Anda di halaman 1dari 4

ISU TINGGINYA TINGKAT STRESOR TERHADAP TENAGA KESEHATAN DI RSUD

KOTA BANJAR DIMASA PANDEMI

Pandemi Novel Coronavirus

Corona virus adalah keluarga besar virus Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) dan Middle East
Respiratory Syndrom (MERS) (Sohrabi et al., 2020). Salah satu jenis penyakit baru dan belum pernah
terdeteksi maupun terindetifikasi dari manusia, yang kemudian diberikan nama Coronavirus Disease
2019 (COVID19). Virus ini adalah jenis virus yang ditularkan dari hewan ke manusia, yaitu kelelawar
dan kemudian dikonfirmasi bisa ditularkan melalui sesama manusia (Kemenkes RI, 2020). Sampel
isolate dari pasien diteliti dengan hasil menunjukkan adanya infeksi coronavirus, jenis
betacoronavirus tipe baru, diberi nama 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) (Kannan, et.al.,2020).
Seiring berjalannya waktu, jumlah kasus terus bertambah dan semakin banyak jumlah yang terinfeksi
termasuk tenaga medis. Sehingga dapat dikonfirmasi bahwa transmisi pneumonia ditularkan dari
sesama manusia. Persebaran virus yang sangat cepat menyebar masih misterius dan penelitian
masih terus berlanjut (Rothan and Byarareddy, 2020). WHO menyatakan sebanyak 213 negara sudah
melaporkan ditemukannya kasus Covid-19 di Negara mereka. Data tercatat sebanyak 4.417.903
kasus dengan 297.382 kematian dan tingkat pertumbuhan kasus baru sebesar 7% per hari di seluruh
dunia (WHO, 2020). Khusus di Indonesia sendiri Pemerintah telah mengeluarkan status darurat
bencana terhitung mulai tanggal 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020 terkait pandemi virus ini
dengan jumlah waktu 91 hari (Buana, 2020).

Pada awal tahun 2020, dunia tiba-tiba terdisrupsi oleh pandemi yang disebabkan dari suatu galur
baru (novel) dari coronaviruses (CoV) yaitu SARS-CoV-2. Penyakit yang ditimbulkan atas infeksi
SARS-CoV-2 kemudian disebut sebagai coronavirus disease atau COVID-19. Pada 5 Januari 2021,
COVID-19 telah menjadi global pandemic yang menginfeksi sekitar 84,5 juta manusia dengan tingkat
kematian 1,8 juta jiwa. Di Indonesia, per 6 Januari 2021, kasus positif COVID-19 telah mencapai
sekitar 780 ribu dan menimbulkan 23 ribu kematian. Untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19,
pemerintah telah melaksanakan berbagai intervensi kesehatan. Selain melalui protokol kesehatan,
upaya kesehatan untuk mengatasi pandemi ialah dengan mengupayakan vaksinasi COVID-19 bagi
seluruh masyarakat Indonesia seperti yang telah disampaikan oleh Presiden RI pada 16 Desember
2020. Program vaksinasi merupakan salah satu bagian dari sistem kesehatan untuk mengatasi masalah
kesehatan terutama dalam hal penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Vaksinasi
COVID-19 dilaksanakan melalui pemberian vaksin ke tubuh manusia guna memperoleh imunitas
spesifik terhadap virus SARS-CoV-2 sehingga dapat memutus rantai penularannya. Ditinjau dari sisi
ekonomi, vaksinasi COVID-19 akan lebih cost-effective dari upaya pengobatan dan perawatan yang
harus dilakukan bilamana terjadi infeksi. Dampak positif secara luas pada masyarakat yaitu
produktivitas secara sosial dan ekonomi diharapkan bisa kembali pulih melalui program vaksinasi ini.
Namun demikian, untuk mensukseskan program vaksinasi COVID-19 ini, Peran serta masyarakat
merupakan hal yang paling penting untuk mencapai kesuksesan program vaksinasi COVID-19, .
Meski dilihat pentingnya program pemerintah dalam vaksinasi virus SARS-CoV 2 tersebut masih
banyak masyarakat yang menolak program vaksinasi.

Penyebab Masyarakat Menolak Vaksinasi

Hasil survei Kementerian Kesehatan bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization
(ITAGI) dengan dukungan UNICEF dan WHO, menyatakan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia
bersedia menerima vaksin Covid-19.

Meski demikian, dari hasil survei nasional itu masih ada masyarakat Indonesia yang menolak
vaksinasi terbanyak dengan alasan aspek keamanan vaksin Covid-19.

Dikutip dari hasil survei tersebut pada Rabu (18/11/2020), responden mengungkapkan kekhawatiran
terhadap keamanan dan keefektifan vaksin, menyatakan ketidakpercayaan terhadap vaksin, dan
mempersoalkan kehalalan vaksin.

Alasan penolakan vaksin COVID-19 paling umum adalah terkait dengan keamanan vaksin (30%);
keraguan terhadap efektifitas vaksin (22%); ketidakpercayaan terhadap vaksin (13%); kekhawatiran
adanya efek samping seperti demam dan nyeri (12%); dan alasan keagamaan (8%).

Lantas, adakah dampak jika seseorang tidak mau menerima vaksin? Jawabannya ada. Efek menolak
vaksin bisa terjadi pada tubuh maupun lingkungan sekitar. Seperti dikatakan sebelumnya, vaksinasi
dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan menurunkan risiko infeksi virus. Sebab, hal ini
bisa menyebabkan penularan pada orang lain yang berada di lingkungan sekitar.

Rekomendasi penyelesaian isu : 

Intervensi vaksinasi merupakan salah satu upaya kesehatan yang harus dilaksanakan secara holistik
dengan melibatkan berbagai pihak. Dalam jangka pendek, kesuksesan atas program tentunya akan
sangat berdampak terhadap pemulihan ekonomi nasional sedangkan pada jangka
panjang, outcome peningkatan kapasitas sistem kesehatan secara menyeluruh diharapkan dapat
tercapai sehingga lebih siap bilamana Indonesia harus menghadapi pandemi di masa mendatang.
Pemberdayaan masyarakat untuk menerima vaksin dan mendukung program vaksinasi COVID-19 itu
sendiri memerlukan peran serta banyak pihak, di mana komunikasi yang baik antara pemerintah,
tenaga kesehatan, keluarga, dan komunitas merupakan salah satu faktor yang harus dibangun.  Dalam
tatanan implementasi program, para pihak terkait harus dapat memahami beragam pengalaman dan
perspektif yang ada di masyarakat serta berupaya agar masyarakat dapat merespon program secara
positif sehingga dengan sukarela melaksanakan vaksinasi. Di lain sisi, masyarakat juga perlu secara
aktif untuk memahami program vaksinasi COVID-19 ini termasuk bagaimana skema dan kondisi
prasyarat, target outcome, akses terhadap vaksin, serta risiko yang mungkin akan dihadapi bilamana
tidak mendapat vaksinasi. Dalam hal membangun perspektif positif, peran serta tokoh masyarakat,
seperti pemuka agama, tetua adat, dan public figure, sangat diperlukan agar masyarakat tertarik dan
menerima program untuk bersama-sama mensukseskan vaksinasi COVID-19. Hal ini penting karena
beberapa hal seperti faktor agama dan kepercayaan termasuk concern terhadap kehalalan vaksin,
berita negatif terkait vaksinasi, takhayul, norma budaya tertentu, sampai propaganda anti-vaksin dapat
menghambat kesuksesan vaksinasi.

Peran tenaga kesehatan sebagai garda terdepan

Tenaga kesehatan merupakan faktor pendukung yang krusial dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-
19. Mengacu pada Roadmap WHO Strategic Advisory Group of Experts (SAGE) on
Immunization serta hasil kajian Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical
Advisory Group on Immunization, ITAGI), petugas kesehatan merupakan salah satu prioritas
penerima vaksin COVID-19. Juga mengacu pada CDC Framework for Equitable Allocation of
COVID-19 Vaccine, prioritas vaksinasi ini telah dilaksanakan berdasarkan prinsip etik sehingga dapat
tercapai derajat kemanfaatan yang setinggi-tingginya sedemikian rupa sehingga tercapai pemerataan
dan mitigasi atas kemungkinan inekualitas akses terhadap vaksin. Dengan penempatan tenaga
kesehatan sebagai prioritas ini, diharapkan pada pelaksanaan vaksinasi massal bagi masyarakat yang
lebih luas, tenaga kesehatan sendiri dapat terlindungi dari kemungkinan infeksi COVID-19 sehingga
risiko terhambatnya vaksinasi serta pelayanan kesehatan lainnya akibat kesakitan dapat terhindari.
Dalam pelaksanaan program vaksinasi, WHO telah memberikan arahan bahwa tenaga kesehatan
tentunya harus dapat melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi melalui proteksi diri,
proteksi pasien, serta proteksi keluarga dan komunitas. Pencegahan dan pengendalian infeksi tersebut
dilaksanakan bukan hanya pada sesi pemberian vaksin, namun juga pada fasilitas kesehatan, saat
pelaksanaan edukasi dan advokasi ke masyarakat.

Peran strategis lain dari tenaga kesehatan dalam program vaksinasi COVID-19 ialah dalam
membangun kepercayaan publik serta menyampaikan kemanfaatan dari vaksin sehingga tercipta
kepercayaan diri pada masyarakat untuk mendukung implementasi program. Tenaga kesehatan
seyogyanya menjadi jembatan komunikasi dalam rangka community engagement sehingga cakupan
vaksinasi dapat mencapai target serta outcome herd immunity terbentuk. Selain itu, dengan situasi saat
ini di mana informasi hoax dapat dengan mudah diperoleh dan disebarkan, sehingga seringkali
mengarah pada disinformasi dan keraguan di masyarakat, petugas kesehatan harus dapat menjadi
salah satu “primary source” informasi kesehatan di masyarakat. Hal ini penting karena beberapa
penelitian menunjukkan bahwa arahan dan informasi yang disampaikan tenaga kesehatan, termasuk
kader, lebih mudah diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat. Tenaga kesehatan, melalui empati
dapat melaksanakan counter dari keraguan terhadap vaksin dan vaksinasi di masyarakat, sehingga
masyarakat yang merasa tidak yakin atau menolak dapat beralih untuk menerima vaksin dan
vaksinasi.

Hal lain yang krusial, di mana tenaga kesehatan berperan sangat penting ialah dalam hal
terjadi adverse event following immunization (AEFI) atau kejadian ikutan pasca vaksinasi (KIPI), baik
dalam pencegahan, penanganan maupun pelaporannya.  Seperti kita ketahui, efektivitas vaksin
memang akan diukur setelah vaksin digunakan secara luas di masyarakat, oleh karenanya data
kejadian KIPI akan sangat membantu dalam evaluasi vaksin. Data dan informasi KIPI, sebagai bagian
integral dari pharmacovigilance, menjadi penting karena tentunya berfungsi sebagai
kontrol robustness dari sistem pelayanan kesehatan dan vaksinasi.  Dengan demikian, keseluruhan
peran dan fungsi tenaga kesehatan tersebut diharapkan dapat mendukung optimalisasi vaksinasi
sehingga outcome program dapat tercapai sesuai target yang ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai