Anda di halaman 1dari 41

PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER) DALAM

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN


(Studi Putusan Nomor: 257/Pid.B/2016/PN.Skg)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Sajana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Halu Oleo

Oleh:

SITI NABILA
H1A119107

BAGIAN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................6

C. Tujuan Penulisan.....................................................................................6

D. Manfaat Penelitian...................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................7

A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana..............................................7

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana.................................................7

2. Unsur-unsur Tindak Pidana..............................................................10

3. Jenis-jenis Tindak Pidana.................................................................16

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan.........................19

1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan...........................................19

2. Unsur dan Jenis Tindak Pidana Pembunuhan...................................21

C. Tinjauan Umum Tentang Noodweer.....................................................26

1. Pengertian Pembelaan Terpaksa (Noodweer)...................................26

2. Unsur-unsur Pembelaan Terpaksa (Noodweer)................................27

3. Syarat Pembelaan Terpaksa (Noodweer)..........................................28

D. Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Putusan...............................30

ii
1. Pertimbangan Yuridis.......................................................................30

2. Pertimbangan Hakim Non Yuridis....................................................31

3. Bentuk Putusan Hakim.....................................................................33

BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................35

A. Tipe Penelitian.......................................................................................35

B. Pendekatan Penelitian............................................................................35

C. Sumber Bahan Hukum...........................................................................36

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.....................................................38

E. Analisis Bahan Hukum..........................................................................38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................39

Dasar Ratio Decidendi Hakim Mengabaikan Konsepsi Pembelaan

Terpaksa (Noodweer) dalam Putusan Nomor: 257/Pid.B/2016/PN.Skg....39

BAB V PENUTUP................................................................................................66

A. Kesimpulan............................................................................................66

B. Saran......................................................................................................67

DAFTAR PUTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Mulai dari kejahatan pemerasan, penipuan, pencurian, pemerkosaan, pencabulan,

penganiayaan, bahkan sampai dengan pembunuhan berencana ataupun tidak

direncanakan yang kemudian merenggut nyawa orang lain. Terjadinya Tindak

pidana biasanya dilandasi dengan berbagai motif maupun rencana, mulai dari sakit

hati, dendam, berselih paham hingga berujung perkelahian, hutang piutang, dan

lain sebagainya.

Dalam hal yang demikian, sering kali seseorang demi menyelamatkan diri

dari kejahatan sebisa mungkin memberikan perlawanan atau memberikan

serangan balik kepada pelaku yang berniat mencelakainya. Sehingga terkadang

menyebabkan pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana tersebut mengalami

luka bahkan sampai kehilangan nyawa. Hukum Pidana menyebut perlawanan

demi menyelamatkan diri sebagai bentuk pembelaan terpaksa (noodweer) dalam

keadaan tertentu yang mengancam keselamatan dirinya atau orang lain.

Berbicara tentang pelaku tindak pidana maka mesti memberlakukan sanksi

untuk mencapai keadilan sebagai salah satu tujuan hukum. Namun tidak semua

tindak pidana dapat dijatuhi sanksi. Ada keadaan-keadaan tertentu yang dapat

menghapus sifat melawan hukum dari tindak pidana. Didalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP mengenal alasan penghapus

pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Ketentuan alasan penghapus

1
pidana yang diatur dalam KUHP ini bisa merupakan pembelaan diri terhadap

serangan atas hak-hak tertentu yaitu hak atas diri, kehormatan kesusilaan, dan

harta.

Fletcher menyatakan bahwa dalam alasan pembenar perbuatan pelaku

telah memenuhi ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam undang-undang,

namun masih dipertanyakan apakah perbuatan tersebut dapat dibenarkan ataukah

tidak.1 Alasan pemaaf, perbuatan itu salah akan tetapi masih dipertanyakan

apakah pelaku dapat dipertanggungjawabkan ataukah tidak. Yang dikemukakan

oleh Fletcher sangat erat kaitanya dengan elemen-elemen perbuatan pidana yang

terdiri dari memenuhi unsur delik, melawan hukum dan dapat dicela. Elemen

memenuhi unsur delik identik dengan perbuatan pidana itu sendiri, sedangkan

gabungan elemen melawan hukum dan elemen dapat dicela melahirkan

pertanggungjawaban pidana.2

Dalam kaitannya dengan alasan penghapus pidana yang pada hakikatnya

adalah alasan penghapus pertanggungjawaban pidana. Dapat disimpulkan bahwa

alasan pembenar menghapuskan elemen melawan hukumnya perbuatan,

sedangkan alasan pemaaf menghapuskan dapat dicelanya pelaku.3

Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan

kepada hakim dan peraturan ini menetapkan berbagai keadaan pelaku yang telah

Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
1

Yogyakarta, 2016, h. 253.


2
Ibid.
3
Ibid.

2
memenuhi perumusan delik sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang

yang seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana.4

Pembelaan terpaksa atau untuk pembelaan diri terhadap serangan masuk

dalam kualifikasi alasan pembenar yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP

yang menjelaskan bahwa “Tidak dipidana, Barang siapa melakukan perbuatan

pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan

kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau

ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”. Alasan

penghapus pidana yang dalam doktrin disebut pembelaan terpaksa yang diatur

dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP ini merupakan terjemahan dalam bahasa belanda

yaitu noodweer.

Pada umumnya seseorang yang diserang cenderung akan melakukan

perlawanan dalam hal perlindungan diri sehingga mengakibatkan luka-luka

sampai hilangnya nyawa seseorang. Begitu pula dalam kejadian pembelaan

terpaksa (noodweer) walaupun tindakannya akan merugikan sipenyerang, akan

tetapi dalam hal ini yang diserang adalah untuk membela diri dari sipenyerang.

Oleh karena itu tindakan yang diserang dibenarkan oleh undang-undang atau sifat

melawan hukumnya ditiadakan atau dihilangkan.

