Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KONSEP ISLAM TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI, KHITAN, DAN


KIFADZ

DISUSUN OLEH:

MELZHAFIRAH PURANTI ARUM (1810070100116)

RINGGA ANJANI SYAHPUTRA (2110070100001)

ANNISA DIVA DHIERSA (2110070100003)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya dan karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini
adalah "karakter manusia di dalam al-quran".
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen
mata kuliah agama yang telah memberikan tagas terhadap kami. Kami jugs inga
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan
makalah ini.
Kami jauh dan sempuma. Dan ini merupakan langkah yang baik dan studi yang
sesungguhnya. Oleh karena itu keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka saran yang
membangun senantias harapkan semoga makalah ini dat berigion harap saya pada khusus dan
pihak lain berkepentingan pada umumnya.
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Islam sebagai suatu pandangan hidup (way of life) tentu saja memiliki kaitan dengan
kesehatan dalam hal ini tentang kesehatan reproduksi (kespro) mengingat Islam berfungsi
sebagai pengatur (regulation) kehidupan manusia dalam rangka mencapai keadaan yang
sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Islam mengatur kesehatan reproduksi manusia pada
hakikatnya ditujukan untuk memuliakan dan menjunjung tinggi derajat umat manusia. Dan
dalam Islam sejak belasan abad yang lalu jauh sebelum kemajuan ilmu kesehatan dan
kedokteran mengaturnya sesuai dengan Quran, hadits, dan ijma para ulama, yang mencakup
seksualitas, kehamilan, menyusui, kontrasepsi atau KB, dan aborsi, serta hal lain yang tidak
dapat dijelaskan satu-satu persatu. Sebagai umat muslim kita wajib mengikuti aturan-aturan
yang telah ditetapkan Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan sebagai umat manusia
yang di muliakan oleh-Nya.
Seksualitas dalam Islam dapat menjadi hal yang terpuji sekaligus tercela. Seksualitas menjadi
hal yang terpuji jika dilakukan dalam lingkup hubungan yang sesuai syariat, yaitu hubungan
pasangan laki-laki dan perempuan—bukan antara pasangan sejenis (homoseksual) atau
dengan binatang (zoofilia)— yang telah menikah secara sah. Sebaliknya seksualitas dalam
Islam dapat menjadi hal yang tercela jika hubungan dilakukan di luar pernikahan, antara
pasangan sejenis, atau dengan binatang. Dalam Islam hubungan seksual pranikah dan
perselingkuhan dilarang dan dapat dihukum sesuai syariat. Bahkan negara kita juga telah
memasukkan perihal ini dalam KUHP. Supaya umat manusia tidak terjebak pada perilaku
tercela maka Islam mengaturnya dalam Quran surat Al Israa: 32 yaitu tentang larangan
mendekati zina. Bukan hanya melakukan, mendekatinya saja dilarang dalam Islam seperti
hubungan laki-laki dan perempuan bukan muhrim yang terlampau bebas. Hubungan seksual
yang bebas (free sex) secara kedokteran dapat menyebabkan penyakit/ infeksi menular
seksual, kehamilan tak diinginkan, aborsi dan kematian ibu, dan bayi tanpa ibu. Secara sosial
maka akan menimbulkan nasab yang tidak jelas, sehingga kehidupan keluarga dan sosial
budaya akan terganggu. Semua hal itu akan berujung pada penurunan kualitas generasi
bangsa. Dr Maurice Bucaille, ilmuwan Perancis dalam bukunya yang fenomenal La Bible Le
Coran Et La Science (Bibel, Quran, dan Sains Modern) menyatakan bahwa sebelum ilmu
kedokteran modern berkembang, para ilmuwan memiliki konsep yang salah tentang
penciptaan manusia padahal Quran telah menyatakannya dengan sangat jelas sejak 14 abad
yang lalu. Dalam surat Al Mukminun: 14 dan Al Hajj: 5, Quran telah menjelaskan tahap demi
tahap perkembangan penciptaan manusia. Quran menyebutkan tempat-tempat mekanisme
yang tepat dan menyebutkan tahap-tahap yang pasti dalam reproduksi, tanpa memberi bahan
yang keliru sedikit jua pun. Semuanya diterangkan secara sederhana dan mudah dipahami
oleh semua orang serta sangat sesuai dengan hal-hal yang ditemukan oleh sains di kemudian
hari. Mari kita lihat kandungan surat Quran di bawah ini yang begitu menakjubkan:
“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”(QS. Al Mu’minun:
14).

2. Fokus Pembahasan
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat difokuskan topik pembahasan pada
makalah ini antara lain:
1. Petunjuk Islam dalam kesehatan reproduksi
2. Kebersihan organ reproduksi dalam thaharah
3. Khitan
4. Kifadz
BAB II
PEMBAHASAN
1. Petunjuk Islam dalam kesehatan reproduksi
1. Pengertian Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu dimensi dari kesehatan fisik manusia. Kendati ia
bahagian dari aspek fisik, akan tetapi lingkup kesehatan dalam Islam tetap menghubungkan
bahagian fisik tersebut dengan dimensi lain. Salah satu definisi kesehatan reproduksi menurul
International Conference on Population and Development/ICPD (Konferensi Internasional
Kependudukan dan Pembangunan) yang dilaksanakan di Kairo, tahun 1994, adalah suatu
keadaan kesehatan yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial dan bukan semata-
mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan
sistem reproduksi, fungsinga maupun proses reproduksi itu sendiri. Dengan demikian,
kesehatan reproduksi menviratkan bahwa setiap orang dapat menikmati kehidupan seks yang
aman dan
menyenangkan, dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi.
Islam sebagai pandangan hidup tentu saja memilik; kaitan dengan kesehatan reproduksi
mengingat Islam berfungsi sebagai pengatur kehidupan manusia dalam rangka mencapai
keadaan sesuai dengan definisi kesehatan reproduksi itu sendiri. Islam mengatur Kesehatan
reproduksi manusia ditujukan untuk memuliakan dan menjunjung tinggi derajat manusia.
Dan Islam sejak belasan abad yang lalu - jauh sebelum kemajuan ilmu kesehatan dan
kedokteran - mengaturnya sesuai dengan ketentuan al-Quran, hadits, dan ima para ulama,
yang mencakup seksualitas, kehamilan, menyusui, kontrasepsi/KB, dan aborsi, serta hal lain
yang tidak dapat dijelaskan satu-satu persatu. Setiap Muslim wajib mengikuti aturan-aturan
yang telah ditetapkan Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan sebagai umat manusia.
Ukuran kesehatan reproduksi dalam Islam, selain meliputi kesehatan aspek fisik, psikis,
spiritual, ekonomi dan sosial, juga mencakup ukuran lain; sehat dan al-'aftat.
Pertama, sehat, reproduksi yang sehat merupakan keadaan sistem reproduksi manusia yang
tidak mengalami kecacatan/ kerusakan, berfungsi sebagaimana fungsi sistem biologisnya.
Misalnya, seseorang melakukan hubungan ¡ima' / coitus, lalu terjadi pembuahan selanjutnya
hamil, dan melahirkan; keadaan seperti in dipandang reproduksi sehat, karena bekerjanya
fungi reproduksi laki-laki dan perempuan tersebut.
Kedua,'afiat; menunjukan makna bahwa sistem reproduksi manusia tidak cukup dengan
berfungsi semata, namun harus difungsikan sesuai dengan ketentuan Pencipta Sistem
Reproduksi tersebut, Allah Swt. Misalnya, bila yang melakukan hubungan jima' / coitus
tersebut adalah orang yang tidak sah menurut syara melalui institusi pernikahan, maka hal in
menunjukan reproduksi yang tidak sehat.
