Dosen
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H
Chk Dr. Syamsoel Hoeda, S.H., H.Hum
Dr. dr. Nasser, Sp.KK., D.Law
Di Susun Oleh
Purwanto Kitung, SH, SE, MM, MPH, CLA, CPTT
NIM : 23050081
PROGRAM PASCASARJANA
SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
Jakarta, Februari 2024
PENDAHULUAN
Pengertian Hukum Tata Negara Darurat adalah Menurut ahli Herman sihombing,
merupakan hukum tata negara (HTN) dalam keadaan bahaya, yakni sebuah rangkaian pranata
dan wewenang secara luar biasa dan istimewa untuk dalam waktu sesingkat-singkatnya dalam
menghapuskan keadaan darurat atau bahaya yang mengancam, kedalam kehidupan biasa
menurut undang-undang dan hukum yang umum dan biasa. Menurut Jimly asshiddiqie,
mengemukakan tentang hukum tata negara darurat sebagai berikut:“oleh karena itu, didunia
akademis, khususnya hukum tata negara perlu dibedakan antara HTN negara yang berlaku dalam
keadaan biasa atau normal dan HTN yang berlaku dalam keadaan luar biasa atau tidak normal.
HTN inilah yang kita namakan hukum negara darurat.
HTND (staatsnoodrecht) dibagi menjadi dua macam yaitu HTND Subjektif
(staatsnoodrecht subjectip) dan HTND Objektif (staatsnoodrecht objetip). HTND subjektif dalam
arti subjektif yang merupakan hak negara untuk bertindak dalam arti subjektif yang merupakan
hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat bisa dengan cara menyimpang
dari ketentuan undang-udang, dan bahkan apabila memang diperlukan, menyimpang dari
undang-undang dasar.
Keadaan bahaya dapat terjadi dimana saja, termasuk dapat terjadi hanya di suatu daerah
tertentu saja. Jika keadaan bahaya itu timbul, meskipun hanya di daerah tertentu saja, hal itu
sudah cukup memberikan alasan bagi negara untuk menjalankan hak subjektifnya untuk
memberlakukan keadaan darurat atau HTND dalam arti subjektif. Tujuan dari HTND Subjektif
adalah untuk secepatnya dapat melindungi hak asasi manusia masyarakat yang terancam karena
keadaan bahaya. HTND Subjektif merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi diakui disemua
negara didunia.
Sumber dari HTND subjektif itu adalah hak-hak asasi manusia yang pada mulanya
merupakan hukum tidak tertulis yang bersandar pada hukum asasi sebagai hukum objektif.
Namun demikian, karena pengaruh perkembangan aliran positivisme dan ajaran tentang negara
hukum formil, barulah setelah itu berkembang istilah HTND objektif. HTND objektif adalah
hukum yang berlaku dalam masa negara berada dalam keadaan darurat itu, yang diutamakan
dalam HTND objektif adalah keadaan daruratnya.
Dengan perkataan lain, HTND objektif merupakan hukum tata negara yang berlaku atau
baru berlaku pada waktu negara berada dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, atau dalam
keadaan genting. Sumber HTND Objektif sebagai dasar lahirnya adalah undang-undang yang
tertulis. Sementara itu, HTND subjektif subjek utamanya adalah keadaan darurat negara atau
keadaan bahaya yang memberikan hak kepada negara untuk bertindak dalam mengatasinya.
Hukum darurat negara itu dapat berupa hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum
pidana, ataupun lapangan hukum perdata.
Sekarang ketentuan hukum yang masih berlaku dan mengatur mengenai keadaan bahaya
atau keadaan darurat ini adalah ketentuan pasal 12 Udang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang No. 23 Prp Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya.
Keadaan dikategorikan sebagai keadan berbahaya atau darurat:
Keadaan darurat menuntut negara untuk mengambil tindakan sesegera mungkin dan
meminimalisir resiko yang terjadi. Dalam hal tindakan yang dapat diambil menurut Vinkat Iyer
tindakan darurat meliputi:
1. asas proklamasi
Keadaan darurat harus diumumkan atau diproklamirkan kepada seluruh masyarakat. Bila
keadaan darurat tersebut tidak diproklamirkan maka tindakan yang diambil oleh
pemerintah tidak mendapat keabsahan.
