Anda di halaman 1dari 19

Analisis Budaya Literasi dan Penyebaran Hoaks

Covid-19 di Platform Media Sosial

NAMA, NIM
Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Tangerang
email:

Abstrak
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan salah satu alasan
masyarakat tidak percaya Covid-19 karena terpengaruh isu hoaks alias berita bohong. Laporan
yang sama menunjukkan mayoritas isu hoaks ditemukan di media sosial. Untuk itu perlunya
peran literasi digital menangkal dan mengantisipasi praktek hoaks yang tidak bertanggung
jawab di media sosial terkait Covid-19 dan seperti apa praktek hoaks Covid-19 pada media
social dibahas dalam tulisan ini. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian
kuantitatif terkait penyebaran berita hoax dengan terkumpulnya 154 responden. Ditemukan
bahwa perlunya menumbuhkan kesadaran akan menyeleksi sumber, menambah pemahaman,
berusaha mengecek informasi dari satu media dengan media lainnya dan pentingnya
mengembangkan tradisi mengoreksi berita di kalangan masyarakat. Dalam jurnal ini
memfokuskan pada analisis budaya literasi dan penyebaran hoaks terkait Covid-19 di platform
media sosial, dengan generasi milenial sebagai subjek utama. Menggunakan metode purposive
sampling, hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat literasi digital generasi milenial di
berbagai wilayah relatif rendah, dengan indeks literasi sebesar 34,4%. Meskipun kemampuan
memahami informasi secara individual cukup tinggi, kemampuan berkolaborasi dan
berpartisipasi dalam menyaring informasi serta menanggapi pandemi Covid-19 terbilang
rendah. Kepercayaan terhadap informasi menjadi faktor kunci yang memengaruhi kemampuan
berkolaborasi generasi milenial. Temuan ini menunjukkan perlunya peningkatan literasi digital,
terutama dalam konteks berkolaborasi dan berpartisipasi secara kritis menghadapi informasi
terkait Covid-19. Sebagai gambaran dalam menghadapi tantangan literasi digital di era
pandemi, penelitian ini memberikan wawasan yang relevan dengan peran generasi milenial
sebagai agen utama dalam perubahan perilaku di media sosial.
Kata Kunci: Berita, Covid-19, Hoaks, Literasi digital, Media Sosial

1
Abstract
The Ministry of Communication and Information (Kominfo) reveals that one of the reasons
people do not believe in Covid-19 is due to the influence of hoax issues or fake news. The
same report indicates that the majority of hoax issues are found on social media. Therefore,
the role of digital literacy is crucial in countering and anticipating irresponsible hoax
practices on social media related to Covid-19, and the practices of Covid-19 hoaxes on social
media are discussed in this article. This research method employs quantitative research
related to the spread of hoax news, involving 154 respondents. It is found that there is a need
to cultivate awareness in selecting sources, enhancing understanding, verifying information
across different media, and developing a tradition of correcting news among the public. This
journal focuses on the analysis of cultural literacy and the spread of Covid-19 hoaxes on
social media platforms, with millennials as the main subjects. Using purposive sampling, the
research results indicate that the level of digital literacy among millennials in various regions
is relatively low, with a literacy index of 34.4%. Although the ability to understand
information individually is relatively high, the ability to collaborate and participate in
filtering information and responding to the Covid-19 pandemic is considered low. Trust in
information is a key factor influencing the collaborative abilities of millennials. These
findings highlight the need for improved digital literacy, particularly in the context of
collaboration and critical participation in dealing with Covid-19-related information. As a
representation of facing the challenges of digital literacy in the pandemic era, this research
provides insights relevant to the role of millennials as primary agents of behavioral change on
social media.
Keywords: News, Covid-19, Hoaxes, Digital Literacy, Social Media

PENDAHULUAN
Sejak awal tahun 2020, Indonesia telah dilanda oleh pandemi Covid-19, yang telah
menelan banyak korban jiwa dan menimbulkan kerugian signifikan di berbagai sektor
kehidupan. Setelah hampir dua tahun berada di tengah pandemi, Covid-19 masih tetap
menjadi topik dominan dalam berbagai pembahasan, dengan indeks pencarian di mesin
pencari mencapai 5,4 miliar. Di tengah ketegangan dan kekhawatiran masyarakat, muncul
individu-individu yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan situasi ini untuk
keuntungan pribadi mereka. Mulai dari upaya provokasi, konspirasi, hingga penyebaran
berita palsu (hoax), semuanya muncul secara serentak di ranah media digital dengan tujuan
mempengaruhi pola pikir masyarakat. Lonjakan informasi terkait Covid-19 di platform

