A. PENDAHULUAN
Pustakawan bisa berperan luas sebagai pegiat literasi. Terlebih dengan hadirnya
media baru yang ditandai dengan akses informasi yang begitu mudah dan sangat
cepat.
Sekilas memang tidak ada hubungannya antara profesi pustakawan dengan
informasi hoaks
yang beredar di internet. Sekalipun ketentuannya tidak ada dalam aturan tugas
pokok dan
fungsi (tupoksi) dan perundangan, tetapi pustakawan setidaknya memiliki
tanggung jawab
moral dalam memberikan pendidikan pemustaka.
Internet sebagai media baru bagaikan “man behind the gun”. Hal ini mengandung
arti bahwa ada dampak positif dan negatif yang ditimbulkan. Kementerian
Komunikasi dan
Informatika mencatat 554 hoaks selama bulan Januari s.d. April 2020 di berbagai
panggung
digital. Selanjutnya 301 hoaks diantaranya tentang Covid-19 (Paramita, 2020).
Masifnya
penyebaran informasi hoaks di media sosial seiring dengan tumbuh pesatnya
pengguna
smartphone berbasis Android, iOS, maupun Windows. Beberapa isu yang muncul
tidak
hanya terkait dengan informasi yang menyesatkan akibat, pencegahan, dan
penanganan
Covid-19 saja, tetapi juga infodemik. Kominfo juga mencatat bahwa hingga 5 Mei
2020 telah ditemukan 1401 sebaran isu hoaks dan disinformasi dari Covid-19 yang telah
tersiar di masyarakat.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Shao & Purpur (2016) dalam kajiannya terkait dampak keterampilan literasi
informasi bahwa literasi informasi menjadi salah satu keterampilan berpikir
tingkat tinggi
untuk mendukung suksesnya akademis, profesional, dan pribadi. Selanjutnya
terkait
pandemi Covid-19, bahwa kenyataannya masyarakat tidak hanya melawan
pandemi tetapi
juga infodemik dari Covid-19. Cinelli et al. (2020) meneliti infodemik Covid-19 di
media
sosial Gab, Reddit, YouTube, Instagram, serta Twitter. Dari hasil analisis
komparatif pada
kelima platform media sosial dikatakan dalam kondisi health emergency.
Selanjutnya Eysenbach (2020) menjelaskan empat pilar untuk melawan infodemik,
yaitu: pemantauan informasi (infoveillance), membangun literasi eHealth dan
kapasitas
literasi sains, mendorong peningkatan pengetahuan dan proses peningkatan
kualitas, maupun
akurasi dan translasi pengetahuan secara tepat termasuk meminimalkan faktor-
faktor yang
menyimpang seperti pengaruh politik dan komersial. Sejauh ini dari kajian
literatur
terdahulu, belum ada yang khusus membahas kompetensi literasi informasi
pustakawan pada
era infodemik sehingga hal ini menjadi aspek kebaruan ilmiah dari pembahasan.
Artikel ini
membahas tentang kompetensi literasi informasi pustakawan di era infodemik.
C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dengan studi kepustakaan (library research).
Penulis melakukannya dengan kajian pustaka terhadap literatur terkait dengan
masalah yang
dibahas. Hal ini terkait dengan infodemik dalam masa pandemi Covid-19,
kompetensi
literasi informasi, serta strategi pustakawan di era infodemik. Sumber pustaka yang
digunakan berupa literatur dan data sekunder.
Cakupan infodemik Covid-19 yang beredar sangat variatif dan banyak sekali, baik
terkait pencegahan, penanganan, vaksin, penularan, serta yang lainnya. Salah satu
contoh
infodemik, pernah beredar informasi melalui WhatsApp terkait thermo gun yang
berbahaya
bagi otak dan hal ini sungguh mengkhawatirkan masyarakat. Rasa takut dan
bingung muncul
dalam pikiran yang menerima video infodemik yang konten pesannya bohong
(hoaks) dan
tidak benar. Padahal informasi yang betul bahwa thermo gun sudah jelas lolos uji
kesehatan
dan aman digunakan.
E. KESIMPULAN
Kompetensi literasi informasi dibutuhkan untuk menangkal infodemik. Sarana
komunikasi melalui media sosial memudahkan interaksi sosial. Pustakawan dapat
memanfaatkan sebagai media komunikasi dengan pemustaka dan promosi
perpustakaan.
Beredarnya infodemik Covid-19, hoaks, maupun fake news yang sangat masif
beredar di
media sosial memantik pustakawan agar memiliki keunggulan kompetensi literasi
informasi.
Sekalipun pustakawan tidak secara langsung bergelut dengan itu, tetapi
pustakawan
merupakan profesi yang sangat dekat dengan pengelolaan sumber informasi,
koleksi ilmiah,
dan diseminasi pengetahuan.
Solusinya pustakawan membutuhkan strategi kunci agar memiliki kompetensi
literasi
informasi dan langkah konkrit di era media sosial. Selain itu, pustakawan juga
harus
memperhatikan etika fundamental sehingga bijak dalam bermedia sosial.
Kompetensi literasi
informasi pustakawan membutuhkan daya kritis dalam memilah dan memilih
maupun
menyaring informasi yang berkelindan di media sosial, sehingga menghasilkan
informasi
yang bisa dipertanggungjawabkan. Agar pustakawan mampu berinternet sehat di
era media
sosial, maka harus bijak dan cerdas dalam merespon dan memanfaatkan media
sosial.
informasi. Literasi informasi adalah kemampuan yang harus dimiliki individu untuk
"mengenali kapan
informasi dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan
menggunakan
secara efektif informasi yang dibutuhkan.(ACRL, 2000). Banyak unsur yang
mempengaruhi mahasiswa
kurang memiliki kemampuan literasi informasi. Jadi, kondisi tersebut dapat mempersulit
mahasiswa
dalam mencari informasi yang relevan guna mendukung pembelajaran yang berbasis riset.
