Anda di halaman 1dari 34

TUGAS MERANGKUM BUKU

HUKUM TATA NEGARA DARURAT

Tugas Mata Kuliah


Sistem Konstitusi dan Hukum Darurat Negara

Dosen
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H
Chk Dr. Syamsoel Hoeda, S.H., H.Hum
Dr. dr. Nasser, Sp.KK., D.Law

Di Susun Oleh
Purwanto Kitung, SH, SE, MM, MPH, CLA, CPTT
NIM : 23050081

PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
Jakarta, Februari 2024
PENDAHULUAN

Pengertian Hukum Tata Negara Darurat adalah Menurut ahli Herman sihombing,
merupakan hukum tata negara (HTN) dalam keadaan bahaya, yakni sebuah rangkaian pranata
dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya dalam
menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam, kedalam kehidupan biasa
menurut undang-undang dan hukum yang umum dan biasa. Menurut Jimly asshiddiqie,
mengemukakan tentang hukum tata negara darurat sebagai berikut:“oleh karena itu, didunia
akademis, khususnya hukum tata negara perlu dibedakan antara HTN negara yang berlaku dalam
keadaan biasa atau normal dan HTN yang berlaku dalam keadaan luar biasa atau tidak normal.
HTN inilah yang kita namakan hukum negara darurat.
HTND (staatsnoodrecht) dibagi menjadi dua macam yaitu HTND Subjektif
(staatsnoodrecht subjectip) dan HTND Objektif (staatsnoodrecht objetip). HTND subjektif dalam
arti subjektif yang merupakan hak negara untuk bertindak dalam arti subjektif yang merupakan
hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat bisa dengan cara menyimpang
dari ketentuan undang-udang, dan bahkan apabila memang diperlukan, menyimpang dari
undang-undang dasar.
Keadaan bahaya dapat terjadi dimana saja, termasuk dapat terjadi hanya di suatu daerah
tertentu saja. Jika keadaan bahaya itu timbul, meskipun hanya di daerah tertentu saja, hal itu
sudah cukup memberikan alasan bagi negara untuk menjalankan hak subjektifnya untuk
memberlakukan keadaan darurat atau HTND dalam arti subjektif. Tujuan dari HTND Subjektif
adalah untuk secepatnya dapat melindungi hak asasi manusia masyarakat yang terancam karena
keadaan bahaya. HTND Subjektif merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi diakui disemua
negara didunia.
Sumber dari HTND subjektif itu adalah hak-hak asasi manusia yang pada mulanya
merupakan hukum tidak tertulis yang bersandar pada hukum asasi sebagai hukum objektif.
Namun demikian, karena pengaruh perkembangan aliran positivisme dan ajaran tentang negara
hukum formil, barulah setelah itu berkembang istilah HTND objektif. HTND objektif adalah
hukum yang berlaku dalam masa negara berada dalam keadaan darurat itu, yang diutamakan
dalam HTND objektif adalah keadaan daruratnya.
Dengan perkataan lain, HTND objektif merupakan hukum tata negara yang berlaku atau
baru berlaku pada waktu negara berada dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, atau dalam
keadaan genting. Sumber HTND Objektif sebagai dasar lahirnya adalah undang-undang yang
tertulis. Sementara itu, HTND subjektif subjek utamanya adalah keadaan darurat negara atau
keadaan bahaya yang memberikan hak kepada negara untuk bertindak dalam mengatasinya.
Hukum darurat negara itu dapat berupa hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum
pidana, ataupun lapangan hukum perdata.
Sekarang ketentuan hukum yang masih berlaku dan mengatur mengenai keadaan bahaya
atau keadaan darurat ini adalah ketentuan pasal 12 Udang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 23 Prp Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya.
Keadaan dikategorikan sebagai keadan berbahaya atau darurat:

1. keadaan bahaya karena ancaman perang yang datang dari luar

2. keadaan bahaya karena tentara nasional sedang berperang di luar negeri

3. keadaan bahaya karena perang di dalam negeri atu pemberontakan

4. keadaan bahaya karena kerusuhan sosial

5. keadaan bahaya karena bencana alam

6. keadaan bahaya karena tertib hukum dan administrasi yang terganggu

7. keadaan bahaya karena kondisi keuangan negara

8. keadaan lain dimana fungsi konstitusional tidak dapat bekerja

Keadaan darurat menuntut negara untuk mengambil tindakan sesegera mungkin dan
meminimalisir resiko yang terjadi. Dalam hal tindakan yang dapat diambil menurut Vinkat Iyer
tindakan darurat meliputi:

1. kewenangan menangkap (power of arrest);


2. kewenangan menahan (power of detention);
3. pembatasan atas kebebasan fundamental (power imposing restriction of fundamental
freedom);
4. kewenangan terkait perubahan prosedur pengadilan dan pemidanaan (power concerning
modification of trial procedures and punishment);
5. kewenanan membatasi atasa akses ke pengadilan (power imposing restriction on access
to the judiciary);
6. kewenangan atas imunitas yang dinikmati polisi, aparat keamanan, dan yang
lainnya (power concerning immunities enjoyed by the police and member of security
forces and so on)

ASAS DALAM PEMBERLAKUAN KEADAAN DARURAT

1. asas proklamasi

Keadaan darurat harus diumumkan atau diproklamirkan kepada seluruh masyarakat. Bila
keadaan darurat tersebut tidak diproklamirkan maka tindakan yang diambil oleh
pemerintah tidak mendapat keabsahan.

2. asas legalitas

Asas legalitas disini berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh negara dalam keadaan
darurat. Tindakan yang diambil harus tetap dalam koridor hukum, baik hukum nasional
maupun hukum internasional.

3. asas komunikasi

Negara yang mengalami keadaan darurat harus mengkomunikasikan keadaan tersebut


kepada seluruh warga negara. Selain kepada warganya pemerintah juga harus
memberitahukan kepada negara lain secara resmi. Pemberitahuan dilakukan melalui
perwakilan negara bersangkutan dan kepada pelapor khusus PBB “special rapporteur on
state of emergency”

4. asas kesementaraan

Dalam penetapan keadaan darurat harus ada kepastian hukum yakni jangka waktu
pemberlakuan keadaan darurat. Hal ini dikarenakan negara dalam keadaan darurat dapat
mencederai hak dasar warga negara. Sehingga pemberlakuan keadaan darurat harus jelas
mengenai awal pemberlakuan dan waktu berakhirnya.

5. asas keistimewaan ancaman

Krisis yang menimbulkan keadaaan darurat harus benar-benar terjadi atau minimal
mengandung potensi bahaya yang siap mengancam negara. Ancaman yang ada haruslah
bersifat istimewa. Keistimewaan tersebut karena menimbulkan ancaman terhadap nyawa,
fisik, harta-benda, kedaulatan, keselamatan dan eksistensi negara, atau peri kehidupan
bersama dalam sebuah negara.

6. asas proporsionalitas

Tujuan pemberlakuan keadaan darurat adalah agar negara dapat mengembalikan dalam
keadaan semula dengan waktu yang cepat. Oleh karena itu tindakan yang diambil haruslah
tepat sesuai dengan gejala yang terjadi. Jangan sampai negara mengambil tindakan yang
tidak sesuai dan cenderung berlebihan.

7. asas intangibility

Asas ini terkait dengan hak asasi manusia. Dalam keadaan darurat pemerintah tidak boleh
membubarkan organ pendampingnya yakni legislatif maupun yudikatif.

8. asas pengawasan

Pemberlakuan keadaan darurat juga harus mendapatkan kontrol. Harus mematuhi prinsip
negara hukum dan demokrasi. Parlemen harus mengawasi jalannya keadaan darurat
sebagai bentuk mekanisme “check and balances”.keadaan darurat tidak mengurangi
kewenangan mengawasi kebijakan yang diambil pemerintah

Dalam keadaan darurat negara bisa mengurangi sebagian dari hak asasi manusia.
Namun negara tidak boleh mengurangi sedikit pun hak dasar manusia (non derogable
rights). Berikut ini hak dasar manusia:

a. hak untuk hidup


b. hak untuk tidak disiksa
c. hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani
d. hak beragama
e. hak untuk tidak diperbudak
f. hak untuk diakui sebagai pribadi da hadapan hukum
g. hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut

KASUS KASUS KEADAAN DARURAT di INDONESIA

Sejak kemerdekaan sampai dengan sekarangan, telah banyak peristiwa atau kejadian luar
biasa yang menyebabkan peraturan perundanga-undangan yang berlaku dalam keadaan biasa
atau normal menjadi tidak berdaya dan tidak lagi efektif untuk dipakai guna mencapai tujuan
pembentukannya. Untuk Menghadapi berbagai potensi gangguan dan ancaman dimaksud, maka
untuk pertama kali, Pemerintah Republik Indonesia membentuk satu undang-undang tersendiri,
yaitu UU No. 6 Tahun 1946 Tentang Keadaan bahaya
6 Tahun 1946 tentang keadaan Bahaya ini, Ketika Pemerintahan berpusat di Yogyakarta,
Pada 7 Juni 1946, Presiden Soekarno Mengeluarkan pernyataan Keadaan Bahaya Untuk Daerah
Jawa Timur dan Madura. Dengan Putusan 7 Juni 1946, Mengingat Pasal 6 dari UU keadaan
bahaya, Memutuskan:
1. Membentuk suatu Dewan Militer yang diketahui oleh kami sendiri;
2. Mengangkat menjadi :
a. Wakil ketua pertama Wakil presiden;
b. Wakil ketua kedua Menteri Pertahaan;
3. Mengangkat seterusnya menjadi anggota:
a. Panglima Besar;
b. Pemimpin Umum AD RI;
c. Kepala staf AL RI;
d. Kepala staf AU RI;
e. Direktur Jenderal Kementrian Pertahaan;
4. Mencatat bahwa di kementrian Pertahanan dibentuk suatu kantor yang tetap untuk Dewan
tersebut dan yang berkedudukan di Yogyakarta.
Selanjutnya, ketika RI berubah menjadi RIS berdasarkan UUD RIS 1949, Presiden
menetapkan UU Darurat No. 8 Tahun 1950 yang mengadakan tambahan terhadap “Regeling op
de saat van Oorlog en van Beleg,”.
Kasus pertama,Sejarah HTND di Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari catatan
kelam peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus Hingga puncaknya Pada 30 September 1962
(G-30-S). Bermua dari eskalasi politik yang kian memanas, akibat adanya pertentangan di
kalangan elite politik terhadap beberapa permasalahan sistem ketatanegaraan anatara lain :
gerakan NASAKOM; perebutan pengatuh dalam lingkar kekuasaan Presiden Soekarno,
Khususnya PKI dengan Kelompok (TNI-AD); Gerakan di tingkat akar rumput antara beberapa
organisasi massa dari berbagai unsur kemasyrakatan, agama, sosial politik; serta adanya klik-klik
dalam tubuh militer baik di intern AD maupun antarangkatan, terutama dengan AU.
Dalam situasi yang sangat tidak menentu dan menimbulkan spekulasi politik, Presiden
Soekarno mengeluarkan beberapa putusan penting. Di antaranya
a. Tentang Kesehatan Presiden;
b. Bahwa Presiden tetap memegang tampuk pimpinan negara dan tampuk pemerintahan dan
Revolusi Indonesia;
c. Bahwa Presiden memerintahkan semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Wk. PM
II Dr. Leimena dan para pejabar lain untuk menyelesaikan persoalan dalam peristiwa G-
30-S PKI;
d. Perlunya menciptakan suasana tenang dan tertib dengan menghindari bentrokan senjata;
e. Bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Presiden dengan dibantu oleh Mayor
Jenderal Pranoto Reksosamudra untuk tugas sehari-hari; dan
f. Untuk pemuihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan peristiwa 30
September ditunjuk Mayor Jenderal Soeharto, sesuai dengan kebijaksanaan yang
digariskan.

Kasus kedua,Dalam Proses Peralihan Kepemimpinan dari Presiden Soeharto ke Presiden


B.J. Habibie terjadi lagi gerakan massa yang sangat massif mirip apa yang terjadi pada 1965-
1966. Pada pertengahan 1998 krisis moneter melanda Indonesia.
Ditengah krisis moneter itu, Indonesia kembali mengadakan Sidang Umum MPR dengan
agenda pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dimana Soeharto menjadi calon tunggal. Dapat
dimengerti karena situasi poitik saat itu memang sangat tidak memungkinkan kekuatan politik
menyatakan „tidak kepada sosok yang sudah berkuasa sejak tahun 1966 itu. Oleh karena itu, ia
kembali sebagai Presiden untuk masa jabatan ketujuh pada 11 Maret 1998 meski ia sendiri sudah
mulai ragu.
Untuk kembali memperkuat legitimasi pemerintahan, MPR mengelurakan TAP
No.V/MPR/1998 tentang pemberian tugas dan wewenang dan Pengamanan Pembangunan
Nasional sebagai Pengamalan Pancasila. Di luar proses politik fomral di MPR, Masyarakat terus
bergerak tuntutan perubahan, pada awalnya perubahan tersebut baru sebatas perubahan politik
dan perbaikan ekonomi, tetapi kemudian berkembang pada tuntutan pengunduran diri Soeharto
sebagai Presiden. Situasi sosial juga semakin memanas dengan mulai munculnya
kerusuhankerusahan di berbagai tempat akibat krisis ekonomi yang melanda masyarakat.
Kerusuhan ditandai oleh aksi-aksi kekerasan massa, perusakan, pembakaran, penjarahan hingga
tindakan asusila di daerah-daerah lain. Ratusan korban berjatuhan. Kerugian harta benda tidak
terhitung jumlahnya.
Singkat kata, dalam menghadapi situasi yang genting tersebut, akhirnya, Presiden
Soeharto melakukan langkah-langkah darurat. Pada 18 Mei 1998 Presiden Soeharto
mengeluarkan Intruksi Presiden Nomor 16 Tahun 1998 tentang Penunjukan Panglima Angkatan
Bersenjata (Pangab) RI Sebagai Panglima Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan
Nasional (KOPKKN). Beberapa poin penting dari Impres itu adalah sebagai berikut:
1. Menentukan kebijakan nasional untuk menghadapi krisis yang sedang atau akam dihadapi.
2. Mengambilah langkah-langkah utnuk secepatnya mencegah atau meniadakan sumber-
sumber penyebab ataupun mengatasi peristiwa yang mengakibatkan gangguan terhadap
keamanan dan ketertiban.
3. Para menteri, dan pimpinan lembaga pemerintah di tingkat pusat dan daerah membantu
pelaksanaan tugas dan fungsi Komando Operasi Kewaspadaan dan Keselamatan Nasional.
Pada 19 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundang sejumlah tokoh Masayrakat. Presiden
Soeharto menyatakan agar segera membentuk Komite Reformasi yang bertugas
menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,dan
DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi sesuai dengan keinginan masyarakat.
Akan tetapi, Kedua „langkah darurat‟ untuk mengatasi keadaan ini tidak jadi dilaksankan
oleh Presiden Soeharto. Pembentukan Komite tidak dapat dilaksankan karena tokoh-tokoh yang
diharapkan menjadi anggota menolak.
Kasus ketiga, Porong Sidoarjo Jawa Timur, yaitu penanganan bencana semburan Lumpur
Panas itu sendiri sampai sekarang, Setelah setahun berlangsung, belum juga berhasil dihentikan
terjadilah Lumpur panas itu juga jelas merupakan bencana yang banyak menimbulkan korban
jiwa,harta benfa dan lingkungan dengan segala dampak-dampak sosialnya. Kerugian yang
terjadi, bukan saja bagi PT Lapindo Brantas, tetapi juga bagi rakyat atau penduduk sekitar dan
kualitas lingkungan hidup yang lebih luas.
Untuk mengatasi keadaan yang timbul di Porong tersedia dua Piihan, yaitu dilakukan
dengan cara biasa berdasarkan peraturan perundang- undangan yang normal (ordinary law) atau
dilakukan dengan cara-cara tidak biasa berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan
yang darurat (exceptional law).
Misalnya, untuk mengatasi keadaan, Presiden menetapkan Peraturan Presiden No. 14
Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Artinya Negara Menganggap
Penting bahwa masalah yang terjadi di Sidoarjo itu bersifat khusus sehingga menganggapanya
perlu diatur khusus dalam Peraturan Presiden yang tersendiri.
Akan tetapi, karena penetapan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 itu tidak didahuui
oleh suatu pernyataan keadaan darurat, dapat dikatakan bahwa keadaan di Sidoarjo itu bukanlah
keadaan darurat atau keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 Ataupun
yang dimaksud oleh UU Prp No. 23 Tahun 1959.

HUKUM KEADAAN DARURAT di BERBAGAI NRGARA


A. Model ‘ Martial Law ‘ Amerika Serikat

1. Perkembangan Sejarah

Dikalangan negara-negara Eropa continental yang menganut tradisi


hukumcivillawketentuan tentaang hukum tata negara darurat biasanya diatur secara
eksplisitdalamundang-undang dasar dengan rincian pengaturan lebih lanjut dalam
undang-undang(statute). Di masa lalu ,istilah martial law ini di Inggris juga cenderung
diidentikkan d22akatas22ayang sekarang disebut hukum militer. Istilah-istilah“State of
emergency ” (Inggris,Amerika Serikat),Etat de Siege(perancis),”staatsnood”(Belanda)
dan lain-laain semua menunjuk kepada pengertian keadaan luar biasa atau keadaan diluar
kebiasaan yang memberikan pembenaraan bagi diterapkan atau berlakunya hukum yang
juga luar biasa, diluarkebiasaan normal.

Dalam keadaan darurat tersebut, kewenangan presiden untuk memberlakukantindakaan-


tindakanluar biasa dapat dibenarkan asalkan keadaan darurat (a state of emergency)itu
dideklarasikan lebih dahulu secara resmi. Dalam keadaan darurat,norma hukum yang
biasadinyatakan tidak berlaku lagi dan untuk sementara waktu diberlakukan norma-
norma hukumyang khusus yang disebut sebagai“MartialLaw” .