2
digital bahkan menyebabkan World Health Organization (WHO) menciptakan istilah khusus
untuk menggambarkan situasi tersebut, yaitu "infodemic” (AK, 2020).
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjelaskan bahwa salah satu alasan
masyarakat cenderung meremehkan risiko terpapar Covid-19 adalah karena terpengaruh oleh
hoaks atau berita bohong. Pernyataan ini didukung oleh data yang disampaikan oleh Kominfo
dari tanggal 23 Januari 2020 hingga 12 Mei 2021, yang menunjukkan adanya 1.587 isu hoaks
terkait Covid-19 yang beredar. Isu tersebut tersebar dalam 3.377 konten di berbagai media
sosial di masyarakat Indonesia (Bahri, 2021) . Penyebaran hoaks ini meningkat seiring
dimulainya program vaksinasi Covid-19 secara nasional pada 13 Januari, dengan banyak
informasi tidak benar mengenai vaksin yang beredar di masyarakat. Banyak oknum yang tidak
bertanggung jawab turut menciptakan dan menyebarkan hoaks, yang semakin memperkeruh
situasi karena banyak masyarakat yang terperdaya. Hingga saat ini, Kepolisian telah
mempidanakan 17 tersangka yang dianggap menyebarkan berita palsu atau hoaks terkait
Covid-19, sementara 87 kasus lainnya tidak melibatkan pengadilan. Sejak Januari 2020 hingga
November 2020, sudah ada 104 kasus tindak pidana yang diselidiki oleh kepolisian terkait
hoaks (Alamsyah., 2020). Sebagai respons terhadap masalah ini, Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia telah mengambil langkah-langkah, termasuk memblokir 300
situs dan media sosial yang dianggap merugikan banyak pihak, terutama terkait penyebaran
berita bohong (Marwan, 2016).
Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) telah melakukan pemetaan terhadap
penyebaran berita hoaks mengenai virus corona. Berdasarkan data, hoaks tersebut memiliki
sasaran yang bervariasi, dimana 48 persen ditemukan tersebar di luar negeri, sedangkan 52
persen tersebar di dalam negeri. Selain itu, sekitar 40 persen hoaks menyasar desa, 18 persen
mengenai pasar, kawasan industri, dan terminal, serta 17 persen menyasar rumah sakit. Dalam
analisis tipe hoaks, ditemukan bahwa sebanyak 1 persen berada dalam konten satire atau tanpa
niat merugikan namun berpotensi merugikan (Bahri, 2021). Menurut (Cangara., 2010), media
dapat diartikan sebagai alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari
komunikator kepada khalayak. Media massa, pada dasarnya, merupakan alat yang digunakan
dalam menyampaikan pesan dari sumber kepada khalayak melalui berbagai alat komunikasi
seperti surat kabar, film, radio, dan televisi. Jenis-jenis media massa menurut (Cangara., 2010)
dibedakan menjadi tiga jenis yakni antara lain :
a. Media Cetak

3
Adalah media massa pertama kali muncul di dunia pada tahun 1920 an. Di kala itu pada
awalnya media massa digunakan pemerintah untuk mendoktrin masyarakat, sehingga
membawa masyarakat pembaca kepada suatu tujuan tertentu.
b. Media Elektronik
Setelah media cetak muncul media elektronik pertama yaitu radio. Sebagai media audio
yang menyampaikan pesan lewat suara. Setelah itu muncul televisi yang lebih canggih
bisa menayangkan gambar. Yaitu sebagai media massa audio visual.
c. Media Internet
Media internet bisa melebihi kemampuan media cetak dan elektronik. Apa yang ada pada
kedua media tersebut bisa masuk dalam jaringan internet.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa semakin hari media digital semakin
berkembang. Dan seperti yang dirasakan saat ini bahwa dengan adanya internet maka
muncul kecenderungan untuk menggunakan media digital.
Banyak berita yang mengangkat topik corona virus dengan kabar terbaru setiap harinya.
Berita berita mulai bermunculan bahkan masih saja terjadi peristiwa belum diketahui
kebenarannya bahkan juga bisa disebut sebagai berita palsu. Hoax dapat diartikan berita
palsu yang memiliki maksud untuk dijadikan bahan lelucon (Juditha, 2018). Sebuah berita
atau kabar palsu yang mempunyai tujuan untuk menipu serta memprovokasi pembaca dan
pendengarnya agar mempercayai berita atau kabar palsu tersebut, padahal sang pembuat
berita palsu tersebut tahu bahwa berita atau kabar yang dibuatnya tidak benar (Simarmata,
2019).
Penyebaran berita hoax membawa dampak kepada masyarakat, dampak yang terjadi
yaitu dampak negatif karena berita hoax ini membawa kekhawatiran, kesalahpahaman,
kegaduhan sehingga masyarakat banyak yang dirugikan dengan adanya berita tersebut dan
merupakan pembodohan bagi yang mengonsumsinya. Hoax juga sebagai cara untuk
pengalihan isu, pemecah belah, penipuan publik. Penyebaran berita hoax banyak dilakukan
oleh orang yang tidak bertanggung jawab, bahwa orang tersebut mengerti berita tersebut
merupakan sebuah kebohongan dan secara sadar menyebarkan berita palsu tersebut agar
mendapat perhatian, menggiring opini publik. Dengan perkembangan teknologi saat ini,
penyebaran berita hoax sangat gampang terjadi melalui media sosial, yaitu internet melalui
artikel, whatsapp, instagram, line, facebook. Di Indonesia banyak warganya yang
merupakan pengguna aktif media sosial dan pertumbuhan pengguna internet dapat
menimbulkan dampak untuk tempat menyebarkan informasi atau berita yang belum tentu
kebenarannya. Karena dalam media sosial manusia bisa berinteraksi dengan banyak orang

