Anda di halaman 1dari 16

HUKUM IMUNISASI PADA BAYI DALAM FIQIH AKTUAL

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Fiqih Aktual

Dosen Pengampu : Dr. Latief Awaluddin, MA.,ME

Disusun Oleh :

Yuyun Yuningsih (19.03.2442)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentu penyusun tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafaatnya di akhirat nanti.

Makalah ini adalah makalah yang penyusun tujukan untuk memenuhi


keperluan tugas mata kuliah Fiqih Aktual di semester 6. Di dalam makalah ini
penyusun akan menyajikan pembahasan mengenai “Hukum Imunisasi Pada Bayi
Dalam Fiqih Aktual”.

Penyusun tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya
Untuk itu, penyusun mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini


penyusun mohon maaf yang sebesar-besamya.

Bandung, April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. i

Daftar Isi ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1

C. Tujuan Masalah ........................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

A. Imunisasi .............................................................................................. 3
B. Hukum dasar Imunisasi ........................................................................ 4

C. Pandangan ulama, Lembaga fatwa ....................................................... 4


D. Hukum imunisasi dalam tinjauan fiqih ................................................ 7

BAB III PENUTUPAN .................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang paling penting bagi kehidupan umat


manusia, karena berpengaruh terhadap kehidupannya dalam bermasyarakat.
Oleh karena itu manusia senantiasa mengembangkan segala hal demi
mendapatkan Kesehatan dan hal ini berkembang dari masa ke masa. Di era
modern ini alat dan obat-obatan berkembang pesat salah satunya adalah untuk
memperkuat system kekebalan tubuh manusia yaitu dengan proses vaksin.
Imunisasi diartikan sebagai pemberian vaksin yang merupakan usaha
pemberian kekebalan pada bayi dan anak-anak untuk mencegah terhadap
penyakit tertentu. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibody,
antibody ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya
menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit
yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.

Vaksin terdiri dari beberapa jenis yang masing-masingnya memiliki


kegunaan atau manfaat yang berbeda-beda. Maksudnya satu jenis vaksin
hanya untuk satu pencegahan jenis penyakit. Dari jenis vaksin yang berbeda-
beda, otomatis vaksin pun memiliki kandungan yang berbeda-beda juga.
Dalam hal ini tidak semua vaksin memiliki kandungan yang halal atau ada
ditemukan kandungan vaksin yang mengandung unsur daripada hewan babi
yang dalam Islam sudah jelas diharamkan. Babi merupaka hewan yang jelas
haram untuk di konsumsi. Selain bangkai, darah, dan hewan yang di sembelih
atas nama selain Allah, babi masuk ke dalam hewan yang di haramkan untuk
di makan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu imunisasi ?
2. Bagaimana dasar hukum imunisasi?
3. Bagaimana pandangan ulama Lembaga fatwa terhadap imunisasi?

1
4. Hukum Imunisasi dalam tinjauan fiqih ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui ap aitu imunisasi
2. Untuk mengetahui bagaimana dasar hukum imunisasi.
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan ulama, Lembaga fatwa
terhadap imunisasi.
4. Untuk mengetahui hukum imunisasi dalam tinjauan fiqih.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Imunisasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi diartikan


“pengebalan” (terhadap penyakit). Sedangkan dalam istilah kesehatan,
imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu. Imunisasi: pemindahan atau transfer antibodi [bahasa awam: daya
tahan tubuh] secara pasif. Antibodi diperoleh dari komponen plasma donor
yang sudah sembuh dari penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan
dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah
lima tahun). Vaksin adalah bibit penyakit (misal cacar) yang sudah
dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi. -Vaksinasi: pemberian vaksin
(antigen dari virus/bakteri) yang dapat merangsang imunitas (antibody) dari
sistem imun di dalam tubuh, semacam memberi “infeksi ringan”.

Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini


berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar
anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang
timbul pada masa kanak-kanak. Imunisasi memiliki beberapa jenis, di
antaranya Imunisasi BCG, Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi TT,
imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varicella,
Imunisasi HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat
dalam buku-buku kedokteran, intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit
yang perlu dihindari. Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan
perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping
yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa
kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.

Dalam ilmu kedokteran modern telah menemukan berbagai jenis obat-


obatan dan alat penyembuhan yang tidak dikenal sebelumnya. Hanya saja,
yang amat disayangkan, kebanyakan obat-obatan tersebut ditemukan dan

3
dibuat oleh tangan-tangan yang tidak peduli dengan hukum syari’at Islam,
padahal dalam waktu yang sama kaum muslimin ‘harus’ mengikuti
perkembangan zaman yang ada. Oleh karena itu, seringkali muncul
permasalahan dan pertanyaan di kalangan kaum muslimin di berbagai tempat
yang tentunya membutuhkan jawaban yang benar sesuai dengan hukum
agama Islam itu sendiri. permasalahan yang masih menyisakan tanda tanya,
diskusi hangat, dan polemik berkepanjangan adalah masalah imunisasi. Yang
secara khusus kami maksud di sini adalah imunisasi jenis vaksin polio khusus
(IPV) yang diinformasikan menggunakan enzim yang berasal dari babi.

B. Dasar Hukum Imunisasi (Pencegahan Terhadap Penyakit)

Imunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena imunisasi termasuk


penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

ُ ‫عج َْوةٍ لَ ْم يَض َُّرهُ فِ ْي ذَ لِكَ ْاليَ ْو ِم‬


‫س ٌّم َوالَ سِحْ ر‬ َ ‫صبَّ َح ُك َّل يَ ْو ٍم‬
ِ ‫س ْب َع ت َ َم َرا‬
َ ‫ت‬ َ َ ‫َم ْن ت‬

“Barang siapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia terhindar
sehari itu dari racun dan sihir.” [HR. al-Bukhari: 5768 dan Muslim:4702]

Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil


sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi. Demikian juga
kalau dikhawatirkan terjadi wabah penyakit lalu diimunisasi untuk
membentengi diri dari wabah yang menimpa maka hukumnya boleh
sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit.1

C. Pandangan Ulama Lembaga Fatwa

1. Pendapat Imam Al-'Izz ibn 'Abd Al-Salam dalam Kitab “Qawa'id Al-
Ahkam" : "boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum
menemukan | benda suci yang dapat menggantikannya, karena

1
https://almanhaj.or.id/2536-kontroversi-hukum-imunisasi-polio.html

4
mashlahat kesehatan dan keselematan lebih diutamakan daripada
mashlahat menjauhi benda najis”

2. Pendapat Imam Al-'Izz ibn 'Abd Al-Salam dalam kitab "Qawa'idh Al-
Ahkam:
“Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi'i) berpendapat :
Sesungguhnya berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan
apabila belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya,
apabila telah didapatkan - obat dengan benda yang suci - maka haram
hukumnya berobat dengan benda-benda najis. Inilah maksud dari
hadist “ Sesungguhnya. Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada
sesuatu yang diharamkan atas kalian “, maka berobat dengan benda
najis menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak
mengandung najis dan tidak haram apabila belum menemukan selain
benda najis tersebut. Sahabatsahabat kami (Pengikut Madzhab Syafi'i)
berpendapat : Dibolehkannya berobat dengan benda najis apabila para
ahli kesehatan -farmakologimenyatakan bahwa belum ada obat kecuali
dengan benda najis itu, atau obat - dengan benda najis itu -
direkomendasikan oleh dokter muslim”.

3. Pendapat Muhammad al-Khathib al-Syarbaini dalam kitab Mughni al-


Muhtaj yang menjelaskan kebolehan menggunakan benda najis atau
yang diharamkan untuk obat ketika belum | ada benda suci yang dapat
menggantikannya:
"Berobat dengan benda najis adalah boleh ketika belum ada benda
suci yang dapat menggantikannya" (Muhammad alKhathib al-
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), juz 1, h. 79)

4. Abdul Aziz bin Baz rahimahullah Ketika ditanya tentang


“Apakah hukum berobat dengan imunisasi sebelum tertimpa penyakit
seperti imunisasi?”

5
Beliau menjawab,:

‫ال بأس بالتداوي إذا خشي وقوع الداء لوجود وباء أو أسباب أخرى يخشى من وقوع الداء‬
‫بسببها فال بأس بتعاطي الدواء لدفع البالء الذي يخشى منه لقول النبي صلى هللا عليه وسلم في‬
‫ «من تصبح بسبع تمرات من تمر المدينة لم يضره سحر وال سم » وهذا‬:‫الحديث الصحيح‬
‫من باب دفع البالء قبل وقوعه فهكذا إذا خشي من مرض وطعم ضد الوباء الواقع في البلد أو‬
‫ يعالج بالدواء المرض‬،‫ كما يعالج المرض النازل‬،‫في أي مكان ال بأس بذلك من باب الدفاع‬
‫الذي يخشى منه‬

“La ba’sa (tidak masalah) berobat dengan cara seperti itu jika
dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-
sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak
atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang
artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah pada pagi
hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”

5. Fatwa MUI Nomor 04 Tahun 2016 Tentang Imunisasi Penggunaan


vaksin polio khusus :
1) Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang
berasal dari --atau mengandung--benda najis ataupun benda
terkena najis adalah haram.
2) Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita
immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang
belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.
3) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan
diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.2

2
https://www.halalmui.org/images/stories/pdf/Fatwa-MUI-No.4-Tentang-Imunisasi.pdf

6
D. Hukum Imunisasi dalam Tinjauan Fiqih

Dalam ajaran Islam menjaga Kesehatan (hifdzu al-Nafs) atas diri sendiri dan
orang lain termasuk salah satu dari lima prinsip pokok (al-Dhoruriyat al-
khomsi).

Dalam kaidah fikih disebutkan, :

ِ ِ ‫الض ََّر ُر يُدْ فَ ُع بِقَد ِْر‬


‫اال ْمكَان‬

“Bahaya (al-Dharar) harus di cegah sedapat mungkin”.

‫الد فع أولى من الر فع‬

“Mencegah lebih utama dari pada menghilangkan”

‫الض ََّر ُر يُزَ ا ُل‬

“Dharar (bahaya) harus dihilangkan”

Seperti halnya mengenai imunisasi jenis vaksin polio khusus (IPV) yang mana
memiliki kemudharatan apabila penyakit (virus) polio, tidak ditanggulangi,
maka akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang
menderitanya. Selain itu, jika bayi atau anak-anak yang menderita
immunocompromise tersebut tidak diimunisasi maka mereka akan menderita
penyakit polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber
penyebaran virus.

Vaksin polio atau meningitis produksinya menggunakan enzim tripsin dari


serum babi. Diibaratkan Air PDAM dibuat dari air sungai yang mengandung
berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan halal setelah
diproses.

Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai
enzim proteolitik (enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah
sel/protein).Pada hasil akhirnya (vaksin), enzim tripsin yang merupakan unsur

7
turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami
proses pencucian, pemurnian, dan penyaringan3.

Hal ini dapat kita ketahui hukumnya setelah memahami kaidah dalam
ushul fiqih
1. Istihalah
Maksud Istihalah di sini adalah berubahnya suatu benda yang najis atau
haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr
berubah menjadi cuka, minyak menjadi sabun, dan sebagainya.
Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa
menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat
yang kuat bahwa, perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan
dalil-dalil berikut :4
a) Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khamr apabila berubah
menjadi cuka maka menjadi suci.
b) Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan
disamak, berdasarkan sabda Nabi “ Kulit bangkai jika disamak
maka ia menjadi suci.”
c) Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya
adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan
mengharamkannya.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan masalah istihalah,:
“Dan Allah Ta’ala mengeluarkan benda yang suci dari benda yang najis
dan mengeluarkan benda yang najis dari benda yang suci. Patokan bukan
pada benda asalnya, tetapi pada sifatnya yang terkandung pada benda
tersebut (saat itu). Dan tidak boleh menetapkan hukum najis jika telah
hilang sifat dan berganti namanya.”
Maka enzim babi vaksin yang hanya sekedar katalisator yang sudah hilang
melalui proses pencucian, pemurnian, dan penyulingan sudah minimal
terkalahkan sifatnya. pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini adalah

3
https://pwmu.co/127551/01/22/imunisasi-pro-kontra-dan-tinjauan-hukum-fikihnya/
4
https://fk.uii.ac.id/wp-content/uploads/IMUNISASI-FK-UII-14-10-20176952.pdf

8
yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah (dengan
istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.
Di antara alasannya adalah karena hukum itu berputar pada ‘illah-nya
(alasan atau sebab). Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Jika sifat-sifat
najis telah hilang, maka hukum najis itu sudah tidak ada. Demikianlah
yang dijelaskan dalam kaedah ushuliyah,

َ ‫ال ُح ْك ُم يَد ُْو ُر َم َع ِعلَّتِ ِه ثُب ُْوتًا َو‬.


‫عدَ ًما‬

“Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu
ada. Begitu sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada.”5

Ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah


menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah
berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis,
lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci?
Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari
suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan
adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis
padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti
nama dan sifatnya.”

2. Istihlak
Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau
najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih
banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang
sebelumnya najis, baik rasa, warna dan baunya.
Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut menjadi
suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci.
Alasannya adalah dua dalil berikut.
Hadits pertama: Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
5
https://rumaysho.com/3541-kaedah-fikih-memahami-hukum-vaksinasi.html

9
‫ش ْي ٌء‬ ُ ‫ور ََل يُن َِّج‬
َ ُ ‫سه‬ َ ‫ْال َما ُء‬
ٌ ‫ط ُه‬
“Air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”

Hadits kedua: Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam bersabda,
َ َ‫إذَا َكانَ اَ ْل َما َء قُلَّت َ ْين لَ ْم يَحْم ْل ا َ ْل َخب‬
‫ث‬
“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin
dipengaruhi kotoran (najis).”
Dua hadits di atas menjelaskan bahwa apabila benda yang najis atau haram
bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak
menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.
Jadi suatu saat air yang najis bisa berubah menjadi suci jika bercampur
dengan air suci yang banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya
berada dalam keadaan najis tanpa perubahan. Tepatlah perkataan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, “Siapa saja yang mau merenungkan dalil-dalil yang
telah disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas
baginya bahwa pendapat inilah yang lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada
air atau benda cair yang tidak mungkin mengalami perubahan menjadi suci
(tetap najis). Ini sungguh bertentangan dengan dalil dan akal sehat. Jika
ada yang menganggap bahwa hukum najis itu tetap ada padahal (sifat-
sifat) najis telah dihilangkan dengan cairan atau yang lainnya, maka ini
sungguh jauh dari tuntutan dalil dan bertentangan dengan qiyas yang bisa
digunakan.”

3. Darurat membolehkan yang haram


Darurat dalam Berobat Dharurah (darurat) adalah suatu keadaan terdesak
untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan
bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan
binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badannya, hartanya atau
kehormatannya.
Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:

10
‫الضرورة تبيح المحظورات‬
“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang Namun kaidah ini harus
memenuhi dua persyaratan:
a) tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan
b) mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja. Oleh karena itu, al-
Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak
untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab
kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan
makan barang najis.”
4. Hukum Berobat dengan sesuatu yang Haram,
hukum asalnya haram, tetapi Boleh dalam kondisi darurat. dalilnya
keumuman firman Allah :
“… Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya….” (QS. Al- An’am: 119). Kondisi darurat, yaitu apabila
penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :
a) Penyakit tersebut harus diobat
b) Yakin bahwa obat ini bisa mencegah dan mengobati penyakit
tersebut.
c) Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.
5. Mengambil hukum yang ringan madharatnya
Berlandaskan pada kaidah fiqhiyah, ‫إذا تعارض ضرران دفع أخفهما‬. ”Jika ada
dua madharat (bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling
ringan.“

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan dari pandangan menurut ulama, dan melihat dari sisi
kaidah-kaidah ushul fiqih maka hukum imunisasi dengan alasan-alasan :
imunisasi untuk kepentingan Kesehatan sangat dianjurkan, bahkan dapat
dikatakan wajib jika berpegang pada Sadudzdzari’ah, selain itu, imunisasi
dengan dugaan adanya campuran bahan haram dan vaksin tersebut sudah
dicuci dengan bahan kimiawi maka hukumnya menjadi halal (suci) hal ini
dengan dasar istihlak. Jika ada indikasi keharaman, maka hukumnya tetap
boleh dengan alasan darurat dan mengambil madharat yang lebih ringan.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://almanhaj.or.id/2536-kontroversi-hukum-imunisasi-polio.html

https://www.halalmui.org/images/stories/pdf/Fatwa-MUI-No.4-Tentang-
Imunisasi.pdf

https://pwmu.co/127551/01/22/imunisasi-pro-kontra-dan-tinjauan-hukum-
fikihnya/

https://fk.uii.ac.id/wp-content/uploads/IMUNISASI-FK-UII-14-10-20176952.pdf
https://rumaysho.com/3541-kaedah-fikih-memahami-hukum-vaksinasi.html

13

Anda mungkin juga menyukai