Dalam Islam, kajian kesehatan reproduksi merupakan pembahasan yang tidak bisa dipisahkan
dari syariat/ ajaran Islam. Kesehatan reproduksi tidak hanya terkait dengan kehidupan
keduniaan manusia semata. Kondisi reproduksi yang sehat tidak hanya membawa
kebahagiaan atau keuntungan manusia saja, tetapi juga terkait dengan masalah unsur
ketuhanan. Terdapat konsekuensi syar'i (pahala dan dosa) terkait dengan kemampuan
seseorang menjaga dan memelihara sistem reproduksinya. Bila merujuk pada sumber ajaran
Islam yang utama, al-Qur'an, memelihara repoduksi secara mum termasuk kategori perintah.
Seperti terdapat da lam surat an-Nur [24] ayat 30;
Katakanlah kepada orang laki-laki yang berian: Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu ndalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS An-Nur : 30)
Secara tekstual ayat di atas menggambarkan keharusan menjaga kemaluan - sebagai bagian
dari sistem reproduksi manusia. Dipahami maksud ayat ialah, keharusan menjaga kemaluan
dari perbuatan zina atau dosa lain yang bersumber dari kemaluan tersebut. Namun, isyarat
ayat menunjukan bahwa memelihara kemaluan menjadi keharusan bagi Muslim, baik dari sisi
menjauhkan diri dari perilaku zina maupun menjaga kesehatan bahagian dari reproduksi itu
sendiri. perzinaan dalam konteks kesehatan reproduksi juga termasuk kategori perilaku yang
jauh dari nilai-nilai kesehatan reproduksi. Melakukan tindakan perzinaan termasuk kategori
dosa dalam Islam. Dosa konsekuensi perzinaan merupakan bentuk ketidakmampuan
memelihara kesehatan reproduksi.
2. Hak-hak Reproduksi dalam Islam
Manusia hidup dengan turuan tertentu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka manusia
Harus berusaha secara maksimal. Target yang hendak dicapai manusia merupakan salah satu
indikator kebahagiaan dan ketenangan hidup. Salah satu target yang diusahakan manusia
adalah memenuhi hak-hak yang terkait dengan perikehidupan. Hak adalah pengakuan atas
kepemilikan/ kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu. Pengakuan terhadap
kepemilikan
Atau kekuasaan seseorang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hak-hak
personal yang harus dihormati oleh orang lain.
Pengakuan hak-hak individu diakui ole negara, hukum/konstitusi, individu lain. Termasuk di
dalamnya hak reproduksi. Hak reproduksi merupakan salah satu hak yang terkait dengan
perikehidupan manusia. Karena hak reproduksi merupakan hak perikehidupan setiap
individu, maka pengakuan terhadap hak tersebut tidak hanya oleh individu saja, namun harus
diakui secara global. Isu hak reproduksi merupakan salah satu tema perbincangan dunia,
Khususnya dalam ranah kesehatan. Hak-hak reproduksi selalu berhubungan dengan Hak
Asasi Manusia (HAM/human right). Karena hak reproduksi memiliki hubungan dengan
HAM, maka perspektif yang digunakan adalah sudut pandang kemanusiaan.
Hak reproduksi yang terkonsentrasi pada manusia seperti terlihat dari beberapa definisi,;
menurut Departemen Kesehatan RI; Hak reproduksi perorangan adalah hak yang dimiliki
oleh setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan (tanpa memandang perbedaan kelas
sosial, suku, umur, agama, dll) untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab
(kepada diri, keluarga, dan masvarakat) mengenai jumlah anak, jarak antar anak, serta
penentuan waktu kelahiran anak dan akan melahirkan. Hak reproduksi ini didasarkan pada
pengakuan akan hak-hak asasi manusia yang diakui di dunia internasional (Dekes RI, 2002).
Sedangkan definisi lain dikemukakan oleh International Conference on Population and
Development/ ICPD; (Kairo, 1994); Hak Reproduksi adalah hak-hak dasar setiap pasangan
maupun individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab memutuskan jumlah, jarak
kelahiran, dan waktu untuk memiliki anak dan mendapatkan informasi serta cara
melakukannva, termasuk hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan
juga kesehatan seksual.
International ConferencePopulation and Development/ICPD; (Kairo, 1994), hak-hak
reproduksi mencakup: 1) Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi,
2) Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi, 3) Hak untuk
kebebasan berfikir tentang kesehatan reproduksi, 4) Hak untuk menentukan anak dan jarak
kelahiran, 5) Hak untuk hidup, 6) Hak atas keamanan, 7) Hak kebebasan dari penganiayaan,
8) Hak untuk mendapatkan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan, 9) Hak atas kerahasiaan
pribadi, 10) Hak untuk mencari pasangan hidup tapa adanya paksaan dari siapapun, 11) Hak
membangun dan merencanakan, 12) Hak atas kebebasan berkumpul, dan 13)
Hak bebas dari diskriminasi
3. Ruang Lingkup dan Reproduksi dalam Islam Problematika Kesehatan
Salah satu karakteristik syariat Islam adalah al-wudhuh jelas (Ohardawi, 2004) . Meskipun
kehidupun manusia demikian komplek, Islam tetap saja hadir memberikan kejelasan (al-
wudhuh) dari aspek aturan. Tidak ada yang luput dari konsep Islam setiap dimensi kehidupan
manusia. Al- Qur'an sebagai sumber ajaran Islam datang dengan sebahagian informasi yang
bersifat global, Sunnah Rasulullah Saw merinci dan memperjelasnya. Termasuk persoalan
yang terkait dengan aspek kesehatan reproduksi. Karena aspek yang berhubungan dengan
kesehatan reproduksi juga berhubungan dengan aspek ibadah, maka mesti ada pengaturan
yang jelas, sehingga tidak ada keraguan bag umat dalam mengimplementasikan pesan syara'
dalam kehidupan.
Dalam ajaran Islam dipahami, seluruh dimensi kehidupan umat mendapat perhatian. Terkait
masalah kesehatan reproduksi, dapat diklasifikasikan ruang lingkup bahasannya pada
beberapa aspek, yaitu:
a. Kebersian organ seksual / reproduksi; istinja', khitan, haid, dan nifas
b. Gangguan/ Penyakit Reproduksi; istihadhah, infertilitas dan monopouse
c. Norma seksualitas dan Penyimpangannya dalam Pandangan Islam, hubungan seksual yang
dibenarkan dan ditolak.
d. Problematika reproduksi kontemporer seperti Kb, abortus, operasi kelamin, operasi selaput
darah.
e. Pendidikan seksual dan kebersihan ibu hamil dan menyusui dalam islam.
Setiap aspek dari lingkup keschatan reproduksi dalam Islam memiliki problematika
tersendiri. Pertama, kebersihan organ reproduksi. Pada aspek kesehatan reproduksi seperti
khitan pada laki-laki dan Perempuan. Khitan pada laki-laki hampir tidak ada masalah, baik
dalam tradisi agama sendiri maupun temuan modern dalam bidang keschatan. Berbeda
persoalamnya ketika Khitan dihadapkan pada perempuan. Khususnya bendasarkan hasil
telaah modern di negara Afrika yang memandang Khitan pada perempuan merupakan
masalah yang serius (Nasaraddin Unac, 1998)
Kedua, gangguan dan penyakit reproduksi. Persoalan gangguan reproduksi dan penyakit
reproduksi memiliki implikasi luas pada aspek psikologis. Seperti persoalan infertilitas
(kemandulan), darah penyakit yang keluar terus menerus (istihadhah), monopouse, penyakit
yang berkaitan dengan bakteri dan sebagainya.
Ketiga, norma seksualitas dalam Islam. Persoalan yang berhubugan dengan norma seksualitas
merupakan pembahasan yang berkaitan dengan kepantasan dalan melakukan hubungan
seksual. Ukuran kepantasan tentu saja tapa mengabaikan hak-hak Allah Swt padanya.
Persoalan yang berhubungan dengan norma seksual cukup banvak seperti persoalan
penyimpangan orientasi seksual. Dalam Islam penyimpangan orientasi seksual merupakan
perilaku yang sangat tercela, seperti zina (prostitusi), livatl (homoseksual), sihaq (lesbian),
ityan al-bahn'in (sodomi) dan sebagainya.
Keempat, persoalan yang berhubungan dengan kehamilan dan menyusui. Kehamilan dan
menvusui merupakan hak reproduktif perempuan yang tidak dapat dialihkan kepada yang
lain. Dalam Islam, kehamilan dan menyusui tidak sekedar memelihara janin selanjutnya
dilahirkan dan disusui, lebih dari itu, kegiatan tersebut ditata/ diatur dengan
memperhitungkan hak-hak janin yang terdapat dalam rahim - baik secara fisik maupun psikis.
Kelima, problematika reproduksi kontemporer. Isu-isu kontemporer yang berhubungan
dengan teknologi reproduktif bergerak demikian cepat. Kemajuan teknologi, pada satu sisi
memberikan kemudahan dan membantu manusia, tapi pada sisi lain dapat saja mengikis nilai-
nilai kemanusiaan, seperti keluarga berencana, abortus, operasi kelamin, operasi selaput dara
dan sebagainya.
Keenam, pendidikan seksual. Pendidikan seksual sepertinya merjadi keharusan khususnya
pada anak-anak dan remaja, seperti rasa ingin tahu dan katersediaan jawaban yang selayakrya
tentang seksual tidak seimbang dan tidak beriringan pertumbuhan dan perkembangannya.

2. Kebersihan organ reproduksi dalam thaharah


Syariat Islam diturunkan untuk memelihara manusia. Pemeliharaan tersebut dituangkan
dalam aturan hidup yang menguntungkan serta menjauhkan manusia dari mudharat. Dituntut
konsistensi manusia dalam menjalankan syariat bila ingin mendapatkan keuntungan termasuk
persoalan yang berhubungan dengan kebersihan/ kesehatan reproduksi. Sudah dinukilkan
dalam al-Qur'an dan Sunnah, baik secara global maupun terperinci tentang kebersihan
reproduksi. Kebersihan reproduksi dibicarakan secara detail karena berhubungan dengan
ibadah khas yang dilakukan manusia. Melalui perintah yang bersifat pencegahan, pengobatan
dan pemeliharaan, ajaran syariat Islam bercita-cita ingin memelihara kemuliaan manusia
dengan menjaga kebersihan reproduksi.
Kebersihan/ kesehatan reproduksi menjadi salah unsur penting dalam kelangsungan hidup
manusia. Manusia mendapat amanah sebagai khalifah yang, memakmurkan bumi. Salah satu
wujud memakmurkan bum ialah dengan melanjutkan keturunan, karena keturunan
berikutnyalah yang mengemban amanah sebagai khalifah. Bila kesehatan reproduksi tidak
terpelihara, maka potensi untuk melanjutkan keturunan tentu akan tersia-siakan.
Islam adalah agama yang mencintai kebersihan dan kesucian dalam segala hal, baik
kebersihan lair apalagi kebersihan batin. Thaharah merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari sistem ajaran Islam, ianya masuk ranah al-ibadat. Thaharah artinya
mensucikan/bersuci: bermakna usaha seorang Muslim mengang katkan/ menghilangkan
kotoran (najis/hadits) dari tubuhnva dengan menggunakan sarana air atau yang semisal untuk
bisa melaksanakan ibadah khas (Ibnu Qudamah, 1985).
Thaharah dalam Islam merupakan salah satu unsur penting mewujudkan kesehatan. Ulama
mengklasifikasikan thaharah kepada beberapa bahasan, seperti thaharah maknawiyah dan
thaharah hissiyah. Kajian thaharah begitu luas, termasuk dalamnya adalah thaharah yang
berhubungan dengan kebersihan/ kesehatan reproduksi. Kebersihan/ kesehatan reproduksi
merupakan bagian yang menarik untuk dicermati, karena berhubungan dengan hat-hal yang
termasuk sensitif dan "rahasia". Hal-hal yang berhubungan dengan organ reproduksi
merupakan organ yang banyak diperhatikan dalam masalah thaharah, seperti buang air kecil,
mani, madzi, haid, nifas, isthahdhah, coitus, dan sebagainya. Karena banvaknva persoalan
yang
berhubungan dengan kebersihan reproduksi berhubugan dengan organ reproduksi itu sendiri
maka perhatian syariat begitu besar. Perhatian tersebut dapat dilihat dari nash - al-Quran dan
Sunnah. Seperti hadits Rasulullah Saw berikut;
Hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda;
"Ada lima macam fitrah, yaitu: khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis,
memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak."(HR. Bukhari & Muslim)
Demikian juga hadits dari "Aisyah, Rasulullah Saw bersabda,
"Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq
(menghirup air ke dalam hidung,-pen), memotong kuku, membasuh persendian, mencabut bul
ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja' (cebok) dengan air." Zakaria berknta bahton
Mu'shab berkata,"Aku lupa yang kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur."
(HR. Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasai, dan In Majah)
Dari dua hadits disebutkan beberapa fitrah yang berhubungan dengan kebersihan. Ulama
berbeda pandangan tentang mana fitrah dalam hadits tersebut, sebahagian memandang
sebagai sesuatu yang sunnat (anjuran) dan sebahagian lain memandang bahwa fitrah tersebut
merupakan potensi kebaikan yang bersifat ilahiyah pada diri manusia. Sehingga, manusia
tidak nyaman membiarkan, kecuali mereka mengangkatkan/ membersihkannya. Dari dua
hadits tersebut dapat disebutkan bahwa motif membershkan dir yang bersifat manusiawi
untuk dibersihkannya adalah; 1) Khitan, 2) Istinja' (cebok) dengan air, 3) Ber-siwak (80sok
Big,
4) Memotong kuku, 5) Memolong kumis, 6) Memelihar. jenggot, 7) Mencukur bulu
kemaluan, 8) Mencabut bui, ketiak, 9) Membasuh persendian; yaitu tempat melekaty. kotoran
seperti sela-sela jari, ketiak, telinga, dan tempar lainnya, dan 10) Berkumur-kumur istinsyna
(memasukkan air ke dalam hidung), juga termasuk istintsar (mengeluarkan air dari dalam
hidung). Dari sepuluh yang mensekaar alch Iadits, tiga diantaranya berhubungan dengan
kebersihan reproduksi, khitan, istinja', mencukur bulu kemaluan.
Disamping motif yang bersifat anjuran/ manusiawi, kesehatan reproduksi juga terkait dengan
motif ta' abudi. Artinya, kesehatan organ reproduksi berhubungan dengan ibadah. Seperti
terlihat pada hadits Nabi Muhammad Saw;
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw dan sahabatnya pernah melewati kuburan Muslimin.
Setelah member salam kepada ahli kubur, tibn-tiba Rasulullah berhenti di dun kuburan.
