Anda di halaman 1dari 19

TUGAS UAS AGAMA ISLAM

VAKSINASI DALAM PANDANGAN ISLAM DARI PERSPEKTIF


SEJARAH DAN KOTEMPORER

Disusun Oleh :
Ahmad Syifaa Azzuhri

(30523008)

Dosen Pengampu :

Safari Hasan, S.IP., M.MRS

PROGRAM STUDI D3 REKAM MEDIS & INFORMASI KESEHATAN


FAKULTAS TEKNOLOGI & MANAJEMEN KESEHATAN

INSITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA

KEDIRI

2024

1
Pendahuluan

Corona virus 2019 atau biasa disebut Covid-19 adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh sindrom pernafasan akut. Penyakit ini pertama kali ditemukan di
Wuhan, Ibukota Provinsi Hubei China pada akhir Desember tahun 2019, dan sejak
itu menyebar secara global, perkembangan Covid-19 ini sangat segnifikan
sehingga penyebrannya sudah sampai kepenjuru dunia, Di Indonesia sendiri
tercatat 743.198 kasus pada awal Februari 2021,(Kompas, 2021) selain itu
dilaporkan juga sebanyak 94 kasus kematian baru sehingga jumlah total kasus
kematian menjadi sebanyak 22.138 kasus. Selain mengakibatkan kematian
massal di berbagai negara dan menyebabkan lebih dari 104 juta penduduk dunia
terinfeksi pada awal Februari 2021 ini, dampak yang ditimbulkannya sangat terasa
di hampir semua sektor baik ekonomi, pendidikan, kesehatan, transportasi,
maupun sosial dan keagamaan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan pernyataan bahawa kasus


Covid-19 adalah pandemi,pernyataan tersebut muncul karena wabah Covid-19 ini
sudah sampai pada tingkat penyebaran dan keparahan yang mengkhawatirkan.
Disamping itu WHO juga mendeklarasikan bahwa wabah virus corona China
sebagai darurat kesehatan global atau Public Health Emergency of International
Concern (PHEIC), Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus sebagai Direktur Jenderal
WHO menekankan bahwa pada dasarnya PHEIC bertujuan untuk mendorong
semua negara supaya bekerja sama dalam mengatasi ancaman pandemi Covid-
19. Lebih lanjut WHO menghimbau agar supaya pemerintah setempat dapat
meredam kepanikan masyarakat serta melakukan penanganan dengan cara
agresif namun tetap kondusif.

Negara di dunia saat ini sedang disibukan dengan berbagai upaya dalam
pencegahan, pengobatan, penularan, dan penanganan dari virus Covid-19,
dampak yang ditimbukan Covid-19 ini sangat luas, sehingga memaksa negara-
negara untuk memprioritaskan penanganan terhadap pandemi Covid-19 ini. Tidak
sedikit negara-negara yang kualahan dalam membuat keputusan dan terus
berupaya untuk menemukan cara baru yang lebih efektif untuk menanggulangi
pandemi ini.

2
Karena banyaknya kasus yang terjadi di Indonesia ini maka pemerintah pusat
maupun daerah telah mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi pandemi
Covid-19, usaha-usaha tersebut antara lain perlunya rapid test, swap, APD (Alat
pelindung diri), PSBB (Pembatasan sosial berskala besar), menjaga jarak atau
social distancing, mencuci tangan dan memakai masker hingga yang terakhir
vaksinasi Covid-19, hal ini dilakukan pemerintah untuk memutus rantai
penyebaran virus Covid-19.

Masalah Covid-19 ini pada dasarnya adalah wilayah sains atau ilmu pengetahuan
(kedokteran, farmasi, medis atau ilmu kesehatan, epidemologi, dan sosial-
humaniora). Tetapi, mengingat dampaknya telah berimbas kepada banyak hal,
termasuk persoalan keagamaan, maka pandangan fiqh islam terhadap
penanggulangan pandemi Covid-19 ini menjadi penting untuk dibicarakan. Salah
satu cara yang di harapkan mampu dan menjadi acuan dalam menanggulangi
pandemi Covid-19 ini adalah peran fiqh Islam, fiqh Islam dipandang mampu
memberikan petunjuk dan pencerahan agar kebijakan terbaik dapat diambil oleh
pemerintah, Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin mengucapkan rasa terimakasih
kepada acara Simposium Tahunan Ekonomi Islam Al Barakah yang ke-40, melalui
konferensi vidio dari jakarta, Sabtu 09 Mei 2020. Ma’ruf Amin menilai fiqh Islam
dapat memberikan solusi dan sumbangan pemikiran untuk mengatasi pendemi
Covid-19 beserta seluruh dampaknya, yaitu Fiqh Islam yang ditunjukan untuk
memberikan kemaslahatan bagi umat diseluruh dunia, bukan untuk menyulitkan
kehidupan. Pada dasarnya memang Islam diturunkan oleh Allah tidak untuk
mempersulit pemeluknya namun sebaliknya untuk mempermudah umatnya. Lebih
lanjut Ma’ruf Amin menjelaskan bahwa dalam kehidupan keagamaan terutama
dinegara yang pendudunya mayoritas muslim, para ulama bersepakat untuk
melakukan telaah ulang (I‟adatu An-nadhar) terhadap pandangan keagamaannya,
mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan fatwa baru yang lebih relevan
dengan kondisi pandemi saat ini. Fatwa tersebut kemudian menjadi panduan bagi
umat muslim di negaranya masing-masing.

