Anda di halaman 1dari 16

PENULISAN ESSAY

VAKSINASI DALAM PANDANGAN ISLAM DARI


PERSPEKTIF SEJARAH DAN KONTEMPORER
Diajukan untuk memenuhi penilaian Ujian Akhir Semester
untuk Mata Kuliah Agama Islam

Oleh :
Pradipta Arya Wismaya (30523050)

PROGRAM STUDI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN


FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MENEJEMEN KESEHATAN
INSTITUR ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KOTA KEDIRI
2024

1
PENDAHULUAN
Pergantian tahun 2019 menuju 2020 menjadi sejarah baru bagi seluruh
masyarakat di belahan dunia. Bab baru yang tertulis di pergantian tahun tersebut
adalah masyarakat harus berhadapan dengan Pandemi Covid-19. Diibaratkan
bola salju yang bergulir dalam waktu lama, maka bentuknya akan semakin besar.
Sama halnya dengan Pandemi Covid-19 yang sedang terjadi jika tidak cepat
menemukan solusi maka akan lebih berisiko lagi. Mengenal lebih dalam tentang
Pandemi Covid-19, pandemi terjadi karena disebabkan oleh penyebaran penyakit
menular dalam lingkup yang luas, sedangkan Covid-19 merupakan nama resmi
dari Virus Corona.
Dapat dilihat asal usul Covid-19 tersusun dari kata “co” yang diambil dari
corona, kata “vi” yang diambil dari virus, lalu “d” diambil dari disease, dan 2019
adalah tahun di mana wabah ini pertama kali muncul. Virus Corona atau Covid-19
ini telah menyerang Indonesia sejak awal tahun 2020 lalu. Datangnya virus yang
berasal dari Wuhan ini tentu memberikan tantangan untuk Pemerintah dalam
upaya penanganannya. Virus ini tidak hanya memberi tantangan di bidang
kesehatan, ekonomi, dan sosial budaya, tetapi juga memberi tantangan tersendiri
di bidang hukum. Perkembangan sistem hukum nasional tidak boleh lupa dengan
sumber hukum materiil yang menjadi dasar dari pembentukan sistem hukumnya.
Dapat dilihat dari Pancasila, cita-cita masyarakat Indonesia, nilai-nilai,
norma-norma yang ada di masyarakat, rasa kekeluargaan, musyawarah, gotong
royong, sikap toleransi dan lain sebagainya telah mencerminkan sumber hukum
materiil sekaligus menjadi ciri dari masyarakat Indonesia yang harus dijadikan
prioritas dalam proses penataan sistem hukum selanjutnya.
Vaksinasi sebagai upaya pencegahan penyakit telah menjadi topik yang
signifikan dalam konteks global, termasuk dalam pandangan Islam. Dalam sejarah
Islam, praktik kesehatan dan pencegahan penyakit telah ditekankan sebagai
bagian integral dari ajaran agama. Secara kontemporer, tantangan baru muncul
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi medis, termasuk
vaksinasi. Dalam esai ini, kita akan mengeksplorasi pandangan Islam terhadap
vaksinasi melalui lensa sejarah dan kontemporer.
Pada tataran praktis, tidak sedikit pula respon masyarakat yang kontra
akan vaksin. Umumnya resisten terhadap kebijakan vaksinasi yang diterapkan
oleh pemerintah disebabkan kecemasan dan rasa takut akan dampak vaksin.
Pengetahuan masyarakat dipengaruhi tidak hanya karena kurang informasi, tetapi
terjadi karena usia, dan lingkungan. Seiring bertambahnya usia, aspek fisik dan
psikologis kepribadian seseorang akan berkembang. Tidak hanya itu, faktor
lingkungan pun dapat mempengaruhi pola pikir seseorang, bisa terjadi di
lingkungan kantor maupun lingkungan tempat tinggal. Maka dari itu, dua faktor
tersebut sangat mempengaruhi perubahan pola pikir manusia yang memandang
tidak yakin dengan vaksinasi.

2
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan aturan
mengenai pelaksanaan vaksinasi corona yang dimana kebijakan itu diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 84 Tahun 2020 tentang
pelaksanaan vaksinasi dalam rangka penanggulangan Pandemi Covid-19.
Pemerintah menetapkan beberapa jenis vaksin yang dapat digunakan sebagai
preventif Covid-19 yang telah terdaftar oleh WHO. Salah 4 satu vaksin yang telah
terdaftar dan beredar di Indonesia ialah Vaksin AstraZeneca. Beberapa tanggapan
masyarakat yang beragam terhadap program vaksinasi ini. Terdapat beberapa
faktor antara pihak yang mendukung dan pihak yang menentang. Karena vaksin
AstraZeneca ini dinilai haram karena bahan baku dari vaksin tersebut
Sejarah Islam mencerminkan kesadaran akan pentingnya kesehatan dan
pencegahan penyakit. Rasulullah SAW memberikan petunjuk terkait dengan
kebersihan dan menjaga kesehatan tubuh. Konsep ini tercermin dalam hadis yang
menyebutkan pentingnya menjaga tubuh agar tetap sehat. Oleh karena itu,
vaksinasi dapat dipandang sebagai langkah proaktif dalam menjaga kesehatan
individu dan masyarakat, sesuai dengan ajaran Islam.
Pentingnya kesehatan dalam Islam juga tercermin dalam prinsip-prinsip
syariah yang mendorong umat Muslim untuk menjaga tubuh sebagai amanah dari
Allah SWT. Vaksinasi, sebagai bentuk pencegahan penyakit, dapat dianggap
sebagai bentuk pelaksanaan amanah tersebut. Oleh karena itu, melalui perspektif
sejarah, kita dapat melihat kesesuaian vaksinasi dengan nilai-nilai dan ajaran
Islam terkait Kesehatan.
Namun, di era kontemporer, muncul berbagai kontroversi terkait vaksinasi.
Beberapa orang menghubungkan vaksin dengan risiko tertentu, sementara yang
lain mengklaim bahwa vaksinasi melanggar prinsip-prinsip Islam. Penting untuk
memahami bahwa fatwa (pendapat hukum Islam) dari ulama dan cendekiawan
Islam beragam terkait dengan vaksinasi. Sebagian besar ulama mendukung
vaksinasi sebagai langkah pencegahan penyakit yang sesuai dengan nilai-nilai
kesehatan dalam Islam.
Persoalan etika dalam vaksinasi juga menjadi pertimbangan. Beberapa
orang mengutip kekhawatiran tentang bahan-bahan dalam vaksin yang mungkin
tidak halal. Oleh karena itu, para ilmuwan dan pakar agama bekerja sama untuk
memastikan bahwa vaksin yang digunakan memenuhi standar kesehatan dan
kehalalan Islam.