2. Literasi Informasi
Literasi informasi adalah kemampuan yang harus dimiliki individu untuk "mengenali
kapan
informasi dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan
menggunakan
secara efektif informasi yang dibutuhkan”.(ACRL, 2000). Kemampuan tersebut
dibutuhkan mahasiswa
untuk dapat mendapat referensi yang baik dalam membuat karya tulis ilmiah. Adapun hal
yang
diperlukan mahasiswa untuk dapat mengembangkan literasi informasi (madisoncollege,
2016) adalah :
1. Kesadaran (awareness)
Kesadaran yang dimaksud merupakan kesadaran kemajuan teknologi, bagaimana
mahasiswa aktif dalam dunia digital. Saat ini perubahan teknologi sangat cepat dan
dapat mememudahkan seseorang dapat memperoleh informasi. Melalui kesadaran ini
mahasiswa dapat mengikuti perkembangan keilmuannya.
2. Pemaknaan Informasi (Meaning)
Pemaknaan informasi merupakan bagian untuk mendalami informasi yang
dibutuhkan atau mengidentifikasi kebutuhan pribadi. Selain itu, mahasiswa
memerlukan kemampuan dalam penggunaan metode pencarian informasi.
3. Artikulasi Informasi (articulate what kind of information you require)
Mahasiswa dapat melakukan artikulasi jenis informasi apa sesuai dengan kebutuhan.
4. Etika Informasi (Information Ethically)
Penggunaan informasi perlu sesuai dengan aturan, kemampuan ini ditujukan untuk
menghindari plagiatisme. Salah satu etika informasi yaitu mencantumkan sumber
informasi yang digunakan. Sanksi tegas berlaku bagi mahasiswa yang melanggat
aturan-aturan yang berlaku.
5. Memahami peran (Understand the role)
Individu perlu memahami peranannya sebagai mahasiswa sehingga dalam
menciptakan dan mengomunikasikan informasi tidak melebihi kapasitasnya.
Pemahaman atas diri sendiri akan lebih mudah untuk berinteraksi antar sesama
teman, pengajat, dan pustakawan.
6. Evaluasi Informasi (Evaluate Information)
Evaluasi merupakan bagian untuk menilai kredibilitas dan otoritas informasi yang
ada. Hal ini berkaitan dengan penilaian informasi yang bisa dipertanggung jawabkan,
sehingga akan terhindar dari berita bohong atau hoax.
3. Literasi Informasi untuk Perguruan Tinggi
Pengembangan literasi informasi bagai mahasiswa merupakan tugas bersama antara
pengajar dan
pustakawan. Sebagai rujukan pengembangan literasi informasi saat ini telah ada
Association College &
Research Library (ACRL). ACRL berfokus dalam peningkatan perpustakaan perguruan
tinggi, pada
tahun 1991 ACRL membentuk satuan tugas standar kompetensi literasi informasi yang
diberikan
tanggung jawab untuk mengembangan standar kompetensi di perguruan tinggi.
4. Dukungan Pustakawan
Pendidikan mengenai literasi informasi lebih ditekankan pada pustakawan perguruan
tinggi. Pustakawan
diberikan tanggung jawab lebih dalam menjalankan standar kompetensi literasi informasi.
Supaya
pendidikan tentang hal tersebut dapat menjangkau semua mahasiswa diperlukan
kerjasama antara
pustakawan dan tenaga pendidikan atau administrasi. Panduan tersebut tertulis pada
Information Literacy
Competency Standarts for Higher Education, bahwasannya
Pada pedoman standar dari ACRL menyebutkan perpustakaan sebagai pusat
pembelajaran mahasiswa.
Adapun upaya yang dilakukan meliputi :
a. Bekerjasama dengan fakultas dalam pengembangan kurikulum, silabus, dan penilaian
yang
berfokus pada proses penelitian.
b. Bersama fakultas melakukan eksplorasi dan menrapkan metode penilaian berdasarkan
keahlian.
c. Identifikasi mitra kampus pada pengembangan fakultas untuk membantu transformasi
bentuk
pelajaran dan pembelajaran melalui literasi informasi.
d. Berkolaborasi dengan fakultas untuk membantu mereka untuk menentukan litersi
informasi untuk
disiplin mereka.
e. Identifikasi dan fokus pada tanggung jawab perpustakaan terhadap literasi informasi
dan peng
pengembangan program-program instruksi perpustakaan sesuai.
f. Memastikan bahwa pustakawan mengajarkan proses penelitian dan konsepnya, dan
melakukan
lebih dari memperkenalkan alat-alat elektronik dan teknologi untuk pelanggan mereka.
g. Memberikan pendidikan berkelanjutan bagi pustakawan
5. Penerapan Standar Kompetensi Literasi Informasi
Penerapan ini penting dilakukan oleh Stakeholder sebagai bagian integral dari visi
strategis
lembaga. Perguruan tinggi dapat menciptakan budaya kampus yang menghargai literasi
informasi adalah
harus tertulis di perpustakaannya dan pernyataan misi atau visi institusi, rencana
strategis, dan dokumen
perencanaan penting lainnya. Hal ini penting bagi pustakawan untuk membantu
mengekspos hubungan
mereka dan membangun atas mereka.