Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TINDAK PIDANA KORUPSI

KERUGIAN NEGARA PADA TIPIKOR

DISUSUN OLEH

KELOMPOK II:

DEWI OKTAVIANI (12020521124)


DINA PUTRI WULANDARI (12020521117)
HAFIS MAHCPUD (12020517440)
HALIMAH TUSAKDIAH (12120521000)

KELAS 6M
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur atas kehadirat Allah SWT. atas segala rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Rasulullah SAW. beserta
keluarganya. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan
dari seluruh komponen yang telah membantu dalam penyelesaian makalah yang
berjudul “Kerugian Negara pada Tindak Pidana Korupsi”.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, serta seluruh masyarakat Indonesia khususnya
para mahasiswa-mahasiswi untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin


dalam pembuatan makalah ini masih banyak ditemukan kekurangan, oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini dan guna menjadi acuan agar kami bisa menjadi
lebih baik lagi di masa mendatang.

Pekanbaru, 28 Februari 2023

Kelompok II

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1

A. Latar Belakang ..............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan ...........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................3

A. Keuangan dan Kerugian Negara ...................................................................3


B. Unsur-unsur Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor....................................6
C. Perbedaan Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor .......................................8

BAB III PENUTUP ................................................................................................13

A. Kesimpulan ..................................................................................................13
B. Saran .............................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang mempunyai akibat
buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Tindak pidana korupsi
bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang - Undang Dasar 1945 yang
berbunyi : “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan”. Rakyat disini mempunyai posisi sebagai
korban. Didalam viktimologi pengertian korban menurut Arif Gosita adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.1 Dengan
demikian tindak pidana korupsi harus diberantas dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar
1945.
Ancaman sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi diatur
dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi pada Pasal 2 dan Pasal 3, berbunyi seperti berikut : Pasal 2 ayat
(1) adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar
rupiah)”. Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
1
G.Widiartana, Viktimologi Perspektif korban dalam penanggulangan kejahatan,
(Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2014), h. 26.

1
mati dapat dijatuhkan”. Pasal 3 ayat (1) adalah “Setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)”. Dari penjelasan bunyi pasal
tersebut ancaman sanksi pidana dan denda sangat berat bagi pelaku tindak pidana
korupsi, namun kejahatan korupsi masih tetap saja terjadi seolah-olah setiap orang
yang melakukan tindak pidana korupsi tidak takut akan ancaman sanksi pidana
dan denda tersebut.
Kurang optimalnya ataupun tidak ada konsistensi hukuman yang pasti
terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan
negara menjadikan dasar mengapa aturan hukum tersebut masih tetap dilanggar
atau tidak optimal dalam penegakannya sehingga banyak orang melakukan
tindakan korupsi.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang diatas dapat kita ambil rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana keuangan dan kerugian negara?
2. Bagaimana unsur-unsur pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU tipikor?
3. Bagaimana perbedaan kedua pasal tersebut?

C. TUJUAN
Dari rumusan masalah diatas tujuan penulisan makalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisa keuangan dan kerugian negara.
2. Untuk menganalisa unsur-unsur pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU tipikor.
3. Untuk menganalisa perbedaan kedua pasal tersebut.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KEUANGAN DAN KERUGIAN NEGARA

1. Keuangan Negara
Dalam penjelasan umum atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan mengenai keuangan
negara ialah : Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara
dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara baik tingkat pusat maupun di daerah.
b. Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 1 ayat 7 yang berbunyi : Keuangan Negara
adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.2
Keuangan Negara dilihat dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan :
a. Dari sisi objek
Keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter,
dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik
berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2
Endhy Kristian Saputra, Keterkaitan Antara Jumlah Kerugian Negara Dengan Berat
Ringannya Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, (2015), h. 7.

