Oleh karena itu, peran pemerintah dalam upaya pembuatan atau pengembangan
vaksin adalah untuk mengurangi penyebaran Covid-19, setidaknya
meminimalkan angka kesakitan dan kematian akibat Covid-19, memastikan
keberhasilan sistem kekebalan kelompok, dan memastikan bahwa Covid-19 tidak
ada. Berhasil serta dapat melindungi masyarakat dari penularan infeksi.
Menghilangkan virus dan pada akhirnya mampu menjaga produktivitas sosial dan
ekonomi (Direktur P2P, Kementerian Kesehatan, Indonesia, 2020).
Sementara itu, menurut Menkes, vaksin Covid-19 ini memiliki tiga keunggulan,
salah satunya adalah melindungi tubuh sedemikian rupa sehingga setiap orang
yang divaksinasi menjadi kebal dari serangan penyakit virus langsung tersebut.
Karena penyakit ini tidak menular atau menular, penyakit ini lebih resisten dan
dapat melindungi populasi lain yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan
vaksin. (Yud Winant, 2020).
1
Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim, hal ini
menyebabkan timbulnya bebeapa pemahaman berbeda terhadap pengadaan
vaksinasi pada masyarakat umum terutama muslim. Oleh karenanya, diperlukan
adanya pembahasan mengenai pandangan Islam dari perspektif sejarah dan
kontemporer yang berfokus pada beberapa aspek berikut:
“Jika kalian mendengar tentang wabak penyakit taun di sesuatu tempat, maka
janganlah kalian memasuki tempat tersebut. Sekiranya wabak penyakit tersebut
terkena di sesuatu tempat dan kalian sedang berada di tempat itu, maka
janganlah kalian keluar dari kawasan tersebut (Abdul Aziz 1999; al-Bukhari
2003)”.
Islam sangat mendukung pencegahan penyakit dengan cara medis yaitu Allah
S.W.T. halal di sisi Allah S.W.T. dan melarang sepenuhnya cara-cara
pengobatan yang menggunakan haram dan merugikan. Ummu Darda, Abu
Darda, beliau bersabda: Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya:
Namun pendapat mengenai vaksin semakin meluas, ada kelompok opini yang
menyatakan bahwa vaksin diharamkan. Alasan keharamannya ini bermacam-
2
macam, mulai dari alasan dasar hingga alasan pendukung dan tambahan.
Alasan untuk mengharamkan tersebut adalah sebagai berikut:
3
Segala bentuk vaksinasi hanyalah produk pengobatan barat yang hanya
berdasarkan akal dan logika saja. Pada saat yang sama, kita sebagai
umat Islam sebenarnya menerima metode penyembuhan dari nabi yang
diwahyukan (tibbun nabawi) seperti madu, minyak zaitun, kurma, jintan
hitam, dan lain-lain. Tentu jauh lebih berkah karena merupakan bagian
dari mukjizat Nabi Muhammad SAW. Jadi jika umat Islam tetap memilih
menggunakan produk pengobatan barat, itu sama saja dengan
meninggalkan metode pengobatan Nabawi.
7. Meski sudah divaksin, hal ini masih belum menjadi jaminan, ada
beberapa laporan bahwa anak mereka yang tidak divaksin masih sehat
dan sebenarnya lebih sehat dibandingkan anak yang divaksin.
