria.
d. Riskesdas 2010
Salah satu upaya pengendalian penyakit malaria yang paling sering dan
masih menjadi andalan adalah pengobatan penderita. Pengobatan yang
efektif ini harus memenuhi tiga katagori, yaitu (1) jenis obat yang
diperoleh adalah ACT, (2) obat tersebut diperoleh penderita maksimum 24
jam setelah sakit dan (3) dosis obat diperoleh untuk 3 hari dan diminum
seluruhnya. Persentase penderita (semua umur) yang memenuhi
persyaratan tersebut adalah 33,7% dan untuk balita 22,3%.
e. Survei Khusus
Pada tahun 1973 ditemukan pertama kali adanya kasus resistensi
Plasmodium falciparum terhadap klorokuin di Kalimantan Timur. Sejak
itu kasus resistensi terhadap klorokuin yang dilaporkan semakin meluas.
Sejak tahun 1990, dilaporkan telah terjadi resistensi parasit P. falciparum
terhadap klorokuin dari seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu,
dilaporkan juga adanya kasus resistensi plasmodium terhadap Sulfadoksin-
Pirimethamin (SP) di beberapa tempat di Indonesia. Dari penelitian-
penelitian yang dilakukan oleh Litbangkes dan Lembaga Penelitian
lainnya telah ditemukan adanya resistensi plasmodium vivax terhadap
klorokuin di beberapa wilayah di Indonesia (Bangka, Papua). Keadaan ini
perlu dicegah dengan pengobatan yang tepat dan efektif sehingga dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria.
1.2 Pengarahan

23
Pengarahan merupakan elemen tindakan dari manajemen keperawatan.
Dimana berdasarkan program yang sudah dijelaskan diatas, setelah program
itu ditetapkan oleh kemenkes, selanjutnya diturunkan ke depkes provinsi,
dan depkes kabupaten atau kota. setelah melalui proses itu tentunya
kebijakan tadi akan diturunkan dan dijalankan di masing-masing puskesmas
yang ada di wilayah tersebut. Pengarahan yang dilakukan berdasarkan
program tersebut antara lain;
a. Pemakaian kelambu
Pemakaian kelambu adalah salah satu dari upaya pencegahan penularan
penyakit malaria, karena tidak semua kelambu itu bisa digunakan maka
perlu adanya pengarahan terkait apa saja bahan-bahan yang boleh dan
tidak boleh digunakan. Untuk tahu itu, maka perlu adanya hubungan
interpersonal dari bidang keperawatan ke bidang lainnya sehingga
harapannya pemakaian kelambu bisa menjadi cepat dan tepat sasaran.
Selain itu, perlu adanya sosialisasi dini dari penggunaan kelambu melalui
aktivitas kelompok sehingga persepsinya bisa sama antara satu individu
dan individu lainnya. Jadi disini peran perawat yang bermain yaitu peran
fasilitator, konselor, dan care provider. Jadi pendelegasian dilakukan oleh
pemimpin puskesmas dan para perawat yang ada di puskesmas tersebut.
Pegawasan dilakukan dengan melakukan kunjungan tiap minggu atau
diadakan kelas untuk membahas dari masalah yang ada. Koordinasi bisa
melalui rapat mini lokakarkaya atau rapat di puskesmas tiap bulannya.
b. Pengendalian Vektor
biological control ( menggunakan ikan pemakan jentik), manajemen
lingkungan, dan lain-lain. Pengendalian terhadap nyamuk dewasa
dilakukan dengan penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS/
indoors residual spraying) atau menggunakan kelambu berinsektisida.
Namun perlu ditekankan bahwa pengendalian vektor harus dilakukan
secara REESAA (rational, effective, efisien, suntainable, affective dan
affordable) mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas dan
bionomik vektor yang beraneka ragam sehingga pemetaan breeding places

24
dan perilaku nyamuk menjadi sangat penting. Untuk itu diperlukan peran
pemerintah daerah, seluruh stakeholders dan masyarakat dalam
pengendalian vektor malaria. Untuk pengorganisasian dilakukan oleh
tenaga kesehatan setempat. Untuk pengendalian programnya dilakukan
tentunya oleh tenaga kesehatan yang ada di wilayah tersebut sesuai dengan
urutan organisasi yang sudah ada (misalnya: dari dinkes kab/kota ke
puskesmas wilayah). Kemudian untuk pengawasan, cara yang dapat
dilakukan sama dengan pelaporan tiap minggu atau bulan dari evaluasi
tindakan yang sudah dilakukan terkait pemberantasan vektor malaria ini.
Koordinasi dilakukan dengan rapat bulanan yang ada di puskesmas
maupun pelaporan langsung dari tiap-tiap penanggung jawab dari masalah
malaria ini. Pengendalian yang dilakukan yaitu dengan melakukan atau
membuat rencana bulanan misalnya untuk kegiatan voging yang tujuannya
memberantas nyamuk anopheles. Dan kerjasama lintas sektor jika ingin
melakukan pemberantasan dengan cara biological.
c. Diagnosis dan Pengobatan
Diagnosis dan pengobatan malaria juga merupakan upaya pengendalian
malaria yang penting dimana disini bertujuan untuk mendeteteksi atau
mendiagnosa penderita lebih awal, setelah didiagnosa positif malaria
diharapkan nantinya penderita segera mendapat pengobatan guna
mencegah terjadinya dampak dan kondisi yang lebih parah. Pengendalian,
pengawasan, koordinasi dilakukan pada diagnosis dan pengobatan ini
sama dengan program sebelumnya tentunya saling koordinasi antara
pemerintah pusat dan daerah.
d. Riskesdas 2010
Pengendalian yang dilakukan yaitu pengobatan penderita dimana
pengobatan yang efektif ini harus memenuhi tiga katagori, yaitu jenis obat
yang diperoleh adalah ACT, obat tersebut diperoleh penderita maksimum
24 jam setelah sakit dan dosis obat diperoleh untuk 3 hari dan diminum
seluruhnya. tujuannya agar penderita cepat mendapat penanganan dan
mencegah terjadinya dampak atau kondisi yang lebih parah. pengawasan,

25
koordinasi dilakukan pada diagnosis dan pengobatan ini sama dengan
program sebelumnya tentunya saling koordinasi antara pemerintah pusat
dan daerah
e. Survei Khusus
Survei khusus ini dilakukan untuk membantu pelaporan dalam
penyebarluasan penyakit malaria, dimana dengan survei khusus dapat
membantu. Dengan mengetahui penyebarluasan penyakit malaria ini,
nantinya dapat malakukan pencegahan dengan pengobatan yang tepat dan
efektif sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat
penyakit malaria. pengawasan, koordinasi dilakukan pada diagnosis dan
pengobatan ini sama dengan program sebelumnya tentunya saling
koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.
1.4 Pengawasan
Pengawasan merupakan aplikasi dari tindakan manajemen keperawatan.
Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam riskesdas 2010, bila dibandingkan
dengan Riskesdas tahun 2007, cakupan pengobatan malaria lebih tinggi
(44,7%) dari cakupan pengobatan Riskesdas tahun 2010 (33,7%). Hal ini
karena pengobatan menurut Riskesdas tahun 2010 adalah pengobatan yang
efektif sesuai kategori yang telah disebutkan diatas, sedangkan pada Riskesdas
tahun 2007 tidak dipersyaratkan. Dari data tersebut, maka evaluasi yang
dilakukan terkait data tersebut didapatkan adanya penurunan angka kejadian
malaria. Berdasarkan hasil tersebut maka, didapatkan hasil bahwasannya
terdapat penurunan angka kejadian malaria. Namun, perlu diperhatikan lagi
bahwa, letak dari masing-masing wilayah di indonesia yang berbeda.
Sehingga nantinya jika hendak dilakukan evaluasi program maka hendaknya
dilakukan analisis situasi lagi sehingga didapatkan hasil yang optimal. Selain
itu pertimbangan lain yang perlu diperhatikan yaitu adanya keselarasan antara
SDM dan SDA sehingga program yang sudah disusun tidak menjadi masalah
hanya karena SDM dan SDA kurang. Selain itu, perlu adanya pemenuhan
antara kuantitas dan kualitas yang baik pula.

26
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (KUSTA)
Penyakit Kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih
merupakan masalah kesehatan yang sangat kompleks di Indonesia. Penyakit Kusta
atau sering disebut penyakit Lepra disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
Leprae yang menyerang sistem saraf tepi. Negara penyumbang penderita Kusta
terbesar ketiga di dunia setelah India dan Brasil adalah Indonesia, sementara
Provinsi Jawa Timur sendiri merupakan provinsi yang menduduki peringkat
pertama di Indonesia sebagai penyumbang kasus Kusta.
Permasalahan penyakit Kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan
seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja
tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam
keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat
dari masalahmasalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap
kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat
mengakibatkan penderita Kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan
ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di
lingkungan masyarakat.
Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta
mencegah akibat buruk lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Penyakit Kusta adalah salah satu penyakit
menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana
beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang
ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis
tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
sosial. Pada umumnya penyakit Kusta terdapat di negara yang sedang
berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi
lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam

27
memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan social ekonomi pada masyarakat.

2.1 Analisis Situasi


Analisis Situasi berisi tentang perncanaan dan mengkaji situasi yang terjadi
di masyarakat serta berisi tujuan umum dan khusus dalam mengatasi masalah
yang ada. Dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana cara membentuk organisasi
yang baik, melakukan pengarahan kepada masyarakat dan melakukan
pengawasan.

2.1.1Perencanaan
Di dalam perencanaan menjelaskan situasi terkait masalah yang telah dikaji
sebelumnya serta menentukan tujuan umum dan khusus dalam suatu program
untuk mengatasi masalah penyakit Kusta di masyarakat.

2.1.1.1 Mengkaji situasi


a. Penyakit Kusta merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian karena Kusta .
b. Banyak yang menganggap Kusta sebagai penyakit kutukan
c. Masyarakat beranggapan bahwa Kusta adalah penyakit yang menular secara
langsung dan harus di isolasi

2.1.1.2Tujuan Umum
Menurunkan angka kejadian mortalitas dan morbitas pada masalah
kesehatan Kusta.

2.1.1.3 Tujuan Khusus


a. Mengetahui seberapa banyak masyarakat yang terkena Kusta .
b. Masyarakat ikut andil untuk melaporkan kepada petugas kesehatan apabila
terdapat atau ada warga yang mengalami masalah kesehatan Kusta
c. Mengurangi penderita penyakit Kusta.

2.1.1.4 Kegiatan

28
a. Penemuan warga yang mengalami Kusta
b. Pengelolaan pada warga yang mengalami Kusta
c. Penyuluhan dan penggerakan peran serta masyarakat
d. Sosialisasi terkait masalah Kusta ( tidak menular , berdasarkan penelitian )
e. Penggerakan pola serta masyarakat dalam PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat).
f. Meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi penderita Kusta dan
keluarga dalam pengobatan penyakit Kusta.
g. Pencatatan dan pengorganisasian.

2.1.2 Pengorganisasian
Diperlukan peran masyarakat untuk meminimalkan masalah kesehatan
Kusta ini dapat di bentuk terlebih dahulu Pimpinan dan penanggung jawab
program yang akan di berikan kepada masyarakat kemudian dapat memilih atau
menunjuk kader yang akan dilatih dan dibina kemudian merujuk kepada
Puskesmas daerah binaan untuk koordinasi tenaga kesehatan dan kemudian ke
kelurahan atau kecamatan. Tindakan yang akan di laksanakan dapat dilihat di
tabel berikut ini.

Tabel 2.1.2 Tindakan medis, administrasi, K.I.E. yang dilakukan oleh Puskesmas
dan Posyandu

Sarana
Medis/Teknis Administrasi K.I.E
Kesehatan
Puskesma - Pembentukan warga - Pencatatan - Penyuluhan
s
sadar Kusta pasien kelompok/
- Screening pada warga - Pencatatan perorangan
- Pemeriksaan penggunaan - Pelatihan
- Tatalaksana pasien yang obat kader.
mengalami Kusta ringan
dan Kusta sedang.
- Rujukan medis
Posyandu - Pemeriksaan - Pencatatan - Penyuluhan

29
- Tatalaksana pasien yang pasien kelompok/
mengalami Kusta ringan - Pencatatan perorangan
dan Kusta sedang. penggunaan - Pelatihan
- Rujukan medis obat kader.

2.1.3 Pengarahan
Suatu pengarahan program ini dapat diberikan oleh kenaga kesehatan dari
Puskesmas binaan daerah untuk melatih dan membina, program yang diberikan
ini untuk pengarahan warga yang mengalami masalah ini dapat diberikan di
Posyandu atau langsung datang ke kader untuk di periksa ke Puskesmas, apabila
perlu untuk dirujuk warga akan segera di bawa ke rumah sakit daerah.

2.1.4 Pengawasan
Untuk pengawasan yang dapat diberikan dengan cara mengikutsertakan
masyarakat untuk ikut mengawasi ketika ada warga yang mengalami masalah
kesehatan Kusta di masing-masing RT yang ada, apabila pengobatan dapat
diberikan di Puskesmas yang ada di kecamatan dan di berikan secara gratis.

2.2 Masalah Manajemen Pelayanan Kesehatan


1) nakes kurang aktif melakukan pemeriksaan dini penyakit Kusta;
2) tidak ada supervisi dan pengarahan pimpinan;
3) diagnosa pemeriksaan dini belum dijalankan maksimal;
4) Belum optimalnya pelayanan kesehatan yang melakukan pemeriksaan dan
deteksi dini penyakit Kusta
5) Belum adanya pengarahan dan bimbingan dalam supervisi ke tingkat
komunitas dalam pemeriksaan dini penyakit Kusta dan belum adanya
anggaran khusus untuk program pemeriksaan dini penyakit Kusta .

