Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWERE) DAN MEKANISME


PEMBUKTIAN DALAM KETENTUAN HUKUM PIDANA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah PKL (Praktek Kerja Lapangan)

Dosen Pamong :

Agus Pancara, S.H., M.Hum

Disusun oleh kelompok 3 :

Inda Eliya Rohmah (S20183109)

Bagas Satria Wicaksono (S20184002)

Rizka Nafi'ah (S20184023)

Wanda Khofifah (S20184030)

FAKULTAS SYARIAH

KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

PERIODE 2022-2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas semua rahmat, hidayah, dan
inayahnya yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kita,
sehingga kami dapat membuat dan menyelesaikan Makalah Hukum Pidana
dengan judul “Pembelaan Terpaksa (Noodwere) Dan Mekanisme Pembuktian
Dalam Ketentuan Hukum Pidana”.

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Hukum Pidana yang disusun oleh kami sesuai dengan kemampuan dan
pengetahuan penulis. Untuk itu kami selaku penyusun mengucapkan banyak
terima kasih untuk orang-orang yang telah membantu dalam menyusun makalah
ini secara khusus pada mata kuliah Praktek Kerja Lapangan (PKL), sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan tepat waktu.

Dengan rendah hati kami mengakui bahwa penyusunan makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif
sangat kami perlukan dalam rangka perbaikan di masa yang akan datang.

Banyuwangi, 27 Februari 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER ...........................................................................................................1

KATA PENGANTAR ...................................................................................2

DAFTAR ISI ..................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang........................................................................................4
B. Rumusan masalah ..................................................................................4
C. Tujuan pembahasan ...............................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dalam Hukum Pidana.......................5


B. Syarat dan Unsur Noodweer (Pembelaan Terpaksa)..............................6
C. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Exces).............10
D. Persamaan dan Perbedaan Antara Noodweer dengan
Noodweer Exces....................................................................................11
E. Perkenalan Pembuktian dalam Sistem Peradilan...................................11
F. Jenis-Jenis Pembuktian dalam KUHP....................................................15

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN......................................................................................20
Daftar Pustaka................................................................................................21

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sebuah hukum pidana ada yang dinamakan pembelaan terpaksa


yaitu pembelaan yang diberikan karena sangat mendesak terhadap
serangan yang mendesak dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan
hukum. Sebuah pembelaan terpaksa dikenal dengan Noodweer, sebuah
pembelaan terpaksa memiliki sebuah unsur dan syarat, tidak bisa berlaku
jika tidak masuk dalam unsur-unsur tersebut. Noodweer atau pembelaan
terpaksa dibagi atas 2 macam. Tidak hanya pembelaan terpaksa dalam
makalah ini juga akan menjelaskan mengenai mekanisme pembuktian
dalam ketentuan hukum pidana. Maka dari itu dalam makalah ini
mengambil judul " Pembelaan Terpaksa (Noodwere) Dan Mekanisme
Pembuktian Dalam Ketentuan Hukum Pidana " untuk lebih jelasnya
akan dipaparkan dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Noodweer dan Noodweer Exces ?
2. Bagaimana Perbedaan antara Noodweer dan Noodweer Exces?
3. Apa yang menjadi syarat diberlakukannya Noodweer ?
4. Bagaimana Perkenalan Pembuktian dalam Sistem Peradilan ?
5. Apa Saja Jenis-Jenis Pembuktian dalam KUHP ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa yang dimaksud Noodweer dan Noodweer Exces
2. Memahami Perbedaan antara Noodweer dan Noodweer Exces
3. Mengetahui Apa yang menjadi Syarat di berlakukannya Noodweer
4. MemahamiBagaimana Perkenalan Pembuktian dalam Sistem Peradilan
?
5. Mengetahui Apa Saja Jenis-Jenis Pembuktian dalam KUHP ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dalam Hukum Pidana

Pengertian Pembelaan Terpaksa dari segi bahasa, Noodweer terdiri


dari kata “nood” dan “weer”. Kata “Nood” yang artinya (keadaan)
darurat. ”Darurat” berarti dalam keadaan sukar (sulit) yang tidak disangka-
sangka yang memerlukan penanggulangan segera dalam keadaan terpaksa
“Weer” artinya pembelaan yang berarti perbuatan membela, menolong,
melepaskan dari bahaya.1 Jika digabungkan kedua kata tersebut maka
dapat diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa atau
menolong dalam keadaan sukar (sulit).

Noodweer adalah pembelaan yang diberikan karena sangat


mendesak terhadap serangan yang mendesak dan tiba-tiba serta
mengancam dan melawan hukum.2 Pembelaan terpaksa merupakan alasan
menghilangkan sifat melanggar hukum (Wederrechtelijkheid atau
Onrechtmatigheid), maka alasan menghilangkan sifat tindak pidana
(Strafuitsluitings - grond) juga dikatakan alasan membenarkan atau
menghalalkan perbuatan yang pada umumnya merupakan tindak pidana
(Rechtvaardigings - grond) disebut fait justificatie.f3

 Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai


berikut :

Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa


(Lijf) untuk diri atau orang lain, kehormatan kesusilaan (Eerbaarheid)
atau harta benda (Goed) sendiri maupun orang lain, karena adanya
serangan (Aanranding) atau ancaman serangan yang melawan hukum
(Wederrechtelijk) pada ketika itu juga.”

1
Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 156.
2
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 200.
3
Wirjono Prodjodikoro, Asas - asas Hukum Pidana Di Indonesia , (Bandung: Eresco, 1989), 75

5
Beberapa bentuk pembelaan terpaksa yang terumus dalam pasal 49 ayat
1 adalah sebagai berikut :

1) Serangan terhadap badan: seseorang yang ingin balas dendam mendatangi


orang lain dengan memegang tongkat karena berniat ingin memukul, maka
orang yang ingin dipukul tersebut mengambil tongkat dan memukul si
orang yang ingin membalas dendam tersebut.

2) Serangan terhadap barang/ harta benda adalah terhadap benda yang


bergerak dan berwujud dan yang melekat hak kebendaan , sama dengan
pengertian benda pada pencurian pada pasal 362.4 Contoh : Budi mencuri
barang milik Ani. Sedangkan Ani melihat dan meminta untuk
dikembalikan barang miliknya tetapi Budi menolak, maka Ani berusaha
merebut barangnya dari si Budi. dalam perebutan ini Ani terpaksa
memukul Budi agar barang miliknya dikembalikan.

3) Serangan terhadap kehormatan adalah serangan yang berkaitan erat


dengan masalah seksual. Contoh semisal seorang laki-laki hidung belang
meraba buah dada seorang perempuan yang duduk di sebuah taman, maka
dibenarkan jika serangan berlangsung memukul tangan laki-laki itu. Tetapi
sudah tidak dikatakan suatu pembelaan terpaksa jika laki-laki tersebut
sudah pergi, kemudian perempuan tersebut mengejarnya dan memukulnya,
karena bahaya yang mengancam telah berakhir5

B. Syarat dan Unsur Noodweer (Pembelaan Terpaksa)

a. Dalam Hukum Pidana dapat dilakukannya pembelaan terpaksa apabila


memenuhi syarat-syarat yang sudah tertera di dalam pasal 49 ayat 1
mengenai pemberlakuan (Noodweer) antara lain :

1. Harus ada serangan (Aanranding), yang dimana dalam serangan ini


terdapat kriteria atau sarat yaitu, bahwa suatu serangan tersebut harus

4
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 42
5
Ibid, hal 43

6
datang dan mengancam secara tiba-tiba. Sehingga pembelaan terpaksa
bukan hanya bisa dilakukan pada saat serangan sedang berlangsung, akan
tetapi pembelaan terpaksa sudah boleh dilakukan pada saat adanya
ancaman serangan. Artinya serangan itu secara obyektif belum diwujudkan
namun baru adanya ancaman serangan.6

2. Serangan yang dilakukan itu harus melawan hukum (Wederrechtelijk),


dalam hal ini yang dimaksud adalah suatu serangan yang telah diterapkan
kepada sang korban sudah ada dalam Undang-Undang dan itu sudah
dilarang atau dianggap membahayakan. Oleh karena itu Serangan tersebut
tidak dibenarkan baik dari Undang-Undang maupun dari sudut masyarakat
(melawan hukum materiil) dan (melawan hukum formil)7

b. Terhadap serangan perlu dilakukan pembelaan diri,8 dapat dilakukan


apabila memenuhi ketentuan berikut :

1. Suatu tindakan harus merupakan pembelaan yang terpaksa, jadi


yang dimaksud tindakan itu benar-benar sangat terpaksa artinya tidak
ada alternative perbuatan lain yang dapat dilakukan dalam keadaan
mendesak ketika ada ancaman serangan atau serangan sedang
mengancam. Contoh : Apabila seseorang mengancam dengan
memegang golok akan melukai atau membunuh orang lain, maka
menurut akal masih memungkinkan untuk lari, maka orang yang
terancam itu harus lari.9 Tetapi apabila kemungkinan untuk lari itu
tidak ada atau sudah mengambil pilihan lari tetapi masih dikejarnya,
maka disini ada keadaan yang terpaksa. Maka dari itu, pembelaan
boleh dilakukan jika sudah tidak ada pilihan perbuatan lain dalam

6
Ibid, hal 47.
7
Leden Marpaung, Unsur-unsur pebuatan yang harus dihukum (Delik), (Jakarta : Sinar Grafika,
1991), 73-74.
8
Leden Marpaung, Unsur-unsur pebuatan yang harus dihukum (Delik), (Jakarta : Sinar Grafika,
1991), 75
9
Sudarto, Suatu Dilemma Dalam Pembaharuan Sistim Pidana Indonesia, (Pidato Pengukuhan,
Semarang, 1974), hlm. 34.

7
usaha membela dan mempertahankan kepentingan hukumnya yang
terancam.

2. Pembelaan itu dilakukan dengan serangan yang setimpal, artinya


harus seimbang dengan bahaya serangan yang mengancam. Sehingga
hal tersebut tidak melebihi kepentingan hukum yang terancam atau
diserang.

c. Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan
seketika, berarti ada tiga syarat yaitu serangan seketika, ancaman
serangan seketika itu dan bersifat melawan hukum10

Tidak hanya itu berbagai alasan telah diperkuat agar “Noodweer_ dapat
diimplementasikan seperti yang dikatakan oleh J.E.Jonkers menerangkan dalam
buku pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda untuk memajukan alasan
perlawanan terpaksa diperlukan tiga keadaan sebagai berikut11 :

1. Peristiwa yang dilakukan harus terpaksa dikerjakan untuk membela.


Maksudnya ialah bahwa harus ada keseimbangan yang tertentu antara
pembelaan yang dilakukan dan penerangan. Karena sesuatu persoalan
yang tidak berarti, maka orang tidak boleh membunuh atau melukai
lawannya.

2. Pembelaan hanya dapat mengenai kepentingan tertentu yang disebut


dalam Undang-Undang, yaitu mengenai dirinya atau orang lain,
kesopanan atau harta benda diri sendiri atau kepunyaan orang lain;

3. Harus ada serangan yang melawan hukum yang berlaku sekejap itu
atau yang mengancam dengan seketika. Penyerangan yang dilawan
harus memenuhi tiga syarat: (1) berlaku sekejap itu, (2) dalam susunan
perkataan Belanda tidak ada perkataan “mengancam dengan seketika”.
Perkataan itu ditambahkan untuk Hindia Belanda karena

10
Roeslan Saleh, Kitab Undang - undang Hukum pidana , (Jakarta: aksara Baru, 1987), 76.
11
J.E.Jonkers, dalam Handbook van het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Diterjemahkan oleh
Tim Penerjemah Bina Aksara berjudul Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Cet. I,
Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, hlm. 267-270.

8
dikhawatirkan bahwa apabila tidak begitu, orang yang terancam akan
terlambat dalam menangkis serangan yang direncanakan, terutama
mengingat daerah-daerah yang jarang tersentuh yang dimana suatu
perlengkapan kepolisian kurang memadai.

