Anda di halaman 1dari 15

RESUME WEBINAR ILMU NEGARA

FH UMS

NAMA : GILBRAN JOTA P.W


NIM : C100200063
KELAS :A
 Penyaji pertama prof.Dr.Aidul fitriada Azhari,S.H.,M.H.
“refleksi tujuan negara Indonesia dalam era pandemic covid-19”

Manusia saat ini tengah menghadapi suatu krisis global yang mungkin menjadi salah satu krisis
terbesar dalam kehidupan manusia. Kondisi ini menuntut setiap elemen masyarakat, pemerintah, dan
elit politik untuk bersinergi dalam mengatasi kompleksitas implikasi yang ditimbulkan dari mulai
kesehatan, ekonomi, sosial politik, sampai budaya. Per tanggal 17 Juni 2020, tercatat 41.431 kasus
positif di Indonesia. Pandemi ini menghantam perekonomian Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi
tahun ini yang diperkirakan stagnan atau 0% menurut World Bank.

Persebaran pandemi Covid-19 yang semakin meluas menyebabkan krisis kesehatan nasional
bahkan global. Pemerintah Indonesia telah menyatakan status kedaruratan kesehatan pada tanggal 31
Maret 2020 melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Covid-19. Akan tetapi krisis kedaruratan semacam ini tidak bisa dipandang
sederhana. Karena situasi kedaruratan (state of emergency) memberikan kekuasaan luar biasa kepada
negara yang tidak dimiliki ketika situasi normal, hal ini lazim disebut sebagai Emergency Power.

Kekuasaan tersebut dikhawatirkan akan menjadi dalih untuk membungkam kritik, melanggar
hak privasi, mengesampingkan transparansi, melemahkan mekanisme checks and balances, atau
menyusupkan kepentingan-kepentingan politis. Apa yang terjadi di berbagai belahan dunia telah
menguatkan kekhawatiran tersebut.

Berangkat dari keresahan itu, sudah semestinya kita mulai merefleksikan kebijakan Pemerintah
Indonesia sejauh ini dalam menangani krisis darurat kesehatan Covid-19. Jangan sampai kekuasaan
eksklusif yang dimiliki pemerintah melalui Emergency Power tidak ditujukan untuk mengembalikan
situasi ke kondisi normal, melainkan menjadi alat “represif” untuk memuluskan kepentingan politis yang
tentu saja akan mencederai prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa pelaksanaan emergency power akan mengesampingkan konstitusi demi efektifitas
penyelesaian kondisi darurat, akan tetapi perlu ada restriksi agar kekuasaan yang dimiliki pemerintah
tidak digunakan sebebas-bebasnya.
State of Emergency

State of Emergency (keadaan darurat) merupakan situasi yang mendapat pengecualian karena
keadaannya tidak dapat dikendalikan oleh norma-norma hukum, maka pada keadaan ini penguasa
diberikan wewenang untuk melakukan apapun guna memastikan keselamatan publik dalam keadaan
darurat. Sebab regulasi atau norma yang konstitusional tidak akan efektif untuk menyelesaikan keadaan
tersebut.

Anasir keadaan darurat dapat kita temukan pada Pasal 12 dan Pasal 22 Undang-Undang Dasar
1945 dengan penggunaan yang berbeda. Pada Pasal 12, Presiden diberikan kewenangan untuk
menyatakan keadaan bahaya, sedangkan Pasal 22 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan
Peaturan pemerintah Pengganti Undang-Undang, dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Terdapat dua kategori keadaan darurat di dalam konstitusi, yaitu keadaan bahaya dan hal ikhwal
kegentingan yang memaksa. Perbedaan dua konsep tersebut terletak pada faktor yang menyebabkan
timbulnya keadaan darurat.

Dalam konsep keadaan bahaya, faktor munculnya ancaman berasal dari luar (eksternal),
berbeda halnya dengan hal ikhwal kegentingan yang memaksa dimana berasal dari faktor internal.
Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat tiga unsur penting yang membentuk pengertian keadaan darurat
bagi negara yang memunculkan adanya kegentingan yang memaksa, yaitu unsur adanya ancaman yang
membahayakan; unsur adanya kebutuhan yang mengharuskan; dan unsur adanya keterbatasan waktu
yang tersedia.

Di dalam undang-undang dikenal beberapa kategori keadaan darurat, diantaranya kedaruratan


kesehatan masyarakat yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan; kedaruratan sipil yang diatur oleh Peaturan pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1959; dan kedaruratan bencana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020, dimana Presiden telah


mendeklarasikan bahwa kondisi darurat yang sedang dialami saat ini dikategorikan sebagai darurat
kesehatan masyarakat. Maka acuan undang-undang yang digunakan ialah Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa kedaruratan kesehatan masyarakat
merupakan kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran
penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi,
kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi
menyebar lintas wilayah atau lintas negara.

Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 15 ayat (1), bahwa karantina kesehatan merupakan respon
terhadap kedaruratan kesehatan masyarakat. Pada konsep kedaruratan ini pemerintah diberikan
tangung jawab dalam melindungi kesehatan masyarakat dari faktor resiko kesehatan masyarakat dan
penyakit yang sedang mewabah (pasal 4).
Masalahnya, ketika pemerintah diberikan kekuasaan yang besar untuk mengeluarkan berbagai
kebijakan dengan dalih melindungi kesehatan masyarakat, dikhawatirkan akan terjadi pelanggaran hak
asasi manusia yang tidak dapat ditolerir. Mengingat dalam pandangan hukum internasional, limitasi hak
asasi manusia tidak diperbolehkan, kecuali mekanisme limitasi atasnya telah dilegitimasi oleh hukum
nasional secara jelas dan berlaku umum, dengan mengacu kepada konvensi internasional terkait. Bagi
negara yang terpaksa harus menyimpangi kewajibannya untuk tunduk kepada konvensi internasional,
wajib mengumumkan secara resmi tentang keberadaan ancaman terhadap kehidupan bangsanya.

Agar gambaran mengenai kekhawatiran ini semakin jelas, patutlah kita belajar dari apa yang
telah terjadi di beberapa negara dalam menghadapi krisis global ini.

Pada krisis saat ini, kita menghadapi dua pilihan penting. Pertama adalah pilihan antara
pengawasan totalitarian dan penguatan warga negara. Kedua adalah pilihan antara isolasi nasionalis dan
solidaritas global. Penanggulangan krisis oleh negara dihadapkan pada dilema yang mengarah pada
pengawasan yang cenderung totaliter terhadap setiap warga negara.

Menurut KBBI, totaliter merupakan kondisi dimana pemerintahan menindas hak pribadi dan
mengawasi segala aspek kehidupan warganya. Dengan kondisi state of emergency yang memberikan
kewenangan lebih kepada pemerintah, kerap kali hal ini dijadikan momentum untuk membenarkan
sikap pemerintah yang totaliter sebagai kilah agar sesegera mungkin menuntaskan keadaan darurat
untuk dapat kembali ke keadaan normal.

Kondisi sosial politik di Hungaria salah satunya, dimana Perdana Menteri Victor Orban
memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk “melanggengkan kekuasaannya”. Bermula ketika
disahkannya anti-coronavirus defense law yang memberikan kekuasaan kepada cabang eksekutif untuk
dapat berkuasa melalui dekrit secara penuh tanpa adanya mekanisme checks and balances. Selain itu,
kekuasaan yang dimiliki Orban akan terus berlangsung hingga pemerintah memutuskan berakhirnya
keadaan darurat. Hal ini sangat berpotensi untuk disalahgunakan karena kebebasan yang dimiliki
pemerintah untuk menentukan kapan berakhirnya keadaan darurat yang terjadi. Ancaman hukuman
terhadap pers yang menyebarluaskan berita mengenai Covid-19 juga dikhawatirkan akan mengekang
kebebasan berpendapat, terutama ketika hendak mengkritisi kebijakan pemerintah.

Kekuasaan yang totalier ternyata juga dirasakan oleh masyarakat Israel, lantaran kebijakan
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu yang memerintahkan agen keamanan internal untuk
meretas data ponsel seluruh warganya dengan dalih dapat melacak pergerakan warga yang melanggar
perintah isolasi, dan bagi mereka yang menentang akan diancam hukuman penjara hingga enam bulan.
Di samping itu, Netanyahu juga menutup pengadilan nasional yang disinyalir berimbas kepada
penundaan proses hukum Netanyahu terkait kejahatan tindak pidana korupsi.

Sebetulnya, untuk memandang persoalan ini agar semakin terang, perlu dilacak dari syarat-
syarat apa saja yang mesti dipenuhi dalam pelaksanaan emergency power, sehingga kedikatatoran yang
ada dapat dibenarkan (constitutional dictatorship). Mengutip pendapat Clinton Rossiter, Constitutional
dictatorship dapat diartikan sebagai suatu sistem pemerintahan yang memiliki tendensi kediktatoran
karena adanya ruang yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memutuskan, maupun
membuat kebijakan yang mengikat tanpa bertentangan dengan segala ketentuan hukum. Syarat-syarat
yang diperlukan agar kediktatoran tersebut dapat dibenarkan, di antaranya syarat-syarat untuk
mendeklarasikan keadaan darurat, tempo atau batas waktu keadaaan darurat, institusi
negara/pemerintah yang berwenang untuk bertindak dalam keadaaan darurat, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, Constitutional dictatorship menjadi tidak bisa dibenarkan apabila produk-produk
hukum yang dihasilkan malah membangun kekuasaan otoriter dan tidak terdapat check and balances
untuk melindungi masyarakat. Salah satu mekanisme check and balances yakni dengan adanya tanggung
jawab secara hukum bagi pemerintah yang menyalahgunakan wewenangnya. Mirisnya ternyata hal ini
telah dicederai secara tersirat dalam beberapa regulasi yang diperuntukan guna menyikapi Covid-19,
seperti pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan Pasal 27 Perppu Nomor 1
tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Pemerintah Kebal Hukum?

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa saat ini Indonesia sedang menerapkan
keadaan darurat kesehatan. Penetapan keadaan darurat kesehatan, diiringi dengan dikeluarkannya
Keputusan Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 mengacu pada Pasal 10 ayat (1) UU Kekarantinaan
Kesehatan. Akan tetapi pada pasal 10 ayat (4) Undang-Undang a quo, menyebutkan ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penetapan dan pencabutan kedaruratan kesehatan masyarakat diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Nyatanya sampai hari ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur hal
tersebut. Padahal seyogyanya, Peraturan Pemerintah yang dimaksud harus sudah ada sebelum
pemerintah bisa menetapkan/mengumumkan kedaruratan kesehatan masyarakat sebagaimana
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020.