4
sehingga tiap individu atau komunitas dengan mudah menyampaikan berbagai opini dan
masih banyak orang yang tidak kritis atau hati hati dalam menyampaikan informasi. Dan
juga masih banyak masyarakat yang kurang waspada dan kritis dalam menerima informasi.
Beberapa berita hoax terkait Covid-19 ini diantaranya penularan virus corona melalui angin,
dimana terdapat 59 Jemaat Gereja Tewas setelah meminum Dettol demi mencegah Covid-
19 Penyembuhan Virus Corona dengan Bawang Putih (Putri, 2020).
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menyampaikan potensi bahaya
yang mungkin timbul apabila penyebaran berita hoaks mengenai Covid-19 terus berlanjut,
dengan penekanan pada peran signifikan masyarakat dalam penyebaran informasi yang
tidak benar. Oleh karena itu, pentingnya edukasi dalam membaca dan menilai berita
mengenai Covid-19 menjadi fokus utama penelitian ini. Kebaruan riset dalam penelitian ini
adalah penjelasan yang diberikan terkait pasal-pasal hukum yang dapat diterapkan terhadap
tanggung jawab atas penyebaran berita hoaks. Hal ini bertujuan agar pemahaman mengenai
dampak hukum dari penyebaran berita hoaks menjadi lebih jelas. Peneliti berperan dalam
memberikan pemahaman terhadap konsekuensi hukum yang mungkin dihadapi oleh pelaku
penyebaran berita hoaks. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran berita hoaks tidak hanya
merugikan masyarakat Indonesia, tetapi juga memberikan dampak negatif pada pemerintah
sebagai aktor yang terdampak oleh penyebaran berita hoaks di platform media sosial.
Penelitian terdahulu berjudul “Mengembangkan Model Literasi Media yang
Berkebhinnekaan dalam Menganalisis Informasi Berita Palsu (Hoaks) di Media Sosial”
(Juliswara, 2017). Dalam rangka merespons berkembangnya ujaran kebencian, penelitian
ini mencoba untuk mengembangkan suatu model literasi media yang berkebhinnekaan
dalam menganalisis informasi hoaks dalam berita di media sosial. Berdasarkan
pengembangan model kajian literasi media yang berbasis pemberdayaan pengguna media
sosial (netizen), diasumsikan bahwa netizen akan lebih mampu membangun muatan positif
dalam memanfaatkan media sosial. Penelitian ini mengembangkan suatu penggunaan model
literasi informasi yang dikenal sebagai model ‘Empowering Eight’ atau ‘E8’ karena
mencakup 8 komponen dalam menemukan dan menggunakan informasi.
Penelitian kedua oleh (Nurrahmi, 2020) menjelaskan bahwa media sosial menjadi
saluran penyebaran berita hoax tertinggi sehingga pihak utama dalam penyebaran berita
hoax ini sulit untuk disaring karena mudah tersebar dan lebih berfokus terhadap peran
masyarakat Indonesia dalam menghadapi penyebaran berita hoax sehingga dalam penelitian
ini dapat mendukung bahwa media online dan media sosial pengaruh yang besar dalam
penyebaran berita hoax dan mendukung Undang-undang ITE.

5
Dengan demikian, berdasarkan penelitian di atas memiliki relevansi yang sesuai dengan
penelitian yang dilakukan sehingga peneliti merumuskan satu rumusan masalah, yakni
bagaimana budaya literasi berpengaruh terhadap penyebaran berita hoaks terkait Covid-19
di platform media sosial dan tanggung jawab hukum atas peran masyarakat dalam
penyebaran informasi yang tidak benar. Dalam penelitian ini, bertujuan untuk menjelaskan
sekaligus menganalisis pentingnya budaya literasi dalam menghadapi penyebaran berita
hoaks terkait Covid-19 di lingkungan media sosial.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini memakai pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian explanatory.
Metode ini bertujuan untuk menjelaskan suatu generalisasi sampel terhadap populasi atau
menjelaskan hubungan, perbedaan atau pengaruh satu variabel terhadap variabel yang lain.
Karena itu, penelitian explanatory menggunakan sampel dan hipotesis (Bungin, 2011).
Penelitian ini menggunakan variabel tingkat literasi digital dengan fokus pada analisis
budaya literasi dan dampaknya terhadap penyebaran hoaks Covid-19 di platform media
sosial. Hipotesis penelitian mengindikasikan bahwa tingkat literasi digital masyarakat, yang
dapat dikategorikan pada indeks sedang, memainkan peran penting dalam memahami
dinamika penyebaran hoaks terkait Covid-19. Subjek penelitian adalah pengguna media
sosial yang berpartisipasi dalam menyebarkan atau mengonsumsi informasi terkait pandemi.
Penelitian ini mengeksplorasi keterkaitan antara tingkat literasi digital, yang diukur melalui
10 kompetensi literasi digital, dengan budaya literasi masyarakat, terutama dalam konteks
penyebaran hoaks. Tingkat literasi digital menjadi objek penelitian, yang melibatkan
penilaian terhadap 10 kompetensi literasi digital yang diajukan oleh Japelidi. Berikut
dimensi dan indikatornya:
Tabel 1. Kompetensi Literasi Digital Japelidi
No Kompetensi Definisi
1 Mengakses 1. Mampu menggunakan perangkat untuk mengakses
internet
2. Mampu menggunakan mesin pencari seperti (Google,
Yahoo, dll.)
3. Mampu mencari informasi di internet melalui beragam
aplikasi.
2 Menyeleksi 1. Mampu memilih informasi yang sesuai dengan
kebutuhan,
2. Mampu mengabaikan informasi yang tidak sesuai
dengan kebutuhan,
3. Mampu menghapus informasi yang tidak sesuai dengan
kebutuhan

6
3 Memahami 1. Mampu memahami informasi tertulis sesuai dengan
bahasa yang digunakan,
2. Mampu memahami simbol-simbol (emoticon, stiker)
yang digunakan,
3. Mampu memahami video.
4 Menganalisis 1. Mampu menyebarkan informasi sesuai dengan target
pesannya,
2. Mampu menentukan kesesuaian pesan dengan aplikasi
medianya,
3. Mampu menyebarkan informasi sesuai dengan sifat
pesan
5 Memverifikasi 1. Mampu memahami maksud informasi berdasarkan
format,
2. Mampu menghubungkan informasi dengan tujuan
pembuat pesan,
3. Mampu mengidentifikasi adanya keberagaman makna
informasi.
6 Mengevaluasi 1. Mampu membandingkan informasi dari beragam
sumber informasi yang diterima,
2. Mampu mengidentifikasi kekeliruan informasi yang
diterima,
3. Mampu memutuskan kebenaran informasi yang
diterima
7 Mendistribusikan 1. Mampu menyebarkan informasi sesuai dengan target
pesannya,
2. Mampu menyebarkan informasi sesuai dengan sifat
pesan,
3. Mampu menghubungkan informasi dengan tujuan
pembuat pesan
8 Memproduksi 1. Mampu membuat pesan tertulis di media digital,
2. Mampu membuat pesan foto/gambar di media digital,
3. Mampu membuat video di media digital
9 Berpartisipasi 1. Mampu melibatkan diri dalam komunitas online yang
sesuai dengan kebutuhan individual,
2. Mampu rutin mengikuti kegiatan komunitas online,
3. Mampu berkontribusi dalam komunitas online
10 Berkolaborasi 1. Membuat forum/kelompok/komunitas online (media
sosial, chat group, dan lain-lain),
2. Mengelola forum/kelompok di komunitas online (media
sosial, chat group, dan lain-lain) dan menjalin kerja
sama dengan komunitas lain,
3. Mengelola topik dalam komunitas online (media sosial,
chat group, dan lain-lain) untuk mencapai suatu tujuan.

Teknik analisis data dilakukan dengan pengukuran Skala Likert. Skala Likert adalah
suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner dan menjadi skala yang
paling banyak digunakan dalam metode riset survei (Maryuliana, 2016). Skala jawaban

7
pada Skala Likert menggunakan perhitungan skala 1-5 yaitu Sangat Setuju (SS), diberi skor
5; Setuju (ST), diberi skor 4; Ragu-ragu (RG), diberi skor 3; Tidak Setuju (TS), diberi skor
2; Sangat Tidak Setuju (STS), skor 1. Selanjutnya, peneliti membagi kriteria penilaian
literasi digital berdasar nilai skor (mean) dalam bentuk persentase, yang dituangkan ke
dalam 3 (tiga) kategori yaitu Kategori Indeks Literasi Digital Rendah, dengan skor mean
17%-45%; Kategori Indeks Literasi Digital Sedang, dengan skor mean 45,1%–73%;
Kategori Indeks Literasi Digital Tinggi, dengan skor mean 73% - 100%.
Penentuan sampel untuk penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, di
mana kuesioner disebar secara online melalui grup media sosial yang anggotanya
merupakan generasi milenial dengan rentang usia 15 hingga 19 tahun. Penyebaran
kuesioner dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik target usia yang diinginkan.
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik tahun 2019, populasi generasi milenial usia 15-19
tahun di Indonesia mencapai 226.763 jiwa. Dengan menggunakan tabel penentuan jumlah
sampel dari Isaac dan Michael dengan margin error 10%, jumlah sampel yang dipilih
sebagai responden adalah sebanyak 270 jiwa. Metode ini membantu memastikan bahwa
sampel yang diambil mencerminkan kelompok usia tertentu yang relevan dengan penelitian.
Sehingga, penelitian ini berfokus pada pemahaman tingkat literasi digital dan perilaku
penyebaran hoaks terkait Covid-19 di kalangan generasi milenial di media sosial.

Tabel 2. Jumlah Sampel (Olahan Peneliti, 2023)


Populasi 1% 5% 10%
250000 662 348 270
300000 662 348 270

Pengisian kuesioner dilakukan oleh 270 responden. Dari kuesioner sebanyak itu, didapatkan
perhitungan jumlah kelamin perempuan sebanyak 163 responden dan laki-laki sebanyak 107
responden.

8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengisian kuesioner oleh 270 orang responden dalam penelitian ini,
didapat data responden berdasar jenis kelamin, yakni responden perempuan sebesar 60% dan
responden laki-laki sebanyak 40% (Gambar 1). Hasil ini menunjukkan bahwa jenis kelamin
perempuan lebih mendominasi komposisi responden penelitian ini dibandingkan jenis
kelamin laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan tingkat literasi digital berdasar nilai interval
kelas, yang dituangkan ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu kategori rendah, sedang dan tinggi.
Hasil tersebut dapat dilihat menggunakan rumus interval kelas:

Inter . Kelas=( Skor tot tertinggi ) – ( Skor tot terendah ) +1


¿
Jumlah Kelas
150−30+1
¿
3
= 40

Kategori tingkat literasi digital rendah memiliki nilai interval kelas 30-70. Kategori
tingkat literasi digital sedang memiliki nilai interval kelas 71-110. Sementara itu, kategori
Indeks Literasi Digital tinggi memiliki nilai interval kelas 111-150. Hal ini dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 3. Interval Kelas
Interval Kategori Jumlah Persentase
kelas (Orang) (%)
30-70 Rendah 22 8,1%
71-110 Sedang 94 34,8%
111-150 Tinggi 154 57%

9
Hasil kuesioner menunjukkan bahwa ada 154 orang responden yang memiliki tingkat
literasi digital kategori tinggi dengan persentase sebesar 57%. Adapun jumlah responden
dengan tingkat literasi digital kategori rendah adalah 22 orang dengan persentase 8,1%,
sedangkan jumlah responden dengan kategori sedang adalah 94 orang dengan persentase
34,8%.
Skor indikator dihitung dengan menggunakan rata-rata dari seluruh responden di kota
Surabaya. Selanjutnya, skor subindeks merupakan rata-rata dari seluruh indikator di
subindeks tersebut. Terakhir, rata-rata dari seluruh subindeks menjadi skor akhir Status
Literasi Digital.
Pengukuran literasi digital menjadi fokus penelitian ini. Rancangan kuesioner disusun
berdasarkan studi pustaka, kajian teoritis dan diskusi dengan peneliti literasi digital di
komunitas Japelidi. Setiap kalimat di kuesioner diperiksa untuk memastikan bahwa
bahasanya mudah dipahami oleh target survei.
Validitas adalah tingkat reliabilitas dan validitas alat ukur yang digunakan. Sebuah
instrumen dianggap valid apabila alat ukur yang digunakan data adalah valid atau dapat
digunakan untuk mengukur objek yang harus diukur (Sugiyono, 2015). Oleh karena itu, alat
yang efektif adalah alat yang nyata untuk mengukur apa yang ingin diukur. Adapun hasil dari
uji validitas dan realibilitas instrumen penelitian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Hasil Uji Validitas
No Indikator R Hitung R Tabel Keputusan
A Kemampuan Mengakses
1. Mengakses 1 0.791 0.148 Valid
2. Mengakses 2 0.785 0.148 Valid
3. Mengakses 3 0.634 0.148 Valid
B Kemampuan Menyeleksi
1. Menyeleksi 1 0.643 0.148 Valid
2. Menyeleksi 2 0.651 0.148 Valid
3. Menyeleksi 3 0.650 0.148 Valid
C Kemampuan Memahami
1. Memahami 1 0.662 0.148 Valid
2. Memahami 2 0.662 0.148 Valid
3. Memahami 3 0.664 0.148 Valid
D Kemampuan Menganalisis
1. Menganalisis 1 0.827 0.148 Valid
2. Menganalisis 2 0.621 0.148 Valid

10
3. Menganalisis 3 0.633 0.148 Valid
E Kemampuan Memverifikasi
1. Memverifikasi 1 0.634 0.148 Valid
2. Memverifikasi 2 0.636 0.148 Valid
3. Memverifikasi 3 0.480 0.148 Valid
F Kemampuan Mengevaluasi
1. Mengevaluasi 1 0.740 0.148 Valid
2. Mengevaluasi 2 0.623 0.148 Valid
3. Mengevaluasi 3 0.625 0.148 Valid
G Kemampuan Mendistribusikan
1. Mendistribusikan1 0.637 0.148 Valid
2. Mendistribusikan2 0.849 0.148 Valid
3. Mendistribusikan3 0.849 0.148 Valid
H Kemampuan Memproduksi
1. Memproduksi 1 0.845 0.148 Valid
2. Memproduksi 2 0.842 0.148 Valid
3. Memproduksi 3 0.843 0.148 Valid
I Kemampuan Berpartisipasi
1. Berpartisipasi 1 0.699 0.148 Valid
2. Berpartisipasi 2 0.590 0.148 Valid
3. Berpartisipasi 3 0.711 0.148 Valid
J Kemampuan Berkolaborasi
1. Berkolaborasi 1 0.709 0.148 Valid
2. Berkolaborasi 2 0.648 0.148 Valid
3. Berkolaborasi 3 0.582 0.148 Valid

Butir pertanyaan yang berkorelasi signifikan dengan skor total menunjukkan bahwa
butir tersebut mampu memberikan dukungan dalam mengungkap apa yang ingin
diungkap/valid. Jika r hitung ≥ r tabel maka instrumen atau butir pertanyaan berkorelasi
signifikan terhadap skor total (dinyatakan valid). Penetapan suatu data valid dilakukan
dengan membandingkan corrected item-total correlation yang harus lebih besar dari 0,148
(angka kritis r pada tabel nilai-nilai r product moment dengan jumlah populasi/N=270.
Tabel 5. Hasil Uji Reliabilitas
No Variabel Cronbach’s Alpha Keputusan
1 Mengakses 0,869 Reliabel
2 Menyeleksi 0,847 Reliabel
3 Memahami 0,893 Reliabel

11
4 Menganalisis 0,829 Reliabel
5 Memverifikasi 0,848 Reliabel
6 Mengevaluasi 0,864 Reliabel
7 Mendistribusikan 0,856 Reliabel
8 Memproduksi 0,832 Reliabel
9 Berpartisipasi 0,850 Reliabel
10 Berkolaborasi 0,893 Reliabel

Sementara, uji reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan
indikator dari peubah atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika
jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu.
Untuk mengetahui reliabilitas kuesioner pada penelitian ini, nilai r tabel harus dibandingkan
dengan r hasil (nilai alpha pada output data). Agar sebuah kuesioner dikatakan reliabel, nilai
alpha cronbach minimalnya adalah 0,6. Sebaliknya, jika nilai alpha Cronbach-nya lebih kecil
dari 0,6 maka kuesionernya dinilai tidak reliabel.

Hasil Data Tingkat Literasi Digital


Dari data yang terdokumentasi dalam Tabel 5, terlihat bahwa tingkat literasi digital generasi
milenial, secara keseluruhan diukur melalui sepuluh komponen literasi digital yang
diusulkan oleh Japelidi (2018) dalam (Adikara, 2021), mencapai 34,4%. Angka ini dapat
dikategorikan sebagai tingkat literasi digital yang rendah. Sepuluh komponen literasi digital
yang menjadi fokus penilaian meliputi (1) Mengakses, (2) Menyeleksi, (3) Memahami, (4)
Menganalisis, (5) Memverifikasi, (6) Mengevaluasi, (7) Mendistribusikan, (8)
Memproduksi, (9) Berpartisipasi, dan (10) Berkolaborasi.
Tabel 6. Hasil Tingkat Literasi Digital per Dimensi (Hasil olahan peneliti, 2021)
No Pernyataan Nilai Indeks Per
(%) Dimensi (%)
1 Saya mampu menggunakan perangkat untuk mengakses 34.9% 35%
internet
Saya mampu menggunakan mesin pencari seperti (Google, 35,0%
Yahoo, dll), untuk mencari informasi di internet
Saya mampu mencari informasi di internet melalui beragam 35,1%
aplikasi
2 Saya mampu memilih informasi yang sesuai dengan 33,3% 32,3%
kebutuhan saya
Saya mampu mengabaikan informasi yang tidak sesuai dengan 33,2%
kebutuhan saya
Saya mampu menghapus informasi yang tidak sesuai dengan 33,4%
kebutuhan saya
3 Saya mampu memahami informasi tertulis sesuai dengan 46,8% 46,8%
bahasa yang digunakan
Saya mampu memahami simbol-simbol (emoticon, stiker) 46,9%

12
yang digunakan
Saya mampu memahami video 46,7%
4 Saya mampu menyebarkan informasi sesuai dengan target 32,9% 33,3%
pesannya
Saya mampu menentukan kesesuaian pesan dengan aplikasi 34,4%
medianya
Saya mampu menyebarkan informasi sesuai dengan sifat 32,6%
pesan
5 Saya mampu membuat pesan tertulis di media digital 32,3% 33,3%
Saya mampu membuat pesan foto/gambar di media digital
Saya mampu membuat pesan tertulis di media digital 33,3%
Saya mampu membuat pesan foto/gambar di media digital 33,3%
6 Saya mampu memahami maksud informasi berdasarkan 29,3% 33,3%
format
Saya mampu menghubungkan informasi dengan tujuan 32,9%
pembuat pesan
Saya mampu mengidentifikasi adanya keberagaman makna 37,7%
informasi
7 Saya mampu membandingkan informasi dari beragam sumber 34,2% 33,3%
informasi yang diterima
Saya mampu mengidentifikasi kekeliruan informasi yang 34,2%
diterima
Saya mampu memutuskan kebenaran informasi yang diterima 31,5%
8 Saya mampu menentukan sumber informasi yang dapat 31,8% 33,3%
dipercaya
Saya mampu memilih informasi dari berbagai sumber 31,6%
Saya mampu memberi penilaian terhadap kualitas informasi 31,6%
yang diterima
9 Saya melibatkan diri dalam komunitas online yang sesuai 34,9% 33,3%
dengan kebutuhan saya
Saya rutin mengikuti kegiatan komunitas online 30%
Saya berkontribusi dalam komunitas online 35%
10 Saya membuat forum/kelompok/komunitas online (media 37,7% 32,3%
sosial, chat group, dan lain-lain)
Saya mengelola forum/kelompok di komunitas online (media 30,2%
sosial, chat group, dan lain-lain)
Saya mengelola topik dalam komunitas online (media sosial, 28,6%
chat group, dan lain-lain) untuk mencapai suatu tujuan
Total 34,4%

Berdasarkan hasil di atas, dapat diketahui bahwa indeks literasi adalah 34,4%. Hasil
tersebut termasuk dalam kategori rendah atau level bawah. Skor tertinggi didapatkan oleh
kemampuan memahami, dengan skor indeks literasi digital 46,8% atau kategori sedang
(Tabel 6). Adapun komponen tertinggi kedua adalah kemampuan mengakses, dengan skor
indeks literasi digital 35%, yang berada pada kategori rendah. Adapun komponen dengan
nilai terendah adalah kemampuan berkolaborasi dengan skor indeks literasi digital 32,2%.
Dari temuan tersebut, dapat dilakukan analisis sebagai berikut. Pertama, kemampuan
mengakses merupakan keterampilan yang melekat pada setiap individu yang aktif

13
menggunakan internet dalam kehidupan sehari-hari. Dengan indeks sebesar 35%, hasil ini
tergolong baik meskipun masih dalam kategori rendah. Setiap akses ke internet
meninggalkan jejak digital, mencerminkan tingkat aktivitas pengguna. Kedua, dalam
konteks kemampuan menyeleksi, skill ini mencakup kemampuan menyaring informasi dari
berbagai sumber dan membagikannya secara bermanfaat. Indeks literasi digital sebesar
32,3% menunjukkan bahwa kemampuan generasi ini masih rendah dalam menyeleksi
informasi dari berbagai sumber berita. Perlu perhatian khusus untuk meningkatkan
kemampuan menyeleksi informasi, mengingat relevansinya dalam era informasi digital.
Ketiga, hasil indeks literasi digital pada komponen memahami sebesar 46,8%
menempatkannya pada kategori sedang. Ini mengindikasikan bahwa generasi ini sudah
mulai memahami maksud, tujuan, dan kebenaran suatu berita. Keempat, pada kemampuan
menganalisis, indeks literasi digital menunjukkan hasil sebesar 33,3%. Meskipun tergolong
rendah, hasil ini menunjukkan adanya indikasi bahwa kemampuan menganalisis mulai
berkembang. Faktor ini dapat dikaitkan dengan peran pendidikan dan tuntutan untuk
berpikir kritis dalam menghadapi perkembangan zaman.
Kelima, pada kemampuan memverifikasi, hasil penelitian menunjukkan indeks literasi
sebesar 33,3%, yang berada pada kategori rendah. Temuan ini sejalan dengan hasil pada
kemampuan menganalisis. Riset ini mencatat bahwa individu telah familiar dengan
perkembangan teknologi, memungkinkan mereka mengakses media digital dengan mudah.
Dalam konteks ini, literasi media menjadi kunci, diartikan sebagai kemampuan kritis dan
kreatif untuk menyaring informasi di media social (Stefany, 2017). Keenam, pada
kemampuan mengevaluasi, hasil indeks literasi sebesar 33,3%. Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan mengevaluasi masih rendah, dan dapat meningkat seiring dengan
perkembangan kemampuan berpikir kritis di lingkungan yang bersangkutan.
Ketujuh, pada kemampuan mendistribusikan, hasil penelitian menunjukkan indeks
literasi sebesar 33,3%, yang tergolong dalam kategori rendah. Penting diingat bahwa setiap
tindakan mendistribusikan informasi melalui perangkat digital meninggalkan jejak digital.
Kesadaran akan hal ini diharapkan dapat membantu generasi ini untuk berhati-hati dalam
melakukan proses distribusi informasi, misalnya saat meneruskan pesan di WhatsApp atau
melakukan retweet di Twitter.
Kedelapan, pada kemampuan memproduksi, indeks literasi sebesar 33,3%,
menunjukkan kategori rendah dalam kemampuan generasi ini dalam memproduksi konten.
Hal ini menandakan adanya tantangan dalam hal kreativitas dan kemampuan produksi
konten yang perlu ditingkatkan.