Menurut Prof. Van Bemmelen “Bahwa Noodweer tidak dapat dilakukan di dalam
2 peristiwa” yaitu:

1) Peristiwa di mana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu baru
akan terjadi di masa yang akan datang

2) Peristiwa di mana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu telah
berakhir.12

Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa pada dasarnya adalah


tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap diri
orang itu atau orang lain (Eigenriching).13

Jika peristiwa pengeroyokan seorang pencuri yang dilakukan oleh


banyaknya orang itu dapat masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang
memenuhi syarat-syarat dari pasal 49 ayat 1 KUHP, sehingga mereka yang
melakukan pengeroyokan tersebut dalam hukum positif kita dapat terjerat dengan
pasal 170 KUHP serta ancaman penjara maksimal 12 tahun. Tapi si pencuri
berhak membela diri (Noodweer) terhadap pengeroyokan tersebut sehingga
mungkin melukai salah seorang dari pengeroyokan tersebut maka si pencuri tidak
dapat dihukum karena penganiayaan (mishandeling ) dari pasal 351 KUHP.

C. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Exces)

Pembelaan terpaksa dalam Hukum Pidana dibagi menjadi 2 yakni,


pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas14

12
Roeslan Saleh, Kitab Undang - undang Hukum pidana , (Jakarta: aksara Baru, 1987), 77
13
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 42
14
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5ae67c067d3af/arti-inoodweer-exces-i-dalam-hukum-
pidana (Diakses pada tanggal 30 April 2018, hari senin)

9
Pengertian Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas Menurut Prof.
Van Bemmelen (Noodweer Exces) adalah sifat mempertahankan diri yang
tidak tercela dan tidak melawan hukum karena perlawanan tersebut
dilakukan ketika mendapatkan sebuah serangan dari orang lain yang
benar-benar mengguncang jiwa (stress berat), seperti halnya dapat
mengarah kepada kematian (pengilangan nyawa seseorang). Dalam hal ini
bentuk pidana masih ada, akan tetapi unsur pertanggung jawaban pidana
akan terhapus, (bagi yang mendapat serangan).15

Seperti yang telah dirumuskan dalam pasal 49 ayat (2) KUHP :

“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan


oleh kegoncanngan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana”

Prof. Schravendik memberikan contoh mengenai tindakan


Noodweer Exces yaitu jika ada seorang laki-laki secara diam-diam masuk
ke kamar seorang gadis dengan maksud hendak menyetubuhi gadis
tersebut. Pada saat laki-laki meraba-raba tubuh si gadis, terbangun lah
dia.16

Dalam situasi yang demikian, tergoncang lah jiwa antara amarah,


bingung, ketakutan yang hebat sehingga dengan tiba-tiba gadis itu
mengambil pisau di dekatnya dan laki-laki tersebut ditikam hingga mati. 17
Oleh sebab adanya kegoncangan jiwa yang hebat inilah, maka pakar
hukum memasukkan Noodweer Exces ke dalam alasan pemaaf karena
menghilangkan unsur kesalahan pada diri si pembuat.

D. Persamaan dan Perbedaan Antara Noodweer dengan Noodweer Exces

Dapat kita ketahui bahwa persamaan dari Noodweer dan Noodweer


Exces itu terletak pada suatu perlindungan yang dimana mengisyaratkan :

15
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 200.
16
Leden Marpaung, Unsur-unsur pebuatan yang harus dihukum (Delik), (Jakarta : Sinar Grafika,
1991), 82-83
17
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 42

10
Adanya serangan yang melawan hukum, dan yang dibela juga sama antara
lain, tubuh (fisik) kehormatan (kesusilaan) dan juga harta benda (baik diri
sendiri ataupun orang lain).

Lantas bagaimana dengan perbedaannya, pembeda nya dapat


terlihat dengan menggunakan dasar pemaaf dan juga dasar pembenar18

1. yakni pada pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces),


korban melakukan tindakan yang melampaui batas karena mengalami
keguncangan hati yang begitu hebat. Oleh karena itu perbuatan
pembelaan diri melampaui batas tetap melawan hukum, akan tetapi
orang yang melakukannya tidak dipidana. Lebih lanjut maka
pembelaan yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf

2. berbeda dengan pembelaan terpaksa atau (Noodweer), yang dimana


tindakan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindakan yang
melawan hukum. sehingga pembelaan terpaksa dapat dimasukkan
dengan dasar alasan pembenar.19