Di sisi lain, pengaturan mengenai tata cara penetapan dan pencabutan kedaruratan kesehatan
oleh Peraturan Pemerintah, telah memberikan kekuasaan kepada cabang eksekutif untuk leluasa
menetapkan standar tata cara yang dibutuhkan serta memberikan keleluasaan untuk menentukan
kapan situasi kedaruratan berakhir. Padahal salah satu unsur atau syarat terpenting dalam menetapkan
keadaan darurat adalah keterbatasan waktu (red: Jimly).

Selain itu, ada norma hukum yang memberikan legitimasi untuk dapat menyimpangi hukum dan
tindakan hukum pemerintah tidak bisa di uji oleh pengadilan, yaitu Pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa pengadilan tidak berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan dalam waktu perang, keadaaan bahaya, keadaaan bencana alam,
atau keadaaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; serta dalam keadaaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Hal serupa dapat dijumpai pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Pasal 27 Perppu a quo
menyebutkan bahwa Pejabat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), hingga pejabat lainnya
tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata sepanjang melaksanakan tugas dengan itikad baik
dan sesuai dengan ketentuan. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu a
quo juga tidak dapat dijadikan objek gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Beberapa aturan yang disebutkan di atas sesungguhnya mengindikasikan pemerintahan yang


tidak demokratis. Memang, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, keadaan darurat
menghendaki degradasi nilai-nilai demokrasi dalam pemerintahan. Akan tetapi, dikhawatirkan
kekebalan pemerintah terhadap hukum merupakan suatu hal yang berlebihan. Dikhawatirkan keadaan
darurat ini malah menjadi kesempatan bagi penguasa untuk memperjuangkan kepentingan politiknya,
alih-alih mengembalikan keadaan ke situasi normal.

Peran Parlemen di Tengah Pandemi dan Perlindungan Warga Negara

Peran lembaga legislatif menjadi sangat penting pada kondisi saat ini. Mengingat fungsi vital
yang dimiliki olehnya. Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki tiga fungsi, yakni fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dari
fungsi legislasi, DPR dapat berperan untuk membentuk produk undang-undang yang dapat mendukung
penanggulangan krisis kesehatan yang terjadi. Begitu pula dengan fungsi anggaran, dimana DPR memiliki
fungsi untuk mendistribusikan anggaran sesuai dengan skala prioritas. Dalam hal ini DPR dapat
mendukung budgeting bagi pemerintah dalam upaya menyelsaikan masalah di tengah pandemi.

Dari ketiga fungsi yang dimiliki, fungsi terakhir, yaitu pengawasan menjadi sangat dibutuhkan
dalam kondisi seperti ini. Salah satu fungsi pengawasan yang dapat dijalankan oleh DPR yakni, mengkaji
bagaimana kualitas kebijakan yang telah dikeluarkan, serta apakah kebijakan yang dikeluarkan sebagai
upaya penanganan Covid-19 telah benar-benar terlaksana di lapangan? Atau ternyata kebijakan-
kebijakan tersebut belum mampu untuk dapat melindungi rakyat? Hal ini dapat dilakukan oleh DPR
untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagai bentuk turut serta DPR dalam menyikapi Covid-19.

Pengawasan yang tidak kalah penting yakni pengawasan terhadap lembaga eksekutif, hal ini
menjadi penting sebab dengan keadaan darurat yang terjadi, cabang eksekutif diberikan kewenangan
yang besar. Sehingga dikhawatirkan kekuasaan yang besar tersebut akan berpeluang untuk
disalahgunakan. Oleh karenanya, diharapkan DPR dapat mengawal kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah.

Namun mirisnya, alih-alih memfokuskan untuk membentuk produk legislasi terkait Covid-19 dan
melakukan pengawasan kepada pemerintah, DPR justru membahas berbagai Rancangan Undang-
Undang (RUU) yang tidak relevan dengan kepentingan masyarakat saat ini. RUU tersebut diantaranya
adalah RUU Cipta Kerja atau yang lebih kerap disebut sebagai “Omnibus Law”, RUU KUHP, hingga RUU
Pemasyarakatan yang justru menuai kontroversi di masyarakat.

Padahal, seharusnya ketika keadaan state of emergency, parlemen dapat memberikan


pengawasan yang besar kepada pemerintah, agar dalam penanganan pandemi dapat tepat sasaran dan
meminimalisir kesewenang-wenangan. Karena ketika pemerintah fokus dalam menangani pandemi
maka perlindungan warga negara dari ancaman Covid-19 dapat maksimal.

Apalagi kesehatan merupakan hak dasar yang perlu dilindungi oleh pemerintah, hal ini dijamin
dalam konstitusi. Akan tetapi sepertinya perlindungan terhadap seluruh warga negara belum dilakukan
pemerintah secara maksimal, keadaan ini direfleksikan salah satunya kepada warga negara yang
menjabat sebagai tenaga kesehatan.

Saat ini tenaga kesehatan memiliki tugas yang sangat penting dalam kedaruratan kesehatan,
sehingga mereka ditempatkan sebagai garda depan. Meskipun begitu, seharusnya perlindungan
terhadap tenaga kesehatan tetap terjamin, namun sayangnya belum ada instrumen hukum secara
khusus yang menjamin keselamatan tenaga kesehatan dalam keadaan Covid-19, sebab dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan perlindungan terhadap tenaga kesehatan
hanya terdapat dalam Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 13.

Pasal 26 ayat (2) berbunyi “Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau kepala daerah yang membawahi fasilitas pelayanan kesehatan harus
mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan lokasi, serta keamanan dan
keselamatan kerja tenaga kesehatan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”

Pasal 13 berbunyi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhi kebutuhan Tenaga
Kesehatan, baik dalam jumlah, jenis, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin
keberlangsungan pembangunan kesehatan.”

Akan tetapi hal tersebut dirasa belum cukup untuk menjamin perlindungan tenaga kesehatan.
Perlu adanya regulasi khusus yang memposisikan perencanaan kesehatan pada masa pandemi Covid-19
agar adanya kepastian hukum yang menjamin perlindungan terhadap tenaga kesehatan maupun pasien,
seperti pengaturan jam kerja bagi tenaga medis dan tindakan apa saja yang perlu ditempuh pasien
positif Covid-19 dalam menjalani perawatan di Rumah Sakit. Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, perencanaan tenaga kesehatan diatur dengan Peraturan
Pemerintah sebagai peraturan pelaksana, tetapi hingga saat ini belum ada peraturan pelaksana yang
mengatur hal-hal yang telah disebutkan diatas.

Perlindungan bagi rakyat juga perlu diperhatikan dalam kebijakan new normal sebagai kebijakan
baru yang digalakan pemerintah dalam menyikapi Covid-19. Setelah sebelumnya pemerintah mengikutin
perintah WHO untuk menerapkan physical distancing dan isolasi diri sebagai bentuk perlindungan dari
Covid-19, kini pemerintah memperbarui kebijakannya dengan istilah new normal. Kebijakan ini
dimaksudkan untuk melonggarkan ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Pelonggaran tersebut meliputi pembukaan rumah ibadah, kantor, restoran, mall, dan beberapa
sarana umum lainnya. Namun pemerintah menekankan bahwa segala kegiatan di tempat umum harus
tetap memerhatikan protokol kesehatan, seperti penerapan physical distancing pada masa PSBB. Hal
yang menjadi janggal yakni tidak adanya landasan hukum bagi pemberlakuan kebijakan new normal,
sehingga dikhawatirkan pelonggaran kebijakan ini malah menjadi bumerang bagi masyarakat.

Jika memang kebijakan ini menjadi jalan tengah yang dipilih bagi pemerintah untuk memulihkan
roda ekonomi, perlindungan bagi rakyat tetap perlu diutamakan. Salah satu bentuk perlindungan yakni
dengan adanya instrumen hukum yang diterbitkan sebagai jaminan perlindungan bagi rakyat. Hal-hal
seperti inilah yang seharusnya dijadikan konsen bagi DPR untuk menjalani fungsinya sebagaimana yang
telah disebutkan di atas. Meskipun begitu, kesadaran setiap orang untuk memutus penyebaran Covid-19
merupakan hal yang tidak kalah penting untuk ditekankan kepada seluruh rakyat. Edukasi terkait Covid-
19 perlu disuarakan kepada seluruh kalangan masyarakat, agar tertanam kesadaran untuk memutus
penyebaran Covid-19. Kerjasama yang seimbang antara rakyat dan pemerintah sangat diperlukan dalam
kondisi seperti ini, karena pemerintah tidak akan mampu mencapai titik optimal tanpa ada peran serta
dari masyarakat.

Situasi kedaruratan di suatu negara adalah suatu keniscayaan. Tidak ada satupun orang yang
mampu memprediksi secara tepat kondisi kedaruratan yang akan menimpanya, begitu juga pemerintah.
Oleh karena itu, wajar apabila hukum sebagai aturan yang menjadi pagar dalam kehidupan bernegara
tidak selalu bisa mengatasi masalah apalagi krisis yang besar. Terkadang perlu untuk mengesampingkan
norma-norma hukum demi tujuan yang lebih besar, yaitu keselamatan negara dan rakyatnya.

Konsep semacam itu sudah dikenal luas oleh para pakar hukum dengan istilah emergency power.
Akan tetapi, kebebasan untuk mengesampingkan hukum yang berlaku bukan berarti menjustifikasi
kebebasan yang membabi buta, bahkan sampai keluar dari tujuan emergency power itu sendiri. Justru
harus ada restriksi agar kebebasan semacam itu tetap dapat terkendali sebagaimana yang telah
diuraikan terdahulu.

Keresahan penulis berangkat dari berbagai fenomena yang telah dan sedang berlangsung di
beberapa negara belakangan ini. Dimulai dari apa yang terjadi di Hungaria sampai Israel. Kekhawatiran
serupa juga mengemuka ketika melihat fenomena yang terjadi di Indonesia. Jangan sampai krisis besar
yang melanda umat manusia saat ini menjadi malapetaka yang jauh lebih besar dimana dalam
penyelenggaraan negara, pemerintah menggunakan cara-cara yang cenderung totaliter. Dengan begitu
diharapkan penerapan emergency power tersebut dapat menjadi proteksi bagi warga negara di masa
pandemi ini. Tentunya dalam langkah proteksi tersebut dilakukan oleh pemerintah dan parlemen yang
berada pada suatu negara.