14
Kesembilan, pada kemampuan berpartisipasi, hasil penelitian menunjukkan indeks
literasi sebesar 33,3%, yang berada pada kategori rendah. Terutama selama pandemi Covid-
19 yang membatasi keleluasaan berkumpul dan mengimplementasikan gagasan. Meskipun
demikian, upaya untuk mendukung generasi untuk tetap berinovasi dan berpartisipasi terus
diupayakan. Tujuan dari komitmen ini adalah membentuk relasi dan jejaring sosial yang
berkelanjutan. Dalam konteks literasi digital, perlu adanya peningkatan partisipasi agar
dapat mengoptimalkan potensi inovatif mereka.
Kesepuluh, pada kemampuan berkolaborasi, indeks literasi sebesar 32,2%. Persentase
ini menunjukkan tantangan yang signifikan, mengindikasikan sulitnya generasi ini
mempercayai orang lain dan kesulitan dalam mengikuti perkembangan baru. Meningkatkan
kemampuan berkolaborasi menjadi aspek penting dalam upaya peningkatan literasi digital
di kalangan mereka.
Dari sepuluh komponen di atas, sembilan komponen di antaranya masuk dalam
kategori rendah. Walaupun kemampuan memahami generasi milenial termasuk dalam
kategori tinggi, tetapi kemampuan berkolaborasi mereka lemah. Hal ini disebabkan oleh
rendahnya kepercayaan generasi milenial terhadap suatu berita. Padahal komponen ini
menitikberatkan pada kemampuan generasi milenial dalam berinovasi, menelaah dan
mengemas informasi digital secara lugas.
Hal tersebut bertentangan dengan penelitian Hastini, Fahmi, dan Lukito yang
menyatakan bahwa literasi mencakup kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir
kritis, kreatif, dan inovatif, yang sulit tercapai bila hanya mengandalkan pembelajaran
online (Hastini, 2020). Literasi manusia sangat berkaitan dengan pengembangan karakter.
Sampai saat ini, pengembangan karakter melalui face-to-face learning saja dinilai masih
belum berhasil, terlebih jika hanya mengandalkan pembelajaran online. Interaksi kurang
disukai oleh Generasi Z dibandingkan komunikasi online sehingga membuat peningkatan
literasi semakin sulit tercapai.
Generasi milenial muncul pada era yang serba cepat, adaptif, dan antisipatif. Hal ini
membuat mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari keberadaan teknologi internet. Tapsell
(2015) dalam menyatakan bahwa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang
mendukung semakin luasnya jaringan internet dan konvergensi media memudahkan
penggunanya untuk memperoleh berbagai informasi melalui beragam media daring (Jati,
2021).
Hal tersebut relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tim Riset Komite Buku
Nasional (2016) dengan judul “Laporan Survei Buku dan Minat Baca: Studi 7 Kota di

