Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

HUKUMAN YANG MASIH RENDAH BAGI PARA KORUPTOR

Disusun oleh :

 Alwi Almashur
 Kamal Febrian
 Parid Fadilah
 Atin Sulistia
 Milda Aprilia
 Siti Maulidia

Kelas : XII IPS 2

SMA NEGERI 1 CIGUDEG


Jl. Raya Cigudeg Km. 35 Desa Cigudeg Kecamatan Cigudeg
Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Hukuman Yang Masih Rendah Bagi
Para Koruptor”.

Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
Hukuman Yang Masih Rendah Bagi Para Koruptor.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan Makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Bogor, 28 September 2022


Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..........................................................................................................1

C. Tujuan.............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Apa itu korupsi...............................................................................................................2

B. Apa hukuman untuk para koruptor.................................................................................3

C. Hukuman Yang Masih Rendah Bagi Para Koruptor.......................................................4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................................................7

B. Saran ..............................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhir – akhir ini di Indonesia sering sekali terdengar berbagai macam
masalah yang berkaitan dengan korupsi. Parahnya, korupsi bukan lagi hal yang
tabu tapi merupakan sesuatu yang wajar dan merupakan momok bagi petinggi
Negara. Pemberantasan pun juga telah dilaksanakan tetapi tetap saja korupsi masih
merajalela di masyarakat. Hukum di Indonesia seolah seperti pedang yang ‘runcing
ke bawah dan tumpul ke atas’ sehingga para koruptor dengan mudahnya merampas
harta tanpa mendapatkan hukuman yang setimpal. Sehingga, hukuman yang rendah
inilah yang merupakan masalah terbesar di Indonesia yang harus segera
diselesaikan.
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju
modernisasi. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa
mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang
semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan senantiasa turut mengikutinya.
Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama
yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini.
Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya, tindak pidana pencucian
uang, tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Salah satu tindak pidana
yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi
sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak
perang dunia kedua berakhir.
Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum
merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam
masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan
upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu korupsi?
2. Apa hukuman untuk para koruptor?
3. Hukuman Yang Masih Rendah Bagi Para Koruptor?

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas mata
pelajaran PKn di SMA Negeri 1 Cigudeg serta untuk menambah pengetahuan bagi
para pembaca mengenai Hukuman Yang Masih Rendah Bagi Para Koruptor.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:
corruption sama seperti penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para
pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi
dapat berupa :  Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan
ketidakjujuran. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok
dan sebagainya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan
arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah
penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang
menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Selain itu terdapat pengertian korupsi dalam undang-undang antara lain :
 Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 pengertian korupsi tertuang dalam pasal
1 ayat 1 a dan b yang berbunyi :
- 1.a. “Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara;”
- 1.b. “Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
 Sementara itu dalam undang-undang nomor 31tahun 1999 definisi korupsi
tertuang dalam pasal 2 ayat 1 dan 3 yang berbunyi :
- Pasal 2
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
- Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
2
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

B. Hukuman untuk Para Koruptor


1) Pidana mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun
1999 dan Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
2) Pidana penjara
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap
orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam
perkara korupsi. (Pasal 21)
3) Pidana tambahan
- Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut.
- Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
- Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun.

3
- Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana.
- Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
- Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai
ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 dan undang-undang nomor 20
tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

C. Hukuman Yang Masih Rendah Bagi Para Koruptor


Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption
Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, berdasarkan data ICW, rata-rata
koruptor hanya divonis 2 tahun 9 bulan berdasarkan putusan Mahkamah Agung,
pengadilan tinggi, dan pengadilan negeri.
ICW melakukan pemantauan selama semester I 2014 terhadap 210 kasus
korupsi dengan 261 terpidana. ICW membagi empat kategori vonis pengadilan
tipikor, yakni vonis bebas, vonis ringan untuk hukuman 1-4 tahun, vonis sedang
untuk hukuman 4-10 tahun, dan vonis berat untuk hukuman lebih 10 tahun.
Berdasarkan data tersebut, sebanyak 73,94% koruptor divonis ringan,
16,86% divonis sedang, 1,53% divonis berat, dan 7,67% divonis bebas
(selengkapnya lihat grafik). Karena itu, lanjut Emerson, pihaknya meminta MA
untuk menunjukkan keseriusannya dalam menindak tegas pelaku korupsi dengan
membuat surat edaran (SE) Mahkamah Agung atau instruksi Ketua MA agar hakim
menjatuhkan vonis maksimal terhadap pelaku dan pemiskinan melalui denda atau
uang pengganti yang tinggi sesuai kesalahan.
Selain itu, perlu divonis berat sebanyak pidana tambahan berupa
pencabutan hak-hak politik, dana pensiun, dan status kepegawaian bagi koruptor
yang terbukti bersalah.
Hal senada dikatakan Koordinator Badan Pekerja ICW Danang Widoyoko
di Jakarta, kemarin. Ia menilai rendahnya putusan hakim terhadap terdakwa perkara
korupsi menunjukkan kesadaran hakim, bahwa korupsi merupakan kejahatan luar
biasa dan dapat menghancurkan kehidupan berbangsa, masih rendah pula. Hal itu
dapat terjadi karena para hakim juga ”dibesarkan” atau ”dibentuk” di lingkungan
peradilan yang banyak terjadi praktik korupsi sehingga cenderung permisif
terhadap praktik korupsi.
Pemidanaan terhadap penegak hukum yang melakukan tindak pidana
korupsi, kata pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Ganjar
Laksmana, semestinya maksimal dan lebih berat ketimbang terhadap pelaku biasa
yang bukan penegak hukum supaya ada fungsi prevensi. ”Seorang yang dilatih

4
melawan penjahat, ketika menjadi penjahat, akan menjadi penjahat paling jahat,”
ujarnya.
Hukum bagi para pelaku korupsi tampak berlawanan arah dengan efek jera
sebagaimana dimaksudkan adanya hukum positif di dalam UU. Salah satu
penyebabnya, dan ini sering menjadi bahan 'gerundelan' publik, adalah hukuman
yang dijatuhkan hakim bagi para koruptor dipersepsikan belum sebanding dengan
kejahatan luar biasa tersebut.
Di kalangan masyarakat, selama ini, pemahamannya merentang ke dalam
dua kutub. Pada satu kutub adalah aspek moral. Dalam perspektif moral, ringannya
hukuman ditafsirkan sebagai cerminan moralitas hakim. Hakim yang memiliki
catatan karier yang bersih diyakini berani menjatuhkan hukuman berat, sedangkan
hakim yang memiliki rekam jejak abu-abu diduga menetapkan jenis hukuman yang
enteng-enteng saja. Jadi, ketika kebanyakan hakim dipandang menghukum
terdakwa korupsi dengan sanksi ringan, secara tidak langsung itulah indikasi
memprihatinkannya moralitas sang pengadil di mata publik.
Pada kutub seberang adalah kompetensi kerja hakim. Kompetensi di sini
merupakan konstruk psikologi, bukan konstruk legal. Sebagai konstruk psikologi,
kompetensi yang saya maksud bukan kewenangan, melainkan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman kerja hakim. Dalam perspektif kompetensi, hakim
dengan jam terbang tinggi akan mampu membongkar kasus secara mendalam,
sehingga percaya diri untuk “menagih” pertanggungjawaban terdakwa korupsi
lewat hukuman yang berat. Jadi, ada korelasi positif antara kompetensi kerja hakim
dan berat-ringannya hukuman bagi koruptor.
Selain itu perspektif psikologi kognitif yang menyebabkan rendahnya
hukuman bagi para koruptor yaitu :
1) Sanksi hukum terhadap koruptor kerap dibandingkan dengan hukuman bagi
maling ayam. Karena hukuman atas keduanya dinilai tidak proporsional atau
saling tumpang tindih, yakni terlalu ringan bagi koruptor dan terlalu berat bagi
maling ayam, hakim pun dianggap menistai nilai-nilai keadilan. 
Contoh kasus maling ayam, aksi tersebut lazimnya digambarkan sebagai
kejahatan tunggal yang sederhana dan dilakukan secara solo maupun
melibatkan kelompok kecil. Bingkai peristiwa kejahatan semacam itu tidak
begitu sukar dicerna oleh kognisi hakim. Pada gilirannya, dengan bingkai kasus
tersebut, hakim teryakinkan bahwa kelakuan si pencuri ayam adalah benar-
benar manifestasi dari keputusan psikologis si maling sendiri (atribusi internal).
Atribusi internal si maling membangun fondasi keyakinan hakim bahwa si
pencuri itulah, bukan pihak lain, yang harus bertanggung jawab secara pidana. 
Situasinya berbeda dengan kasus-kasus kejahatan kerah putih, di mana
masalahnya begitu kompleks hingga dapat memberikan beban yang berlebihan
terhadap kognisi hakim. Kompleksitas itu terlihat pada, misalnya, diseretnya
banyak nama oleh terdakwa, modus korupsi yang penuh konspirasi, benturan
antarlegislasi, pertikaian antarinstitusi, serta diskursus politik yang merecoki
upaya penegakan hukum. Sengkarut masalah sedemikian rupa dapat
menggelincirkan persepsi hakim. Hakim bisa jadi akan melihat faktor situasi
lebih dominan (atribusi eksternal) daripada faktor diri si terdakwa, sebagai

