Anda di halaman 1dari 25

TUGAS LEGAL OPINION

MATA KULIAH ARGUMENTASI HUKUM

NAMA KELOMPOK:

1. Muhammad Yugik Prasetiawan 190111100122;


2. Moh Ali Ma’sum 19011110126;
3. Fern Widya Sekar 190111100128;
4. Santi Ekowati 190111100132;
5. Galih Sekar Kinasih 190111100259;
6. Roberto Alfonso Siagian 190111100267;
7. Amedya Hutama Putra 190111100273;
8. Maulidatul Hasanah 190111100274.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA TAHUN PELAJARAN


2021/2022

A. Kasus Posisi
Coronavirus Disease atau sering dikenal dengan Covid-19 merupakan penyakit yang
menyerang sistem pernapasan manusia. Virus Covid-19 pertama kali muncul di Wuhan, China
pada tanggal 31 Desember 2019 dan penyebaran Virus Covid-19 di Indonesia terjadi sangat
pesat pada tanggal 2 Maret 2020. Sehingga Pada tanggal 13 April 2020 Presiden Republik
Indonesia Bapak Joko Widodo menetapkan bahwa Covid-19 sebagai bencana Non-alam
Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020. Menurut Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan
bahwa bencana Non-Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa non-alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit.
Coronavirus Disease merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit
pada manusia dan hewan. Pada manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran
pernafasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory
Syndrome (MERS) dan sindrom pernafasan akut berat/Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS). Coronavirus jenis baru yang ditemukan pada manusia sejak kejadian luar biasa
muncul di Wuhan China pada tanggal 31 Desember 2019. Kemudian diberi nama Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), dan menyebabkan penyakit Coronavirus
Disease-2019 (Covid-19).1
Pemerintah dalam menanggulangi wabah pandemi Covid-19 menggunakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dengan
besar-besaran. Hal tersebut di dukung dengan di terbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas
Sistem Keuangan Untuk Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19)
dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional
Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Dengan diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 diharapkan mampu mencegah dan menanggulangi
Covid-19 serta mampu mencegah penurunan perekonomian di Indonesia.
Korupsi menurut black’s law Dictionary, Sixth Edition yaitu “An act done with an intent to
give some advantage inconsistent with official duty and the rights of others” yang diartikan
secara bebas yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak – hak dari pihak lain.2

1
Dilihat dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (kemkes.go.id) pada Selasa, 09/03/2020
2
Kasiyanto Agus, 2018, Teori dan Praktik Sistem Peradilan Tipikor Terpadu Di Indonesia, Prenadamedia Grub.
Jakarta, Hal. 32
Pemerintah dalam menangani kasus korupsi di Indonesia belum dapat dikatakan
maksimal dalam upaya penegakan hukum bagi koruptor. Hal ini dapat dilihat dari sekian banyak
kasus korupsi di Indonesia Majelis Hakim belum pernah menjatuhkan hukuman mati bagi
korupsi. Sehingga menimbulkan satu pertanyaan apakah hukuman mati ini hanya sebuah
tulisan belaka dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo 31 Tahun 1999
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Majelis Hakim dalam memutus perkara tindak pidana
korupsi lebih sering memutus perkara korupsi dengan hukuman maksimum penjara 20 tahun
atau penjara seumur hidup. Presiden Republik Indonesia bapak Joko Widodo mengatakan
bahwa hukuman mati untuk koruptor bisa diterapkan jika memang ada kehendak yang kuat dari
masyarakat, “itu yang pertama kehendak masyarakat, kalau masyarakat berkehendak seperti
itu dalam rancangan Undang-Undang pidana Tindak Pidana Korupsi, itu (bisa) dimasukkan”
kata Bapak Jokowi usai menghadiri pentas drama “Prestasi Tanpa Korupsi” di SMK 57,
Jakarta.3
Unsur pidana mati yang disebutkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu setiap orang, melakukan perbuatan melawan
hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dapat merugikan
keuangan negara atau peekonomian negara, dan dalam keadaan tertentu. Koruptor yang dapat
dijatuhkan pidana mati yaitu koruptor yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu.
Keadaan tertentu menurut pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20
Tahun 2001 Jo Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yaitu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak
pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana – dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusakan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi.

B. Sumber Hukum
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

3
Ihsanudin, Jokowi Sebut Hukuman Mati bagi Koruptor Dapat Diterapkan jika,...., 12/03/2021,
: https://nasional.kompas.com/read/2019/12/09/12552991/jokowi-sebut-hukuman-mati-bagi-
koruptor-dapat-diterapkan-jika, (13.55)
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Tindak Pidana Korupsi.
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemeberantasan TindakPidana Korupsi.
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
7. Peraturan Daerah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang
Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam
rangka enghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau
stabilitas sistem keuangan.
8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan
bencana Non-alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai
bencana nasional.
C. Isu Hukum
Bagaimana penegakan dan penerapan hukuman pidana mati bagi para koruptor yang
melakukan korupsi di masa pandemi (pasal 2 ayat 2)?
D. Analisisi Isu Hukum
a. Negara Indonesia adalah hukum (Rechtsstaat) bukan negara kekuasaan
(machtsstaat)
Gagasan konsep mengenai negara hukum setidaknya memiliki beberapa istilah, yaitu
Rechtsstaat, rule of law, namocracy, constitutionalism. Di zaman modern, konsep Negara
Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband,
Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas
kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law” (Asshiddiqie, 2006).
Sejarah perkembangan negara hukum di Indonesia apabila dilihat dari Konstitusi negara
Republik Indonesia terbagi menjadi 5 periode, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang Republik Indonesia Serikat, Undang-Undang Dasar Sementara 1950, periode kedua
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen.
Perkembangan pemikiran terhadap negara hukum dalam penelitian dapat dibagi menjadi 4 fase
yaitu fase pencarian, fase fondasionalisasi pancasila, perkenalan dengan rule of law,
implementasi rule of law dalam ere reformasi. Setelah amandemen Undang-Undang Dasar
1945 yang ke empat pada tahun 2002, maka Konsep negara hukum (Rechtsstaat) di Indonesia
tercantum dan dirumuskan pada pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”.
Negara kekuasaan (machtsstaat) merupakan suatu konsep negara yang dalam pelaksanaan
kekusaan negara dilakukan berdasarkan konsep kehendak penguasa atau pemerintah yang
sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan.
Menurut Arief Sidharta, Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur
dan asas-asas negara hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal yang sebagai berikut:
(Asshiddiqie, 2006) /
a. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam
penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
b. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara hukum untuk bertujuan menjamin bahwa
kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. Hukum bertujuan mewujudkan kepastian
hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika kehidupan bersama dalam
masyarakat bersifat “predictable”. Asas-asas yang terkandung dalam atau terkait dengan
asas kepastian hukum itu adalah:
- Asas legalitas konstitusionalitas, dan supremasi hukum.
- Asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat peraturan dengan cara
pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan pemerintahan.
- Asas Non-Retroaktif perundang-undangan, sebelumnya mengikat undang-undang
harus lebih dulu di undangkan dan diumumkan secara layak.
- Asas peradilan bebas, independent, imparial, dan objektif, rasional, adil dan
manusiawi.
- Asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara karena alasan undang-undangnya
tidak ada atau tidak jelas.
- Hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin perlindungannya dalam undang-
undang atau Undang-Undang Dasar.
c. Berlakunya persamaan (similia similius atau Equality berofe the law)
Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang atau kelompok
orang tertentu, atau mendisriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Dengan
demikian prinsip persamaan ini terkandung;
- Adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan.
- Tersedianya makanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga
negara.
d. Asas demokrasi, yang mana semua orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk
turut serat dalam pemerintahan atau untuk mempengaruhi tindakan-tindakan
pemerintahan.
e. Pemerintah dan pejabat mengemban amanat sebagai pelayan masyarakat dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan bernegara yang
bersangkutan.

Pada dasarnya konsep negara hukum (rechtsstaat) berkembang pada sistem Eropa
Kontinental untuk membatasi kekuasaan raja. Pembatasan kekuasaan raja bertujuan untuk
mengurangi absolutise raja dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian cara yang
ditempuh oleh sistem hukum Eropa Kontinental pada waktu itu dengan mengurangi sifat
keistimewaan raja. Sehingga adanya konsep pembatasan kekuasaan ini yang dahulunya
kekuasaan diturunkan berdasarkan darah keturunan menjadi kekuasaan dapat di turunkan
pada orang yang memiliki kemampuan untuk mengelola negara tersebut. Dengan demikian
konsep negara hukum pada waktu itu berdasarkan Undang-Undang yang bersifat kontraktual
untuk mengurangi kekuasaan raja.

b. Korupsi

Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “coruption” atau “corruptus” yang berarti
kerusakan atau kebobrokan, dan dipakai pula untuk menunjuk suatu keadaan atau perbuatan
yang busuk, dengan perkembangan selanjutnya, istilah ini mewarnai pembendaharaan kata
dalam bahasa berbagai negara, termasuk bahasa indonesia.

Dalam Black’s Law Dictionary’ istilah “corrupt” diartikan “having an unlawful or depraved
motive; esp., influenced by bribery; to change (a person’s morals or principles) from good to
bad”. Sedangkan istilah „corruption’ berarti “depravity, perversion, or taint; an impairment of
integrity, virtue, or moral principle; esp., the impairment of a public official’s duties by bribery”.
Hal ini berarti “The act of doing something with an intent to give some advantage inconsistent
with official duty and the right of others; a fiduciary’s or official’s use of a station or office to
procure some benefit either personally or for someone else, contrary to the rights of others”.
Dalam The Contemporary Inglish-Indonesian Dictionary’, istilah “corrupt” diartikan tidak jujur,
busuk, menyuap, menyogok, membusukkan, merusakkan, merusakkan moral. Dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia, istilah “korup‟ diartikan buruk, rusak; suka menerima uang sogok;
memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi. Dalam terminologi Hukum istilah „corrupt’
diartikan sebagai berlaku immoral; memutarbalikkan kebenaran. Istilah 'corruption’, berarti
menyalahgunakan wewenang, untuk menguntungkan dirinya sendiri (Ii & Teori, 1971).

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun


1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi membagi klasifikasi Tindak pidana korupsi menjadi 7
(tujuh) klasifikasi yaitu;

a. Merugikan keuangan negara (pasal 2 ayat (1), pasal 2 ayat (2) dan pasal 3)
b. Suap (pasal 5 ayat (1) huruf a dan ayat (1) huruf b, pasal 5 ayat (2), pasal 11, pasal 12
huruf a, b, c, d, pasal 13)
c. Pemerasan (pasal 12 huruf e, f, g)
d. Penggelapan dalam jabatan (pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf a, b, c)
e. Perbuatan curang (pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, d, dan pasal 7 ayat (2), dan pasal 12
huruf h
f. Benturan kepentingan (pasal 12 huruf i)
g. Gratifikasi (pasa 12B dan pasal 12C)

Dalam pasal 2 ayat (2) tentang mer ugikan keuangan negara dalam keadaan terentu
yaitu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana – dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusakan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi.

Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan ada 8 tipe korupsi yaitu: (Anti
Corruption Clearing House, 2020):

a. Political bribery adalah termasuk kekuasaan bidang legislatif sebagai badan pembentuk
undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan
karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan
aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di
parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka.
b. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak
pekerja borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang
untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
c. Election freud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan pemilihan
umum
d. Corrupt campeign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas
maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara.
e. Discretionary corrution yaitu korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam
menentukan kebijakan
f. Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahsa hukum atau
interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik
itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim.
g. Ideological corruption ialah perpaduan antara Discretionary corrution dan Illegal
corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok.
h. Mercenery corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk
kepentingan pribadi

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan suatu kejahatan yang
menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara untuk kepentingannya
sendiri atau suatu korporasi. Unsur pemberatan pidana dalam tindak pidana korupsi yaitu dapat
terlihat pada pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak pidana korupsi.

c. Pemidanaan hukuman mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Hukuman mati merupakan satu – satunya hukuman yang masih kontrofersi di


masyarakat. Hukuman mati menjadi salah satu pidana pokok dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yaitu pada pasal 10 huruf (a) angka 1. Meskipun dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana telah mengatur mengenai pidana mati, namun hukuman pidana mati hanya
dijadikan sebagai alternatif pada setiap kejahatan, yaitu pidana seumur hidup atau pinjara
maksumum 20 tahun penjara.

