Anda di halaman 1dari 4

Dekonstruksi Kesadaran Gerak Sosial di Tengah Wabah

Arief Adi Purwoko, S.Fil., M.Sc.

Covid-19 Sebagai Diskursus Sistemik

Novel Coronavirus (2019-nCoV) tidak hanya menyisakan roman heroik para pahlawan medis yang
berjuang pada garda terdepan penahan laju pandemi, melainkan juga menyimpan nota potensi
bom waktu bagi peradaban manusia. Pada babak awal drama pandemi, gagasan atas kebijakan
"lockdown" menjadi wacana paling lekat di telinga masyarakat dan sebagian lebih kecil
membekas dalam kesadaran intelektual. Kebijakan tersebut pada dasarnya dimunculkan sebagai
bentuk upaya preventif atas fenomena menjamurnya penyebarluasan virus yang dewasa ini telah
mampu menjelma menjadi bencana bagi umat manusia di seluruh dunia.

Bencana tersebut berupa penyakit yang secara awam dipahami sebagai penyakit pernafasan
mematikan atau secara resmi oleh World Health Organization (WHO) disebut dengan corona
virus desease 2019 (Covid-19). Meskipun demikian, ide atas kebijakan tersebut tidak begitu saja
dengan mudah dapat diimplementasikan, menuai pro dan kontra disertai argumentasi
multiperspektif antar ahli. Alhasil hingga artikel ini selesai ditulis, kebijakan lebih diarahkan
kepada anjuran "social distancing" dengan kadar hukum lebih lunak.

Secara definitif, lockdown merupakan suatu bentuk kebijakan pemerintah tertentu yang berisikan
ajakan, anjuran, bahkan perintah politis bermuatan hukum mengikat warga negaranya, untuk
membatasi gerak individu dalam kegiatan interaksi sosial. Bahkan wujud kebijakan tersebut
secara lebih ketat berbentuk larangan kepada warga negara untuk keluar rumah. Tentu saja setiap
kebijakan memiliki resiko bersifat sistemik di lingkaran semestanya, bersifat struktural, dan
dinamik. Narasi kasuistiknya, bagaimana Covid-19 tidak hanya bergerak dan berdampak terbatas
pada bidang kesehatan, melainkan secara luas menjalari bidang-bidang kehidupan lebih
kompleks seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan.

Contoh konkret kebijakan dalam konteks praksis, Italia misalnya, pendekatan kebijakan diambil
hingga pada taraf unjuk kekuasaan: yakni negara melibatkan otoritas keamanan dan pertahanan
dalam pemahaman lebih represif untuk membatasi gerak sosial dalam masyarakat. Alasannya
jelas, virus telah menjalar dan memakan korban dalam jumlah besar di seluruh pelosok wilayah
kekuasaan. Kondisi tersebut memaksa pemerintah untuk tidak lagi menolerir segala bentuk
aktivitas penyebab perkembangan dan pembentukan ekosistem virus. Dalam pemahamanan
geopolitik, fenomena Covid-19 di Italia tidak lagi eksis sebagai entitas sektoral bidang kesehatan
saja, melainkan secara dinamis berkembang menjadi wacana mendesak dan berpengaruh
terhadap pandangan geostrategi negeri pizza tersebut.

Tidak dapat dipungkiri, pembatasan gerak sosial akan menyisakan ekses negatif bagi nilai
perekonomian di suatu wilayah, terutama pada tingkat ekonomi mikro, atau bahkan
mendekonstruksi ritus ideologis masyarakat. Dapat dibayangkan, dengan masifnya aktivitas
karantina diri maka asumsi pasar akan berangsur bergerak pada kurva negatif, permintaan pasar
jatuh bebas, terlebih bagi mereka yang bekerja di sektor informal akan menemui potensi gagal
produksi. Belum lagi dampak ongkos sosial yang semakin mahal ditandai dengan merebaknya
realitas imajiner seperti hoax, pseudosains, dan isu-isu sejenis. Bahkan dinamika realitas sosio-
ekonomi telah menunjukkan gejalanya, sebagaimana konsep "the invisible hand" Adam Smith
yang menggerakkan hasrat konsumsi masyarakat, terlihat pada kasus "panic buying" di beberapa
daerah di Indonesia setelah ditetapkannya Covid-19 dalam status siaga bencana.

Hingga pada narasi tersebut, Covid-19 kemudian dapat didikotomikan sesuai dengan sifat
kesemestaan wacananya, yakni sebagai eksisten entitas sekaligus universal. Pembahasan dalam
perspektif lebih unik, merujuk pada masalah yang berakar dari diri virus itu sendiri, termasuk di
dalamnya disparitas antara kecepatan penularan penyakit berbanding absensi vaksin pencegah
atau obat penyembuhnya, merupakan entitas wacana ilmu kedokteran, biologi molekular, atau
disiplin rumpunnya.

Di sisi lain, kecepatan penyebaran penyakit yang menimbulkan efek disparitas pada taraf lebih
tinggi, yakni kesenjangan aksesibilitas antara kemampuan negara dalam mengantisipasi potensi
korban, akibat ekonomi-sosial ditimbulkan, dan berbagai kompleksitas lain, telah menempatkan
Covid-19 dalam kerangka wacana universal. Urgensi tersebut seharusnya melibatkan
pembahasan multidisipliner sehingga diharapkan suatu visi kemanusiaan berupa simpulan
konstruktif bagi kemaslahatan umat.

Dekonstruksi Gerak Sosial

Rangkaian peristiwa di atas seharusnya dapat diletakkan sebagai gugus indikator sumber
pengetahuan empiris, dan untuk selanjutnya layak dirujuk dalam upaya pengelolaan
kebijaksanaan pemahaman. Tentu saja dengan tetap mempertimbangkan aspek aksiologis
kemanusiaan disertai dengan perhitungan skala prioritas matang. Hal tersebut dilakukan agar
pembahasan atas wacana kebijakan terhadap pandemi Covid-19 tidak melebar menjadi isu
destruktif.

Solusi yang dapat diajukan sebagai alternatif pemecahan terhadap masalah yang melibatkan
komponen geostrategis negara tersebut adalah dengan mendekonstruksi pemaknaan atas
kesadaran gerak sosial itu sendiri. Kebijakan lockdown akan sangat sulit diterima oleh masyarakat
oleh karena semata-mata pemaknaan terhadapnya secara peyoratif berubah menjadi
"keterpenjaraan" diri di dalam rumah yang diakibatkan oleh represi kekuasaan negara. Apabila
makna tersebut yang menguasai alam bawah sadar masyarakat, maka pemerintah atau pihak
pemangku kepentingan harus mampu menjelaskan istilah lockdown tersebut bersamaan dengan
adjektiva pembangun makna bersifat konstruktif.

Meminjam konsep filsafat analitik pascamodern yang dipopulerkan oleh Jacques Derrida (1930-
2004), "dekonstruksi" ditujukan kepada upaya pembongkaran terhadap kemapanan pemaknaan
simbol dan bahasa (analitik) yang melekati kesadaran manusia. Dekonstruksi istilah gerak sosial
dalam konteks bencana wabah justru membatasi gerak persinggungan fisik yang bermuara pada
jalinan sosial, bertentangan dengan pemaknaan yang selama ini melekati kesadaran masyarakat
umum, sebagaimana aktivitas jabat tangan, berpelukan atau aktivitas fisik lain.

Gerak sosial tersebut kemudian dapat diarahkan kepada aktivitas akal budi, melibatkan segenap
instrumen ruhiyah meliputi rasa, karsa, dan cipta, untuk memproduksi konsep gerak sosial baru.
Pelibatan terhadap aktivitas fisik dilakukan seminimal mungkin, dan semaksimal mungkin
aktivitas sosial memanfaatkan asas perwakilan (representatif), baik menggunakan instrumen
teknologi, maupun sistem representatif non instrumentalis yang dijalankan dengan konsep
tertentu. Adapun konsep dekonstruksi yang dimakaksud dapat diimplementasikan dalam
penjelasan-penjelasan di bawah ini.

Pertama, mengembalikan titah kebijakan sebagai sarana pemutus rantai pandemi: diperlukan
kesadaran dan ikhtiar kolektif untuk "tetap beraktivitas di dalam rumah", sebagai upaya karantina
mandiri sekaligus menjadi bentuk perlawanan bagi ekosistem coronavirus. Kebijakan tidak akan
menemui tujuannya apabila segelintir entitas masyarakat masih bersukarela menjadi agen
penyebar virus dengan cara terus bergerak di kerumunan tanpa alasan yang memadai. Upaya
lokalisasi terhadap gerak pertumbuhan virus akan menjadi lebih sulit untuk dijangkau karena
gejala infeksi pada organ tidak dapat dideteksi melalui pengamatan kasat mata, vis a vis tingginya
peluang penularan di kerumunan. Dalam aspek ini dibutuhkan kekuasaan negara yang mengikat,
sehingga kepatuhan kolektif dapat terjaga.

Kedua, dekonstruksi gerak sosial menjadi alternatif penanggulangan krisis. Tidak selamanya
posmodernisme menciptakan kerusakan tatanan masyarakat. Peradaban kontemporer
memungkinkan manusia untuk membentuk struktur sosial berjarak fisik. Secara lebih eksplisit,
gerak sosial dapat diatur dengan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Daerah yang minim
fasilitas dapat memaksimalkan unsur suprastruktur kemasyarakatan seperti pemangku adat atau
membentuk pamong sosial berjangka waktu tertentu untuk berperan menjadi jembatan
informasi dan komunikasi antar warga, tentu saja dengan kawalan pengawasan medis yang
memadai. Alternatif komunikasi sosial dapat dilakukan dengan banyak cara, selama asasnya
bersifat representatif, sehingga pembiayaan terhadap ongkos sosial, sebagaimana anggaran
kesehatan misalnya, dapat lebih terkontrol, efektif dan efisien.

Ketiga, dekonstruksi gerak ibadah sosial melalui Jaring Pengaman Sosial (JPS) mandiri. Jaring
tersebut merupakan suatu ikatan sabuk sosial yang menjamin kalangan masyarakat tertentu
untuk dapat mengonsumsi kebutuhan primer. JPS tersebut dapat mulai diaktivasi oleh masing-
masing individu dengan berbagai atribut sosialnya, seperti halnya warga negara atau umat
pemeluk agama, dengan mempercayakan sebagian hartanya kepada badan mandiri atau badan
yang dibentuk oleh pemerintah, sebagai bentuk "ibadah harta" untuk kepentingan khalayak.
Dalam kasus lebih eksplisit, Islam sebagai contoh, telah mengenal konsep "baitul mal", yakni
bagaimana suatu rumah besar terpadu mampu mendistribusikan harta untuk kesejahteraan
umat. Pada kondisi krisis ini, peran setiap warga negara sangat diharapkan untuk dapat
mengaktivasi JPS mandiri tersebut, mengingat setiap warga negara memiliki tingkat kemampuan
ekonomi berbeda. Singkat kata, dibutuhkan suatu jaminan atas distribusi dan kemampuan
konsumtif kebutuhan pokok bagi masyarakat yang tidak dapat melakukan aktivitas produksi
selama kebijakan lockdown dijalankan.
Keempat, fokus dan konsistensi pemerintah itu sendiri terhadap pemutusan jaring pandemi
Covid-19. Secara konsisten pemerintah menjalankan produk hukumnya, dan secara konsekuen
terdapat anggaran terpadu yang dialokasikan secara khusus untuk mendukung berjalannya
program hingga tujuannya tercapai. Untuk masalah anggaran belanja negara yang dikeluarkan
untuk operasional program, secara mutlak harus dapat diakses dan diawasi secara ketat oleh
masyarakat luas.

Skema tersebut tampak utopis bagi sebagian kalangan. Apa yang perlu digarisbawahi adalah
pandemi atau wabah apapun secara ilmiah selalu taat pada waktu, bersifat sementara, dan dapat
dijelaskan melalui skala nominal serta deskripsi grafik berupa tanda panah naik-turun. Hasil riil
membutuhkan upaya nyata. Semakin lama wabah tersebut melanda, semakin rusak tata
kehidupan masyarakat. Meminjam anekdot milenial: "kini saatnya melawan tanpa harus bergerak
di kerumunan".

Dekonstruksi atas kesadaran gerak, terutama gerak sosial menjadi sutradara sekaligus aktor
utama pada rangkaian drama wabah sosial, sesuai konteksnya. Novel Coronavirus, sebagaimana
awal penamaan sebelum perubahan menjadi simbol Covid-19, memang seperti halnya novel
sastra yang mampu mempengaruhi kehidupan bahkan peradaban manusia. Simpulan memadai
bagi artikel ini adalah lebih baik bergerak di rumah untuk kemaslahatan, dalam kesementaraan
waktu, daripada harus terus terjebak pada perdebatan tanpa pangkal. Satu hal yang dirindukan
oleh tatanan, yakni kehidupan normal kembali melalui rekonstruksi pascabencana tanpa
menunggu lebih lama.

Anda mungkin juga menyukai