3
b. Dari sisi subjek
Keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas, yang
dimiliki negara dan atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah,
perusahaan negara atau daerah dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara.
c. Dari sisi proses
Keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
d. Dari sisi tujuan
Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum
yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek sebaigamana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.3
2. Kerugian Negara
Pengertian Kerugian Negara berdasarkan Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang dimaksud dengan
kerugian negara atau daerah adalah : Kekurangan uang, surat berharga dan barang
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik
sengaja maupun lalai. Hal ini sama dengan pengertian kerugian negara dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Pasal 1 ayat 15 dalam Bab I Ketentuan Umum di jelaskan bahwa Kerugian
Negara atau Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai.4
Jenis -jenis kerugian negara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dari segi
obyek dan segi subjek. Dari segi obyek, kerugian negara terdiri dari uang, surat
berharga, dan barang. Sedangkan jenis kerugian negara ditinjau dari segi subjek,

3
Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta : Grasindo, 2009), h. 4.
4
Endhy Kristian Saputra, Keterkaitan Antara Jumlah Kerugian Negara Dengan Berat
Ringannya Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, (2015), h. 6.

4
adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Undang - Undang Nomor 17 Tahun
2003 Tentang Keuangan Negara yang menetapkan :
a. Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar
hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang
merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
b. Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan atau
menyerahkan uang atau surat berharga atau barang - barang negara adalah
bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada
Badan Pemeriksa Keuangan.
c. Setiap bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan
negara yang berada dalam pengurusannya.
Sesuai dengan ketentuan di atas, maka kerugian negara dari segi subjek
dapat dibedakan menajdi dua, yaitu:
a. Kerugian Negara oleh pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara
atau kerugian negara bukan kekurangan perbendaharaan .
b. Kerugian negara oleh bendahara atau kerugian negara kekurangan
perbendaharaan.
Berdasarkan konsep dasar, setiap terjadinya kekurangan keuangan negara,
baik dalam bentuk uang maupun barang disebut dengan istilah kerugian negara,
pemerintah mewajibkan untuk melakukan pemulihan kemampuan keuangan
Negara sehingga pemerintah tetap dapat memenuhi kewajibannya dalam
menyediakan layanan kepada masyarakat. Namun pemulihan terhadap kekayaan
negara saja dirasakan tidak cukup adil. Tindakan kecurangan yang dapat
menimbulkan kerugian negara dimaksud telah menghambat pemerintah untuk
dapat melaksanakan kewajibannya. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
tindakan yang merugikan kepentingan umum ataupun bersifat melawan hukum.
Atas dasar hal tersebut, tindakan curang yang merugikan keuangan negara
disamping diwajibkan memulihkan kerugian yang terjadi masih pula dikenakan
sanksi lain dalam bentuk sanksi administratif, perdata, ataupun pidana. Dalam
masalah kerugian negara tersebut harus dibedakan antara kerugian negara sebagai
akibat kesalahan dalam pengelolaan (mal administrasi) dan kerugian negara

5
sebagai akibat tindakan kecurangan atau penyalahgunaan kewenangan pejabat
pengelola keuangan (financial fraud).5
Dalam kasus kerugian negara, ada empat akun besar yang bisa menjadi
sumber dari kerugian negara. Tuanakotta (2009) menggambarkannya dalam
pohon kerugian keuangan negara. Pohon kerugian keuangan negara mempunyai
empat cabang yang biasa disebut akun. Masing-masing akun mempunyai cabang
yang menunjukkan kaitan antara perbuatan melawan hukum dengan akun-akun
berikut :
a. Aset (Asset)
b. Kewajiban (Liability)
c. Penerimaan (Revenue)
d. Pengeluaran (Expenditure)6

B. UNSUR-UNSUR PASAL 2 AYAT 1 DAN PASAL 3 UNDANG -


UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, pengertian korupsi berada dalam Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3. Pasal 2 ayat (1) Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 pengertian
korupsi adalah : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu
milyar rupiah)”.