Dengan adanya ketentuan tentang pembelaan terpaksa (noodweer) ini

dapat terjadi bahwa sekalipun seseorang jelas-jelas telah melakukan perbuatan

pidana misalnya merampas nyawa orang lain, tetapi pada akhirnya dirinya

tidaklah dipidana. Oleh karena perbuatan itu ia lakukan dalam rangka pembelaan

4
M. Hamdan, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus, PT. Refika Aditama,
Bandung, 2014, h. 27.

3
terpaksa (noodweer) untuk menyelamatkan atau mempertahankan dirinya dari

siatuasi yang mengancam keselamatanya.5

Keberadaan pembelaan terpaksa (noodweer) dalam hukum pidana

Indonesia banyak digunakan seseorang sebagai alasan untuk membenarkan

perbuatanya dengan harapan bahwa apa yang dilakukanya telah memeunuhi

unsur-unsur atau syarat-syarat pembelaan terpaksa atau agar dikualifikasikan

perbuatan itu dalam pembelaan terpaksa (noodweer) sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.6 Akan tetapi pada kenyataanya sering kali orang

kecewa karena alasan pembelaan terpaksa yang dikemukakannya tidak diterima

oleh hakim pengadilan sekalipun perbuatanya itu memang perlu dilakukan untuk

membela dirinya. Hakim memberikan pertimbangan bahwa dalam padanganya

perbuatan itu tidak memenuhi unsur-unsur pembelaan terpaksa dalam arti Pasal 49

ayat (1) KUHP.

Penerapan pembelaan terpaksa (noodweer) sebagai alasan penghapusan

pidana yang digunakan oleh terdakwa dimuka persidangan yang diharapkan dapat

dipertimbangkan hakim untuk melepaskannya dari jeratan hukum, dapat dilihat

dalam putusan Pengadilan Negeri Sengkang Nomor 257/Pid.B/2016/PN.Skg.

Kasus dalam putusan Nomor 257/Pid.B/2016/PN.Skg ini merupakan kasus

pembunuhan yang pelakunya didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan

subsidaritas, yaitu dakwaan Primairnya adalah Pasal 338 KUHP dan dakwaan

Subsidairnya adalah Pasal 351 ayat (3) KUHP.

5
Revani Engeli Kania Lakoy, Syarat Proposionalitas dan Subsidaritas dalam Pembelaan
Terpaksa Menurut Pasal 49 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2020, h. 46.
6
Ibid.

4
Dalam kasus ini terdakwa telah menghilangkan nyawa korban, dimana hal

itu dilakukan oleh terdakwa karena berupaya menyelamatkan dirinya (membela

diri) dari serangan korban yang bertujuan untuk membunuhnya dengan serangan

tikaman menggunakan senjata tajam berupa badik. Hal itu dipicu oleh dendam

korban yang tidak pernah usai dari kesalah pahaman yang terjadi tujuh tahun yang

lalu antara korban dan keluarga terdakwa, sehingga membuat korban kembali

menemui terdakwa dan mengatakan ingin membunuh terdakwa yang saat itu

korban langsung menyerang terdakwa dengan serangan tikaman terus-menerus

menggunakan badik. Dalam kondisi demikian untuk mempertahankan dirinya dari

serangan korban, terdakwa berusaha mengambil batu dan memukulkan ke kepala

korban beberapa kali.

Hakim dalam memutuskan suatu perkara dimuka persidangan,

mempertimbangkan seseorang layak atau tidak dijatuhi pidana berdasarkan alat-

alat bukti dan keyakinan dari hakim itu sendiri. Keyakinan Hakim semakin

diperkuat dengan adanya alat-alat bukti yang dihadirkan dan melihat fakta-fakta

yang ada dalam persidangan. Setiap perkara yang diajukan kepadanya, dalam

memberikan putusan, selain harus memiliki dasar yang kuat juga wajib

memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat.7

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dalam Tindak Pidana Pembunuhan

(Studi Putusan Nomor: 257/Pid.B/2016/PN.Skg).

7
Ahmad Kamli dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurispurdensi, Kencana, Jakarta,
2008, h. 34.

5
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah

yaitu apa dasar ratio decidendi hakim mengabaikan konsepsi pembelaan terpaksa

(noodweer) dalam putusan Nomor: 257/Pid.B/2016/PN.Skg ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui ratio decidendi hakim mengabaikan konsepsi pembelaan terpaksa

(noodweer) dalam putusan Nomor: 257/Pid.B/2016/PN.Skg.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian terkait pembelaan terpaksa ini dimaksudkan dapat

memberikan maanfat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam

bidang ilmu Hukum Pidana, khususnya tentang pembelaan terpaksa

(noodweer).

b. Diharapkan dapat memberikan gambaran nyata terhadap permasalahan-

permasalahan hukum sebagai bahan pembelajaran khususnya pada

mahasiswa Fakultas Hukum.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi terkait

bidang ilmu yang telah ditekuni baik dalam teori maupun praktek.

b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi

mahasiswa Fakultas Hukum mengenai pembelaan terpaksa (noodweer)

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Pengertian tentang tindak pidana dalam doktrin hukum pidana dikenal

dengan berbagai istilah antara lain, Strafbaarfeit dan sering pula menggunakan

istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang mempergunakan istilah

peristiwa pidana atau perbuatan pidana. Dapat dikatakan istilah strafbaarfeit

adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana.

Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukuman. Walaupun istilah Strafbaarfeit ini

terdapat dalam WvS Belanda dengan demikian juga WvS Hindia Belanda

(KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yan dimaksud dengan

strafbaarfeit.8

Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan

yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah

strafbaarfeit adalah sebagai berikut:9

1. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-

undangan kita.

2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum. Misalnya R. Tresna

dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana.

8
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, h. 67.
9
Ibid.

7
3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan

untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit.

4. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana

yang ditulis oleh M.H. Tirtaadmidjaja.

5. Perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam

buku beliau “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”.

6. Perbuatan pidana, digunakan oleh Moeljatno dalam tulisan beliau, seperti

dalam buku “Asas-Asas Hukum Pidana”.

Simons merumuskan bahwa strafbaarfeit ialah kelakuan yang diancam

pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan

dilkukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.10 Van Hamel merumuskan

istilah strafbaarfeit itu sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-

undang, melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.11

Tindak pidana yang merupakan hasil terjemahan dari strafbaarfeit ini telah

banyak diberikan defenisi yang berbeda-beda dari berbagai pakar meskipun

masksudnya masih sama. Topo Santoso mengatakan, tindak pidana berarti suatu

pidana yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana.12 Menurut pompe,

strafbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma

yang dengan sengaja maupun tidak disengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut perlu demi terprliharanya

tertib hukum dan terjadinya kepentingan hukum dan terjaminya kepentingan

umum. Istilah strafbaarfeit haruslah dihubungkan dengan sifat wederrechtelijk


10
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 88.
11
Ibid.
12
Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, h. 12.

