• Darurat sipil adalah status penanganan masalah yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959
tentang Keadaan Bahaya. Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Sukarno
pada 16 Desember 1959 ini.
• Pasal 1
• (1) Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang menyatakan seluruh atau
sebagian dari wilayah Negara Republik Indonesia dalam keadaan bahaya
dengan tingkatan keadaan darurat sipil atau keadaan darurat militer atau
keadaan perang, apabila:
• 1. Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian
wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan,
kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan
tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
• 2. Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah
Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga;
• 3. Hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan
khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat
membahayakan hidup Negara.
• Dalam Pasal 3 ditegaskan bahwa penguasa keadaan darurat sipil adalah
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang selaku penguasa Darurat Sipil Pusat.
Dalam keadaan darurat sipil, presiden dibantu suatu badan yang terdiri atas:
• 1. Menteri Pertama;
2. Menteri Keamanan/Pertahanan;
3. Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
4. Menteri Luar Negeri;
5. Kepala Staf Angkatan Darat;
6. Kepala Staf Angkatan Laut;
7. Kepala Staf Angkatan Udara;
8. Kepala Kepolisian Negara.
• Namun presiden dapat mengangkat pejabat lain jika diperlukan. Presiden juga bisa
menentukan susunan yang berlainan dengan yang tertera di atas bila dinilai perlu.
• Di level daerah, penguasaan keadaan darurat sipil dipegang oleh kepala daerah
serendah-rendahnya adalah kepala daerah tingkat II (bupati/wali kota). Kepala
daerah tersebut dibantu oleh komandan militer tertinggi dari daerah yang
bersangkutan, kepala polisi dari daerah yang bersangkutan, dan seorang
pengawas/kepala kejaksaan daerah yang bersangkutan.
https://t.me/iv?url=https://mediaumat.news/pembatasan-sosial-skala-besar-
dan-darurat-sipil-tepatkah/&rhash=b0aa56b695ddf6
Chandra Purna Irawan SH MH (Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI & Sekjend LBH PELITA
UMAT)
Presiden Joko Widodo (Jokowi), melalui rapat terbatas hari Senin (30/3), mulai
memberlakukan kebijakan pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penerapan
penjarakan fisik demi mencegah penularan Covid-19 di Indonesia. Presiden pun
menetapkan status darurat sipil sebagai landasan pemberlakuan dua kebijakan tersebut.
• Berkaitan dengan hal tersebut saya akan memberikan Pendapat Hukum (Legal Opini)
sebagai berikut:
1. Dasar hukum
a. Karantina wilayah: UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan, diteken Presiden Jokowi
b. Darurat sipil: Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya,
diteken Presiden Sukarno
2. Definisi
a. Karantina wilayah: pembatasan penduduk dalam suatu wilayah
termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi
penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah
kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
b. Darurat sipil: keadaan bahaya selain keadaan darurat militer dan
keadaan perang, terjadi manakala alat-alat perlengkapan negara
dikhawatirkan tidak dapat mengatasi kondisi keamanan atau ketertiban
hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah negara. Kondisi itu
terjadi apabila negara terancam pemberontakan, kerusuhan, bencana
alam, perang, perkosaan wilayah, atau negara dalam bahaya.
5. Penyebab
a. Karantina wilayah: kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia,
terjadi penyebaran penyakit antaranggota masyarakat di suatu wilayah
b. Darurat sipil: alat-alat perlengkapan negara dikhawatirkan tidak mampu
mengatasi keadaan, terancam pemberontakan, kerusuhan, bencana alam, perang,
perkosaan wilayah, dan bahaya
6. Kebutuhan warga
a. Karantina wilayah: kebutuhan hidup dasar orang dan makanan ternak menjadi
tanggung jawab Pemerintah Pusat, melibatkan pemerintah daerah, dan pihak
terkait
b. Darurat sipil: kebutuhan warga tidak ditanggung pemerintah
7. Kondisi
a. Karantina wilayah:
- wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh pejabat
karantina kesehatan dan Polri yang berada di luar wilayah karantina
- masyarakat tidak boleh keluar masuk wilayah
- orang yang menderita penyakit kesehatan kedaruratan masyarakat akan diisolasi
- warga yang dalam karantina wilayah dicukupi kebutuhan dasar dan pakan ternaknya
b. Darurat sipil:
- Penguasa berhak mengadakan peraturan untuk membatasi pertunjukan, penerbitan, hingga
gambar.
- Penguasa berhak menyuruh aparat menggeledah paksadengan menunjukkan surat perintah
- Penguasa berhak memeriksa, menyita, dan melarang barang yang diduga mengganggu
keamanan
- Penguasa berhak mengambil atau memakai barang-barang dinas umum.
- Penguasa berhak memeriksa badan dan pakaian orang yang dicurigai
- Penguasa berhak membatasi orang berada di luar rumah.
- Penguasa berhak menyadap telepon atau radio, melarang atau memutuskan pengiriman
berita-berita atau percakapan-percakapan
- Penguasa berhak melarang pemakaian kode, gambar, hingga pemakaian bahasa-bahasa selain
bahasa Indonesia;
- Penguasa berhak menetapkan peraturan yang melarang pemakaian alat telekomunikasi yang
dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, menyita, atau menghancurkan perlengkapan
tersebut
Alasan- Kenapa harus darurat sipil?
• Jokowi sedari awal sudah memancangkan tekad untuk tidak
memberlakukan lockdown atau karantina wilayah atau apa pun istilahnya. Dia
bahkan menegaskan, sesuai amanat undang-undang, lockdown atau tidak adalah
sepenuhnya kewenangan presiden, bukan pemerintah daerah.
• Penerapan Darurat Sipil, menurut anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay,
juga bertentangan dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis, yakni
hukum yang khusus dapat mengenyampingkan hukum yang umum. Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan lebih
sesuai dengan bencana yang dihadapi sekarang dibandingkan dengan Perppu
Penetapan Keadaan Bahaya.
“Kebijakan darurat sipil setara dengan darurat militer dan hanya berada
dalam lima kondisi seperti pemberontakan atau kerusuhan bersenjata,
kerusuhan, perang saudara, bencana alam dan perang. Wabah tidak bisa
masuk aturan ini. Kalau pakai darurat sipil, masyarakat dipaksa patuh," kata
Fachrizal saat dihubungi iNews.id, Senin (30/3/2020).
• Fachrizal mempertanyakan usulan darurat sipil ini. Sebab,
aturan tersebut merupakan produk hukum otoriter yang
dulu disebut Regeling Op De Staat Van Oorlog En Beleg
(SOB).
• Menurut dia, paling tepat yakni menerapkan UU Karantina
Kesehatan atau karantina wilayah yang merupakan produk
hukum baru.
• "Satu-satunya pasal yang relevan hanya adalah pasal yang berkaitan dengan kewenangan
Penguasa Darurat Sipil untuk membatasi orang ke luar rumah. Ketentuan lain seperti
melakukan razia dan penggeledahan hanya relevan dengan pemberontakan dan kerusuhan.
Begitu juga pembatasan penggunaan alat-alat komunikasi yang biasa digunakan sebagai alat
untuk propaganda kerusuhan dan pemberontakan, juga tidak relevan," kata Yusril, Selasa
(31/3/2020).
• Menurut dia, dalam Perpu ini keramaian-keramaian masih diperbolehkan sepanjang ada izin
dari Penguasa Darurat. Bahkan ada pasal yang kontraproduktif karena Penguasa Darurat tidak
bisa melarang orang berkumpul untuk melakukan kegiatan keagamaan termasuk pengajian-
pengajian. Aturan-aturan seperti ini tidak relevan untuk menghadapi wabah Corona.
• "Lebih daripada itu Darurat Sipil terkesan represif. Militer memainkan peran sangat penting
kendalikan keadaan. Yang kita butuhkan adalah ketegasan dan persiapan matang melawan
wabah ini untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Pemerintah harus berpikir ulang
mewacanakan darurat sipil ini," ungkap Yusril.
• Koalisi itu terdiri atas ELSAM, Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat,
LBH Pers, ICW, PBHI, PILNET Indonesia, dan KontraS. Menurut
mereka, harusnya Presiden Jokowi membuat payung hukum yang
mengatur kebijakan pembatasan sosial atau social distancing.