Hukum yang berlaku dalam keadaan darurat itu, dalam praktik, biasa disebut“Martial
Law” Seperti perkembangan di Inggris, pada mulanya di Amerika Serikat juga
konsep“MartialLaw” ini hanya dikaitkan dengan pengertian hukum militer yang
dijalankanoleh military government dan dipertahankan di“military court”

2. Ketentuan Konstitusional “Martial Law”


Secara eksplisit ketentuan mengenai keadaan darurat atau“state of emergencies”ini
sebagai bukti atas pandangan demikian, menurutnya dapat dilihat dalam dua bentuk yaitu:
a. penentuan kewenangn tertentu pada fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan erat
dengan situasi- situasi yang bersifat istimewa atau darurat.
b. adanya pengaturan mengenai pengecualian- pengecualian tertentu terhadap aturan
yang bersifat umum yang dikaitkan dengankeadaan- keadaan yang bersifat
istimewa atau darurat tersebut.
c. Hal yang menghambat dalam penerapan “Martial Law”di Amerika Serikat, menurut
MaryMaxwell adalah adanya undang-undang yang biasa disebut posse Comitatus
Act 1878. Undang-undang ini secara eksplisit melarang tentaraa untuk
terlibat dalam urusan penegakan hukumdidalam negeri

Undang-undang dasar Amerika Serikat sama sekali tidak menyebut secara secaraeksplisit
ketentuan mengenai keadaan darurat atau “state of emergencies”.Hal yang menghambat
dalam penerapan “Martial Law” di Amerika Serikat, menurut Mary Maxwell, adalah
adanya undang-undang yang biasa disebut dengan proses comitatus Act 1878. Undang-
undang inisecara eksplisit melarang tentara untuk terlibat dalam urusan penegakan hukum
di dalam negeri.Sebelum adanya posse comitatus Act ini dapat dikemukakan pula adanya
putusan MahkamahAgung yang sangat terkenal dalam soal ini, yang dikenal dengan Ex
Parte Milligan (1863) .Mahkamah Agung menyatakan bahwa “Lincoln’s imposition
of martial law (by way of suspensionof habeas corpus) was unconstitusional.

a. Kekuasaan dalam keadaan darurat


Artikel 1 Section 8 UUD Amerika Serikat menetukan kekuasaan ekstensif
kongres yangberhubungan dengan perang dan Tindakan militer lainnya, dapat
dibedakan dalam tiga kelompok,yakni :
1. to declare war (menyatakan perang)
2. to raise and support armies, to provide and maintain a navy, and to make rules
for thegovernment and regulation of the land and naval forces (memberi
dukungan terhadapAngkatan bersenjata, menyediakan dan mempertahankan
Angkatan laut, sertamembuat peraturan bagi pemerintah dan regulasi
Angkatan darat dan laut).
3. to provide for calling forth the militia (generally a state responsibility) for
threespecified purposes (menyediakan fasilitas pengerahan massal rakyat
terlatiih (ratih)atau militia untuk tiga macam tujuan tertentu. Ketiga macam
tujuan spesifik yangdimaksud adalahuntuk melaksanakan hukum, untuk
menekan pemberontakan, untuk mengatasiinvasiasing.

b. Pengecualian terhadap Aturan Umum ( General Rules )

Dalam konstitusi Amerika Serikat, terdapat empat ketentuan yang berisi


pengecualian (specific exception)terhadap norma hukum yang berlaku umum
(general rules) Dua yang pertama berkaitan dengan“Individual Rights” dan yang
ketiga berhubungan dengankekuasaan negara via-a-vis pemerintahan federal.

1. H23a kataswrit of Habeas Corpus


2. Indictment of Grand Jury
3. Keterlibatan Negara Bagian dalmperang
4. Penyelenggaraan Sidang Kongres

3. Pelaksanaan “Martial Law”dewasa ini


Amerika serikat merupakan salah satu negara yang dianggap sebagai model demokrasi
didunia, penerapan atau pemberlakuan keadaan darurat atau “Martial Law ”nya
dipandang sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa dipraktikan. Dapat dikatakan bahwa
dalam pelaksanaan martiallaw tersebut di Amerika serikat, setidaknya ada empat hal yang
relevan untuk dierbincangkan,yaitu
(1) Kewenangan presiden untuk memberlakukan “martial Law” atas alas an keadaan
darurat. (2) Peninjauan peradilan atas keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan yang
dibuatdibawah “Martial Law ”. (3) Penggunaan peradilan militer didaerah-daerah yang
diberlakukankeadaan darurat atau “Martial Law ”. Dan (4)
Pembatasan- pembatasan yang dibebankan ataskebebasan individu warga setelah martial
law tersebut diberlakukan.
Ada beberapa macam tentang Martial Law :
1. Kewenangan presiden memberlakukan martial law.
Konstitusi Amerika Serikat memberikan kewenangan yang bersifat ekstensif
kepadakongres yang berhubungan dengan perang dan Tindakan militer lainnya yang
dapatdikelompokkan ke dalam tiga kategori,yaitu :
1. Untuk menyatakan perang (to declare war )
2. Untuk mendukung dan membantu tentara, menyediakan dan
mempertahankanAngkatan laut, danmembuat aturan untuk pengelolaan dan
pengaturan kekuatanbersenjata darat dan laut.
3. Untuk mengadakan pengerahan milisi rakyat (biasanya merupakan tanggung
jawabnegara) untuktiga tujuan yang spesifik.
2. Judicial Review atas Tindakan-tindakan Pemerintahan.
Tindakan pemerintah selama keadaan darurat, baik berupa keputusan -
keputusanadministrative ataupun peraturan-peraturan dapat diuji aatau di review oleh
pengadilan.Dengandemikian tindakan-tindakan pemerintahan penguasa keadaan
darurat itutetap dapat dikonntrolmelalui prosedur hukum dan peradilan. Dalam
beberapa kasus keadaan perang atau keadaandarurat, Mahkamah Agung pernah
menetapkan putusan yang mempersalahkan penguasakeadaan darurat karena dinilai
melanggar hak dan kebebasan warga negara.
3. Military Tribunals
Ex parte Milligan juga memberikan basis pengertian mengenai ketentuan
penggunaanperadilan militer selama masa berlakunya martiallaw. Mahkamah Agung
menolak penggunaanpengadilan militer (military tribunal) untukmengadili Milligan
karena aalasan bahwa pengadilansipil yang seharusnya mengadili kasus Milligan
masih terbuka dan masih dapat bekerja dengan baikuntukmenjalankan fungsinya.
Dari kasus milligan ini dapat dipahami bahwa pengadilan militer dan 16 pengadilan
sipil sama-sama dapat bekerja secara parallel,meskipun keadaan darurat
diberlakukan.Pendadilan militer itu baru bekerja sebgai satu-satunya system
peradilan jika pengadilan sipil benar-benar telah lumpuh dan tidak dapatlagi
menjalankan tugasnya
4. Individual Liberties
Pembentukan martial law atau keadaan darurat (state of emergency) Memberikan
kewenangan yang besar kepada penguasa militer untuk melakukan apa saja yang
dinilai sangatdiperlukan (reasonably necessary) untuk tujuan memulihkan keadaan
menjadi normal Kembali dan mempertahankan tertib umum (public order ).Meskipun
tidak dinyatakan secara eksplisit dalam undang-undang peraturan dalam keadaan
darurat.“rules of conduct ” bagi penguasa militer tersebut juga mencakup pula
ketentuan ketentuan yang membatasi gerak individu (individual movement ),
pengenaan ancaman hukuman melalui peradilan militer dan penundaan atau
pengurangan beberapa hak asasi manusia, pengadilan militer dan pengadilan sipil
sama-sama dapat bekerja secara paralel, meskipun keadaan
darurat diberlakukan.Pengadilan militer itu baru bekerja sebagai satusatunya system
peradilan , jika pengadilan sipil benar-benar telah lumpuh dan tidak dapat lagi
menjalankan tugasnya.
5. Emergency Rule-Making
Bidang pembuatan peraturan (rule-making) juga dapat dibedakan antara
pembuatan peraturan dalam keadaan normal dan pembuatan peraturan dalam
keadaan darurat. Pembedaan mengenai keduanya juga diatur tegas dalam
administrative procedure Act (APA). Peter Belmont-misalnya dalam Florida State
University Law Review, menguraikan contoh administrative procedureAct di Florida
yang meletakkan landasan hukum bagi pembuatan peraturan untuk kedua situasi
itu.Yang pertama berlaku untuk keadan yang normal dan yang kedua keadaan
darurat.

Biasanya, Lembaga regulator (the agency ) diharuskan mempublikasikan lebih


dahulu keinginannya untuk membuat peraturan dalam Florida administrative weekly
dan memberitahu“ Joint Administrative Procedures Committee”21 hari sebelum
suatu peraturan diberlakukan secaraefektif. Apabila hal itu dilakukan dalam keadaan
darurat (emergency rule- making procedure),keharusan batas waktu 21 hari itu tidak
berlaku. Peraturan dalam keadaan darurat dapat mulaiefektif diberlakukan sejak
tanggal diundangkan. Dalam hal prosedur pembuatan atau penetapan peraturan
dalam keadaan darurat diterapkan, tidak ada keharusan dipenuhinya pemberitahuan
lebih dahulu (prior notice) ataupun keharusan dilakukannya pengumuman
(publication) diberlakukannya peraturan yang bersangkutan.

B. MODEL“ETAT DESIEGE”PRANCIS
Keadaan“etat desiege” atau keadaan darurat dibedakan atas:
1. Etat de siege reel (actual state of siege) Keadaan dimana wilayah negara secara nyata
telah di duduki atau dikuasai oleh musuh negara dimana nyata-nyata operasi militer
memang sedang berlangsung.
2. Etat de siege fictive (constructive state of siege) Kehidupan normal tidak sepenuhnya
terganggu, meskipun disana sini terdapat gangguan bahaya yang mungkin mengancam.
Keadaan darurat seperti ini bersifat konstruktif, yatiu karena konstruksi hukum, bukan
ada secara riel dalam keadaan nyata.Fungsi institusi sipil memang terganggu, tapi masih
berfungsi dalam pemenuhan kewajiban dalam memelihara tertib hukum dan jaminan
sistem konstitusional.

