Anda di halaman 1dari 2

HARAPAN BARU BAGI PENEGAKAN KORUPSI

(Hukum Mati, Pidana Penjara atau Pemiskinan)

Siapa yang hari gini tidak tahu tentang korupsi ? bukankah korupsi itu sudah menjadi
sebuah kultur bagi bangsa ini. Setiap hari, tahun, waktu, bulan ada saja yang melakukan
tindak pidana korupsi entah itu anggota caleg, partai, bahkan sampai lembaga tertinggi
sekalipun. Membicarakan tentang yang namanya korupsi atau kita pahami sebagai extra
ordinary crime. Tidak akan mengenal apa itu jabatan tinggi, rendah, tua, muda, miskin, kaya,
semua orang bisa melakukan tindakan bejat ini. Hanya orang-orang yang tidak punya rasa
Pri-Kemanusiaanlah yang mampu melakukannya. Bahkan tidak menutup kemungkinan kita
sebagai mahasiswa yang nantinya mempunyai peran penting dalam membuat sebuah
perubahan positif bagi bangsa dan negara akan melakukan tindak pidana korupsi.
Gebrakan dan gemblengan telah diterapkan demi mengurangi terjadinya tindak pidana
korupsi, seperti yang telah di lakukan KPU (Komisi Pemilihan Umum). Dengan menerapkan
pasal 4 ayat 3 peraturan KPU nomor 20 tahun 2018 tentang “Larangan Mantan Napi Korupsi
Maju Sebagai Calon Legislatif (caleg). Bukankah hal ini sudah dapat dikatakan sebagai
terobosan hukum yang dapat meminimalisir atau membatasi suatu Space terpilihnya calon
yang tidak amanah atau bahkan tidak layak, bukan hanya itu saja dalam pasal 2 ayat 1 UU
Tipikor yang berbunyi “ Setiap orang yang melawan hukum, melakukan perbuatan untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara, maka di pidana penjara dengan pidana seumur hidup. Tetapi seperti yang kita lihat,
terobosan hukum ini hanya dianggap sebagai angin lewat. Di luar sana masih ada bahkan
banyak birokrat atau tirani yang sanggup melakukan pidana korupsi, hanya ada satu
pertanyaan “Apakah pantas mereka (koruptor) diampuni?”
Seperti menempatkan raja di atas piramida. Apabila kita sebagai masyarakat
indonesia menelan mentah-mentah upaya pengampunan koruptor dengan alasan apapun. Hal
ini pastinya akan bertentangan dengan nurani rakyat sebagai suara tuhan. Korupsi itu
kejahatan yang luar biasa jadi sudah sepantasnya jika koruptor dihukum dengan cara yang
luar biasa. Dalam melawan tindak pidana korupsi memang dibutuhkan sebuah penegasan
serta tindakan extrim yang akan memberikian efek jera bagi pelakunya. Setiap negara
memiliki cara penyelesaian yang variatif, contoh negara China yang menetapkan aturan
siapapun yang terbukti melakukan korupsi lebih dari 100 ribu yuan atau setara dengan
nominal Rp194 juta akan di jatuhi hukuman mati. Bahkan tidak hanya itu seperti yang
dilakukan oleh perdana menteri China pada 1998, Zhu Rongji menyatakan, “Berikan saya
100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, dan satu buat saya sendiri jika saya
melakukan pidana korupsi.” Negara Vietnam juga menerapkan sistem hukum mati bagi
koruptor, bahkan Negera Singapura yang sapai dikenal sebagai negara yang tingkat
korupsinya sangat rendah itu juga melakukan tindakan keras bagi mereka yang melakukan
tindak pidana korupsi sehingga pada tahun 1994-1999 tanpa pikir panjang, hukuman mati
diberikan kepada 1000 orang jika terbukti melakukan kejahatan seperti penyelundupan obat
terlarang, pembunuhan, termasuk korupsi.
Inilah Penegasan serta ancaman yang dapat membuat bulu kuduk berdiri dan upaya
inilah yang sangat perlu untuk dikritisi demi menegakkan sebuah keadilan untuk terciptanya
ketentraman. Lalu, Bagaimana dengan negara kita? Penjara seumur hidup yang ada justru
serasa pindah rumah. Negara tidak perlu menunggu niat baik para koruptor untuk
mengembalikan semua yang telah diambil dari rakyat atau bahkan memberikan ampunan.
Secara sah negara berhak memberikan sanksi seberat-beratnya terhadap napi tipikor. Di
dalam semua ini perlunya kerja sama atau kontribusi penuh terhadap aparat penegak hukum
dalam memberantas korupsi, syukur-syukur diberantas juga napi-napinya agar memberikan
kesan jera terhadap semua orang yang ingin melakukan tindak pidana korupsi. Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, dalam pernyataannya megatakan “Indonesia ini harus
mempunyai peraturan yang baru tentang hukuman bagi para koruptor.” Beliau menambahkan
“selama ini hukuman bagi koruptor itu tidak tegas dan juga tidak jelas” hanya mereka saja
yang lagi apes atau sial kalau sudah ketangkap.
Indonesia ini akan sulit dalam memberantas korupsi atau napi tipikor, sebab banyak
birokrat atau tirani yang berpindah rumah (partai) untuk menutupi kasusnya. Lantas siapa
yang harus di salahkan penegak hukum atau napi tipikor? jika sekarang saja penegak hukum
tidak tegas, diampuni malah tidak jelas. Seharunya cara yang lebih efektif dalam memberikan
efek jera terhadap koruptor di Negara Indonesia ini dengan memberlakukan sebuah putusan
atau sanksi yang lebih berat dibandingkan hanya memberikan atau menjatuhkan hukuman
pidana penjara, sebagai contoh bisa kita beratkan dalam hukuman finansial, contoh saja
hukuman mati seperti yang tertera di dalam pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang tindak
pidana korupsi atau bahkan dipenjara seumur hidup dan tidak menutup kemungkinan negara
indonesia dapat memberlakukan hukuman berat seperti yang ada di Undang-undang Nomor 8
Tahun 2010 “Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”
dalam ranah “Pemiskinan Koruptor”.
Bukankah Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 “Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” menyerahkan kewenangan secara penuh
dalam memberantas korupsi dengan cara melakukan penarikan semua aset terhadap pelaku
tipikor (pemiskinan mutlak). Sehingga tindakan seperti inilah yang jau untuk mencegah
koruptor menikmati hasil korupsi. Seperti yang dikatakan tokoh proklamator (Bung Hatta)
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan
pengalaman, namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.” apabila penegak hukum Dan
pemimpin yang telah diberikan kekuasaan oleh rakyat tidak jujur. Bukankah itu sama saja
dengan memberi kesempatan bagi pencuri.

NAMA : BAGAS SATRIA WICAKSONO


NIM : S20184002
PRODI : HUKUM PIDANA ISLAM / SEMESTER 4

Anda mungkin juga menyukai