Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

VIKTIMOLOGI

DISUSUN OLEH :
Andrew Pebriantho
EAA 118 133

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS PALANGKARAYA
FAKULTAS HUKUM 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan penyusunan Makalah tentang Viktimologi yang berjudul
“Viktimologi” sebagai tugas individu pembuatan makalah untuk mata kuliah
Viktimologi. Makalah ini disusun untuk memperluas pengetahuan dalam bidang
Viktimologi yang sering terjadi dimasyarakat.
Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan dari segi isi maupun kesalahan dalam penulisannya. Oleh
karena itu saya memohon maaf serta mengharapkan saran dan kritik dari
pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penyusun maupun
pembaca untuk menambah wawasan serta pengetahuan khususnya dalam mata
kuliah Viktimologi.

Palangkaraya, 25 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................3
1.3 Tujuan.............................................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN..........................................................................................4
2.1 Korban dalam Tindak Pidana (Viktomologi).................................................4
2.2 Tipologi Korban dalam Tindak Pidana.........................................................5
2.2.1 Pengertian Tindak Pidana........................................................................5
2.2.2 Tipologi Korban dalam Tindak Pidana....................................................6
BAB 3 PENUTUP...................................................................................................8
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................9

iii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai macam kejahatan banyak berkembang di
masyarakat. Kejahatan sebagai suatu gejala adalah selalu
kejahatan dalam masyarakat (crime in society), dan
merupakan bagian dari keseluruhan proses-proses sosial
produk sejarah dan senantiasa terkait pada proses-proses
ekonomi yang begitu mempengaruhi hubungan antar
manusia. Salah satu contoh kejahatan ialah perampokan,
dimana perampokan tersebut masuk didalam katagori
pecurian dengan kekerasan dan diatur dalam Pasal 365
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disingkat
menjadi KUHP. Perampokan yang marak terjadi saat ini
ialah perampokan didalam taksi. Seperti yang dialami oleh
seorang karyawati bernama Mita Santi yang berumur 31
tahun yang dirampok oleh sopir taksi berwarna putih di
Jalan Raya Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Pelaku yang sempat menganiaya korban merampas uang
sebesar Rp 700.000,00 dan barang lain di dalam tasnya.
Sering adanya korban di dalam taksi disebabkan oleh
lemahnya sistem keamanan yang berada didalam taksi serta
besarnya kesempatan yang didapat oleh pelaku untuk
melakukan kejahatan, sebab didalam taksi hanya ada
penumpang dan sopir saja. Dengan melihat pada
permasalahan tersebut maka yang akan dibahas dalam
tulisan ini adalah “Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Tindak Pidana Perampokan di Dalam Taksi Ditinjau Dari
Persepektif Viktimologi”.
Beberapa perundang-undangan nasional yang di
dalamnya terdapat pengaturan tentang korban diantaranya

1
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1997, UU Nomor 31
Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak
Pidana Korupsi, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), UU Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan terhadap Anak, UU Nomor 30
Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU P KDRT), UU Nomor
13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Perpu Nomor 1 Tahun 2002, Peraturan Pemerintah (PP)
sebagai peraturan pelaksana dari undang-undang tertentu,
diantaranya PP Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam
Pelanggaran HAM Berat, PP Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban
Pelanggaran HAM Berat, PP Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Tata Cara Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut
Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme,
PP Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan
Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian
Uang, Peraturan pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada
Saksi dan Korban.
Keberadaan beberapa peraturan tersebut, mempunyai
ruang lingkup yang sempit, karena hanya berlaku untuk
kasus tertentu dan tidak berlaku untuk semua jenis kasus,
bahkan di dalam pelaksanaannya, tidak menjamin bahwa
Korban akan memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah
dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban
kejahatan tidak dipedulikan. Salah satu bentuk

2
perlindungan terhadap korban kejahatan dan yang
merupakan hak dari seseorang yang menjadi korban tindak
pidana adalah mendapatkan kompensasi dan restitusi.
Kompensasi diberikan oleh negara kepada korban
pelanggaran HAM yang berat, sedangkan restitusi
merupakan ganti rugi pada korban tindak pidana yang
diberikan oleh pelaku sebagai bentuk
pertanggungjawabannya.
Penegakan hukum pidana nasional saat ini,
menempatkan korban hanya diposisikan sebagai saksi
untuk mengungkap perbuatan pelaku di pengadilan,
padahal Indonesia sebagai negara hukum yang menjamin
pengakuan dan perlindungan HAM, telah mengatur hak
korban dalam acara pidana, salah satunya adalah hak untuk
mengajukan gugatan ganti kerugian. Terhadap pengaturan
hak korban dalam acara pidana tersebut, dalam
implementasinya, mayoritas penuntut umum di Indonesia
kesulitan untuk menggunakan gugatan ganti kerugian,
sebab akan menggunakan mekanisme yang cukup panjang
dengan tetap melakukan penuntutan di proses peradilan
dan menggunakan hukum acara perdata untuk memproses
gugatannya. Gugatan ganti kerugian sendiri hanya bisa
diajukan sebelum adanya putusan hakim, sehingga
permasalahan waktu menjadi batu sandungan bagi korban
untuk mengajukan gugatan ganti kerugian. Oleh karena itu
dalam tahap implementasinya pengaturan hak korban di
dalam KUHAP dirasa sangat kurang dan tidak efektif
diterapkan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang Dimaksud Dengan Korban Dalam Tindak Pidana?
2. Apa saja Tipologi Korban Dalam Tindak Pidana?

3
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Apa yang Dimaksud Dengan Korban Dalam Tindak Pidana.
2. Mengetahui Apa yang Dimaksud Dengan Korban Dalam Tindak Pidana.

4
BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Korban dalam Tindak Pidana (Viktomologi)
Dari aspek kelengkapan peraturan untuk instrumentasi
kelembagaan adat, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
Tengah Nomor 16 Tahun 2008 yang dilengkapi dengan
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 4 Tahun
2012 tentang Surat Keterangan Tanah Adat (SKT Adat)
yang kuasanya berada di tangan Damang adat ini telah
cukup lengkap. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
Tengah Nomor 16 Tahun 2008 ini mengatur mulai dari
persoalan kelembagaan adat (pembentukan lembaga
kedemangan, fungsi, kedudukan tugas damang kepala
adat); persoalan mekanisme pembentukan struktur
organisasi (pemililihan dan pengangkatan Damang kepala
adat, hak memilih dan dipilih); mengenai penyelesaian
sengketa adat, dan jenis-jenis sanksi yang dikenakan.
Pergub ini juga mengatur mengenai Barisan Pertahanan
Masyarakat Adat Dayak, Mantir adat, hak-hak adat dan
mengenai pembiayaan. Khususnya dalam hal pembiayaan
ini, Bab XXVI Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
Tengah Nomor 16 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pemda
provinsi wajib untuk memberikan bantuan melalui APBD
terhada pelaksaaan program kerja Majelis Adat Dayak
Provinsi, lembaga Kadamangan, Dewan Adat Dayak
Nasional di Kalimantan Tengah dan Dewa Adat Dayak di
Kabupaten/Kota hingga DAD di Desa/Kelurahan.
Tampaknya mengintegrasikan instrument adat dalam
pemerintahan daerah memang telah menjadi bagian dari
komitmen Pemda Provinsi Kalimantan Tengah, terutama
jika kita memahami konteks pasca konfik di Kalimantan