C. EMERGENCY LAW INDIA


Dalam UUD India, ketentuan mengenai keadaan darurat diatur terperinci:
a. Proclamation of emergency.
Proklamasi keadaan darurat diberlakukan dengan pernyataan proklamasi; harus
disampaikan kepada kedua kamar parlemen; akan berakhir dalam waktu 2 bulan, kecuali
apabila sebelum habis masanya, keadaan darurat itu mendapat persetujuan kedua kamar
parlemen sebagaima mestinya.

b. Effect of proclamation of emergency.


 Selama keadaan darurat diberlakukan, pemerintah eksekutif pusat berwenang
meberikan arahan atau bimbingan kepada setiap negara bagian atau provinsi
mengenai cara bagaiman fungsi-fungsi pemerintahan di daerah harus di
selenggarakan.
 Kewenangan parlemen untuk membuat UU atau peraturan yang berkenaan dengan
semua hal yang diperlukan yang mencakup pemberian kewenangan dan tugas kepada
pemerintahan pusat atau Lembaga dan pejabat pemerintahan pusat tertentu
yangterkait meskipun hal kewenangan itu tidak tercantuk sebagai kewenangan
eksplisit dalam konstitusi sebagai pemerintah pusat.
c. Application of provisions relating to distribution of revenues while proclamation
ofemergency is in operation.
d. Duty of union to protect states against external aggression and internal disturbance.
e. Provisions in case of failure of constitusional machinery in states.Setelah menerima
laporan dari gubernur, relah timbul keadaan dimana pemerintahan negara bagian tidak
dapat dijalankan sesuai dengan ketentuan konstitusi,presiden melalui suatu proklamasi
dapat mengambil alih semua fungsi pemerintahan negara bagian.
f. Exercise of legislative powers under proclamation issued under article 356.Kekuasaan
legislative negara bagian dapat dijalankan atau diberikan kepada parlemen untuk
menyerahkan kepada presiden kewenangan Lembaga legilatif negara bagian dalam
menetapkan suatu Perda dan mendelegasikan kewenangan yang telah diberikan it
ukeLembaga lain untuk dilaksanakan sesuai pendelegasian; parlemen/presiden atau
Lembaga lain yang berwenang membuat UU; presiden untuk memerintahkan pengeluaran
dana,ketika parlemen tidak sedang bersidang, dai dana konsolidasi Negara sebelum
adanya sanksi dari parlemen untuk pengeluaran dana tersebut.
g. Suspension of provisions of article 19 during emergencies.
h. Suspensions of the enforcement of the rights conferred by part III during
emergency.Presiden dapat mengeluarkan perintah yang menyatakan bahwa hak untuk
memindahkan pengadilan demi pemenuhan hak asasi dan semua perkara yang belum
diselesaikan oleh pengadilan untuk pemenuhan hak asasi sebagaimana yang telah
disebutkan harus tetap ditunda.
i. Provisions as to financial emergency.Presiden dapat mengeluarkan pernyataan
berlakunya keadaan darurat keuangan.

D. “MARTIAL LAW” DI INGGRIS


 Kewenangan menentukan keadaan darurat dan memberlakukan martial law dalam sejara
Inggris dipahami sebagai prerogative raja atau ratu sebagai kepala negara. Petition of
Rights1628 jutsru melarang pemberlakuan martial law sama sekali. Namun hal itu
hanyalah resolusi parlemen, bagaimanapun raja atu ratu teteap memegang kekuasaan
mutlak untuk mendeklarasikan timbulnya suatu keadaan perang.
 Tahun 2004 ditetapkanCivil Contingencies Actyang memberi wewenang kepada
PrivyCouncilatau Perdana Menteri untuk menetapkan emergency regulation apabila
negaradianggap berada dalam keadaan darurat, yaitu bila adanya ancaman serius terhadap
kesejahteraan manusia; ancaman serius terhadap lingkungan; dalm hal terjadi perang;
terjadinya delik terorisme. Wewenang itu akan berakhir dengan sendirinya, yaitu
palinglambat 7 hari sejak peraturan dimaksud dietatpkan, kecuali apabila paeraturan
tersebutdalam masa 7 hari mendapat persetujuan dari parlemen. Dan adanya jaminan
yang pokokdalam penggunaan kewenangan keadaan darurat berdasarkan UU ini yaitu
KontrolParlemen dan Kontrol Pengadilan.

D. DI NEGARA LAIN
Baik dewasa ini maupun di masa lalu, banyak sekali kasus yang dapat dikemukakan
untuk menyebut contoh mengenai apa yang kita namakan dengan keadaan darurat atau "state
of emergency itu. Sampai dengan Mei 2007 saja, dapat dikemukakan tercatat cukup banyak
kasus keadaan darurat yang sedang berlaku di berbagai negara. Misalnya dapat kita sebutkan
di sini adalah sebagai berikut :

a. Amerika Serikat, dalam hubungannya dengan berbagai persoalan internasional yang


terkait dengan ancaman terorisme, dapat dikatakan secara nominal masih berada
dalam keadaan darurat secara nasional. Di samping itu, di negara bagian Virginia,
keadaan darurat juga diberlakukan ketika terjadi peristiwaVirginia Tech Massa
creawal 2007. Negara bagian NewJersey juga memberlakukan keadaan darurat
sehubungan dengan banjir besar di New Jersey bagian utara. Negara bagian
California juga memberlakukan keadaan darurat menyusulr untuhnya satu bagian
dari highway yang menghubungkan kendaraan ke jembatan OaklandBay pada April
2007 yang lalu. Demikian pula di El Paso county, Colorado, keadaan darurat
diberlakukan menyusul terjadinya badai saliu yang dahsyat dengan kecepatan angin
75 mph.Gubernur Florida memberlakukan keadaan darurat di 4 dari mid countys
sesudah terjadinya bencana badai dan tornado yang menyebabkan 20 orang
meninggal pada2 Februari 2007. Oswego county di New York juga memberlakukan
keadaan darurat karena menerima curahan salju setebal 100 inchi pada 4 Februari
2007.Pemerintah Oklahoma menyatakan keadaan darurat pada 8 Mei 2007 karena
derai curah hujan yang tidak berhenti-henti dan menyebabkan banjir besar di seluruh
kota.
b. Di samping itu, sampai sekarang Mesir dapat dikatakan masih berada dalam keadaan
daruratsejak Perang 6-Hari pada Juni 1967. Israel juga terus berada dalam keadaan
daruratsejak 1948,yaitu Perang Kemerdekaan, 19 Mei 1948.
c. Syria berada dalam keadaan darurat sejak kudeta Kelompok Baathist pada 8 Mart
1963,meskipun dari waktu ke waktu diakui terus-menerus melonggar sejak itu.
d. Brunei Darussalam mash memberlakukan keadaan darurat sejak 12 Desember 1962
sebagairespons terhadap gerakan pemberontakan pro-kemerdekaan ketika itu
e. Swaziland berada dalam keadaan darurat sejak konstitusinya ditunda
keberlakuannya oleh King Sobhuza Il pada 12 April 1973.
f. Perdana Menteri Tonga mendeklarasikan keadaan darurat pada 17 November 2006
sehubungan dengan demonstrasi sipil di ibukota negara itu ketika itu.
g. Fiji dewasa ini juga terus berada dalam keadaan darurat yang di- deklarasikan ole
Commodore Frank Bainimarama pada 5 Desember 2006 sehubungan dengan kudeta
yang dilancarkan oleh rakyat Fiji.
h. Bangladesh memberlakukan keadaan darurat pada 1 1 Januari 2007 karena terjadinya
tindakan kekerasan dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
i. Pemerintah Bolivia memberlakukan keadaan darurat sesudah terjadinya El-Nino
yang dikut ioleh banjir bear pada 3 Februari 2007.
j. Pemerintah Paraguay juga memberlakukan keadaan darurat pada Februari 2007
untuk mengatasi perkembangan dan perluasan berjangkitnya virus epidemik demam
berdarah (dengue ever epidemic). Presiden Nicanor Duarte menyatakan keadaan
darurat itu akan berakhir paling lambat setelah enam puluh hari.
k. Pemerintah Vanuatu memberlakukan keadaan darurat pada 5 Maret 2007 karena
terjadinyakonflik antar etnis (ethnic clashes) di ibukota Port Vila.
l. Guinea memberlakukan keadaan darurat pada 12 Februari 2007 ketika terjadi
demonstrasi besar penuh kekerasan sebagai reaksi atas pengangkatannya sebagai
Perdana Menteri.

