Anda di halaman 1dari 2

Dalam undang-undang tindak pidana korupsi telah diatur sanksi pidana dengan merumuskan

ancaman pidana minimum dan maksimum berbeda dengan perumusan ancaman pidana dalam
KUHP. Bahkan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi diatur juga mengenai
ancaman pidana mati seperti halnya dalam KUHP. Sejak diberlakukannya UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi banyak pejabat penyelenggara negera yang dijerat atau dihukum karena
melakukan tindak pidana korupsi. Bahkan pada masa pandemi Covid 19 melanda dunia termasuk
Indonesia, dua menteri ditangkap KPK dan menjadi tersangka yaitu Menteri Kelautan dan
Perikanan serta Menteri Sosial. Namun, sejak diberlakukannya UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001 belum pernah ada pelaku tindak pidana korupsi yang dijatuhi pidana mati.

PERTANYAAN:

Berikan analisis mengenai:

Faktor yang menyebabkan penegak hukum mengalami kesulitan dalam menerapkan


pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi

HASIL ANALISIS

1. Dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi diatur juga mengenai


ancaman pidana mati seperti halnya dalam KUHP
Hal tersebut disebabkan oleh alasan pemberat pidana yang dapat dijadikan alsan oleh
hakim untuk menjatuhkan pidana mati harus sesuai dengan apa yang menjadi penjelsan
pasal 2 ayat yang diantaranya yaitu:
a. Pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan Undang-undang yang
berlaku;
b. Pada waktu terjadinya bencana alam nasional;
c. Sebagai pengulangan tindak pidana korupsi; atau
d. Pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Kasus dua menteri ditangkap KPK dan menjadi tersangka yaitu Menteri Kelautan dan
Perikanan serta Menteri Sosial yang melakukan tindak pidana disaat krisis pandemic
covid 19 yang dimana negara dalan keadaan krisis ekonomi
Tuntutan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi pernah dilakukan
sepanjang perjalanan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi di
indonesia. Hal tersebut dilakukan oleh jaksa/penuntut umum kepada terdakwa Ahmad
Sidik Mauladi Iskandardinata Alias Dicky Iskandardinata dalam Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan No. 114/Pid. B/2006/PN. Jak. Sel. yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dengan adanya putusan peninjauan kembali yaitu Putusan No. 114
PK/Pid.Sus/2008 terlampir. Berdasarkan putusan tersebut diketahu bahwa terdakwa secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
bersama-sama dan berlanjut.
Meski telah terdapat Pasal dalam Undangundang Tindak Pidana Korupsi yang
memberikan ancaman hukuman mati kepada pelaku korupsi, penerapan hukuman mati
sampai saat ini masih merupakan perdebatan yang tidak berkesudahan dikalangan praktisi
hukum, LSM, akademisi dan masyarakat umum.
Tidak sedikit yang menolak dan menyetujui hukuman mati dijatuhkan. Kalangan yang
menolak berargumen bahwa eksekusi hukuman mati bertentangan dengan hak asasi
manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28A, 28I UUD NRI 1945, Pasal 4 dan 9 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Pasal 3 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia.

https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/76/pdf
https://media.neliti.com/media/publications/35450-ID-eksistensi-pidana-mati-dalam-
tindak-pidana-korupsi-terkait-pembaharuan-hukum-pid.pdf

Anda mungkin juga menyukai