8
atau aan schuld wijten atau yang bersifat melawan hukum yang telah dilakukan

baik dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja.13

Dari apa yang telah diuraikan oleh pompe, ada hubungan yang sangat erat

kaitanya antara strafbaarfeit atau tindak pidana dengan sifat melawan hukum dari

adanya perbuatan pidana. Dalam menjatuhkan suatu hukuman itu tidak cukup

apabila hanya terdapat strafbaarfeit melainkan juga harus terdapat strafbaar

person atau seseorang yang dapat dihukum, dimana orang tersebut dapat dijatuhi

hukuman apabila tindak pidana yang telah ia lakukan itu bersifat melawan hukum

dan ia lakukan dengan sengaja maupu tidak dengan sengaja. Bersifat melawan

hukum dapat berarti bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan

larangan-larangan atau keharusan hukum atau menyerang sesuatu kepentingan

yang dilindungi oleh hukum.

Moeljatno mendefenisikan istilah perbuatan pidana sebagai perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman atau

sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan

tersebut. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup “perbuatan” saja,

sebagaimana dikatakan bahwa perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya

perbuatan saja yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana jika dilanggar.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan

yang pelakunya seharusnya dipidana. Tindak pidana dirumuskan dalam undang-

undang antara lain KUHP.14

13
PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1997,
h. 207.
14
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers,
Jakarta, 2016, h. 55-59.

9
Berdasarkan pendapat beberapa ahli hukum yang telah dikemukakan

diatas, maka dapat diartikan yang dimaksud dengan tindak pidana adalah suatu

perbuatan yang dilakukan oleh manusia, diatur oleh undang-undang yang memuat

perintah dan larangan apabila tidak dipatuhi diberikan sanksi pidana, yang mana

perbuatan tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat didalam KUHP itu pada umumnya

dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur. Istilah unsur dipergunakan sebagai syarat

yang diperlukan untuk dapat dipidananya suatu perbuatan dari pelaku dan yang

muncul dari bagian umum kitab undang-undang dan asas hukum umum. Untuk

menjabarkan suatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang harus

diperhatikan terlebih dahulu adalah suatu tindakan manusia. Dimana tindakan

seorang tersebut telah melakukan sesuatu tindakan yang dilarang oleh undang-

undang.

Ada dua sudut pandang mengenai unsur-unsur tindak pidana yaitu sudut

pandang teoritis dan sudut pandang undang-undang. Sudut pandang teoritis

merupakan sudut pandang yang berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang

tercermin pada bunyi rumusannya. Maksudnya ialah unsur tindak pidana ini

berlandaskan pada apa yang dikemukakan oleh para ahli hukum. Sedangkan

sudut pandang undang-undang adalah kenyataan tindak pidana itu dirumuskan

menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal perundang-undangan yang ada.

10
a. Unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis

Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur

lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir

(dunia).15 Menurut Moeljatno sebagaimana rumusan tersebut, unsur tindak pidana

adalah :

1. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum).

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Menurut R. Tresna bahwa tindak pidana terdiri dari unsur-unsur sebagai

berikut :16

1. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia).

2. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Diadakan tindakan penghukuman.

Unsur ketiga yang diungkapkan oleh R. Tresna “diadakan penghukuman”,

jika dilhat seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti

penghukuman. Berbeda dengan Moeljatno “ancaman pidana” kalimat diancam

pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dijatuhi pidana.

Sementara itu, Schravendijk, merinci unsur-unsur tindak pidana sebagai

berikut :

1. Kelakuan (orang yang).

2. Beretentangan dengan keinsyafan hukum.


15
Rahman Syamsuddin dan Ismail Aris , Merajut hukum di Indonesia, Mitra wacana
media, Jakarta, 2014, h.193.
16
Adami Chazawi, Op. Cit., h. 80-81.

11
3. Diancam dengan hukuman.

4. Dilakukan oleh orang (yang dapat).

5. Dipersalahkan/kesalahan.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, menyebutkan bahwa unsur-unsur tindak

pidana meliputi:17

1. Subjek.

2. Kesalahan.

3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan).

4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang atau

perundangan dan terhadap pelanggaranya diancam dengan pidana.

5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

Selain itu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai

berikut:18

1. Handeling, perbutan manusia, dengan Handeling dimaksudkan tidak saja

perbuatan tetapi juga melalaikan atau tidak berbuat.

2. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum.

3. Perbuatan itu diancam pidana oleh undang-undang.

4. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

5. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan.

17
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Suatu pengantar, Reflika Aditama,
Bandung, 2011, h. 99.
18
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983, h. 26-27.

12
b. Unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang

Dalam buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana

tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, sementara dalam buku ke III

adalah pelanggaran. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP,

maka dapat diketahui ada delapan unsur tindak pidana yaitu unsur tingkah laku,

unsur melawan hukum, unsur kesalahan, unsur akibat konstutif, unsur keadaan

yang menyertai, unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana, unsur

syarat tambahan untuk memperberat pidana, unsur syarat tambahan untuk dapat

dipidana.

Unsur-unsur setiap tindak pidana pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua

macam unsur yakni unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektif adalah

unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan segala

sesuatu yang terkandung didalam hatinya, keadaan dimana yang sifat melawan

hukumnya terletak didalam hati sanubari (batin) pelaku itu sendiri. Sendangkan

unsur objektif adalah semua unsur yang berada diluar keadaan batin

manusia/pelaku, yakin semua unsur mengenai perbuatanya, akibat perbuatan, dan

keadaan-keadan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan. Dari kedelapan

unsur tindak pidana yang ada dalam KUHP tersebut, unsur melawan hukum dan

unsur kesalahan termasuk unsur subyektif, sedangkan selebihnya termasuk unsur

obyektif.

Didalam hukum pidana, penyebab terjadinya suatu tindak

pidana/kejahatan yang dilakukan oleh manusia dikenal dalam ilmu kriminologi.

Menurut Bonger Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan

13
menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Berdasaran pengertian tersebut,

Bonger membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni dan kriminologi

terapan.19 Kriminologi murni meliputi:

1. Antropologi kriminil yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat

(somatis). Ilmu pengetahuan ini memeberikan jawaban atas pertanyaan

tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa dan

apakah ada hubungan antara suku bangsa dan kejahatan.

2. Sosiologi kriminil yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu

gejala masyarakat.

3. Psikologi kriminil yaitu ilmu penegtahuan tentang penjahat yang dilihat dari

sudut jiwanya.

4. Penologi yakni ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.

5. Psikopatologi dan neuropatologi kriminil yaitu ilmu tentang penjahat yang

sakit jiwa atau urat syaraf.