E. Perkenalan Pembuktian Dalam Sistem Peradilan Pidana

Terdapat beragam bentuk pembuktian, hal tersebut amat


bergantung pada bagaimana seorang ahli hukum memberikan definisi-
definisi pada tiap-tiap pembuktian tersebut. Para ahli hukum akan
memberikan definisi tentunya dengan terlebih dahulu mendefinisikan
makna dari sebuah pembuktian tersebut. Beberapa pakar memberikan
pandangannya terkait tentang arti dari istilah system pembuktian seperti
berikut :

18
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5ae67c067d3af/arti-inoodweer-exces-i-dalam-hukum-
pidana (Diakses pada tanggal 27 Februari 2022)
19
https://m.hukumonline.com/klinik/artikel-daya-paksa-dan-pembelaan-terpaksa-sebagai-alasan-
penghapus-pidana-dalam-hukum-pidana (Diakses pada tanggal 27 Februari 2022)

11
a. Subekti yang berpandangan bahwa membuktikan adalah upaya untuk
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan20

b. Sudikno Mertokusumo memiliki pendapat berbeda yakni, yang disebut


dalam arti yuridis dari konteks pembuktian adalah upaya untuk
memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa
perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran
peristiwa hokum yang diajukan tersebut21

Dari hal tersebut maka kita dapat mengambil benang merah bahwa,
konteks hukum pembuktian dalam hal ini pembuktian merupakan upaya
hukum yang dilakukan guna memberikan kejelasan berkaitan tentang
kedudukan hukum bagi pihak-pihak dengan dilandasi dengan dalil-dalil
hukum yang di utarakan oleh para pihak, Sehingga dapat memberikan
gambaran jelas pada hakim untuk membuat kesimpulan dan keputusan
tentang kebenaran dan kesalahan para pihak-pihak yang berperkara
tersebut.

Tujuan dari pembuktian adalah untuk memberikan gambaran


berkaitan tentang kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dari peristiwa
tersebut dapat diperoleh kebenaran yang dapat diterima oleh akal.22
Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah
terjadi dan terdakwa lah yang bersalah melakukannya, sehingga harus
mempertanggungjawabkan nya.23 Berkaitan tentang pembuktian, dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat pasal 183
yang mengatur berkaitan tentang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
pada seorang kecuali ditemukan sekurang-kurangnya terdapat 2 (dua) alat
bukti yang sah dan atasnya memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah
20
Subekti, Hukum Pembuktian, (Pradnya Paramitha), Jakarta, 2001, hlm 1.
21
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Liberty), Yogyakarta, 2006, hlm 135
22
Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, (Pradnya Paramitha), Jakarta, 1984, hlm 11.
23
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Djambatan), Jakarta, 1998, hlm 133.

12
melakukannya. dan jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang
tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu :

a. Keterangan Saksi

sehubungan dengan alat bukti berupa keterangan saksi ini, tentu


memiliki kekuatan dalam pembuktian ketika saksi itu terpenuhinya
syarat sah nya seorang saksi, yang dalam ketentuan KUHAP adalah
saksi harus mendengar, melihat dan mengalami. Ketentuan ini harus
menjadi dasar utama seorang saksi yang bisa dipertanggungjawabkan
keterangannya ketika disampaikan di dalam persidangan di depan
Majelis Hakim. Pasal 1 angka 26 KUHAP memberikan ketentuan saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Ini yang
merupakan prinsip dasar ketentuan alat bukti sehubungan dengan
saksi.

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan seorang yang


memiliki keahlian-keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
(Pasal 1 angka 28 KUHAP) seperti Visum et Repertum yang dibuat
oleh dokter atau dokter spesialis forensik. Keterangan ahli ialah apa
yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan, dan menurut
Wiryono Prodjodikoro "isi keterangan ahli dengan keterangan saksi
pada point pertama diatas berbeda". Keterangan seorang ahli lebih
mengenai kepada suatu penilaian hal-hal yang sudah nyata ada dan
pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu, sedangkan keterangan
saksi ialah mengenai apa yang dia dengar, lihat dan alami sendiri.

c. Surat

13
Dalam bukti surat ini dalam pembuktian nya tentu harus berhubungan
dengan suatu peristiwa, sehingga alat bukti surat ini bisa menjadi
kekuatan dalam pembuktian. Dan yang terpenting dalam pembuktian
alat bukti berupa surat ini tentu harus memiliki keabsahan, dan dalam
konteks kasus pidana misalnya bisa berupa contoh hasil dari otopsi
atau hasil dari keterangan oleh seorang ahli dalam bidang keilmuan
tertentu yang dalam keterangannya disampaikan di luar pengadilan.
Sehingga kemudian jika segala sesuatu tidak ada atau tidak memuat
tanda-tanda bacaan, atau sekalipun memuat tanda bacaan, akan tetapi
tidak mengandung sebuah pemikiran, maka tidaklah termasuk dalam
pengertian alat bukti tertulis atau surat.

d. Petunjuk

Petunjuk yang dimaksud dalam point ke 4 (empat) ini hanya dapat


diperoleh dari keterangan saksi, surat , keterangan terdakwa (Pasal 188
KUHAP). Artinya baik mengenai perbuatan , kejadian atau keadaan
ada keterkaitan atau persesuaian dengan tindak pidana yang sedang
disidangkan tersebut untuk menandakan bahwa telah terjadi suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Penilaian atas alat pembuktian
petunjuk ini berdasarkan keyakinan yang terdapat di dalam hati nurani
hakim, dimana dalam memeriksa perkara tersebut harus berdasarkan
dengan kecermatan dan kesaksamaan.

Contoh, dalam pasal 188 memiliki ketentuan sebagai berikut :

a. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena


persesuaian nya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

b. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat


diperoleh dari keterangan saksi, surat , keterangan terdakwa.

14
c. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

e. Keterangan Terdakwa

Terdakwa dalam memberikan keterangannya sebagai alat bukti dalam


persidangan di pengadilan hanya mencangkup 2 (hal), yaitu pengakuan
dan pengingkaran mengenai tindak pidana yang didakwakan
kepadanya. Di dalam Pasal 189 KUHAP, keterangan terdakwa hanya
dapat digunakan terhadap dirinya sendiri dan juga dalam memutus
perkara, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain
seperti Keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan juga petunjuk.

Tentunya dalam ke 5 (lima) alat bukti tersebut diatas harus


saling bersesuaian agar dalam penjatuhan pidana kepada seseorang
atau terdakwa tersebut tetap berada pada koridor hukum acara pidana.
Walaupun dalam hukum acara pidana hakim dalam memutus perkara
berdasarkan dengan keyakinannya, perlu diketahui juga hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana apabila alat bukti yang diperoleh tidak
mencapai batas minimal pembuktian yaitu sekurang-kurangnya dua
alat bukti (Pasal 183 KUHAP). Karena hukum acara yang
dimaksudkan termasuk dengan ke 5 (lima) alat bukti diatas ialah
dimaksudkan untuk melindungi hak-hak asasi manusia untuk
mendapatkan sebuah keadilan.

F. Jenis-Jenis Pembuktian Dalam KUHP

15
Di dalam KUHP terdapat beberapa sistem pembuktian yang
lumrahnya, sering digunakan dalam system pengadilan, yakni :

1. Conviction In Time atau Sistem Pembuktian Berdasarkan


Keyakinan Hakim Semata. Sistem ini menganut ajaran bahwa
bersalah tidaknya-tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan,
sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata-
mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya
terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim.
Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat
bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim
tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya
meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka
terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan
perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem
ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada
hakim, kepada ken-kesan perseorangan sehingga sulit untuk
melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis
yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak
mengakibatkan putusan bebas yang aneh.24

2. Conviction In Raisone atau Sistem Pembuktian Berdasar


Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Rasional.

Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga


mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-
satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan
hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan
logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim
tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak
diisyaratkan, Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh

24
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Ghana Indonesia), Jakarta, 1985,
hlm 241.

16
Undang-Undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di
luar ketentuan Undang-Undang. Yang perlu mendapat penjelasan
adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan
dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem
pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh "reasoning"
atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus 'reasonable" yakni
berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar,
tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem
pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.25

3. Positif Wettelijks theore atau Sistem Pembuktian Berdasarkan


Undang-Undang Positif.

Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem


pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran
bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya
alat-alat bukti sah menurut Undang-Undang yang dapat dipakai
membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem positif wetteljik sangat
mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan
hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan
terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan
pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah
menurut Undang-Undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara
pembuktian dan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang
Maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus
dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan
berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh
nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara
dan alat bukti yang di tentukan oleh Undang-Undang
kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan
25
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, (Citra Aditya), Bandung, 2006,
hlm 56.

17
kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim
yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana.

Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran


format, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam
hukum acara perdata. Positif wettelijk bewijstheori systeem di
benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana
yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa
sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya
merupakan alat perlengkapan saja.

4. Negative Wettelijk atau Sistem Pembuktian Berdasarkan


Undang-Undang Secara Negatif.

Dalam sistem ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila


sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-
undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat
dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam pasal 183 KUHAP
menyatakan sebagai berikut :

“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali


apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah Ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya”

Jika dilihat dari konteks Pasal 183 KUHAP, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa KUHAP di Indonesia memiliki sistem
pembuktian yang bersifat negative wettelijk. Hal tersebut dapat
dilihat dari praktik beracara yang lumrah terjadi pada pengadilan
Indonesia yakni upaya pembuktian dari masing-masing pihak
dengan menghadirkan berbagai macam bukti-bukti beserta
keyakinan hakim terhadap suatu kesalahan berdasarkan bukti-bukti
tersebut.

18
Jika dilihat dari konteks Pasal 183 KUHAP, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa KUHAP di Indonesia memiliki sistem
pembuktian yang bersifat negative wettelijk. Hal tersebut dapat
dilihat dari praktik beracara yang lumrah terjadi pada pengadilan
Indonesia yakni upaya pembuktian dari masing-masing pihak
dengan menghadirkan berbagai macam bukti-bukti beserta
keyakinan hakim terhadap suatu kesalahan berdasarkan bukti-bukti
tersebut.26

26
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, (Sinar Grafika), Jakarta,
2006, hlm 319

19
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Pembelaan terpaksa terbagi menjadi 2 yaitu : Noodweer adalah pembelaan


yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak dan
tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum. Noodweer Exces Menurut Prof.
Van Bemmelen adalah sifat mempertahankan diri yang tidak tercela dan tidak
melawan hukum karena perlawanan tersebut dilakukan ketika mendapatkan
sebuah serangan dari orang lain yang benar-benar mengguncang jiwa (stress
berat), seperti halnya dapat mengarah kepada kematian (pengilangan nyawa
seseorang).

persamaan dari Noodweer dan Noodweer Exces itu terletak pada suatu
perlindungan yang dimana mengisyaratkan : Adanya serangan yang melawan
hukum, dan yang dibela juga sama antara lain, tubuh (fisik) kehormatan
(kesusilaan) dan juga harta benda (baik diri sendiri ataupun orang lain).

Terdapat beragam bentuk pembuktian, hal tersebut amat bergantung pada


bagaimana seorang ahli hukum memberikan definisi-definisi pada tiap-tiap
pembuktian tersebut. Beberapa pakar memberikan pandangannya terkait tentang
arti dari istilah system pembuktian seperti berikut : Subekti yang berpandangan
bahwa membuktikan adalah upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan, Sudikno
Mertokusumo memiliki pendapat berbeda yakni, yang disebut dalam arti yuridis
dari konteks pembuktian adalah upaya untuk memberi dasar-dasar yang cukup

20
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa hokum yang diajukan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Farid, Zainal Abidin. 2007. Hukum Pidana I. Jakarta : Sinar Grafika


Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas - asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung :
Eresco,
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana II. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,
Marpaung, Leden. 1991. Unsur-unsur pebuatan yang harus dihukum. .Jakarta :
Sinar Grafika
Sudarto. 1974. Suatu Dilemma Dalam Pembaharuan Sistim Pidana Indonesia.
Pidato Pengukuhan, Semarang
Saleh, Roeslan. 1987. Kitab Undang - undang Hukum pidana. Jakarta: aksara
Baru,
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, I. Kumpulan Kuliah, Balai Lektur
Mahasiswa,
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5ae67c067d3af/arti-iNoodweer-exces-i-
dalam-hukum-pidana (Diakses pada tanggal 27 Februari 2022)
https://m.hukumonline.com/klinik/artikel-daya-paksa-dan-pembelaan-terpaksa-
sebagai-alasan-penghapus-pidana-dalam-hukum-pidana (Diakses pada 27
Februari 2022)

21

Anda mungkin juga menyukai