Anda di halaman 1dari 2

Imunisasi: ‘Mengaktifkan’ Kekebalan

Tubuh
  Uncategorized

 24 April 2016, 08.00

 Oleh: admin

 0

Imunisasi merupakan sebuah ‘temuan’ pelayanan kesehatan yang sangat besar pengaruhnya dan
dapat dirasakan perseorangan ataupun masyarakat luas. Mulai dari kemampuan untuk menurunkan
angka kejadian penyakit, menekan terjadinya wabah, mengurangi beban ekonomi masyarakat
karena biaya perawatan kesehatan, bahkan sampai dengan menurunkan angka kematian bayi
maupun anak.

Tentu saja, sejak adanya ‘temuan’ itu masyarakat sudah mulai diimunisasi sejak dini. Namun
faktanya, perkembangan penyakit dengan varian yang beragam akhir-akhir ini mampu memicu
pertanyaan tersendiri bagi masyarakat awam. Mengapa masih ada penyakit di negeri ini? Apakah
merupakan cermin kegagalan program imunisasi itu sendiri?.

Dalam tubuh manusia, terdapat dua kekebalan tubuh (sistem imun) yaitu kekebalan tubuh alamiah
dan buatan. Kekebalan tubuh alamiah dapat diperoleh dari ibu. Sedangkan kekebalan tubuh buatan
adalah kekebalan tubuh yang muncul karena adanya ‘rangsangan’ dari luar, seperti vaksin BCG
untuk upaya pencegahan TBC sudah diberikan sejak dini karena tidak bisa diturunkan dari Ibu.

Kekebalan tubuh ada yang sifatnya non-spesifik dan spesifik. Kekebalan tubuh non-spesifik manusia
misalnya tampak pada kulit manusia, mukosa, silia-silia di saluran nafas, maupun reflek batuk.
Tubuh pada dasarnya semacam memiliki sistem penolakan terhadap ‘benda asing’ yang akan
masuk.

Sistem kekebalan tubuh yang belum terbentuk tentunya akan memberikan pintu masuk bagi bakteri
untuk menyerang tubuh. Tubuh tidak mempunyai sistem untuk ‘mengenali’ bakteri sehingga tidak
ada upaya ‘perlindungan’ untuk menolak. Di titik inilah imunisasi penting untuk dilakukan agar tubuh
mampu membentuk antibodi yang spesifik. Dengan adanya imunisasi, maka tubuh mempunyai
sistem ‘perkenalan’ terhadap penyakit sekaligus merangsang aktifasi antibodi.

“Jikapun ada benda asing masuk ke dalam tubuh semacam infeksi virus, maka akan segera
dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh,” papar Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
Cabang Yogyakarta, dr. Sumadiono, SpA(K) saat diwawancarai di ruang kerjanya, Jumat (22/4).

Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembentukan sistem kekebalan tubuh adalah ‘ketepatan’
waktu imunisasi. Imunisasi dilakukan secara tepat waktu dan bertahap agar dapat membentuk
perlindungan tubuh secara maksimal. Apabila imunisasi dilakukan di luar jadwal, kecenderungan
hasilnya tentu saja akan tidak maksimal. Oleh karenanya, IDAI telah menetapkan adanya jadwal
imunisasi bagi balita.

“Penetapan jadwal imunisasi dilakukan melalui berbagai upaya penelitian, misalnya penelitian
tentang pada usia kapan saja terjadinya penurunan antibodi ataupun kapan prevalensi kejadian
penyakit itu muncul,” ungkap dokter ahli imunologi yang pernah mengikuti program magang di
University of Saskathewan, Canada ini.

Penelitian tentang perkembangan imunisasi tentu saja seiring sejalan dengan penelitian mengenai
pola kejadian penyakit. Tidak menutup kemungkinan jenis imunisasi akan lebih variatif di masa
mendatang.

Pemerintah saat ini sudah menetapkan empat imunisasi wajib bagi balita mulai dari Hepatitis B,
BCG, DPT dan Polio. Kewajiban ini berjalan beriringan dengan adanya subsidi negara untuk
pembiayaan imunisasi. Bagaimana untuk subsidi imunisasi lain?. Dokter ahli ini menambahkan
bahwa imunisasi yang tidak diwajibkan merupakan jenis imunisasi ‘pengembangan’ dan bersifat
pilihan. Imunisasi jenis ini biasanya tergolong mahal karena belum ada subsidi negara di dalam
pengadaannya.

Menyambut pekan imunisasi internasional (World Immunization Week) yang akan diselenggarakan
pada tanggal 24-30 April 2016 di Bandung, pakar Imunologi Fakultas Kedokteran UGM ini berpesan
bahwa masih ada permasalahan sosial yang seringkali muncul di masyarakat terkait imunisasi ini.

Ketakutan masyarakat terhadap ‘dampak’ imunisasi, misalnya vaksin MMR yang mengakibatkan
autisme pada anak sudah dibantah oleh para ahli. Selain itu pertentangan mengenai produk halal-
haram imunisasi karena ‘bersinggungan’ dengan produk babi masih saja menghantui masyarakat.
“Sudah ada pernyataan alim ulama mengenai hal ini, bahwa tidak ada kandungan babi yang masuk
ke dalam tubuh manusia melalui imunisasi,” tegasnya.

Ditemui ditempat lain, menurut dr. Mei Neni Sitaresmi, Sp.A., Ph.D justru imunisasi ini sangat minim
efek samping dan tidak terbukti berbahaya. Pasalnya, pembuatan vaksin ini melalui tiga fase
penelitian yang sangat ketat dan satu fase percobaan sebelum akhirnya digunakan secara luas di
masyarakat. Menanggapi halal tidaknya vaksin akan dapat selalu terjawab karena di setiap
kampanye vaksin, pihak medis selalu menggandeng MUI untuk memberikan pemahaman lebih
lanjut.

Adapun tiga golongan masyarakat terhadap pandangannya terhadap imunisasi, golongan yang
menolak, ragu-ragu dan menerima imunisasi. Untuk golongan yang jelas-jelas menolak, menurut dr.
Mei Neni tak perlu diajak untuk berkonfrontasi. Fokus kita sebaiknya ditujukan pada golongan
masyarakat yang masih ragu-ragu. Berdiskusi dan memberikan pemahaman pada mereka bahwa
imunisasi ini aman, efektif dan bermanfaat.

Harapannya dalam pekan imunisasi kali ini ada sinergisitas semua komponen baik akademisi, dokter
muda, masyarakat, sudah seharusnya bersama-sama mengadvokasikan bahwa pemberian
imunisasi sangat penting dan bermanfaat.(Uma/Reporter, Wiwin/IRO)

Anda mungkin juga menyukai