Secara keseluruhan, melalui perspektif sejarah dan kontemporer,


vaksinasi dapat dianggap sebagai langkah yang sejalan dengan nilai-nilai dan
ajaran Islam terkait kesehatan. Pentingnya memahami bahwa pandangan Islam
terhadap vaksinasi dapat beragam dan dipengaruhi oleh interpretasi ulama serta
konteks sosial dan kesehatan yang berkembang.
Pengembangan dan penerapan vaksinasi dalam dunia Islam
menggambarkan perjalanan yang penuh kompleksitas dan dinamika. Pandangan
terhadap vaksinasi bukan hanya mencerminkan pandangan agama semata,

3
melainkan juga dipengaruhi oleh faktor sejarah, ilmiah, dan sosial. Dalam konteks
ini, artikel ini akan menjelajahi sejarah vaksinasi dalam Islam dan menggali
pandangan kontemporer tentang vaksinasi dengan merinci pandangan teologis,
kesehatan masyarakat, dan peran ulama.
Sesuai dengan penetapan kenajisan dan keharaman dalam Surat Al-
Baqarah Ayat 173: َ
‫ م ُم َی َل َ ع َ رم ا ح َ اِن ا ِ َو َم ْیر ِ ْز ِ ن ْخ ال َ ْم َح ل َو َ الدم َ َ و ْیتَة َم ْال ُ ْك ھ ِل َغ ْیر ُھ ا‬å ‫ل‬
َ ‫ف‬
َ َ ٍ ْ ‫ی َل َ ع م‬
‫ ِاِث َاد َ ع ول ٍ َباغ َ َ ْغیر ُر ا ْضط َ ِن ا‬åَۚ ‫فم ِ ِ ل ِب ُو َ غ ْ ِھ اِ ن ا ٌ ْم ْ ٌر ر ِحی َف‬
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi,
dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.
Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.”
Dan QS. Al-Baqarah (2) Ayat 168:
‫ی ٰ ھ َی ُل َ ا ا ُس ك ُو ا الن ل ْ ِض َحل َر ْ ا ِمما ِفى ال ْ ٰ و ِ َطی ب ل با ْ ُ و َ تَت ْیط ُو ا ُخط ِع ٰ ِت‬
‫ٌّ الش ٰ ِن ھ ل ُم اِن مِ بی ُو ْ َعد َك ٌ ْن‬
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu
musuh yang nyata bagimu.” MUI telah mengeluarkan fatwa berdasarkan
pandangan Imam Muhammad Al-Khatib Syarbaini pada Mughni Al-Muhtaj yang
menjelaskan bahwa membolehkan penggunaan benda najis atau haram untuk
berobat apabila belum ditemukan benda suci atau halal untuk menggantikannya.4
Dapat dihalalkan apabila berobat dengan obat-obat yang dinilai haram karena
bersifat darurat dan kedaruratan itu membolehkan hal yang hukumnya terlarang.
Fatwa tidak terlepas dari ijtihad karena segala bentuk pengerahan
hakekatnya diberikan untuk kepentingan masyarakat umum.

4
DEFINISI VAKSINASI
Sebelum membahas lebih lanjut perlu diketahui bahwasanya vaksinasi dan
imunisasi adalah suatu hal yang berbeda dimana sering terjadi kerancuan. Secara
literal, imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal terhadap suatu
penyakit. Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu
penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan
terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi
seseorang.Imunisasi terdiri dari dua macam, yaitu imunisasi pasif dan
imunisasi aktif.
Imunisasi pasif merupakan kekebalan bawaan dari ibu terhadap penyakit.
Sedangkan imunisasi aktif merupakan kekebalan yang harus didapat dari
pemberian bibit penyakit lemah yang mudah dikalahkan oleh kekebalan tubuh
yang berguna membentuk antibodi terhadap penyakit yang sama, baik yang lemah
maupun yang kuat.
Dengan demikian imunisasi berarti pengebalan terhadap suatu penyakit.
Prosedur pengebalan tubuh terhadap penyakit melalui teknik vaksinasi. Kata
‘vaksin’itu sendiri berarti senyawa antigen yang berfungsi untuk
meningkatkan imunitas atau sistem kekebalan tubuh terhadap virus. Itulah
sebabnya imunisasi identik dengan vaksinasi. Vaksin terbuat dari virus yang telah
dilemahkan dengan tambahan seperti formaldehid dan thyrmorosal.
Dari defenisi di atas dapat di ambil simpulah bahwa defenisi
vaksinasiadalah pemberian antigen dari virus atau bakteri yang dapat
merangsang daya tahan tubuh (Antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh.
Semacam memberi infeksi ringan. Sedangkan imunisasimerupakan
pemindahan atau transfer antibodi secara pasif.Antibodi diperoleh dari
komponen plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu.Vaksin
mengandung kuman matiyang kekuatannya lemah, tetapi masih dapat
menyebabkan penyakit tertentu. Ketika kita diberi vaksin, tubuh kita
segera menghasilkan antibodi terhadap antigen atau benda asing tersebut.
Imunisasi berarti membuat seseorang kebal terhadap sesuatu.
Sedangkan vaksinasi adalah sebaliknya. Vaksinasi tidak menjamin kekebalan.
Kekebalan alami terjadi hanya setelah seseorang pulih dari penyakit yang
sebenarnya. Selama orang tersebut sakit, mikroorganisme biasanya harus
melewati banyak sistem alami dalam pertahanan kekebalan tubuh hidung,
tenggorokan, paru-paru, saluran pencernaan dan jaringan getah bening sebelum
mencapai aliran darah.
Dengan memiliki proses dan sejarah yang Panjang, akhirnya pada tahun
1798 ditetapkannya kata vaksin, yang berasal dari Bahasa Latin “Vacca” yang
berarti sapi, berawal dari dokter Inggris, Edward Jenner menemukan perempuan
pemerah susu terkena cacar sapi ringan. Dan kemudian pada tahun 1885 Louis
Pasteur menyuntikkan vaksin rabies selama dua belas hari mendapat satu
suntikan setiap harinya kepada seorang anak yang bernama Meister.

5
Vaksin didefinisikan sebagai vaksin penyelamat hidup baru, karena telah
dikembangkan sebagai pencegahan dan membantu melawan penyakit meningitis,
diare rotavirus, flu burung, pneumokokus, dan kanker serviks yang disebabkan
oleh human papillomavirus (HPV). Pasar vaksin mengalami keuntungan yang
sangat besar dalam pendapatan global sebanyak $17 Milyar. Dan pada
pertengahan tahun 2008, vaksin dinobatkan sebagai sector industry dengan
pertumbuhan tercepat, Sebagian ekspansi yang dihasilkan disumbangkan lebih
dari setengah nilai total penjualan vaksin di seluruh dunia.
Vaksinasi di Indonesia pertama kali diperkenalkan dengan vaksinasi cacar
(1956), vaksinasi campak (1963), vaksinasi tuberculosis dengan BCG (1973),
tetanus toksoid untuk ibu hamil (1974), vaksinasi difteri, tetanus, pertussis (DTP)
pada bayi (1976), polio (1981), campak (1882), dan hepatitis B (1997). Pada tahun
1977, Program Imunisasi Nasional di Indonesia dimulai oleh Kementerian
Kesehatan Program yang disebut Program Pengembangan Imunisasi (PPI), jenis
vaksin yang termasuk dalam programnya tersebut antara lain guna untuk
memberikan vaksin imun agar dapat dicegah dengan melakukan vaksin (PD3I)
yaitu TBC, Difteri, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B.
Jadi kesimpulan yang dipaparkan di atas ialah vaksin merupakan zat
bioaktif yang mengandung bakteri atau virus yang telah dilemahkan, sehingga
menjadi suatu vaksin yang memiliki antigen atau komponen virus yang nantinya
akan disuntikkan kepada manusia agar dapat merangsang sistem kekebalan
tubuh manusia. Vaksinasi dapat diberikan sejak bayi agar terhindar dari penyakit,
dan apabila terkena penyakit yang telah di imunisasikan saat bayi/balita efeknya
tidak akan parah dibanding dengan orang yang tidak pernah mendapatkan
imunisasi tersebut.

Sejarah Vaksinasi dalam Islam:


Sejak zaman kejayaan peradaban Islam pada abad pertengahan,
masyarakat Muslim telah terlibat dalam praktik kesehatan dan pengobatan yang
maju. Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina
dan Ibnu al-Nafis telah menyumbangkan kontribusi signifikan dalam bidang
kedokteran. Namun, gagasan vaksinasi modern tidak muncul hingga beberapa
abad kemudian.
Sebagai contoh, pada abad ke-18, ketika vaksinasi pertama kali ditemukan
oleh Edward Jenner, masyarakat Muslim di dunia Ottoman menanggapi vaksinasi
dengan beragam pandangan.
Sejumlah ulama dan intelektual Muslim menghadapi vaksinasi dengan
sikap yang berbeda. Meskipun ada ketidakpastian dan ketidaksetujuan, ada pula
cendekiawan yang mendukung vaksinasi sebagai langkah proaktif untuk
melindungi kesehatan umat. Meskipun terdapat skeptisisme di kalangan beberapa
ulama, sejumlah cendekiawan Muslim mendukung konsep vaksinasi sebagai
bentuk perlindungan terhadap penyakit mematikan. Ini mencerminkan dinamika

6
interpretasi terhadap ilmu pengetahuan baru dan bagaimana Islam merespons
perkembangan tersebut.
Secara historis, vaksin muncul pertama kali pada tahun 1796, pada saat
itu vaksin pertama berupa vaksin cacar yang berhasil dibuat seorang ahli medis
berkenamaan asal Inggris bernama Edward Jenner. Sebelum ditemukannya
vaksin, usaha medis untuk menangkal terjadinya penularan atau infeksi penyakit
sudah banyak dilakukan oleh para ilmuwan. Pada abad 429 SM, ilmuwan Yunani
Kunomendapati temuan bahwa orang yang pernah terpaparpenyakit cacar dan
berhasil sembuh darinya secara fisik memiliki daya kebal untuk bisa terinfeksi
kedua kalinya. Pada kisaran tahun 900, masyarakat China berhasil menciptakan
temuan vaksin kuno berupa variolasi. Variolasi sendiri dikenal sebagai proses
pemindahan virus cacar daripenderita ke bagian tubuh seseorang yang sehat,
tujuannya tidak lain adalah menangkal penularan cacar. Pada abad ke-18, teknik
variolasi menyebar luas ke banyak negara, termasuk Eropa. Sehingga pada masa
itu, ketika terjadi semacam wabah penyakit, tingkat atau angka kematiannya dapat
ditekan dan diminimalisir.Secara terminologi, vaksin berasal dari bahasa Latin,
vacca,yang mengandung arti sapi. Penyebutan istilah ini didasarkan pada proses
dan substansi pertama kali vaksin dihasilkan yang kala itu berupa suspensi yang
di dalamnya berisi mikroorganisme jenis cacar sapi(cowpox) yang terlebih dahulu
dilemahkan. Pada perkembangan berikutnya, pada tahun 1885 berkembang
varian vaksin baru lainnya berupa vaksin penyakit menular rabies. Sejak berhasil
ditemukannya dua jenis vaksin ini, penggunaan vaksin mejadi semakin umum dan
lazim di kalangan masyarakat barat untuk menangkal penyebaran segala bentuk
penyakit yang memiliki sifat menular.
Pada tahun 1956, pemanfaatan vaksin sebagai alat medis menemukan
momentum emasnya, tepatnya ketika organisasi kesehatan dunia (WHO)
menggunakan vaksin sebagai instrumen medis andalan dalam menghapus
dan melawan penyakit cacar. Puncaknya, pada tahun 1980 WHO mengklaim jika
penyakit menular cacar sudah tereradiksi setelahpada tahun-tahun sebelumnya
WHO melakukan perluasan vaksin cacar ke banyak masyarakat dunia,
khususnya kalangan masyarakat barat. Keberhasilan ini kemudian mengilhami
kalangan ilmuwan mengembangkan riset dan penelitiannya, sehingga lahirlah
varian-varianvaksin lainnya seperti vaksin campak, vaksin polio, vaksin pertusis,
difteri, tatanus, vaksin menengetis, dan terbaru adalah vaksin Covid-19.
Pertanyaan besarnya, mengapa vaksin covid-19 menjadi keharusan di
masa krisis pandemi Covid-19 seperti sekarang?
Penting kiranya digarisbawahi jika penanganan Covid-19 memerlukan
tenaga ekstra, tingginya populasi dan mobilitas penduduk dunia menjadi alasan
perlunya melakukan vaksinasi. Perlawanan terhadap Covid tidak cukup sekadar
menerapkan kebijakan jaga jarak, meminimalisir kerumunan dan keramaian,
membatasi pergerakan wilayah secara ketat dan besar-bersaran yang berujung
lockdown.
Ditinjau dari hukum Islam pada prinsipnya segala keputusan yang di
keluarkan oleh pemerintah bertujuan untuk kemaslahatan. Pandemi Covid-19

7
merupakan situasi darurat terhadap keberlangsungan hidup manusia secara
umum dan universal. Dalam kondisi seperti ini, fikih Islam mengenal konsep
rukhsah (keringanan) dengan tujuan menurunkan beban kesulitan/ancaman yang
dihadapi manusia. Dalam kaitan ini, vaksinasi adalah instrumen rukhsah untuk
menghindari bahaya/kerusakan (mafsadat) umum atau universal dan memperoleh
kebaikan (kemaslahatan) umum. Kalaupun semisal dalam vaksinasi itu ditenggarai
ada unsur najis dan saat bersamaan tidak ditemukan obat yang halal, maka
demikian tetap boleh dilakukan

Beberapa kaidah fikih yang mendukung dalam merumuskan


fatwa terkait kebolehan penggunaan vaksin AstraZeneca :
‫ظحمال ةایرورضال حیبت تارو‬
Artinya: “Dalam keadaan darurat diperbolehkan melakukan sesuatu dilarang.”
(Imam Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadzir)
‫إ قاض ألا عستإ اذإ و عستإ رمألا قاض اذ‬
Artinya: “Apabila suatu Perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas,
sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit.”
‫ةماعال ةرورضال عفدلل ةصاخال ةرورضال لمحی‬
Artinya: “Menanggung bahaya yang khusus (dalam lingkup kecil) demi mencegah
timbulnya bahaya yang merata.”
Diartikan sebagaimana pada kaidah-kaidah tersebut menjelaskan sesuatu yang
dilarang/haram dalam keadaan darurat dapat diperbolehkan dan diberi
keleluasaan (kemudahan) untuk melakukan hal yang tidak sesuai dengan syariat
agama. Demi mencegah penyebaran virus yang memberikan dampak kerugian
yang sangat besar.
Alternatif yang dilakukan pemerintah agar mencukupi kebutuhan pasokan
vaksin bagi masyarakat, didatangkan lah jenis vaksin Covid-19 lainnya termasuk
AstraZeneca. MUI menguji AstraZeneca dari aspek kehalalannya dan dinyatakan
haram. Karena menggunakan bahan baku tripsin yang berasal dari babi, proses
keluar-masuk sangat dilihat, apabila bahan yang digunakan sebelumnya
merupakan bahan halal, tetapi dalam proses pengerjaan memerlukan bahan dari
sarana yang tidak halal (haram), maka hasil yang dikeluarkan pun dinilai haram.
AstraZeneca termasuk dari penelitian tersebut, sehingga MUI menetapkan bahwa
Vaksin AstraZeneca Produk Haram.
Namun, dalam situasi yang tidak memungkinkan atau darurat, pasokan
stok vaksin halal yang belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Sehingga, MUI
dengan berlandaskan adh-Dharurat Tubihu al-Mahzhurat (Darurat
Memperbolehkan Yang Haram) yang bersifat darurat dapat membolehkan yang
dilarang (Haram). Vaksin AstraZeneca dibolehkan penggunaannya sepanjang
belum ditemukan atau belum mencukupi stok vaksin halal. Sehingga

8
dikeluarkannya Putusan Fatwa Nomor 14 Tahun 2021 yang mengatur tentang
hukum penggunaan Vaksin AstraZeneca

Pandangan Kontemporer terhadap Vaksinasi dalam Islam:


Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, vaksinasi
menjadi salah satu metode utama dalam mengendalikan penyebaran penyakit
menular. Dalam konteks pandemi global seperti Covid-19, masyarakat Muslim
menemukan diri mereka di persimpangan, di mana keputusan untuk menerima
atau menolak vaksin menggambarkan interaksi antara keyakinan agama dan ilmu
pengetahuan modern.
1. Perspektif Teologis:
Dari sudut pandang teologis, vaksinasi sering kali dihubungkan dengan
konsep "hifz al-nafs," atau perlindungan terhadap jiwa. Fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh ulama sering menekankan tanggung jawab untuk melindungi
kesehatan individu dan masyarakat. Keputusan menggunakan vaksin
umumnya dipandang sebagai bentuk menjaga anugerah hidup yang diberikan
Allah.
2. Kesehatan Masyarakat:
Perspektif kesehatan masyarakat dalam Islam menekankan konsep
kepentingan umum (maslahah) dan kewajiban untuk melindungi masyarakat
dari penyakit yang dapat dicegah. Oleh karena itu, vaksinasi dipandang
sebagai tindakan yang mendukung kesejahteraan bersama dan perlindungan
terhadap wabah yang dapat merugikan banyak orang.
3. Peran Ulama dan Pemuka Agama:
Dalam menyikapi vaksinasi, ulama dan pemuka agama memainkan peran
kunci dalam membimbing umat mereka. Beberapa ulama telah mendukung
vaksinasi sebagai langkah penting dalam mengatasi pandemi, sementara yang
lain menekankan perlunya kehati-hatian dan memastikan vaksin halal serta
aman. Fatwa-fatwa resmi, seperti yang dikeluarkan oleh MUI, mencoba
memberikan arahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam.

Tantangan Kontemporer:
Meskipun banyak pemahaman positif terhadap vaksinasi dalam Islam, ada
tantangan kontemporer yang perlu diatasi. Tantangan tersebut termasuk
ketidakpastian terkait keamanan dan kehalalan vaksin, penyebaran informasi yang
salah, dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap otoritas kesehatan. Dalam
menghadapi tantangan ini, penting untuk membangun pemahaman yang kuat dan
berbasis fakta di kalangan masyarakat Muslim.

9
Seluruh manusia telah lama menantikan kemunculan 'cahaya' di tengah-
tengah ketidakpastian kehidupan akibat pandemi Covid-19. Sebagian orang tidak
hanya menunggu, melainkan juga aktif berkontribusi dengan tindakan seperti
mengenakan masker, menghindari kerumunan, menjaga jarak, dan rajin mencuci
tangan sebagai bentuk disiplin untuk mengakhiri pandemi. Beberapa hanya
berharap solusi dari pemerintah, tanpa menyadari bahwa untuk menjaga nyala
semangat, dua sumber cahaya harus bersatu.
Seolah-olah lampu kecil itu telah dinyalakan, dengan dimulainya program
vaksinasi. Sebagai contoh, di Indonesia, pemerintah resmi meluncurkan program
vaksinasi Covid-19 pada 13 Januari 2021. Menurut laporan dari Kontan.co.id,
Indonesia memesan 125 juta dosis vaksin Sinovac, menjadikannya sebagai
importir terbesar vaksin buatan China hingga Januari 2021. Meskipun program
vaksin ini tidak sepenuhnya diterima dengan baik, dengan beberapa provinsi
seperti Aceh dan Sumatera Barat menunjukkan tingkat penolakan yang signifikan.
Survei menunjukkan bahwa alasan penolakan vaksin bervariasi, termasuk
kekhawatiran terhadap keamanan, keraguan terhadap efektivitas,
ketidakpercayaan terhadap vaksin, kekhawatiran akan efek samping, dan alasan
keagamaan. Masyarakat dibagi menjadi tiga kelompok: yang siap divaksin tanpa
banyak pertanyaan, yang masih menunggu untuk menentukan keputusan mereka,
dan yang menolak vaksin bahkan jika sudah aman dan halal.
Sebagai respons terhadap penolakan berdasarkan alasan keagamaan,
Komisi Fatwa MUI Pusat mengeluarkan fatwa halal untuk vaksin Sinovac.
Meskipun beberapa masih memiliki keraguan, fatwa ini diambil dengan
mempertimbangkan situasi pandemi dan kebutuhan untuk vaksinasi sebagai
upaya mencegah penularan wabah. Kesimpulannya, umat Islam diizinkan
menggunakan vaksin asalkan keamanannya terjamin menurut ahli yang kredibel.
Fatwa ini mencerminkan pertimbangan kaidah fikih dan pedoman MUI dalam
menyikapi isu kehalalan vaksin.
Dalam menjawab persoalan kontemporer, termasuk hukum vaksinasi
Covid-19 yang mengandung unsur haram, dibutuhkan pemahaman yang praktis
dan aplikatif mengenai ukuran darurat. Hal ini perlu bersifat jamak dan universal,
tidak hanya terkait dengan individu-individu tertentu, agar dapat menghindari
penalaran yang terlalu luas dan sewenang-wenang, seperti ketentuan yang dapat
diubah secara bebas dengan alasan menjaga kemaslahatan dan kondisi darurat,
mirip dengan pasal karet yang bisa ditarik tanpa batasan yang jelas.
Selain itu, penetapan kondisi darurat membutuhkan keterlibatan berbagai
ahli disiplin ilmu lain, seperti bidang medis dan kedokteran, untuk membantu
memahami lebih dalam tentang maslahat hakiki dan memisahkannya dari
maslahat semu. Hal ini juga diperlukan untuk memahami taraf dan tingkatan suatu
situasi, sehingga suatu keadaan dapat secara tepat dikategorikan sebagai kondisi
darurat, yang pada gilirannya dapat dijawab dengan lebih baik secara keilmuan
dan praktik.

10
Perlu ditegaskan bahwa pemahaman mengenai darurat syar'iyyah tetap
memerlukan penjabaran rinci mengenai batasan dan kriteria kebolehannya yang
lebih mudah diaplikasikan. Hal ini karena keadaan darurat tidak dapat seragam
atau digeneralisir antara satu daerah dengan lainnya di Indonesia, mengingat
perbedaan kondisi wilayah dan tingkat kesulitan yang dihadapi. Fatwa MUI ini
seharusnya juga harus didukung oleh penalaran dan dalil kemaslahatan lain untuk
memastikan dan memperkuat argumen, serta alasan kebolehan vaksin yang
mengandung unsur haram dengan dalih keadaan darurat.

Sejarah mencatat bahwa vaksin ditemukan pada sekitar abad ke-17 (tahun
1600-an). Saat itu bangsa-bangsa Eropa dan wilayah lainnya mengalami satu
wabah penyakit yang ganas dan mematikan. Wabah yang menular tersebut
dikenal dengan cacar nanah yang penyebabnya adalah virus smallpox. Tidak
kurang dari 400.000 jiwa meninggal di Eropa setiap tahunnya. Orang yang
pertama menemukan teori vaksin ialah seorang dokter dari Inggris yakni Edward
Janer pada tahun 1749. Beliau disebut sebagai bapak imunologi karena ialah yang
mencetuskan konsep vaksin dan menemukan vaksin cacar yang merupakan
vaksin yang pertama di dunia. Ia menemukan vaksin tersebut pada tahun 1796.5
Dalam sejarah Islam, Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi disebut sebagai
tokoh yang concern tentang wabah penyakit cacar.
Orang Eropa memanggilnya dengan sebutan Rhazes. Beliau lahir di Rayy,
Iran pada tahun 865 M dan wafat tahun 925 M. Biografi keilmuannya mencatat
bahwa beliau sejak dari muda telah banyak mempelajari ilmu filsafat, matematika,
kimia, kesusateraan dan kedokteran. Dalam dunia kedokteran ia berguru kepada
Hunayn bin Ishaq di Kota Baghdad. Dalam bukunya yang berjudul Al-Judari wa Al-
Hasbah (penyakit cacar dan campak), ar-Razi menjelaskan dengan rinci bahwa
penyakit campak dan cacar ini merubakan wabah yang menular dan ganas serta
mematikan. Penyakit cacar timbul saat darah telah terinfeksi dan mendidih. Ini
menyebabkan pengeluaran uap yang mengakibatkan munculnya benjolan-
benjolan kecil yang mengandung darah yang masak.
Seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran dan banyaknya ditemukan
kasus-kasus penyakit yang baru, berbagai jenis vaksin pun ditemukan dan
diterapkan dalam dunia kesehatan. Vaksin itu sendiri diproduksi secara biologis,
mengandung antigen dalam bentuk mikroorganisme yang sudah dilemahkan atau
sudah mati secara keseluruhan ataupun sebagiannya. Vaksin juga bisa dalam
bentuk toksin mikro organisme dirubah menjadi toksoid atau protein rekombinan
yang digabungkan dengan unsur lain.
Vaksin ini bila diberikan kepada sesorang, maka ia akan memiliki
kekebalan spesifik dan aktif terhadap datangnya penyakit tertentu.7 Jadi vaksinasi
itu diartikan dengan proses pembubuhan vaksin yang spesial diberikan untuk
memunculkan kekebalan secara aktif pada satu penyakit pada diri sesorang. Hal
ini dilakukan agar suatu ketika ia terpapar oleh penyakit tersebut, maka ia tidak
akan menderita sakit atau sekurangnya hanya merasakan sakit yang ringan dan
tidak menularkan pada orang lain.

11
Salah satu vaksin yang dibuat untuk mengahadapi merebaknya virus
covid-19 adalah vaksin Covid-19 yang diproduksi 7 Kementerian Kesehatan RI.
(2021). Paket Advokasi: Vaksinasi Covid-19 Sebenarnya masih banyak vaksin
covid-19 yang juga telah diproduksi seperti Astra Zeneca, Novavax, Moderna, dan
Pfizer BioNTech. Adapun proses pembuatan vaksin covid-19 produksi Sinovac
Life Sceinces Co. Ltd dan PT. Bio Farma (Persero) ini dijelaskan oleh Aminuddin
Yakub selaku utusan Komisi Fatwa MUI yang langsung mengaudit ke Pabriknya
di Beijing, China. Beliau menjelaskan bahwa ada 4 hal yang diaudit mengenai
vaksin ini yaitu bahan, sumber bahan, proses produksi dan fasilitas dan peralatan
produksi. Di dalam fatwa MUI No 2 Tahun 2021 tersebut dijelaskan karateristik dari
vaksin covid-19 produksi Sinovac ini sebagai berikut.
Vaksin ini diproduksi oleh Sinovac Life Sciences Co. Ltd. China dan PT.
Bio Farma (Persero) yang pada saat pembuatannya tidak menggunakan atau
mengambil manfaat dari hewan babi dan bahan lain yang tidak tercemar oleh babi
dan turnanya dan dari bagian tubuh manusia. Vaksin ini memang awalnya
bersentuhan dengan benda najis ringan (mutawassitah) dan dihukumkan
Aminuddin Yakub.
Titik Kritis Kehalalan Vaksin Covid-19 Produksi Sinovac China,” dalam
mutanajjis, namun kemudian dilakukan serangkaian pensucian dan memenuhi
kaidah pensucian secara syari’iy (tathhir syar’iy). Berkenaan tentang fasilitas
produksi dari vaksin ini disebutkan memakai alat produksi yang suci dan hanya
dipakai untuk memperoduksi vaksin covid-19.
Kemudian peralatan dan proses pensucian vaksin yang dilakukan di PT Bio
Farma (Persero) juga ditegaskan telah sesuai dengan cara pensucian secara
syari’iy. Secara sederhana PT Bio Farma juga menyampaikan bahwa kandungan
dari vaksin Covid-19 yang dibuat perusahaan asal China, yakni Sinovac Biotech
Ltd., dipastikan aman sesuai standar internasional.
Adapun kandungan yang terdapat di dalam vaksin tersebut dijelaskan
sebagai berikut. Pertama, bahwa vaksin ini memang memiliki kandungan sel vero
yang berasal dari kera hijau dari Afrika, tetapi vaksin tersebut sudah terpisah dari
sel vero tersebut.
kedua, vaksin ini hanya berisi virus-virus yang sudah mati dan diyakini tidak
ada virus yang hidup atau sekedar dilemahkan.
Ketiga, di dalam vaksin ditemukan aluminium hidroksida yang fungsinya
untuk menaikkan kemampuan vaksin, larutan fosfat berfungsi untuk stabilizer dan
larutan garam natrium. klorida berfungsi sebagi isotonis ketika penyuntikan.
Keempat, Bahan-bahan sifatnya mengawetkan seperti borax, formalin dan
mercury, dipastikan tidak ditemukan di dalam vaksin. Semua bahan baku vaksin
diyakini telah sinkron dengan standar kefarmasian.

12
Pendapat Mengenai Vaksin :
Pendapat mengenai vaksin yang oleh sekolompok pendapat
menyatakan keharamantentang vaksin.Adapun alasan keharamannya mulai
dari yang bersifat mendasar, hingga alasan-alasan penunjang dan
tambahan. Di antara alasan yang digunakan untuk mengharamkan adalah
1.Mengunakan Zat Yang Najis.
Vaksin haram karena menggunakan media babi, aborsi bayi, darah
orang yang tertular penyakit infeksi yangnotabenenyapengguna alkohol, dll.
Ini semua haram dipakai secara syari’at.
2.Banyak Efek Samping.
Efek samping yang membahayakan karena mengandung mercuri,
thimerosal, aluminium, benzetonium klorida, dan zat-zat berbahaya lainnya yg
akan memicu autisme,cacat otak, dan lain-lain.
3.Lebih Besar Madharatnya.
Meski vaksinasi ada manfaatnya, tetapi ada banyak kerugiannya. Dan
kalau kalau dilihat secara keseluruhan, ternyata jauh lebih banyak bahayanya
dari pada manfaatnya, banyak efek sampingnya. Dan olehkarena itu logika
hukumnya menyebutkan bahwa kita harus menolak manfaat karena adanya
mafsadat yang lebih besar.
4.Tiap Manusia Sudah Punya Kekebalan Tubuh Alami.
Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang
tinggal bagaimana menjaganya dan menerapkan pola hidup sehat. Tidak perlu
diberi vaksin dan obat-obatan kimiawi yang hanya akan merusak jaringan
yang alami. Justru kekebalan yang alami yang lebih diprioritaskan dan bukan
kekebalan yang bersifat kimiawi.
5.Konspirasi Yang Terstruktur.
Di balik adanya gerakan vaksinasi pada bayi, ternyata terindikasi
adanya konspirasi dan akal-akalan negara barat untuk memperbodoh dan
meracuni negara berkembang dan negara muslim dengan menghancurkan
generasi muda mereka. Agenda terselubung ini memang tidak nampak secara
kasat mata, namun dipastikan keberadaannya secara tersturktur dan rahasia.
Umat Islam harus jauh lebih waspada dan hati-hati terhadap tipu daya yahudi
zionis international. Sebab mereka tidak akan rela dengan umat Islam sehingga
kita mengikuti rencana mereka.
6.Bisnis Besar di Baliknya.
Selain adanya tujuan untuk merusak dan menguasai umat Islam,
ternyata ada indikasi bahwa di balik program imunisasi ada bisnis besar yang
terselubung. Ternyata di balik program vaksinasi internasional ini, ada pihak-pihak

13
yang meraup keuntungan berlimpah, yaitu pihak produsen yang nota bene
adalah perusahan milik nonmuslim. Dengan ikut program vaksinasi
sesungguhnya umat Islam telah dengan rela dan sengaja menyumbangkan
uang untuk kalangan musuh-musuh Islam, yang tentunya keuntungannya
dimanfaatkan untuk menghancurkan agama Islam.
7.Menyingkirkan Pengobatan Nabawi.
Semua bentuk vakisinasi tidak lain adalah produk kedokteran barat
yang semata-mata hanya disandarkan pada akal dan logika semata.
Sementara sebagai umat Islam sebenarnya sudah diberikan metode
pengobatan ala nabi (tibbun-nabawi) yang turun lewat wahyu, seperti minum
madu, minyak zaitun, kurma, habbatussauda dan sebagainya. Tentunya akan
jauh lebih berkah karena merupakan bagian dari mukjizat Rasulullah SAW.
Maka kalau umat Islam masih saja mengunggulkan penggunakan produk
kedokteran barat itu sama saja dengan menyingkirkan metode pengobatan
nabawi.
8. Walau sudah imunisasi tetapi tetap tidak menjamin, adanya beberapa
laporan bahwa anak mereka yang tidak divaksinasi masih tetap sehat, dan
justru lebih sehat dari anak yang divaksinasi.
Atas dasar lima pertimbangan umum di atas dinyatakan bahwa
vaksinasi-imunisasi yang bertujuan untuk mengusahakan kesehatan manusia
itu boleh atau halal selagi belum ada bahan vaksinasi-imunisasi yang halaalan
thayyiban. Untuk itu, tenaga medis: dokter, perawat, dan bidan bisa
menyuntikkan vaksin (DPT, BCG, MMR, IPV, dan meningitis) untuk
mengusahakan kekebalan tubuh manusia inklusif balita dari serangan penyakit
yang disebabkan oleh bakteri, kuman, dan virus yang berbahaya bagi kesehatan.
Akan sangat bagus kalau para sarjana kesehatan (apoteker, analis kesehatan,
dokter, Farmakolog, mungkin juga termasuk herbalis) segera memproduk
vaksin yang seluruhnya terbuat dari bahan atau sintetisnya yang sepenuhnya
secara material halal.

14
Kesimpulan dari esai ini adalah bahwa pergantian tahun 2019 menuju 2020
memberikan sejarah baru bagi masyarakat global dengan munculnya Pandemi
Covid-19. Pandemi ini tidak hanya menantang sektor kesehatan, tetapi juga
berdampak pada aspek ekonomi, sosial budaya, dan hukum. Di Indonesia,
pemerintah dihadapkan pada tugas berat untuk mengatasi dampak pandemi ini.
Sebagai respons terhadap pandemi, vaksinasi menjadi fokus utama dalam
upaya pencegahan penyakit. Artikel ini menyoroti pandangan Islam terhadap
vaksinasi, mencermati nilai-nilai agama dan sejarah Islam yang menekankan
pentingnya kesehatan. Meskipun ada kontroversi dan resistensi dalam masyarakat
terhadap vaksinasi, terutama terkait dengan kehalalan bahan-bahan dalam vaksin,
namun perspektif sejarah dan kontemporer menunjukkan bahwa vaksinasi dapat
dilihat sebagai langkah yang sejalan dengan ajaran Islam terkait kesehatan.
Perkembangan vaksinasi dalam dunia Islam juga mencerminkan
kompleksitas dan dinamika perjalanan sejarah serta pandangan ulama. Meskipun
ada variasi dalam fatwa (pendapat hukum Islam) terkait vaksinasi, sebagian besar
ulama mendukung vaksinasi sebagai langkah pencegahan penyakit yang sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan Islam.
Selain itu, esai ini menyoroti persoalan etika dalam vaksinasi, terutama
terkait dengan kehalalan bahan-bahan vaksin. Upaya ilmuwan dan pakar agama
untuk memastikan kesesuaian vaksin dengan standar kesehatan dan kehalalan
Islam diakui sebagai bagian penting dari proses pengembangan dan penerapan
vaksin.
Dengan demikian, kesimpulan utama dari esai ini adalah bahwa
pandangan Islam terhadap vaksinasi melibatkan pemahaman sejarah, nilai-nilai
agama, dan konteks sosial-kesehatan yang berkembang. Penerimaan vaksinasi
dalam masyarakat Islam dapat dianggap sebagai bagian dari upaya melindungi
kesehatan individu dan masyarakat, sejalan dengan ajaran Islam yang
menekankan pentingnya menjaga tubuh sebagai amanah dari Allah SWT.

15
DAFTAR PUSTAKA

darwis, n. a. (2022). TINJAUAN YURIDIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA


TERHADAP VAKSIN COVID - 19 MERK ASTRAZENECA . 2-51.
hannan, a. (2022). emaslahatan Sosial Vaksin sebagai Instrumen Medis
Penanggulangan Covid-19 dalam Perspektif Islam. jurnal hukum islam ,
1-24.
nasution, m. m. (2020). Vaksinasi dalam perspektif islam . 61-70.
ramle, m. z. (2023). ANALISIS PERUBAHAN HUKUM DARI FASA PANDEMIK
KEPADA FASA ENDEMIK COVID-19. jurnal islam dan masyarakat
kontemporari, 51-75.
suci, a. w. (2023). TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 2021 TENTANG
PENGADAAN VAKSIN DAN PELAKSANAAN VAKSINASI . 1-80.
turnip, i. r. (2021). KEHALALAN VAKSIN COVID-19 PRODUKSI SINOVAC
DALAM FATWA MUI DAN IMPLEMENTASI VAKSINASINYA PADA
TENAGA KESEHATAN DI PUSKESMAS TANJUNG MORAWA, DELI
SERDANG . jurnal hukum islam dan pranata sosial islam , 59-83.
utamie, R. A. (2022). PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DALAM
PENERBITAN SERTIFIKAT VAKSIN COVID-19 TANPA VAKSINASI. 1-
20.

16

Anda mungkin juga menyukai