Kemudian beliau berpaling kepada sahabatnya dan bersabda: "Kalian tahu bahwa kedua
penghuni kuburan ini sedang diazab di dalam kubur? Mereka tidak diazab karenn dosn-dosa
dan kesalahan mereka yang besar. Akan tetapi mereka diazab karena dosa-dosa dan
kesalahan mereka yang sepele dan kecil. Yang pertama dinzab karena suka berbuat namimah
(mengadu domba/fitnah) dan yang kedua diazab karena tidak beristinja' (tidak cebok setelah
hadats kecil)". Kemudian Rasulullah Saw memetik dua tangkai pohon dan ditancapkannya di
kedua kuburan tersebut. Sahabat bertanya pa maksud dari yang telah dilakukan Rasulllah
Saw itu.
Beliau bersabda: "Allah memberi keringanan azab bagi kedun penghuni kubur tersebut
semasih tangkni-tangkai pohon it basah dan belum kering. Kaerna tangkai- tangkai pohon
tersebut beristighfar untuk penghuni kubur yang sedans diazab" (HR. Muslim)
Memelihara kemaluan (sebagai bagian dari sistem reproduksi) merupakan anjuran syariat,
yaitu melalui istinja'. Kondisi kemaluan dan anus yang lembab, sangat ideal untuk tampat
kuman/ bakteri hidup dan berkembang biak. Dengan membersihkan kemaluan, seseorang
akan terhindar dari berbagai kemungkinan penyakit. Kerja sistem pencernaan dalam tubuh
manusia sangat rumit, kompleks, sekaligus menakjubkan. Makanan dan minuman yang
masuk ke dalam perut mengalami proses panjang sebelum akhirnya keluar dalam bentuk
kotoran yang menjijikan - feses dan urine. Allah Swt merancang tubuh dengan sitem
pembersih kotoran dari dalam secara otomatis.
Alat pencernaan manusia memproses setiap makanan/ minuman yang masuk ke dalam perut
dengan bantuan getah lambung dan zat asam. Zat asam yang dikeluarkan kelenjar sudah
mempunyai takaran yang tepat. Jika volume yang dikeluarkan kelenjar itu kurang sedikit saja,
maka makanan itu tidak dapat hancur. begitu juga kalau dikeluarkan terlalu banyak, maka
kesehatan tubuh manusia akan terganggu. Setelah tubuh menerap unsur yang bermanfaat,
ampas makanan dan minuman kemudian didorong untuk dikeluarkan dalam bentuk air
kencing dan tinja. Jika tidak dikeluarkan, akan membahayakan tubuh. Sebab, air kencing dan
tinja mengandung banyak sekali bakteri dan kuman. Di dalam air kencing dan tinja terdapat
banyak sekali bakteri dan cacing. Karena itulah, Islam mewajibkan istinja' dilakukan dengan
membersikan sisa air kencing dan tinja yang mash melekat setelah melakukan aktivitas buang
air dengan menggunakan air atau alat seumpamanya, yang dipandang sebagai alat/media
bersuci.
Media untuk bersuci dari buang hajat di dalam syariat Islam tidak terbatas hanya pada air
saja. Selain air, juga dikenal benda-benda lain yang sah digunakan untuk bersuci. Di dalam
figih, dikenal dua teknik bersuci dari buang hajat, yaitu istinja' dan istijmar. Pertama, Istina
yang bermakna menghilangkan najis dengan air. Atau menguranginya dengan semacam batu.
Atau bisa dikatakan sebagai penggunaan air atau bat. Atau menghilangkan najis yang keluar
dari qubul (vagina) dan dubur (pantat) Kedua, Istijmar yaitu menghilangkan sisa buang air
besar dengan menggunakan batu atau benda-benda yang semisalnya.
Istinja' berarti membersihkan kemaluan selepas buang hajat (buang air besar/ kecil) dengan
mempergunakan air. Secara harfiyah istinja' diambil dari kata an-naja' artinya bersih dari
kotoran, sedangkan secara syar'i diartikan dengan menghilangkan atau meringankan najis dari
qubul atau dubur. Air merupakan media utama untuk mensucikan diri, karena efektivitas
kebersihan bersuci lebih terpelihara ketimbang benda lain. Namun, Islam tidak pula melarang
seseorang mempergunakan benda selain air untuk bersuci, dengan catatan memiliki
kemiripan fungsi dengan air, seperti batu, daun, kertas/ tissue atau yang seumpamanya.
Mengganti air dengan benda lain mesti mengikuti kaidah yang didasarkan pada nilai-nilai etis
dan estetis, seperti tidak diperkenankan mempergunakan daun yang buahnya dimanfaatkan/
dimakan oleh manusia.
Mayoritas 'ulama sepakat bahwa istinia' hukumnya waiib sedangkan sebahagian lain
memandang hukumnya hanya sunnah. Di antara ulama yang memandang wajib adalah ulama
mazhab Malikiah, Asy-Syafi'i dan Hanbali Alasan mereka menyatakan wajib istinja'
berangkat dari hadits-hadits yang menyuruh setiap Muslim beristinja' ketika ada sebabnya.
Namun, terdapat keadaan yang menyebabkan istinja' tersebut tidak wajib, seperti yang keluar
dari dubur tersebut adalah "kentut kering." Bila kentut kering keluar, hukum istinja' hanya
sunnat dan tidak wajib. Selain kentut, juga bila yang keluar dari dubur atau kubul it sedikit,
maka ianya dimaafkan karena najisnya sedikit. Ulama mazhab Hanafiyah, mengklasifikasi
istinia® itu ada menjadi lima macam, empat diantaranya termasuk wajib untuk beristinja' dan
satu diantaranya sunnah. Empat yang wajib tersebut adalah istinja' dari haid, nifas, janabah
bila najis keluar dari lubangnya dan melebihi besar lubang keluarnya. Sedangkan yang
hukumnya sunnah adalah bila najis keluar dari lubangnya namun besarnya tidak melebihi
besar lubang itu. Sehingga istinja dalam mazhab Hanafiyah hukumnya sunnah Kendati ulama
berselisih pendapat tentang hukum istinja', namun yang pasti istinja' bagian thaharah dalam
Islam. Thaharah merupakan sarat sah untuk ibadah khas.
Diantara argumentasi naqliyah tentang istinja' / istijmar antara lain:
Hadits dari Anas r.a, berkata; 'Adolah Rasulullah Strw masuk ke tempat buang hajat lalu saya
dan seorang pemuda sebaya saya membawnkan sat bejana dari air dan satu tombak kecil lalu
belinu beristinja (bersuci) dengan air itu." (HR.Bukhari-Muslim)
Dalam hadits lain, terkait motivasi Rasulullah Saw untuk beristinja', diperkenankan
mengganti air dengan batu atau seumpama. Dari Aisyah, bahwa Nabi Muhammad Saw
bersabda : "Apabila salah seorang di antra kamu pers buang air besar, maka bersucilah
dengan tiga buah batu, karenn sesungguhnya itu telah mencukupinya". (HR. Ahmad, Nasa'i,
Abu Dawud).
Berdasarkan hadits dari Ali ra bahwa Nab Muhammad Saw bersabda tentang orang yang
mengeluarkan madzi: "Cucilah kemaluarmu don berwudhu'lah kamu" (HR. Al.Bukhari dan
Muslim)
Organ reproduksi manusia merupakan salah satu organ pelepasan. Sesuatu Yang keluar
darinya cenderung berupa Kotoran/ najis, seperti urine, madzi, wadi, darah haid, nitas.
