Anda di halaman 1dari 2

1.

Konsep seeing the strange in familiar merupakan bagian dari perspektif sosiologi yang
menyediakan metode atau teori untuk mengidentifikasi sisi lain dari hal-hal yang dianggap
umum terjadi di masyarakat. Dalam menerapkan konsep ini, para sosiolog akan
mempertanyakan apakah terdapat aspek-aspek khusus dalam hal yang biasa saja sehingga
dapat menemukan cela terkecil sekalipun agar dapat mengetahui apa yang menjadi akar dari
suatu masalah. Sebagai contoh, dalam pertandingan sepak bola di negara kita seringkali
diwarnai kericuhan antar suporter dari kedua tim yang sedang berlaga. Hal ini telah di
normalisasi oleh sebagian besar masyarakat dan dianggap menjadi hal yang lumrah terjadi.
Untuk mengetahui bagaimana kericuhan ini bisa terjadi, atau hal apa yang menjadi
penyebabnya maka diperlukan konsep ini untuk mengidentifikasi permasalahan tersebut.

2. A. Perspektif struktural fungsional

Perspektif ini melihat masyarakat pada tingkat makro dan fokus yang lebih luas pada struktur
sosial secara keseluruhan dimana tiap unsur didalamnya saling bekerja sama untuk
mengingkatkan stabilitas serta solidaritas. Dalam kasus pandemi Covid-19, masyarakat
tengah menghadapi pandemi dan saling bahu-membahu bersama pemerintah agar pandemi
segera berakhir dengan melakukan berbagai upaya. Seperti dipercepatnya pendistribusian
vaksinasi bagi masyarakat, protokol kesehatan yang berlaku sangat ketat dengan adanya
himbauan 3M (mencuci tangan, menjaga jarak, menggunakan masker) serta meminimalisir
kegiatan diluar rumah dengan menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
untuk menekan laju pertumbuhan kasus positif Covid-19 dan mengurangi resiko penyebaran
virus di Indonesia.

B. Perspektif konflik

Perspektif ini melihat masyarakat sebagai suatu ketidaksamaan sehingga menyebabkan


terjadinya konflik serta perubahan. Dalam permasalahan ini, penanggulangan pandemi
Covid-19 yang sedang diupayakan oleh pemerintah telah berkekuatan hukum sehingga
bersifat mengikat dan berlaku untuk seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Karena terdapat
unsur paksaan dalam pelaksanaannya, beberapa kebijakan ini menimbulkan konflik dan
polemik di masyarakat. Saya akan mengambil contoh kasus vaksinasi. Pada saat
dicanangkannya program vaksinasi untuk seluruh lapisan masyarakat, hal ini disikapi dengan
pro dan kontra yaitu sebagian besar bersedia mengikuti vaksinasi demi segera tercapainya
herd immunity dan pemulihan kestabilan ekonomi, juga sebagian yang menolak mengikuti
vaksinasi karena mempertanyakan keamanan dan efektifitas vaksin, serta terdapat
kekhawatiran di tengah masyarakat mengenai efek samping yang akan terjadi setelah vaksin
dilakukan. Konflik ini bisa terjadi karena adanya perbedaan nilai-nilai pribadi serta
berkembangnya teori konspirasi dan berita bohong yang mempengaruhi persepsi masyarakat
tentang vaksinasi tanpa mengindahkan fakta bahwa pemerataan kesehatan masyarakat lah
yang menjadi fokus utama negara saat ini.

C. Interaksionisme simbolik

Perspektif ini melihat masyarakat pada tingkat mikro yang berfokus pada bagaimana persepsi
individu yang kemudian membentuk suatu makna berdasarkan proses interaksi dengan
individu lain atau lingkungannya. Sebagai contoh yang berkaitan dengan kasus Covid-19,
berkembangnya teori konspirasi mengenai vaksinasi yang sempat menyebar luas di tengah
masyarakat kita, misalnya seperti kandungan dalam vaksin diragukan kehalalannya dan rasa
takut yang muncul karena ditemukan beberapa kasus dimana warga diberitakan meninggal
dunia setelah divaksin, yang menyebabkan timbulnya perilaku menolak keikutsertaan
vaksinasi. Hal ini tentu menarik perhatian para sosiolog untuk mengkaji bagaimana teori
konspirasi ini bisa mempengaruhi perspektif individu dan memahami cara individu merespon
informasi (dalam hal ini adalah teori konspirasi) yang belum dapat dipastikan kebenarannya
tapi sudah dianggap sebagai sebuah fakta atau hal yang benar oleh sebagian masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai