Anda di halaman 1dari 9

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : BONAFENTURA IBO

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043660321

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4103/Filsafat Hukum Dan Etika Profesi

Kode/Nama UPBJJ : 50/SAMARINDA

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA

1 . Pertama, filsafat berperan mengkritisi model pembangunan ekonomi


neoliberal yang telah menciptakan bencana ekologis. *Menurut perkiraan
World Health Organization (WHO), setiap tahun sekitar 4,2 juta penduduk
dunia meninggal akibat polusi udara (Bdk. https://www.who.int/health-
topics/air-pollution#tab=tab_1). Perubahan iklim juga akan berdampak
pada penambahan angka kematian sebesar 250 ribu orang dalam periode
2030- 2050. Jika tidak ada langkah radikal dalam mengubah model
pembangunan, kerusakan ekosistem akan berakibat pada munculnya
pandemi ganas lain di masa depan. Di hadapan sistem pembangunan yang
eksploitatif dan destruktif terhadap ekologi, filsafat menampilkan
kodratnya sebagai sebuah sistem berpikir subversif. Artinya, filsafat adalah
sebuah metode berpikir kritis yang menentang setiap tatanan status quo.
Berhadapan dengan paradigma pembangunan neoliberal mainstream,
filsafat tampil sebagai sebuah kekuatan provokatif. Namun Zizek
berpandangan bahwa peran subversif sangat sulit dijalankan filsafat dalam
masyarakat Barat kontemporer. Alasannya, manusia modern tidak lagi
hidup dalam sebuah tatanan totaliter. Tapi, masyarakat liberal yang
mengajarkan: jadilah dirimu sendiri, beranilah mengungkapkan dirimu apa
adanya. Jadi perbudakan justru terjadi di tengah kondisi yang seolah-olah
bebas.
Eksploitasi adalah sebuah keniscayaan agar roda mesin kapitalisme terus
berputar. Tugas filsafat dalam kondisi seperti ini menurut Zizek ialah
membuka mata generasi muda terhadap bahaya nihilisme yang berbusana
kebebasan tanpa norma. Kita sedang hidup di masa krisis di mana identias
kita tidak lagi berpijak pada tradisi. Suatu masa saat tak ada struktur makna
dan tatanan nilai yang memampukan manusia untuk hidup melampaui
prinsip hedonisme kapitalis. Kedua, filsafat memberikan pertimbangan etis
atas kebijakan herd immunity untuk mengatasi pandemi covid-19. Herd
immunity atau kekebalan komunitas terbentuk setelah mayoritas sembuh
dari infeksi patogen. Caranya dengan vaksinasi atau membiarkan tubuh
terinfeksi penyakit.
Pada tahun 1918, misalnya, dunia mengalami pandemi flu atau dikenal
dengan flu Spanyol. Karena vaksin belum ditemukan, herd immunity
terbentuk lewat cara alami. Diperkirakan, sepertiga dari penduduk dunia
atau 500 juta penduduk terinfeksi virus influenza. 50 juta di antaranya
meninggal dunia karena kekebalan tubuh tidak cukup kuat ketika virus
dibiarkan masuk ke dalam tubuh manusia. Karena vaksin belum ditemukan,
sejumlah negara coba menerapkan herd immunity untuk mengatasi
pandemi covid-19. Pendekatan ini pertama kali dianjurkan Perdana Menteri
Inggris, Boris Johnson. Akan tetapi, pemerintah Inggris akhirnya mengubah
kebijakan itu, karena menurut perikiraan para ahli pendekatan herd
immunity bisa berakibat pada meningkatnya angka kematian di Inggris
karena covid-19 sampai angka 250 ribu orang (Bdk. Isabel Frey, 2020).
Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19, Doni Monardo,
pemerintah Indonesia pada awal munculnya pandemi menolak
memberlakukan lockdown dan pernah ingin menerapkan pendekatan herd
immunity Basis etis penerapan herd immunity antara lain prinsip
utilitarianisme. Utilitarianisme bertolak dari prinsip “the greatest happiness
of the greatest number” – “Kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar
orang”. Artinya, satu orang boleh saja dibunuh untuk kepentingan banyak
orang. Atau dalam konteks penerapan herd immunity untuk mengatasi
pandemic covid-19, beberapa orang boleh saja menjadi korban agar
sebagian besar populasi menjadi kebal terhadap virus korona. Akan tetapi,
pendekatan ini bertentangan dengan prinsip martabat manusia yang
memiliki nilai an sich dan tidak boleh diinstrumentalisasi untuk kepentingan
apa saja.
Kelemahan dasar prinsip utilitarianisme ialah bahwa ia bertentangan
dengan prinsip keadilan dan hak. *Karena kriteria utilitarianisme adalah
kebaikan mayoritas (the greatest number), hak dasar individu atau
kelompok minoritas boleh saja dihilangkan. Dengan demikian,
utilitarianisme menciptakan ketidakadilan terhadap yang kecil atau lemah.
Dalam kenyataan, pendekatan herd immunity guna mengatasi pandemi
virus korona diterapkan negara-negara yang dalam beberapa tahun
terakhir mengikuti kebijakan ekonomi neoliberal.
Neoliberalisme menggantikan kebijakan sosial (pendidikan, kesehatan,
perumahan) yang dibiayai negara dengan paradigma privatisasi dan
deregulasi pasar bebas. Neoliberalisme dibangun di atas iman akan
keadilan inheren pasar bebas yang dianggap sebagai rasionalitas pasar
yakni profit mendahului manusia. Dalam kaca mata neoliberalisme,
kebijakan herd immunity merupakan pendekatan yang paling efisien.
Karena, membebaskan negara dari tanggung jawab untuk membiayai
sistem kesehatan melawan pandemi. Dari perspektif neoliberalime,
kematian karena pandemi covid-19 tidak dilihat sebagai akibat kegagalan
kebijakan negara, tapi karena virus yang terlalu ganas.
Vaksinasi covid 19 yang akan dilakukan pada awal tahun 2021,
membawa kabar gembira bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Selain itu,
Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU
No. 6/2018) sebagai aturan turunan dari UUD NRI 1945, tidak ada pasal
yang mengatur dengan tegas mengenai pemberian vaksinasi itu bagian dari
kewajiban. UU ini hanya mengatur vaksin sebagai tindakan kesehatan
kekarantinaan, artinya tidak ada frasa yang tegas mengatakan bahwa
vaksin itu suatu kewajiban.
Mengacu pada apa yang dinyatakan dalam UUD NRI 1945, bahwa
pelayanan kesehatan merupakan hak. Dengan demikian dapat diartikan
pula bahwa vaksinasi bagian dari pelayanan kesehatan yang merupakan
hak bagi setiap orang untuk memperolehnya. Mengacu pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia bahwa kewajiban memiliki arti harus dilakukan; tidak
boleh tidak dilaksanakan (ditinggalkan). Sedangkan hak dapat diartikan
sebagai sesuatu yang patut atau layak diterima.
Dalam rangka menegakan supremasi konstitusi sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, segala jenis aturan tidak
boleh bertentangan dengan konstitusi, sehingga dapat terciptanya
pertama, tidak bertentangan dengan konstitusi; kedua, ada keserasian
aturan hukum yang berjenjang; dan ketiga, tidak melanggar hak
konstitusional warga negara.
Sebagai pijakan berfikir tertib perundang-undangan, perlu ditinjau
mengenai hierarki/tata urutan peraturan perundang-undangan. Mengenai
hal ini, di Indonesia tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-
undangan (UU Nomor 12 Tahun 2011), hierarki peraturan perundang-
undangan terbagi atas UUD NRI 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat; UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU);
Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi
Perdaprov; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kab/Kota).

2 . Filsafat tentu saja memiliki peran yang sangat penting dalam


mengelaborasi setiap persoalan krusial, termasuk soal pandemi covid 19.
Peran filsafat itu, meminjam ungkapan Slavoj Zizek, lebih sebagai
unruhestifter – ‘pencipta kegaduhan’. Peran ini sudah dihayati filsafat sejak
zaman Sokrates, yakni “Die Jugend zu verderben, sie zu entfremden von
der vorherrschenden ideologisch-politischen Ordnung, radikalen Zweifel zu
sa?en und sie dazu zu befa?higen, eigensta?ndig zu denken”
(“Mengguncang pikiran generasi muda, menjauhkan mereka dari tatanan
politik ideologi mainstream, menabur keraguan radikal, dan memampukan
mereka untuk berpikir mandiri.”) Peran penting Sebagai unruhestifter,
filsafat dapat menjalankan sekurang-kurangnya dua peran penting dalam
mengatasi pendemi covid-19. Pertama, filsafat berperan mengkritisi model
pembangunan ekonomi neoliberal yang telah menciptakan bencana
ekologis. *Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), setiap
tahun sekitar 4,2 juta penduduk dunia meninggal akibat polusi udara (Bdk.
https://www.who.int/health-topics/air-pollution#tab=tab_1). Perubahan
iklim juga akan berdampak pada penambahan angka kematian sebesar 250
ribu orang dalam periode 2030- 2050. Jika tidak ada langkah radikal dalam
mengubah model pembangunan, kerusakan ekosistem akan berakibat pada
munculnya pandemi ganas lain di masa depan. Di hadapan sistem
pembangunan yang eksploitatif dan destruktif terhadap ekologi, filsafat
menampilkan kodratnya sebagai sebuah sistem berpikir subversif. Artinya,
filsafat adalah sebuah metode berpikir kritis yang menentang setiap
tatanan status quo. Berhadapan dengan paradigma pembangunan
neoliberal mainstream, filsafat tampil sebagai sebuah kekuatan provokatif.
Namun Zizek berpandangan bahwa peran subversif sangat sulit dijalankan
filsafat dalam masyarakat Barat kontemporer. Alasannya, manusia modern
tidak lagi hidup dalam sebuah tatanan totaliter. Tapi, masyarakat liberal
yang mengajarkan: jadilah dirimu sendiri, beranilah mengungkapkan dirimu
apa adanya. Jadi perbudakan justru terjadi di tengah kondisi yang seolah-
olah bebas. Subjek dalam masyarakat modern, menurut Zizek, berada
dalam samudera pilihan-pilihan bebas. Ia dapat bepergian ke mana saja
dan mengonsumsi apa yang disukainya. Identitas personal dan
kecenderungan seksual dapat selalu direkonstruksi secara baru. Seorang
manajer atau pengusaha dapat mencoba pelbagai pekerjaan yang
diinginkannya. Namun, pilihan-pilihan bebas itu akhirnya berubah menjadi
keharusan untuk memilih dan bermuara pada jajahan atau perbudakan
Ueber-Ich (superego): Kita harus terus mengonsumsi, menemukan diri
secara baru, agar dapat mengikuti perkembangan supercepat masyarakat
kapitalis. Akibat dari perbudakan Ueber-Ich, manusia modern terperangkap
dalam budaya konsumtif dan hedonis. Guna memenuhi naluri hedonisme
konsumtif masyarakat kapitalis, sistem ekonomi neoliberal melebarkan
sayapnya ke negara-negara dunia ketiga yang memberi upah rendah
kepada buruh dan mempekerjakan anak di pabrik-pabrik. Eksploitasi adalah
sebuah keniscayaan agar roda mesin kapitalisme terus berputar. Tugas
filsafat dalam kondisi seperti ini menurut Zizek ialah membuka mata
generasi muda terhadap bahaya nihilisme yang berbusana kebebasan
tanpa norma. Kita sedang hidup di masa krisis di mana identias kita tidak
lagi berpijak pada tradisi. Suatu masa saat tak ada struktur makna dan
tatanan nilai yang memampukan manusia untuk hidup melampaui prinsip
hedonisme kapitalis. Kedua, filsafat memberikan pertimbangan etis atas
kebijakan herd immunity untuk mengatasi pandemi covid-19. Herd
immunity atau kekebalan komunitas terbentuk setelah mayoritas sembuh
dari infeksi patogen. Caranya dengan vaksinasi atau membiarkan tubuh
terinfeksi penyakit. Pada tahun 1918, misalnya, dunia mengalami pandemi
flu atau dikenal dengan flu Spanyol. Karena vaksin belum ditemukan, herd
immunity terbentuk lewat cara alami. Diperkirakan, sepertiga dari
penduduk dunia atau 500 juta penduduk terinfeksi virus influenza. 50 juta
di antaranya meninggal dunia karena kekebalan tubuh tidak cukup kuat
ketika virus dibiarkan masuk ke dalam tubuh manusia. Karena vaksin belum
ditemukan, sejumlah negara coba menerapkan herd immunity untuk
mengatasi pandemi covid-19. Pendekatan ini pertama kali dianjurkan
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson. Akan tetapi, pemerintah Inggris
akhirnya mengubah kebijakan itu, karena menurut perikiraan para ahli
pendekatan herd immunity bisa berakibat pada meningkatnya angka
kematian di Inggris karena covid-19 sampai angka 250 ribu orang (Bdk.
Isabel Frey, 2020). Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) dan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19,
Doni Monardo, pemerintah Indonesia pada awal munculnya pandemi
menolak memberlakukan lockdown dan pernah ingin menerapkan
pendekatan herd immunity (Bdk.
https://health.grid.id/read/352073064/indonesia-hindarilockdown-
apakah-herd-immunityakan- jadi-skenario?page=all). *Basis etis penerapan
herd immunity antara lain prinsip utilitarianisme. Utilitarianisme bertolak
dari prinsip “the greatest happiness of the greatest number” –
“Kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar orang”. Artinya, satu orang
boleh saja dibunuh untuk kepentingan banyak orang. Atau dalam konteks
penerapan herd immunity untuk mengatasi pandemic covid-19, beberapa
orang boleh saja menjadi korban agar sebagian besar populasi menjadi
kebal terhadap virus korona. Akan tetapi, pendekatan ini bertentangan
dengan prinsip martabat manusia yang memiliki nilai an sich dan tidak
boleh diinstrumentalisasi untuk kepentingan apa saja. Kelemahan dasar
prinsip utilitarianisme ialah bahwa ia bertentangan dengan prinsip keadilan
dan hak. *Karena kriteria utilitarianisme adalah kebaikan mayoritas (the
greatest number), hak dasar individu atau kelompok minoritas boleh saja
dihilangkan. Dengan demikian, utilitarianisme menciptakan ketidakadilan
terhadap yang kecil atau lemah. Dalam kenyataan, pendekatan herd
immunity guna mengatasi pandemi virus korona diterapkan negara-negara
yang dalam beberapa tahun terakhir mengikuti kebijakan ekonomi
neoliberal. Neoliberalisme menggantikan kebijakan sosial (pendidikan,
kesehatan, perumahan) yang dibiayai negara dengan paradigma privatisasi
dan deregulasi pasar bebas. Neoliberalisme dibangun di atas iman akan
keadilan inheren pasar bebas yang dianggap sebagai rasionalitas pasar
yakni profit mendahului manusia. Dalam kaca mata neoliberalisme,
kebijakan herd immunity merupakan pendekatan yang paling efisien.
Karena, membebaskan negara dari tanggung jawab untuk membiayai
sistem kesehatan melawan pandemi. Dari perspektif neoliberalime,
kematian karena pandemi covid-19 tidak dilihat sebagai akibat kegagalan
kebijakan negara, tapi karena virus yang terlalu ganas.

3 . Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa


mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih
utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah
menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat
lainnya, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan
kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksinasi adalah pemberian Vaksin yang khusus diberikan dalam
rangka menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan
penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan dan
tidak menjadi sumber penularan.
Dalam Pasal 14 Permenkes 10/2021 memang diatur bahwa setiap
orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin COVID-19
berdasarkan pendataan wajib mengikuti vaksinasi COVID-19 sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, berdasarkan
penelusuran kami, tidak diatur lebih lanjut konsekuensi hukumnya apabila
kewajiban tersebut tidak ditaati.
Selain itu, ada juga aturan kewajiban vaksinasi bagi pihak yang akan
melakukan perjalanan internasional dari dan ke negara terjangkit dan/atau
endemis penyakit menular tertentu dan/atau atas permintaan negara
tujuan.
Konsekuensi bagi orang yang menolak divaksinasi untuk perjalanan
internasional tertentu, orang itu tidak memperoleh Sertifikat Vaksinasi
Internasional, yang diperlukan untuk perjalanan internasional tertentu,
dilengkapi dengan nomor seri yang bersifat nasional, kodefikasi tertentu,
lambang WHO, lambang garuda, berbahasa Inggris dan Perancis, serta
memiliki security printing.
Adapun jenis vaksinasi yang diwajibkan dalam rangka perjalanan
internasional dari dan ke negara terjangkit dan/atau endemis penyakit
menular tertentu ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Konsekuensi lainnya yang diterima, yaitu:


 Orang yang datang dari negara terjangkit dan/atau endemis
penyakit menular tertentu tidak dapat menunjukkan Sertifikat
Vaksinasi Internasional atau yang ditunjukkan tidak valid, dilakukan
tindakan kekarantinaan kesehatan.
 Orang yang berangkat dari negara terjangkit dan/atau endemis
penyakit menular tertentu tidak dapat menunjukkan Sertifikat
Vaksinasi Internasional atau yang ditunjukkan tidak valid, harus
divaksinasi dan/atau profilaksis, penundaan keberangkatan, dan
penerbitan Sertifikat Vaksinasi Internasional.

Selain itu, bagi orang/sekelompok orang yang menghalang-halangi


penyelenggaraan imunisasi dapat dikenakan sanksi yang merujuk pada
Pasal 14 ayat (1) UU 4/1984 yaitu:

Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan


penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini,
diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun
dan/atau denda setinggi-tingginya Rp1.000.000,- (satu juta rupiah).

WHO sebagai organisasi kesehatan dunia sangat menyarankan bagi


penduduk di semua negara untuk melakukan vaksinasi. Hal ini dimaksudkan
sebagai cara penanggulangan wabah yang utama dan paling efektif.

Sedangkan bagi sebagian orang yang menolak vaksinasi, WHO tidak


menyarankan untuk memaksakan atau mewajibkan vaksinasi. Organisasi
kesehatan dunia tersebut menjelaskan bahwa sebaiknya negara-negara di
dunia mengambil jalan persuasi dan pendekatan yang sifatnya merangkul.

Disarikan dari Policy Brief WHO (hal. 4) WHO lebih menekankan agar
pemerintah di seluruh dunia terlebih dahulu menggunakan diskusi dan
argumen untuk mendorong vaksinasi yang bersifat sukarela sebelum
mengatur tentang kewajiban vaksinasi. Pendekatan semacam ini
diharapkan dapat menjelaskan manfaat dari vaksin dan bahaya bila tidak
mendapatkan vaksinasi.
Regulasi dan sanksi adalah jalan terakhir bila cara-cara yang
direkomendasikan tadi terbukti tidak berhasil. Tentunya dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dan etik dari penerapan
hukum yang lebih berat.

Anda mungkin juga menyukai