Sebahagian dari buangan yang berasal dari tubuh manusio membawva unsur bakteri atau
seumpamanya. Urine, made; wadi, darah haid dan nifas nyata-nyata sebagai kotoran dan
dikategorikan najis oleh syar'i. Karna ia najis, maka setiap Muslim diperintahkan untuk
membersihkan diri darina. Motif membersihkan najis pada dir seseorang, ialah karena faktor
ta'abudi dan faktor manusiawi. Zat najis yang keluar dari tubuh tersebut bila dibiarkan akan
menyisakan bahaya.
Bahaya urine yang tercium dari bau pesing, darah haid dan nifas yang amis menunjukan
konsentrasi kotoran/ bakteri vang terdapat didalamnya. Ibadah wajib/ khas tertolak karena
seseorang masih dalam keadaan bernajis.
Begitu Islam memperhatikan masalah istinja' atau thaharah secara mum menunjukan betapa
Islam perhatian masalah kebersihan/ kesehatan umatnya. Bahkan, syariat secara detil
menunjukan tatacara dan adab beristinja.

3. Khitan
a.Arti dan cara khitan
Khitan pada anak laki-laki dilakukan dengan cara memotong kulup
(qalfah/quluf/preputium/foreskin) atau kulit yang menutupi ujung zakar. Minimal
menghilangkan apa yang menutupi ujung zakar, dan disunnahkan untuk mengambil seluruh
kulit di ujung zakar tersebut. Khitan pada laki-laki dengan cara memotong kulit yang
menutup ujung zakar, minimal sehingga terlihat kepala zakar tersebut. Cara yang dilakukan
bisa melalui operasi kecil, sinar laser atau menggunakan metode mutakhir seperti metode
clamp. Dalam kaitannya dengan metode, Islam sangat fleksibel dan tidak mengharuskan
teknik atau cara tertentu.
Imam Nawawi menvebutkan, bahwa yang wajih dalam Khitan untuk laki-laki adalah
memotong kulit yang menutup penis, sehingga dengan putusnya kulit ini, maka akan tampak
puncuk zakar secara Keseluruhan. Jika yang dipotong hanya sebahagian, maka yang tersisa
hendakya dipotong kembali. Sedangkan dalam pandangan sebahagian ulama mazhab asy-
Syafii, cukup hanya dengan memotong sedikit dari quluf namun dengan syarat mencakup
semua puck zakar dan kepalanya terlihat. Pernyataan sebahagian mazhab asy-Syafi' i ini
dibantah oleh Imam Nawawi (Qhardawi,2004). Melihat perbedaan pendapat tersebut, bila
dihubungkan dengan tujuan khitan, sepertinya konsep yang dikemukakan oleh sebahagian
mazhab asy-Syafi'i sudah dapat diterima, yang terpenting substansi khitan terwujud;
terbukanva kulup yang menutup kepala zakar.
b. Hukum Khitan bagi laki-laki
Ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan bagi laki-laki, sebahagian mewajibkan
sebahagian lagi memandang sebagai anjuran/ Sunat (Dahlan, [et.all,1996). Kendati terjadi
perbedaan pendapat, mereka sepakat menyebutkan bahwa khitan bahagian dari syariat Islam.
Selisih pendapat yang terjadi dikalangan ulama, terkait dengan pemahaman dan pemaknaan
terhadap dalil nash, al-Qur'an dan Sunnah. Jumhur ulama (pengikut mazhab Syafii,
Hanabilah dan Malikiah) menyatakan bahwa khitan hukum wajib. Mereka mengambil
argumentasi beberapa avat dan hadits. Dalil-dalil yang mereka pakai untuk menyatakan
bahwa khitan it hukumnya wajib adalah sebagai berikut;
1) Dalil dari Al'Ouran
a) Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya (al-Quran 2:124). Menurut Tafsir In Abbas, khitan
termasuk ujian kepada Nabi Ibrahim dan wilan untuk para nabi merupakan sesuatu yang
diwajibkan. Syariat khitan telah diisyaratkan al-Qur'an untuk Nabi Ibrahim. Sedangkan
mengikuti sebahagian millat Ibrahim, bila ada perintah dari Allah Swt merupakan suatu
perintah.
b) Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang
yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (al-Our
an16:123). Menurut In Qayyim, khitan termasuk dalam ajaran Ibrahim yang wajib dikuti
sehingga ada dalil yang menyatakan sebaliknya.
2) Dalil Hadits
a) Dari Utsaim bin Kulaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa dia datang menemui
Rasulullah Saw dan berkata, "Aku telah memeluk Islam. Maka Nabi pun bersabda,
"Buanglah darimu rambut-rambut kekufuran dan berkhitanlah." (HR Ahmad, Abu Daud dan
dinilai Hasan oleh al-Albani). Hadits ini dinilai dha' if oleh manhaj mutaqad dimin.
b) Dari az-Zuhri, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, "Barang siapa masuk Islam, maka
berkhitanlah walaupun sudah dewasa." KomentarIn Qayyim vang menguatkan hadits di atas,
berkata walaupun hadits itu dha' it, tapi ia dapar dijadikan penguat dalil.
3)Atsar Salaf. Kata In Abbas, " al-Aqlaf (orang belum khitan) tidak diterima shalatya dan
tidak dimakan sembelihannya." dalam versi Ibn Hajar "Tidak diterima syahadah, shalat dan
sembelihan si Aglar (orang yang belum khitan)"
Itulah dalil-dalil yang dipegang ole mayoritas fugaha yang menyatakan khitan itu wajib.
Sedangkan sebahagian lagi dari ulama memandang bahwa Khitan hanya termasuk kategori
anjuran syari, bukan wajib. Mereka juga mengemukakan beberapa dalil yang menunjang
bahwa khitan hanya bersifat anjuran semata bagi laki-laki;
1) Dalil Hadits
a) Dari Abu Hurayrah ra, Rasulullah Saw bersabda:"Ada lima macam fitrah, yaitu: khitan,
mencukur but kemaluan, memotong/ merapikan kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu
ketiak."." (Sahih Bukhari-Muslim). Oleh kerana Khitan sejajarkan dengan sunan fitrah yang
lain, maka hukumnya adalah sunat juga.
b) "Khitan itu sunnah bagi kaum lelaki dan kehormatan bagi kaum wanita." (HR Ahmad,
dinilai dha'if oleh mutaqaddimin dan mutaakhirin seperti al-Albani). Jika hadits in sahih
barulah isu hukum wajib dan sunat dapat diselesaikan secara muktamad. Sayangnya hadits
yang begini jelas adalah dha'if. Yusuf al-Qardhawi, seorang ulama Muslim
kontemporer dalam bukunya Figh Thaharah, menyebutkan bahwa khitan anjuran. Qhardawi
memberikan argumentasi tentang keharusan mengikuti millat Ibrahim As tersebut tidak
ditujukan kepada kita. Sedangkan hadits-hadits sahih dalam Bukhari- Muslim lebih menjurus
kepada hukum sunnat bukan wajib. Ole karena itulah pendapat minoritas seperti Imam
Hanafi lebih diunggullkan. Di samping itu, Ohardawi juga memberikan sosio-psikologis
dengan mengilustrasikan fenomena yang teriadi di Indonesia. Sebahagian pimpinan suku
pengikut agama animisme yang berkeinginan masuk Islam pada tahun 1970-an
mengundurkan diri karena kekhawatiran terhadap adanya khitan (Qhardawi, 2004).
Walaupun Syeikh Qardhawi
berpendapat sunnah, tapi menurutbeliau Khitan merupakan sunnah yang harus ditegakkan
untuk membedakan antara Muslim dan non-Muslim.
Sementara itu, ulama kontemporer dari Mesir lainnya, Mahmud Syaltut, mewajibkan khitan
untuk laki-laki. Dengan merujuk argumentasi nash juga memperhitungkan pertimbangan
kesehatan. Menurutnya, Khitan termasuk ranah itihadi karena tidak ada dalil yang sarih/
terang dari al-Qur'an dan Sunnah yang menjelaskan masalahnya. Oleh karena itu Syaltut
mengemukakan kaidah yang menyebutkan "Membuat sakit orang yang mash hidup tidak
boleh dalam agama, kecuali kalau ada kemaslahatan-kamaslahatan yang kembali kepadanya
dan melebihi rasa sakit yang menimpanya." Dalam hal ini, menyuntik dan membedah tubuh
pasien dibolehkan, karena manfaatnya lebih besar dari mudharatnya. Begitu juga masalah
Khitan.
Atas pertimbangan maslahat lebih besar dari mudharatnya in jugalah Syaltut menetapkan
wajib hukum khitan bagi laki-laki (Dahlan, 1996).
c. Waktu pelaksanaan khitan
Tidak ditemukan dalil yang tegas tentang waklu pelaksanaan Khitan, sehingga ulama Muslim
berselisit pendapat tentangnya. Waktu khitan dapat dikelompokan pada liga Klasifikasi
waktu, yaitu; waktu wajib, waktu yang. dianjuran dan waktu sunnah. Pertama, waktu wajib
adalah pada saat baligh, karena pada saat ini seseorang akan dibebani hukum (taklif). Juga
didasarkan pada hadits dari sepupu Rasulullah Saw, "Abdullah bin 'Abbas pernah ditanya,
"Sebesar siapa engkau ketika Nabi Muhammad Saw wafat?" Beliau pun menjawab : "Ketika
itu aku telal dikhitan." Beliau juga berkata, "Mereka tidak mengkhiton seseorang kecuali
setelah mencapai balish." (HR. Bukhari). Kedua, waktu yang dianjurkan adalah pada anak
masih kecil, pada saat dilangsungkan aqigah, seperti didasari pada hadits, yang diterima dari
In Abbas, "Ada tujuh perkara yang disunnahkan bag bayi pada usianyn ketujuh hari, diberi
nama dan Khitan. (HIR. Thabrani). Pertimbangan ini juga didasari untuk meringkan/
memudah bayi. Ketiga, waktu sunnah, setelah kedua waktu tersebut seperti mereka yang
masuk Islam di usia dewasa. Al-Hasan berkata, bila orang dewasa masuk Islam maka tidak
perlu dipedulikan apakah sudah atau belum berkhitan. Tidak sedikit umat yang masuk Islam
diusia dewasanya dari berbagai bangsa berkulit hitam atau putih. Seorang pun tidak pernah
diperiksa oleh Nabi Muhammad apakah mereka sudah berkhitan atau belum (Ash-Shiddiegy,
2000).
Di Indonesia, khitan tidak hanya masuk ranah 'ubudiyul semata, bahkan meliputi ranah
sosial-budaya. Festa Khitanan merupakan apresiasi dan hiburan untuk anak, bahkan sudah
menjadi kelaziman. Tentang pesta khitanan, tidak ditemukan dalil yang menganjurkan/
memerintalkan atau melarang kegiatan tersebut. Selama tidak ada dalil yang menunjukan
keharamannya maka perbuatan tersebut dipandang boleh, selama kegiatan tersebut terjauh
perilaku yang menentang syariat.
d. Manfaat Khitan bagi Laki-laki
Sesuatu yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw atau svariat Islam bisa dipastikan ada kebaikan
dibaliknya, termasuk khitan. Khitan memberikan manfaat yang banyak kepada manusia. Pada
saat ini, khitan tidak hanya menjadi bagian dari Islam semata, non-Muslim pun telah
melakukan Khitan. Yusuf Ohardawi (2004) menyebutkan beberapa manfaat khitan bagi laki-
laki, tidak hanya dari aspek medis juga berhubungan dengan masalah seksualitas, di antara
manfaat tersebut ialah:
1) Khitan akan mencegah adanya kotoran (smegna) di dalam zakar. Sebab, kotoran akan
berkumpul di bawah qulif dan akan menjadi sarang bagi lahirnya mikroba dan bau yang tidak
sedap.
2) Khitan akan mengurangi kemungkinan terserangnya zakar dari penyakit syphilis. Sebab,
ternyata mikroba penyakit ini lebih memilih kulit depan zakar untuk dijadikan tempat
pembiakan.
3) Sering juga terjadi jika quluf tidak dikhitan, akan membuatnya mengalami kelecetan
ataupun luka dan akan mengalami infeksi.
4) Sebagaimana juga terbukti di lapangan, bahwa khitan banyak mencegah terjadinya
pembengkakan pada zakar atau penyakit kanker.
5) Di antara kegunaan khitan yang paling tinggi bagi seorang laki-laki adalah ia akan
memperpanjang waktu berhubungan seks. Alasannya adalah bahwa tempat vang paling
sensitif pada zakar tersebut adalah bagian Kepalanya. Di sana terpusat ghairah seks dan
syarar. Noralalatakala ada auluf di kepala zakar, dia akan menjadi penghalang untuk
terjadinya gesekan dengan bagian luarnya sehingga menyebabkan zakar menjad: bassant
tatkala bersentuhan dengan apa saja. Namun, manakala gulf dipotong dan dibuang dari
sekita-Kepala zakar maka bagian yang sensitif ini akan menjadi berkurang sensitivitasnya
disebabkan gesekan vang terus menerus pada pakaian. Sehingga aliran svaraf akan menjadi
kurang sensitif. Oleh sebab itulah, khitan membuat seorang laki-laki memiliki kemampuan
untuk melakukan hubungan seks dengan durasi yang panjang.
4. Kifadz
a. Pengertian dan Cara Khitan Perempuan
Secara literal khitan berarti memotong. Dalam terminologi ahli figh Islam khitan adalah
memotong kulit yang menutup kepala penis (hasyafah) untuk laki-laki, dan memotong daging
bagian ujung klitoris perempuan. Al Mawardi, seperti dikutip Ibnu Hajar al-Asgallani,
mendefinisikan Khitan perempuan sebagai " pemotongan kulit yang berada di bagian atas
kemaluan perempuan, di atas pintu masukya penis, semacam biji tau jengger ayam jago" (al-
Asqallani, 1933). Untuk wanita sepertinya sudal menjadi kelaziman dan mashur juga
dipergunakan kata khitan, walaupun tidak begitu tepat. Dalam kajian ilmu figh, terdapat
terminologi khusus untuk menebut khitan perempuan, yakni "khafdh" atau "khifadh"
"Khifadh'" merupakan kata asli (hakikat) untuk khitan perempuan. Ibnu Abidin mengatakan
"La Yugalu fi haqq al Mar'ah Khitan, wa Innama Yugalu Khifadh" (untuk perempuan tidak
boleh disebut 'Khitan' melainkan 'khifadh'. Dengan begitu, penyebutan kata "Khitan" untuk
perempuan sebenarnva bukanlah makna hakikatnya, melankan bahasa metaforis (majaz), atau
li al ghalabah (diikutkan dalam khitan laki-laki, dikalahkan oleh laki-laki).
Penamaan "Khifadh" untuk khitan perempuan ini menarik dan penting dikemukakan, Karena
ia memperlihatkan makna yang berbeda dari apa yang sering dikesankan atau dibayangkan
banyak orang tentang khitan (pemotongan). Khifadh, secara literal berarti mengurangi (to
reduce), menyederhanakan (minimize), mengambil sedikit (akhdz al yasir/take easy) dan
pelan (lower). Dalam hal ini mungkin lebih tepat diterjemahkan "menggoreskan" atau
"menorehkan". Pemaknaan ini tentu jauh dari apa yang disebut memotong atau menggunting.
Term khifadh (khitan perempuan) dengan begitu bukanlah clitoridektomi, genital mutilation,
atau genital circumsisi (Muhammad, 2009).
Pertama, memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klistoris (preputium clitoris).
Cara ini dianjurkan dalam Islam, karena akan membersihkan kotoran-kotoran putih yang
bersembunyi di balik kulit tersebut atau menempel di bagian klistorisnya atau yang sering
disebut (smegma), sekaligus akan membuat wanita tidak frigid dan bisa mencapai orgasme
ketika melakukan hubungan seks dengan suaminya, karena klistorisnva terbuka. Di
sebahagian negara Barat, khitan perempuan semacam in, mulai populer dengan istilah clitoral
hood removal (membuang kulit penutup klitoris). Cara seperti ini merupakan cara yang
dipandang tepat untuk Khitan bagi perempuan, dengan mempertimbangkan kebersihan/
kesehatan tetapi tidak mengakibatkan kerugian apapun pada wanita.
Kedua, menghilangkan sebagian kecil dari klitoris, jik. memang klistorisnya terlalu besar dan
menonjol. In; bertujuan untuk mengurangi hasrat seks wanita yang begit. besar dan
membuatnya meniadi lebih tenang dan disenangi Oleh suami. Cara seperti ini juga termasuk
cara yang. dianjurkan, karena dari aspek estetika, seseorang perempuan tentu merasa tidak
nyaman jika clitorisnya begitu menonjol.
Ketiga, menghilangkan semua klitoris dan semus bagian dari bibir kemaluan dalam (labium
minora). Cara ini sering disebut infibulations. Ini dilarang dalam Islam, karena akan
menyiksa wanita dan membuatnya tidak punya hasrat terhadap laik-laki. Cara ini sering
dilakukan di Negara. negara Afrika. Cara in pulalah yang dikenal dengan istilah khitan
Fir'aun, karena mereka mengira bahwa wanita adalah penggoda laki-laki maka ada anggapan
jika bagian klitoris wanita di sunat akan menurunkan kadar libido perempuan dan ini
mengakibatkan wanita menjadi frigid karena berkurangnya kadar rangsangan pada klitoris.
Keempat, menghilangkan semua klistoris, dan semua bagian dari bibir kemaluan dalam
(labium minora), begitu juga sepasang bibir kemaluan luar (labium mayora). In sering disebut
clitoridectomy (pemotongan klitoris penuh ujung pembuluh saraf). Praktek seperti ini
dilarang dalam Islam, karena menyiksa wanita.
b. Hukum Khifadh/ Khitan Perempuan
Para ulama sepakat bahwa khitan wanita secara umum ada dalam syariat Islam. Mereka
berselisih pendapa tentang hukumnya, termasuk kategori wajib, sunnah. anjuran atau hanya
suatu kehormatan saja. Hal ini disebabkan dalil-dalil yang menerangkan tentang khitan
wanita sangat sedikit dan tidak tegas, sehingga memberikan ruang pada ulama untuk berbeda
pendapat. Hukum Khitan bagi perempuan dapat dikategorikan pada tiga; wajib, sunnat dan
kehormatan (makrumah). Perbedaan pendapat ulama yang menyebutkan hukum Khitan
menjadi wajib, sunah atau suatu kemuliaan semata, didasari oleh pertimbangan melihat
rujukan yang dijadikan dasar khitan perempuan. Di antara dalil tentang khitan perempuan
antara lain;
Pertama, hadits dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:
"Lima hal yang termasuk fitrah yaitu: Khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku,
mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis." (HR. Bukhari dan Muslim).
Ulama yang memliki pandangan bahwa khitan perempuan merupakan suatu kewaiiban,
merujuk pada hadits di atas dengan memberikan makna kata"al-fitrah" dengan tafsiran yang
menda lam. Kata al-fitrah dalam hadits di atas bermakna perikehidupan yang dipilih oleh para
nabi dan disepakati oleh semua syariat, atau bisa disebut agama, sehingga menunjukkan
kewajiban. Sebaliknya yang berpendapat sunnah mengatakan bahwa khitan dalam hadits
tersebut bersamaan dengan amalan-amalan yang status hukumnya adalah sunnah, seperti
memotong kumis, memotong kuku dan seterusnya, sehingga hukumnya-pun menjadi sunnah.
Kedua, hadits Sabda Rasulullah Saw:
"Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi." (Hadits Shahih, Tirmidzi, Ibnu Majah dan
Ahmad).
Ulama yang berpendapat wajib mengatakan bahwa hadits di atas menyebut dua khitan yang
bertemu, maksudnya adalah kemaluan laki-laki yang dikhitan dan kemaluan perempuan yang
dikhitan. Hal ini secara «отаия" рететриат Sahwa Khitan wanita hukumnya wajib.
Sedangkan bagi yang berpendapat khilan warita adalah sunnah mengatakan bahwa hadits
tersebut tidak tegas menyatakan kewajiban Khitan bagi perempuan.
Ketiga hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda kepada Ummu
'Athiyah- disebutkan dalam riwayat sebagai juru khitan wanita:
"Apabila engkau mengkhitan wanita potonglang sedikit, dan janganlah berlebihan, karena itu
lebih bisa membuat ceria waith dan lebih disenangi oleh suami." (HR. Abu Daud dan
Baihagi)
Ulama yang mewajibkan khitan wanita, menganggap bahwa hadits di atas derajanya 'Hasan',
sedang ulama yang menyatakan sunnah atau kehormatan wanita menyatakan bahwa hadits
tersebut lemah.
Keempat , hadits diriwayatkan oleh Baihaqi dan Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda;
"Khitan itu sunnah bagi laki-laki dan kehormatan bagi wanita. " (HR Ahmad dan Baihaqi)
Menurut ulama yang mengatakan khitan sebagai syariat yang bersifat sunnah dengan
menjadikan hadis tersebut sebagai dalilnya. Hadits ini juga dipakai oleh ulama yang
berpandangan bahwa khitan wanita hanya sebatas kehormatan, seperti teks hadits.
Merujuk pada beberapa hadits di atas, memang tidak tergambar secara sareh tentang
kewajiban khitan bagi perempuan, sehingga, wajar jika ulama berbeda pendapat tentang
hukum Khitan perempuan. Semua ulama cenderung mengatakan bahwa khitan perempuan
ada dasarnya di dalam Islam, walaupun harus diakui bahwa sebagian dalilnya mash samar-
samar. Namun, tidak ditemukan pendapat ulama yang menyebutkan bahwa khitan perempuan
hukumnya haram. Dengan demikian, Khitan untuk perempuan tetap ada manfaatnya, tentu
saja dengan cara yang mendatangkan maslahat terhadap perempuan itu sendiri.
c. Waktu Pelaksanaan Perempuan
Tidak ditemukan dalil yang tegas tentang waktu pelaksanaan khitan, sehingga ulama Muslim
berselisih pendapat tentangnya. Waktu khitan dapat dikelompokan pada tiga klasifikasi
waktu, waktu wajib, waktu yang dianjuran dan waktu sunnah. Pertama, waktu wajib adalah
pada saat baligh, karena pada saat ini seseorang akan dibebani hukum (taklif). Juga
didasarkan pada hadits dari sepupu Rasulullah Saw, 'Abdullah bin 'Abbas pernah ditanya,
"Sebesar siapa engkau ketika Nabi Muhammad Saw wafat?" Beliau pun menjawab : "Ketikn
itt aku telnh dikhitan." Beliau juga berkata, "Mereka tidak mengkhitan seseorang kecuali
setelah mencapai baligh." (HR. al-Bukhari). Kedua, waktu yang dianjurkan adalah pada anak
masih kecil, pada saat dilangsungkan aqigah, seperti didasari pada hadits, yang diterima dari
Ibn Abbas, "Ada tujuh perkara yang disunnahkan bagi bayi pada usianya ketujuh hari; diberi
nama dan Khitan. (HR. Thabrani). Pertimbangan ini juga didasari untuk meringkan bayi.
Ketign, waktu sunnah, setelah kedua waktu tersebut seperti mereka yang masuk Islam di usia
dewasa. Al-Hasan berkata, bila orang dewasa masuk Islam maka tidak perlu dipedulikan
apakah sudah atau belum berkhitan. Tidak sedikit umat yang masuk Islam diusia dewasanya
dari berbagai bangs berkulit hitam atau putih. Seorang pun tidak pernah diperiksa oleh Nabi
Muhammad apakah mereka sudah berkhitan atau belum (Ash-Shiddiegy, 2000).
Khitan untuk perempuan sedikit berbeda. Bagi wanita sehaiknya dilakukan pada usia relatif
kecil untuk menghindari trauma psikologis. Khitan untuk perempuan sebaiknya juga tapa ada
walimah Khitan, schingga tidak perlu diberitakan kepada orang lain/ khalayak. Berbeda
dengan khitan laki. laki yang membolehkan untuk diberitakan.
d. Manfaat Khitan Perempuan
Di tengah-tengah perbedaan hukum menurut ulama hail penelitian modern tidak
merekomendasikan khitan bagi perempuan tetap saja ada nilai positifnya serta bahava yang
mungkin muncul bila wanita tidak dikhitan. Salah satu tulisan yang memuat temuan modern
tentang larangan/ tidak merekomendasikan khitan adalah tulisan Jendrius (Let.all, 2005).
Tulisan Jendrius, dkk, merupakan penelitian studi kepustakaan terhadap laporan penelitian
yang dilakukan ole beberapa peneliti terkait perilaku khitan di tengah-tengah masyarakat.
Paling tidak ada empat hasil penelitian yang dijadikan telaahan Jendrius [dk], tentang khitan
perempuan. Dari semua hasil penelitian disimpulkan; tidak merekomendasikan pelaksanaan
Khitan untuk perempuan, bahkan dipandang sebagai sesuatu yang merugikan perempuan;
baik karena alasan medis, sosio-religius maupun hal-hal lain yang mengitarinya.
Khitan perempuan yang tidak mengikuti kaedah kesehatan dan syar'i mungkin saja
merugikan dan membahayakan perempuan. Islam sebagai agama yang membawa
kemaslahatan umatnya, tidak pula membiarkan kaum perempuan jatuh dan merana, karnanya
Islam memberikan aturan khitan sesuai ketentuan syariat. Ketentuan syariat tersebut
merupakan upaya ulama dalam menyelami hikmah-hikmah khitan yang menjadi bahan
perdebatan. Cara Khitan yang bersih dan pelaksanaan yang mempertimbangan kemaslahatan
perempuan menjadi perhatian besar.
Bagaimana pun, khitan Perempuan memiliki muatan positif, paling tidak inilah yang
diungkapkan oleh Rabi' al-Bahnasi, seperti dikutip oleh asy-Svinnawi (2003). Di antara
faedah khitan untuk perempuan menurut Rabi' al-Bahnasi dan Shafi Nazi As-Said Syalbi,
adalah;
1) Membuat para perempuan terlihat lebih cantik dihadapan suaminya dan membuat suami
lebih bergairah.
2) Memudahkan dalam melakukan pembersihan pada bagian dua ujung kulit besar (labia
mayora), karena bila kita perhatikan bakteri banyak terdapat antara bagian dua ujung yang
berukuran besar (labia mayora) dan bagian ujung yang berukuran kecil (labia minora), berupa
smegma. Sehingga dapat membantu perempuan terhindar dari bahaya yang mengancam
kesehatannya.
3) Menstabilkan bagian anggota tubuh yang berfungsi sebagai alat reproduksi luar perempuan
4) Mencegah timbulnya hasrat seksual yang terus-menerus yang diakibatkan pergesekan
terjadi terus menerus dengan pakaian
5) Mencegah terjadinya peradangan pada bagian dalam dan menjaga kesehatan wanita.
Di samping adanya faedah khitan, juga ditemukan bahaya yang ditimbulkan bila khitan
perempuan tidak dilaksanakan, seperti diungkapkan ole Rabi' al-Bahnasi dan Sayyid al-
Harati, berikut:
1) Terjadinya pergesekan yang berulang-ulang ketika perempuan sedang berjalan atau
melakukan gerakan lainnya. Terlebih, bila perempuan tersebut memakai pakaian ketat.
Gesekan pakaan dan klitoris - tempar berhimpunnya syaraf sensualitas tersebut tidak
derkal/tidak dikhitan tentu akan memancing hastar biologis, Khayalan-Khayalan yang
berkontribusi Pada munculnya penyakit peradangan.
2) Bertambahnya peradangan pada bagian daging yang. berlebih dapat berakibat buruk dan
menimbulkan tas. takut.
3) Pada klitoris juga akan menimbulkan nyeri ketik, berhubungan badan (coitus), terlebih bila
perempuan telah mencapai orgasme sementara suami belum, sedangkan suami tetap
melakukan penetrasi.
4) Peradangan yang telah terjadi terkadang akan menjalar ke bagian saluran air seni atau ke
bagian organ tubuh yang berfungsi sebagai organ reproduksi, yang juga pada gilirannya akan
menimbulkan peradangan pada saluran air seni dan bagian lainnya.
5) Berkumpulnya kotoran - sumber bakteri antara ujung labia mayora dan labia minora.
Demikianlah faedah khitan dan bahava tidak mengkhitan perempuan. Kendati anya tidak
wajib, tetap saja perlu dipertimbangkan maslahat yang dibawanya.
BAB III
PENUTUP
Islam adalah agama yang mengatur dan memberi pemahaman akan kesehatan reproduksi dan
kebersihan organ reproduksi dengan thaharah. Serta pemahaman terhadap khitan pada laki-
laki dan kifadz pada Perempuan. Sangatlah penting mempelajari hal tersebut. Kesehatan
reproduksi merupakan salah satu dimensi dari kesehatan fisik manusia. Kebersihan/
kesehatan reproduksi merupakan bagian yang menarik untuk dicermati, karena berhubungan
dengan hat-hal yang termasuk sensitif dan "rahasia". Khitan pada anak laki-laki dilakukan
dengan cara memotong kulup (qalfah/quluf/preputium/foreskin) atau kulit yang menutupi
ujung zakar. Minimal menghilangkan apa yang menutupi ujung zakar, dan disunnahkan
untuk mengambil seluruh kulit di ujung zakar tersebut. Khitan perempuan sebagai "
pemotongan kulit yang berada di bagian atas kemaluan perempuan, di atas pintu masukya
penis, semacam biji tau jengger ayam jago".

Anda mungkin juga menyukai