Anda di halaman 1dari 3

DEBAT PKN KELOMPOK 5 (PRO)

HUKUMAN MATI BAGI PARA KORUPTOR

1. Saya sangat setuju dengan hukuman mati bagi koruptor. Karena kasus korupsi di
Indonesia sangat banyak, dengan hukum mati tersebut, koruptor akan menjadi jera
dan Indonesia akan terbebas dari kasus korupsi.

2. Saya sangat setuju dengan hukuman mati bagi koruptor. Karena korupsi ada dimana-
mana, bahkan terjadi pada pihak yang seharusnya bertindak dikasus seperti ini, seperti
Jaksa, Hakim dan Polisi. Hanya hukuman matilah yang dapat memberhentikan kasus
korupsi. Karena sudah diatur dalam Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001.

3. Saya sangat setuju dengan hukuman mati bagi koruptor. Karena hutang Indonesia
sangatlah banyak kepada PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Pada tahun 2012
Indonesia mempunyai hutang besar 1.960 Triliun. Dan itu disebabkan oleh korupsi.
Bila tidak diterapkan hukuman mati, maka Indonesia akan semakin banyak
mempunya hutang kepada PBB.

4. Saya sangat setuju dengan hukuman mati bagi koruptor. Karena secara garis besar,a
da tiga teori mengapa kita membutuhkan pidana mati bagi koruptor. Pertama, teori
pembalasan, yakni untuk menyeimbangkan hak-hak dalam masyarakat. Kedua, teori
perbaikan sebagai upaya represif. Ketiga, teori efek jera sebagai upaya preventif agar
terjadi penurunan tingkat kriminalitas dan perbuatan jahat dapat diberantas.

PENEGASAN PRO :
 Alasan yang pro terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh De Bussy yang
membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia
terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan ketertiban umum di
Indonesia masih sangat besar. Hazewinkel Suringa berpendapat bahwa pidana mati
adalah suatu alat pembersih radikal yang pada setiap masa revolusi dapat digunakan.
Van Veen menganggap pidana mati sebagai alat pertahanan bagi masyarakat yang
sangat berbahaya dan penggunaannya harus sangat hati-hati.
 Lebih baik membunuh satu persatu koruptor dan menyelamatkan jutaan masyarakat di
Indonesia dari pada harus mengkasihani koruptor namun merugikan jutaan
masyarakat Indonesia.
 UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi memberikan
legalitas bahwasannya koruptor bisa dihukum mati berdasarkan pasal 2 ayat (2),
dimana pidana mati dapat dijatuhkan kepada koruptor yang melakukan tindak pidana
korupsi dalam keadaan tertentu, yaitu : (1) dilakukan pada waktu negara dalam
keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku (2) pada waktu terjadinya
bencana alam nasional (3) sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau (4) pada
waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Meskipun secara legalitas
penerapan pidana mati sudah diatur sejak tahun 1999, namun dalam praktiknya
sampai sekarang belum pernah ada koruptor yang dipidana mati. Indonesia hendaknya
bisa berkaca pada China dalam penegakan hukum terhadap korputor, di China tiada
ampun bagi koruptor, bahkan Cheng ke jie wakil ketua Parlemen China juga dihukum
mati, ju Rongji Perdana Mentri China beberapa tahun yang lalu mengatakan “siapkan
ribuan peti mati untuk para koruptor, tetapi siapkan juga satu peti mati buat saya, jika
saya juga korupsi, saya siap dihukum mati.” Perkataan Ju Rongji tersebut hendaknya
menginspirasi para pemimpin Indonesia untuk tegas dalam pemberantasan korupsi
tanpa pandang bulu. Dengan cara seperti itulah korupsi bisa ditekan, diberantas dan
diminimalisir.

ARGUMEN
Korupsi Stadion GBLA

Mantan Sekretaris Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, Yayat Ahmad Sudrajat,
divonis hukuman 5 tahun 6 bulan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Bandung, Senin 22 Januari 2018. Yayat terbukti bersalah dalam kasus korupsi pembangunan
Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) Kota Bandung.

Dalam amar putusannya, Ketua Majelis M Fuad menyatakan, terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berkelanjutan,
sebagaimana dakwaan primer, Pasal 2 ayat (1) UU nomor 32 tahun 2009 ayat 1 sebagaimana
diubah dengan UU nomor 20, tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana.

"Menjatuhkan pidana penjara 5 tahun 6 bulan, denda Rp 200 juta, subsider kurungan empat
bulan," kata hakim. Putusan yang diberikan majelis lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut
umum, yakni 8 tahun dan denda Rp 500 juta, subsider kurungan 6 bulan.

Kasus yang membelit Yayat Ahmad Sudrajat adalah korupsi pembangunan Stadion


GBLA senilai Rp 545,5 miliar. Berdasarkan hasil audit BPK, negara mengalami kerugian Rp
103 miliar.

Kasus tersebut berawal saat terjadi pergeseran struktur tanah dan fondasi bangunan stadion
tersebut pada awal 2015. Dari penyelidikan Bareskrim Polri, ditemukan sejumlah
pelanggaran dalam pembangunan stadion kebanggaan Kota Bandung tersebut.

Di antaranya adalah ketidaksesuaian spek barang, dugaan penggelembungan nilai proyek


(mark up), hingga penyalahgunaan kewenangan.

Hasil audit BPK, terjadi potensi kerugian negara sebesar Rp 103,5 miliar dari total nilai
proyek APBD 2013-2015 senilai Rp 545,5 miliar. Saat proyek pembangunan Gedebage
Bandung TA 2009-2013, Yayat menjabat sebagai Sekretaris sekaligus Pejabat Pelaksana
Teknis dan Kuasa Pengguna Anggaran dari Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (Distarcip)
Kota Bandung.

ARGUMEN

Berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Indonesia menerapkan hukuman


mati bagi para pelaku korupsi. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat 2 UU tersebut, yang
menyatakan tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan. Tindak pidana korupsi yang dimaksud, tertera dalam Ayat 1, adalah perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara.

Dalam ayat itu disebutkan pula bahwa tindak pidana korupsi dipidana penjara dengan penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Akan tetapi, sampai saat ini belum ada koruptor di Indonesia yang dihukum mati. Heru
Hidayat, terdakwa dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri, pernah dituntut hukuman
mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, koruptor senilai Rp22,788 triliun itu lolos
dari hukuman mati dan dituntut pidana uang pengganti sebesar Rp12,643 triliun oleh majelis
hakim pada Januari 2022. Sementara di kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya, Heru Hidayat
dipidana hukuman seumur hidup.

Anda mungkin juga menyukai