5
penyebab terjadinya peristiwa korupsi. Karena situasi merupakan penyebab
utama, maka terdakwa bukan lagi pihak yang harus paling bertanggung jawab.
Sanksi ala kadarnya, dengan demikian, menemukan “pembenaran”-nya, karena
situasi (termasuk keberadaan pihak-pihak selain terdakwa) yang sesungguhnya
harus disalahkan dan diganjar hukuman lebih berat. 
Dalam konteks itu pula pekerjaan hakim menjadi penuh dilema. Pada satu sisi,
hakim perlu “melek dunia” sehingga dapat memahami konstelasi kasus secara
lebih utuh. Namun, pada sisi lain, menerima informasi-informasi baru juga
berisiko melemahkan vitalitas kognitif hakim, termasuk mengendurkan daya
tangkalnya terhadap potensi-potensi bias.
Ini juga agenda tersendiri bagi jaksa. Dalam pergulatannya dengan penasihat
hukum, terdakwa yang terus-menerus menggiring persepsi hakim ke atribusi
eksternal, sang penuntut perlu secara ketat memagari hakim agar tetap
memandang terdakwa sebagai biang kerok sejati atas korupsi yang
dilakukannya.
2) Penerapan strategic model. Bagi sebagian orang dapat dipahami bahwa dalam
memutuskan kasus korupsi, hakim juga memperhatikan putusan-putusan yang
dihasilkan para sejawatnya dalam kasus-kasus serupa. Artinya, hakim
menjatuhkan hukuman ringan, karena memang itulah tren yang hakim
perhatikan di ruang-ruang sidang lainnya. 
Kecenderungan untuk menyeragamkan perilaku dengan sesama anggota
kelompok adalah perwujudan sisi insani hakim, dan bukan hasil
persekongkolan. Pasalnya, keseragaman sikap dan perilaku merupakan salah
satu ciri kelompok. Kelompok (korps hakim) akan terus eksis manakala para
hakim masih terus mengikat diri mereka dalam ekspektasi keseragaman
tersebut. Konsekuensinya, kemiripan dalam menentukan berat-ringannya
hukuman perlu dilakukan oleh hakim, karena itulah yang membuatnya merasa
tetap menjadi bagian dari korpsnya. Sebaliknya, membuat keputusan yang
berbeda akan memunculkan perasaan tidak “klik” dengan para sejawat,
sehingga dapat berisiko buruk bagi perjalanan karier si hakim.
3) Meski mengakibatkan kerugian yang sangat besar, korupsi kerap disebut
sebagai kejahatan tanpa korban. Bandingkan, misalnya, dengan kejahatan
terorisme. Kendati sama-sama tergolong kejahatan luar biasa, korupsi tidak
mengakibatkan genangan darah dan kehancuran bangunan secara kasatmata.
Karena sifatnya yang barbar, faktanya tidak sulit bagi hakim-hakim Indonesia
menjatuhkan hukuman mati kepada sejumlah otak dan pelaku aksi teror.
Korupsi bersih dari gambaran kebiadaban yang telanjang. Itu mempersulit
hakim saat membayangkan akibat nyata korupsi, betapapun korupsi disebut
merugikan banyak pihak. Sulit dijawab definitif: pihak mana yang dirugikan,
seberapa besar kerugiannya, dan mengapa pihak tersebut, jika benar-benar
dirugikan--tidak melaporkan pelakunya dan hadir di persidangan. 

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai
demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya.
2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-
sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa.
3. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif.
Pencegahan(preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan
membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas
antara miliknegara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan
penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan
diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih
efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk
kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial, menumbuhkan rasa “sense of
belongingness” diantara para pejabat dan pegawai. Sedangkan tindakan yang
bersifat Represif adalah menegakan hukum yang berlaku pada koruptor dan
penayangan wajah koruptor di layar televisi dan herregistrasi (pencatatan ulang)
kekayaan pejabat dan pegawai.
4. Rendahnya hukuman bagi koruptor disebabkan oleh ketidakseriusan dalam
menindak tegas pelaku korupsi dan para hakim juga ”dibesarkan” atau ”dibentuk”
di lingkungan peradilan yang banyak terjadi praktik korupsi sehingga cenderung
permisif terhadap praktik korupsi.

B. Saran
Saran yang mungkin dapat menanggulangi korupsi sebagai perlu adanya
kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh, Menanamkan aspirasi
nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional, Para pemimpin
dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi, Adanya
sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak
korupsi, Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui
penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya, Adanya sistem
penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan
sistem “ascription”, Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi
kelancaran administrasi pemerintah, Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur,
Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis
tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien. 10. Herregistrasi (pencatatan ulang)
terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang
tinggi.

7
DAFTAR PUSTAKA

 https://www.google.com/webhp?
sourceid=chromeinstant&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#q=hukuman+korupsi+tindak+pidana+khusus
 http://azimbae.blogspot.com/2012/08/hukum-pidana-khusus-korupsi.html
 http://iwankurniawan31.blogspot.com/2014/01/dampak-korupsi-terhadap-rakyat-
indonesia.html
 http://www.academia.edu/9378386/BAB_I_PENDAHULUAN_A._Latar_Belakag
 http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/2736/70-Koruptor-Dihukum-
Ringan/2014/08/04
 http://www.kpk.go.id/id/berita/berita-sub/1351-hukuman-koruptor-terlalu-ringan-
korupsi-kejahatan-luar-biasa
 https://www.facebook.com/LukasSiahaan.SH/posts/415819031776519)

Anda mungkin juga menyukai