Kriminologi terapan mencakup:

1. Higiene kriminil yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya

kejahatan.

2. Politik kriminil yakni usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu

kejatahatan telah terajadi. Disini dilihat sebab-sebab seorang melakukan

kejahatan.

3. Kriminalistik (policie scientific) yang merupakan ilmu tentang pelaksanaan

penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan.

19
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., h. 6-7.

14
Adapun faktor-faktor sosial yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap

terjadinya suatu tindak pidana, diktegorikan sebagai berikut:20

1. Faktor ekonomi, meliputi sistem ekonomi yang tidak saja merupakan sebab

utama (basic causa) dari terjadinya kejahatan terhadap hak milik, juga

mempunyai pengaruh kriminogenik karena membangun egoisme terhadap

macam-macam kejahatan lain dengan cara pola hidup konsumeristis, dan

persaiangan pemenuhan kebutuhan hidup, perubahan harga pasar, yang

mempengaruhi tingkat pencurian, keadaan krisis, dan pengangguran.

2. Faktor-faktor mental, meliputi kurangnya pemahaman terhadap agama,

pengaruh bencana, film dan televisi.

3. Faktor-faktor fisik, keadaan iklim seperti hawa panas/dingin, keadaan

terang/gelap, dan lain-lain dianggap sebagai penyebab langsung dari kelakuan

manusia yang menyimpang.

4. Faktor-faktor pribadi meliputi umur, jenis kelamin, ras dan nasionalitas,

alkholisme, dan perang berakibat buruk bagi kehidupan manusia.

Secara umum dapat diklasifikasikan hal yang dapat menjadi pemicu

terjadinya tindak pidana, antara lain:

a. Keadaan ekonomi yang lemah dan pengangguran.

b. Lemahnya penegakan hukum. Dalam hal ini mencakup lemahnya sanksi

perundang-undangan pidana, dan tidak terpadunya sistem peradilan pidana.

20
Stepen Huwitz, Kriminologi, Saduran Moeljatno, Bina Aksara, Jakarta, 1986, h. 86.

15
c. Adanya demonstration effects, yaitu kecenderungan masyarakat untuk

memamerkan kekayaan sehingga menyulut pola hidup konsumtif yang

berlomba-lomba mengejar nilai lebih sedangkan kesanggupan rendah.

d. Perilaku korban yang turut mendukung sehingga terjadinya tindak pidana.

e. Lingkungan kelurga yang tidak harmonis dan pergaulan dengan masyarakat

yang berintegrasi dengan pola-pola kejahatan dalam masyarakat.

f. Kurangnya pendidikan tentang moral.

g. Penyakit kejiwaan.

Sementara secara sederhana, dalam dunia kriminalits dikenal dua faktor

penting terjadi tindak pidana yaitu adanya nia dan kesempatan. Kedua faktor ini

saling mempengaruhi dalam terjadinya tindak pidana.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

KUHP sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana atau delik kedalam

dua kelompok besar yaitu dalam buku kedua dan buku ketiga yakni kejahatan dan

pelanggaran. Kemudian bab-babnya dikelompokkan menurut sasaran yang hendak

dilindungi oleh KUHP terhadap tindak pidana tersebut. Misalnya Bab I buku

kedua adalah kejahatan terhadap keamanan Negara, dengan demikian ini

merupakan kelompok tindak pidana yang sasaranya adalah keamanan Negara.21

Selanjutnya terkait jenis-jenis tindak pidana ialah sebagai berikut :

a. Kejahatan dan pelanggaran

Kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran

merupakan wetsdelict atau delik undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran

21
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h. 58.

16
hukum yang dirasa melanggar rasa keadilan. Sedangkan delik undang-undang

melanggar apa yang ditentukan oleh undang-undang. Disamping itu dari sudut

pandang yang lain kejahatan ialah delik yang melanggar kepentingan hukum dan

juga membahayakan secara konkret. Sedangkan pelanggaran hanya

membahayakan secara in abstracto saja.22

b. Delik formil dan delik materil

Delik formil adalah delik dimana dengan dilakukan perbuatan itu maka

delik itu dianggap selesai. Atau bisa disebut juga delik yang titik beratnya pada

perbuatan itu. Sebaliknya delik materil, delik itu dianggap selesai apabila

akibatnya sudah terjadi. Seperti pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338

KUHP, yang dilihat adalah dari perbuatanya itu menyebabkan matinya seseorang

maka dapat dikatakan telah melakukan pembunuhan.

c. Delicta commissionis, delicta omissionis, dan delicta commissionis per

omissionem commissa23

Delik komisi atau delicta commissionis pada hakikatnya adalah melakukan

perbuatan yang dilarang dalam undang-undang. Hampir sebagian besar ketentuan

pidana dalam undang-undang termaksud juga dalam KUHP merupakan delik

komisi karena berisi larangan-larangan untuk melakukan suatu perbuatan.

Kemudian delicta omissionis atau juga disebut delik omisi yaitu tidak

melakukan perbuatan yang diwajibkan atau diharuskan oleh undang-undang.

Delik omisi didasarkan pada suatu adagium “qui potest et debet vetara, tacens

jubet” artinya, seseorang yang berdiam, tidak mencegah atau tidak melakukan

22
Andi Hamzah, Op. Cit., h. 98-99.
23
Eddy O.S. Hiariej, Loc. Cit., h. 137-138.

17
sesuatu yang harus dilakukan, sama saja seperti ia yang memerintahkan.

Contohnya Pasal 224 KUHP. Bila seseorang dipanggil sebagai saksi dan tidak

hadir tanpa alasan yang sah, maka orang tersebut telah melakukan delik omisi.

Selain delicta commissionis dan delicta omissionis, dikenal juga delicta

commissionis per omissionem commissa. Secara singkat dapat dipahami, delik ini

merupakan kelalaian atau kesengajaan terhadap suatu kewajiban yang

menimbulkan akibat.

d. Delik dolus dan delik culpa

Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan atau dengan

sengaja. Sedangkan delik culpa didalam rumusanya memuat unsur kealpaan atau

karena kesalahanya.

e. Delik biasa dan delik aduan

Pembagian delik menjadi delik biasa atau gewone delic dan delik aduan

atau klacht delic memiliki arti penting dalam proses peradilan pidana. Delik aduan

merupakan tidak pidana yang dapat dilakukan penuntutan apabila ada pengaduan

dari orang yang dirugikan. Delik biasa adalah tindak pidana yang dapat dituntut

tanpa adanya pengaduan.

f. Delik tunggal dan delik gabungan

Pada dasarnya hampir semua delik dalam KUHP adalah delik tunggal atau

enkelvoudige delic. Delik tunggal adalah delik yang pelakunya dapat dipidana

hanya dengan satu kali saja melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak

melakukan perbuatan yang diwajibkan. Mengenai delik gabungan, secara objektif

delik gabungan ini terlihat dari perbuatan-perbuatan pelaku yang relevan satu

18
sama lain, sedangkan secara subjektif delik gabungan tersebut memperlihatkan

motivasi dari pelaku.

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan

1. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

Bab XIX Buku II KUHP mengatur tentang kejahatan terhadap jiwa

seseorang, yang terdiri dari 13 Pasal yakni Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal

341, Pasal 342, Pasal 343, Pasal 344, Pasal 345, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348,

Pasal 349, dan Pasal 350. Bentuk pokok dari kejahatan ini adalah pembunuhan

yakni menghilangkan jiwa orang lain. Istilah pembunuhan dimaksudkan sebagai

terjamahan dari bahasa belanda, doodslag. Secara terminologis pembunuhan

adalah perbuatan menghilangkan nyawa atau mematikan. Sedangkan dalam

KUHP istilah pembunuhan adalah suatu kesengajaan menghilangkan nyawa orang

lain.

Tindak pidana pembunuhan adalah suatu perbuatan kejahatan terhadap

jiwa seseorang, yang dilakukan dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain

dengan cara melawan hukum. Lamintang mengatakan bahwa untuk sengaja

menghilangkan jiwa orang lain itu seseorang pelaku harus melakukan sesuatu atau

suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan

catatan bahwa niat dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa

meninggalnya orang lain tersebut.24

Kesengajaan menimbulkan akibat meninggalnya orang lain yang tidak

dikehendaki oleh undang-undang terjadi, dengan akibat demikian barulah delik

Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Nyawa,


24

Tubuh, dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 1.

19
tersebut dianggap telah selesai. Artinya jika akibat berupa meninggalnya orang

lain belum timbul berarti suatu tindak pidana pembunuhan belum dapat dikatakan

sebagai delik selesai.

Unsur kesengajaan menghilangkan nyawa seseorang dapat berwujud

macam-macam yaitu dapat berupa menikam dengan pisau atau benda tajam,

menembak menggunakan senja api, memukul dengan alat berat, mencekik dengan

tangan, memberikan racun, dan sebagainya, bahkan dapat berupa diam saja

ataupun pengabaian. Selain itu perbuatan tersebut harus diambah unsur

kesengajaan dalam salah satu dari tiga wujud, yaitu sebagai tujuan untuk

mengadakan akibat tertentu, atau sebagai keinsyafan kemungkinan yang akan

datangnya akibat itu.25

Menurut Adami Chazawi perbuatan menghilangkan nyawa orang lain

terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu:26

a. Adanya wujud perbuatan

b. Adanya suatu kematian (orang lain)

c. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband)

Dalam suatu tindak pidana pembunuhan harus ada hubungan antara

perbuatan yang dilakukan dengan akibat yang terjadi yaitu hilangnya nyawa

seseorang itu.

25
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2012, h. 68.
26
Adami Chazawi, Kejahatan terhadap tubuh & nyawa, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, h.
82.

20
2. Unsur dan Jenis Tindak Pidana Pembunuhan

Ada beberapa jenis perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana

pembunuhan. Di dalam KUHP, tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya

nyawa orang lain adalah sebagai berikut:27

1) Pembunuhan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP

2) Pembunuhan dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 339 KUHP

3) Pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP

Uraian di atas menunjukan bahwa beberapa jenis tindak pidana

pembunuhan itu diatur dalam pasal yang berbeda, artinya unsur dalam setiap

pasal itu sendiri juga berbeda. Dalam pengelompokannya, kejahatan terhadap

nyawa dibedakan menjadi dua kelompok yakni :

1) Atas dasar unsur kesalahanya, meliputi:

a. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus

misdrijven) merupakan kejahatan yang dimuat dalam BAB XIX KUHP,

Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340, Pasal 341, Pasal 342, Pasal 343, Pasal

344, Pasal 345, Pasal 346, Pasal 347, Pasal 348, Pasal 349 dan Pasal 350.

b. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose

misdrijven), yang dimuat dalam BAB XXI khusus pada Pasal 359.

2) Atas dasar objeknya (nyawa), meliputi:28

Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya dimuat dalam Pasal 338,

Pasal 339, dan Pasal 340 KUHP.

27
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002, h. 56.
28
Adami Chazawi, Op. Cit., h. 55-56.

21
Dilihat dari segi “kesengajaan (dolus/opzet)” maka tindak pidana terhadap

nyawa ini terdiri atas:

a. Dilakukan dengan sengaja.

b. Dilakukan dengan sengaja disertai kejahatan berat.

c. Dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu.

Berkaitan dengan penelitian ini, mengenai pembunuhan terhadap nyawa

orang pada umumnya yaitu pembunuhan yang dikategorikan sebagai pembunuhan

biasa yang merupakan delik pembunuhan dalam bentuk pokok atau doodslag,

yang termasuk dalam Pasal 338 Bab XIX KUHP. Rumusan dalam Pasal 338

KUHP yaitu “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam

karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Adapun unsur-unsur dalam rumusan Pasal 338 KUHP tersebut diantaranya:

a. Unsur dengan sengaja merupakan unsur subjektif.

b. Unsur merampas atau menghilangkan nyawa orang lain merupakan unsur

objektif.

Adapun unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 338 KUHP yang

dikemukakan oleh Andi Abu Ayyub Saleh adalah sebagai berikut:29

1. Dengan sengaja:

a) Unsur sengaja meliputi tindakannya dan objeknya, artinya pelaku

mengetahui atau menghendaki adanya orang mati dari perbuatanya

tersebut. Hilangnya jiwa seseorang harus dikehendaki dan harus menjadi

tujuan sehingga karenanya perbuatan yang dilakukan tersebut dengan

29
https://www.negarahukum.com/hukum/kejahatan-terhadap-nyawa.html.

22
suatu maksud atau tujuan yakni adanya niat untuk menghilangkan nyawa

orang lain.

b) Jika timbulnya akibat hilangnya jiwa orang lain tanpa dengan sengaja atau

bukan menjadi tujuan atau bukan bermaksud dan tidak pernah diniatakan,

tidaklah dapat dikatakan sebagai pembunuhan (doogslag) in casu tidak

dapat dikenakan ketentuan tindak pidana pembunuhan tersebut tetapi

mungkin dapat dikenakan tidak pidana lain yang mengakibatkan orang

mati tetapi tidak dengan unsur sengaja.

c) Baik timbulnya akibat maupun perbuatan yang menimbulkannya harus

dilakukan dengan sengaja, jadi dalam hal ini pelaku atau pembuat harus

mengetahui dan menghendaki bahwa dari perbuatannya itu dapat bahkan

pasti mengakibatkan adanya orang mati.

d) Untuk memenuhi tindak pidana pembunuhan dengan unsur sengaja yang

terkandung dalam Pasal 338 KUHP ini disyaratkan bahwa perbuatan

pembunuhan tersebut harus dilakukan sesegera mungkin sesudah

timbulnya suatu maksud atau niat untuk membunuh tidak dengan pikir-

pikir atau tidak dengan suatu perencanaan.

e) Unsur sengaja ini dalam praktek seringkali sulit untuk membuktikannya,

terutama jika pembuat atau pelaku tersebut ingin menghindar dari

perangkap tindak pidana tersebut. Karena unsur dengan sengaja adalah

unsur subejektif adalah unsur batin si pembuat yang hanya dapat

diketahui dari keterangan tersangka atau terdakwa didepan pemeriksaan

penyidik atau didepan pemeriksaan persidangan, kecuali mudah

23
pembuktianya unsur ini apabila tersangka atau terdakwa tersebut

memberi keterangan sebagai “pengakuan” artinya mengakui terus terang

pengakuannya bahwa kematian si korban tersebut memang dikehendaki

atau menjadi tujuannya.

f) Pada umumnya kasus-kasus tindak pidana pembunuhan, si tersangka atau

terdakwa berusaha menghindar dari pengakuan unsur sengaja tetapi

selalu berlindung bahwa kematian korban tersebut tidak dikehendaki atau

bukan menjadi niat tujuannya.

g) Untuk membuktikan unsur sengaja menurut ketentuan ini haruslah dilihat

cara melakukan dalam mewujudkan perbuatan jahatnya tersebut.

Sehingga memang dikehendaki atau diharapkan supaya korbannya

meninggal dunia.

2. Menghilangkan jiwa orang lain:

a) Unsur ini disyaratkan adanya orang mati. Diamana orang mati adalah

orang lain dan bukan dirinya sendiri si pembuat tersebut.

b) Pengertian orang lain adalah semua orang yang tidak termasuk dirinya

sendiri si pelaku.

c) Dalam rumusan tindak pidana Pasal 338 KUHP tidak ditentukan

bagaimana cara melakukan perbuatan pembunuhan tersebut, tidak

ditentukan alat apa yang digunakan tersebut, tetapi undang-undang hanya

menggariskan bahwa akibat dari perbuatannya itu yakni menghilangkan

jiwa orang lain atau matinya orang lain.

24
d) Kematian tersebut tidak perlu terjadi seketika itu atau sesegera itu, tetapi

mungkin kematian dapat timbul kemudian.

e) Untuk memenuhi unsur hilangnya jiwa atau matinya orang lain tersebut

harus sesutu perbuatan, walaupun perbuatan itu kecil yang dapat

mengakibatkan hilangnya atau matinya orang lain.

Hilangnya jiwa seseorang harus dikehendaki atau adanya kehendak dari

pelaku, harus menjadi tujuan dan niat dimana perbuatan itu dilakukan untuk

menghilangkan nyawa seseorang sehingga pelaku dapat dipersalahkan. Simons

memberikan syarat kesalahan berupa perbuatan melawan hukum dan adanya

kehendak dari perbuatan tersebut. Dengan sengaja berarti mempunyai maksud dan

tujuan untuk menghilangkan jiwa seseorang. Timbul akibat hilangnya jiwa

seseorang tanpa dengan sengaja atau bukan dari tujuan dan maksudnya, maka

tidak dapat dinyatakan sebagai pembunuhan.

Dalam tindak pidana pembunuhan tidak dirumuskan perbuatan, tetapi

hanya dari akibat perbuatanya yaitu menghilangkan jiwa seseorang. Untuk dapat

dikatakan menghilangkan jiwa, harus ada perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang/pelaku yang dapat menimbulkan akibat hilangnya jiwa. Perbuatan itu

dapat dilakukan misalnya dengan menembak menggunakan senjata api, memukul

dengan besi, menusuk atau menikam dengan senjata tajam, mencekik lehernya,

memberikan racun, menenggelamkan.

25
C. Tinjauan Umum Tentang Noodweer

1. Pengertian Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

Pembelaan terpaksa atau disebut juga dengan noodweer, terdiri dari dua

kata yakni “nood” yang artinya darurat, dan “weer” artinya pembelaan. Sehingga

secara harfiah perkataan noodweer itu dapat diartikan sebagai suatu pembelaan

yang dilakukan didalam keadaan darurat.30 Pembelaan terpaksa sebagai alasan

penghapus pidana dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi

“barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan karena ada

serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum terhadap diri

sendiri maupun orang lain terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau

harta beda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana”.31

Rumusan ini kemudian diterjemahkan oleh Badan Pembinaan Hukum

Nasional selanjutnya disebut BPHN Departemen Kehakiman menjadi “Tidak

dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri

sendiri maupun orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri

maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat

pada saat itu yang melawan hukum”.32

Noodweer sebenarnya merupakan sebuah perkataan yang telah

dipergunakan untuk menyebut lembaga pembelaan yang perlu dilakukan terhadap

serangan yang bersifat seketika dan bersifat melawan hukum yang dalam ilmu

30
Wenlly Dumgair, Pembelaan Terpaksa (Noodweer) dan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas (Noodweer Axces) Sebagai Alasan Penghapus Pidana, Lex Crimen, Fakultas
Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado, 2016, h. 62.
31
Ibid.
32
Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Sinar Harapan, Jakarta, 1983, h. 32.

26
pengetahuan hukum pidana disebut juga dengan istilah notwehr, legitim defense,

atau rechtverdediging ataupun moderamen inclupatae tutelae.33

Secara umum yang dapat dipahami bahwa Noodweer adalah suatu

tindakan kriminal yang dilakukan seseorang dalam upayanya untuk melakukan

suatu pembelaan diri dari ancaman seseorang yang menyangkut harta benda

maupun kesusilaan diri sendiri maupun orang lain pada waktu yang bersamaan

dan dalam keadaan yang sudah sangat terpaksa sehingga sudah tidak ada lagi

pilihan selain untuk melakukan tindakan yang termasuk dalam tindak pidana

tersebut.

Perbuatan yang termaksud dalam pembelaan terpaksa ini pada dasarnya

adalah menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap diri

orang itu atau orang lain. Perbuatan itu dilarang oleh undang-undang namun

dalam pembelaan terpaksa dengan alasan keadaan darurat, hal itu menjadi

diperkenankan oleh undang-undang.

2. Unsur-Unsur Pembelaan Terpaksa (noodweer)

Menurut Andi Hamzah, unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa (noodweer)

adalah:34

a. Pembelaan itu bersifat terpaksa.

b. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta

benda sendiri atau orang lain.

c. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.

d. Serangan itu bersifat melawan hukum.

33
https://www.negarahukum.com/hukum/syarat-pembelaan-terpaksa.html.
34
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h. 158.

27
Lebih lanjut, Andi Hamzah menjelaskan bahwa pembelaan harus

seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas

keperluan dan keharusan. Asas ini disebut sebagai asas subsidiaritas

(subsidiariteit). 35
Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang

dipakai disatu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi harus proposional.

Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya pada tubuh, kehormatan kesusilaan, dan

harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan kebebasan bergerak badan.

Pembelaan terpaksa dapat dilakukan dalam hal sebagai berikut:

1. Untuk membela dirinya sendiri atau orang lain, artinya serangan itu ditujukan

pada badan atau fisik manusia.

2. Untuk membela kehormatan, kesusilaan, artinya serangan itu tertuju pada

kehormatan kesusilaan.

3. Untuk membela harta benda sendiri atau harta benda orang lain, artinya

serangan itu ditujukan pada harta milik dan kebendaan.

3. Syarat Pembelaan Terpaksa (noodweer)

Dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa pada akhirnya, setiap kejadian apakah

itu merupakan lingkup noodweer perlu ditinjau satu per satu dengan

memperhatikan semua hal disekitar perisiwa-peristiwa itu.36 Rasa keadilanlah

yang harus menentukan sampai dimanakah ada keperluan membela diri

(noodweer) yang menghalalkan perbuatan-perbuatan yang bersangkutan terhadap

seorang penyerang.
35
Ibid., h. 158-159.
36
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2003, h. 87.

28
Dalam Pasal 49 KUHP, R. Sughandi mengatakan bahwa agar tindakan ini

benar-benar dapat digolongkan sebagai “pembelaan darurat” dan tidak dapat

dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi tiga macam syarat sebagai berikut:

1. Tindakan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa untuk

mempertahankan (membela) diri. Pertahanan atau pembelaan itu harus

demikian perlu sehingga boleh dikatakan tidak ada jalan lain yang lebih baik.

2. Pembelaan atau pertahanan yang harus dilakukan itu hanya terhadap

kepentingan-kepentingan diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan, dan

harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain.

3. Harus ada serangan yang melawan hak dan ancaman yang mendadak (pada

saat itu juga). Untuk dapat dikatakan “melawan hak”, penyerang yang

melakukan serangan itu harus melawan hak orang lain atau tidak mempunyai

hak untuk itu.

Merujuk dari apa yang dikemukakan oleh R. Sughandi, maka perbuatan

untuk melakukan pembelaan harus memenuhi syarat-syarat noodweer yaitu:

1. Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa.

2. Untuk mengatasi adanya serangan ancaman atau serangan seketika yang

bersifat melawan hukum.

3. Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada tiga kepentingan

hukum yaitu kepentingan hukum atas badan, kehormatan kesusilaan, dan

harta benda.

4. Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya

serangan atau bahaya masih mengancam.

29
Dari presepsi pembelaan terpaksa yang termuat dalam Pasal 49 ayat (1)

KUHP, maka yang dapat dipahami bahwa pembelaan terpaksa dilakukan apabila:

1. Adanya suatu serangan atau ancaman serangan.

2. Serangan itu muncul dengan tiba-tiba.

3. Serangan itu melawan hukum.

4. Serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, diri orang lain, kehormatan

kesusilaan, harta benda diri sendiri ataupun orang lain.

5. Pembelaan terhadap serangan itu perlu diadakan yakni pembelaan itu bersifat

darurat.

6. Alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal.

D. Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Putusan

1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang

faktor-faktor terungkap didalam persidangan dan oleh undang-undang telah

diterapkan sebagai hal yang harus dimuat didalam putusan.37 Pertimbangan hakim

atau ratio decidendi adalah argumentasi atau alasan yang dipakai oleh hakim

sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara.

Rusli Muhammad mendefenisikan pertimbangan yuridis adalah pertimbangan

hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam

persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat

dalam putusan.38 Dalam praktiknya, sebelum pertimbangan yuridis ini dibuktikan,

maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang
37
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011, h. 147.
38
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2007, h. 212-221.

30
timbul dan merupakan konklusi kumulatif dari keterangan para saksi, keterangan

terdakwa, dan barang bukti.

Fakta-fakta persidangan yang penting diperhatikan saat proses peradilan

pidana yaitu lokasi perbuatan itu dilakukan, waktu kejadian, dan modus operandi

tentang bagaimana tindak pidana itu dilakukan. Kemudian dapat juga diperhatikan

akibat langsung dan tidak langsung dari perbuatan terdakwa, barang bukti apa saja

yang digunakan, serta tentang terdakwa dapat mempertanggungjawabkan

perbutanya atau tidak. Hakim mempertimbangkan unsur-unsur delik yang

didakwakan oleh penuntut umum apabila fakta-fakta persidangan dalam tahap

pembuktian telah terungkap. Pertimbangan yang bersifaat yuridis ini diantaranya,

dakwaan Penuntut Umum, keterangan saksi, keterangan terdakwa, serta alat bukti

dan barang buki.

2. Pertimbangan Hakim Non Yuridis

Dalam memutus perkara, hakim tidak hanya memprtimbangkan yang

bersifat yuridis saja akan tetapi juga mempertimbangkan yang bersifat non

yuridis. Pertimbangan non yuridis dapat dilihat dari latar belakang, akibat

perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, dan agama terdakwa.39

Pertimbangan hakim yanag bersifat non yuridis yaitu sebagai berikut:

a) Melihat kondisi diri terdakwa

Melihat kondisi diri terdakwa, dalam hal ini terdakwa dilihat apakah

terdakawa dapat mempertanggung jawabkan perbuatanya atau tidak. Dalam

39
Ibid.

31
arti sudah dewasa atau cakap menurut hukum dan sadar (sedang tidak

gangguan jiwa/gila).

b) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Motif dan tujuan dilakukanya suatu tindak pidana adalah setiap perbuatan

tindak pidana mengandung bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan

tujuan untuk melawan hukum.

c) Cara melakukan tindak pidana

Cara melakukan tindak pidana, artinya melihat pelaku dalam melakukan

perbuatan tersebut terdapat unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk

melakukan delik tersebut. Unsur yang dimaksud adalah unsur adanya niat.

d) Sikap batin pelaku

Sikap batin pelaku, hal ini dapat diidenifikasikan dengan melihat pada rasa

bersalah, penyesalan, dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

e) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat

mempengaruhi putusan hakim dalam menjatuhkan peringanan hukuman.

f) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana maksudnya

adalah pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian suatu perkara, jika

pelaku berlaku sopan dan mau bertanggungjawab, juga mengakui

perbuatanya dengan berterus terang dan berkata jujur maka hal tersebu dapat

menjadi pertimbangan hakim untuk memberikan keringanan hukuman bagi

pelaku.

32
g) Pengaruh pidana pada masa depan pelaku

Pengaruh pidana pada masa depan pelaku artinya pidana juga mempunyai

tujuan yaitu membuat jera kepada pelaku tindak pidana. Juga untuk

mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya tersebut,

membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan

mengadakan pembinaan, sehingga menjadikan orang yang lebih baik dan

berguna.40

3. Bentuk Putusan Hakim

Hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk mengadili suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.

Portalis mengemukakan bahwa suatu kitab hukum betapapun kelihatan lengkap,

di dalam praktik, tidak akan dapat menjawab apabila beribu-ribu masalah yang

tidak diduga diajukan kepadanya. Oleh karena itulah undang-undang, sekali

ditulis tetap seperti apa yang tertulis. Sebaliknya, manusia tidak pernah berhenti

bergerak. Dari apa yang dikemukakan, Portalis mengakui bahwa di dalam praktik

pengadilan sangat mungkin timbul masalah-masalah baru yang tidak ditampung

oleh kodifikasi sekalipun. Secara tidak langsung Portalis memberi kesempatan

kepada hakim untuk memberikan pemecahan masalah sesuai dengan

kewenanganya.41

Kewenangan hakim menyelesaikan perkara pidana di pengadilan terdapat

tiga bentuk putusan yang dibedakan dalam KUHP sebagai berikut:

40
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, h. 63.
41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Kencana, Jakarta, 2017, h.
187-188.

33
1. Putusan Pemidanaan

Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) Undang-undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP

yang berbunyi:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak


pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

2. Putusan Bebas

Putusan bebas ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,


kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

3. Putusan Lepas

Putusan lepas sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP

yang berbunyi:

“Jika pengadilan perpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada


terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana,
maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Pada putusan hakim ada asas mutlak yang harus dihormati yakni asas geen

straf zonder schuld yang artinya tidak ada pidana tanpa kesalahan. Hakim tidak

boleh menjatuhkan pidana kepada siapa saja (terdakwa) yang melakukan tindak

pidana jika orang tersebut tidak mempunyai kesalahan. Laksana sebuah gedung

bertumpu pada fundamennya, demikian juga pidana bertumpu pada kesalahan.

Karena kesalahan pidana menjadi sah. Dengan perkataan lain, kesalahan adalah

dasar yang mensahkan pidana.42

42
M. Hamdan, Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Perkara Pidana (Suatu Catatan tentang
Pembaruan KUHAP), USU Press, Medan, 2010, h. 507 mengutip schaffmeister, Hukum Pidana,
Liberty, Yogyakarta, 1995, h. 83.

34
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah tipe

penelitian hukum normatif (legal reserch). Penelitian hukum normatif (legal

reserch) adalah penelitian yang dilakukan untuk menemukan kebenaran koherensi

yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa

perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan

(act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum)

atau prinsip hukum.43

B. Pendekatan Penelitian

Dalam melakukan penelitian hukum terdapat berbagai macam pendekatan

yang dapat dipilih. Dengan pendekatan itu, peneliti akan mendapatkan informasi

dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dipecahkan. Dalam

penelitian ini, penulis memilih pendekatan undang-undang (statute approach),

pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual

approach).

1. Pendekatan Undang-Undang (Statute Approach)

Pendekatan undang-undang adalah pendekatan yang dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan

isi hukum yang sedang ditangani. Pendekatan undang-undang ini digunakan

untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-

43
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 47.

35
undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan

Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.44

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual merupakan pendekatan yang beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum.

Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam

ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-

pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan

dengan isu yang dihadapi.45

3. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan

telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang

telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap. Yang menjadi kajian pokok didalam pendekatan kasus adalah ratio

decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai

kepada suatu putusan.46

C. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum merupakan sarana yang digunakan untuk

memecahkan masalah yang ada dalam sebuah penelitian. Sumber penelitian

hukum dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum yang digunakan penulis dalam

penelitian ini adalah:


44
Ibid., h. 133.
45
Ibid., h. 135.
46
Ibid., h. 134.

36
1. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat outoritatif,

artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

3) Putusan Nomor 257/Pid.B/2016/PN.Skg.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang paling utama

adalah buku teks, karena buku teks brisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu

hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai

kualifikasi tinggi. Selain buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa

tulisan-tulisan tentang hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal.

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1) Buku-buku ilmiah terkait dibidang hukum.

2) Jurnal-jurnal tentang hukum.

3) Hasil penelitian.

4) Artikel-artikel.

37
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan studi

dokumen atau studi kepustukaan yaitu dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum

atau literatur-literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku- buku, jurnal, karya

ilmiah maupun artikel yang berhubungan dengan masalah yang diteliti untuk kemudian

dibaca dan dikaji sebagai penunjang penulisan didalam penelitian.

E. Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, bahan hukum yang telah diperoleh diolah secara analisis

berdasarkan konsep-konsep hukum dan peraturan perundang-undangan terkait untuk

menjawab permasalahan yang diteliti. Hasil analisis diuraiakan secara sistematis. Dari

hasil analisis itu maka diambil kesimpulan beranjak dari yang bersifat umum ke khusus

yang kemudian ditarik menjadi suatu kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan.

38

Anda mungkin juga menyukai