Pada prinsipnya didalam fiqh Islam yang menjadi salah satu pertimbangan penting
dalam mengambil keputusan adalah nilai kemaslahatannya, dalam hal ini tentu
saja yang dimaksudkan adalah esensi dari pada maqashid yang dipahami dari

3
sumber-sumber pokoknya yang berasal dari Syari‟ah, yaitu Al-Qur`an dan hadits,
di samping itu juga Fiqh Islam bisa beradaptasi dengan perubahan sosial.
Perkembangan pemikiran Fiqh Islam telah diinspirasi oleh berbagai doktrinasi dari
tujuannya yang pasti yaitu kemaslahatan manusia baik didunia maupun diakhirat,
ia juga harus dipahami dan dimengerti sehingga dapat dilaksanakan dengan baik
dan benar dalam konteks inilah hukum Islam dapat melindungi segenap manusia
dari berbagai permasalahan.(al-Syatibi, 1997: 5) Karena itu fiqh Islam harus dapat
menjawab segala persoalan hidup yang di hadapi oleh umat manusia, lebih lanjut
tulisan ini bermaksud membahas tentang vaksinasi sebagai penanggulangan
pandemi Covid-19 perspektif fiqh Islam.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritis
maupun secara praktis mengenai konsep dasar fiqh Islam dalam menanggulangi
pandemi Covid-19 di Indonesia. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam mengambil
keputusan dan membuat aturan terkait dengan penanganan pandemi covid-19.
(Fuadi, 2021)

Seluruh umat manusia telah lama menanti datangnya ‘suluh’ ditengah gelapnya
stabilitas kehidupan akibat pandemi Covid-19. Banyak juga orang yang tidak
hanya sekedar menunggu, tapi turut pula dalam berbuat, seperti menggunakan
masker; menghindari kerumunan atau menjaga jarak; dan selalu mencuci tangan
dengan sabun dianggap sebagai kedisiplinan untuk mengakhiri pandemi. Tak
sedikit juga orang yang hanya berharap solusi dari pemerintahnya, padahal agar
api tetap menyala, dua batang suluh harus tetap dekat dan menyatu.

Lentera kecil itu sepertinya telah dinyalakan, jalan vaksinasi dibuka. Seperti di
Indonesia, “pemerintah resmi menjalankan program vaksin virus corona pada
Rabu 13 Januari 2021”, sebagaimana dilansir dari Kontan.co.id.Menurut data
Global Times1, Indonesia memesan 125 juta dosis vaksin yang dikembangkan
oleh Sinovac, dan Indonesia menjadi negara importir terbesar vaksin covid-19
buatan China hingga Januari 2021.

Program vaksin ini tak sepenuhnya disambut dengan baik. Tidak semua rakyat
Indonesia merasa puas dengan data-data saintifik yang diberikan pemerintah.

4
Berdasarkan data yang diberikan bbc.com, di Indonesia, Aceh dan Sumatera Barat
adalah dua provinsi dengan jumlah penolak vaksin terbesar. Provinsi Aceh hanya
46% yang bersedia menerima vaksin, sedangkan di Sumatera Barat hanya
sebesar 47%.

Sebuah survei menyatakan, bahwa yqng menjadi alasan masyarakat menolak


divaksin adalah “terkait dengan keamanan vaksin (30%); keraguan terhadap
efektifitas vaksin (22%); ketidakpercayaan terhadap vaksin (13%); kekhawatiran
adanya efek samping seperti demam dan nyeri (12%); dan alasan keagamaan
(8%).”2

Menurut Aminuddin Yakub, secara umum masyarakat terbagi kepada tiga kategori
atau group. Kategori pertama mereka yang siap untuk divaksin dengan tidak
banyak bertanya dan syarat(reserve). Masyarakat yang masuk dalam kategori ini
sudah merasakan betapa sulit dan beratnya akibat yang ditimbulkan oleh pandemi
virus corona yang telah merenggut ribuan korban dan sangat mengganggu segala
lini kehidupan baik secara ekonomi juga kehidupan sosial. Mereka menaruh
harapan dengan adanya vaksinasi akan menjadi jalan keluar dari kondisi pandemi.
Kategori kedua adalak mereka yang masih menunggu dan belum menentukan
apakah bersedia untuk divaksin atau tidak. Mereka masih menunggu apakah
vaksin ini aman, halal atau memiliki manfaat. Kategori ketiga adalah mereka yang
menolak divaksin walaupun vaksin tersebut sudah aman dan halal. Masyarakat
yang masuk dalam kategori ini ditengarai sudah ada dari dulu sebagai bentuk
kekecewaan dengan hasil Pilpres sehingga menolak secara emosional tiap
kebijakan pemerintahan Jokowi

Berkaitan dengan alasan penolakan dengan alasan keagamaan, atau untuk


menghilangkan keraguan soal kehalalan vaksin tersebut, akhirnya Komisi Fatwa
MUI Pusat mengeluarkan fatwa halal dan kesucian vaksin corona virus disease
2019 (COVID-19) produksi Sinovac Lifescience Co Ltd., Jakarta pada 8 Januari
2021. Tentunya fatwa ini telah melewati berbagai pertimbangan, seperti wabah
Covid-19 yang masih menjadi ancaman kesehatan, dan di antara ikhtiar untuk
mencegah terjadinya penularan wabah adalah dengan vaksinasi. Keputusan
akhirnya, umat Islam boleh menggunakan vaksin tersebut, dengan catatan

5
sepanjang terjamin keamanannya menurut ahli yang kredibel dan kompeten.
Keputusan ini dituangkan dalam Fatwa MUI No 02 Tahun 2021.

MUI yang merupakan Pengejewantahan dan perkumpulan ulama, zu’ama dan


cendikiawan muslim Indonesia, dalam mengeluarkan fatwanya tentu memiliki
pedoman tentang tata cara penetapan fatwa. Hal ini dapat dilihat dari konsideran
yang dicantumkan MUI dalam setiap fatwa-fatwanya. Salah satunya adalah
kaidah-kaidah fiqhiyyah sebagaimana halnya yang terdapat dalam fatwa MUI No.
02 Tahun 2021. (Turnip, 2021)

Perspektif Islam Terhadap Vaksinasi

Pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan Alquran banyak menyebutkan


keharusan seorang muslim mengeksporasi alam semesta. Dalam surat Ali Imran
190-191 misalnya di sebutkan kriteria ulil albab (cendekiawan).

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): “Ya Tuhan kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha
suci Engkau, maka peliharalah Kami dari siksa neraka”

Dalam ayat di atas disebutkan bahwasanya seorang cendekiawan atau ulil albab
itu adalah orang yang mampu melakukan harmonisasi kegiatan dzikir dan fikir. Di
dalam Islam tidak ada pemisahan antara aktivitas berdzikir dan bertafakur atau
berfikir secara mendalam. Aktivitas berfikir mendalam tentang penciptaan alam
semesta ini akan meningkatkan keimanan seseorang dan menguatkan kegiatan
dzikir kepada Allah SWT. Jadi ringkasan Islam sangat menganjurkan ummatnya
untuk mengeksplorasi alam semesta ini, baik alam makrokosmos dan
mikrokosmosnya. Hasil eksplorasi alam semesta itu du tunjukan untuk kebaikan
manusia itu sendiri di dunia dan sekaligus untuk mendektkan diri kepada Alah
SWT.

Dalam sudut pandang lain kita bisa melihat dari persefektif diturunkannya Ilmu
Allah kepada manusia. Secara garis besar ilmu Allah ini diturunkan kepada

6
manusia melalui dua jalur. Jalur resmi (formal) yaitu ilmu yang diturunkan melalui
para nabi dan rasul berupa wahyu/firman Allah dan petunjuk nabi. Ilmu tersebut
dikenal dengan ilmu qauliyah. Jalur non formal berupa ilham yang diberikan
langsung kepada manusia yang mengeksplorasi alam semesta ini sesuai pada
anjuran ayat Alquran di atas.

Ilmu tersebut di kenal dengan ilmu kauniyah. Ilmu qauliyah kebenarannya mutlak,
bersifat umum, berfungsi sebagai way of life bagi manusia. Sedangkan ilmu
kauniyah kebenarannya relatif, bersifat spesifik, dan untuk melengkapi sarana
kehidupan manusia. Kedua macam ilmu itu saling terkait dan tidak dapat
dipisahkan agar kehidupan manusia harmonis dan seimbang. Gagal memahami
persoalan di atas atau menolak salah satunya akan membuat seorang muslim
bersikap ekstrim bahkan terjebak ke dalam dikotomi ilmu Islam non-Islam, ilmu
Allah dan ilmu manusia, dan seterusnya.

Vaksinasi sebagai salah satu ilmu kauniyah terbesar abad ini diawali dengan tradisi
masyarakat muslim Turki pada awal abad -18 yang memiliki kebiasaan
menggunakan nanah dari sapi yang menderita penyakit cacar sapi (cowpox) untuk
melindungi manusia dari penyakit cacar (smallpox, vriola) kemudian tradisi ini di
bawa ke inggris dan diteliti serta di publikasikan oleh Edwards Jenner tahun 1798.
Sejak saat itu konsep vaksinasi terus berkembang demikian pesat. Beragam jenis
vaksin telah ditemukan selama dua abad. Dan akan masih banyak lagi jenis vaksin
yang di temukan.

Penelitian untuk membuat vaksin merupakan penelitian panjang, sangat


memperhatikan aspek keamanan dan keakuratan data. Satu jenis vaksin biasanya
memerlukan belasan tahun untuk membuatnya. Di awali dengan uji laboratorium,
kemudian uji pada hewan coba, relawan, orang dewasa, baru kemudian di
terapkan kepada anak dan bayi setelah terbukti produk vaksin tersebut aman
dipakai. Bila terbukti vaksin tersebut menimbulkan efek samping atau kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI) yang berat dan fatal maka vaksin akan segera di
tarik dari peredaran untuk diteliti ulang.

Berbagai vaksinasi pun telah dapat kita lihat dalam catatan sejarah kemanusiaan.
Diantara prestasi terbesar vaksinasi adalah lenyapnya penyakit cacar pada tahun

7
1979. Inilah salah satu bukti manfaat ilmu kauniyah yang dipelajari manusia
(apapun agama dan rasnya). Hasil daro eksporasi alam semesta di antaranya ilmu
tentang vaksin (vaksinologi) telah menghasilkan manfaat yang luar biasa dalam
bidang pencegahan penyakit pada manusia (dan juga hewan). Adalah amat keliru
bila hasil penelitian selama dua abad itu kemudian ditolak dengan alasan amat
sederhana: itu produk buatan manusia.

Pendikotomian buatan Allah SWT dan manusia seperti pemahaman sebagai


kelompok muslim yang antivaksinasi pada hakikatnya adalah pemahaman yang
amat sekuler. Pemahaman yang jatuh menyimpang dari intisari ajaran Islam yang
sebenarnya. Bila kita memahami dengan baik posisi ilmu kauniyah maupun ilmu
qauliyah adalah bersumber dari Allah SWT yang Maha Berilmu, maka tidak perlu
lagi terjadi hal seperti di atas. Pandangan Islam terhadap aspek pencegahan
penyakit, Islam mengutamakan aspek pencegahan dalam berbagai bidang
kehidupan.

Tidak adanya dalil qauliyah bukan berarti vaksinasi bertentangan dengan ajaran
Nabi SAW. Hal ini adalah karena vaksinasi termasuk ranah kauniyah. Ranah ilmu
pengetahuan modern yang diperoleh berdasarkan pencarian oleh manusia.
Berdasarkan penelitian yang tekun dan seksama, sebagaimana telah di sebutkan
di atas. Oleh karena pakar mengenai vaksinasi tentu saja adalah para dokter dan
peneliti di bidang vaksinologi, bukan wartawan, sarjana hukum, ahli statistic, atau
yang lainnya.

Pendapat para ulama tentang vaksinasi perlu ditahui bahwa vaksinasi bukan
hanya di laksanakan di Indonesia namun juga di laksanakan di lebih dari 190
negara di seliruh dunia, termasuk negar-negara muslim. Sampai saat ini tidak
pernah terdengar seorang pun dari ulama-ulama di negara-negara muslim itu yang
melarang diberikannya vaksinasi kepada bayi dan anak di negaranya. Sebagai
contoh Abdullah Bin Bazz seorang mufti dari Saudi Arabia membolehkan
vaksinasi. Yusuf Qardhawy seorang ulama mujtahid yang berdomisili di Qatar pun
membolehkan imunisasi. Bahkan beliau banyak menyarankan masalah ini kepada
para dokter yang menguasai ilmu vaksinologi secara mendalam dan kemudian
beliau berikan fatwa terhadap apa yang di ungkapkan para dokter. Kalau para
ulama di tingkat internasional saja membolehkan vaksinasi lalu mengapa ada

8
orang yang bukan ulama malah mempermasalahkan bolehnya vaksinasi dalam
Islam

Adapun pendapat sebagian kelompok Islam yang mengatakan vaksinasi dilarang


dalam Islam karena menggunakan kuman yang di suntikan ke dalam tubuh
sehingga berpotensi membahyakan tubuh, adalah pendapat yang tidak
berlandaskan ilmu. Hanya berdasarkan zham atau prasangka belaka. Padahal
Islam melarang umatnya untuk berprasangka, karena sebagian prasangka adalah
dosa. Saat ini ada sebagian orang yang bukan ahlinya namun seringkali komentar
mengenai sesuatu yang tidak di fahaminya secara mendalam. Hanya sekedar
bacaan dari internet, bersumber dari tokoh-tokoh fiktif yang tidak pernah ada atau
berdasarkan teori konspirasi.

Hal ini sangat disayangkan karena bertentangan dengan anjuran dan tradisi Islam

yang sangat menekankan aspek kejujuran dan obyektifitas ilmiah. Salah satu
contoh tradisi ilmiah yang tidak ada bandingannya adalah pada proses
penyeleksian ketat terhadap hadits–hadits nabi. Mungkin orang yang hobi
nenyadur rumor, berita fiktif, hoax, gossip, khususnya tentag kampanye negatif
terhadap vaksinasi perlu meniru tradisi Islam dalam menyeleksi hadits shohih.

Masalah enzim babi dalam proses pembuatan vaksin salah satu pesoalan yang
sering di permasalahkan mengenaikehalaln vaksin adalah digunakan enzim dari
babi selama pembuatan beberapa vaksin tertentu. Seringkali msalahnya ada pada
perbedaan persepsi. Sebagian orang mengira bahwa proses pembuatan vaksin
itu seperti orang membuat puyer. Bahan-bahan yang ada semua di campur
menjadi satu, termasuk yang mengandung babi, dan kemudian di gerus menjadi
vaksin. Hal seperti ini adalah persepsi keliru mengenai proses pembuatan vaksin
di era modern ini. Bila proses tersebut sudah tentu hukum vaksin menjadi haram.

Sebenarnya pembuatan vaksin di era modern ini sangat kompleks. Ada beberapa
tahapan, dan tidak ada proses seperti menggerus puyer tadi. Enzim trpisin babi
digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptide dan asam
amino yang menjadi bahan makanan kuman. Kuman tersebut setelah dibiakkan
kemudian dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida sebagai antigen bahan

9
pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan proses purifikasi, yang mencapai
pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai akhirnya terbentuk produk vaksin.

Pada hasil akhir proses sama sekali tidak terdapat bahan-bahan yang
mengandung babi. Bahkan antigen vaksin ini sama sekali tidak bersinggungan
dengan baik secara langsung maupun tidak. Dengan demikian isu bahwa vaksin
mengandung babi menjadi sangat tidak relevan dan isu semacam itu timbul karena
persepsi yang keliru pada tahapan proses pembuatan vaksin. Majlis Ulama
Indonesia sudah mengeluarkan fatwa halal terhadap vaksin meningitis yang pada
proses pembuatannya menggunakan katalisator dari enzym tripsin babi. Hal
serupa terjadi pula pada proses pembuatan beberapa vaksin lain yang juga
menggunakan tripsin babi sebagai katalisator proses.

Pendapat mengenai vaksin yang oleh sekolompok pendapat menyatakan


keharaman tentang vaksin.Adapun alasan keharamannya mulai dari yang bersifat
mendasar, hingga alasan-alasan penunjang dan tambahan. Di antara alasan yang
digunakan untuk mengharamkan adalah:

1. Mengunakan Zat Yang Najis. Vaksin haram karena menggunakan media babi,
aborsi bayi, darah orang yang tertular penyakit infeksi yang notabenenya
pengguna alkohol, dll. Ini semua haram dipakai secara syari’at.

2. Banyak Efek Samping. Efek samping yang membahayakan karena


mengandung mercuri, thimerosal, aluminium, benzetonium klorida, dan zat-zat
berbahaya lainnya yg akan memicu autisme, cacat otak, dan lain-lain.

3. Lebih Besar Madharatnya. Meski vaksinasi ada manfaatnya, tetapi ada banyak
kerugiannya. Dan kalau kalau dilihat secara keseluruhan, ternyata jauh lebih
banyak bahayanya dari pada manfaatnya, banyak efek sampingnya. Dan oleh
karena itu logika hukumnya menyebutkan bahwa kita harus menolak manfaat
karena adanya mafsadat yang lebih besar.

4. Tiap Manusia Sudah Punya Kekebalan Tubuh Alami. Kekebalan tubuh


sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Sekarang tinggal bagaimana
menjaganya dan menerapkan pola hidup sehat. Tidak perlu diberi vaksin dan obat-

10
obatan kimiawi yang hanya akan merusak jaringan yang alami. Justru kekebalan
yang alami yang lebih diprioritaskan dan bukan kekebalan yang bersifat kimiawi.

5. Konspirasi Yang Terstruktur. Di balik adanya gerakan vaksinasi pada bayi,


ternyata terindikasi adanya konspirasi dan akal-akalan negara barat untuk
memperbodoh dan meracuni negara berkembang dan negara muslim dengan
menghancurkan generasi muda mereka. Agenda terselubung ini memang tidak
nampak secara kasat mata, namun dipastikan keberadaannya secara tersturktur
dan rahasia. Umat Islam harus jauh lebih waspada dan hati-hati terhadap tipu daya
yahudi zionis international. Sebab mereka tidak akan rela dengan umat Islam
sehingga kita mengikuti rencana mereka.

6. Bisnis Besar di Baliknya. Selain adanya tujuan untuk merusak dan menguasai
umat Islam, ternyata ada indikasi bahwa di balik program imunisasi ada bisnis
besar yang terselubung. Ternyata di balik program vaksinasi internasional ini, ada
pihak-pihak yang meraup keuntungan berlimpah, yaitu pihak produsen yang nota
bene adalah perusahan milik nonmuslim. Dengan ikut program vaksinasi
sesungguhnya umat Islam telah dengan rela dan sengaja menyumbangkan uang
untuk kalangan musuh-musuh Islam, yang tentunya keuntungannya dimanfaatkan
untuk menghancurkan agama Islam.

7. Menyingkirkan Pengobatan Nabawi. Semua bentuk vakisinasi tidak lain adalah


produk kedokteran barat yang semata-mata hanya disandarkan pada akal dan
logika semata. Sementara sebagai umat Islam sebenarnya sudah diberikan
metode pengobatan ala nabi (tibbun-nabawi) yang turun lewat wahyu, seperti
minum madu, minyak zaitun, kurma, habbatussauda dan sebagainya. Tentunya
akan jauh lebih berkah karena merupakan bagian dari mukjizat Rasulullah SAW.
Maka kalau umat Islam masih saja mengunggulkan penggunakan produk
kedokteran barat itu sama saja dengan menyingkirkan metode pengobatan
nabawi.

8. Walau sudah imuniasi tetapi tetap tidak menjamin, adanya beberapa laporan
bahwa anak mereka yang tidak divaksinasi masih tetap sehat, dan justru lebih
sehat dari anak yang divaksinasi.

11
Atas dasar lima pertimbangan umum di atas dinyatakan bahwa vaksinasi-
imunisasi yang bertujuan untuk mengusahakan kesehatan manusia itu boleh atau
halal selagi belum ada bahan vaksinasi-imunisasi yang halaalan thayyiban. Untuk
itu, tenaga medis: dokter, perawat, dan bidan bisa menyuntikkan vaksin (DPT,
BCG, MMR, IPV, dan meningitis) untuk mengusahakan kekebalan tubuh manusia
inklusif balita dari serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, kuman, dan
virus yang berbahaya bagi kesehatan. Akan sangat bagus kalau para sarjana
kesehatan (apoteker, analis kesehatan, dokter, Farmakolog, mungkin juga
termasuk herbalis) segera memproduk vaksin yang seluruhnya terbuat dari bahan
atau sintetisnya yang sepenuhnya secara material halal. (Nasution, 2020)

Vaksin merupakan zat atau senyawa yang fungsinya untuk membentuk kekebalan
tubuh terhadap berbagai macam penyakit. Di dalam Vaksin terdapat berbagai jenis
dan kandungan, masing-massing vaksin tersebut dapat memberikan perlindungan
terhadap berbagai penyakit yang membahayakan tubuh manusia. Vaksin
mengandung racun, bakteri atau virus penyebab penyakit yang sebelumnya telah
dilemahkan atau sudah dimatikan. Saat dimasukkan ke dalam tubuh seseorang,
vaksin akan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk memproduksi antibodi.
Proses pembentukan antibodi inilah yang selanjutnya disebut imunisasi. Saat
orang yang sudah mendapatkan vaksin terpapar virus penyebab penyakit
tubuhnya akan membentuk antibodi dengan cepat guna melawan virus tersebut.

Meski begitu, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa masih banyak terdapat
kelompok masyarakat yang juga menolak akan adanya vaksinasi, kelompok-
kelompok yang menolak akan adanya vaksinasi tersebut memiliki berbagai latar
belakang alasan, mulai dari alasan kekhawatiran kesehatan hingga alasan agama.
Didalam Islam misalnya, seorang muslim dilarang berobat menggunakan obat-
obatan yang mengandung najis. Alasanya jelas, karena memang ditemukan
beberapa hadits yang melarang umat Islam berobat atau melakukan imun,
termasuk vaksinasi, dengan sesuatu yang haram. Umpamanya hadits riyat Abu
Dawud, yang artinya: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan
obatnya, dan setiap penyakit ia jadikan ada obatnya. Oleh karena itu, berobatlah
kamu, tetapi jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” Ini dimaksudkan untuk
tidak melanggar ajaran Nabi, dan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan.

12
Gerakan anti vaksin ini sendiri bukanlah hal baru, yang mana tercatat sudah ada
sejak 1800-an. Gerakan ini semakin meningkat terutama pada 1998 terdapat satu
dokter di London yang menerbitkan laporan secara tidak tepat terkait dengan
dampak vaksin yang dianggap mampu menyebabkan autisme dan penyakit usus
pada vaksin tertentu.(Hughes, 2019)Gerakan yang sama juga terdapat pada
kelompok Muslim, gelombang penolakan vaksin meningitis yang diwajibkan bagi
orang yang hendak pergi ibadah haji atau umrah pda tahun 2010.(Nashrullah,
2010) Hal ini kemudian mendorong pada penolakan-penolakan vaksin lain seperti
vaksin campak dan rubela yang diberikan pada anak-anak melalui program
vaksinasi nasional. Gerakan penolakan tersebut muncul dikarenakan adanya
keraguan sifat kehalalan vaksin tersebut. Beberapa vaksin tersebut disinyalir
mengandung enzim babi yang secara otomatis membuatnya bersifat haram.

Atas dasar tersebut, vaksinasi covid-19 yang diusahakan dan dicanangkan oleh
pemerintah Indonesia, menuai tanggapan yang beragam, bahkan pro dan kontra,
mulai dari yang menerima secara total, menolak secara total dan menerima
dengan syarat. Pihak yang menerima secara total atau tanpa syarat tentu tidak
perlu dibahas lagi, termasuk latar belakang yang mengitarinya. Mereka
mempunyai cara pandang masing-masing. Tetapi, fokus kita adalah yang
menerima dengan syarat, dan ini tampaknya adalah mayoritas warga, terutama di
Indonesia yang beragama Islam, peranan tokoh agama juga dinilai sangat penting,
karena tokoh agama yang memberikan pandangan negatif pada vaksin akan turut
meningkatkan penolakan pada program vaksinasi yang dijalankan oleh
pemerintah.(Perry, 2020: 1-12)

Mengaca dari perkembangan isu vaksin di atas, tentu hal ini sangat relevan
dengan kondisi yang kita hadapi saat ini. Dengan tersebut luasnya pandemi
COVID-19 yang telah merenggut jutaan jiwa di dunia, merupakan suatu kewajiban
bagi kita untuk menjaga kesehatan baik untuk diri maupun untuk lingkungan
sekitar. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah “Jika kalian mendengar tentang
wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika
terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka anganlah kelian meninggalkan
tempat itu,” (HR Bukhari dan Muslim) yang ditunjukkan dengan upaya isolasi
mandiri maupun dengan berbagai protokol kesehatan yang perlu kita jalankan

13
selama pandemi ini berlangsung. Tentu pandemi ini kemudian semakin
menyulitkan kita, hingga saat ini masih belum ditemukan obat yang dianggap
mampu secara efektif mengobatinya. Sehingga kemudian vaksin merupakan salah
satu cara yang dipandang mampu mempercepat normalisasi kondisi sehingga kita
bisa menjalani kehidupan kembali seperti sedia kala. Saat ini vaksinasi merupakan
salah satu upaya yang yang dipandang efektif untuk menanggulangi pandemi
pendemi Covid 19, yaitu dengan memberikan kekebalan tubuh terhadap penyakit,
dengan semakin banyak orang yang kebal terhadap virus tersebut, diharapkan ke
depannya akan tercipta herd immunity, atau imunitas kelompok yang mana semua
orang sudah memiliki kekebalan dan tidak lagi mentransmisikan virus tersebut
kepada orang lain.

Terkait hal ini, MUI sebenarnya telah mengeluarkan fatwa tentang imunisasi pada
tahun 2016. Memang di dalam ketentuan mumnya, MUI menjelaskan bahwa wajib
menggunakan vaksin yang halal dan suci. Namun di sisi lain, MUI juga
membolehkan penggunaan vaksin haram dengan beberapa ketentuan, yaitu
digunakan pada kondisi al-dlarurat (keterpaksaan) atau al-hajat (keterdesakan),
belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci, serta adanya keterangan
tenaga media yang kompeten dan dipercaya bahwa tidak ada vaksin yang halal.
Bahkan dalam fatwa tersebut disebutkan pula hukum vaksin menjadi wajib apabila
penyakit tersebut dapat menyebabkan kematian, penyakit berat, maupun
kecacatan permanen. (MUI, 2016: 7) coba kita diskusikan lebih lanjut.
Kemaslahatan, yang merupakan esensi dari maqashid, secara garis besar, dapat
dikategorkan kepada dua bagian, yaitu: Pertama, kemaslahatan khusus (al-
maslahah al-juz`iyah atau al-maslalah al-khashshah). Kedua, kemaslahatan
universal atau kemaslahatan umum (al-maqasid al-kulliyah atau al-maqasid al-
„ammah), bahwa kemaslahatan khusus (al-maslahah al-juz`iyah atau al-maslalah
al-khashshah) dimaksudkan adalah kemaslahatan yang masih lebih berorientasi
atau bertujuan untuk memprotek kebutuhan internal umat Islam (ria‟ayh hajat al-
muslimin) dalam menata berbagai aspek kehidupan mereka, baik terkait dengan
kebutuhan yang bersifat keagamaan dan keberagamaan, kebutuhan individu,
keluarga, sosial kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, maupun aspek ekonomi.
Untuk mewujudkan ini adalah dengan memelihara lima hal, yaitu agama (hifzh ad-
din), jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-„aql), keturunan (hifzh an-nasl) dan harta

14
(hifzh al-mal).(Zahrah, 1989: 364-367) Dalam hal ini, A. Djazuli menambahkan satu
lagi tujuan syariat Islam, yaitu menjaga umat (hifzh al-ummah)(Djazuli, 2009: 261)

Sedangkan kemaslahatan universal / umum (al-maqasid al-kulliyah atau al-


maqasid al-„ammah) adalah kemaslahatan yang berorientasi kepada bukan hanya
dalam rangka memprotek kebutuhan internal umat Islam yang memang tidak
dapat diabaikan sesuai sesuai dengan konteksnya, tetapi juga dalam rangka
merangkul atau menjangkau kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan.
kemaslahatan universal ini masih tetap berakar pada lima hal di atas, tetapi
scopeatau ruang lngkup penafsiannya telah begeser lebih maju, dengan
mempertimbangkan realitas sosial-antropologis umat manusia secara
keseluruhan.

Dalam memahami persoalan penanggulangan pandemi covid-19 terutama tentang


vaksinasi covid-19, tampaknya tidak cukup lagi jika didasarkan kepada
kemaslahatan khusus (al-maslahah al-juz`iyah), yang cenderung hanya
memprotek kepentingan internal umat Islam, termasuk dalam masalah
keagamaan, yang sebagian besar telah memiliki tradisi pemahaman tertentu yang
sangat kuat, karena umat Islam adalah bagian dari warga negara internasional.
Lebih jauh daripada itu, pemahaman dalam menghadapi pandemi covid-19,
termasuk vaksnasi covid-19 ini adalah deCovidmenggunakan kemaslahatan
universal atau kemaslahatan umum (al-maslahah al-kulliyah atau al-maslahah
„ammah), yang orientasinya kepada kepentingan bersama, bukan hanya untuk
memprotek kepentingan internal umat Islam, tetapi juga untuk menyelesaikan
kepentingan umat manusia secara keseluruhan (common sense). Sebagai
landasannya, yaitu ayat-ayat yang mengandung nilai penyelamatan manusia
secara universal. Umpamanya firman Allah ( Q. 17. Al-Isra`: 70), yang
artinya:.”Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam…”. Juga firman Allah
(Q. Al-Ma`idah: 32) yang artinya:, “Siapa saja yang memelihara hidup seseorang,
maka seakan-akan dia telah mememelihara hidup semua manusa…” kemudian
firman Allah (Q. 2. Al-baqarah: 195), yang artinya: “… Dan janganah kamu jatuhkan
(diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri…” Selanjutnya, firman
Allah (Q. 2. Al-Baqarah: 173), yang artinya: “Sesungguhnya Dia hanya
mengharamkan atasmu bangkai, darah daging babi, dan (daging) hewan yang

15
disembelih degan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi, barangsipa terpakasa
(memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”

Berdasarkan ayat tersebut, Allah juga mensyariatkan rukhshah (keringanan) guna


meringankan kesulitan yang dihadapi oleh manusia, baik disebabkan karena
adanya kondisi lemah pada diri seseorang, sakit, safar, lupa, bodoh, paksaan,
maupun kondisi umum dan meluas yng sulit dihindari. Hal tersebut karena fiqh
Islam lebih mengutamakan kemaslahatan manusia. Misalnya, dibolehkannya
shalat sambil duduk ketika seseorang tidak mampu melakukannya dengan cara
berdiri atau dibolehkannya untuk tidak puasa di bulan ramadhan bagi musâfir
(orang yang dalam perjalanan jauh) dan orang sakit. (Azzam, 1999: 213) Bahkan,
diperbolehkannya memakan daging babi ketika dalam keadaan darurat. (Al-
Jashshash, 1992: 156)

Karena begitu pentingnya memertahankan eksistensi maqâshid asy-syarî’ah,


suatu perbuatan dapat dibolehkan meskipun pada asalnya perbuatan tersebut
diharamkan oleh syariat. Legitimasi ini dibenarkan karena tujuan-tujuan syariat
Islam merupakan kebutuhan yang bersifat darûrî (pokok) (Ghani, 2015: 191-218)

Kaidah fiqih tentang dharurat (yaitu sampainya seseorang atau masyarakat ke


suatu batas, yang apabila ia tidak menggunakan desuatu yang dilarang, maka ia
akan binasa atau mendekati kebinasaan). Kalaupun tidak sampai kepada tingkat
dharurat maka dalam kondisi dibutuhkan atau hajat (yaitu sesuatu yang
dibutuhkan manusia untuk memudahkan mereka atau menolak kesulitan, yang
tidak sampai dalam tingkatan dharurat) dapat diposisikan sebagai dharurat.
Rumusan kaidah fiqih dimaksud, antara lain, adalah ad-dharurat tubih al-
mahzhurat (Abd, 1999: 149). Yang artinya: “darurat membolehkan hal-hal yang
dilarang.” Kemudian kaidah ma ubiha li adh-dharurati, yuqaddari biqadariha (As-
sayuti, 1995: 170), yang artinya: “sesuatu yang dibolehkan karena darurat, dibatasi
sesuai dengan kadar kebutuhannya(Abd, 1999: 213) Dan kaidah al-hajah tanzil
manzilah adh-dharurah, yang artinya: “keadaan kebutuhan itu ditempatkan pada
keadaan darurat.” Dan masih banyak kaidah yang senada.

16
Selanjutnya, ketika berbenturan antara kemaslahatan khusus dengan
kemaslahatan universal atau umum, maka ada kaidah yang bersifat etis, berbunyi:
al-mashlahah „ammah tuqaddam „ala al-maslahah al-khashshah, (Duski, 2019:
145) yang artinya: “Kemaslahatan umum atau universal didahulukan atas
kemaslahatan khusus” Dengan ungkapan lain, kemaslahatan umum atau
universal berupa kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan, haruslah
didahulukan penerapannya dari kemaslahatan khusus, berupa proteksi
kepentingan seseorang atau hanya kelompok orang yang sangat kekeh
mempertahankan hukum, yang tidak boleh memanfaatkan sesuatu yang haram
atau najis, secara mutlak, tanpa mempertimbangkan dituasi kontekstual (qara`in
ahwal). Sejauh itu, banyak ulama yang telah memberikan pernyataan yang intinya,
bahwa manakala tidak ditemukan obat yang halal, maka yang najis boleh
dilakukan. Umpamanya Ulama’ Hanafiyah, Ulama Syafi’iyah (Duski, 2019: 160)
Imam an-Nawawi,(Al-Imam an-Nawawi, 2005: 270) Izzuddin Bin
‘Abdissalam,(‘Abdissalam, 1992: 81) dan lan-lain). Tentu saja dimaksudkan
mereka adalah dalam rangka hifzh an-nafsdan hifzh an-nasl dalam maknanya
yang universal Sesuai dengan asas-asas pembinaan hukum Islam, yaitu asas
tidak memberatkan,(Khallaf, 1971:18-23) asas tidak memperbanyak beban, dan
asas gradualitas.(al-Khudhari, 1967: 15)

Maka persoalan vaksinasi covid-19 yang ditengarai mengandung unsur najis tidak
perlu lagi dipersoalkan, selama memang dalam uji medis tidak akan membayakan
kesehatan manusia atau dalam bahasa maqashid, selama mencerminkan hifzh
an-nafs atau memelihara jiwa dan hfzh an-nasl atau memelihara manusia secara
keseluruhan.

Terakhir, Sebagai ikhtiar bersama dalam menghadapi pandemi COVID-19 ini, kita
perlu berperan aktif di dalam menjaga diri serta menghambat penyebaran virus
tersebut. Dimulai dari diri sendiri dengan menjalankan protokol kesehatan di
kehidupan sehari-hari, dari menggunakan masker dengan benar, mencuci tangan,
hingga menghindari kontak langsung dan menjaga jarak dengan sesama.
Vaksinasi merupakan langkah berikutnya yang bisa kita lakukan untuk
berkontribusi dalam menekan laju persebaran virus ini dengan meningkatkan

17
kekebalan imunitas tubuh sehingga kita tidak menjadi transmitter dari virus
tersebut.

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa darurat merupakan suatu


kondisi bahaya yang menimpa seseorang atau negara, sehingga dikhawatirkan
merusak tatanan kehidupan secara keseluruhan, dalam Islam hal ini disebut
dengan istilah rukhshah (keringanan) guna meringankan kesulitan yang dihadapi
manusia, baik disebabkan karena adanya kondisi lemah pada diri seseorang,
sekit, safar, lupa, paksaan, maupun kondisi umum dan meluas yang sulit dihindari.
Hal tersebut karena fiqh Islam lebih mengutamakan kemaslahatan manusia.
Selanjutnya, ketika berbenturan antara kemaslahatan khusus dengan
kemaslahatan universal atau umum, maka ada kaidah yang yang bersifat etis,
berbunyi: al-mashlahah „ammah tuqaddam „ala al-maslahah al-khashshah, yang
artinya: “Kemaslahatan umum atau universal didahulukan atas kemaslahatan
khusus” Dengan kata lain, kemaslahatan umum atau universal berupa
kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan, haruslah didahulukan
penerapannya dari kemaslahatan khusus, berupa proteksi kepentingan seseorang
atau hanya kelompok orang yang sangat kekeh mempertahankan hukum, tanpa
mempertimbangkan situasi kontekstual (qara`in ahwal). (Fuadi, 2021)

18
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. (2008). Pedoman Imunisasi di Indonesia. DEPKES.

Fuadi, A. dan S. T. (2021). VAKSINASI SEBAGAI PENANGGULANGAN


PANDEMI COVID-19 PERSPEKTIF FIQH ISLAM.

Nasution, M. M. (2020). VAKSINASI DALAM PERSPEKTIF ISLAM.

Turnip, I. R. S. (2021). KEHALALAN VAKSIN COVID-19 PRODUKSI SINOVAC


DALAM FATWA MUI DAN IMPLEMENTASI VAKSINASINYA PADA TENAGA
KESEHATAN DI PUSKESMAS TANJUNG MORAWA, DELI SERDANG
(Perrspektif Qawaidh Fiqhiyya).

Ummu Salamah Hajjam. (1999). Imunisasi Dampak dan Konspirasi Solusi Sehat
Ala Rasulullah SAW. Madaniyahpress.

Yakub, A. (2021). Titik Kritis Kehalalan Vaksin Covid-19 Produksi Sinovac China.

Yusuf al Qardhawy. (1993). Halal dan Haram dalam Islam. PT Bina Ilmu.

19

Anda mungkin juga menyukai