Dimasa lalu, tercatat sangat banyak kasus yang dapat dikemukakan sebagai contoh
pemberlakuan keadaan darurat ini di berbagai negara di dunia. Misalnya, dapat
dikemukakan contoh-contoh sebagai berikut.

a. Di Ecuador: 2 provinsi, yaitu Sucumbios dan Orellana dinyatakan berada


dalamkeadaandarurat pada pertengahan Agustus 2005 karena protes yang
dilancarkan oleh kelompoksuku asli menentang perusahaan- perusahaan minyak
setempat;
b. Di Filipina: keadaan darurat diberlakukan pada 26 Februari 2006 sebagai respons
ataskudeta gagal terhadap Presiden Gloria Macapagal Arroy

KEADAAN DARURAT, HUKUM MILITER DAN HUKUM


INTERNASIONAL

A. KONTEK HUKUM INTERNASIONAL


1. Instrumen Hukum Internasional
Instrumen yang dianggap utama yang mengatur pemberlakuan keadaan darurat ada 3:
a. Konvensi Eropa tentang hak asasi manusia
b. Konvensi Inter-Amerika tenatang hak asasi manusia
c. Konvensi Internasional hak-hak sipil dan politik, ketiga instrumen ini pada pokoknya
dapat dikatakan mengandung tujuh materi ketentuan pengawasan yang terdiri atas dua
ketentuan prosedural dan lima ketentuan materiil.
Kontrol yang bersifat prosedural :
a. Persyaratan bahwa setiap keadaan darurat harus dideklarasikan secara remi oleh
pemerintahyang memberlakukannya.
b. Persyaratan lebih lanjut harus diberitahukan kepada otoritas tertentu, seperti
kepada sekjenPBB.
Kontrol substantif :
a. Adanya pengecualian yang bersifat mengancam keamanan Negara.
b. Adnya kesetimpalan anatara derajat ancaman yang timbul dengan dengan
bentukupayauntuk mengatasi keadaan darurat.
c. Tidak adanya bentuk perlakuan diskriminatif dalam upaya yang dilakukan
d. Kesesuaian antara semua tindakan pengecualian keberlakuan norma yang
dilkaukandengankewajibaninternasional lain.
e. The complete insulation of certain core rights such as the right to life
fromderogation
2. Mekanisme Trety-Baseda.
a. European convention
b. Inter-America convention
c. ICCPR
d. Mekanisme perjanjian lain
3. Mekanisme Non Treaty-Baseda.
a. Prosedur 1503
PBB mempunyai mandat hukum untuk melayani komunikasi denagn siapa saja
termasuk organisasinon pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat atau kelompok
lainnya berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia apaun juga oleh negara
manapun.
b. Special Rapporteur Lembaga yang dibentuk oleh Sub-komisi sebagai kelanjutan dari
rintisan studi mengenai keadaan darurat yang dilakukan pada tahun 1982. Pada
awalnya keberadaan pelapor khusus ini diatur dalam resolusi ECOSOC 1985/37 yang
memberi wewenang kepada sub-komisi untuk mengangkatpetugas khusus. Kemudian
dengan resolusi 1985/32, Sub-komisi mengangkat Mr. LeandroDespouy. Mekanisme
ini secara umum cukup baik dan sangat berguna untuk mencapai tujuanpengkajian dan
pengendalian keadan darurat.
4. Mekanisme lain
Masalah ‘state of emergencies’ pada pokoknya meskipun tidak bersifat langsung
juga menjadi pusat perhatian berbagai badan dunia dan mekanisme lain di luar sistem
resmi PBB, bahkanbadan-badan PBB sendiri juga biasa membentuk institusi- institusi
ysng bersifat tidak resmi dengan berbagai macam sebutan sesuai dengan tema dan negara
tertentu yang menjadi obyekperhatian.
Di samping itu mekanisme lain yang lebih kuat dan efektif melalui dewan
keamanan PBB.Mekanisme ini dianggap paling efektif untuk mengontrol pemberlakuan
keadaan darurat di suatunegara anggota,semata-mata untuk maksudmelindungi hak- hak
asasi manusia yang cenderungterancam dengan memanfaatkan momentum keadaan
darurat (state of emergencies) yangdiberlakukan di negara-negara anggota PBB.
B. HUKUM MILITER
1. Pengertian Umum
A.W Bradley dan K.D Ewing:The military law is the internal law of armed 2 forces,
administered by officers with appropriate authority, by courts- martial, and appealby the
Courts-Martial Appeal Court . Dalam konteks hukum Inggris, Hukum Militer adalah
hukumyang berlaku di kalangan interbal Angkatanbersenjata, yang dilaksanakan oleh
perwira yang ditugaskan untuk itu, olehpengadilam martial dan pada tingkat banding oleh
pengadilan bandingCourtsMartial Appeal .O.Hood Phillips, paul Jackson, Patricia
Leopold:TheObjects of military law are disciplinary andadministrative.
2. Hukum Pidana Militer
Disamping menegakkan ketertiban internal organisasi tentara juga menegakkan
ketertiban umum(internal order dan public order ). Hal ini diatur secara terkodifikasi
dalam KUHPT (KUHP Tentara).
3. Hukum Disiplin Militer
Bertujuan mengatur dan menegakkan ketertiban internal organisasi tentara dan diatur
secaraterkodifikasi dalam KUHDT (KUH Disiplin Tentara).
4. Hukum Tata Usaha Tentara
Objek materiil hukum ini adalah Keputusan Tata Usaha Tentara yang artinya penetapan
tertulisyang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha tentara yang berisi Tindakan
hukumberdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku dan berkaitan
denganpenyelenggaraan pembinaan dan penggunaan tentara serta pengelolaan pertahanan
negara dibidang personil, metriil, fasilitas dan jasa yang bersifat konkret, individual dan
final, yangmenimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata.

C. PERADILAN MILITER DAN PERADILAN MARTIAL


Military tribunal —Pengadilan perang adalah sejenis peradilan militer yang didesain khusus
untuk mengadili tentara musuh di waktu perang yang beroperasinya di luar lingkup wilayan
hukum pidana dan perdata biasa. Hakin dan petugas lain terdisi dari perwira militer. Dan ini
harus dibedakan dengan court-martial .
D. HUKUM HUMANITER DAN PERADILAN PENJAHAT PERANG
Dalam studi hukum, hukum humaniter merupakan cabang ilmu hukum yang secara khusus
dipelajari dalam kerangka hukum internasional yang oleh para ahli biasa dipahami sebagai
seperangkat aturan yang berusaha membatasi akibat suati konflik bersenjata untuk alasan
yang bersifat kemanusiaan. Hukum ini bermaksud melindungi orang yang tidak atau tidak
lagi terlibat dalam permusuhan dan membatasi cara dan metode bagaimana suatu perang
dilakukan (meansmethods of warfare).Depkumham, hukum humaniter dalam arti sempit
adalah keseluruhan asas,kaidah, dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan
korban perang sengketa bersenjata sebagaiman yang diatur dalam Konvensi Jenewa 1948.
Sedangkan dalam arti luas,merupakan asas, kaidan dan hukum internasional baik tertulis
maupun tak tertulis yang mencakup hukum perang dan HAM bertujuan menjamin
penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang.
The law of Geneva atau Hukum Jenewa didesain untuk melindungi personil militer yang
tidak lagi terlibat dalam pertempuran dan orang yang tidak secara aktif terlibat dalam
permusuhan, yaitu orang sipil dan penduduk sipil. Sedangkan the law of Heague atau
Hukum Den Haag menentukan hak dan kewajiban dari “belligerents” untuk bertindak dalam
operasi iliter dan membatasi sarana untuk mencelakai musuh. Saat ini keduanya telah
digabungkan menjadi satu.Peradilan perang mengandung 2 pengertian yaitu peradilan di
masa perang (seperti dalam pengertian military tribunal )---peradilan perang ; dan peradilan
yang diadakan untuk mengadili penjahat perang---terkait hukum humaniter yang mengadili
penjahat perang---International Criminal Tribunal.
Sama pentingnya dengan standar-standar yang dikemukakan di atas, yang penting
darinorma-norma hukum internasional yang terkandung dalam berbagai konvensi dan
instrument instrument internasional tersebut adalah apakah mekanisme yang ditentukan itu
efektif ditegakkan atautidak. Untuk itu, perlu dibedakan antara kedua intrumen regional,
yaitu"the European Conventionon Human Rights" (ECHR)® dan "the Inter-American
Conven- tionon Human Rights" (ACHR)' di satupihak, dengan "the International Covenant
on Civil and Political Rights" (ICCPR)* di pihak yanglain. Kedua instrumen regional
Amerika dan Eropa itu menyediakan mekanisme peradilan(adjudicatory mechanism) dalam
bentuk satu komisi (commission)? dan satu pengadilan (court).Sementara itu, ICCPR lebih
mengedepankan sistem pelaporan (reporting system) yang kurang bersifat adversarial
sebagaimana peradilan.
Dalam kedua instrumen regional Eropa dan Amerika tersebut ditentukan bahwa KomisiHak
AsasiManusia (Human Rights Commission) dilengkapi kewenangan untuk menerima
pengaduan atas pelanggaran konvensi dari negara pihak (state-parties) dan dari perorangan
(individuals) yanghidup di mana saja di negara yang menandatangani konvensi (signatory
countries). Baru pada1998, yaitu mulai 1 November 1998, tugas Komisi HAM Eropa
dilanjutkan dan digantikan oleh European Court of Human Rights yang terdiri atas 39 orang
hakim tetap ( fulltime judges)." Pihak yang dapat mengajukan perkara ke pengadilan ini
untuk di Amerika adalah Komisi HAM ataunegara-pihak (state-parties) yang terkait dengan
perkara yang diajukan kepada Komisi HAM.Sementara di Eropa, sejakEuropean
Commission on Human Rights dibubarkan, maka yang berhak mengajukan perkara ke
European Court of Human Rights hanya Negara negara pihak saja (state- parties).
KETENTUAN KONSTITUSIOANAL KEADAAN DARURAT
A. Undang – Undang Dasar 1945

Istilah (legal terms) yang dipakai dalam kedua pasal tersebut jelas berbeda. Istilah yang
pertama menggunakan istilah "keadaan bahaya" yang tidak lain sama dengan pengertian
keadaan darurat(state of emergency), sedangkan yang kedua memakai istilah "hal ihwal
kegentingan yang memaksa"Apakah kata "hal ihwal itu sama dengan pengertian "keadaan"?