Jonkers mengatakan bahwa menurut penjelasan atas rancangan Kitab Undag-Undang


Hukum Pidana Indonesia ada 4 golongan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, yaitu:

- Kejahatan – kejahatan yang dapat mengancam keamanan negara (pasal 104, pasal
111 ayat (2), pasal 102 ayat (3) Jo pasal 129).
- Kejahatan – kejahatan pembunuhan terhadap orang – orang tertentu dan/atau dilakukan
dengan faktor – faktor pemberat (pasal 140 ayat (3), pasal 340).
- Kejahatan terhadap harta benda dan disertai unsur atau faktor yang sangat
memberatkan (pasal 365 ayat (4), pasal 368 ayat (2))
- Kejahatan – kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (pasal 444).

Dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana dicatatkan bahwa hukuman mati


dapat apabila; a) tindak pidana terhadap keamanan negara seperti makar (pasal 215 ayat (1)),
penghasutan sehingga terjadi perang (pasal 228), dan penghianatan negara (pasal 237 ayat
(3), b) tindak pidana terorisme (pasal 242, 244, 247, 250, 262), c) makar terhadap negara
sahabat (pasal 269), d) genosida (pasal 394), e) tindak pidana terhadap kemanusiaan (pasal
395), f) tindak pidana pada masa perang (pasal 369 – 399), g) narkotika (pasal 506, 508), h)
psikotropika (pasal 515), i) pembunuhan berencana (pasal 572), dan j) korupsi atas dana bagi
bencana alam (pasal 684) (Lon, 2020).

Muladi menyatakan bahwa hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada
perbuatan manusia saja, karena hukum pidana lebih mengutamakan pembalasan dan tidak
manusiawi. Pidana hanya diorpentasikan pada pemenuhan unsur tindak pidana di dalam
perundang-undangan saja. Hukum pidana juga tidak benar apabila hanya memperhatikan si
pelaku saja sebab dengan demikian penerapan hukum pidana akan berkesan memanjakan
penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan yang luas, yaitu kepentingan masyarakat,
kepentingan negara, dan kepentingan korban tindak pidana.

d. Pemidanaan hukuman mati dalam tindak pidana korupsi.

Hukum pidana di indonesia terbagi menjadi dua, yaitu hukum pidana umum yang
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan hukum pidana Khusus, yaitu hukum
pidana yang dituliskan secara khusus dalam Undang-Undang yang tidak terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Pada sistem perundang-undangan sering dikenal asas lex
spesialis derogat legi generalis yang memiliki arti bahwa hukum yang khusus
mengesampingkan hukum yang umum. Dengan demikian ketika hukum pidana khusus
mengandung aspek penting berupa penyimpangan dari ketentuan hukum pidana umum, maka
dengan sendirinya hukum pidana khusus adalah hukum atau perundang-undangan pidana yang
berada di luar KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang masuk dalam kategori tindak
pidana luar biasa atau Extraordinary Crime. Sehingga dalam sistem hukum di Indonesia
korupsi masuk sebagai tindak pidana khusus. Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

Hukuman pemidanaan mati dalam tindak pidana korupsi telah di atur dalam pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Tindak Pidana Korupsi yaitu menegenai pemberatan pidana bagi koruptor dalam keadaan
tertentu. Penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi tentang keadaan terentu yaitu
keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi
yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana – dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusakan sosial
yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi.

e. Pemidanaan hukuman mati menurut Hak Asasi Manusia.

Isu hukuman mati selalu menjadi debat kontroversial di kalangan masyarakat maupun
para pemangku kebijakan. Pidana mati merupakan pelanggaran hak hidup manusia yang tidak
terbatas sebagaimana tertuang dalam pasal 3 Universal Declaration of Human Right (UHDR)
yang menyatakan bahwasanya pidana mati merupakan jenis pelanggaran HAM yang paling
penting. Karena melanggar hak pribadi, yaitu melanggar hak untuk hidup dan hak fundamental,
karena hak ini tidak bisa dilanggar, dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik dalam
keadaan darurat, perang maupun jika seseorang dalam keadaan menjadi seorang narapidana
(Ridwan Eko Prasetyo, 2015: 164-165). Hal ini sejalan dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan anugrah dari Tuhan Maha
Esa yang yang wajib di junjung tinggi, dihormati dilindung oleh negara (Veive Large Hamenda,
2013: 214).

Namun, walaupun demikian para aktivis HAM banyak yang menyuarakan bahwasannya
pidana mati tidak melanggar HAM. Sebagaimana menurut Ketua Sub Komisi Pengkajian
Komnas HAM, Soleistyoswati Soegondo dalam buku Ridwan Eko Prasetyo (2015: 167)
mengatakan bahwasannya pelaksanaan hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi.
Karena hal tersebut sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Setiap orang dalam
menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang, dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak
orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-
nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat. Dalam UUD 1945
terdapat pula pembatasaan yang dikemukakan dalam amandemen kedua UUD 1945. Dengan
demikian sepanjang hukuman mati, masih ditetapkan dalam undang-undang positif Indonesia,
tentu hukuman mati tidak dapat dihindari karena hukum tidak bersifat surut.

Menurut Roeslan Saleh (1978;26) bahwa penjara seumur hidup adalah pidana yang
merupakan perampasan dan pembatasan atas kemerdekaan dan harta kekayaan seseorang
sajalah yang dipandang sebagai pidana. Orang semakin tahu betapa buruknya pidana mati itu,
sehingga berturut-turut banyak negara beradab yang menghapuskannya.

Dengan demikian Secara normatif pemberatan hukuman pidana mati bagi koruptor
terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu maka, pidana mati dapat dijatuhkan. Maksud dari keadaan
tertentu dalam penjelasan ayat (2) yaitu tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusakan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta
pengulangan tindak pidana korupsi.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan kiblat dari seluruh aturan hukum pidana
dari suatu tindak pidana. Dengan demikian dalam penjatuhan hukuman pidana mengacu pada
Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu:

1. huruf a mengenai pidana pokok yang terdiri atas


a. pidana mati,
b. pidana penjara,
c. pidana kurungan, dan
d. pidana denda.
2. huruf b mengenai pidana tambahan yaitu
a. pencabutan hak-hak tertentu,
b. perampasan barang-barang tertentu, dan
c. pengumuman putusan hakim.

Penjatuhan hukuman pidana mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memiliki
spesifikasi dalam tindak pidana tertentu, yaitu:

1. Kejahatan-kejahatan yang dapat mengancam keamanan negara (Pasal 104 KUHP,


Pasal 111 ayat (2) KUHP, Pasal 102 ayat (3) KUHP Jo Pasal 129 KUHP).
2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu dan/atau dilakukan
dengan factor-faktor pemberat (Pasal 140 ayat (3) KUHP, Pasal 340 KUHP).
3. Kejahatan terhadap harta benda dan disertai unsur atau faktor yang sangat
memberatkan (Pasal 365 ayat (4) KUHP, Pasal 368 ayat (2) KUHP)
4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (Pasal 444 KUHP).

Pada masa pandemi Covid-19 ini merupakan sebuah tuntutan bagi pemerintah untuk
menerbitkan sebuah aturan hukum atau melaksanakan aturan hukum yang telah ada dalam
upaya menanggulangi pandemi Covid-19 ini, salah satunya dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan
Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease
2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan
perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain menerbitkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Presiden Republik Indonesia Bapak Joko Widodo
dalam masa pandemi Covid-19 pada tanggal 13 April 2020 menerbitkan sebuah Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang penetapan bencana Non-alam penyebaran
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana Nasional.

Pada masa pandemi Covid-19 banyak para pejabat memanfaatkan keadaan ini untuk
melakukan korupsi, karena pemerintah melakukan pengeluaran dana negara secara besar-
besaran melalui APBN dan APBD serta dana-dana lainnya untuk penanggulangan pandemi
Covid-19. Pada hari Jum’at tanggal 5 Desember 2020 Menteri Sosial Juliari Batubara
tertangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasn Korupsi karena melakukan korupsi dana
bantuan sosial penanggulangan pandemi Covid-19. Dengan demikian kasus yang menjerat
Menteri Sosial Juliari Batubara tersebut memenuhi unsur Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai Merugikan keuangan negara.
Selain itu kasus Korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara juga dapat
dikenakan pemberatan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu korupsi dalam keadaan tertentu pada
masa pandemi Covid-19 yang telah di tetapkan sebagai bencana Non-alam Nasional melalui
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020.

Dalam penjatuhan pemberatan Tindak Pidana Korupsi harus terpenuhi seluruh unsur
yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut;

1. Setiap orang
Unsur setiap orang merujuk kepada subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan
yang dilarang, dimana pembuktiannya bergantung sepenuhnya kepada pembuktian
deliknya, yaitu ‘melawan hukum memperkaya diri sendiri....’
Unsur setiap orang tidak hanya mengikat orang perorangan, melainkan menurut Pasal 1
huruf (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
menyebutkan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
2. Melawan hukum
Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 menyebutkan
bahwa sifat melawan hukum Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di artikan sebagai berikut:
a. Menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang tindak pidana korupsi
sepanjang frasa yang berhubungan yang berbunyi “yang dengan maksud ‘secara
melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawa hukum dalam arti
formil, maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan
sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
b. Menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang tindak pidana korupsi
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan tindak pidana korupsi, sepanjang frasa yang berhubungan yang
berbunyi ‘yang dengan maksud” ‘secara melawan hukum’ ” dalam Pasal ini
mencakup perbuatan melawa hukum dalam arti formil, maupun dalam arti materil,
yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perUndang-
Undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sifat melawan hukum merupakan sebuah unsur obyektif dalam suatu tindak pidana.
Menurut Hazewink El Suringa mendefinisikan melawan hukum sebagai ‘tanpa hak atau
wewenang sendiri, bertentangan dengan hak orang lain, dan bertentangan dengan
hukum obyektif. Menurut Indrianto Seno Adji dalam KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo
menyebutkan bahwa sifat melawan hukum secara formal merupakan apabila sebagian
inti delik sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan
tersebut melawan hukum, Sedangkan menurut Sudarto yang diperkuat oleh pendapat
Loebby Loqman, bahwa melawan hukum secara materiil haruslah dipergunakan secara
negatif. Ini berarti bahwa apabila terdapat suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal
yang melawan hukum secara formil, sedangkan didalam masyarakat perbuatan tersebut
tidak tercela, jadi secara materiil tidak melawan hukum, maka perbuatan tersebut
seyogiyanya tidak dijatuhi pidana.
Parameter untuk mengatakan suatu perbuatan telah melawan hukum secara materil,
bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu perUndang-
Undangan, melainkan ditinjau dari rasa kepantasan di dalam masyarakat. Ajaran
melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-
perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusanUndang-Undang dan karenanya
dianggap sebagai tindak pidana. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dilarang oleh
Undang-Undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak
menjadi tindak pidana (Anti Corruption Clearing House, 2020).

Dengan demikian sifat melawan hukum dapat di bedakan menjadi 2 yaitu: sifat melawan
hukum dalam pengertian formil (formielewederrechtelijkheid) dan sifat melawan hukum
dalam pengertian materil ("materielewederrechtelijkheid).(Anti Corruption Clearing
House, 2020).

Berdasarkan penggertian diatas, maka terdapat perbedaan pandangan materil dan


pandangan formil, yaitu:
1. Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya
perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis; sedangkan
pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam
Undang-Undang saja;
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari perbuatan pidana, juga bagi yang
dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut; sedangkan yang
berpandangan formal, sifat tersebut tidak menjadi unsur dari perbuatan pidana.
Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi
unsur delik.
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Secara harfiah, memperkaya diri dapat di artikan sebagai bertambah kaya. Sedangkan
kaya sendiri memiliki arti mempunyai banyak harta, baik uang maupun lainnya, ataupun
juga dapat disimpulkan bahwa memperkaya diri merupakan menjadikan orang yang
belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya bertambah kaya. Sedangkan
menurut Nur Basuki Minarno unsur ‘memperkaya diri’ yang terdapat pada Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan ‘tujuan menguntungkan’ pada Pasal 3
mempunyai pengertian yang sama, yakni kedua unsur delik tersebut dirumuskan secara
matereriil.
Adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi yaitu sebagai berikut:(Kayuagung.co.id, 2007) .
1. Memperkaya diri sendiri artinya bahwa dengan perbuaan melawan hukum itu pelaku
menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
2. Memperkaya orang lain artinya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada
orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaan atau bertambahnya harta
bendanya, dengan demikian subjek yang di untungkan bukanlah dari pelaku tindak
pidana korupsi itu sendiri.
3. Memperkaya korporasi artinya mendapatkan keuntungan dari perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi adalah suatu korporasi
(kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.

Dengan demikian pembuktian tersangka atau terdakwa dalam kasus tindak pidana
korupsi meliputi apakah tersangka/terdakwa telah memperoleh harta berupa uang atau
barang dari tindakan yang dilakukan tersangka/terdakwa. Apabila tersangka/terdakwa
telah terbukti memperoleh harta berupa uang atau benda yang perbuatan
tersangka/terdakwa melawan hukum, maka unsur memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi sudah cukup terpenuhi.

4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara


Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan
Negara mendefinisikan bahwa “kerugian keuangan adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa barang yang
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut”. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (22) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa “Kerugian Keuangan
Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan
pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”.
Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang menyatakan bahwa penyertaan negara merupakan
kekayaan negara yang dipisahkan. Maksud Pasal ini yaitu pada saat kekayaan negara
dipisahkan, maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk di ranah hukum publik,
melainkan masuk dalam ranah hukum privat. Dalam bagian penjelasan umum Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa keuangan negara adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan termasuk atau tidak
dipisahkan, termasuk dalamnya segala kerugian keuangan negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena:
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
negara baik tingkat pusat maupun daerah.
2. Berada dalam penguasaan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ke tiga
berdasarkan perjanjian dengan negara.(Serbabagus, 2017)

Menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 Tertanggal 24 Juli


2006 menyebutkan bahwa unsur dapat merugikan perekonomian negara atau
perekonomian negara tidak perlu benar-benar telah menderita kerugian, akan tetapi
unsur kerugian keuangan negara harus tetap dibuktikan dan harus dihitung, meski
sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi serta perhitungan tersebut harus di
tentukan oleh seorang ahli di bidangnya. Kerugian keuangan Negara Menurut
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah kehidupan
perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan
ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasrkan pada kebijakan pemerintah,
baik tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-
Undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan ketika mendalilkan mengenai konsep
kerugian perekonomian negara yaitu: (Firmansyah, 2020)

1. Defiisi dari merugikan keuangan negara dalam Undang-Undang pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya memiliki makna yang sama dengan norma
pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Dalam memaknai unsur merugikan keuangan negara tidak sama halnya seperti
memaknai kerugian keuangan negara secara jelas dapat dilihat Undang-Undang
Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Keuangan Negara, dan Undang-Undang
Badan Pemeriksa Keuangan dalam memaknai unsur Merugikan Keuangan Negara
bisa lebih luas.
3. Menurut Prespektif Ilmu Ekonomi penjelasan Undang-Undang Pemeberantasan
Tindak Pidana Korupsi Tentang konsep Perekonomian Negara dapat diartikan
sebagai perekonomian Indonesia yang dilihat dari sisi pendapatan Negara/Nasional
yang parameternya adalah Produk Domestik Bruto (PDB)

Mengenai pengertian konsep perekonomian negara, mantan Jaksa Agung Baharudin


Lopa memberikan pendapat bahwasanya apabila ditinjau dari presfektif ilmu hukum apa
yang dimaksud dengan perekonomian negara sebagaimana dalam penjelasan Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sangat kabur sehingga menimbulkan
kesulitan dalam membuktikan frasa “merugikan perekonomian negara” dalam
penegakkan hukum tindak pidana korupsi. Jika dilihat dari Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 disitu dijelaskan tentang perbuatan yang dapat merugikan perekonomian
negara. Sedangkan pihak LSM memberikan pendapatnya tentang konsep merugikan
perekonomian negara bahwa definisi merugikan perekonomian negara belum
menunjang pemahaman yang jelas dibandingkan dengan definisi keuangan negara
yang sudah lebih jelas dan untuk pemaknaannya dikembalikan kepada majelis hakim
yang memeriksa dan mengadili. Pendapat KPK menjelaskan bahwa tentang konsep
merugikan perekonomian negara memang ada kesulitan dalam memaknainya, tidak
adanya indikator dan landasan peraturan yang jelas mengenai perbuatan seperti apa
saja yang termasuk merugikan perekonomian negara. Maka dari itu pemaknaannya
hanya terbatas normatif saja seperti apa yang ada di dalam Penjelasan Umum Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Firmansyah, 2020)

Dengan demikian unsur merugikan keungan negara atau perekonomian negara


merupakan sebuah unsur mengenai akibat yang dilarang oleh hukum. Frasa yang
digunakan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi terdapat
hubungan kausalitas antara pelaku yang memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi dengan merugikan keuangan negara. Menurut Ahmad Sofian dengan
mengutip pendapat Barda Nawawi mengatakan bahwa ada dua sisi ajaran kausalitas,
yaitu ajaran kausalitas subyektif dan ajaran kausalitas obyektif. Ajaran kausalitas
subyektif adalah mencari hubungan kausalitas antara orang yang melakukan perbuatan
dengan perbuatannya. Pada ajaran subyektif masuk dalam teori kesalahan atau teori
untuk menentukan sikap batin jahat pelaku. Sedangkan ajaran kausalitas obyektif
adalah mencari hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat dari perbuatan
tersebut sehingga menimbulkan suatu perbuatan yang melawan hukum sehingga
menimbulkan akibat yang dilarang.

5. Keadaan tertentu.
Keadaan tertentu merupakan suatu pemberatan pidana dalam tindak pidana korupsi
yang terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tipikor. Dalam penjelasan Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemerantasan Tindak pidana Korupsi
menyebutkan bahwa keadaan tertentu yaitu tindak pidana korupsi yang dilakukan
terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan bahaya, bencana alam
nasional, penanggulangan akibat kerusakan sosial yang meluas, penanggulangan krisis
ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Pada tanggal 13 April
2020 Presiden Republik Indonesia menerbitkan sebuah keputusan, yaitu Keputusan
Presiden Nomor 12 Tahun 2020 Tentang penetapan bencana Non-alam penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional.
E. kesimpulan
Dengan demikian dari pemaparan unsur-unsur diatas dapat ditarik ke dalam dua prespektif
yaitu pidana mati dapat dijatuhkan pada masa pandemi dan pidana mati tidak dapat dijatuhkan
pada masa pandemi.

A. Presfektif pidana mati dapat dijatuhkan dimasa pandemi.


Pidana mati dapat di jatuhkan karena terpenuhinya seluruh unsur pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Urgensi pasal 2 ayat (1) terdapat pada unsur melawan hukum, yaitu unsur yang
sebagai syarat untuk dilanjutkannya pembuktian unsur setelahnya. Menurut Keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 menyebutkan bahwa unsur melawan
hukum merupakan unsur dalam arti formil maupun materiil.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada dasarnya bertentangan dengan Konstitusi Negara
Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, akan
tetapi Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 merupakan suatu
kepastian hukum yang adil bukan kepastian Undang-undang. Selain itu konsep
melawan hukum dalam arti materiil pada pasal 2 ayat (1) merupakan salah satu asas
terpenting dalam hukum pidana. Apabila asas tersebut dihapuskan dalam suatu aturan
hukum maka akan menimbulkan suatu ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan
demikian, sekalipun suatu tindakan masyarakat dinilai suatu perbuatan korupsi,
meskipun terdapat aturan hukum yang tertulis mengenai tindakan tersebut, maka dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Hal tersebut juga berbanding terbalik
apabila masyarakat menilai suatu perbuatan tidak termasuk perbuatan korupsi, akan
tetapi terdapat suatu aturan tertulis, maka perbuatan tersebut dapat di kategorikan
sebagai tindakan korupsi.
Terdapat yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 1966 dalam Kasus Machrus Efendi
yang menegaskan dianutnya sifat melawan hukum Materiil dalam fungsi Negatif perkara
tindak pidana korupsi apabila terpenuhi 3 syarat komulatif yang harus terpenuhi, yaitu
Terdakwa tidak mendapatkan keuntungan dari tindak pidana korupsi tersebut,
masyarakat terlayani dan tidak adanya kerugian keuangan maupun perekonomian
negara. Konsep sifat melawan hukum dalam arti Materil merupakan kondisi dimana
masyarakat menginginkan keadilan untuknya, meskipun tidak terdapat aturan hukum
yang mengatur mengenai perbuatan tersebut. Hal tersbut mengingat bahwa masyarakat
dan hukum tidak dapat dipisahkan, karena masyarakat merupakan satu kesatuan
selayaknya dua sisi uang koin yang berbeda tetapi tetap menjadi satu dalam satu uang
koin.
Konsep negara hukum terdapat pada pasal 1 ayat (3) Konstitusi Negara Republik
Indonesia Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum. Untuk mewujudkan hukum yang responsive, maka perlunya
gagasan Demokratis yang dituliskan dalam konstitusi Indonesia yaitu pada pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kedaulatan berada
di tangan dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian korupsi
yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara terpenuhi unsur melawa hukum,
mengingat bahwa tindakannya tersebut telah di atur dalam hukum tertulis dalam
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Selain unsur melawan hukum, unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi
dan unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara merupakan obyek dan
akibat dari suatu tindak pidana korupsi pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apabila dikorelasikan dengan kasus
Menteri Sosial Juliari Batubara yang melakukan penyelewengan dana bantuan sosial
untuk penanggulangan pandemi Covid-19, maka kasus korupsi yang dilakukan tersebut
telah secara jelas menguntungkan diri sendiri, dan merugikan keuangan negara.
Unsur pemberatan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu korupsi yang dilakukan
dalam keadaan tertentu. Dalam penjelasan pasal menyebutkan bahwa keadaan tertentu
yaitu tindak pidana korupsi terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi
penanggulangan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusakan
sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta pengulangan
tindak pidana korupsi. Di tengah meningkatnya Pandemi Covid-19, Presiden Republik
Indonesia Bapak Presiden Joko Widodo Mengeluarkan sebuah Keputusan Presiden
Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Tentang penetapan bencana Non-alam penyebaran
Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana Nasional. Dengan
diterbitkannya sebuah Keputusan Presiden tersebut bertujuan sebagai acuan dalam
menilai Pandemi Covid-19 masuk dalam Kualifikasi keadaan tertentu, yaitu mengenai
bencana alam nasional. Dengan demikian unsur keadaan tertentu dalam kasus yang
terjerat oleh Menteri Sosial Juliari Batubara terpenuhi.
Pemidanaan mati apabila di kaji dari prespektif Hak Asasi Manusia tidak bertentangan
dengan hak untuk hidup yang dijaminkan dalam konstitusi negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasal 28A dan 28I. Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-
3/PUU-V/2007 bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 dalam Hal ini pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1).
Menurut Ketua Sub Komisi Pengkajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), Soelistyowati Soegondo menyebutkan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak
bertentangan dengan konstitusi, hal ini mengingat bahwa pasal 28J ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib
tunduk pada pembatasan yang di ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain serta
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dengan
demikian apabila di korelasikan dengan kasus Menteri Juliari Batubara yang
menggelapkan dana bantuan Sosial di masa pandemi Covid 19 Ini, maka korupsi
tersebut telah merampas hak asasi manusia yang dimiliki oleh rakyat indonesia yaitu
untuk mendapatkan kelangsungan hidup di masa pandemi yang telah di akui oleh
konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A setiap orang berhak Untuk hidup
serta mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Selain itu korupsi menurut M. Cholis Nafis merupakan suatu kejahatan yang
menyebabkan hilangnya uang negara yang menyebabkan hilangnya hajat orang
banyak, memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi, dan menghilangkan keadilan.
Korupsi juga berakibat pada menghilangkan hak untuk hidup warga negara dan regulasi
keuangan negara yang akan menyebabkan lahirnya kemiskinan dan kebodohan. Selain
itu juga dengan korupsi menggrogoti kehormatan dan keselamatan generasi penerus.
Negara Indonesia merupakan negara hukum pasal 1 ayat (3) menyebutkan bahwa
negara indonesia merupakan negara hukum. Salah satu ciri negara hukum adalah
berasaskan demokratis. Merujuk pada pasal 28I ayat (5) bahwa untuk menegakkan dan
melindungi Hak Asasi Manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan di tuangkan dalam peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian penjatuhan hukuman mati terhadap koruptor
sudah sepatutnya dapat di jatuhkan apabila telah secara jelas memenuhi seluruh unsur
yang terdapat pada Undang-undang dan mengingat banyak rakyat indonesia yang
menginginkan penjatuhan hukuman mati di jatuhkan oleh koruptor, hal ini karena
semenjak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di bentuk dan di sahkan Majelis
Hakim yang menangani kasus korupsi belum pernah menjatuhkan hukuman mati
kepada para koruptor.
B. Perspektif pidana mati tidak dapat dijatuhkan dimasa pandemi.
Pidana mati dalam masa pandemi tidak dapat dijatuhkan. Hal ini karena unsur
keseluruhan pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Tindak Pidana Korupsi. Urgensi pasal 2 ayat (1) terdapat pada unsur melawan hukum,
yaitu unsur yang sebagai syarat untuk dilanjutkannya pembuktian unsur setelahnya.
Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 menyebutkan
bahwa unsur melawan hukum merupakan unsur dalam arti formil maupun materiil.
Mengacu pada putusan Mahkamah Agung Nomor 48/Pid.Sus-Tpk/2016/PN.Pbr pada
poin menimbang halaman 61 menyebutkan bahwa Mahkamah Agung pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 003/Puu-IV/2006 berpendapat bahwa unsur melawan
hukum dalam arti formil maupun materiil dan mengenai perbuatan melawan hukum
dalam arti positif dan negatif, yang mana Mahkamah Agung berpedoman pada
a. Tujuan diperluasakannya unsur perbuatan melawan hukum yang tidak saja dalam
pengertian formil, namun meliputi perbuatan melawan hukum secara materiil, adalah
untuk mempermudah pembuktiannya di persidangan, sehingga suatu perbuatan
yang dipandang oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara Materiil atau
tercela perbuatannya, dapatlah pelaku dihukum melakukan tindak pidana korusi,
meskipun perbuatan tersebut tidak melawan hukum secara formiil.
b. Bahwa yurisprudence dan doktrin merupakan sumber hukum formill selain Undang-
undang dan kebiasaan serta traktat yang dapat digunakan oleh Mahkamah Agung
dalam kasus konkrit yang di hadapinya, yurisprudensi tentang makna perbuatan
melawan hukum dalam arti formil dan dalam arti materiil harus tetap di jadikan
pedoman untuk terbinanya konsistensi penerapannya dalam perkara-perkara tindak
pidana korupsi, karena telah sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum
yang hidup dalam masyarakat, kebutuhan hukum warga masyarakat, nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Selain pertimbangan di atas, pada poin menimbang halaman 60 putusan Nomor


48/Pid.Sus-Tpk/2016/PN Pbr menyebutkan bahwa ajaran yang dianut pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, agar Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 dapat menjangkau modus operandi Penyimpangan keuangan
Negara dan perekonomian Negara yang semakin canggih dan rumit.

Dengan demikian merujuk pada Nomor 48/Pid.Sus-Tpk/2016/PN.Pbr, maka unsur sifat


melawan hukum tidak dapat terpenuhi, karena pada kasus yang dijerat seorang Menteri
Sosial Juliari Batubara lebih merujuk pada menyalahgunakan wewenang yang dimiliki
Menteri Sosial Juliari Batubara tersebut sebagai Menteri Sosial.

Pada prinsipnya setelah unsur melawan hukum tidak terpenuhi, maka unsur setelahnya
tidak ada keharusan untuk membuktikan terpenuhi atau tidaknya. Namun pada
kesempatan kali ini akan juga di bahas mengenai terpenuhinya unsur selanjutnya, yaitu
unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara,dan dalam keadaan tertentu. Yang ketiga yaitu unsur
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, pada unsur ini maka Menteri
Juliari Batubara dapat terpenuhi karena pada operasi Tangkap Tangan yang dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menduga menerima Uang sebesar 17 Miliyah
rupiah.

Yang ke empat yaitu unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak terpenuhi karena adanya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang
tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanggulangan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas
sistem keuangan. Pada pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa “biaya yang telah
dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan
kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan
belanja negara termasuk kebijakan dibidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan,
kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional,
merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan perekonomian dan bukan
merupakan kerugian negara”. Pasal 27 ayat (1) di atas menunjukkan bahwa korupsi
yang dilakukan oleh pejabat negara di masa pandemi Covid-19 tidak merupakan
kerugian negara.

Pasal 27 ayat (2) bahwa “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota Sekretariat KSSK,
dan pejabat atau pegawai kementrian keuangan, Bank Indonesia, otoritas jasa
keuangan, serta lembaga penjamin simpanan, dan jasa lainnya, yang berkaitan dengan
pelaksanaan peraturan pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara
perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan i’tikad baik dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila kita melihat dari
pelantikan yang dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia kepada Menteri Sosial
Juliari Batubara pada Tanggal 23 Oktober 2019, pandemi Covid-19 belum muncul di
Indonesia, dengan demikian Menteri Sosial Juliari Batubara pada saat mengemban dan
melaksanakan tugas sebagai Menteri Sosial beri’tikad baik untuk memperbaiki
Indonesia.

Unsur yang kelima yaitu dalam keadaan tertentu. Unsur keadaan tertentu dalam pasal 2
ayat 2 merupakan unsur pemberat dari suatu tindak pidana korupsi. Apabila di
korelasikan oleh kasus Menteri Sosial Juliari Batubara maka unsur keadaan tertentu
dimaksud tidak dapat terpenuhi, hal ini karena mengingat bahwa Presiden Republik
Indonesia dalam menetapkan Bencana Covid-19 Merupakan bencana Non-alam
Nasional dalam sebuat Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020.

Keputusan merupakan sebuah kebijakan yang terbitkan dan dibuat oleh pejabat
administrasi negara. Sebuah produk hukum dalam penerbitan sebuah keputusan tidak
dapat di jadikan sebagai sumber hukum primer, hal ini karena keputusan tidak termasuk
dalam hierarki peraturan perundang-undangan Pasal 7 Undang-Undan Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan. Keputusan Tata Usaha
Negara menurut pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 menyebutkan
bahwa keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha
negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata. Dengan demikian karena Keputusan tidak dapat di jadikan
sebagai sumber hukum primer dan keputusan tidak termasuk dalam hierarki perundang-
undangan, maka unsur melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dilakukan oleh
koruptor di masa pandemi tidak dapat terpenuhi.

Hukuman pidana mati apabila di kaji dalam segi Hak Asasi Manusia telah melangar Hak
hidup seseorang. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 bahwa
hukuman mati tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Hal ini
pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) menjadi sejarah putusan di Indonesia, mengingat
terdapat 3 (tiga) Hakim Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan pandangan yang
berbeda (dissenting opinion) yaitu H. Ahcmad Roestandi, HM Laica Marzuki, Maruarar
Siahaan yang pada intinya mengatakan bahwa penjatuhan hukuman pidana mati
bertentangan dengan hak untuk hidup yang di jamin oleh pasal 28 undang-Undang
Dasar 1945 serta bertentangan juga dengan pasal 28I ayat (1) yang memasukkan hak
untuk hidup sebagai salah satu hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun
(non-derogable rights).

Selain dissenting opinion Putusan Mahkamah Konstitusi diatas, terdapat beberapa


pendapat berbeda (dissenting opinion) yang terdapa di putusan lainnya, yaitu putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-11/2004 yaitu pandangan Hakim MK H. Ahcmad
Roestandi yang berbunyi “ada sejumlah HAM yang dijamin dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Berdasarkan pasal 28J semua HAM dapat dibatasi dengan alasan tertentu,
kecuali HAM yang disebutkan dalam pasal 28I ayat (1). Sekali lagi, harus dibaca seperti
itu, sebab jika ketujuh HAM yang tercantumm dalam pasal 28J ayat (1) masih bisa
diterobos dengan pembatasan yang ditentukan dalam pasal 28J, berarti tidak ada lagi
tidak ada perbedaan antara ketujuh HAM itu dengan HAM lainnya. Jika demikian untuk
apa ketujuh HAM itu diataur secara khusus dalam pasal 28I diadakan frasa hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun, khususnya kata-kata tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun adalah kata-kata yang sudah terang dan jelas, atau dengan
meminjam istilah hukum islam fiqih islam, merupakan sesuatu dalail yang
qoth’i”.(KONSTITUSI Todung Mulya Lubis ’ Absirak The criminal conduct is not only
focused on the criminal law but also in sociology aspect can be observed as economic ,
politic and psychology aspects . Under those reflections then the author reasons that
dead sent, 1977) .

Selain pendapat Hakim MK H. Achmad Roestandi juga di ucapkan oleh Hakim MK H.


Abdul Mukhtie Fadjar pada perkara yang sama, yaitu “apabila Undang-Undang Dasar
1945 dalam pasal 28I ayat (1) merumuskan “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, hak untuk tidak di tuntut atas dasar
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun” adalah tentunya dengan pemenuhan kesadaran bukti komitmen religius serta
kepada universalitas hak asasi manuisia pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
adalah untuk restriksi terhadap sejumlah HAM diluar apa yang secara limitatif telah
disebutkan dalam pasal 28I ayat (1)”.
Daftar pustaka

Anti Corruption Clearing House. (2020). Modul Materi TINDAK PIDANA KORUPSI. 1–80.
https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/buku/modul-materi-tindak-
pidana-korupsi

Asshiddiqie, J. (2006). L’école de Palo Alto. L’école de Palo Alto, 1–17.


https://doi.org/10.14375/np.9782725625973

Firmansyah, R. A. (2020). Konsep Kerugian Perekonomian Negara Dalam UndangUndang


Tindak Pidana Korupsi. Jurist-Diction, 3(2), 669. https://doi.org/10.20473/jd.v3i2.18211

Ii, B. A. B., & Teori, L. (1971). Sudikno Metokusumo. Sejarah Peradilan Dan Perundang-
Undangan Di Indonesia Sejak Tahun 1942 Dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita
Bangsa Indonesia , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2005. Hlm.41. 14. 14–47.

Kayuagung.co.id. (2007). Pemahaman unsur memperkaya, dan atau menguntungkan pada


tindak pidana korupsi. 1(64). http://www.pn-
kayuagung.go.id/images/pnkag/Dokumen/PEMAHAMANUNSURMEMPERKAYA.pdf

KONSTITUSI Todung Mulya Lubis ’ Absirak The criminal conduct is not only focused on the
criminal law but also in sociology aspect can be observed as economic , politic and
psychology aspects . Under those reflections then the author reasons that dead sent.
(1977). 281(I).

Lon, Y. S. (2020). Penerapan Hukuman Mati di Indonesia dan Implikasi Pedagogisnya.


KERTHA WICAKSANA: Sarana Komunikasi …, 14, 47–55.
https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/kertawicaksana/article/view/1549

Serbabagus, S. S. (2017). Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara Atau Perekonomian


Negara Pada Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korupsi. Lex Journal: Kajian Hukum &
Keadilan, 1(1). https://doi.org/10.25139/lex.v1i1.239

Anda mungkin juga menyukai