Mengingat pengaturan mengenai keadaan darurat sangat minim dijumpai di UUD 1945,
diharapkan kedepannya konstitusi dan segenap peraturan perundang-undangan, dapat memuat
pengaturan yang lebih mencukupi, khususnya syarat-syarat penetapan keadaan darurat dan
menentukan faktor-faktor apa saja yang dilarang untuk dilakukan sekalipun dalam keadaan darurat,
guna menjamin hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi. Peran DPR dalam fungsi pengawasan
juga perlu dimaksimalkan, karena DPR menjadi lembaga yang memungkinkan untuk menyuarakan
aspirasi rakyat dan membela hak-hak rakyat apabila terancam oleh kebijakan pemerintah.

Dengan itu, semoga situasi kedaruratan ini dapat segera berlalu dan negara dapat menjadi
pelindung bagi keselamatan warga negaranya, bukan malah sebaliknya, mengancam keselamatan warga
negaranya. Sebagaimana yang pernah dikatakan filsuf berkebangsaan Italia, Marcus Tulius Cicero: “salus
populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara).

 Penyaji kedua Dr.Jaka Susila, S.H.,M.Si.

“ klasifikasi negara negara di dunia berdasarkan tujuannya”

Masalah tujuan negara merupakan suatu hal yang amat penting bagi suatu negara. berdasar
tujuan negara ini, maka akan ditetapkan apa sebenarnya tugas dari organisasi negara (fungsi negara)
yang berkaitan erat dengan lembaga lembaga pendukungnya. Demikian pentingnya tujuan suatu negara,
sehingga beberapa negara mencantumkan tujuan negaranya dalam konstitusi negaranya. Indonesia
termasuk negara yang mencantumkan masalah tujuan negara dalam pembukaan undang-undang dasar
1945 yang merupakan undang- undang dasar negara republik Indonesia. setiap negara tentu
mempunyai tujuan yang berbeda- beda, sesuai dengan latar belakang sejarah, budaya dan pandangan
hidup dari masing-masing negara. Hal ini menimbulkan pula perbedaan dalam menentukan cara
mencapai tujuan negaranya, termasuk cara menentukan sistem hukumnya.

Dalam teori i1mu negara kita mengenal beberapa teori tentang tujuan negara. Pertama, teori
yang dikaitkan dengan tujuan akhir manusia yaitu kebahagiaan hidup di akhirat, sehingga
mempengaruhi pula dalam melaksanakan kehidupan di dunia. Teori ini bersifat teokratis, dimana
kegiatan kenegaraan juga dipengaruhi oleh nilai-nilai keagamaan. Kedua, teori yang bertujuan untuk
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan sehingga menimbulkan negara kekuasaan (machtstaat).
Ketiga, teori yang bertujuan untuk mencari kemakmuran, yaitu teori kemakmuran negara, teori
kemakmuran individu dan teori kemakmuran rakyat. Teori tujuan kemakmuran ini, menimbulkan
beberapa teori tentang tipe negara hukum, yaitu tipe negara hukum liberal, tipe negara hukum formal
dan tipe negara hukum material. Pada dasarnya timbulnya teori tipe negara hukum ini khususnya di
negara-negara eropa kontinental, merupakan suatu reaksi atau penolakan atas adanya kekuasaan yang
otoriter dalam negara, yang disebabkan oleh adanya tujuan mencari kekuasaan dan tujuan mencari
kemakmuran negara/penguasa. Oleh karena itu, dalam tipe negara hukum ditentukan syarat-syarat
tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh penguasa sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa
dalam negara. Dedangkan latar belakang timbulnya negara hukum di negara-negara anglo saxon, adalah
mengutamakan perlindungan hak asasi manusia, sebagai wujud perlindungan hak dan kebebasan
individu.

Tujuan negara republik Indonesia tercantum dalam alinea 4 pembukaan undang-undang dasar
1945. Sedangkan rumusan tentang negara hukum Indonesiaa dapat kita jumpai pada penjelasan
undang-undang dasar 1945 (sebelum amandemen) dan pasal 1 ayat 3 batang tubuh undang-undang
dasar 1945 (hasil amandemen). Apakah negara hukum Indonesia menunjang pelaksanaan tujuan negara
republik Indonesia

II. Teori Tujuan Negara Dalam teori ilmu negara.

masalah tujuan negara dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut peninjauan, yaitu:

A. Tujuan negara berkaitan dengan tujuan akhir manusia

B. Tujuan kekuasaan

C. Tujuan kemakmuran.

A. Tujuan Negara Berkaitan dengan Tujuan Akhir Manusia

Teori ini berkaitan dengan ajaran agama yang selalu menuntun manusia untuk mencapai
keselamatan, ketenangan serta kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Dalam teori IImu
Negara, kita jumpai teori dari Agustinus seorang kristiani yang mengemukakan teori yang sangat
teokratis. Ia menyebut 2 (dua) macam negara, yaitu:

1. Civitas Dei, merupakan negara Tuhan yang terpuji karena sesuai dengan cita-cita agama.

2. Civitas Terena, merupakan negara dunia yang sangat dikecam dan ditolak oleh Agustinus.

Sebagai negara Tuhan, Civitas Dei akan membawa keamanan dan kesejahteraan karena selalu
mendapat tuntunan dan bimbingan Tuhan. Dalam kenyataan, Civitas Dei ini adalah organisasi gereja
dibawah pimpinan Paus yang sifatnya abadi. Sedangkan Civitas Terena, akan membawa kesengsaraan
dan kekacauan karen a tidak berdasar pada ajaran tuntunan Tuhan. Oleh karena itu bila ingin am an dan
sejahtera dan kekuasaan langgeng, maka Civitas Terena harus mengikuti serta mengabdi pada Civitas
Dei. Dalam praktek, Civitas Terena merupakan organisasi negara, yang menjadi alat untuk menumpas
musuh-musuh gereja.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah, seorang filosof dan teolog Islam menegaskan bahwa tujuan negara
menurut syari'ah/hukum-hukum Tuhan adalah memfasilitasi pengabdian kepada Allah SWT,
menyempurnakan akhlaq manusia, menegakan keadilan dan kebenaran untuk seluruh mahluk,
mewujudkan kemakmuran bersama atas dasar keadilan, derajat dan hak yang sama atas semua
manusia. 2 Dengan demikian harus ada supremasi hukum, dan pemerintah harus menjadi alat dari
hukum, bukan sebaliknya. Dalam teori tujuan negara yang dikaitkan dengan tujuan akhir manusia, pada
dasarnya negara diharapkan dapat menjadi fasilitator bagi rakyatnya. Dalam hal ini, negara memberi
jaminan dan kesempatan pada setiap warganya untuk dapat mencapai tujuan akhir hidupnya sesuai
dengan tuntunan dan ajaran agama masing-masing.

B. Tujuan Kekuasaan

Teori I1mu Negara menjelaskan bahwa salah satu tuj uan negara adalah mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan semata- mata (machtstaat). Peuulis dalam kesempatan ini akan
mengemukakan pendapat dari dua orang sarjana yaitu, Shang Yang dan Machiavelli. Shang Yang
mengemukakan tujuan negara hanya satu yaitu kekuasaan semata-mata. Untuk mencapai tujuan ini

Shang Yang mengemukakan slogannya yaitu "supaya negara kuat, rakyat harus lemah dan
bodoh.Caranya, penguasa harus mengumpulkan kekuasaan sebesar-besamya dengan menjauhkan aspek
kebudayaan yang hanya akan membuat lemah dan merugikan penguasa. Dengan menghancurkan
kebudayaan, raja/penguasa akan dapat mengendalikan rakyat, sehingga menjadi kuat. Memang dalam
negara selalu ada dua pihak yang saling bertentangan, yaitu penguasa dan rakyat. Bila penguasa kuat
maka rakyat akan lemah. Bila rakyat lemah dan bodoh maka tidak akan banyak menuntut, bahkan dapat
dikendalikan untuk selalu mendukung penguasa. Kondisi inilah yang paling baik menurut Shang Yang.

Nicolo Machiavelli, seorang sarjana dari negara Italia mengatakan bahwa tujuan negara adalah
ketertiban, keamanan dan ketentraman. Semua ini hanya dapat dicapai dengan adanya kekuasaan yang
absolut, menyusun sistem pemerintahan sentral yaitu dengan mendapatkan dan menghimpun
kekuasaan yang sebesar-besarnya pada tangan raja. Machiavelli memisahkan dengan tegas asas-asas
moral dan kesusilaan dari asas-asas kenegaraan. Ia mengatakan seorang raja harus belajar untuk tidak
menjadi orang baik, tidak menepati janji, harus licik dan dapat menggunakan kekuasaan dan kekerasan
seperti binatang, dan tidak perlu menggunakan hukum. la juga berpendapat, hukum dan kekuasaan itu
sarna, karena siapa yang mempunyai kekuasaan, ia mempunyai hukum, dan siapa yang tidak
mempunyai kekuasaan, tidak akan pernah mempunyai hukum. Dengan cara ini, maka rakyat menjadi
takut dan raja dapat menguasai rakyat dan mempunyai kekuasaan yang absolut. Teori Machiavelli ini
timbul pada saat negara Italia terpecah-pecah. Sehingga selain tujuan kekuasaan, teori Machiavelli juga
bertujuan untuk mempersatukan negara Italia.

C. Tujuan Kemakmuran

Teori tujuan kemakmuran, terbagi menjadi teori tujuan kemakmuran negara, kemakmuran
individu dan teori tujuan kemakmuran rakyat. Dalam teori kemakmuran negara, secara teoritis tujuan
negara adalah kemakmuran rakyat tetapi yang melaksanakannya secara absolut adalah negara.
Sedangkan yang diartikan dengan negara dalam hal ini adalah raja beserta kelompoknya (para
bangsawan). Sejarah kenegaraan menunjukan kondisi ini terjadi di negara-negara Eropa Barat, salah
satunya adalah negara Perancis, yang terkenal dengan semboyan I 'eta! cest moi (negara adalah saya).
Pada masa ini berlaku prinsip salus publica suprema lex (kepentingan umum mengalahkan undang-
undang) dan prinsip princep legibus solutus est (raja/penguasa yang menentukan kepentingan umum).
Dengan demikian kepentingan umum ditentukanlditafsirkan secara sepihak oleh raja/penguasa, yang
mempunyai kedudukan menentukan segalanya termasuk kegiatan mencari kemakmuran untuk dirinya
sendiri dan kelompoknya. Jadi, negaralraja yang aktif mencari kemakmuran, sementara rakyat hanya
diam, menunggu piring kemakmuran raja penuh dan mendapat tumpahan kemakmuran dari raja.Tipe
negara dari tujuan kemakmuran negara adalah polizei staat.

Dalam perkembangannya muncul teori tujuan kemakmuran individu. Tujuan kemakmuran


negara ternyata mendapat reaksi dari golongan pengusaha borjuis yang tidak dilibatkan dalam kegiatan
mencari kemakmuran. Kelompok pengusaha ini merupakan penganut liberalisme, dan mereka kemudian
mengajak rakyat untuk menuntut raja dan kaum bangsawan (penguasa) untuk tidak turut campur dalam
kegiatan mencari kemakmuran. Mereka juga menuntut agar rakyat/setiap warga diberi kebebasan
secara penuh dalam mencari kemakmuran sendiri-sendiri, dan dijamin/dilindungi oleh hukum. Negara
dalam hal ini hanya bertugas menjaga keamanan dan ketertiban saja, dan tidak dilibatkan dalam
kegiatan mencari kemakmuran. Dalam teori tujuan kemakmuran individu ini, rakyat yang bersikap aktif
mencari kemakmuran secara individual. Kebebasan tiap warga dalam mencari kemakmuran ini
dilindungi oleh hukum, sehingga menimbulkan bentuk negara hukum yang pertama yaitu negara hukum
liberal. Sementara tipe negaranya disebut negara jaga malam (nachtwachter staat) karena negara
seperti penjaga malam saja yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban.

Ternyata pelaksanaan paham liberalisme menimbulkan perbedaan yang mencolok antara


golongan kaya dan miskin misalnya antara para pengusaha dan buruh. Dan karena sibuk mencari
kemakmuran sendiri, rakyat tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan kepentingan umum.
Akhirnya pihak penguasa/pemerintah diikut sertakan dalam kegiatan melaksanakan kepentingan umum,
dan untuk pengadaan dananya hams mendapat persetujuan rakyat lebih dulu dalam bentuk undang-
undang. Kondisi ini menimbulkan bentuk negara hukum formal, yang mengutamakan bentuk formal dari
hukum dalam memberikan persetujuan pada negara untuk tumt melaksanakan
kesejahteraanlkemakmuran bagi rakyat. Caranya adalah dengan menentukan beberapa unsur tertentu
bagi suatu negara hukum, dengan tujuan membatasi kekuasaan penguasa.

Tujuan kemakmuran yang terakhir adalah kemakmuran rakyat, yang menimbulkan bentuk
negara hukum material. Pada tahap ini tidak lagi penting bentuk formal dari suatu ketentuan hukum,
karena yang lebih utama adalah isi/materi dari ketentuan hukum hams untuk kemakmuran rakyat. Jadi
tugas dan tujuan utama negara (dalam hal ini pemerintah) adalah kemakmuran rakyat (welfare state).
Dalam melaksanakan tujuan ini, pemerintah tidak lagi terikat pad a bentuk formal undang-undang.
Artinya pada keadaan tertentu, misalnya kondisi bencana alam, pemerintah dapat langsung
memberikan bantuan tanpa hams menunggu adanya undang-undang yang mengatur masalah ini. Jadi
merupakan vrij bestuur bukan gebonden bestuur, sepanjang tujuannya adalah untuk
kepentingan/kesejahteraan rakyat.

III. Negara Hukum Meuurut Teori IImu Negara

Dalam teori I1mu Negara konsep negara hukum telah kita jumpai sejak jaman Yunani.
Aristoteles, seorang ahli pikir dari Yunani berpendapat bahwa yang dimaksud dengan negara hukum
adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh warga negara. Dengan
adanya keadilan dalam masyarakat, maka akan tercapai kebahagiaan. Untuk itu harus ditanamkan
norma-norma sllsila pada rakyat, agar mereka menjadi warga yang baik, dan peraturan-peraturan
hukum juga harus mencerminkan keadilan. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam negara
sebenarnya bukan manusia tetapi pikiran yang adil, yang terpancar dari kesadaran etik yang tinggi untuk
menjadikan kehidupan masyarakat sebagai suatu kehidupan yang baik. Pikiran yang adil ini kemudian
tertuang dalam bentuk peraturan hukum, sedangkall penguasa dalam negara hanya memegang hukum
dan keseimbangan saja.

Selanjutnya Plato, murid AristoteJes menyatakan bahwa negara yang baik adalah negara yang
berdasar atas hukum (nomoi), dan yang bukan diperintah oleh para ahli pikir saja. Ajaran Plato dan
Aristoteles mengandung filsafat yang menyinggung angan-angan atau cita-cita manusia, yaitu cita-cita
untuk mengejar kebenaran, kesusilaan, keindahan dan keadilan.

Dari uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa timbulnya konsep negara hukum (rechtstaat) di
negara Eropa Kontinental merupakan reaksi atas teori tujuan negara yang menimbulkan kekuasaan yang
otoriter/absolut. Golonganlpaham liberal dalam hal ini berusaha untuk membatasi kekuasaan raja yang
absolut dan menegakan kebebasan dari setiap warga untuk mencari kemakmuran sebagai cermin atas
adanya sifat individualistis dari paham liberal. Immanuel Kant, seorang filsuf bangs a Jerman adalah
tokoh haluan liberal menyatakan bahwa tujuan negara adalah menegakkan hak-hak dan kebebasan
warganya. Teori negara hukum yang dikemukakan oleh Kant dikenal sebagai negara hukum liberal, yang
mengandung dua unsur penting, yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pemisahan kekuasaan. Dengan adanya pemisahan keku-asaan, maka hak asasi manusia akan
mendapat perlindungan.

Hal inilah sebenarnya yang merupakan tuntutan utama kaum borjuis liberal.

Sejalan dengan perkembangan zaman, paham negara hukum liberal yang menginginkan
pemerintah tidak turut campur dalam masalah kemakmuran/kesejahteran rakyat, tidak dapat
dipertahankan lagi. Berbagai kondisi memaksa pemerintah untuk turut mengelola kesejahteraall rakyat
meski harus melalui persetujuan rakyat dalam bentuk ulldang - undang. Apabila terjadi perselisihan
antara pemerilltah dan warga dalam melaksanakan tugas kesejahteraan rakyat, maka masalah akall
diselesaikan melalui suatu badan peradilan khusus yaitu Peradilan Tata Usaha Negara. Keadaan ini
menurut F.J. Stahl menimbulkan tipe negara hukum formal yang menentukan 4 macam unsur, yaitu:

1. Perlindungan hak asasi manusia.

2. Pemisahan kekuasaan.

3. Setiap tindakan pemerintah harus berdasar undang-undang.

4. Peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

Setelah negara hukum fonnal, muncul negara hukum material yang tidak lagi mengutamakan
bentuk formal dari suatu ketentuan hukum. adalah isi/materi dari ketentuan hukum tersebut harus
benar benar untuk kepentingan umum/kesejahteraan rakyat. Bahkan dalam perkembangannya, karena
perlu dibuat undang-undang membutuhkan waktu yang lama, maka pemerintah dalam melaksanakan
tugas kesejahteraan rakyat tidak lagi terikat pada undang-undang. Tentu saja sepanjang kegiatan yang
dilaksanakan pemerintah tersebut betul-betul bertujuan untuk kesejahteraan rakyat.

Negara hukum menurut paham Anglo Saxon menggunakan istilah rule of law. Menurut A.V.
Dicey dari Inggris, paham negara hukumlrule of law dari negara Anglo Saxon, memerlukan 3 unsur,
yaitu:

1. Supremasi hukum, artinya kekuasaan tertinggi dalam negara adalah hukum.

2. Kedudukan yang sarna dihadapan hukum.

3. Konstitusi berdasar pada hak asasi manusia.

Berbeda dengan negara hukum (rechtstaat) menurut paham Eropa Kontinental, l11aka dalam
rule of law menurut paham Anglo Saxon, tidak kita jumpai unsur peradilan administrasi. Hal ini karena
menurut konsep rule of law, setiap masalah hukum akan diselesaikan melalui peradilan yang sama dan
menggunakan hukum yang sarna. Selain itu, unsur peradilan administrasi dianggap bertentangan
dengan unsur persamaan dalam hukum.

 Penyaji ketiga Dr (cand).Galang Taufani,S.H,.M.Si.

“ tipe tipe dan bentuk bentuk negara di dunia”

Ada banyak tipe tipe dan bentuk negara di dunia yaitu

 TIPE NEGARA
a. Berdasarkan sejarah

1. Negara suku / tribal state adalah negara berdasarkan


kesukuan contoh negara Yahudi kuno
2. Negara kota / city state adalah negara berupa kota kota
contoh athena
3. Negara dinasti / dynasty state adalah negara berdasarkan
system dinasti atau keturunan contoh negara
abassiyah,ummayah Saudi
4. Negara feudal / feudal state adalah negara berdasarkan
penguasaan tanah oleh penguasa contoh nya adalah negara
eropa di abad pertengahan
5. Negara bangsa / nation state adalah negara berdasarkan
kebangsaan contohnya adalah negara Indonesia
6. Negara regional / regional state adalah negara bersifat
regional contoh negara uni eropa, masyarakat asean

b. Berdasarkan segi derajat kebebasan

1. Negara anarki adalah negara memberikan kebebasan


kepada masyarakatnya tanpa aturan
2. Negara demokrasi adalah negara yang memberikan
kebebasan kepada warga negara berdasarkan aturan,
kekuasaan demiliki oleh seluruh warga negara.
3. Negara otokrasi adalah negara yang tidak memberikan
kebebasan kepada warga negara dan kekuasaan di pegang
oleh segelintir orang

c. Tipe negara berdasarkan plato

Menurut plato masyarakat tersusun atas tiga kelompok masyarakat yaitu filsuf/filosofi, tantara,
dan pekerja /petani.

Dalam “buku republic” tipe tipe negara menurut plato adalah

1. Timokrasi adalah negara yang diperintah oleh orang orang terhormat yang dipilih oleh
masyarakat.
2. Oligarki/plutokrasi adalah negara yang diperintah oleh orang orang kaya
3. Demokrasi adalah negara yang dipimpin oleh orang kelas bawah ( rakyat jelata )
4. Tirani adalah negara dalam keadaan kacau karena kebebasan dimiliki oleh rakyat jelata
 Bentuk dan susunan negara

1. negara kesatuan

adalah suatu negara secara konstitusional merupakan satu


unit negara dengan ciri khas nya adalah ada pemerintah pusat
dan daerah contoh UK

2. negara serikat /federation state

adalah negara bagian atau daerah yang ber pemerintah


sendiri yang disatukan oleh negara pusat berdasarkan satu
konstitusi yang disepakati oleh semua negara contoh negara
USA

3. negara konfederansi

adalah gabungan negara berdaulat yang umumnya berbentuk


berdasarkan persetujuan antar negara yang kemudian
diterima oleh suatu konstitusi bersama

Anda mungkin juga menyukai