Keduanya tentu tidak sama. Keadaan adalah strukturnya, sedangkan hal ihwal adalah
isinya.Namun, dalam praktik, keduanya dapat mengandung makna praktis yang sama. Oleh
karena itu,keadaan bahaya kadang-kadang dianggap sama dengan hal ihwal yang
membahayakan, atausebaliknya, hal ihwal yang membahayakan sama dengan keadaan
bahaya. Hanya saja, apakah halihwal kegentingan yang memaksa itu selalu membahayakan?
Segala sesuatu yang "membahayakan"tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan
"kegentingan yang memaksa", tetapi segala hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak
selalu membahayakan. Jika demikian, berarti kondisi kegentinganyang memaksa itu lebih
luas dari pada keadaan bahaya. Oleh karena itu, kedua istilah "keadaan bahayadan "hal ihwal
kegentingan yang memaksa" tersebut dapat dibedakan satu dengan yang lain. Denganadanya
pembedaan itu, wajar apabila penetapan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang,berdasarkan ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 tidak harus didahului
oleh suatu deklarasi keadaan darurat. Sementara itu, pelaksanaan ketentuan Pasal 12 UUD
1945 mempersyaratkan dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka
pemberlakuan keadaan bahaya itu.

Beberapa hal yang dapat dikemukakan sehubungan dengan perbedaan di antara kedua
ketentuantersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Pasal 12 mengatur mengenai
kewenangan Presiden sebagaikepala Negara (head of state), sedangkan Pasal 22 berada
dalam ranah (domain) pengaturan, yaitu berisi norma pengecualian atas fungsi kekuasaan
legislatif. Kewenangan untuk menyatakan kondisi negara dalam keadaan bahaya atau
melakukan "declaration of a state of emergency" berada di tangan Presiden selaku kepala
negara, meskipun pengaturan mengenai keadaan bahaya, termasuk syarat pemberlakuan,
pengawasan terhadap pelaksanaannya, dan tata cara mengakhirinya, harus terlebih dulu
diatur dengan undang-undang atau setidaknya diatur dalam undang-undang (bij de wet
geregeldof in de wet geregeld), tidak boleh dengan peraturan yang lebih rendah daripada
undang-undang. Sementara itu, materi yang diatur dalam Pasal 22 berada dalam ranah fungsi
kekuasaan legislatif, yaitu mengenai kewenangan Presiden untuk menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perpu), apabila terpenuhi syarat-syarat untuk
itu, yaitu adanya hal ihwal atau keadaan kegentingan yang memaksa Kedua, seperti telah
diuraikan di atas, keadaan dan hal ihwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud dalam
Pasal 22 tidak identik atau tidak sama dengankeadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal
12 Keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 boleh jadi termasuk kategori keadaan
atau hal ihwal kegentingan yang memaksa seperti yang dimaksud olehPasal 22. Akan tetapi,
alasan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 tentu tidak selalu merupakan keadaan
bahaya seperti yang dimaksud Pasal 12. Artinya, keadaan atau hal ihwal kegentingan yang
memaksa menurut Pasal 22 itu lebih luas cakupan maknanya daripada keadaan bahaya
menurut Pasal 12 Dalam setiap keadaan bahaya.

Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.


Sebaliknya, tidak setiap kali Presiden menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang berarti negara berada dalam keadaan bahaya. Keadaan bahaya dapat dianggap sama
dengan hal ihwal yang membahayakan, atau sebaliknya, hal ihwal yang membahayakan juga
merupakan keadaan yang membahayakan. Akan tetapi, hal ihwal kegentingan yang
memaksa itu tidak selalu membahayakan.Segala sesuatu yang "membahayakan" tentu selalu
bersifat "kegentingan yang memaksa". Tetapi segala hal ihwal kegentingan yang memaksa
tidak selalu membahayakan. Oleh karena itu, dalam keadaan bahaya menurut Pasal 12,
Presiden dapat menetapkan Perpu kapan saja diperlukan. Akan tetapi, penetapan Perpu oleh
Presiden tidak selalu harus berarti ada keadaan bahaya lebih dulu.Artinya, dalam kondisi
negara dalam keadaan normal pun, apabila memang memenuhi syarat, Presiden dapat saja
menetapkan suatu Perpu. Ketiga, ketentuan mengenai "keadaan bahaya" yangditentukan
dalam Pasal 12 jelas lebih menekankan sifat bahaya yang mengancam (dangerous threat),
sedangkan "kegentingan yang memaksa" dalam Pasal 22 lebih menekankan aspek kebutuhan
hukumyang bersifat mendesak atau kemendesakan yang terkait dengan persoalan waktu
yang terbatas. Disatu pihak ada unsur "reasonable necessity", tetapi di pihak lain terhadap
kendala "limited time."Dengan demikian, terdapat tiga unsur penting yang secara bersama-
sama membentuk pengertian keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang
memaksa.

B. Undang – Undang Keadaan Bahaya


Sejak UUD 1945 ditetapkan dan disahkan pada 18 Agustus 1945 pengaturan lebih lanjut
mengenai keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 ditentukan
dalam beberapa undang-undang. Undang-undang terakhir yang mengatur tentang hal ini
adalah UU Prp No. 23 Tahun 1959yang diundangkan pada 16 Desember 1959. Dengan
berlakunya undang-undang ini, undang-undangyang berlaku sebelumnya, yaitu UU No. 74
Tahun 1957 dinyatakan dicabut. Sebelum berlakunya UUNo. 74 Tahun 1957 ini, undang-
undang pertama yang dibentuk untuk mengatur keadaan bahaya iniadalah UU No. 6 Tahun
1946 tentang Keadaan Bahaya. Dapat dibayangkan bahwa baru satu tahun Indonesia
merdeka, sudah terbentuk undang-undang khusus yang mengatur soal keadaan bahaya ini
sesuai dengan amanat Pasal 12 UUD 1945. UU No. 6 Tahun 1946 itu pada pokoknya
banyakmencontoh ketentuan yang terdapat dalam "Regeling op de Staat van Oorlog en van
Beleg" atau biasadisingkat dengan Regeling SOB yang diundangkan pada 1939.* Kedua
undang-undang yang terakhirini, yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan
Bahaya dan "Regeling op de Staat vanOorlog en van Beleg" atau (Regeling SOB) dicabut
oleh UU No. 74 Tahun 1957.
Dengan demikian, undang-undang yang merupakan penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD
1945yang masih berlaku sampai sekarang adalah UU Prp No. 23 Tahun 1959. Di dalamnya
diatur berbagai hal berkenaan denga pemberlakuan dan pengakhiran serta tentang syarat-
syarat dan akibat hukum pemberlakuan keadaan bahaya itu. Jika sebelumnya keadaan
bahaya dibedakan antara keadaandarurat (staat van beleg) dan keadaan perang (staat van
oorlog), dalam undang-undang yang terakhirini, keadaan bahaya itu dibedakan menurut
tingkatannya antara keadaan darurat perang, keadaan darurat militer, dan keadaan darurat
sipil. Perkataan keadaan darurat dianggap identik atau merupakan sinonim saja dari
perkataan keadaan bahaya.
Di zaman Hindia Belanda, perkataan "staat van oorlog" dan "staat van beleg" memang
dibedakan satu sama lain. Kedua istilah ini secara tidak tepat diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, yaitu"staat van oorlog" diartikan "keadaan perang", sedangkan "staat van beleg"
diartikan "keadaandarurat". Padahal, seperti dalam terjemahan Susi Moeimam dan Hein
Steinhauer, 'de staat van beleg'itu adalah suatu keadaan di mana "kekuasaan diambil alih dan
undang-undang negara tidakdiberlakukan lagi." Namun, karena kesalahan itu, dalam UU
No. 74 Tahun 1957 tentang KeadaanBahaya." keadaan bahaya tersebut dibedakan dalam dua
tingkatan pengertian, yaitu keadaan daruratdan keadaan perang. Hal itu terlihat dalam
rumusan Pasal 1 Ayat (1) UU Keadaan Bahaya Tahun 1957 tersebut.
C. Penanggulangan Bencana
Untuk mengatur mengenai penanggulangan bencana, pada 2007, telah pula
diundangkanUndang-Undang No. 24 Tahun 2007 yang dibentuk karena keharusan
mengambil tanggung jawabdalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia denganmemberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan
termasuk perlindungan atasbencana dalam mewujudkan kesejahteraan umum yang
berlandaskan Pancasila, sebagaimanadiamanatkan dalam UUD 1945. Wilayah Negara yang
demikian luas, memiliki kondisi geografis,geologis, hidrologis, dan demografis yang
memungkinkan sering terjadinya bencana, baik yangdisebabkan oleh faktor alam, faktor
nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnyakorban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan
tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang penanggulangan bencana yang ada selama ini memang belum dapat
dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa sehingga menghambat upaya
penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.
Bencana itu sendiri dalam undang-undang ini yang diartikan sebagai peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh factor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dandampak psikologis. Bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah
longsor Sementara ini, bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi,gagal
modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit sedangkan bencana sosial adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang
meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar-komunitas masyarakat, dan teror .
Untuk menanggulangi bencana dimaksud, maka oleh undang undang diatur mengenai
penyelenggaraan rangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Prinsip-prinsip yang digunakan sebagai dasar dalam penanggulangan bencana tersebut.
Pembentukan undang-undang ini sama sekali tidak dikaitkan dengan keadaan bahaya atau
keadaan darurat sebagaimanayang diatur dalam UU No. 23 Prp Tahun 1959. Misalnya,
dalam konsideran UU No. 24 Tahun 2007 ini,tidak tercantum sama sekali UU No. 23 Tahun
1959 yang merupakan satu-satunya undang-undangyang berlaku sampai sekarang tentang
keadaan bahaya sebagai penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD1945. Rupanya, pembentuk
undang-undang berusaha membedakan antara keadaan yang timbul karena terjadinya
bencana seperti yang dimaksud dalam undang- undang ini dengan keadaan darurat
sebagaimana yang diatur dan dimaksud dalam UU Keadaan Bahaya dan UUD 1945.
Padahal, keadaanbahaya darurat itu sendiri sebenarnya dapat terjadi bukan saja karena
perang agresi, ataupun karena konflik-konflik bersenjata, tetapi juga karena bencana alam
sehingga sudah seharusnya UU No. 23 PrpTahun 1959 tentang Keadaan Bahaya juga
dijadikan referensi oleh penyusun Undang-Undang No. 24Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana ini. Memang dapat dimaklumi juga bahwa UU No. 24Tahun 2007
ini disusun dalam suasana eforia reformasi, sedangkan UU No. 27 Tahun 1997 disusun
dalam masih dominannya rona kekuasaan Orde Baru, dan UU No. 23 Prp 1959 disusun
dalam suasana dominannya kekuasaan Orde Lama. Sangat boleh jadi, pembentukan UU No.
27 Tahun 2007 dipengaruhi oleh suasana yang sedemikian antinya terhadap segala bentuk
otoritarianisme sehingga kekuasaan penguasa darurat dipandang harus dihindari dalam
pengelola keadaan yang timbul akibatterjadinya bencana alam sebagaimana yang diatur
dalam undang-undang ini.
Namun demikian, terlepas dari kekurangan ini, yang jelas, UU No. 23 Prp Tahun 1959
tentangKeadaan Bahaya dan juga UU No. 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan
Demobilisasi sampai sekarangmasih berlaku mengikat sehingga masih harus diterapkan
apabila terjadi bencana yang menimbulkankeadaan-keadaan yang memenuhi unsur-unsur
yang dimaksud oleh kedua undang-undang ini. Dengandemikian, suatu bencana alam yang
dahsyat yang menimbulkan ancaman bahaya serius danmembutuhkan tindakan mobilisasi,
maka kedua undang-undang terakhir harus diterapkan bersama-sama dengan Undang-
Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