2. asas legalitas
Asas legalitas disini berkaitan dengan tindakan yang diambil oleh negara dalam keadaan
darurat. Tindakan yang diambil harus tetap dalam koridor hukum, baik hukum nasional
maupun hukum internasional.
3. asas komunikasi
4. asas kesementaraan
Dalam penetapan keadaan darurat harus ada kepastian hukum yakni jangka waktu
pemberlakuan keadaan darurat. Hal ini dikarenakan negara dalam keadaan darurat dapat
mencederai hak dasar warga negara. Sehingga pemberlakuan keadaan darurat harus jelas
mengenai awal pemberlakuan dan waktu berakhirnya.
Krisis yang menimbulkan keadaaan darurat harus benar-benar terjadi atau minimal
mengandung potensi bahaya yang siap mengancam negara. Ancaman yang ada haruslah
bersifat istimewa. Keistimewaan tersebut karena menimbulkan ancaman terhadap nyawa,
fisik, harta-benda, kedaulatan, keselamatan dan eksistensi negara, atau peri kehidupan
bersama dalam sebuah negara.
6. asas proporsionalitas
Tujuan pemberlakuan keadaan darurat adalah agar negara dapat mengembalikan dalam
keadaan semula dengan waktu yang cepat. Oleh karena itu tindakan yang diambil haruslah
tepat sesuai dengan gejala yang terjadi. Jangan sampai negara mengambil tindakan yang
tidak sesuai dan cenderung berlebihan.
7. asas intangibility
Asas ini terkait dengan hak asasi manusia. Dalam keadaan darurat pemerintah tidak boleh
membubarkan organ pendampingnya yakni legislatif maupun yudikatif.
8. asas pengawasan
Pemberlakuan keadaan darurat juga harus mendapatkan kontrol. Harus mematuhi prinsip
negara hukum dan demokrasi. Parlemen harus mengawasi jalannya keadaan darurat
sebagai bentuk mekanisme “check and balances”.keadaan darurat tidak mengurangi
kewenangan mengawasi kebijakan yang diambil pemerintah
Dalam keadaan darurat negara bisa mengurangi sebagian dari hak asasi manusia.
Namun negara tidak boleh mengurangi sedikit pun hak dasar manusia (non derogable
rights). Berikut ini hak dasar manusia:
Sejak kemerdekaan sampai dengan sekarangan, telah banyak peristiwa atau kejadian luar
biasa yang menyebabkan peraturan perundanga-undangan yang berlaku dalam keadaan biasa
atau normal menjadi tidak berdaya dan tidak lagi efektif untuk dipakai guna mencapai tujuan
pembentukannya. Untuk Menghadapi berbagai potensi gangguan dan ancaman dimaksud, maka
untuk pertama kali, Pemerintah Republik Indonesia membentuk satu undang-undang tersendiri,
yaitu UU No. 6 Tahun 1946 Tentang Keadaan bahaya
6 Tahun 1946 tentang keadaan Bahaya ini, Ketika Pemerintahan berpusat di Yogyakarta,
Pada 7 Juni 1946, Presiden Soekarno Mengeluarkan pernyataan Keadaan Bahaya Untuk Daerah
Jawa Timur dan Madura. Dengan Putusan 7 Juni 1946, Mengingat Pasal 6 dari UU keadaan
bahaya, Memutuskan:
1. Membentuk suatu Dewan Militer yang diketahui oleh kami sendiri;
2. Mengangkat menjadi :
a. Wakil ketua pertama Wakil presiden;
b. Wakil ketua kedua Menteri Pertahaan;
3. Mengangkat seterusnya menjadi anggota:
a. Panglima Besar;
b. Pemimpin Umum AD RI;
c. Kepala staf AL RI;
d. Kepala staf AU RI;
e. Direktur Jenderal Kementrian Pertahaan;
4. Mencatat bahwa di kementrian Pertahanan dibentuk suatu kantor yang tetap untuk Dewan
tersebut dan yang berkedudukan di Yogyakarta.
Selanjutnya, ketika RI berubah menjadi RIS berdasarkan UUD RIS 1949, Presiden
menetapkan UU Darurat No. 8 Tahun 1950 yang mengadakan tambahan terhadap “Regeling op
de saat van Oorlog en van Beleg,”.
Kasus pertama,Sejarah HTND di Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari catatan
kelam peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus Hingga puncaknya Pada 30 September 1962
(G-30-S). Bermua dari eskalasi politik yang kian memanas, akibat adanya pertentangan di
kalangan elite politik terhadap beberapa permasalahan sistem ketatanegaraan anatara lain :
gerakan NASAKOM; perebutan pengatuh dalam lingkar kekuasaan Presiden Soekarno,
Khususnya PKI dengan Kelompok (TNI-AD); Gerakan di tingkat akar rumput antara beberapa
organisasi massa dari berbagai unsur kemasyrakatan, agama, sosial politik; serta adanya klik-klik
dalam tubuh militer baik di intern AD maupun antarangkatan, terutama dengan AU.
Dalam situasi yang sangat tidak menentu dan menimbulkan spekulasi politik, Presiden
Soekarno mengeluarkan beberapa putusan penting. Di antaranya
a. Tentang Kesehatan Presiden;
b. Bahwa Presiden tetap memegang tampuk pimpinan negara dan tampuk pemerintahan dan
Revolusi Indonesia;
c. Bahwa Presiden memerintahkan semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Wk. PM
II Dr. Leimena dan para pejabar lain untuk menyelesaikan persoalan dalam peristiwa G-
30-S PKI;
d. Perlunya menciptakan suasana tenang dan tertib dengan menghindari bentrokan senjata;
e. Bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Presiden dengan dibantu oleh Mayor
Jenderal Pranoto Reksosamudra untuk tugas sehari-hari; dan
f. Untuk pemuihan keamanan dan ketertiban yang bersangkutan dengan peristiwa 30
September ditunjuk Mayor Jenderal Soeharto, sesuai dengan kebijaksanaan yang
digariskan.
1. Perkembangan Sejarah
Hukum yang berlaku dalam keadaan darurat itu, dalam praktik, biasa disebut“Martial
Law” Seperti perkembangan di Inggris, pada mulanya di Amerika Serikat juga
konsep“MartialLaw” ini hanya dikaitkan dengan pengertian hukum militer yang
dijalankanoleh military government dan dipertahankan di“military court”
Undang-undang dasar Amerika Serikat sama sekali tidak menyebut secara secaraeksplisit
ketentuan mengenai keadaan darurat atau “state of emergencies”.Hal yang menghambat
dalam penerapan “Martial Law” di Amerika Serikat, menurut Mary Maxwell, adalah
adanya undang-undang yang biasa disebut dengan proses comitatus Act 1878. Undang-
undang inisecara eksplisit melarang tentara untuk terlibat dalam urusan penegakan hukum
di dalam negeri.Sebelum adanya posse comitatus Act ini dapat dikemukakan pula adanya
putusan MahkamahAgung yang sangat terkenal dalam soal ini, yang dikenal dengan Ex
Parte Milligan (1863) .Mahkamah Agung menyatakan bahwa “Lincoln’s imposition
of martial law (by way of suspensionof habeas corpus) was unconstitusional.
B. MODEL“ETAT DESIEGE”PRANCIS
Keadaan“etat desiege” atau keadaan darurat dibedakan atas:
1. Etat de siege reel (actual state of siege) Keadaan dimana wilayah negara secara nyata
telah di duduki atau dikuasai oleh musuh negara dimana nyata-nyata operasi militer
memang sedang berlangsung.
2. Etat de siege fictive (constructive state of siege) Kehidupan normal tidak sepenuhnya
terganggu, meskipun disana sini terdapat gangguan bahaya yang mungkin mengancam.
Keadaan darurat seperti ini bersifat konstruktif, yatiu karena konstruksi hukum, bukan
ada secara riel dalam keadaan nyata.Fungsi institusi sipil memang terganggu, tapi masih
berfungsi dalam pemenuhan kewajiban dalam memelihara tertib hukum dan jaminan
sistem konstitusional.
D. DI NEGARA LAIN
Baik dewasa ini maupun di masa lalu, banyak sekali kasus yang dapat dikemukakan
untuk menyebut contoh mengenai apa yang kita namakan dengan keadaan darurat atau "state
of emergency itu. Sampai dengan Mei 2007 saja, dapat dikemukakan tercatat cukup banyak
kasus keadaan darurat yang sedang berlaku di berbagai negara. Misalnya dapat kita sebutkan
di sini adalah sebagai berikut :
Dimasa lalu, tercatat sangat banyak kasus yang dapat dikemukakan sebagai contoh
pemberlakuan keadaan darurat ini di berbagai negara di dunia. Misalnya, dapat
dikemukakan contoh-contoh sebagai berikut.
Istilah (legal terms) yang dipakai dalam kedua pasal tersebut jelas berbeda. Istilah yang
pertama menggunakan istilah "keadaan bahaya" yang tidak lain sama dengan pengertian
keadaan darurat(state of emergency), sedangkan yang kedua memakai istilah "hal ihwal
kegentingan yang memaksa"Apakah kata "hal ihwal itu sama dengan pengertian "keadaan"?
Keduanya tentu tidak sama. Keadaan adalah strukturnya, sedangkan hal ihwal adalah
isinya.Namun, dalam praktik, keduanya dapat mengandung makna praktis yang sama. Oleh
karena itu,keadaan bahaya kadang-kadang dianggap sama dengan hal ihwal yang
membahayakan, atausebaliknya, hal ihwal yang membahayakan sama dengan keadaan
bahaya. Hanya saja, apakah halihwal kegentingan yang memaksa itu selalu membahayakan?
Segala sesuatu yang "membahayakan"tentu selalu memiliki sifat yang menimbulkan
"kegentingan yang memaksa", tetapi segala hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak
selalu membahayakan. Jika demikian, berarti kondisi kegentinganyang memaksa itu lebih
luas dari pada keadaan bahaya. Oleh karena itu, kedua istilah "keadaan bahayadan "hal ihwal
kegentingan yang memaksa" tersebut dapat dibedakan satu dengan yang lain. Denganadanya
pembedaan itu, wajar apabila penetapan suatu peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang,berdasarkan ketentuan Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 tidak harus didahului
oleh suatu deklarasi keadaan darurat. Sementara itu, pelaksanaan ketentuan Pasal 12 UUD
1945 mempersyaratkan dilakukannya deklarasi atau proklamasi resmi dalam rangka
pemberlakuan keadaan bahaya itu.
Beberapa hal yang dapat dikemukakan sehubungan dengan perbedaan di antara kedua
ketentuantersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Pasal 12 mengatur mengenai
kewenangan Presiden sebagaikepala Negara (head of state), sedangkan Pasal 22 berada
dalam ranah (domain) pengaturan, yaitu berisi norma pengecualian atas fungsi kekuasaan
legislatif. Kewenangan untuk menyatakan kondisi negara dalam keadaan bahaya atau
melakukan "declaration of a state of emergency" berada di tangan Presiden selaku kepala
negara, meskipun pengaturan mengenai keadaan bahaya, termasuk syarat pemberlakuan,
pengawasan terhadap pelaksanaannya, dan tata cara mengakhirinya, harus terlebih dulu
diatur dengan undang-undang atau setidaknya diatur dalam undang-undang (bij de wet
geregeldof in de wet geregeld), tidak boleh dengan peraturan yang lebih rendah daripada
undang-undang. Sementara itu, materi yang diatur dalam Pasal 22 berada dalam ranah fungsi
kekuasaan legislatif, yaitu mengenai kewenangan Presiden untuk menetapkan peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perpu), apabila terpenuhi syarat-syarat untuk
itu, yaitu adanya hal ihwal atau keadaan kegentingan yang memaksa Kedua, seperti telah
diuraikan di atas, keadaan dan hal ihwal kegentingan yang memaksa yang dimaksud dalam
Pasal 22 tidak identik atau tidak sama dengankeadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal
12 Keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 boleh jadi termasuk kategori keadaan
atau hal ihwal kegentingan yang memaksa seperti yang dimaksud olehPasal 22. Akan tetapi,
alasan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 tentu tidak selalu merupakan keadaan
bahaya seperti yang dimaksud Pasal 12. Artinya, keadaan atau hal ihwal kegentingan yang
memaksa menurut Pasal 22 itu lebih luas cakupan maknanya daripada keadaan bahaya
menurut Pasal 12 Dalam setiap keadaan bahaya.
TERIMA KASIH