30
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (TB)
Indonesia merupakan negara yang dikategorikan sebagai penyumbang
jumlah kasus TB terbesar bersama 21 negara yang lain. Di tingkat nasional,
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu penyumbang jumlah penemuan
penderita TB Paru terbanyak kedua di bawah Provinsi Jawa Barat. Angka
penemuan kasus baru BTA Positif (Case Detection Rate) merupakan proporsi
penemuan kasus TB BTA Positif dibanding dengan perkiraan kasus dalam persen.
Pada tahun 2012, angka CDR sebesar 63.03% dengan jumlah kasus baru (positif
dan negatif) sebanyak 41.472 penderita dan BTA Positif baru sebanyak 25.618
kasus. Kondisi tersebut masih jauh dari target CDR yang ditetapkan yaitu 70%.
Kegiatan penemuan pasien TB di Indonesia telah mengalami kemajuan.
Pada tahun 2012, terdapat 18 kabupaten/kota yang telah mencapai target CDR
70%, sedangkan 20 kabupaten/kota lainnya masih belum. Kondisi tersebut
menunjukkan kabupaten/kota yang berhasil mencapai target 70% semakin
meningkat. Dan apabila ditinjau dari segi hasil pengobatan, di Provinsi Jawa
Timur menunjukkan angka yang cukup baik, karena telah mencapai angka
keberhasilan pengobatan lebih dari 90%. Hanya 9 (sembilan) kabupaten/kota yang
belum mencapai angka keberhasilan 90%. Berdasarkan jenis kelamin, penderita
penyakit TB Paru ternyata lebih banyak menyerang laki-laki (54%) dibandingkan
perempuan (46%). Dan bila dilihat berdasarkan usia, maka yang mendominasi
penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu usia 35-54 tahun dan usia
15-34 tahun.
Target RENSTRA tahun 2014, angka keberhasilan pengobatannya adalah
90% dapat dicapai oleh 100% kabupaten/kota. Hal itu dapat dicapai melalui
pembangunan kesehatan yang juga merupakan bagian utama dari misi pemerintah,
yang diantaranya adalah mengenai pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan rakyat serta misi untuk mencapai pembangunan kesehatan yang
berkeadilan. Misi-misi tersebut dituangkan ke dalam suatu program pemerintah
yang disebut sebagai RPJMN. Berikut ini merupakan beberapa rincian dari
RPJMN yang mencantumkan empat sasaran pembangunan kesehatan :

31
1. Menurunnya disparitas status kesehatan dan gizi masyarakat antar
wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender;
2. Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam
rangka mengurangi risiko finansial akibat gangguan kesehatan bagi
seluruh penduduk terutama penduduk miskin;
3. Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat
rumah tangga dari 50 persen menjadi 70 persen; dan
4. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di daerah terpencil,
tertinggal, perbatasan dan kepulauan.
Berdasarkan misi tersebut, Kementerian Kesehatan juga telah merumuskan
enam strategi utama yang meliputi hal-hal di bawah ini:
1. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani
dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global
2. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan
berkeadilan, serta berbasis bukti dengan mengutamakan upaya promotif
dan preventif;
3. Meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk
mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional;
4. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang
merata dan bermutu;
5. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan
alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu
sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan; dan
6. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan,
berdayaguna dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi
kesehatan yang bertanggung jawab.
Selain strategi utama tersebut, Kementerian Kesehatan juga menggaris
bawahi perlunya upaya reformasi kesehatan yang dielaborasi lebih lanjut dalam
dokumen roadmap reformasi kesehatan masyarakat. Tujuh tujuan khusus dalam
roadmap ini mempertegas tentang strategi pembiayaan, sumber daya kesehatan
(termasuk ketersediaan obat/alat kesehatan untuk program TB), dan manajemen

32
kesehatan yang tercantum dalam strategi utama rencana strategis Kementerian
Kesehatan 2010-2014.
Sasaran tersebut dikembangkan menjadi sasaran-sasaran yang lebih spesifik,
termasuk sasaran angka kesakitan penyakit menular. Untuk penyakit TB, sasaran
yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 tertera pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Target penurunan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam
RPJMN 2010-2014
Kondisi saat ini Target 2014
Jumlah kasus TB per 235 224
100,000 penduduk
Persentase kasus baru 73 90
TB paru (BTA positif)
yang ditemukan
Persentase kasus baru 85 88
TB paru (BTA positif)
yang disembuhkan
Upaya pemberantasan penyakit TB yang telah dikembangkan di Indonesia
salah satunya adalah “gerakan Stop TB Partnership” atau di Indonesia hamper
sama dengan “Gerdunas-TB (Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB)”
dimana upaya ini adalah sebagai bentuk kemitraan global untuk meningkatkan
upaya pemberantasan penyaklit TB, menurunkan angka kematian, kesakitan dan
penyebaran TB di Indonesia.
Adapun visi dari program Stop TB Partnership ini adalah dunia bebas TB,
yang akan dicapai melalui empat misi sebagai berikut:
1. Menjamin akses terhadap diagnosis, pengobatan yang efektif dan
kesembuhan bagi setiap pasien TB.
2. Menghentikan penularan TB.
3. Mengurangi ketidakadilan dalam beban sosial dan ekonomi akibat TB.
4. Mengembangkan dan menerapkan berbagai strategi preventif, upaya
diagnosis dan pengobatan baru lainnya untuk menghentikan TB.

Target yang ditetapkan Stop TB Partnership sebagai tonggak pencapaian


utama adalah:

33
a. Pada tahun 2015, beban global penyakit TB (prevalensi dan mortalitas)
akanrelatif berkurang sebesar 50% dibandingkan tahun 1990, dan setidaknya
70% orang yang terinfeksi TB dapat dideteksi dengan strategi DOTS dan
85% diantaranya dinyatakan sembuh;
b. Pada tahun 2050 TB bukan lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat
global.
Tujuan-tujuan tersebut akan dicapai dengan strategi ganda yang akan
dikembangkan dalam waktu 10 tahun ke depan, yaitu akselerasi pengembangan
dan penggunaan metode yang lebih baik untuk implementasi rekomendasi Stop
TB yang baru berdasarkan strategi DOTS dengan standar pelayanan mengacu
pada International Standard for TB Care (ISTC).
Dalam perkembangannya, konsensus dalam pengendalian TB dengan
resistensi OAT merupakan tonggak penting di tingkat Global (“After Beijing”).
Konsensus antar Menteri tersebut mengidentifikasi 10 upaya untuk mengatasi
sumbatan dalam pengendalian M/XDR TB, sebagai berikut:
1. Memprediksi pengendalian epidemi MDR-TB
2. Mempersempit celah dalam program pengendalian TB
3. Menyediakan penatalaksanaan dan pengobatan M/XDR TB
4. Menerapkan batasan ketenagakerjaan bidang kesehatan
5. Menjawab kebuntuan di laboratorium
6. Menjamin akses terhadap OAT standar
7. Membatasi ketersediaan OAT yang beredar
8. Memprioritaskan pengendalian TB
9. Memaksimalkan peluang penelitian M/XDR TB
10.Membiayai pengendalian dan perawatan M/XDR TB

1. Analisis Situasi dari Program Stop TB Partnership


Status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia secara umum menunjukkan
perbaikan dalam beberapa tahun terakhir, yang tercermin dari aspek pencapaian
Umur Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi
(AKB), dan prevalensi kekurangan gizi pada balita (Bappenas 2010). Namun,

34
penyakit menular masih tetap menjadi masalah kesehatan yang utama di
masyarakat dan penyakit tidak menular cenderung juga masih mengalami
peningkatan. Beberapa penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat diantaranya adalah TB, Demam Berdarah Dengue (DBD), diare,
malaria, HIV/AIDS.
Secara nasional, jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) terus
meningkat, akan tetapi aksesibilitas masyarakat terutama penduduk miskin di
daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan terhadap FPK masih
terbatas. Di beberapa wilayah terutama yang terpencil di Kawasan Indonesia
Timur masih banyak penduduk yang menghadapi kendala jarak dan waktu untuk
mencapai FPK. Kondisi ini diperburuk dengan kondisi jalan, transportasi yang
terbatas dan listrik yang masih belum memadai. Ketersediaan SDM di fasilitas
pelayanan kesehatan di daerah-daerah tersebut juga masih menjadi masalah.
Jumlah, jenis, dan kualitas tenaga kesehatan terus meningkat, tetapi distribusinya
belum merata. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di wilayah Asia
Tenggara, Indonesia memiliki jumlah dan rasio tenaga dokter yang relatif masih
rendah dari Filipina dan Malaysia. Selain itu, distribusi tenaga dokter lebih
banyak berpusat di pulau Jawa-Bali dan di daerah perkotaan. Ketersediaan dan
pemerataan obat dan perbekalan kesehatan terus membaik, tetapi keterjangkauan,
penggunaan dan mutu obat, serta pengawasan obat dan makanan masih belum
optimal. Ketersediaan obat esensial di Puskesmas mencapai lebih dari 80 persen,
belum mencapai 100%.
Apabila ditinjau dari segi efektivitas manajemen sistem informasi kesehatan
juga tampaknya masih belum optimal (Bappenas, 2010). Arus informasi data
survailans epidemiologi dari daerah ke pusat dan sebaliknya terutama yang
berbasis fasilitas mengalami berbagai hambatan. Kekurangan data sangat
mempengaruhi proses perencanaan program ini. Ketersediaan data lebih
mengandalkan hasil survei yang ketersediaannya belum sesuai dengan periode
untuk keperluan perencanaan dan evaluasi program. Hal-hal inilah yang dapat
menjadi kendala-kendala terhadap jalannya program yang telah direncanakan.

35
Jika mengacu pada pembahasan utama tentang TB, saat ini Indonesia
merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah
WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi
kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat
sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB yang telah ditemukan dan diobati (data awal
Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan
demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case
Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4
tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%.
Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program
pengendalian TB nasional yang utama. Meskipun secara nasional menunjukkan
perkembangan yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan,
pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah.
Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia secara
administratif berada di bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian Kesehatan,
yaitu Bina Upaya Kesehatan, dan P2PL (Subdit Tuberkulosis yang bernaung di
bawah Ditjen P2PL). Pembinaan Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina Upaya
Kesehatan dan merupakan tulang punggung layanan TB dengan arahan dari subdit
Tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah sakit berada di bawah Ditjen Bina
Upaya Kesehatan. Pelayanan TB juga diselenggarakan di praktik swasta,
rutan/lapas, militer dan perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak berada
di dalam koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian kerja sama antar
Ditjen dan koordinasi yang efektif oleh subdit TB sangat diperlukan dalam
menerapkan program pengendalian TB yang terpadu. Pelayanan kesehatan di
tingkat kabupaten/kota merupakan tulang punggung dalam program pengendalian
TB. Setiap kabupaten/kota memiliki sejumlah FPK primer berbentuk Puskesmas,
terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Satelit (PS) dan
Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM). Dengan dibentuknya FPK yang spesifik
untuk penanganan TB tersebut, maka harapannya adalah angka penularan dan
morbiditas serta mortalitas akibat penyakit ini dapat mengalmai penurunan.

36
Selain dengan upaya penambahan FPK, upaya penanggulangan TB ini juga
dilakukan melalui upaya kemitraan seperti yang telah dijelaskan di awal
pembahasan tadi. Pihak-pihak yang dapat dilibatkan dalam upaya kemitraan ini
adalah LSM, akademisi, RS, sector swasta lembaga penyandang dana, dll. Dimana
tujuan dari upaya ini adalah untuk mempercepat akselerasi penegndalian TB.
Upaya ini diintegrasikan ke dalam 3 fungsi, yaitu 1) perencanaan dan pengarah; 2)
pembiayaan, alokasi dan pemanfaatan sumber daya dan 3) penyediaan
pelayanan.n hal ini disesuaikan dengan beberapa regulasi yang ada, misalnya UU
No. 36 Th. 2009, UU No. 4 Th. 1984, tentang penyakit menular, Permenkes No.
741/Menkes/Per/VII/2008, dll. Hal itu bermanfaat untuk penguatan aspek regulasi
bagi semua pihak yang terlibat dalam upaya kemitraan pengendalian TB ini.
Selain Undang-Undang, indikator program pengendalian TB juga tercantum
dalam indikator SPM bidang kesehatan di kabupaten/kota yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintah daerah maupun indikator SPM rumah sakit yang
wajib dilaksanakan oleh rumah sakit. Meskipun demikian, implementasi UU dan
peraturan tersebut masih terkendala oleh kapasitas pemerintah daerah yang
bervariasi dalam menjalankan fungsi regulasi. Implementasi UU dan peraturan
lainnya berjalan lambat dan pemantauan SPM belum dilakukan di tingkat daerah
ataupun fasilitasi pelayanan rumah sakit. Sehingga menyebabkan program yang
telah direncanakan ini tidak dapat berjalan dengan baik.
Monitoring dan evaluasi seharusnya juga dilakukan melalui kegiatan
supervisi (on the job training) dan pertemuan triwulanan di berbagai tingkat.
Akibat kekurangan sumber daya (SDM, dana dan logistik), supervisi di provinsi
dan kabupaten/kota tidak dilaksanakan secara rutin. Sementara tantangan dalam
program TB juga semakin kompleks. Pengembangan sistem informasi elektronik
dan sistem informasi geografis direncanakan untuk meningkatkan kualitas
perencanaan dan penanganan penderita yang lebih baik. Selain itu, pertemuan
monitoring dan evaluasi triwulanan juga dilaksanakan di tingkat Puskesmas,
sebagai upaya untuk meningkatkan mutu laboratorium, memvalidasi data dan
mengoptimalkan jejaring TB. Pada kenyataannya, banyak pihak yang tidak
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap jalannya program ini, dimungkinkan

37
karena kesibukan masing-masing pihak. Dengan kondisi yang demikian itu, maka
akan dapat menghambat proses terlaksananya program pengendalian TB ini,
sehingga hasil yang diharapkan pada awal perencanaan pun juga tidak akan
tercapai secara optimal. Dengan demikian, komitmen dari setiap pihak yang
terlibat dalam program ini harus tetap dijaga hingga berakhirnya program
sehingga tujuan yang telah ditetapkan pada awal pelaksanaan program akan dapat
tercapai secara optimal yang otomatis akan berdampak pada penurunan jumlah
penderita TB di Indonesia.

ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN


PENYAKIT GLOBAL (ISPA)

38
1. Perencanaan
1.1.1 Analisis
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu
masalah kesehatan yang ada di negara berkembang dan negara maju. Hal
ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan angka kematian
karena ISPA khususnya pneumonia, terutama pada balita. ISPA adalah
radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh
infeksi jasad renik atau bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau disertai
radang parenkim paru (Alsagaff dan Mukty, 2010). ISPA merupakan suatu
penyakit yang terbanyak dan tersering diderita oleh balita karena sistem
pertahanan tubuh masih rendah, terjadi baik di negara berkembang negara
yang sudah mampu (Klinikita, 2007).
Hasil survei morbiditas yang dilaksanakan oleh subdit ISPA dan
Balitbangkes menunjukkan angka kesakitan 5,12%, namun karena jumlah
sampel dinilai tidak representatif maka subdit ISPA tetap menggunakan
angka WHO yaitu 10% dari jumlah Balita. Angka WHO ini mendekati
angka SDKI 2007 yaitu 11,2%. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian
oleh Rudan,et al (2004) di negara berkembang termasuk Indonesia
insidens pneumonia sekitar 36% dari jumlah Balita. Faktor risiko yang
berkontribusi terhadap insidens pneumonia tersebut antara lain gizi
kurang, ASI ekslusif rendah, polusi udara dalam ruangan, kepadatan,
cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR (Kemenkes RI, 2011).
Berbagai cara dan upaya yang dilakukan untuk memberantas ISPA di
Indonesia, upaya-upaya tersebut meliputi upaya pencegahan, peningkatan
tata laksana ISPA, peningkatan jangkauan penemuan dini penderita ISPA
(Depkes RI, 1991). Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain;
pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemberian imunisasi, pemberian ASI,
pemberian vitamin A, pemeliharaan lingkungan rumah baik didalam
maupun diluar lingkungan rumah harus tetap dijaga supaya tetap sehat,
menghindarkan balita dari polusi udara dan asap rokok, mencegah balita
dari penderita batuk pilek.

39
Salah satu upaya pemerintah dalam mencegah dan pemberantasan
penyakit menular adalah dilaksanakannya program pemberantasan
penyakit ISPA. Pelaksanaan program P2-ISPA ditujukan pada kelompok
usia balita dalam bentuk upaya penanggulangan penyakit Pneumonia.
Tujuan dari program ini adalah untuk menurunkan angka kesakitan balita
akibat pneumonia (Depkes RI, 1991).
1.1.2 Tujuan Khusus
Kemenkes RI (2011) tujuan umum pengendalian ISPA yaitu
menurunkan angka kesakitan dan kematian karena pneumonia.
1.1.3 Tujuan Umum
Menurut Kemenkes RI (2011) tujuan khusus dari pengendalian ISPA
yaitu
a. Pengendalian Pneumonia Balita.
1. Tercapainya cakupan penemuan pneumonia Balita sebagai berikut
(tahun 2010: 60%, tahun 2011: 70%, tahun 2012: 80%, tahun
2013: 90%, tahun 2014: 100%)
2. Menurunkan angka kematian pneumonia Balita sebagai kontribusi
penurunan angka kematian Bayi dan Balita, sesuai dengan tujuan
MDGs (44 menjadi 32 per 1.000 kelahiran hidup) dan Indikator
Nasional Angka Kematian Bayi (34 menjadi 23 per 1.000
kelahiran hidup).
b. Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi Influenza serta penyakit
saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah.
1. Tersusunnya dokumen Rencana Kontijensi Kesiapsiagaan dan
Respon terhadap Pandemi Influenza di 33 provinsi pada akhir
tahun 2014.
2. Tersusunnya Pedoman dan Petunjuk Pelaksanaan
Penanggulangan Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.
3. Tersosialisasinya pedoman-pedoman yang terkait dengan
Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza pada akhir tahun
2014.

40
4. Tersusunnya Pedoman Latihan (Exercise) dalam Kesiapsiagaan
dan Respon Pandemi Influenza pada akhir tahun 2014.
c. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun
Terlaksananya kegiatan Surveilans Sentinel Pneumonia di Rumah
Sakit dan Puskesmas dari 10 provinsi pada tahun 2007 menjadi 33
provinsi pada akhir tahun 2014.
d. Faktor risiko ISPA
Terjalinnya kerjasama/ kemitraan dengan unit program atau institusi
yang kompeten dalam pengendalian faktor risiko ISPA khususnya
Pneumonia.
2. Pengorganisasian
Untuk mencapai tujuan program pemberatasan penyakit ISPA balita maka
dirumuskan kebijakan sebagai berikut :
a. Melaksanakan promosi penanggulangan pnemonia balita sehingga
masyarakat, mitra kerja terkait dan pengambil keputusan mendukung
pelaksanaan penanggulangan pnemonia balita.
b. Melaksanakan penemuan penderita melalui saran kesehatan dasar
(pelayanan kesehatan di desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan
Sarana Rawat Jalan Rumah Sakit) dibantu oleh kegiatan Posyandu dan
Kader Posyandu.
c. Melaksanakan tatalaksana standard penderita ISPA dengan deteksi
dini, pengobatan yang tepat dan segera, pencegahan komplikasi dan
rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.
d. Melaksanakan surveilans kesakitan dan kematian pnemonia balita
serta faktor resikonya termasuk faktor resiko lingkungan dan
kependudukan.
Untuk mencapai tujan program tersebut maka pemerintah membentuk
Rumusan umum strategi pemberantasan penyakit ISPA yang berisi
a. Promosi penanggulangan pnemonia balita melalui advokasi, bina
suasana dan gerakan masyarakat.

41
b. Penurunan angka kesakitan dilakukan dengan upaya pencegahan
atau penanggulangan faktor resiko melalui kerjasama lintas
program dan lintas sektor, seperti melalui kerjasama dengan
program imunisasi, program bina kesehatan balita, program bina
gizi masarakat dan program penyehatan lingkungan pemukiman.
c. Peningkatan penemuan melalui upaya peningkatan prilaku
masyarakat dalam pencaharian pengobatan yang tepat.
d. Melaksanakan tatalaksana kasus melalui pendekatan Manejemen
Terpadu Balita sakit (MTBS) dan audit kasus untuk peningkatan
kualitas tatalaksana kasus ISPA.
e. Peningkatan sistem surveilans ISPA melalui kegiatan surveilans
rutin, autopsi verbal dan pengembangan informasi kesehatan serta
audit manejemen program.
Berikut ini adalah peran dari pemerintah dan masyarakat dalam
pemberantasan ISPA.

Program ini juga dilakukan di puskesmas yang merupakan tulang punggung


pelayanan kesehatan tingkat pertama. Keberadaan puskesmas sangat diperlukan
sebagai pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Puskesmas adalah suatu unit
pelaksanaan fungsional sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan,
peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan

42
tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu
wilayah tertentu (Azwar, 1996). Sehingga sangat diperlukan peranan dari petugas
kesehatan dalam keikutsertaannya menangani ISPA pada balita untuk wilayah
kerjanya.
Kegiatan prioritas yang dilakukan meliputi
a. Financial side
Optimalisasi dana Jamkesmas, dekonsentrasi, APBD Prov, APBD
Kab/Kota dan dana hibah lain (GAVI-HSS, LSM internasional)
b. Partnership
Peningkatan kerja sama dengan, LSM, LS (Program Keluarga Harapan,
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, Kredit Usaha Rakyat),
organisasi internasional & CSR
Aspek manajemen program P2 ISPA yang masih memerlukan perhatian
terus ditingkatkan diantaranya aspek perencanaan, pembiayaan,dan administrsi.
Aspek manajemen tersebut diatas merupakan beban kerja terbesar untuk unit yang
mengelola Pemberantasan Penyakit ISPA baik di tingkat pusat, provinsi maupun
Kabupaten/Kota. Kegiatan ini juga dilaksanakan di berbagai tingkat administrasi
kesehatan.
Peningkatan manajemen program pada aspek perencanaan dilakukan
melalui penerapan perencanaan dan penganggaran kesehatan terpadu (P2KT)
dalam perencanaan kegiatan program P2 ISPA. Penerapan P2KT dalam
pelaksanaan program P2ISPA akan efektif bila didukung kinerja surveilans yang
mampu memberikan informasi yang lengkap dan akurat sehingga menghasilkan
perencanaan program P2 ISPA berdasarkan fakta (evidence based palanning).

3. Pengarahan
Pengarahan yang dilakukan dalam mencapai sasaran dan tujuan
pemberantasan penyakit ISPA, maka Strategi Pemberantasan Penyakit ISPA
dijabarkan dalam 8 kegiatan pokok yaitu promosi penanggulangan pnemonia
balita, kemitraan, peningkatan penemuan kasus, peningkatan kualitas tatalaksana

43
kasus ISPA, peningkatan kualitas sumber daya, surveilans ISPA, pemantauan dan
evaluasi dan pengembangan program ISPA.
Dalam pelaksanaannya kegiatan P2ISPA mengacu kepada pendekatan
Manajemen Pemberantasan Penyakit Menular Berbasis Wilayah atau dengan kata
lain diarahkan menanggulangi secara komprehensif faktor-faktor yang
berhubungan dengan ksakitan dan kematian balita termasuk faktor resiko
lingkungan, faktor resiko kependudukan dan penanganan kasus yang dilakukan
secara terpadu dengan mitra kerja terkait yang didukung oleh surveilans yang baik
serta tercemin dalam perencanaan dan penganggaran kesehatan secara terpadu
(P2KT). Secara umum program pengarahan dari tindakan ISPA yaitu
a. Promosi Penanggulangan Pnemonia Balita
Promisi pemberantasan penyakit ISPA di Indonesia mencakup kegiatan
advokasi, bina suasana dan gerakan masyarakat. Tujuan yang diharapkan dari
kegiatan promosi balita secara umum adalah meningkatnya pengetahuan,
sikap dan tindakan masyarakat dalam upaya dalam penanggulangan
pnemonia balita. Sasaran promosi dalam P2 ISPA mencakup sasaran primer
(ibu balita dan keluarganya), sasaran sekunder (petugas kesehatan dan
petugas lintas program serta lintas sektor), dan sasaran tersier (pengambil
keputusan). Pesan pokok, metode dan media yang digunakan sesuai dengan
sasaran.
b. Kemitraan
Merupakan faktor penting untuk menunjang keberhasilan program.
Pembangunan kemitraan dalam program P2 ISPA diarahkan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat, peran serta lintas program dan lintas
sektor terkait serta peran pengambil keputusan termasuk penyandang dana.
Dengan demikian pembangunan kemitraan diharapkan pendekatan
pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA khususnya pnemonia
dapat terlaksana secara terpadu dan kompherensif. Dengan kata lain
intervensi pemberantasan penyakit ISPA tidak hanya tertuju pada penderita
saja, tetapi juga terhadap faktor resiko (lingkungan dan kependudukan) dan

44
faktor lain yang berpengaruh melalui dukungan peran aktif sektor lain yang
berkompeten.
c. Peningkatan Penemuan dan Tatalaksana Kasus
Kegiatan ini merupakan kegiatan terpenting, karena keberhasilan upaya
penurunan kematian pnemonia pada balita ditentukan oleh keberhasilan
upaya penemuan dan tatalaksana penderita ini. Dalam kebijakan dan strategi
Program P2 ISPA maka penemuan dan tatalaksana penderita ini dilaksanakan
di rumah tangga dan masyarakat (keluarga, kader dan posyandu), di tingkat
pelayanan kesehatan swasta (praktek dokter, poliklinik swasta, RS swasta).
Dengan demikian yang melaksanakan kegiatan secara langsung adalah tenaga
kesehatan di sarana-sarana kesehatan tersebut dan kader posyandu di
masyarakat. Adapun prosedur penemuan dan tatalaksana penderita ISPA di
masing-masing sarana/tingkatan mengacu pada tatalaksana standar yang
ditetapkan. Sedangkan tatalaksana kasus ISPA dilaksanakan melalui
pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) disarana kesehatan
dasar. Disamping itu perlu dilakukan audit kasus dalam upaya peningkatan
kualitas tatalaksana kasus yang dilaksanakan dengan koordinasi tingkat
kabupaten/kota.
d. Peningkatan Kualitas Sumber Daya
1) Sumber daya manusia (SDM)
Sumber Daya Manusia yang terlibat dalam program P2 ISPA meliputi
kader, petugas kesehatan yang memberikan tatalaksana ISPA di sarana
pelayanan kesehatan (Polindes, Pustu, Puskesmas, RS, Poliklinik),
pengelola program ISPA di puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan
pusat. Upaya peningkatan kualitas SDM P2 ISPA dilakukan di berbagai
jenjang melalui kegiatan pelatihan, setiap pelatihan yang dilakukan perlu
ditindaklanjuti dengan supervisi dan monitoring serta pembinaan di
lapangan. Selanjutnya pelaksanaan pelatihan secara terpadu dengan
program lain perlu dikembangkan, terutama pelatihan menyangkut aspek
manajemen atau pengelola program P2 ISPA dilakukan pula melalui

45
kegiatan magang, asistensi tatalaksana oleh dokter ahli, studi banding,
seminar dan workshop sesuai dengan kebutuhan.
2) Logistik
Dukungan logistik sangat diperlukan dalam menunjang pelaksanaan
program P2 ISPA. Aspek logistik Pemberantasan Penyakit ISPA
mencakup peralatan, bahan dan sarana yang diperlukan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan. Sampai saat ini logistik kegiatan
distandarisasi, dari logistik untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana
penderita dan logistik untuk kegiatan komunikasi dan penyebaran
informasi. Untuk kegiatan penemuan dan tatalaksana penderita
mencakup obat dan alat bantu hitung pernapasan (soundtimer). Untuk
kegiatan komunikasi dan penyebaran informasi, logistik yang telah
disediakan program meliputi media cetak dan elektronik.
e. Surveilans ISPA
Untuk melaksanakan kegiatan pencegahan, pemberantasan dan
penanggulangan penyakit termasuk ISPA secara efektif dan efisien,
diperlukan data dasar (baseline) dan data program yang lengkap dan
akurat. Upaya dalam mendapatkan data atau informasi tersebut diatas
dilakukan melalui kegiatan surveilans epidemiologi ISPA yang aktif
dengan diferivikasi oleh survey atau penelitian yang sesuai. Surveilans
epidemiologi ISPA diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi yang
dapat digunakan sebagai landasan dalam perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan program pemberantasan ISPA secara efektif dan efisien serta
mampu mengantifikasi kecenderungan-kecenderungan yang bakal muncul.
Data dan informasi dimaksud meliputi data dan informasi kesakitan dan
kematian pnemonia, sumber penularan, faktor resiko yang berhubungan
dengan pnemonia (faktor resiko lingkungan dan kependudukan) dan data
yang berhubungan dengan kinerja program. Untuk itu mulai tahun 2002
dikembangkan kegiatan autopsi verbal kematian balita akibat pnemonia
dan audit kasus pnemonia. Dalam pelaksanaanya di lapangan, kegiatan

46
surveilans dapat disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan setempat, baik
mekanisme kerja maupun bentuk instrumennya.

4. Pengawasan
Pengawasan dilakukan dengan cara monitoring (pemantauan) dan evaluasi
(penilaian)
a. Pemantauan
Pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA (monitoring) dimaksudkan untuk
memantau secara teratur kegiatan dan pelaksanaan program agar dapat
diketahui apakah kegiatan program dilaksanakan sesuai dengan yang telah
direncanakan dan digariskan oleh kebijaksanaan program. Pelaksanaan
pemantauan Pemberantasan Penyakit ISPA dapat memanfaatkan kegiatan
supervisi dan bimbingan tehnis, Pencatatan Pelaporan Pemberantasan
Penyakit ISPA, dan Pemantauan program P2M&PL di Kabupaten/kota.
b. Penilaian
Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pencapaian hasil kegiatan telah
memenuhi target yang diharapkan, mengidentifikasi masalah dan hambatan
yang dihadapi serta menyusun langkah-langkah perbaikan selanjutnya
termasuk perencanaan dan penganggaran. Kegiatan evaluasi dilaksanakan di
berbagai jenjang administrasi kesehatan, baik ditingkat pusat, provinsi
maupun Kabupaten/Kota.
Berdasarkan pengawasan yang dilakukan dengan cara monitoring dan
evaluasi didapatkan bahwa angka cakupan penemuan pneumonia Balita berkisar
antara 20%-36%. Angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional yaitu
periode 2000-2004 adalah 86%, sedangkan periode 2005-2009 adalah 46%-86%.
Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan yaitu
a. Sumber pelaporan rutin terutama berasal dari Puskesmas, hanya beberapa
provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup rumah sakit dan sarana
pelayanan kesehatan lainnya.
b. Deteksi kasus di puskesmas masih rendahnya karena sebagian besar tenaga
belum terlatih.

47
c. Kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari
kabupaten/kota ke provinsi.

48
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (KANKER)

Dari tahun ke tahun persentase seseorang yang mengidap kanker di dunia


khususnya di Indonesia sendiri semakin meningkat. Angka kejadian : diperkirakan
100 orang dalam 100.000 penduduk ; l.k 230.000 penderita baru pertahun.
Umumnya bersifat fatal, sebagian dapat disembuhkan pada stadium dini. Sebagian
besar penderita (l.k. 70%) datang dalam stadium lanjut. Insidens kanker di
Indonesia masih belum dapat diketahui secara pasti, karena belum ada registrasi
berbasis populasi yang dilaksanakan. Tetapi dari data Globocan 2002, IARC
(International Agency for Research on Cancer) didapatkan estimasi insidens
kanker payudara di Indonesia sebesar 26 per 100.000 perempuan, dan kanker
leher rahim sebesar 16 per 100.000 perempuan. Sedangkan data dari SIRS (Sistem
Informasi Rumah sakit) di Indonesia tahun 2004 diketahui bahwa  kanker
payudara menempati urutan pertama pasien rawat inap (15,4%) dan pasien rawat
jalan (15,78%), sedangkan berdasarkan data dari Badan registrasi Kanker Ikatan
Dokter Ahli Patologi Indonesia (IAPI) tahu 1998 di 13 rumah sakit di Indonesia,
kanker leher rahim menduduki peringkat pertama dari seluruh kasus kanker
sebesar 17,2% diikuti kanker payudara (12,2%).
Kedua kanker diatas menjadi salah satu masalah utama pada kesehatan
perempuan di dunia, terutama di negara berkembang yang mempunyai sumber
daya terbatas seperti di Indonesia. Alasan utama meningkatnya kedua kanker
tersebut di negara berkembang adalah karena kurangnya program penapisan yang
efektif yang bertujuan untuk mendeteksi keadaan sebelum terjadinya kanker
maupun kanker pada stadium dini termasuk pengobatannya sebelum proses
invasiv yang lebih lanjut.

49
Gambar 1. Peningkatan Kanker Serviks Di Negara Berkembang dan
Negara Maju
Hal ini menjadi suatu masalah yang tidak terselesaikan bagi masyarakat
dan tuntutan tersendiri bagi dunia kesehatan untuk mendapatkan solusi atas
permasalahan tersebut. Saat ini banyak sekali program-program yang
dilaksanakan untuk menanggulangi kanker, salah satunya yaitu dengan
pembentukan Program Kanker Terpadu Paripurna (PKTP). Dimana PKTP ini
merupakan salah satu program dari suatu yayasan peduli kanker yaitu Yayasan
Kanker Indonesia (YKI).
Analisis Situasi
Analisis Situasi berisi tentang perencanaan dan mengkaji situasi yang
terjadi di masyarakat serta berisi tujuan umum dan khusus dalam mengatasi
masalah yang ada.
1. Perencanaan
Di dalam perencanaan menjelaskan situasi terkait masalah yang telah
dikaji sebelumnya serta menentukan tujuan umum dan khusus dalam suatu
program untuk mengatasi masalah penyakit kanker di masyarakat.
a. Mengkaji situasi
1) Penyakit Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian karena
kanker

50
2) Tingginya persentase penyakit kanker yang diderita oleh banyak orang
khususnya wanita disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor
genetik, polusi lingkungan , dan pola hidup yang tidak sehat.
b. Tujuan Umum
Menurunkan angka kejadian mortalitas dan morbitas pada masalah
kesehatan kanker.
c. Tujuan Khusus
1) Mengetahui seberapa banyak masyarakat yang terkena kanker dengan
deteksi dini
2) Masyarakat ikut andil untuk melaporkan kepada petugas kesehatan
apabila terdapat atau ada warga yang mengalami masalah kesehatan
Kanker
3) Mengurangi penderita penyakit kanker
d. Kegiatan
1) Penemuan warga yang mengalami kanker
2) Pengelolaan pada warga yang mengalami Kanker
3) Penyuluhan dan penggerakan peran serta masyarakat
4) Sosialisasi terkait masalah Kanker ( tidak menular , berdasarkan
penelitian )
5) Penggerakan pola serta masyarakat dalam PHBS (Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat).
6) Meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi penderita
Kanker dan keluarga dalam pengobatan penyakit Kanker.
7) Pencatatan dan pengorganisasian

2. Pengorganisasian
Adapun kepengurusan PKTP Tingkat Kecamatan terdiri dari Ketua, Wakil
Ketua, Sekretaris, Bendahara dan anggota. Dengan posisi Pembina adalah
Camat, Penasehat adalah Istri Camat dan Ka UPT Puskesmas Kecamatan yang
bertanggung jawab kepada Ketua YKI. Dari salah satu pelaksanaannya
dilakukan di Bali, dimana Bali merupakan daerah yang sangat produktif dalam

51
pelaksanaan program PKTP. Program tersebut meliputi kegiatan pelatihan
terpadu kepada semua dokter umum, dokter spesialis, dan Bidan Puskesmas
dalam upaya meningkatkan kemampuan dalam mendiagnosa serta mengobati
pasien. Kemudian kegiatan penyuluhan awareness atau penyuluhan
meningkatkan kesadaran dan kemauan kepada masyarakat untuk mencegah
serta mendeteksi lebih dini tentang bahaya kanker, dan yang terakhir adalah
upaya sistem Ability atau pelestarian program sehingga tetap
berkesinambungan dan berjalan. Dalam mensukseskan program peduli kanker
diharapkan kerjasama yang solid antara dokter, masyarakat dan pemerintah
pusat sehingga persentase keberhasilan yang dicapai bisa tinggi. Program ini
mendapat dukungan dana operasional dari Badan Kementerian Luar Negeri
Belanda (MFS) melalui Leiden University Medical CenteDalam data yang
telah ada pelaksanaan PKTP dilaksanakan di Bali. Dalam tugasnya, PKTP
dilengkapi dengan 4 Seksi yakni:
1. Seksi Pendidikan dan Pelatihan
2. Seksi Pelayanan
3. Seksi Komunikasi Informasi Edukasi
4. Seksi Penggalangan Dana
3. Pengarahan
Suatu pengarahan program ini dapat diberikan oleh tenaga kesehatan dari
Puskesmas binaan daerah untuk melatih dan membina, program yang diberikan
ini untuk pengarahan warga yang mengalami masalah ini dapat diberikan di
Posyandu atau langsung datang ke kader untuk di periksa ke Puskesmas,
apabila perlu untuk dirujuk warga akan segera di bawa ke rumah sakit daerah.
Pada pelaksanaan yang berada di Bali, gabungan PKTP Kelompok Remaja
Peduli Kanker SMAN 1 Susut juga telah melaksanakan penyuluhan melalui
media Radio bekerjasama dengan BPPKB Bangli, Dinas P3 dan kelompok
Wanita Tani Dusun Cekeng Kec.Susut dalam bentuk pemberian bibit tanaman
pangan yang ditanam dan dikembangkan di sekolah. Kanker adalah salah satu
penyakit yang disebabkan oleh beberapa factor seperti factor lingkungan, factor
kebiasaan atau perilaku hidup bersih dan sehat , menghadapi permasalahan

52
tersebut Pemerintah Kabupaten Bangli telah menyikapi secara serius dengan
menempatkan pendidikan dan kesehatan sebagai program prioritas seiring
dengan visi dan misi Kabupaten Bangli sebagai Kota Pendidikan dan
kesehatan. Salah satu upaya penanggulangan kanker yang dilaksanakan secara
rutin dan berkelanjutan . Program tersebut meliputi kegiatan pelatihan terpadu
kepada tenaga kesehatan dalam upaya meningkatkan kemampuan dalam
mendiagnosa serta mengobati pasien. Kemudian kegiatan penyuluhan
awareness atau penyuluhan meningkatkan kesadaran dan kemauan kepada
masyarakat untuk mencegah serta mendeteksi lebih dini tentang bahaya kanker,
dan yang terakhir adalah upaya sistem Ability atau pelestarian program
sehingga tetap berkesinambungan dan berjalan.
4. Pengawasan
Untuk pengawasan yang dapat diberikan dengan cara meengikut sertakan
masyarakat untuk ikut mengawasi ketika ada warga yang mengalami masalah
kesehatan kanker di masing-masing RT yang ada, apabila pengobatan dapat
diberikan di Puskesmas yang ada di kecamatan dan di berikan secara gratis.
Dalam mengoptimalkan pelaksanaan upaya pengendalian penyakit kanker
dibutuhkan monitoring pada saat pelaksanaan kegiatan dan evaluasi secara
berkala dan berjenjang dalam hal input, proses, output. Selanjutnya dapat
dilakukan perbaikan-perbaikan untuk penyempurnaan kegiatan. Kegiatan
monitoring dan evaluasi antar lain :
1. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan peraturan dan perundang-
undangan, dan kebijakan tentang monitoring dan evaluasi upaya
pengendalian penyakit kanker;
2. Menyiapkan materi dan menyusun rancangan juklak/ juknis/ pedoman
tentang monitoring dan evaluasi upaya pengendalian penykit kanker;
3. Membangun dan mengembangkaan dan jejaran kemitraan dan jejaring
kerja dalam kegiatan monitoring dan evaluasi upaya pengendalian
penyakit kanker;
4. Meningkatkan kemampuan SDM kesehatan dalam monitoring dan
evaluasi upaya pengendalian penyakit kanker.

53
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (HIV/AIDS)

1. Perencanaan
1.1 Analisis kejadian penyakit
HIV/AIDS merupakan tantangan terbesar dalam mencapai target MDGs.
Penularan infeksi baru HIV masih terjadi dan pengidap AIDS masih ditemukan,
dalam hal ini upaya pencegahan dan deteksi dini HIV harus terus digalakkan.
Sampai Desember 2012 secara kumulatif penderita pengidap HIV berjumlah
98.390 orang dan AIDS tercatat berjumlah 42.887 orang (Depkes, 2013). Data
penularan HIV sampai Desember 2012 menunjukkan penularan melalui hubungan
heterosex yang berisiko sebesar 58,7%, penggunaan napza suntik 17,5% dan
penularan masa perinatal 2,7% (Depkes, 2013). Dari hasil modeling tahun 2012
diketahui tren peningkatan infeksi baru HIV kedepan terjadi pada 3 kelompok
utama yaitu lelaki seks dengan lelaki (LSL), kalangan ibu rumah tangga dan lelaki
beresiko tinggi (lelaki pembeli seks), sedangkan peningkatan infeksi baru pada
populasi kunci seperti (Wanita Pekerja Seksual, Penasun, dan trans gender) tidak
terjadi peningkatan yang terlalu signifikan. Tantangan tersebut menuntut respon
cepat untuk dapat segera melakukan upaya agar dapat dilakukan dari hulu sampai
hilir agar epidemi ini tidak berkembang kearah yang tidak baik. Mulai tahun
2007-2010 pemerintah sudah mencanangkan program penanggulangan penyakit
HIV/AIDS. Strategi Nasional 2007-2010 (STRANAS 2007-2010) menjabarkan
paradigma baru dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia dari
upaya yang terfragmentasi menjadi upaya yang komprehensif dan terintegrasi
diselenggarakan dengan harmonis oleh semua pemangku kepentingan
(stakeholder) (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007).
1.2 Tujuan
Tujuan kegiatan nasional dalam upaya penangulangan HIV/AIDS di
indonesia yaitu terdiri dari tujuan umum dan khusus.

54
1.2.1 Tujuan Umum
Mencegah dan mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup
ODHA serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada
individu, keluarga dan masyarakat.
1.2.2 Tujuan Khusus
1) Menyediakan dan menyebarluaskan informasi dan menciptakan suasana
kondusif untuk mendukung upaya penanggulangan HIV dan AIDS,
dengan menitikberatkan pencegahan pada sub-populasi berperilaku resiko
tinggi dan lingkungannya dengan tetap memperhatikan sub-populasi
lainnya.
2) Menyediakan dan meningkatkan mutu pelayanan perawatan, pengobatan,
dan dukungan kepada ODHA yang terintegrasi dengan upaya pencegahan.
3) Meningkatkan peran serta remaja, perempuan, keluarga dan masyarakat
umum termasuk ODHA dalam berbagai upaya penanggulangan HIV dan
AIDS.
4) Mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara lembaga
pemerintah, LSM, sektor swasta dan dunia usaha, organisasi profesi, dan
mitra internasional di pusat dan di daerah untuk meningkatkan respons
nasional terhadap HIV dan AIDS.
5) Meningkatkan koordinasi kebijakan nasional dan daerah serta inisiatif
dalam penanggulangan HIV dan AIDS.
1.2.3 Prioritas aktivitas yang akan dilakukan
Prioritas aktivitas penanggulangan HIV/AIDS tahun 2007-2010 yaitu
1) Pencegahan HIV dan AIDS;
2) Perawatan, Pengobatan dan Dukungan kepada ODHA;
3) Surveilans HIV dan AIDS serta Infeksi menular Seksual;
4) Penelitian dan riset operasional;
5) Lingkungan Kondusif;
6) Koordinasi dan harmonisasi multipihak;
7) Kesinambungan penanggulangan.

55
2. Pengorganisasian
Pengorganisasian untuk menjalankan aktivitas yang sudah diprioritaskan
yaitu:
1) Pencegahan HIV dan AIDS
Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko kelompok-kelompok
masyarakat. Pencegahan dilakukan kepada kelompok-kelompok
masyarakat sesuai dengan perilaku kelompok dan potensi ancaman yang
dihadapi. Kegiatan-kegiatan dari pencegahan dalam bentuk penyuluhan,
promosi hidup sehat, pendidikan sampai kepada cara menggunakan alat
pencegahan yang efektif dikemas sesuai dengan sasaran upaya
pencegahan. Dalam mengemas program-program pencegahan dibedakan
kelompok-kelompok sasaran sebagai berikut:
a. Kelompok tertular (infected people)
Kelompok tertular adalah mereka yang sudah terinfeksi HIV.
Pencegahan ditujukan untuk menghambat lajunya perkembangan HIV,
memelihara produktifitas individu dan meningkatkan kwalitas hidup.
b. Kelompok berisiko tertular atau rawan tertular (high-risk people)
Kelompok berisiko tertular adalah mereka yang berperilaku
sedemikian rupa sehingga sangat berisiko untuk tertular HIV. Dalam
kelompok ini termasuk penjaja seks baik perempuan maupun laki-laki,
pelanggan penjaja seks, penyalahguna napza suntik dan pasangannya,
waria penjaja seks dan pelanggannya serta lelaki suka lelaki.
c. Kelompok rentan (vulnerable people)
Kelompok rentan adalah kelompok masyarakat yang karena lingkup
pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan keluarga
yang rendah dan status kesehatan yang labil, sehingga rentan terhadap
penularan HIV. Termasuk dalam kelompok rentan adalah orang
dengan mobilitas tinggi baik sipil maupun militer, perempuan, remaja,
anak jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah dan
petugas pelayanan kesehatan.
d. Masyarakat umum

56
Masyarakat umum adalah mereka yang tidak termasuk dalam ketiga
kelompok terdahulu. Pencegahan ditujukan untuk peningkatkan
kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS di lingkunagnnya.
2) Perawatan, Pengobatan dan Dukungan kepada ODHA
Peningkatan jumlah penderita AIDS memerlukan peningkatan jumlah dan
mutu layanan perawatan dan pengobatan. Peningkatan juga dilakukan bagi
dukungan maksimal kepada ODHA. Upaya ini dilakukan melalui
pendekatan klinis dan pendekatan berbasis masyarakat dan keluarga.
Universal Access yang bertujuan memberikan kemudahan kepada mereka
yang memerlukan untuk akses kepada layanan perawatan dan pengobatan
melandasi program-program pada area ini.
3) Surveilans HIV dan AIDS serta Infeksi menular seksual
Besaran, kecenderungan dan distribusi persebaran HIV dan AIDS
diketahui dari data dan informasi yang diperoleh dari kegiatan surveilans
penyakit. Surveilans penyakit dan surveilans perilaku bersama-sama
memberikan petunjuk tentang hasil upaya penanggulangan dan amat
diperlukan bagi perumusan kebijakan dan perencanaan. Kegiatan
surveilans akan terus disempurnakan baik metodologinya maupun
implementasinya sehingga hasilnya valid dan dapat
dipertanggungjawabkan. Selain surveilans HIV dan AIDS dan perilaku,
surveilans IMS ditingkatkan pelaksanaannya dan hasilnya dipublikasikan
agar dapat digunakan oleh pihak-pihak yang memerlukan.
4) Penelitian dan riset operasional
Upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang dan akan
diselenggarakan memerlukan pengembangan terus menerus. Banyak aspek
penanggulangan yangbelum diketahui. Perbedaan laju epidemi di berbagai
daerah perlu dicari faktor-faktor yang menyebabkannya. Penelitian dan
riset operasional diharapkan mampu memberikan jawaban atas hal- hal
tersebut sehingga ditingkatkan pada empat tahun kedepan. Untuk
melaksanakan penelitian yang bermutu tinggi, dipersiapkan tenaga-tenaga

57
peneliti di semua tingkat. Selain daripada itu ditingkatkan kerjasama antar
pusat-pusat penelitaian HVI dan AIDS di dalam negeri dan di luar negeri.
Inventory hasil penelitian dilakukan sesuai dengan tatacara yang lazim.
Setiap hasil penelitian dipublikasikan secara luas sehingga dapat diakses
oleh yang memerlukan.
5) Lingkungan kondusif
Lingkungan yang kondusif dalam pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS diperlukan agar upaya-upaya tersebut dapat berjalan dengan
sebaik-baiknya. Hal ini dikarenakan masalah HIV dan AIDS merupakan
masalah yang kompleks dan unik.
6) Koordinasi dan harmonisasi multipihak
Masalah HIV dan AIDS bukan lagi masalah kesehatan semata akan tetapi
telah menjadi masalah sosial yang sangat komplek dan unik.Upaya
pencegahan dan penanggulangannya memerlukan berbagai pendekatan
dan diselenggarakan oleh berbagai pihak. Peranan utama dijalankan oleh
masyarakat dengan arahan dan pembinaan oleh sektor-sektor pemerintah.
Pemerintah berperan sebagai pemimpin upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS baik di pusat maupun di daerah. Mitra
internasional membantu penyelenggaraan tersebut. Banyaknya pemangku
kepentingan yang menyelenggarakan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS ini, mengharuskan adanya koordinasi
yang baik sejak perencanaan sampai evaluasinya. Harmonisasi
dimaksudkan agar penyelenggaraan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS berjalan selaras dan seirama sehingga
merupakan orkestra aktivitas yang padu, terarah dan mencapai sasaran.
Harmonisasi diupayakan di semua tingkat penyelenggaraan.
7) Kesinambungan penanggulangan
Memperhatikan kecenderungan epidemi HIV dan AIDS dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya, upaya pencegahan dan penaggulangan di
Indonesia akan memakan waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harus dapat dijamin

58
kesinambungannya. Kesinambungan upaya ini sangat ditentukan oleh
komitmen politik, kepemimpinan yang kuat, tersedianya dana yang terus
menerus, perawatan sarana dan prasarana yang digunakan serta pelibatan
seluruh unsur masyarakat termasuk mereka yang sudah terinfeksi.
Pengorganisasian penyelenggaraan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS
dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah bersama-sama dibantu oleh mitra
internasional. Pemerintah meliputi departemen, kementerian, lembaga non-
departemen dan dinas-dinas daerah serta TNI dan POLRI. Masyarakat meliputi
LSM, swasta dan dunia usaha, civil soceity lainnya dan masyarakat umum. Para
pemangku kepentingan mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing
dan bekerja sama dalam semangat kemitraan. Pokok-pokok tugas dan tanggung
jawab Smasing-masing penyelenggara adalah sebagai berikut:
1) Pemerintah pusat
Departemen, Kementerian, Lembaga Non- Departemen, TNI dan POLRI
membentuk Kelompok Kerja Penanggulangan HIV dan AIDS dan
membuat rencana pencegahan dan penanggulangan yang selaras dengan
Stranas HIV dan AIDS 2007 – 2010 sesuai dengan area kegiatan instansi
bersangkutan. KPAN mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan dari unsur
pemerintah pusat.
2) Pemerintah provinsi
Dinas-dinas Provinsi, Kantor Wilayah dari instansi pusat di provinsi,
komando TNI dan POLRI di provinsi menyelenggarakan upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS dipimpin oleh gubernur.
Pemerintah propinsi membentuk dan memfungsikan Komisi
Penanggulangan AIDS Provinsi dan menyediakan sumber daya untuk
kegiatan pencegahan dan penanggulangan di propinsi.
3) Pemerintah kabupaten/kota
Dinas-dinas Kabupaten/Kota, Kantor Departemen dari instansi pusat di
kabupaten/kota, komando TNI dan POLRI di kabupaten/kota
menyelenggarakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS
dipimpin oleh Bupati/Walikota. Pemerintah Kabupaten/Kota membentuk

59
dan memfungsikan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota dan
menyediakan sumberdaya untuk kegiatan pencegahan dan penanggulangan
di kabupaten/kota.
4) Pemerintah kecamatan dan kelurahan/desa
Di wilayah kecamatan dan kelurahan /desa yang berpotensi adanya
penularan HIV, dapat dibentuk Satuan Tugas Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS yang masing-masing dipimpin oleh
Camat dan Lurah/Kepala Desa. Tugas utama adalah menggerakkan
masyarakat untuk ikut serta dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS yang dirancang oleh KPA Kabupaten/Kota.
5) Dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah dan Dewan
perwakilan rakyat di daerah
DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dengan
kepedulian yang tinggi menampung informasi dari masyarakat tentang
situasi HIV dan AIDS di wilayah urusannya dan sesuai dengan tugas dan
fungsinya membantu upaya pencegahan dan penanggulangan. Bersama
dengan KPAN/KPA di daerah dapat membentuk Forum Komunikasi.
6) Komisi penanggulangan AIDS nasional
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagai penanggung jawab upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia mempunyai
tugas yang sangat berat sehingga memerlukan kawenangan yang jelas
untuk dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan efektif.
7) Komisi penanggulangan AIDS provinsi dan kabupaten/kota
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Komisi Penanggulangan
AIDS Kabupaten/Kota dibentuk dan dipimpin masing-masing oleh
Gubernur dan Bupati / Walikota. KPA di daerah membantu kelancaran
pelaksanaan tugas KPA Nasional.
8) Masyarakat sipil
Civil soceity merupakan mitra kerja yang penting dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV dan AIDS. Lembaga Swadaya Masyarakat dan
Organisasi Non-Pemerintah lainnya seperti Kelompok Dukungan Sebaya

60
telah memberikan kontribusi yang bermakna karena mampu menjangkau
sub-populasi berperilaku berisiko dan menjadi pendamping dalam proses
perawatan dan pengobatan ODHA. Civil Soceity berperan dalam
penyuluhan, pelatihan, pendampingan ODHA, pemberian dukungan dan
konseling serta melakukan pelayanan VCT. Dimasa mendatang peran ini
diharapkan meningkat dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Komisi
Penanggulangan AIDS di semua tingkat menciptakan lingkungan yang
kondusif sehingga civil soceity dapat menjalankan perannya dengan
tenang dan aman.
9) Dunia usaha dan sektor swasta
Jenis pekerjaan, lingkungan dan tempat kerja berpotensi bagi pekerja
untuk terpapar HIV. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah
mengakui bahwa HIV dan AIDS sebagai persoalan dunia kerja. Prinsip-
prinsip utama Kaidah ILO tentang HIV dan AIDS dan Dunia Kerja perlu
ditingkatkan implementasinya di dunia kerja Indonesia melalui
kesepakatan tripartit. Implementasi Kaidah ILO tersebut dijabarkan dalam
program penanggulangan HIV dan AIDS di dunia kerja dan dilaksanakan
dengan penuh kesungguhan.
10) Tenaga profesional, organisasi profesi dan lembaga pendidikan tinggi
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan
pelibatan tenaga profesional baik secara individu maupun melalui
organisasi profesi dan lembaga pendidikan tinggi. Para profesional
berperan dalam perumusan kebijakan, penelitian, riset operasional.
11) Keluarga dan masyarakat umum
Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS memerlukan
dukungan masyarakat luas. Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat
mempunyai tugas penting dan sangat mulia sebagai benteng pertama
dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Ketahanan
keluarga dalam arti yang sesungguhnya perlu tetap diupayakan dan
ditingkatkan. Selain itu keluarga mampu memberikan lingkungan yang
kondusif bagi ODHA dengan berempati dan menjauhkan sikap

61
diskriminatif terhadap mereka. Masyarakat Umum berperan membantu
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di lingkungan
masing-masing dengan memberikan kemudahan dan meciptakan
lingkungan yang kondusif. Untuk menjalankan fungsi tersebut, masyarakat
berhak menerima informasi yang benar tentang masalah HIV dan AIDS.
12) Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA)
Peranan ODHA dalam upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS di
masa mendatang semakin penting. Selaras dengan prinsip Greater
Involvement of People with AIDS (GIPA) ODHA berhak berperan pada
semua tingkat proses pecegahan dan penanggulangan mulai dari tingkat
perumusan kebijakan sampai pada monitoring dan evaluasi. Untuk dapat
menjalankan peran tersebut, ODHA baik secara individual maupun
organisasi meningkatkan persiapan diri. Seimbang dengan hak-haknya,
ODHA bertanggung jawab untuk mencegah penularan HIV kepada
pasangannya dan orang lain.

3. Pengarahan
Pengarahan merupakan elemen tindakan dari manajemen keperawatan.
Dimana berdasarkan program yang sudah dijelaskan diatas, setelah program itu
ditetapkan oleh kemenkes, selanjutnya diturunkan ke depkes provinsi, dan depkes
kabupaten atau kota. Setelah melalui proses itu tentunya kebijakan tadi akan
diturunkan dan dijalankan di masing-masing puskesmas yang ada di wilayah
tersebut.

4. Pengawasan
Pengawasan dilakukan melalui monitoring dan evaluasi dari program
kegiatan yang telah dilakukan yaitu:
1) menjamin bahwa program pencegahan HIV dan AIDS mencapai
tingkat efisiensi dan akuntabilitas yang tinggi,
2) membantu mengintensifkan dan meningkatkan pelaksanaan program,
3) memungkinkan tindakan korektif untuk mengarahkan program,

62
4) menghasilkan informasi yang berguna bagi pelaksanaan program serta
sebagai masukan untuk penyusunan program lanjutan.

63
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (FILARIASIS)

1. Perencanaan
1.1 Analisis kejadian penyakit
Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit yang
disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan nyamuk. Di
dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit kaki gajah di
lebih dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia Tenggara.
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke
tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan
di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi.
Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak
filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa Tenggara Timur
(1.730 orang) dan Papua (1.158 orang).
1.2 Tujuan Jangka Panjang/Strategi
Strategi program eliminasi filariasis selama lima tahun ke depan terdiri dari
a. Meningkatkan peran kepala daerah dan para pemangku kepentingan
lainnya.
b. Memantapkan perencanaan dan persiapan pelaksanaan termasuk
sosialisasi pada masyarakat.
c. Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya serta dana operasional.
d. Memantapkan pelaksanaan POMP filariasis yang didukung oleh sistem
pengawasan dan pelaksanaan pengobatan dan pengaman kejadian ikutan
pasca pengobatan.
e. Meningkatkan monitoring dan evaluasi
1.3 Tujuan Jangka Pendek/Operasional
Program akselerasi eliminasi filariasis terus diupayakan sampai dengan
tahun 2020. Sebagai tahap awal dilakukan akselerasi lima tahun pertama yaitu
mulai tahun 2010-2014. Tujuan program tersebut adalah semua kabupaten/kota
endemis di wilayah Indonesia Timur telah melakukan POMP (Program Minum
Obat Massal Pencegahan) filariasis pada tahun 2014. Prioritas pelaksanaan POMP

64
filariasis di wilayah Indonesia Timur tersebut diambil dengan pertimbangan
tingginya prevalensi mikrofilaria. Untuk kabupaten/kota endemis di wilayah
Indonesia Barat dan Tengah diharapkan tetap meningkatkan pelaksanaan POMP
filariasis sampai tahun 2014.

2. Pengorganisasian
Pengorganisasian sebagai proses mengidentifikasi kebutuhan organisasi dari
pernyataan misi kerja yang dilakukan, menyesuaikan desain organisasi dan
struktur untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Pemerintah telah menetapkan
Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan
penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7
tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun
2004–2009. Pemerintah juga mendorong peran aktif masyarakat di daerah
endemis filariasis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan sektor swasta serta
sektor terkait dalam menyikapi program eliminasi filariasis tersebut. Dengan
berjalannya desentralisasi maka tanggung jawab dan peran dari Pemerintah Pusat
sebagian dialihkan kepada Pemerintah Daerah. Peran serta daerah dalam
pendanaan dan perencanaan sangat diharapkan untuk mendukung kebijakan yang
diinisiasi oleh Pemerintah Pusat.
Untuk memperkuat kemampuan unit-unit pelaksana program eliminasi
filariasis ditetapkan pembagian tugas pokok dan fungsi yang jelas dari tingkat
Pusat sampai daerah.
a) Pengorganisasian di Pusat
Kementerian Kesehatan merupakan pengendali utama program eliminasi
filariasis di Pusat yang mempunyai tugas sebagai berikut.
1) Menetapkan kebijakan nasional eliminasi filariasis
2) Menetapkan tujuan dan strategi nasional eliminasis
3) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
program eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen dan
mobilisasi sumber daya yang ada

65
4) Memperkuat kerjasama antar program di lingkungan Kementerian
Kesehatan, kerjasama antar Departemen/ Kementerian serta kerjasama
lembaga mitra lainnya secara nasional, juga bilateral antar negara dan
lembaga internasional.
5) Menyediakan obat yang dibutuhkan dalam rangka pengobatan massal
filariasis, terutama DEC, Albendazole dan Paracetamol.
6) Menyusun dan menetapkan pedoman umum dan teknis program
eliminasi filariasis nasional.
7) Melaksanakan pelatihan nasional eliminasi filariasis, terutama
pelatihan fasilitator pelatihan teknis operasional eliminasi filariasis.
8) Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi
filariasis di provinsi.
9) Melaksanakan penelitian dalam pengembangan metode eliminasi
filariasis yang lebih efektif dan efesien.
10) Unit Pelaksana Teknis Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan
Pemberantasan Penyakit Menular (BTKL-PPM) melaksanakan tugas
surveilans epidemiologi dan laboratorium eliminasi filariasis regional,
dll.
b) Pengorganisasian di Provinsi
Dinas Kesehatan Provinsi merupakan pengendali utama program eliminasi
filariasis di tingkat provinsi yang mempunyai kewenangan tugas sebagai
berikut.
1) Menetapkan tujuan dan strategi eliminasi filariasis di tingkat provinsi.
2) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
program eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen, mobilisasi
sumber daya provinsi.
3) Memperkuat kerjasama lintas program dan lintas sektor serta
kerjasama lembaga mitra kerja lainnya di provinsi.
4) Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi
filariasis di kabupaten/kota, dll.
c) Pengorganisasian di Kabupaten/Kota

66
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota merupakan pengendali utama program
eliminasi filariasis di tingkat kabupaten/kota yang mempunyai tugas dan
kewengan sebagai berikut.
1) Menetapkan kebijakan eliminasi filariasis di kabupaten/kota.
2) Menetapkan tujuan dan strategi eliminasi filariasis di tingkat
kabupaten/kota.
3) Melaksanakan pengendalian pelaksanaan, monitoring dan evaluasi
program eliminasi filariasis dengan memperkuat komitmen, mobilisasi
sumber daya kabupaten/kota.
4) Memperkuat kerjasama lintas program dan lintas sektor serta
kerjasama lembaga mitra kerja lainnya di kabupaten/kota.
5) Melaksanakan pembinaan dan asistensi teknis program eliminasi
filariasis di puskesmas, rumah sakit dan laboratorium daerah, dll.
Strategi dan program kerja untuk eliminasi filariasis di Indonesia mengacu
kepada Visi dan Misi Kementerian Kesehatan RI serta strategi yang telah
ditetapkan secara resmi. Visi Kementerian Kesehatan RI tersebut yaitu
Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan. Sedangkan misi Kementerian
Kesehatan RI tersebut yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui
pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi
kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang
paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan
pemerataan sumber daya kesehatan; menciptakan tata kelola kepemerintahan yang
baik.

3. Pengarahan
Advokasi ke pemerintah kabupaten sangat penting demi keberhasilan
program eliminasi LF. Karena sistem pemerintahan di Indonesia telah
didesentralisasi, kabupaten akan menjadi penanggung jawab penuh untuk
pembiayaan promosi program ini selama jangka waktu 5-7 tahun yang diperlukan
untuk memastikan bahwa LF (Lymphatic Filariasis) telah dieliminir. Banyak
pejabat pemerintah di kabupaten-kabupaten yang mungkin belum pernah

67
mendengar tentang LF atau belum memahami beban keuangan apa saja yang
ditanggung oleh penduduk di kabupaten tsb. Sebaiknya adakan kontak dengan
Dinas Kesehatan Provinsi sebelum mengadakan advokasi demi mendapatkan
dukungan dukungan melalui kegiatan advokasi.
Adapun rencana aksi program disusun mengacu pada Renstra lima tahunan
Kementerian Kesehatan. Rencana aksi program eliminasi filariasis 2010-2014
tersusun menjadi dua kelompok kegiatan pokok yaitu:
1) Akselerasi Eliminasi Filariasis dan Obat
a) Mempertahankan, meningkatkan dan memperluas wilayah POMP
filariasis.
b) Memastikan ketersediaan obat dan distribusinya.
c) Penatalaksanaan kasus klinis filariasis dan kejadian pasca POMP
filariasis.
d) Mengintegrasikan kegiatan eliminasi filariasis dengan program lain.
2) Program Manajemen dan Advokasi, Sosialisasi, Monitoring dan Evaluasi
a) Memperkuat komitmen nasional dalam pelaksanaan eliminasi
filariasis.
b) Penguatan program eliminasi sesuai pengembangan sistem
kesehatan.
c) Memastikan kesinambungan pendanaan program eliminasi.
d) Peningkatan manajemen SDM.
e) Meningkatkan komunikasi dan desiminasi informasi.
f) Peningkatan kesadaran masyarakat.
g) Melaksanakan survei dasar di wilayah sebelum POMP filariasis.
h) Peningkatan pencatatan, pelaporan yang lengkap dan tepat waktu.
i) Meningkatkan surveilans kasus kejadian ikutan pasca pengobatan.
j) Monitoring dan evaluasi program eliminasi.
k) Evaluasi prevalensi microfilaria setelah pengobatan masal.
l) Meningkatkan penemuan kasus klinis kronis baru di kab non
endemis.
m) Pengembangan intervensi kerjasama lintas sector yang terintegrasi.

68
4. Pengawasan
Sebaiknya daerah-daerah yang memiliki tingkat Mf (Microfilaria Rate)
tinggi memastikan bahwa dokter atau perawat tinggal di desa/kelurahan pada saat
malam pertama setelah obat didistribusikan. Hal ini akan memastikan bahwa
petugas kesehatan berada di daerah masing-masing untuk membantu masyarakat
apabila terjadi efek samping.
Pada pengawasan,dilakukan monitoring terhadap program dan monitoring
epidemiologis. Selain itu sebaiknya dilakukan pertemuan-pertemuan evaluasi
jangka menengah dengan petugas kesehatan seperti perawat serta Tenaga
Pembantu Eliminasi (TPE) untuk membahas hasil- hasil survei monitoring serta
hasil-hasil dari cakupan pengobatan. Sangat penting bagi suatu program untuk
mendapatkan pendapat tentang mengapa tingkat cakupan lebih tinggi atau atau
lebih rendah di daerah-daerah tertentu dan juga mendapatkan masukan atau saran
seperti bagaimana memperbaiki cakupan. Ini juga akan memberikan kesempatan
bagi tim petugas kesehatan untuk berbagi pengalaman-pengalaman positif dari
satu daerah ke daerah lain. Evaluasi jangka menengah ini akan memberikan suatu
rasa kepemilikan dan pemberdayaan pengobatan massal baik bagi petugas
kesehatan maupun Tenaga Pembantu Eliminasi (TPE). Selain itu, hal tersebut juga
memberikan solusi bagi kesulitan-kesulitan serta peran dalam mensukeskan
program akselerasi filariasis.

69
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN PENYAKIT GLOBAL
(PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH)

1. Perencanaan
1.1 mengkaji situasi
Dari hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT 1986) yang dilakukan di
tujuh provinsi dengan menghasilkan prevalensi penyakit jantung iskemik dan
lainnya. Pada golongan umur 15-24 tahun adalah 18,3 per 100.000 penduduk.
Angka ini meningkat dengan tajam pada golongan umum 45 -54 tahun, yakni
174,6 per 100.000 penduduk dan 461,9 per 100.000 penduduk pada umur 55
tahun ke atas. Sedangkan kematian kardiovaskuler dengan sebab utama penyakit
jantung iskemik dan lainnya adalah 17,5 per 100.0000 penduduk dan kematian
yang berkaitan dengan penyakit tersebut adalah 27,4 per 100.000 penduduk.
1.2 Tujuan
Untuk mengumpulkan data/fakta yang berkaitan dengan masalah penyakit
jantung koroner yang dijadikan dasar penyusunan perencanaan.
1.3 Program
Permenkes R.I No.1575 tahun 2005 tentang Struktur Organisasi
Departemen Kesehatan RI tentang pembentukan Direktorat Pengendalian
Penyakit Tidak Menular. Yang didalamnya terdapat Subdit Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah. Adapun programnya adalah sebagai berikut:
Surveilans
 pengembangan jejaring kerja antar institusi penyelenggara surveilans
 pelembagaan dan pengembangan kapasitas surveilans penyakit jantung
dan pembuluh darah pada berbagai tingkatan
 pembuatan standarisasi penyelenggaraan surveilans faktor risiko,
surveilans penyakit, registri kematian
 advokasi kepada pengambil keputusan di pemerintahan maupun pada
masyarakat yang peduli dalam pengendalian penyakit jantung dan
pembuluh darah

70
Promosi dan pencegahan penyakit
 advokasi kepada pengambil keputusan baik dalam pemerintahan maupun
masyarakat yang peduli terhadap pengendalian penyakit jantung dan
pembuluh darah
 bina suasana
 pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran serta masyarakat
dalam berbagai bentuk kegiatan
Manajemen pelayanan kesehatan
 peningkatan kompetensi pelayanan dalam deteksi dini dan
penatalaksanaan
 melakukan efisiensi penggunaan teknologi canggih
 pengembangan program dan standar pelayanan penyakit jantung dan
pembuluh darah
 standarisasi pencatatan dan pelaporan dalam pengendalian penyakkit
jantung dan pembuluh darah (Depkes RI, 2003).
1.4 kriteria hasil dan yang akan dievaluasi
Survailence
 terbentuknya jejaring kerja antar institusi penyelenggara surveilans
 tersedianya metode dan instrumen standar
 terbentuknya unit yang bertanggung jawab terhadap standarisasi
penyelenggaraan surveilans
 tersedianya informasi faktor resiko, angka kesakitan, angka kecacatan, dan
angka kematian terkait penyakit.
Promosi dan pencegahan penyakit
 adanya kebijakan publik yang mendukung pengendalian.
 Menurunya faktor resiko penyebab kejadian penyakit.
 Meningkatnya kualitas dan kuantitas kemampuan tenaga dalam melakukan
promosi pencegahan penyakit.
 Terbentuknya kemitraan dalam pemberdayaan masyarakat.

71
Manajemen pelayanan kesehatan
 Tersusunnya standar pedoman penemuan dan tata laksana kasus
 Meningkatnya pelatihan berbasis kompetensi dalam pengendalian.
 Tersedianya obat-obatan dan terapi dalam pengendalian
 Tersedianya pelayanan berbasis masyarakat (Depkes RI, 2003).

2. Pengorganisasian
Fungsi oengorganisasian meliputi aktivitas-aktivitas pembagian kerja,
penentuan tanggunag jawab, dan wewenang, dan pembuatan hubungan kerja
untuk memungkinkan organisasi menyadari tujuan bersama yang berkaitan
dengan keefektifan dalam komunikasi. Semua fungsi tersebut diorganisir dengan
tenaga dan sumber daya yang dimiliki masyarakat setempat yang diorganisir dan
dibawahi langsung oleh tenaga kesehatan di bawah dirjen pengendalian penyakit
tidak menular yang bertanggung jawab kepada Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Adapun pembagian tugas dan masing-masing elemen sesuai dengan
fungsi dan program yang telah ditetapkan.

3. Pengarahan
Pengarahan dilakukan sebagai fungsi manajemen keperawatan dalam
pelaksanaan program pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah
meliputi: (1) proses pendelegasian; (2) pengawasan; (3) koordinasi; (4)
pengendalian implementasi, rencana organisasi. Salah satu kegiatan pengarahan
dalam program pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah yang paling
penting adalah kegiatan supervisi yang dilakukan kepala program pelaksana yang
bertujuan untuk mengevaluasi program.

4. Pengawasan
Fungsi pengawasan dalam program pengendalian penyakit jantung dan
pembuluh darah yang dilakukan meliputi: (1) memutuskan informasi tentang data
penderita penyakit jantung dan pembuluh darah yang akan dikumpulkan; (2)
menganalisis data tersebut; (3) memberikan umpan balik program dari hasil

72
analisis. Selain itu, juga melakukan sistem monitoring sesuai dengan panduan
Depkes RI 2005 yaitu: (1) menilai apakah program berjalan dengan benar,
bagaiman kemajuannya, adakah penyimpangan atau masalah; (2) menilai apakah
input dan proses yang dilakukan menghasilkan perbaikan sesuai target; (3)
menilai apakah umpan balik tentang hasil dan proses berkaitan dengan data yang
ada; (4) menilai adakah faktor lingkungan dan internal yang berpengaruh pada
pelaksnaan program.
Kemenkes kepada jajaran kesehatan Pusat dan Daerah bersama lintas
sektor terkait untuk melakukan berbagai langkah dalam memantapkan
pelaksanaan program baik di pintu masuk negara maupun di luar pintu masuk
negara. Indikator untuk mencapai Pengendalian Penyakit Tidak Menular terutama
penyakit jantung dan pembuluh darah, telah dikembangkan berbagai kegiatan baik
promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitative.

73
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (PENYAKIT GANGGUAN METABOLIK)

1. Perencanaan
1.1 Analisis Kejadian Penyakit
Pada tahun 1980, prevalensi (GAKY) pada anak usia sekolah adalah 27,7%,
prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi
perubahan yang berarti, GAKY masih dianggap masalah kesehatan masyarakat,
karena secara umum prevalensi masih di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi
antar kecamatan dan masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas
30% (daerah endemik berat). Dilaporkan dalam hasil survai pemetaan gondok
1998 yang telah dipublikasikan WHO tahun 2000, bahwa 18,8% penduduk hidup
di daerah endemik ringan, 4,2% penduduk hidup di daerah endemik sedang, dan
4,5% penduduk hidup di daerah endemik berat. Diperkirakan pula sekitar 18,2
juta penduduk hidup di wilayah endemik sedang dan berat; dan 39,2 juta
penduduk hidup di wilayah endemik ringan. Menurut jumlah kabupaten di
Indonesia, maka diklasifikasikan 40,2% kabupaten termasuk endemik ringan,
13,5% kabupaten endemik sedang, dan 5,1% kabupaten endemik berat.
Tahun 2003 dilakukan lagi survei nasional, yang dibiayai melalui Proyek
IP-GAKY, untuk mengetahui dampak dari intervensi program penanggulangan
GAKY. Dari hasil survei ini diketahui secara umum bahwa TGR pada anak
sekolah masih berkisar 11,1%. Survei nasional evaluasi IP GAKY ini
menunjukkan bahwa 35,8% kabupaten adalah endemik ringan, 13,1% kabupaten
endemik sedang, dan 8,2% kabupaten endemik berat.
1.2 Tujuan Jangka Panjang
a. Pelestarian proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi garam dengan
kandungan yodium yang cukup di SEMUA kabupaten/kota di Indonesia
b. Pelestarian cakupan kapsul minyak beryodium di SEMUA daerah endemik
GAKY berat dan sedang
1.3 Tujuan Jangka Pendek

74
a. Peningkatan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi garam dengan
kandungan yodium yang cukup secara nasional di Indonesia
b. Peningkatan cakupan distribusi kapsul minyak beryodium di daerah
endemis GAKY berat dan sedang

2. Pengorganisasian
Rencana aksi program penanggulangan GAKY sesuai dengan tujuan jangka
panjang tahun 2006-2010 dibuat dengan kebijakan pengorganisasian sebagai
berikut, antara lain.
1. Meningkatkan komitmen politik di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kota
melalui advokasi, koordinasi, penyediaan dana yang berkesinambungan dan
pengintegrasian upaya penanggulangan GAKY dengan program
pembangunan dalam rangka menjamin keberlangsungan upaya
penanggulangan GAKY.
2. Meningkatkan produksi garam rakyat menuju swa sembada garam konsumsi,
penerapan teknologi baru, fasilitasi pasokan air laut dan pengamanan pasar
garam rakyat dalam rangka menjamin keberlangsungan produksi yang
menguntungkan pegaram.
3. Mempercepat pemenuhan pasokan garam beryodium yang memenuhi syarat
melalui peningkatan luas lahan garam, produktifitas dan kualitas garam
rakyat, pengembangan yodisasi garam pada sentra produksi dan distribusi,
pembinaan dan pengawasan produsen dan distribusi, pemenuhan kebutuhan
dan distribusi KIO3, dan kemitraan distribusi dan pemasaran garam
beryodium dalam rangka menjamin ketersediaan garam beryodium di tingkat
rumah tangga.
4. Meningkatkan pemantauan kualitas garam beryodium untuk konsumsi
melalui pengawasan kualitas garam pada tingkat produksi dan distribusi,
koordinasi tindak lanjut hasil pengawasan dengan melibatkan aparat penegak
hukum, koordinasi lintas batas propinsi dan kabupaten/kota, standarisasi dan
sosialisasi metode uji, penyebar luasan hasil pengawasan kepada masyarakat
luas serta peningkatan akses uji garam beryodium cepat di masyarakat dalam

75
rangka menjamin ketersediaan garam beryodium yang memenuhi syarat di
tingkat rumah tangga.

5. Pemenuhan kebutuhan kapsul minyak beryodium untuk daerah-daerah


endemik sedang dan berat dimulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi
dan monitoring evaluasi yang disesuaikan dengan era desentralisasi.
6. Menegakkan norma sosial dan hukum melalui promosi garam beryodium,
promosi penggunaan alat uji, penguatan sistem pemantauan penegakan
hukum serta upaya tindak lanjut hasil temuan dalam rangka meningkatkan
partisipasi masyarakat dan pengusaha garam.
7. Meningkatkan kelembagaan penanggulangan GAKY yang melibatkan
komponen pemerintah, swasta, masyarakat dan asosiasi melalui peningkatan
kelembagaan produksi garam rakyat, kelembagaan produsen garam
beryodium, koordinasi pengawasan distribusi garam beryodium, koordinasi
tim GAKY pusat, propinsi dan kabupaten/kota serta peningkatan
kelembagaan keilmuan dalam rangka memperkuat kapasitas dan
profesionalitas lembaga.
8. Meningkatkan monitoring dan evaluasi program melalui penguatan sistem
informasi manajemen penanggulangan GAKY yang terintegrasi,
pengembangan database, pengembangan surveilans sentinel yang terintegrasi
dengan surveilans gizi serta pembinaan kemampuan daerah dalam
pengumpulan data secara reguler dalam rangka meningkatkan efisiensi
pelaksanaan program dan memberi masukan bagi arah kebijakan
penganggulangan GAKY.
Rencana aksi program penanggulangan GAKY sesuai dengan tujuan jangka
panjang tahun 2006-2010 dibuat kebijakan pengorganisasian dengan strategi
kebijakan sebagai berikut, antara lain.
1. Advokasi
Advokasi dilakukan kepada pengambil keputusan baik eksekutif, legislatif
maupun yudikatif dengan tujuan untuk memberikan pengertian dan pehamanan
serta peningkatan komitmen upaya penanggulangan GAKY. Advokasi harus

76
dilakukan secara terus menerus dan periodik di setiap tingkatan pemerintahan baik
di tingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota.
2. Pemberdayaan Pegaram
Pegaram sebagai salah satu elemen kunci dalam rantai ketersediaan garam
nasional harus diberdayakan antara lain melalui peningkatan penguasaan
teknologi pegaraman dan yodiasi garam agar mampu menghasilkan garam
beryodium yang memenuhi syarat. Pemberdayaan meliputi tahap produksi,
teknologi yodisasi serta pemasaran garam melalui pembentukan kelompok dan
kemitraan.
3. Pengamanan pasar garam rakyat
Pengamanan pasar garam rakyat perlu dilakukan untuk menjamin
kelangsungan usaha dan pasokan garam serta kehidupan sosial ekonomi pegaram.
Pengamanan pasar garam rakyat dilakukan melalui kemitraan kelompok pegaram,
pengusaha besar termasuk PT Garam.
4. Pengawasan di tingkat produksi, distribusi dan konsumsi garam
Pengawasan kepada produsen dan distributor garam dilakukan untuk
menjamin ketersediaan garam beryodium yang berkualitas sehingga dapat
dijangkau oleh rumah tangga. Pengawasan ini harus dilakukan secara
terkoordinasi antara daerah penghasil dan daerah pengguna garam beryodium
disertai dengan penindakan terhadap pelanggaran yang dilakukan baik di tingkat
produksi maupun distribusi.
5. Penegakan norma sosial dan penegakan hukum
Penegakan norma sosial dilakukan untuk memberikan pemahaman dan
kesadaran kepada seluruh stakeholder akan pentingnya garam beryodium dalam
upaya penanggulangan GAKY. Konsumen, lembaga swadaya masyarakat,
penggerak masyarakat dan media masa harus memberi tekanan kepada pihak
eksekutif, legislatif, yudikatif, produsen dan distributor bagi penyediaan garam
beryodium. Penggerak masyarakat ikut mengambil peranan aktif sebagai penekan
berbagai kebijakan pemerintah serta penekan kepada produsen dan distributor
garam. Penegakan hukum lebih ditekankan pada upaya tindak lanjut oleh aparat

77
berwenang terhadap hasil temuan dalam pengawasan dan pemantauan
ketersediaan dan mutu garam beryodium
6. Kemitraan
Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan
GAKY, maka prinsip kemitraan harus diterapkan dalam setiap upaya yang
dilakukan untuk menjamin respon yang positif dan sinergi di antara semua
stakeholder, mencakup pemerintah di semua tingkatan, asosiasi produsen,
kelompok konsumen, organisasi massa, media masa, lembaga donor, dan lembaga
terkait lainnya.

3. Pengarahan
A. Peningkatan Komitmen
1. Advokasi secara periodik di tingkat pusat, propinsi dan
kabupaten/kota.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan dan
mempertahankan komitmen setiap stakeholder terhadap upaya
penangulangan GAKY. Kegiatan yang dilakukan meliputi penyediaan
media dan sarana advokasi, pelaksanaan dan evaluasi advokasi.
2. Memperkuat koordinasi penanggulangan GAKY
Tujuan dari upaya ini adalah untuk mensinkronkan setiap upaya
penanggulangan GAKY agar selaras dengan kesepakatan bersama.
Kegiatan yang dilakukan adalah dengan mengadakan pertemuan dalam
perencanaan kegiatan serta monitoring dan evaluasi. Koordinasi
dilakukan sejak penyusunan rencana, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi program.
3. Integrasi upaya penanggulangan GAKY dengan program
pembangunan lain
Tujuan dari upaya ini adalah untuk menjamin agar penanggulangan
GAKY merupakan upaya yang terintegrasi serta merupakan bagian
penting dari programprogram pembangunan lainnya seperti

78
penanggulangan kemiskinan, pengembangan SDM dan pembangunan
ekonomi. Kegiatan yang dilakukan dimulai dari tahap perencanaan
yaitu dengan perencanaan kegiatan penangulangan GAKY ke dalam
berbagai kegiatan di masing-masing instansi.
B. Pemberdayaan masyarakat pegaram
Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan produksi dan kualitas
garam rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan garam dalam negeri
sekaligus meningkatkan kesejahteraan pegaram.

4. Pengawasan
Monitoring dan Evaluasi dengan tujuan untuk meningkatkan efisiensi
pelaksanaan manajemen yakni untuk perencanaan dan monitoring dan evaluasi
kegiatan penanggulangan GAKY dimasa yang akan datang. Kegiatan yang
dilaksanakan adalah:
1. Memantapkan indikator monitoring dan evaluasi GAKY dalam Sistem
Informasi Manajemen GAKY (SIM GAKY) sesuai dengan Standar
Pelayanan Minimum (SPM).
2. Mengembangkan surveilens GAKY sentinel yang terintegrasi dengan
surveilens Gizi.
3. Melanjutkan monitoring konsumsi garam beryodium tingkat rumah tangga
secara nasional dan reguler tiap 3 tahun sekali.
4. Melakukan monitoring status GAKY setiap 3 tahun dengan indikator UIE di
daerah endemik di bawah tanggung jawab Pemerintah Daerah.
5. Mengembangkan data base GAKY dalam web GIZI.NET.

79
ANALISIS SITUASI PROGRAM PENGENDALIAN
PENYAKIT GLOBAL (DM)

1. Analisis Situasi
Prevalensi penyakit Diabetes terus meningkat di seluruh dunia.WHO
memprediksiadanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar
untuk tahun-tahunmendatang. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan
jumlah pasien dari 8,4 jutapada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun
2030. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa.
Dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar
7,2%, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat penyandang diabetes sejumlah
8,2 juta di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola
pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta
penduduk yang berusia di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada
urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.
Penderita DM di Indonesia tidak hanya orang tua, namun remaja dan
dewasa muda pun juga terkena DM. Distribusi usia penderita DM menunjukkan
perbedaan pola antara negara maju dan negara berkembang. Di negara maju
dengan tingkat ekonomi dan pelayanan kesehatan yang lebih baik, prevalensi DM
lebih tinggi pada kelompok umur lebih tua.Sebaliknya, prevalensi DM umumnya
pada kelompok umur 45-64 tahun di negara berkembang. Pola ini diperkirakan
akan sama pada tahun 2025-2030. Hasil penelitian di Depok menunjukkan DM
lebih tinggi prevalensinya pada kelompok umur 46-55 tahun. Di Manado
umumnya pasien DM tipe 2 yang berobat ke Rumah Sakit PRDK tahun 2008 pada
usia 51-60 (44%) dan rata-rata umur 57 tahun. Data dari negara-negara Asia
menunjukkan prevalensi DM tertinggi pada kelompok umur 30-49 tahun. Ini
menunjukkan bahwa DM terjadi pada usia produktif di Asia.

80
2. Penyakit Global Terkait Diabetes Milletus
Jumlah penderita diabetes yang terus meningkat di semua negara
(termasuk Indonesia) menjadikan penyakit ini sebagai ancaman global, sehingga
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2007 mengeluarkan resolusi yang
menetapkan tanggal 14 November sebagai Hari Diabetes Sedunia, untuk
meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran masyarakat internasional terhadap
diabetes. Data dari IDF juga mengungkapkan, pada tahun 2012 diperkirakan ada
lebih dari 371 juta penderita diabetes di seluruh dunia ; itupun dengan kenyataan
bahwa sekitar 50% dari seluruh penderita diabetes tidak terdeteksi atau tidak
mengetahui bahwa mereka menderita diabetes. Sayangnya, walaupun penyakit ini
sudah tidak asing bagi masyarakat kita, sampai sekarang masih ada begitu banyak
kesalahpahaman dan mitos tentang diabetes yang diwariskan turun-temurun dan
hidup dalam masyarakat kita. Mitos dan kesalahpahaman itu sungguh sangat
merugikan kita, karena membuat masyarakat kita menjadi lalai dan salah dalam
hal pencegahan, perawatan, dan pengobatan diabetes. Berikut ini adalah
bermacam-macam mitos dan salah paham tentang diabetes yang berkembang
dalam masyarakat kita, dan penjelasan atau “klarifikasi” dunia medis terhadap
salah paham yang ada.
Perubahan cukup besar dalam bidang kedokteran, terjadi pada tahun 1921,
yaitu setelah Dr. Frederick Banting dan Prof. Charles Best (keduanya dari
Inggris), berhasil menemukan suatu zat yang disebut insulin. Dengan bantuan
penambahan insulin buatan, para penderita kencing manis dapat hidup dengan
lebih balk dan dapat mencapai usia yang relatif normal. Menurut data WHO
(World Health Organization) tahun 1990, lebih kurang 2% dari total penduduk
dunia, merupakan penderita penyakit kencing manis.

3. Diagnosa
 Pemeriksaan dimulai dengan sejarah medis dan pemeriksaan fisik.
 Pengujian glukosa darah akan dilakukan. Pengujian dapat
dilakukan baik secara acak, puasa, atau sebagai bagian dari tes toleransi

81
glukosa, yang mengukur glukosa darah setelah pasien menelan sirup tes
gula.
 Pada pasien dengan diabetes, tes darah untuk tingkat hemoglobin
A1c dapat digunakan untuk mengikuti kecukupan pengendalian gula
darah. Hal ini memberikan pengukuran yang cukup akurat akan gula
darah rata-rata selama dua sampai tiga bulan sebelumnya. Risiko
komplikasi lebih rendah pada pasien yang mempertahankan nilai-nilai
A1c lebih rendah.
 Pada beberapa pasien, diabetes tipe 1 dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan darah yang mengidentifikasi antibodi yang ditujukan
terhadap pankreas. Namun, tidak ada tes untuk diabetes tipe 2 selain
pengukuran gula darah.
 Skrining untuk diabetes gestasional adalah bagian rutin
pemeriksaan prenatal. Skrining biasanya terjadi antara 24 dan 28 minggu
kehamilan dan melibatkan tes gula darah yang sama seperti dengan jenis
lain diabetes.

82
DAFTAR PUSTAKA
(Analisis Situasi Polio)
Marquis, B.L. and Huston, Carol J. 2006. Leadership Roles and Roles
Management Functions in Nursing: Theory and Application. Philadelphin:
Lippincot Williams & Wilkins.
Gillies, D.A. 2000. Nursing Management: A System Approach. Philadelphia: W.B
Sauders Company.

(Analisis Situasi Demam Berdarah)


Anonim. 2011. Informasi Umum Demam Berdarah Dengue.
http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/INFORMASI_UMUM_D
BD_2011.pdf
Anonim. 2012. Evaluasi Program Pencegahan Dan Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue Puskesmas Kecamatan Grogol Periode 2010-2012
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/179869962?
extension=pdf&ft=1394617341&lt=1394620951&user_id=145963498&ua
hk=vJu8mYFP6KyAdaw214livzvVQXA
Ditjen P2M dan PL Depkes RI. 2004. Buletin Harian. Perilaku dan Siklus
Nyamuk Aedes Aegypty dalam Melakukan Kegiatan Pemantauan Jentik
Berkala. Depkes RI: Jakarta.

(Analisis Situasi Malaria)


Kementrian Kesehatan Nasional RI.2011.Buletin Jendela Data dan Informasi
Epidemiologi Malaria di Indonesia. Serial online
www.depkes.go.id/.../BULETIN%20MALARIA.pdf.[12 Maret 2014]

(Analisis Situasi Kusta)

83
Badan Pusat Statistik. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agragat Per
Kecamatan Kabupaten Jember. Jember: BPS [Serial Online].
http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/3509.pdf
Susanto, Tantut. 2010. Penagalaman Klien Dewasa Menjalani Perawatan Kusta
di Wilayah Kerja Puskesmas Jenggawah Kabupaten Jember Jawa Timur:
Studi Fenomenologi. Depok: FIK UI [Serial Online]. http://lontar.ui.ac.id/
file?file=digital/20285751-T%20Tantut%20Susanto.pdf

(Analisis Situasi TB)


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Stop TB Terobosan Menuju
Akses Universal Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-
2014 .[serial online].
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/STRANAS_TB.pdf. [diakses 12
Maret 2014].
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2013. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Timur 2012. [serial online].
http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/15_
Profil_Kes.Prov.JawaTimur_2012.pdf. [diakses 12 Maret 2014].

(Analisis Situasi ISPA)


Alsagaff, Hood & Mukty, Abdul Editor. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Airlangga University Press.
Departemen Kesehatan RI. 1991. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) untuk Kader. Direktorat Jendral
pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman.
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
Klinikita. 2007. Kesehatan Anak di Daerah Tropis. Bumi Aksara.

84
(Analisis Situasi Kanker)
Dumesty, Refni. 2012. Komparasi Implementasi Pengendalian Kanker Serviks
Pada Progrram Rutin Dan Pilot Project Bulan Cegah Kanker Serviks Di
Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan 2011-2012 [ Serial Online]
http://lontar.ui.ac.id/file?
file=digital/20313416T3127Komparasi+implementasi.pdf ( 12 Maret
2014)
MCAP. 2013. PTKP Kecamatan, Ujung Tombak Penanggulangan Kanker
Terpadu Paripurna. [ Serial Online]
http://www.depok.go.id/22/03/2013/03-kesehatan-kota-depok/ptkp-
kecamatan-ujung-tombak-penanggulangan-kanker-terpadu-paripurna (12
Maret 2014).

(Aalaisis Situasi HIV/AIDS)


Depkes. 2013. Pengendalian Penderita HIV/AIDS dengan Pengobatan ARV.
http://www.depkes.go.id/
Komisi Penanggulangan AIDS. 2007. Strategi Nasional Penanggulangan HIV
dan AIDS 2007-2010.
http://www.undp.or.id/programme/povertyreduction/The%20National
%20HIV%20%26%20AIDS%20Strategy%202007-

(Analisis Situasi Filariasis)


Dinkes NTT. 2005. Alat Bantu (Tool Kit) untuk Eliminasi Filariasis: Panduan
Pelaksanaan bagi Petugas Kesehatan di Indonesia. Nusa Tenggara Timur.
Kemenkes RI. 2010. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis
di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI. 2010. Filariasis di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI

(Analisis Situasi Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah)


Depkes RI. 2003. Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan
Penanggulangan PTM. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I.

85
(Analisis Situasi Penyakit Metabolik)
RAN KPP GAKY. 2004. Rencana Aksi Nasional Kesinambungan Program
Penanggulangan Gaky.
(Analisis Situasi DM)
PB PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
di Indonesia. 2006.
Sekeon, S.A.S. The Epidemyologi and Control of Type 2 Diabetes Mellitus in
North Sulawesi Province, Indonesia (Thesis). Vrije Iniversiteit
Amsterdam: 2008.
American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus. Diabetes Care 2008;31:S55–60.
WHO. Prevention of Diabetes Mellitus: Report Of A WHO Study Group. WHO
Tech Rep Ser 1994; 844:1–100.

86

Anda mungkin juga menyukai