APARATUR PELAKSANA KEKUASAAN DARURAT

A. Penanggung jawab : The Sovereign Power


Siapa yang secara konstitusional dapat dianggap bertanggung jawab dan karena itu
dianggap sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam keadaan darurat yang dimaksud di
atas? Pada pokoknya, kewenangan untuk menanggulangi, mengatasi, dan mengelola
keadaan darurat terletak ditangan kepala negara. Di negara-negara yang menganut sistem
pemerintahan presidentil,kewenangan tersebut berada di tangan Presiden, sedangkan di
kalangan negara-negara yang menganut sistem parlementer atau pemerintahan kabinet,
kewenangan tersebut berada di tanganRaja, Ratu, Kaisar, ataupun Presiden. Para pemegang
puncak kekuasaan eksekutif tersebut dapatdisebut sebagai "the Sovereign Executive" yang
dianggap mempunyai hak-hak yang bersifat prerogative apabila negara berada dalam
keadaan darurat. 'The Sovereign Executive' inilah yang sebenarnya merupakan pemegang
kekuasaan untuk mengecualikan berlakunya hukum yang biasa (ordinary laws),seperti
dikatakan oleh Carl Schmitt, "Sovereign is he who decides upon the exception."
Menurutnya,untuk menghadapi keadaan yang bersifat darurat yang mengancam keselamatan
negara, demokrasiliberal hanya mungkin bertahan dengan mengangkat seorang menjadi
diktator yang akan memberlakukan kekuasaan darurat yang memungkinkan "everything is
justified that appears to benecessary for a conretely gained success.
Dengan diberlakukannya keadaan darurat, semua tindakan yang diperkonkret." Jukan
menjadibenar semata-mata untuk mendapatkan keberhasilan yang juga mengembangkan
pengertian mengenai hak prerogatif yang luas, John Locke, dalam bukunya "Two Treaties
on Civil Government".sehingga mencakup pula hak-hak negara dalam keadaan darurat.
prerogative can be nothing but thepeople's per Menurut John Locke, " law was silent and
sometimes too against the direct letter of thelaw, for mitting their rules to do several things
of their own free choice, where the the public good."Hak prerogatif itu bahkan, menurut
A.V. Dicey, tidak halnya hak yang dimiliki oleh "the crown and itsservants." Raja dan
segenap saja dimiliki negara, tetapi juga oleh setiap individu warga negara, seperti individu
rakyat mempunyai hak "to repel force by force in the case of invasion, insurrection, riot,
orgenerally of any violent resistence of orderly government and is most assuredly recognised
in the mostample manner by the law of England." Dalam sistem presidentil, seperti di
Amerika Serikat, Indonesia,dan Filipina, hak prerogatif yang menyangkut tanggung jawab
untuk mengatasi keadaan darurat nasional seperti tersebut di atas berada di pundak Presiden
sebagai 'single sovereign executive'.Menurut Appacorai, konsep 'single executive' ini sangat
penting, terutama ketika fungsi eksekutif negara diperhadapkan dengan situasi krisis di mana
kesatuan komando menjadi sesuatu yang sangatpenting.
B. Pelaksana Kekuasaan Darurat Di Daerah
Keadaan darurat yang diberlakukan dapat bersifat nasional atau local di daerah atau untuk
lingkup daerah-daerah tertentu saja. Dalam kedua keadaan tersebut, aparatur pemerintahan
daerah memegang peranan yang sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan
dalam masaberlakunya keadaan darurat. Hanya saja, jika keadaan darurat atau bahaya itu
berlaku secara nasional,aparatur pemerintahar. daerah. hanya sebagai pelaksana aparatur
pelaksana operasional kekuasaan pemerintahan dalam keadaan darurat yang bersifat
nasional. Sementara itu, apabila keadaan daruratyang diberlakukan hanya bersifat lokal,
yaitu untuk daerah yang bersangkutan itu saja, peranan pemerintahan daerah yang
bersangkutan dapat menjadi pelaksana langsung dari kewenangan Presiden sebagai 'the
Sovereign.' Namun, terlepas dari perbedaan tersebut di atas, yang jelas dalam konsepsi
negara kesatuan (unitary state), badan hukum negara bersifat tunggal sehingga 'the
solesovereign head of state'nya hanya ada satu. Dalam hal ini, berdasarkan ketentuan UUD
1945, yang mempunyai kedudukan sebagai 'the sole sovereign head of state' adalah
Presiden. Gubernur ataupun bupati/walikota sebagai kepala pemerintah daerah tidak
memiliki kedudukan sebagai 'thesovereign legal entity' yang bersifat otonom. Otonomi
daerah dalam konteks negara kesatuan (unitarystate, eenheidsstaat) hanyalah merupakan
sistem pengelolaan pemerintahan daerah yang menganut asas desentralisasi. Artinya,
pemerintahan daerah itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari konsepsi
tentang negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945. Oleh karena itu,
kepala pemerintah daerah tidak dapat dianggap memiliki kewenangan yang otonom untuk
menyatakan atau mendeklarasikan berlakunya keadaan darurat atau keadaan bahaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, sekalipun keadaan darurat itu hanya
merupakan keadaan darurat sipil dan bersifat lokal di wilayah pemerintahannya.
Mengapa demikian? Jawabannya jelas terkait dengan kenyataan bahwa akibat hukum
yangdihasilkan oleh pernyataan berlakunya keadaan darurat itu adalah timbulnya
pembenaran atau legalisasi untuk dilakukannya tindak penyimpangan atau pengecualian dari
ketentuan hukum yangberlaku dalam keadaan normal. Dengan adanya pernyataan keadaan
bahaya atau darurat itu, keadaan negara berubah menjadi tidak normal sehingga berlaku
doktrin "abnormal recht voor abnormal tijd",yaitu bahwa hukum yang tidak normal berlaku
untuk waktu yang tidak normal. Bahkan, oleh ProfesorOmar Seno Adjie bahwa dalam
keadaan darurat itu, segala penyimpangan dan pertentangan dengan kelaziman dapat
dibenarkan (gerechtvaardigd) karena pertimbangan adanya bahaya atau 'nood. Olehkarena
itu, hanya 'the sovereign executive' yang memiliki kewenangan yang disebut sebagai
'theinherent and independent power untuk mendeklarasikan atau memproklamasikannya.
Pejabat pemerintahan daerah dalam lingkup suatu Negara kesatuan hanya bertindak sebagai
operator atau pelaksana di daerah yang menjadi tanggung jawabnya, bukan justru bertindak
sebagai sang 'sovereign' itu sendiri.

