Anda di halaman 1dari 6

UJIAN PENGAYAAN DASAR

ETIKA DAN LOGIKA

Disusun oleh :
dr. Yohannes Kurniawan Soeparno
22040322310003

Pembimbing :
dr. Sigid Kirana Lintang Bhima, Sp.FM(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
UJIAN ETIKA DAN LOGIKA

1. Cari contoh tentang informasi kesehatan yang misleading di masyarakat, dan


jelaskan dengan menggunakan teori logika.

Informasi misleading yang beredar di masyarakat biasa disebut dan dikenal


oleh masyarakat sebagai hoaks. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Hoaks adalah
berita bohong. Selama masa pandemi dari tahun 2020 hingga saat ini, banyak sekali
informasi-informasi hoaks yang beredar di masyarakat lewat pesan berantai maupun
media sosial lainnya terutama yang berkaitan dengan kesehatan dalam hal ini COVID-
19. Saya akan mengambil salah satu contoh pesan berantai hoaks yang berhubungan
dengan COVID-19 yang pada saat itu ramai sekali diperbincangkan oleh masyarakat
Indonesia. Pesan itu berbunyi bahwa obat cacing Ivermectin ampuh dalam
menyembuhkan COVID-19. Narasi ini begitu cepat beredar di pesan berantai dan
media sosial seperti air sungai yang mengalir sangat deras, bahkan di dalam
lingkungan keluarga saya sendiri. Memang, pesan pesan ini dapat dengan mudah
diteruskan kepada orang lain hanya dengan beberapa langkah, lansia pun bisa
melakukannya. Mereka meneruskan pesan itu tanpa berpikir terlebih dahulu apakah
hal ini benar? Apakah sudah terbukti secara klinis ? apakah penggunaan obat cacing
ini aman dan tidak memiliki efek samping ?. Saya sendiri sampai kewalahan dalam
meluruskan berita berita hoaks di sekitar saya bahkan di dalam lingkungan keluarga
saya sendiri. Saya tidak bisa menyalahkan mereka yang dengan mudahnya
meneruskan pesan-pesan tersebut, karena pada saat itu COVID-19 sedang ganas-
ganasnya dan tidak sedikit korban dari pandemi gelombang Delta COVID-19 saat itu.
Masyarakat seperti menemukan setitik harapan dengan adanya berita hoaks tersebut,
sebuah titik akhir pandemi yang sudah cukup lama dirindukan masyarakat Indonesia
dengan diterapkannya protokol kesehatan dan aturan PPKM dari pemerintah yang
merenggut kebebasan masyarakat Indonesia.

Bagaimana hubungan informasi-informasi hoaks ini dengan teori logika ?


Arti kata logika menurut KBBI adalah pengetahuan tentang kaidah berpikir.
Secara formal dapat diartikan sebagai metodologi berpikir yang berkenaan dengan
struktur atau bentuk logika melalui abstraksi isi pemikiran yang merumuskan hukum
dan asas yang disyaratkan untuk mencapai hasil yang berlaku dalam mendapatkan
pengetahuan melalui penarikan kesimpulan yang bagian-bagiannya dipertalikan
dengan isi tersebut. Logika sangat erat hubungannya dengan argumen. Argumen yang
baik didasari pula oleh cara berpikir yang baik (sesuai dengan nalar dan logika),
berlaku juga sebaliknya, logika yang salah akan menghasilkan argumen yang buruk
pula.
Menurut saya, berita hoaks (argumen buruk) akan menyebabkan
penyimpangan cara berpikir logika masyarakat. Hal ini bisa disebut sebagai logical
fallacy. Logical Fallacy atau kesalahan logika adalah suatu pemikiran yang tidak
sesuai dengan logika dan termasuk dalam kategori salah berpikir. Orang yang
menyampaikan pernyataan yang mengandung logical fallacy dapat disebut sebagai
orang yang pemikirannya tersesat atau ia sedang menyesatkan orang lain untuk tujuan
tertentu. Suatu pernyataan yang mengandung logical fallacy akan menyebabkan
kesalahan berpikir untuk tahap-tahap selanjutnya. Logical fallacies bukanlah
kesalahan tulis atau yang sering dikenal dengan sebutan typo. Kesesatan logical
fallacy terletak pada kesalahan dalam berpikirnya itu sendiri yang bertentangan
dengan logika.
Logical fallacy juga bukan suatu ambiguitas kalimat dimana hal itu kadang
merupakan keterbatasan dari sebuah bahasa atau karena semata perbedaan pikiran
dalam merangkai kalimat yang dilakukan oleh seseorang. Logical fallacy memang
merupakan suatu kesalahan berpikir yang harus diluruskan karena memang
merupakan bentuk kesesatan dalam berpikir. Adanya logical fallacies tidak bermakna
bahwa tidak ada kebenaran yang di luar logika atau yang tidak dapat diproses dengan
logika. Memaknai berpikir logis sebagai bentuk penolakan terhadap adanya hal-hal
yang tidak dapat diproses dengan logika juga merupakan bentuk logical fallacy,
sebagaimana yang sering kita jumpai di masyarakat.
Berpikir logis dan membebaskan diri dari logical fallacies termasuk salah satu
bentuk dari menempuh jalan hidup yang lurus. Keterbebasan dari logical fallacy
merupakan syarat mutlak dalam membangun ilmu pengetahuan. Dalam dunia science
(ilmu eksak), logical fallacy merupakan salah satu parameter yang membedakan
antara science dan non-science. Dalam beberapa keadaan tertentu, logical fallacy juga
berguna untuk menarik informasi-informasi yang sekiranya dibutuhkan dengan cara
yang tidak langsung. Logical fallacy juga dapat digunakan untuk membelokkan
pemikiran seseorang agar mengarah pada apa yang sesuai dengan yang kita inginkan.
Dalam kepentingan tertentu, suatu fallacy dapat mengandung manfaat seperti untuk
terapi, motivasi, atau penenangan diri. Suatu fallacy juga dapat menjadi sarana yang
efektif untuk berkomunikasi dengan orang lain. Namun karena sifatnya yang
merupakan sebuah kekeliruan berpikir, maka untuk kepentingan ilmu pengetahuan
dan penegakan hukum, logical fallacy dilarang keras untuk digunakan.
Dalam hal ini berita hoaks termasuk dalam jenis logical fallacy dengan jenis
Argumentum ad numeram (bandwagon); yaitu fallacy yang menggunakan ketenaran
(informasi bahwa Ivermectin sudah digunakan sebagai salah atu terapi COVID-19 di
luar negeri) sebagai dasar argumentasinya, yaitu dengan percaya bahwa sesuatu itu
benar karena mayoritas orang mengikutinya atau itu sesuatu yang populer. Cukup
sulit dideteksi karena kita memiliki kecenderungan terhadap safety by number
(mengikuti yang ramai) dengan menganggap sesuatu yang umum pasti benar. Dalam
rangka untuk tidak termakan suatu berita hoaks diperlukan cara untuk menumbuhkan
cara berpikir kritis di masyarakat, dengan cara kita juga berusaha untuk meluruskan
dan menuyebarkan fakta-fakta yang didasarkan pada logika yang baik dan benar
terhadap penggunaan Ivermectin yang sebenarnya belum terbukti secara klinis bisa
menyembuhkan COVID-19. Jangan ada rasa enggan untuk mengembalikan suatu
hoaks ke jalan yang benar, dan kemudian kita berusaha untuk menyebarkan hal
tersebut dengan harapan akan ada banyak orang juga yang memberitakan berita yang
benar adanya yang berdasarkan fakta dan logika. Dengan begitu, berita hoaks lama-
kelamaan akan memudar akibat sadarnya masyarakat kita akan berita hoaks tersebut.

2. Carilah contoh kasus di bidang pediatri yang menyebabkan sebuah dilema


etik, kemudian jelaskan mengapa hal tersebut merupakan sebuah dilema etik,
serta keputusan etis apa yang yang akan anda ambil sebagai dokter ketika
menghadapi dilema etik tersebut.

Dilema etik adalah dilema yang seringkali dihadapi oleh tenaga kesehatan, termasuk
dokter dalam menangani pasiennya. Kasus yang akan saya bahas kali ini adalah
pemberian imunisasi bagi anak-anak. Dimana imunisasi merupakan salah satu cara
yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
(PD3I) yang sudah dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan kebenarannya
melalui penelitian klinis bertahun-tahun bahkan belasan tahun. Tidak jarang imunisasi
ini menjadi perdebatan dalam hal pelaksanaannya di beberapa provinsi di Indonesia,
terutama dalam hubungannya dengan Agama.
Dalam melaksanakan praktek dan pengambilan tindakan sehari hari, seorang dokter
memiliki teori-teori etik maupun prinsip-prinsip etik kedokteran yang dianut
(Beneficence, Non Maleficence, Autonomy, dan Justice). Pelaksanaan Imunisasi
sendiri menitikberatkan pada prinsip Autonomy, Beneficence, dan Non Maleficence.

A. Autonomy
Prinsip etik yang pertama adalah Autonomy dimana pasien dalam hal ini
adalah anak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan untuk memilih tindakan tertentu
yang memperbolehkan setiap orang untuk memutuskan apa yang terbaik untuk
dirinya.Namun anak yang masih muda dianggap tidak kompeten dan kurang
pengetahuan untuk membuat pilihan dengan implikasi sepanjang hidup.Orang tua
mungkin tidak mempunyai otonomi atas keputusan ini akan tetapi mereka mempunyai
otoritas sebagai orang tua dan karena alasan ini, tenaga kesehatan tidak boleh
mengesampingkan orang tua dalam proses pengambilan keputusan.

B. Beneficence dan Non-Maleficence


Prinsip beneficence menyatakan secara tidak langsung bahwa kewajiban moral
dari tenaga kesehatan adalah untuk memberikan kebaikan dan membantu orang lain,
sedangkan nonmaleficence adalah menghindari hal yang berbahaya (Do no harm).
Ketika prinsip ini diaplikasikan pada imunisasi, terdapat dua pandangan yang saling
berlawanan yang harus dilihat.Keuntungan dan bahaya dari imunisasi pada anak
sebagai seorang individu versus keuntungan dan bahaya imunisasi pada
komunitas.Pertimbangan pertama dari hal yang terbaik untuk anak adalah keuntungan
dari imunisasi harus lebih besar dari pada bahaya yang mungkin ditimbulkan akibat
imunisasi. Sedangkan yang kedua, mengevaluasi keuntungan untuk kesehatan
masyarakat dimana masyarakat umum akan beruntung daripada individu yang
mungkin secara fakta dirugikan.
Imunisasi mungkin dapat dilihat menguntungkan pada keduanya baik individu
maupun masyarakat. Imunisasi dianjurkan pada anak-anak sebagai prosedur
profilaksis. Pertama bahaya publik jika penyakit ini sangat menular luas dapat
mengakibatkan mortalitas dan morbiditas. Kedua jika ditularkan, penyakit ini
mempunyai potensi untuk mebahayakan setiap individu, imunisasi digunakan untuk
mencegah hal ini.Ketiga efektifitas imunisasi dalam melindungi masyarakat telah
terbukti. Berdasarkan prinsip-prinsip etik ini, orang tua yang memutuskan untuk
mengimunisasikan anak atau tidak harus berdasarkan pada apa yang menurut mereka
terbaik bagi anak-anaknya. Walaupun persepsi terhadap apa yang terbaik untuk anak
bersifat sangat subyektif dan mungkin berlawanan dengan persepsi petugas kesehatan.
Pemikiran tenaga professional harus didasarkan pada riset dan ‘evidence‘.Hal ini
menjadi tanggung jawab setiap petugas kesehatan / dokter untuk memberikan
intervensi kesehatan profilaksis untuk kehidupan anak yang lebih baik dan
memberikan perlindungan dari penyakit-penyakit infeksi yang mungkin menimbulkan
masalah kesehatan pada masa yang akan datang.

Sebagai seorang dokter, saya sendiri akan tetap menjunjung tinggi prinsip-
prinsip etik kedokteran yang sudah saya bahas diatas. Pengambilan keputusan untuk
dilakukan imunisasi atau tidak akan saya kembalikan kepada keputusan orang tua,
sesuai dengan hukum Indonesia yang menyatakan bahwa keputusan klinis anak-anak
akan diambil oleh orang tua atau wali anak tersebut sampai anak-anak tersebut sudah
melepas definisi anak-anak menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Tentunya saya
tidak akan langsung berpasrah untuk tidak melaksanakan imunisasi yang seharusnya
menjadi salah satu hak anak tersebut. Pemberian informed consent akan tetap saya
lakukan dimana di dalam informed consent tersebut saya akan menjelaskan tentang
jadwal dan keuntungan imunisasi serta menyampaikan efek samping yang dapat
ditimbulkan jika anak tidak atau mendapatkan imunisasi.Sehingga tidak disoalkan
secara hukum. Kemudian apabila penolakan diakibatkan oleh masalah keagamaan,
maka sudah dilakukan upaya untuk memberikan pemahaman dari berbagai sumber
diantaranya dari tenaga pengelola vaksin, dinas kesehatan, organisasi profesi yang
terlibat (IDI, IBI dan PPNI) dan organisasi agama (NU, Muhammadiyah, LDII, dll)
serta menghadirkan juga tokoh masyarakat setempat.

Anda mungkin juga menyukai