Banyak pertanyaan kontroversial yang muncul, apakah bahan yang digunakan
atau efek samping dari suntikan vaksin. Proses pembuatan vaksin menggunakan
virus atau bakteri atau bakteri dan bahan kimia khusus yang kemudian
disuntikkan ke dalam tubuh manusia yang Allah S.W.T. ciptakan dengan baik
sejak kecil. Masyarakat yang menolak vaksin seringkali bertanya, mengapa bayi
baru lahir harus divaksinasi? Apakah antibodi alami diciptakan oleh Allah S.W.T
tidak cukup? Anda tidak dapat melawan penyakit tersebut sehingga Anda harus
menyuntikkan "racun" untuk mencegah penyakit tersebut? Dalam hal ini Islam
tidak menggunakan cara yang paling mudah, namun sepanjang bersifat preventif
dan tidak merugikan, serta tidak ada alasan untuk melarangnya, maka tetap
diperbolehkan melalui metode fiqh yaitu 'al-aslu fi. . al-ashya' al-ibahah', yang
mana apapun yang diciptakan Allah adalah “halal” dan dapat digunakan kecuali
ada nash syariat yang shahih dan jelas yang melarangnya. Salman al-Fari
adalah Nabi s.a.w. bersabda yang artinya: “Halal adalah sesuatu yang dihalalkan
Allah dalam Kitab-Nya dan Haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam
Kitab-Nya. Dan mana-mana yang didiamkanNya sahaja, maka itu termasuk apa
yang dimaafkan buat kamu (Abdul Aziz 1999: 2680)”. Rasulullah s.a.w. bersabda
lagi yang bermaksud:
“Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun sudah jelas. Dan di antara
keduanya itu ada beberapa perkara yang masih samar-samar, tidak ramai orang
yang mengetahuinya, adakah ia dari yang halal ataupun ia dari yang haram?
Maka barangsiapa yang meninggalkan yang syubhat itu kerana hendak
membersihkan agamanya dan kehormatannya, maka selamatlah ia. Dan
4
barangsiapa yang mengerjakan sesuatu dari yang samar-samar itu, maka akan
hampir-hampirlah ia terjatuh ke dalam yang haram. Sebagaimana orang yang
mengembala (binatang ternakan) di tempat larangan, dia mungkin akan
terjerumus ke dalamnya. Ingatlah, bahawa bagi setiap raja ada tempat
larangannya, dan bahawa tempat larangan Allah adalah semua perkara yang
diharamkanNya” (Abdul Aziz 1999; al-Bukhari 2003)”.
Dalam Islam, menurut konsep maqasid syariah menciptakan kebaikan
(maslahah), menolak keburukan, dan menghilangkan keburukan (mafsadah) (al-
Qardawi 2004; Azizi 2017), Islam tidak melarang penggunaan vaksin selama
tidak merugikan sendiri selain Islam juga tidak dilarang jika kita menolak vaksin,
menggunakan obat lain sebagai alternatif, jika tidak merugikan diri sendiri dan
masyarakat pada umumnya.
2. Tantangan Kontemporer dan Respons Islam
Sejarah mencatat bahwa vaksin pertama kali ditemukan pada abad ke-17, sekitar
tahun 1600-an. Pada masa itu, bangsa-bangsa Eropa dan wilayah lainnya
mengalami wabah penyakit yang sangat mematikan, yaitu cacar. Wabah ini
menyebabkan kematian lebih dari 400.000 jiwa setiap tahun di Eropa. Dokter
asal Inggris, Edward Janer, dikenal sebagai pelopor imunologi, berhasil
menemukan teori vaksin pada tahun 1749. Ia dianggap sebagai bapak imunologi
karena memperkenalkan konsep vaksin dan menemukan vaksin cacar, vaksin
pertama di dunia, pada tahun 1796.
Dalam sejarah Islam, Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi dikenal sebagai
figur yang peduli terhadap wabah penyakit cacar, yang dalam bahasa Eropa
sering disebut Rhazes. Lahir di Rayy, Iran pada tahun 865 M dan meninggal
pada tahun 925 M, ar-Razi mengeksplorasi berbagai bidang ilmu sejak usia
muda, termasuk filsafat, matematika, kimia, sastra, dan kedokteran. Dalam
perjalanan keilmuannya, ia belajar di bawah bimbingan Hunayn bin Ishaq di Kota
Baghdad.
Dalam karyanya yang berjudul Al-Judari wa Al-Hasbah (penyakit cacar dan
campak), ar-Razi secara rinci menjelaskan bahwa penyakit campak dan cacar
merupakan wabah yang sangat menular, ganas, dan berpotensi mematikan.
Menurutnya, penyakit cacar muncul ketika darah terinfeksi dan mencapai suhu
didih, menghasilkan uap yang menyebabkan pembentukan benjolan kecil berisi
darah matang..