5
Iskandar Zulkarnain, dkk. Analisis Yuridis Kerugian Negara Ditinjau Dari Aspek
Hukum Administrasi Negara, Jurnal Sains Sosio Huaniora Volume 3 Nomor 1, (2019), h. 35.
6
Chandra Ayu, Penentuan Kerugian Keuangan Negara yang Dilakukan Oleh BPK dalam
Tindak Pidana Korupsi, Diponegoro Journal of Accounting, Volume 4, Nomor 3, (2015), h. 3.

6
Penjelasan mengenai Pasal 2 ayat (1) Undang - Undang Nomor 31 Tahun
1999, bahwa dalam ketentuan ini kata : “dapat” sebelum frasa “merugikan Negara
atau perekonomian Negara” menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan
delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya
unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Hal ini
juga dijelaskan dan ditegaskan dalam penjelasan umum Undang - Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang terdapat kalimat “Dalam Undang - Undang ini, tindak pidana
korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat
penting dalam pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam
Undang - Undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara,
pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana”.
Dirumuskannya tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat (1) sebagai delik
formil, maka adanya kerugian keuangan negara atau kerugian perekonomian
negara tidak harus sudah terjadi, karena dimaksud delik formil adalah delik yang
dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh Undang - Undang. Unsur - unsur yang terdapat pada Pasal
2 ayat (1) adalah :
- Secara melawan hukum.
- Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
- Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Maka orang dikatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi tidak harus
terbukti menimbulkan kerugian atau perekonomian negara, cukup dengan
terpenuhinya unsur - unsur dalam pasal tersebut dan sudah cukup jika terdapat alat
bukti yang dapat membuktikan kemungkinan terjadinya kerugian keuangan
negara.
Pasal 3 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pengertian Korupsi
adalah : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama

7
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)”.
Unsur yang ditemukan dalam Pasal 3 adalah :
- Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
- Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena
jabatan atau kedudukan.
- Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

C. PERBEDAAN ANTARA PASAL 2 AYAT 1 DENGAN PASAL 3


UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Dari penelusuran doktrin dan penyusunan peraturan tentang tindak pidana
korupsi, terdapat hubungan yang erat antara tindak pidana yang diatur dalam Pasal
2 ayat 1 “memperkaya diri secara melawan hukum dan merugikan keuangan
Negara” dengan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 3 “mengambil keuntungan
dengan penyalahgunaan kewenangan dan merugikan keuangan Negara” Undang -
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK).
Kedua bentuk tindakan tersebut juga diatur di dalam Pasal 1 ayat 1 sub a
dan b Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dengan rumusan sebagai berikut :
a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diketahui
atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara;
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak
langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU PTPK pada dasarnya hanya mengadopsi
rumusan delik yang sebelumnya telah digunakan oleh Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971, dan juga mengatur adanya ancaman pidana minimum. Dengan

8
demikian, kedua delik tersebut tetap dibedakan secara tegas sebagaimana
ketentuan sebelumnya dan juga adanya ancaman pidana minimum yang berbeda.
Namun, ancaman pidana terhadap tindak pidana menyalahgunakan kewenangan
(Pasal 3) yang sebenarnya secara inhaerent7 selalu mengandung sifat melawan
hukum , ternyata diatur lebih rendah dari ancaman pidana terhadap tindak pidana
memperkaya diri secara melawan hukum (Pasal 2 ayat 1).
Terdapat beberapa parameter pembeda antara Pasal 2 ayat 1 dengan Pasal
3 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yaitu sebagai berikut :
1. Pintu pertama yang digunakan hakim untuk menentukan suatu tindak pidana
korupsi termasuk ke dalam Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 adalah dengan
menafsirkan unsur “setiap orang”. Terdapat perbedaan pandangan di antara
para hakim tentang unsur “setiap orang” di dalam kedua pasal tersebut.
Sebagian berpandangan unsur ini berarti setiap orang, baik swasta, maupun
pegawai negeri, bahkan korporasi. Sementara yang lain berpendapat pegawai
negeri hanya dapat memenuhi unsur “setiap orang” dalam Pasal 3. Dengan
penafsiran seperti ini, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pegawai negeri atau pejabat negara, menurut mereka, akan selalu merupakan
perbuatan menyalahgunakan kewenangan yang diatur di dalam Pasal 3.
Namun, penafsiran kedua ini telah dianulir oleh MA dalam berbagai
putusannya, bahwa unsur “setiap orang” dalam kedua pasal tersebut berarti
setiap orang, baik itu pegawai negeri, maupun swasta, termasuk korporasi.
2. Pintu kedua yang digunakan untuk membedakan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3
adalah ketika membuktikan perbuatan yang dilakukan, dengan konsekuensi
yang sama sekali berbeda dengan logika yang coba dibangun dengan
pendekatan kedua dalam poin pertama tadi. Jika perbuatan yang dilakukan
terdakwa ada dalam lingkup kedudukan atau jabatannya, maka perbuatan
dimaksud termasuk menyalahgunakan kewenangan. Dengan demikian,
kapasitas subyeknya (swasta, pegawai negeri, atau koperasi) menjadi tidak
7
Andi Hamzah dan Andi Zainal Abidin Farid. Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik
dan Hukum Penitensier. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006). h. 243.

9
relevan. Namun, terdapat pula perbedaan pendapat di antara para hakim
mengenai penggunaan pintu kedua ini. Pada kenyataannya, tidak semua
perbuatan yang dilakukan dalam kapasitas sebagai pegawai negeri, pejabat
negara, penyelenggara negara, atau seseorang (swasta) yang memiliki
kedudukan atau jabatan tertentu berdasarkan SK Pejabat Tata Usaha Negara
(TUN), dipandang sebagai menyalahgunakan kewenangan. Perbuatan pelaku
dengan kedudukan atau jabatan tertentu yang bersifat melalaikan tugas atau
kewajibannya, ternyata tetap saja dianggap sebagai perbuatan melawan hukum
bukan menyalahgunakan kewenangan.8 Begitu pula perbuatan pelaku yang
tanpa hak menerima sesuatu atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya,
yang juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.9 Jadi, pintu kedua ini
ternyata juga tidak menunjukkan adanya praktek yang konsisten.
3. Pintu ketiga untuk membedakan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat 1
dan Pasal 3 adalah besarnya jumlah kerugian keuangan negara yang
ditimbulkan oleh perbuatan pelaku. Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan
antara kata “memperkaya” dalam Pasal 2 ayat 1 (untuk nilai kerugian yang
besar) dan kata “menguntungkan” dalam Pasal 3 (untuk nilai kerugian yang
kecil). Hal ini telah disepakati dalam Rapat Pleno Kamar Pidana Mahkamah
Agung, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 7 Tahun 2012, dengan menetapkan ambang batas minimal Rp.
100.000.000, jika kerugian negara di atas angka tersebut, maka perbuatan
pelaku baru dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat 1. Sedangkan jika jumlah
kerugian di bawah ambang batas tersebut, maka perbuatan pelaku dianggap
termasuk delik yang diatur di dalam Pasal 3. Namun, tidak tertutup
kemungkinan seseorang memperkaya diri secara melawan hukum dengan
nilai kerugian negara yang kecil, serta seseorang yang menguntungkan diri
dengan menyalahgunakan kewenangan dengan nilai kerugian negara yang
besar. Dalam hal ini, penentuan nilai ambang batas pembeda tersebut sangat

8
Putusan MA No.1017 K/Pid.Sus/2015. Pandangan ini juga terdapat pada majelis hakim
dalam perkara PT. MNA (Hotasi Nababan).
9
Putusan MA No. 1017 K/Pid.Sus/2015.

10
subyektif sifatnya. Terlebih lagi, penerapan parameter tersebut justru akan
bertentangan dengan maksud UU PTPK sendiri yang telah jelas mengatur dua
bentuk perbuatan yang berbeda.
4. Selanjutnya, ditemukan juga putusan yang menerapkan Pasal 3 UU PTPK
kepada pelaku yang bukan pegawai negeri, pejabat negara, atau penyelenggara
negara, melainkan pihak swasta yang memiliki kewenangan tertentu
berdasarkan suatu putusan (SK) Pejabat Tata Usaha Negara (TUN). Ini
sebenarnya mirip dengan poin kedua tadi, yaitu dengan menekankan pada
perbuatan yang dilakukan, sehingga pihak swasta yang menjalankan suatu
kewenangan publik, dianggap sebagai seseorang yang bertindak dalam jabatan
dan kedudukan. Namun, dari sejarah penyusunan peraturan tindak pidana
korupsi, dapat dipahami bahwa pasal tersebut sesungguhnya hanya
dimaksudkan untuk diterapkan kepada pegawai negeri, pejabat negara, atau
penyelenggara negara. Berkenaan dengan hal ini, perlu dirujuk kembali
pandangan Andi Hamzah dan Romli Atmasasmita yang telah dikutip dalam
salah satu putusan yang dikaji, bahwa unsur “setiap orang” dalam Pasal 3
hanya ditujukan untuk pegawai negeri.
5. Tindak pidana korupsi dengan “menyalahgunakan kewenangan” dalam Pasal
3 UU PTPK ini memang harus dipahami sebagai mengandung unsur melawan
hukum, selalu berkaitan dengan kedudukan atau jabatan dan merupakan
penyalahgunaan suatu kewenangan tertentu (yang terkait dengan kedudukan
atau jabatan). Dengan demikian, pasal ini memang tidak dimaksudkan untuk
diterapkan kepada pihak swasta.10
Dapat disimpulkan dari puluhan jenis tindak pidana korupsi yang disebut
dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang 20 Tahun 2001, Pasal 2 dan Pasal 3 termasuk yang banyak memantik
diskusi. Pasal ini juga menjadi pasal yang sering digunakan penuntut umum,
seperti pasal “primadona”. Pada dasarnya, dua pasal tersebut sama-sama menjerat

10
Shinta Agustina dkk,. Penafsiran Unsur Melawan Hukum dalam Pasal 2 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta : Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan (LeIP), 2018). h. 34.

11
pelaku tindak pidana korupsi. Perbedaannya dalam Pasal 3 pelaku bisa dijerat jika
mempunyai kewenangan, sedangkan dalam Pasal 2 setiap orang yang dimaksud
dalam pasal lebih luas dan umum. Unsur setiap orang adalah yang mempunyai
kewenangan. Jadi perbuatan seseorang bisa saja bersifat melawan hukum, tapi
belum tentu menyalahgunakan kewenangan. Jadi syarat untuk seseorang bisa
dikenakan pasal 3 adalah dia harus punya kewenangan dulu, kedudukan, jabatan,
jadi jabatan itu memberikan kewenangan kepada dia, lalu kewenangan itu
disalahgunakan.
Tidak ada yang salah dalam perumusan normanya, tetapi ada masalah
pada ancaman pidana dalam pasal 3. Pasal 3 merumuskan penyalahgunaan
wewenang, tetapi ancaman minimum lebih rendah daripada perbuatan melawan
hukum. Jika pasal 2 ayat 1 ancaman pidana penjara maksimumnya 20 tahun dan
minimum empat tahun, sementara Pasal 3 ancaman pidananya maksimum 20
tahun, minimumnya hanya 1 tahun. Seharusnya, ancaman pidana yang
dirumuskan untuk Pasal 3 lebih tinggi dari Pasal 2. Hal tersebut dikarenakan
perbuatan korupsi yang dilakukan dalam Pasal 3 haruslah memiliki kewenangan
terlebih dahulu dan ada penyalahgunaan wewenang sehingga tindakan
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau koorporasi tersebut merugikan negara.

12
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut. Kerugian negara atau daerah adalah kekurangan uang, surat
berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Unsur - unsur yang terdapat pada Pasal 2 ayat 1 adalah : secara melawan
hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Unsur yang ditemukan dalam Pasal 3
adalah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan
atau kedudukan, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Perbedaan antara Pasal 2 ayat 1 dengan Pasal 3 Undang - Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu : (a) Pintu
pertama yang digunakan hakim untuk menentukan suatu tindak pidana korupsi
termasuk ke dalam Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 adalah dengan menafsirkan unsur
“setiap orang”. (b) Pintu kedua yang digunakan untuk membedakan Pasal 2 ayat
1 dan Pasal 3 adalah ketika membuktikan perbuatan yang dilakukan, dengan
konsekuensi yang sama sekali berbeda dengan logika yang coba dibangun dengan
pendekatan kedua dalam poin pertama tadi. (c) Pintu ketiga untuk membedakan
tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 adalah besarnya jumlah
kerugian keuangan negara yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku. (d)
Selanjutnya, ditemukan juga putusan yang menerapkan Pasal 3 UU PTPK kepada
pelaku yang bukan pegawai negeri, pejabat negara, atau penyelenggara negara,
melainkan pihak swasta yang memiliki kewenangan tertentu berdasarkan suatu
putusan (SK) Pejabat Tata Usaha Negara (TUN). (e) Tindak pidana korupsi
dengan “menyalahgunakan kewenangan” dalam Pasal 3 UU PTPK ini memang

13
harus dipahami sebagai mengandung unsur melawan hukum, selalu berkaitan
dengan kedudukan atau jabatan dan merupakan penyalahgunaan suatu
kewenangan tertentu (yang terkait dengan kedudukan atau jabatan). Dengan
demikian, pasal ini memang tidak dimaksudkan untuk diterapkan kepada pihak
swasta.

B. SARAN
Dengan kerendahan hati, kami menyadari tulisan ini sangat sederhana dan
jauh dari kata sempurna. Saran, kritik yang konstruktif sangat diperlukan
demi kesempurnaan tulisan ini. Demikian pula, perlu penyempurnaan di sana-sini
agar tulisan ini menjadi lebih lengkap dan lebih bermanfaat bagi pembaca.

14
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Shinta. dkk,. 2018. Penafsiran Unsur Melawan Hukum dalam Pasal 2
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta :
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).
Ayu, Chandra. 2015. “Penentuan Kerugian Keuangan Negara yang Dilakukan
Oleh BPK dalam Tindak Pidana Korupsi”. Diponegoro Journal of
Accounting, Volume 4, Nomor 3.
FNH. 2016.https://www.hukumonline.com/berita/a/sekali-lagi--pasal-2-dan-pasal-
3-uu-tipikor-lt5719ec2e3894a# diakses pada 4 Maret 2023 pukul 23.35.
Hamzah, Andi dan Andi Zainal Abidin Farid. 2006. Bentuk-bentuk Khusus
Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier. Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Saputra, Endhy Kristian. 2015. “Keterkaitan Antara Jumlah Kerugian Negara
Dengan Berat Ringannya Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Jurnal
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Tjandra, Riawan. 2009. Hukum Keuangan Negara. Jakarta : Grasindo.
Widiartana, G. 2014, Viktimologi Perspektif korban dalam penanggulangan
kejahatan. Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka.
Zulkarnain, Iskandar dkk,. 2019. “Analisis Yuridis Kerugian Negara Ditinjau
Dari Aspek Hukum Administrasi Negara”. Jurnal Sains Sosio Huaniora
Volume 3 Nomor 1.

15

Anda mungkin juga menyukai