15
Indonesia”. Survei yang dilakukan di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya,
Makassar, dan Medan tersebut bertujuan untuk mengukur tingkat kepemilikan buku,
kunjungan ke perpustakaan, kendala pembelian buku, jenis buku yang diminati, buku
bacaan anak, hingga pengaruh bacaan digital. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa
kepemilikan buku masih rendah hamper di semua kalangan. Baik mahasiswa, pekerja
swasta dan pemerintah, serta kalangan profesional dan wiraswasta, umumnya hanya
memiliki buku kurang dari 5 judul. Kunjungan ke perpustakaan cukup tinggi di kalangan
mahasiswa, sementara di kalangan lainnya rendah (Solihin, 2019).
Hasil penelitian ini perlu mendapatkan respons yang tepat mengingat jumlah populasi
generasi milenial yang cukup besar. Jika keterampilan mereka berliterasi digital dalam
menanggulangi hoaks masih berada dalam kategori rendah, penggunaan internet dengan
bijak dapat berdampak positif. Begitu pun sebaliknya, jika generasi milenial melanggar
ketentuan yang berlaku maka dampaknya akan buruk. Hal ini sejalan dengan penelitian
Pratiwi dan Pritanova bahwa pemahaman literasi digital yang buruk akan berpengaruh pada
psikologis anak dan remaja (Pratiwi, 2017). Mereka akan cenderung mudah menghina orang
lain, mudah merasa iri terhadap orang lain, depresi, terbawa suasana hati terhadap komentar
negatif, serta terbiasa berbicara dengan bahasa kurang sopan. Sangat mungkin penyebaran
hoaks akan berlangsung lebih cepat, mengingat kemampuan analisis mereka terhadap
konten hoaks cenderung rendah. Di samping itu, generasi milenial juga sangat aktif
mengakses internet dibanding generasi pendahulunya. Hal ini disebabkan adanya dukungan
beragam fasilitas alat komunikasi dan prasarana Kota Surabaya.
KESIMPULAN
Literasi digital, sebagai gerakan untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan
menggunakan media digital, merupakan suatu kebutuhan khususnya bagi generasi milenial
yang dikenal sebagai individu yang mahir dalam teknologi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa generasi milenial, tanpa memandang lokasi geografis, menunjukkan tingkat literasi
digital yang rendah, dengan skor indeks sebesar 34,4%. Penilaian komponen kemampuan
literasi digital menunjukkan bahwa generasi milenial memiliki keterampilan tertinggi dalam
pemahaman, dengan skor indeks 46,8%, sementara kemampuan berkolaborasi menunjukkan
skor indeks terendah, yaitu 32,2%. Hubungan antara tingkat literasi digital generasi milenial
dan penyebaran hoaks Covid-19 di platform media sosial menjadi relevan dalam konteks
ini, di mana pemahaman yang lebih baik terhadap literasi digital dapat memengaruhi cara
individu menanggapi dan menyebarkan informasi, termasuk hoaks terkait Covid-19.
SARAN

16
Temuan di atas dapat berfungsi sebagai langkah awal dalam menilai tingkat literasi
digital, menjadi landasan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan terkait teknologi
digital. Hal ini memungkinkan para pengambil kebijakan untuk membuat keputusan yang
lebih tepat dan akurat, dengan harapan dapat meningkatkan literasi digital masyarakat.
Edukasi menjadi kunci dalam upaya ini, dimana upaya penyuluhan perlu dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan literasi digital dan meningkatkan kewaspadaan terhadap berita,
terutama untuk mengantisipasi penyebaran berita hoaks. Melibatkan multi-stakeholder
menjadi strategi yang penting dalam memberikan edukasi dan pemahaman literasi digital.
Literasi digital bukan hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan membutuhkan
partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah, media, pelaku bisnis, dan
masyarakat. Dengan melibatkan berbagai pihak, diharapkan upaya peningkatan literasi
digital ini dapat lebih berhasil.
Perlu juga mendesak peningkatan literasi digital di lingkungan pendidikan, mulai dari
sekolah hingga perguruan tinggi, seiring dengan intensitas komunikasi melalui handphone
yang semakin meningkat sejak pandemi Covid-19. Integrasi literasi digital dalam kurikulum
pendidikan dapat menjadi langkah strategis untuk memastikan pemahaman yang lebih baik
tentang teknologi digital dan memitigasi penyebaran berita hoaks di platform media sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Adikara, G. J. (2021). Aman Bermedia . Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika.

Bungin, B. (2011). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu

Sosial Lainnya. Kencana.

Hastini, L. Y. (2020). Apakah Pembelajaran Menggunakan Teknologi dapat Meningkatkan

Literasi Manusia pada Generasi Z di Indonesia? Jurnal Manajemen Informatika

(JAMIKA), 12-28.

Jati, W. D. (2021). Literasi Digital Ibu Generasi Milenial Terhadap Isu Kesehatan Anak dan

Keluarga. Jurnal Komunikasi Global, 1-23.

17
Juditha, C. (2018). Interaksi komunikasi hoax di media sosial serta antisipasinya. Jurnal

Pekommas, 31-44.

Juliswara, V. (2017). Mengembangkan model literasi media yang berkebhinnekaan dalam

menganalisis informasi berita palsu (hoax) di media sosial. Jurnal Pemikiran Sosiologi.

Marwan, M. R. (2016). Analisis penyebaran berita hoax di Indonesia. Jurusan Ilmu

Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Gunadarma, 1-16.

Maryuliana, S. I. (2016). Sistem Informasi Angket Pengukuran Skala Kebutuhan Materi

Pembelajaran Tambahan Sebagai Pendukung Pengambilan Keputusan Di Sekolah

Menengah Atas Menggunakan Skala Likert. Jurnal Transistor Elektro dan Informatika,

1-12.

Nurrahmi, F. &. (2020). Perilaku informasi mahasiswa dan hoaks di media sosial.

Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi, 129-146.

Pratiwi, N. &. (2017). Pengaruh Literasi Digital terhadap Psikologis Anak dan Remaja.

Semantik: Jurnal Ilmiah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 11-

24.

Putri, N. F. (2020). Pentingnya Kesadaran Hukum Dan Peran Masyarakat Indonesia Dalam

Menghadapi Penyebaran Berita Hoax Covid-19. Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum,

98-111.

Simarmata, J. I. (2019). Hoaks dan media sosial: saring sebelum sharing. Yayasan Kita

Menulis.

Solihin, L. U. (2019). Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34. In L. Solihin (Ed.). Mobile

Devices: Tools and Technologies.

Stefany, S. N. (2017). Literasi Digital dan Pembukaan Diri: Studi Korelasi Penggunaan Media

Sosial Pada Pelajar Remaja di Kota Medan. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi,

10-31.

18
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

19

Anda mungkin juga menyukai