5
Seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran dan penemuan berbagai penyakit
baru, berbagai jenis vaksin telah dikembangkan dan diaplikasikan dalam bidang
kesehatan. Vaksin diproduksi secara biologis dan mengandung antigen dalam
bentuk mikroorganisme yang telah dilemahkan atau mati secara keseluruhan
atau sebagian. Toksin mikroorganisme juga dapat diubah menjadi toksoid atau
protein rekombinan yang dicampur dengan unsur lain. Pemberian vaksin ini
menyebabkan individu memperoleh kekebalan spesifik dan aktif terhadap suatu
penyakit tertentu. Oleh karena itu, vaksinasi dapat diartikan sebagai proses
pemberian vaksin khusus untuk merangsang kekebalan aktif terhadap suatu
penyakit pada individu. Tujuannya adalah agar ketika terpapar penyakit tersebut,
individu tersebut tidak mengalami penyakit atau setidaknya hanya mengalami
gejala ringan dan tidak menularkan penyakit tersebut kepada orang lain.
Menurut Huzaemah, meskipun umumnya pintu ijtihad dianggap tetap terbuka
dalam dunia Islam, kenyataannya sedikit sekali ijtihad yang dilakukan oleh para
ulama. Hal ini sebagian disebabkan oleh kompleksitas dan peliknya
permasalahan sosial-keagamaan yang muncul akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Bidang-bidang seperti kependudukan,
ekonomi, kedokteran, psikologi, dan lain-lain semakin kompleks. Di samping itu,
pengetahuan ulama cenderung terbatas pada spesialisasi masing-masing. Oleh
karena itu, ijtihad individual dianggap tidak lagi cukup untuk menjadi solusi dalam
menanggapi permasalahan-permasalahan modernitas yang muncul. Sebagai
alternatif, Huzaemah mengusulkan kebutuhan akan lembaga ijtihad kolektif yang
melibatkan ilmuwan dari berbagai bidang ilmu.
Dengan pendekatan seperti itu, suatu kasus hukum dapat dianalisis dari
berbagai perspektif ilmu pengetahuan, sehingga hakikat permasalahan dapat
dipahami melalui kontribusi kolektif para cendikiawan. Meskipun demikian, hal ini
tidak menyiratkan adanya pembatasan terhadap individu yang mampu berijtihad,
asalkan hasilnya tidak bertentangan dengan kesepakatan yang telah dicapai.
Namun, perlu diwaspadai pula terhadap ijtihad yang tidak bertanggung jawab,
agar tidak menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. 289
6
pasif terhadap berbagai fenomena kontemporer saat ini. Hukum Islam perlu
mampu merespons tantangan-tantangan modern dengan
mengkontekstualisasikan prinsip-prinsip ushul fikih dan fikih, serta kaidah-
kaidahnya melalui konsep kemashlahatan yang menguntungkan bagi masyarakat
secara umum.
Istilah "vaksin" pertama kali muncul dalam konteks penyakit cacar. Sebelum
abad ke-18, praktisi pengobatan tradisional di Afrika, India, dan Cina telah
mencoba menerapkan metode variolasi atau inokulasi untuk mencegah cacar air.
Kamus Umum Bahasa Indonesia mendefinisikan vaksin sebagai benih penyakit
cacar yang telah dilemahkan dan digunakan untuk proses vaksinasi. Vaksinasi,
menurut kamus tersebut, merujuk pada penanaman benih penyakit cacar yang
telah dilemahkan dengan menggunakan metode tusukan atau goresan jarum,
dengan tujuan membuat seseorang menjadi kebal terhadap penularan penyakit
cacar. 291
Menurut Ramli, secara etimologi, istilah "vaksin" berasal dari Bahasa Inggris
"vaccine" dan Bahasa Latin "vaccinum," yang merujuk pada suspensi bibit
penyakit hidup yang telah dilemahkan atau dimatikan untuk memicu kekebalan.
Vaccination, dijelaskan sebagai penyuntikan dengan kuman atau produk kuman
untuk menghasilkan kekebalan dan perlindungan terhadap penyakit. 6
7
Al-Qur'an diturunkan sebagai syifa' (penyembuh), bukan obat, karena ada
banyak obat yang tidak memiliki efek penyembuhan, dan setiap penyembuh
dapat dianggap sebagai obat. Meskipun dokter ahli mampu mengidentifikasi
berbagai macam virus penyebab penyakit, namun penyakit stress yang tidak
memiliki virusnya tidak dapat dideteksi oleh tenaga medis. Oleh karena itu,
melalui terapi Al-Qur'an, penyakit yang tidak bersumber dari virus dapat
diidentifikasi.
Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat sebagai hasil dari
modernisasi, globalisasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi
memiliki dampak signifikan dalam memengaruhi nilai-nilai kehidupan masyarakat.
Tidak semua individu mampu beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat
ini, yang pada akhirnya dapat menimbulkan stres dan berujung pada timbulnya
penyakit.
Ajaran Islam mengatur segala aspek kehidupan umat Muslim, baik dalam
kehidupan pribadi, keluarga, maupun bermasyarakat, termasuk aspek
kesehatan.1,2 Dalam ajaran Islam, kesehatan dianggap sebagai hak asasi
manusia dan merupakan anugerah terbesar kedua setelah keimanan.1
Kesehatan dianggap sebagai modal utama bagi umat Muslim dalam menjalani
kehidupan dan melaksanakan kewajiban beribadah di dunia. Oleh karena itu,
umat Muslim memiliki tanggung jawab untuk merawat kesehatan dan mencari
pengobatan ketika mengalami penyakit.
Cara pencegahan penyakit yang dapat dilakukan yaitu:
Pertama, menghindari dan tidak memasuki daerah yang terkena wabah adalah
tindakan pencegahan yang telah diterapkan sejak zaman Rasulullah saw.
Karantina digunakan sebagai langkah untuk mencegah penyebaran wabah dan
menghentikan penyebarannya. Saat ditempatkan dalam karantina, para
penderita diisolasi dari pemukiman penduduk. Penderita kemudian menjalani
pemeriksaan detail dan mendapatkan perawatan medis dengan pengawasan
ketat. Mereka diizinkan meninggalkan karantina setelah dinyatakan sembuh
sepenuhnya. Rasulullah saw pernah menyampaikan: "Jika kalian mendengar
bahwa suatu wilayah terkena wabah, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah
terjadi di wilayah tempat tinggal kalian, maka janganlah kalian meninggalkannya"
(Muttafaq ‘alayh).
8
Keputusan untuk tetap berada di suatu tempat atau menghindari wilayah yang
terkena wabah bukanlah tindakan untuk menghindari tanggung jawab atau
pasrah pada takdir, tetapi merupakan usaha untuk meminimalkan jumlah korban
wabah, mengingat kehidupan seorang Muslim memiliki nilai yang tinggi. Negara
juga bertanggung jawab untuk menyediakan layanan kesehatan, termasuk
pengobatan dan obat-obatan secara gratis untuk seluruh penduduk, serta
mendirikan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan laboratorium pengobatan.
Selain itu, negara juga menyediakan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan
dan keamanan.
Dalam hal ini Nabi saw. bersabda: “Jika kalian mendengar wabah di suatu
wilayah, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah terjadi di tempat kalian
berada, jangan kalian tinggalkan tempat itu.” (HR alBukhari).
Ketika wabah menyebar di suatu wilayah, negara memiliki kewajiban untuk
menyediakan pelayanan kesehatan, termasuk pengobatan secara gratis untuk
seluruh penduduk di wilayah tersebut. Negara juga harus membangun fasilitas
kesehatan seperti rumah sakit, laboratorium pengobatan, dan sarana lainnya
untuk mendukung upaya pelayanan kesehatan dan mempercepat penanganan
wabah. Negara juga diharapkan memastikan pemenuhan kebutuhan dasar
rakyat di wilayah wabah, terutama dalam hal pangan. Meskipun wilayah yang
dikarantina, orang-orang yang sehat di luar wilayah tetap dapat melanjutkan
aktivitas mereka sehingga kehidupan sosial dan ekonomi tetap berjalan.
Selanjutnya, dalam menghadapi wabah, penting untuk memahami mekanisme
penyakit dan melakukan antisipasi pencegahan. Setiap ciptaan Allah SWT
memiliki khasiyat atau spesifikasi yang tetap, termasuk virus. Oleh karena itu,
observasi terhadap spesifisitas virus yang beragam dapat menjadi dasar untuk
menemukan pengobatan, seperti produksi vaksin, dan menerapkan strategi
pencegahan yang berdasarkan bukti ilmiah. Pada masa Kekhilafahan Islam,
dana wakaf memberikan kontribusi sekitar 30% dari pendapatan Baitul Mal, yang
besarannya telah membantu kemajuan layanan dan penelitian kesehatan karena
tidak ada tekanan untuk mengembalikan keuntungan.
9
Fu'ad Ifram al-Bustamy menyatakan bahwa sehat berarti tidak adanya penyakit,
melibatkan pembebasan dan keselamatan dari segala sesuatu yang tercela.
Kesehatan sering kali memiliki dua konsep, yaitu kesehatan jasmani yang
disebut as-shihah, dan kesehatan rohani yang disebut afiat. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata afiat diartikan sebagai sehat dan kuat, sedangkan as-
shihah diartikan sebagai keadaan baik pada seluruh tubuh dan bagian-
bagiannya, bebas dari penyakit. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sehat
merupakan kebalikan dari sakit, dan afiat didefinisikan sebagai keadaan sehat
yang sempurna (al-shihah al-tammah) serta mencakup kekuatan dan keteguhan.
Salah satu elemen kebaikan di dunia adalah kesehatan. Oleh karena itu, kita
perlu berupaya untuk menjaga kesehatan yang dimiliki dan memulihkannya saat
kesehatan itu terganggu. Dalam ajaran Islam, kesehatan menjadi perhatian
utama karena dianggap sebagai modal awal untuk beribadah kepada Allah
secara optimal. Islam menunjukkan kepedulian terhadap kesehatan melalui
banyak ayat al-Qur'an dan hadis yang menjelaskan aspek-aspek kesehatan.
Sebagai seorang Muslim, penting bagi kita untuk mendalami dan memahami al-
Qur'an sebagai panduan hidup dan sumber ilmu pengetahuan. Hal ini lebih
berlaku bagi seseorang yang berprofesi sebagai dokter Muslim, di mana ia
diharapkan untuk lebih mendalami dan mempelajari ilmu-ilmu dalam al-Qur'an,
karena segala pengetahuan, khususnya ilmu kedokteran berasal dari Al-Qur'an
dan Hadis.
5. Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Mendorong Vaksinasi
10
Vaksin Covid-19 merupakan inisiatif pemerintah untuk mengatasi dan menangani
penyebaran Covid-19, terutama di Indonesia. Tujuan dari program vaksinasi
Covid-19 adalah untuk mengurangi penyebaran virus, menurunkan angka
kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh Covid-19, mencapai kekebalan
kelompok, serta melindungi masyarakat dari ancaman Covid-19 dengan
demikian menjaga stabilitas masyarakat dan perekonomian. Meskipun demikian,
masih ada kelompok masyarakat yang menolak vaksinasi. Alasan menolak
vaksinasi bervariasi, termasuk masalah kesehatan dan pertimbangan agama.
Beberapa kelompok masyarakat yang menolak vaksinasi didasarkan pada
keprihatinan terhadap kesehatan, dengan alasan tertentu, terutama terkait
ketakutan terhadap potensi dampak buruk atau risiko kesehatan yang mungkin
ditimbulkan oleh vaksin.
11
kesehatan, termasuk pemberian vaksinasi. Sementara Pasal 9 ayat (1)
menyatakan kewajiban setiap orang untuk mematuhi penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan, dan ayat (2) menegaskan kewajiban setiap orang
untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan.Pemerintah harus terus berupaya agar partisipasi
masyarakat dalam pemberlakuan vaksin Covid-19 meningkat. Program
vaksinasi memang perlu didukung agar tercipta hard immunity.
Peran Pemerintah sebagai penyokong dan penggerak untuk mendorong serta
memberi semangat kepada masyarakat setempat agar turut melakukan tindakan-
tindakan yang positif, sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai lebih
efektif. Dalam pelaksanaan vaksinasi, Pemerintah perlu memiliki kemampuan
untuk menginspirasi semangat masyarakat, sehingga masyarakat bersedia
menjalani proses vaksinasi.
12
Berbagai vaksin telah dikembangkan dan didistribusikan ke seluruh dunia untuk
mengendalikan dan mengatasi penyakit COVID-19. Untuk memastikan vaksin
bermanfaat bagi komunitas global, prinsip-prinsip etika kebaikan, keadilan, non-
maleficence, dan otonomi harus diperiksa dan dipatuhi dalam proses
pengembangan, distribusi, dan implementasi.
13
Dalam konteks penelitian kesehatan, prinsip ini mengharuskan
bahwa risiko penelitian harus wajar dibandingkan dengan manfaat
yang diharapkan, desain penelitian memenuhi standar ilmiah, para
peneliti dapat melaksanakan penelitian sambil menjaga
kesejahteraan subjek, dan prinsip "do no harm" menentang
tindakan yang sengaja merugikan subjek penelitian.
Dalam hal ini ada pembahasan yang akan dibahas yaitu aspek-aspek etika yang
perlu diperhatikan dalam pengembangan dan distribusi vaksin terkait COVID-19
14
panjang terhadap berjangkitnya COVID-19, adalah dengan mengembangkan dan
mendistribusikan vaksin yang efektif dan aman. Dengan pesatnya pertumbuhan
penelitian vaksin dan masuknya berbagai jenis vaksin ke dalam penelitian klinis
fase ketiga dan diterbitkannya izin darurat untuk penggunaan global, berbagai
tantangan etika telah muncul, yang umumnya didasarkan pada empat prinsip
bioetika: keadilan, non-kejahatan, manfaat, dan otonomi. Tantangan-tantangan
tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori umum, antara lain
(1) Manufaktur yang aman dan berstandar serta lolos tahapan ilmiah dan etika
Keadilan adalah peradilan yang adil yang terdiri atas keadilan distributif, keadilan
berdasarkan hak, dan keadilan hukum. Keadilan distributif berarti pemerataan
sumber daya yang langka di antara semua orang; kesetaraan berarti tidak
adanya kesenjangan yang dapat dihindari atau diimbangi antara berbagai
kelompok, negara, etnis dan ras, serta masyarakat secara umum. Prinsip
beneficence menyatakan bahwa vaksin COVID-19 berfungsi memberikan
manfaat bagi individu dan meningkatkan kesejahteraannya. Otonomi dalam
pelayanan kesehatan memberikan pasien hak untuk mengambil keputusan
mengenai pelayanan kesehatannya secara mandiri berdasarkan keyakinan,
sikap, dan penilaiannya. Prinsip non-maleficence atau tidak melakukan tindakan
yang merugikan berarti “tidak merugikan” prinsip-prinsip mendasar dan penting
dalam pelayanan kesehatan dan penelitian. Di masa lalu, vaksin selalu
dikembangkan melalui serangkaian langkah yang mungkin memakan waktu
bertahun-tahun. Saat ini, mengingat kebutuhan mendesak akan vaksin COVID-
19, Uji Coba Tantangan Manusia (Human Challenge Trials/HCTs) merupakan
cara yang potensial untuk mempercepat pengembangan vaksin dan pengobatan.
Uji klinis menimbulkan beberapa masalah etika, termasuk uji coba pada manusia,
penggunaan plasebo, paten, persetujuan peserta, pertimbangan untuk anak-
anak dan wanita hamil, hak akses pasca uji coba untuk kelompok kontrol, akses
terhadap vaksin yang terjangkau, aman, dan efektif yang seharusnya
dipertimbangkan dalam pengembangan dan pembuatan vaksin COVID-19.
15
Epidemi COVID-19 juga menunjukkan adanya kesenjangan yang mendalam
antara komunitas dan kelompok masyarakat terkait layanan kesehatan, yang
disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perbedaan akses terhadap sumber
daya dan faktor sosial ekonomi. Setelah memproduksi beberapa vaksin COVID-
19 dan mengeluarkan izin darurat untuk vaksin tersebut, muncul pertanyaan
tentang bagaimana mematuhi prinsip etika keadilan dan distribusi vaksin yang
adil antar negara dan bahkan di dalam suatu negara dengan memprioritaskan
akses bagi kelompok yang berbeda. Pertanyaan-pertanyaan ini mencakup isu-isu
yang kompleks dan kontroversial seperti ekonomi, perspektif/pandangan
masyarakat, diplomasi, kesehatan masyarakat, dan pertimbangan lainnya. Oleh
karena itu, vaksinasi sebagai upaya pencegahan COVID-19 yang tepat
memerlukan perencanaan dan pelaksanaan untuk mencapai prinsip keadilan.
Mengingat pengembangan vaksin COVID-19 dalam keadaan darurat pandemi,
hal ini dapat berdampak signifikan terhadap pertimbangan etika dalam produksi
vaksin serta proses distribusi dan vaksinasi. Sejauh ini, berbagai penelitian telah
mengkaji pertimbangan etis vaksin COVID-19, namun sebagian besar meneliti
pertimbangan etis dalam produksi atau distribusi vaksin dan pelaksanaan
vaksinasi atau pada kelompok tertentu.
Memastikan akses dan distribusi vaksin yang adil baik antar negara maupun
dalam komunitas berdasarkan kelompok berisiko tinggi dan berisiko merupakan
keharusan etis dalam proses distribusi dan vaksinasi yang memerlukan perhatian
dan perencanaan khusus. Tantangan akses terhadap vaksinasi merupakan
masalah terpenting dalam penyelesaian kesulitan COVID-19. Tidak semua
negara memiliki akses yang sama terhadap vaksin, dan terdapat hegemoni
dalam akses terhadap vaksin, karena negara-negara dunia ketiga tidak
mempunyai kekuatan untuk mendapatkan vaksin. Nasionalisme vaksin
menghalangi negara-negara termiskin di dunia untuk mempunyai akses terhadap
vaksin dan dapat menjadi faktor ancaman terhadap distribusi vaksin. Hambatan
yang umum terjadi adalah kurangnya mekanisme penegakan hak asasi manusia
atau kurangnya pendanaan dari WHO.
16
pelaksanaan vaksinasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan
terkait empat prinsip bioetika, antara lain keadilan, non-maleficence, otonomi,
dan beneficence, harus dipertimbangkan pada setiap tahap pengembangan
vaksin COVID-19 serta dalam proses distribusi dan vaksinasi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, R., Sharon, G., Yustitianingtyas, L., & Widodo, H. (2021). Kebijakan
Wajib Vaksinansi Covid-19 Ditinjau dari Asas Manfaat , Kepentingan
Umum dan Hak Asasi Manusia. Indonesia Law Reform Journal, 1(3),
384–398.
Fitriani Pramita Gurning, Laili Komariah Siagian, Ika Wiranti, Shinta Devi, &
Wahyulinar Atika. (2021). Kebijakan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 Di
Kota Medan Tahun 2020. Jurnal Kesehatan, 10(1), 43–50.
https://doi.org/10.37048/kesehatan.v10i1.326
Lamadika, N., Nasria, N., & Basir, M. A. (2022). Peran Pemerintah dalam
Pelaksanaan Vaksin Covid-19 di Kelurahan Kadolo Kecamatan
Kokalukuna Kota Baubau. Jurnal Manajemen Dan Ilmu Administrasi
17
Publik (JMIAP), 4, 88–92. https://doi.org/10.24036/jmiap.v4i2.502
Rifa’i, I., Irwansyah, F. S., Sholihah, M. A., & Yuliawati, A. (2020). Dampak dan
pencegahan wabah Covid-19: Perspektif Sains dan Islam - Digital Library
UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Jurnal Lembaga Penelitian Dan
Pengabdian Masyarakat (LP2M), 1–10. http://digilib.uinsgd.ac.id/30549/
Shabri, M. (2020). Fatawa al-Ulama haula Virus Corona. Kairo: Dar Al-Basyar.
18