C. Pengadilan Dalam Keadaan Darurat


Pengadilan dalam keadaan normal berbeda dengan pengadilan dalam keadaan darurat.
Kondisi darurat dalam keadaan damal (emergency power) juga berbeda dari kondisi darurat
dalam keadaan perang ac in me of war). Dalam keadaan biasa, pengadilan di Indonesia
dewasa ini terdiri atas Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) beserta
keempat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya, yaitu lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan lingkungan
peradilan militer Masing-masing lingkungan peradilan tersebut terdiri atas peradilan tingkat
pertama, peradilan tingkat banding, dan peradilan tingkat kasasidi Mahkamah Agung
Pengadilan tingkat pertama meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,Pengadilan Tata
Usaha Negara, dan Pengadilan Militer Sementara itu, peradilan tingkat banding terdiriatas
Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
danPengadilan Tinggi Militer Dalam kondisi biasa dan dalam keadaan darurat yang damai
(emergency intime of peace), peradilan militer merupakan peradilan hukum disiplin militer
yang bersifat internal organisasi tentara, Inilah yang biasa dikenal sebagai pengadilan militer
pada umumnya. Perlunya peradilan militer diadakan tersendiri dan terpisah dari peradilan
umum, karena di bidang hukum pidana, di samping hukum pidana umum, maka terhadap
anggota tentara masih perlu diberlakukan hukum yang bersifat khusus yang disebut hukum
pidana militer dan hukum disiplin militer MenurutSoegiri, hal tersebut berkaitan dengan
adanya kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam kehidupan para anggota tentara atau
militer.

PROSEDUR PEMBERLAKUAN KEADAAN DARURAT


A. Prosedur Pemberlakauan
Dlam bab ini akan dibahas mengenai prosedur-prosedur pemberlakuan keadaan darurat
yang ideal. Maksudnya, pembahasan di sini tidak dilakukan dengan hanya terbatas pada
sumber rujukan normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan positif yang ada, yang
notabene sudah sangat ketinggalan zaman. Seperti telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu,
pemberlakuan keadaan daruratitu di Indonesia sampai sekarang masih didasarkan atas
ketentuan UU Prp No. 23 Tahun 1959 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Upaya
untuk mengadakan pembaruan dengan pembentukan undang-undang baru, meskipun telah
diusahakan, masih belum juga berhasil sampai sekarang. Oleh karena itu, kita tidak dapat
hanya mengandalkan ketentuan normatif berdasarkan undang-undang dimasa Orde Lama
itu. Lagi pula, dewasa ini, rezim konstitusi Indonesia sudah sangat berubah. Jika UU Prp No.
23 Tahun 1959 ditetapkan sebagai respons atas keadaan yang tidak normal yang timbul
akibat ditetapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945
sebagai konstitusi negara, maka sekarang keadaan negara didasarkan atas UUD 1945
pascareformasi, yaitu telahdilengkapi dengan Perubahan Pertama (1999). Perubahan Kedua
(2000), Perubahan Ketiga (2001), danPerubahan Keempat (2002). Lembaga-lembaga
penyelenggara kekuasaan negara juga telah berubah dan bertambah. Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) ditiadakan. dan telah terbentuk lembaga (tinggi)negara yang baru, yaitu
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Demikianpula dengan
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang dulunya hanya merupakan mitra
DewanPerwakilan Rakyat (DPR) dalam mengawasi pelaksanaan tanggung jawab keuangan
negara, sekarangdilengkapi dengan kewenangan yang lebih luas dan lebih besar sehingga
laporan hasil pemeriksaannya juga harus disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) sesuai tingkat kewenangannya, di samping kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
B. Keadaan Darurat Sipil
Keadaan darurat sipil itu sendiri dapat terjadi karena berbagai sebab. baik yang bersifat
alami,insani, dan/atau sebab-sebab yang bersifat hewani. Sebab alami adalah sebab yang
terjadi karena akibat bencana alam baik yang timbul dari perut bumi, dari lautan, atau dari
udara. Sebab-sebab yang bersifat insani adalah sebab-sebab yang terjadi karena ulah
manusia. Sementara itu, sebab-sebab yang bersifat hewani adalah bencana yang timbul
karena hewan yang menyebabkan berjangkitnya wabah penyakit yang meluas. Misalnya,
bencana gunung berapi meletus, luapan lumpur panas dari perut bumi, hujan badai,
gelombang tsunami, banjir besar. kebakaran hutan, atau kebakaran pada
umumnya,berjangkitnya wabah penyakit demam berdarah (DB), penyakit malaria, penyakit
Aids, flu burung(aviant influenza), dan lain sebagainya.
Di samping itu, dapat pula terjadi konflik horizontal antar penduduk yang menimbulkan
keadaan darurat. Tentu harus diadakan penilaian tersendiri berdasarkan kasus per kasus,
apakah peristiwa yang terjadi memang cukup diatasi dengan cara mendeklarasikannya
sebagai keadaan darurat sipil. Misalnya, jika konflik horizontal itu sendiri ternyata
menimbulkan korban jiwa yang meluas karena adanya faktor senjata api atau senjata tajam
lainnya dalam jumlah tertentu, dapat sajatimbul kesimpulan bahwa pemberlakuan keadaan
darurat sipil tidak mencukupi untuk mengatasi keadaan. Dalam hal yang demikian, keadaan
darurat militer dapat saja diberlakukan, Keadaan darurat sipil bahkan dapat pula
berhubungan dengan berbagai persoalan administrasi pemerintahan atau dengan tugas-tugas
administrasi yang bersifat internal pemerintahan. Apabila fungsi-fungsi pemerintahan
tertentu tidak dapat dilakukan dengan efektif sesuai dengan tujuannya, kecuali jika
dilakukan dengan cara yang terpaksa melanggar peraturan perundang-undangan, sementara
peraturan dimaksud tidak mungkin dapat diubah dalam waktu yang tersedia, hal yang
demikian itu juga dapat menimbulkan keadaan yang bersifat darurat. Sekiranya keadaan
demikian juga dinyatakansebagai keadaan darurat, kedaruratan yang demikian juga hanya
bersifat darurat sipil. Keadaan yangdemikian itulah yang disebut sebagai keadaan darurat
internal administrasi pemerintahan (innerernotstand atau internal state of emergency).
C. Keadaan Darurat Militer
Keadaan darurat militer adalah keadaan yang tingkatan bahayanya dianggap lebih besar
dari padakeadaan darurat sipil dan penanganan atau penanggulangannya dianggap tidak
cukup dilakukan dengan operasi yang dikendalikan oleh pejabat sipil dan hanya berdasarkan
ketentuan peraturan yangberlaku dalam keadaan darurat sipil. Apabila tingkat ancaman
bahaya yang terjadi dianggap lebihbesar atau lebih serius dan dinilai tidak cukup ditangani
menurut norma-norma keadaan darurat sipil,maka keadaan negara, baik untuk seluruh
wilayah ataupun hanya untuk sebagian wilayah tertentusaja, dapat dinyatakan atau
dideklarasikan berada dalam keadaan darurat militer. Menurut ketentuan Pasal 7 Ayat (1)
UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia,2% tugas pokok Tentara
Nasional Indonesia (TNI) adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan
keutuhan wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahu 1945, serta melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesiadari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan
bangsa dan negara.
Tugas pokok tersebut dilakukan dengan operasi militer untuk perang atau operasi militer
selainperang. Operasi militer untuk perang dilakukan dalam keadaan darurat perang,
sedangkan operasi militer selain perang dapat dilakukan dalam keadaan darurat militer,
keadaan darurat sipil, ataupun dalam keadaan tertib sipil biasa. Misalnya, operasi militer
dalam keadaan darurat militer dapat dilakukan untuk maksud: (i) mengatasi gerakan
separatisme bersenjata; atau (ii) mengatasi pemberontakan bersenjata. Ketentuan mengenai
keadaan darurat militer ini diatur dalam Bab III UUPrp No. 23 Tahun 1959 mulai dari Pasal
22 sampai dengan Pasal 34. Dalam Pasal 22 ditentukan bahwaselama keadaan darurat
militer berlangsung, ketentuan-ketentuan dalam Bab III itu berlaku untukseluruh atau
sebagian wilayah negara Republik Indonesia yang dinyatakan dalam keadaan darurat militer,
Apabila keadaan darurat militer dihapuskan dan tidak disusul dengan pernyataan keadaan
perang, maka pada saat penghapusan itu peraturan-peraturan atau tindakan-tindakan
Penguasa Darurat Militer tidak berlaku lagi, kecuali yang tersebut dalam Pasal 22 Ayat (3).
D. Keadaan Darurat Perang
Keadaan perang timbul karena adanya ancaman yang membahayakan kedaulatan Negara,
Keselamatan Bangsa, dan Keutuhan seluruh atau sebagian wilayah Negara yang dating dari
kekuatan militer asing, di dalam wilayah Negara ataupun di luar wilayah Negara,yang untuk
menangkal, menindak, dan memulihkannya memerlukan kekuatan operasi militer sebagai
alat pertahanan Negara.

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai