OLEH :
KELAS :A
ANGKATAN : 2017
FAKULTAS HUKUM
KENDARI
2018
ABSTRAK
Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat
dan hidayahnya penyusun mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)” disusun dengan maksud untuk
memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana serta memberikan pengetahuan baru bagi
penyusun dan pembaca mengenai perlindungan hukum terhadap korban KDRT.
Penyusun menyadari bahwa dalam makalah ini disusun masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan
dengan tujuan agar makalah ini selanjutnya akan lebih baik.
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Tindak pidana kekerasan rumah tangga dapat menimbulkan korban baik akibat
kekerasan fisik, psikis, seksual maupun penelantaran, sehingga diperlukan upaya
perlindungan terhadap korban, termasuk pemulihan kesehatan secara fisik dan psikis. Bagi
pelaku kekerasan dalam rumah tangga diperlukan upaya penegakan hukum dalam
menyelesaikan perkara kekerasan ini melalui proses peradilan.
1
La Jamaa, “Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Hukum Pidana Indonesia”,
Jurnal Cita Hukum. Vol. I No. 2 Desember 2014, hlm 250.
BAB II
PEMBAHASAN
2
Emy Rosna Wati. “Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten
Sidoarjo Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004”, hlm 89.
3
Andrew Lionel Laurika. “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga”, Lex Crimen Vol. V No. 2 Feb 2016. Hlm 31.
1. Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-
undang. Oleh karena itu, pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak
dimungkinkan;
2. Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada dari perbuatan itu. dengan kata lain,
ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, menyatakan perlindungan hak-hak korban, sebagaimana diatur dalam
Pasal 10, korban berhak mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif dan
represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak
hukumnya), seperti pemberian perlindungan atau pengawasan dari berbagai ancaman yang
dapat membahayakan nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara
memadai. Proses pemeriksaan dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada
dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta
instrumen penyeimbang. Di sinilah dasar filosofis di balik pentingnya perlindungan
terhadap korban kejahatan atau keluarganya. Pentingnya korban mendapat pemulihan
sebagai upaya penyeimbang kondisi korban yang mengalami gangguan, dikemukakan
lebih luas oleh Muladi, bahwa korban kejahatan perlu dilindungi karena:
Pertama; Masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang
melembaga (system of institutionalized turst). Kepercayaan ini terpadu melalui
normanorma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban akan
bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut, sehingga pengaturan hukum pidana
dan hukuman lain yang menyangkut korban sebagai sarana pengendalian sistem
kepercayaan tadi.
Kedua; Adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh
dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-
tindakan yang bersifat pribadi. Karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka negara
harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan dan
pengaturan hak.
Ketiga; Perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan
pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan
oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat4 .
Hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian tentang perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, melainkan juga mencakup hal
berkaitan dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana pidana tersebut dapat
dilaksanakan. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatannya, yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan atau perbuatan seseorang, sedangkan ancaman
pidananya atau sanksinya ditujukan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana yang
biasanya disebut dengan perkataan "barangsiapa" yaitu pelaku perbuatan pidana sebagai
subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban dalam bidang hukum.
Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana mengenal beberapa jenis delik yang
penting dalam ajaran causalitas adalah perbedaan antara delik formal dan delik materiil.
Delik formal yang dimaksud adalah delik yang telah dianggap penuh dengan dilakukannya
suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan suatu hukuman5 .
4
La Jamaa, “Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Hukum Pidana Indonesia”,
Jurnal Cita Hukum. Vol. I No. 2 Desember 2014, hlm 252.
2.2. Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Dalam Upaya Memberikan
Perlindungan Bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Dalam Proses
Peradilan
Dalam implementasinya, undang-undang PKDRT justru mengkriminalisasi korban
kekerasan, terutama karena aparat penegak hukum tidak mempertimbangkan hubungan
antara suami istri dan anak, ataupun anggota keluarga lain sebagai korban dalam
menerapkan undang-undang ini. Akibatnya, korban kekerasan dalam Rumah Tangga tidak
mendapatkan hak-haknya. Upaya Korban mencari keadilan dihadapkan berbagai
hambatan. Aparat penegak hukum juga belum mampu menyediakan perlindungan dan
pendampingan optimal bagi korban dalam melaksanakan UU PKDRT. Rumah aman dan
bantuan hukum masih langka dan sebagian besar masih sulit diakses korban. Unit
penanganan perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan tidak dilengkapi dengan
infrastruktur yang memadai.
Dengan adanya UU KDRT yang berlaku selama ini dan implementasinya belum
dapat melindungi korban KDRT dalam proses persidangan, perlindungan hukum yang
dimaksud adalah perlindungan hukum melalui peraturan, dan perlindungan hukum melalui
lembaga-lembaga pelaksana hukum. Di dalam implementasinya hal yang belum
melindungi korban KDRT misalnya belum adanya surat perintah perlindungan sementara
atau penetapan perintah perlindungan bagi korban KDRT yang diterima oleh LSM,
Penanganan KDRT sering sekali diselesaikan dengan cara kekeluargaan, ketika masuk ke
aparat penegak hukum misalnya kepolisian. Kepolisian berusaha menekankan agar
persoalan tidak sampai di pengadilan karena masalah keluarga hal itu bertujuan memberi
ruang bagi korban itu untuk memikirkan kembali dengan memberi pertimbangan-
pertimbangan dan masukan. apabila korban sudah benar-benar mantap menggunakan
haknya maka barulah kepolisian meneruskannya ke Pengadilan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Perlindungan Hukum Terhadap Korban KDRT
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya
preventif dan represif yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah
(melalui aparat penegak hukumnya), seperti pemberian perlindungan atau
pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan nyawa korban,
pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai. Proses pemeriksaan dan
peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu
perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrumen penyeimbang.
Hukum pidana tidak hanya memberikan pengertian tentang perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, melainkan juga
mencakup hal berkaitan dengan pengenaan pidana dan cara bagaimana pidana
tersebut dapat dilaksanakan.
2. Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Dalam Upaya
Memberikan Perlindungan Bagi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di
Dalam Proses Peradilan
Dengan adanya UU KDRT yang berlaku selama ini dan implementasinya
belum dapat melindungi korban KDRT dalam proses persidangan, perlindungan
hukum yang dimaksud adalah perlindungan hukum melalui peraturan, dan
perlindungan hukum melalui lembaga-lembaga pelaksana hukum. Di dalam
implementasinya hal yang belum melindungi korban KDRT misalnya belum adanya
surat perintah perlindungan sementara atau penetapan perintah perlindungan bagi
korban KDRT yang diterima oleh LSM, Penanganan KDRT sering sekali
diselesaikan dengan cara kekeluargaan, ketika masuk ke aparat penegak hukum
misalnya kepolisian. Kepolisian berusaha menekankan agar persoalan tidak sampai
di pengadilan karena masalah keluarga hal itu bertujuan memberi ruang bagi korban
itu untuk memikirkan kembali dengan memberi pertimbangan-pertimbangan dan
masukan. apabila korban sudah benar-benar mantap menggunakan haknya maka
barulah kepolisian meneruskannya ke Pengadilan.
3. Kendala-Kendala Penegakan Hukum Dalam Pelaksanaan Perlindungan Terhadap
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
a. Terjadi tindak kekerasan lebih banyak diketahui oleh pelaku dan korban saja,
sehingga kurang adanya saksi maupun alat bukti lainnya yang memenuhi
Pasal 183 dan 184 KUHAP;
b. Pihak korban tidak mau melaporkan kasusnya karena merasa tabu dan
beranggapan akan membuka aib keluarga sendiri terutama terhadap kasus
yang berhubungan dengan seksual;
3.2. Saran
Dalam hal ini sebaiknya untuk pelaksanaan penegakan hukum dalam penyelesaian
perkara kekerasan dalam rumah tangga memerlukan kerjasama antara pemerintah dengan
masyarakat untuk melakukan sosialisasi pelaksanaan undang-undang kekerasan dalam
rumah tangga, agar ada peningkatan kesadaran hukum bagi pihak korban untuk
mengadukan peristiwa kekerasan dalam rumah tangga untuk diproses sesuai dengan
prosedur peradilan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 1993. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Arikha Media Cipta.
Jamaa, La. 2014. Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 2 Desember 2014.
https://www.neliti.com/id/publications/3413/perlindungan-hukum-terhadap-korban-
tindak-pidana-kekerasan-dalam-rumah-tangga. (diakses tanggal 10-05-2018)
Pinem, Jepri Atmaja. 2015. Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Memberikan Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Proses Peradilan.
Yogyakarta: http://e-journal.uajy.ac.id/9061/. (diakses tanggal 10-05-2018).
Teguh Prasetyo. 2012. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafido Persada.
Wati, Emy Rosna. 2017. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah
Tangga di Kabupaten Sidoarjo Pasca Berlakunya UndangUndang Nomor 23 Tahun
2004. Volume 1 Issue 1, March 2017.
http://ojs.uho.ac.id/index.php/holrev/article/view/2352/3129. (diakses tanggal 10-05-
2018).