5
Tengah.
Menurut kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang
ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa Victim adalah “orang yang
telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,
kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas
perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh
pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang
dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan
seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau
tindak pidana. Secara sederhana, viktimologi merupakan
ilmu pengetahuan tentang korban (kejahatan) yang berasal
dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos
yang berarti ilmu. Secara termologis, viktimologi adalah
suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab
timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban
yang merupakan masalah manusia sebagai kenyataan
sosial.
Pengertian korban juga tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
Dan Korban ( selanjutnya disingkat UUPSK ) , yakni korban
adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh
suatu tindak pidana”. Adapun unsur-unsur yang disebut
korban adalah:
1. Setiap Orang
2. Mengalami penderitaan fisik, mental
3. Kerugian ekonomi
4. Akibat tindak pidana
Namun Korban diartikan bukan hanya sekedar
korban yang menderita langsung, akan tetapi korban tidak
langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat
diklarifikasikan sebagai korban suatu kejahatan tidaklah

6
harus berupa individu atau perorangan, tetapi bisa berupa
kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum.
Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga
berasal dari bentuk kehidupan lainnya.Seperti tumbuhan,
hewan atau ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita
temui dalam kejahatan terhadap lingkungan.
2.2 Tipologi Korban dalam Tindak Pidana

2.2.1 Pengertian Tindak Pidana

Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof.
Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang
menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah “Perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut”.

Berdasarkan pendapat tersebut diatas pengertian dari tindak pidana yang


dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa
merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan
hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai
dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada orang
yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal
ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang
berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai
pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak piana. Akan tetapi haruslah
diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang
erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan
kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula. Sehubungan dengan hal
pengertian tindak pidana Prof. DR. Bambang Poenormo, SH, berpendapat
bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila
tersusun “bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu
aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi siapa yang
melanggar larangan tersebut”.

7
2.2.2 Tipologi Korban dalam Tindak Pidana

Secara etimologi korban adalah merupakan orang yang mengalami


kerugian baik kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang
merupakan akibat dari suatu tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan
sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pindana (sebagai sebab). Korban
diartikan sebagai seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat
tindak pidana dan rasa keadilannya secara langsung terganggu sebagai
akibat pengalamannya sebagai target/ sasaran tindak pidana. Konsepsi
korban tindak pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic
Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, yaitu :

1. Korban tindak pidana (Victim of Crime) meliputi


a. Korban langsung (Direct Victims)
Yaitu korban yang mengalami dan merasakan penderitaan dengan
adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagau berikut :
1) Korban adalah orang baik secara individu atau secara
kolektif.
2) Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental,
penderitaan emosional, kehilangan pendapatan, dan
penindasan hak-hak dasar manusia.
3) Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan
dalam hukum pidana.
4) Disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.
b. Korban tidak langsung (Indirect Victims)
Yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang
dalam membantu korban langsung (direct victims) atau turut
melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri
menjadi korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan
hidupnya kepada korban langsung seperti istri/suami, anak-anak,
dan keluarga terdekat.
2. Victim of Abuse of Power

8
Korban adalah orang yang secara individual atau kolektif
menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan
emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokok-
pokok hak dasar mereka, melalui perbuatan-perbuatan atau kelalaian
yang belum merupakan pelanggaran undang-undang pidana Nasional
tetapi norma-norma diakui secara internasional yang berhubungan
dengan hak-hak asasi manusia.

9
BAB 3

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kejahatan sebagai suatu gejala adalah selalu kejahatan
dalam masyarakat (crime in society), dan merupakan bagian
dari keseluruhan proses-proses sosial produk sejarah dan
senantiasa terkait pada proses-proses ekonomi yang begitu
mempengaruhi hubungan antar manusia.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bambang Waluyo, 2012. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar


Grafika, Jakarta.

Loeby Ioqman, 2012. Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara Pidana.
Jakarta.

Suhud (et.al.), 2013. Potret Saksi Dan Korban Dalam Media Massa, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta.

Yesmil Anwar, 2012. Wah Kejahatan Marak di DKI Akibat BBM Naik dan
Pilgub.

Yosep Adi Prasetyo, 2012. Perkembangan Pengakuan Terhadap Hak-Hak


Korban Dalam Hukum Positif Indonesia, Jakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai