PENYIMPANGAN SOSIAL
KORUPSI DI KALANGAN ELITE POLITIK
Disusun oleh :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah Sosiologi kami
yang berjudul “Korupsi Di Kalangan Elite Politik” dengan baik dan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu
Muslikhatun,S.Pd. pada Mata Pelajaran Sosiologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang perilaku sosial yang menyimpang, salah satunya adalah
korupsi.
Terima kasih Kami ucapkan pada Ibu Muslikhatun S.Pd. yang telah membantu kami
baik secara moral maupun materil. Dan terima kasih juga kami ucapkan kepada semua pihak
yang telah membantu dan mendukung dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari, bahwa tugas Sosiologi kami yang berjudul “ Korupsi dikalangan
Elite Politik ” masih jauh dari kata sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun
penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih baik kedepannya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
MAKALAH SOSIOLOGI i
PENYIMPANGAN SOSIAL i
KORUPSI DI KALANGAN ELITE POLITIK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 2
BAB II
PEMBAHASAN 3
1. Pengertian dan Tindak Pidana Korupsi 3
1.1. Pengertian Korupsi 3
1.2. Tindak Pidana Korupsi Menurut Hukum 3
2. Faktor Penyebab Korupsi 4
2.1. Faktor penyebab korupsi dari aspek internal 4
2.2. Faktor penyebab korupsi dari aspek organisasi 5
2.3. Faktor penyebab korupsi dari aspek tempat 6
3. Macam - Macam Korupsi 6
4. Dampak Korupsi 10
4.1. Dampak korupsi bagi lingkungan 10
4.2. Dampak korupsi bagi diri pelaku 10
4.3. Dampak korupsi bagi pemerintah 10
5. Solusi dan Pemecahan Masalah 10
5.1. Solusi bagi individu 10
5.2. Solusi bagi pemerintah 10
BAB III
KESIMPULAN 11
A. Kesimpulan 11
B. Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, sudah dalam posisi yang
sangat parah dan begitu mengakar dalam setiap sendi kehidupan. Perkembangan
praktek korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat, baik dari kuantitas atau
jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas yang semakin sistematis,
canggih serta lingkupnya sudah meluas dalam seluruh aspek masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana
tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Maraknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, tidak lagi mengenal
batas-batas
siapa, mengapa, dan bagaimana. Tidak hanya pemangku jabatan dan
kepentingan saja yang melakukan tindak pidana korupsi, baik di sektor publik
maupun privat, tetapi tindak pidana korupsi sudah menjadi suatu fenomena. Tindak
pidana korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan keuangan
negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian pada perekonomian rakyat.
Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa, tindak pidana korupsi merupakan
perbuatan yang sangat tercela, terkutuk dan sangat dibenci oleh sebagian besar
masyarakat; tidak hanya oleh masyarakat dan bangsa Indonesia tetapi juga oleh
masyarakat bangsa-bangsa di dunia.
Selanjutnya, dikatakan bahwa korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan
karena
dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya. Oleh karena itu, tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi
suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi ?
2. Apa saja macam - macam dari korupsi ?
3. Apa penyebab dan faktor - faktor yang mempengaruhi korupsi ?
4. Dampak apa yang ditimbulkan dengan adanya korupsi ?
5. Bagaimana solusi yang tepat untuk mengatasi korupsi ?
1
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan kami menulis makalah adalah
untuk :
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
● Menyuap Pegawai Negeri
(Pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001)
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya
● Gratifikasi dan Tidak Lapor KPK
( Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 )
1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b) Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap
dilakukan oleh penuntut umum.
2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda
10 paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4
B. Moral lemah
Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk
melakukan korupsi. Godaan dan tekanan ini dapat muncul dari atasan,
teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberikan celah
korupsi.
C. Penghasilan yang tidak mecukupi.
Penghasilan seorang pegawai dari sebuah pekerjaan seharusnya
memenuhi atau sejalan dengan kebutuhan hidup yang wajar. Jika tidak,
maka seseorang cenderung berusaha memenuhinya dengan berbagai
cara. Ketika tidak ada peluang, maka seseorang bisa jadi
memanfaatkan celah korupsi.
D. Kebutuhan hidup yang mendesak
Pada situasi terdesak terkait ekonomi, dapat terbuka ruang bagi
seseorang untuk menempuh jalan pintas baik maupun buruk. Salah satu
jalan pintas yang buruk yaitu korupsi.
E. Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota besar kerap mendorong gaya hidup seseorang
berperilaku konsumtif. Perilaku konsumtif berisiko membuka celah
korupsi demi memenuhi kebutuhan hidup jika tidak diimbangi dengan
pendapatan memadai.
F. Rasa Malas dan Enggan berusaha
Sejumlah orang ingin mendapat hasil dari suatu pekerjaan tanpa
berusaha. Sifat malas ini berisiko memicu seseorang melakukan cara
yang mudah dan cepat demi mencapai tujuan. Salah satu cara tersebut
adalah korupsi.
5
2.3. Faktor penyebab korupsi dari aspek tempat
A. Nilai di masyarakat memungkinkan korupsi
Nilai di masyarakat berisiko memicu langgengnya korupsi. Korupsi
dapat timbul dari budaya masyarakat seperti menghargai seseorang
berdasarkan kekayaan. Kondisi ini dapat memicu seseorang tidak
kritis, seperti dari mana kekayaan tersebut didapat.
B. Masyarakat kurang sadar dirinya korban korupsi
Anggapan umum di masyarakat adalah yang rugi karena korupsi
adalah negara. Padahal jika negara rugi, yang rugi adalah masyarakat
karena proses anggaran pembangunan dipangkas para pelaku korupsi.
C. Masyarakat kurang sadar dirinya terlibat korupsi
Terbiasa pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara terbuka
berisiko membuat masyarakat tidak kritis pada aktivitas korupsi yang
dilakukannya. Contoh, di sebuah daerah kerap terlihat pegawai pulang
atau ke pusat perbelanjaan jauh sebelum waktu kerja usai sehingga
jamak ditiru pekerja yang lebih muda.
6
Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No.
MK No. 25/PUU-XIV/2016 25/PUU-XIV/2016
3.2. Suap-menyuap
Suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud agar urusannya lebih cepat, walau melanggar prosedur.
Suap-menyuap terjadi terjadi jika terjadi transaksi atau kesepakatan antara kedua
belah pihak. Korupsi yang terkait dengan suap menyuap diatur di dalam beberapa
pasal UU 31/1999 dan perubahannya, yaitu:
● Pasal 5 UU 20/2021;
● Pasal 6 UU 20/2021;
● Pasal 11 UU 20/2021;
● Pasal 12 huruf a, b, c, dan d UU 20/2021;
● Pasal 13 UU 31/1999.
Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Pasal 13 UU 31/1999
7
20/2001 20/2001
8
layanannya, walau melanggar prosedur. Pemerasan memiliki unsur janji atau
bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut. Pemerasan diatur dalam
Pasal 12 huruf (e), (g), dan (h) UU 20/2001
3.5. Perbuatan Curang
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi
yang dapat membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001
seseorang yang melakukan perbuatan curang diancam pidana penjara paling
singkat 2 tahun dan paling lama tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp100 juta dan paling banyak Rp350 juta. Berdasarkan pasal tersebut, berikut
adalah contoh perbuatan curang:
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan,
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang
atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia (“TNI”) dan atau kepolisian melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan
atau kepolisian dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas.
3.6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12
huruf (i) UU 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara
secara langsung maupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan atau persewaan padahal ia ditugaskan untuk mengurus
atau mengawasinya.
Misalnya, dalam pengadaan alat tulis kantor, seorang pegawai
pemerintahan menyertakan perusahaan keluarganya untuk terlibat proses tender
dan mengupayakan kemenangannya.
3.7. Gratifikasi
Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan:
a. Yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.
Adapun sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima gratifikasi sebagaimana tersebut di atas, adalah pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan
pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
9
Namun demikian, perlu Anda catat bahwa apabila penerima melaporkan
gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi
diterima, maka sanksi atau ancaman pidana terkait gratifikasi tidak berlaku.
3. Dampak Korupsi
3.1. Dampak korupsi bagi lingkungan
Dampak korupsi terhadap lingkungan salah satunya menurunkan kualitas
lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan dapat kita lihat dari banyaknya
kasus ilegal loging. Kasus ilegal loging memberikan kerugian negara yang
terjadi sampai 30 - 42 Triliun rupiah per tahun.
3.2. Dampak korupsi bagi diri pelaku
pelaku korupsi dan perbuatan curang lainnya jika berurusan dengan pihak
yang berwajib, ia bisa kehilangan pangkat dan jabatannya, nama baik, reputasi
dan keluarganya hancur, sakit berkepanjangan dsb.
3.3. Dampak korupsi bagi pemerintah
Dampak korupsi terhadap birokrasi pemerintah pada akhirnya merugikan
masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan ketidakadilan serta pemihakan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun penyedia layanan publik.
Ketidakadilan dan pemihakan berimbas pada ketidakpuasan masyarakat
terhadap layanan publik tersebut.
BAB III
SIMPULAN
10
A. Simpulan
Berdasarkan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. KUHAP memberikan pengaturan mengenai pembagian wewenang
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke dalam beberapa lembaga. Yaitu
Lembaga Kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, Lembaga
Kejaksaan untuk melakukan penuntutan. Hal tersebut dilakukan agar tidak
terjadi tumpang tindih antar wewenang tiap lembaga dalam penyelesaian suatu
perkara pidana. Diferensiasi fungsional tersebut juga ditujukan agar tidak
terjadi kesewenang-wenangan suatu lembaga dalam memeriksa perkara
pidana. Pengaturan demikian memberikan batasan batasan tiap lembaga yang
berwenang memeriksa perkara agar tetap pada lingkup tugas dan
wewenangnya sehingga tidak menyinggung hak-hak orang sebagai subyek
hukum. Pengaturan dalam KUHAP atas wewenang penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan membatasi penggunaan upaya paksa demi kepentingan umum.
Kejaksaan memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan dalam suatu tindak pidana tertentu yang diatur dalam UU
Kejaksaan dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana
tertentu yang dimaksud adalah tindak pidana yang diatur dalam UU
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU Tindak Pidana Korupsi. Ketiga
wewenang tersebut dalam menangani perkara pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam UU Pemberantasan Korupsi dan UU KPK. Perbedaan pengaturan
tersebut adalah karena perkara korupsi menjadi suatu masalah yang sangat
menjadi perhatian masyarakat dan negara yang harus diutamakan dalam
pemberantasannya. Pemeriksaan tindak pidana korupsi baik dalam tahapan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tidak mudah untuk dilakukan.
Tindak pidana korupsi seringkali dilakukan dengan menggunakan perangkat-
perangkat digital dan teknologi modern. Untuk itu, kerjasama antar lembaga
yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sangat
diperlukan. Pemberian wewenang penyelidikan dan penyidikan pada
Kejaksaan maupun wewenang pada KPK dalam menangani perkara korupsi
adalah agar penyelesaian dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
dilakukan secara efektif dan efisien.
2. Akibat hukum dengan adanya wewenang penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan dalam penanganan tindak pidana korupsi pada satu lembaga
menyebabkan kemungkinan untuk timbulnya suatu ketidakpastian hukum dan
tumpang tindih kewenangan. Untuk itu dasar dalam pemberian wewenang-
wewenang tersebut haruslah kuat dengan menekankan kosepsi due process of
law. Baik Kejaksaan maupun KPK, wewenang yang dimilikinya dalam
menangani perkara korupsi didasari oleh undang-undang. Poin penting lainnya
adalah bahwa wewenang-wewenang tersebut tidak dilakukan secara individu
oleh Kejaksaan maupun KPK tetapi dikoordinasikan dengan lembaga lain
yang berwenang yang memang diatur dalam undang-undang. Antara KPK,
Kejaksaan dan Kepolisian terdapat suatu koordinasi dan kerjasama dalam
11
menangani tindak pidana korupsi. Dengan demikian tidak terjadi tumpang
tindih dalam melaksanakan tugas dan wewenang lembaga yang memilikinya
pada pemeriksaan tindak pidana korupsi.
B. Saran
Berdasarkan uraian kesimpulan tersebut diatas, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam
satu lembaga perlu didasari oleh ketentuan perundang-undangan yang kuat
dan jelas demi terjaminnya suatu kepastian hukum. Kepemilikan wewenang
wewenang tersebut juga harus diimbangi dengan suatu sistem pengawasan
yang baik yang bertujuan untuk mencegah kesewenang-wenangan.
2. Baik Kejaksaan RI maupun KPK, keduanya merupakan tonggak utama dalam
suatu cita-cita pemberantasan korupsi di Indonesia. Antara instansi pemerintah
yang berwenang dalam menangani perkara korupsi harus disertai dengan suatu
komitmen, kerjasama dan koordinasi yang kuat. Pemberantasan korupsi akan
efektif ketika seluruh komponen bangsa bersatu dan saling mendukung dalam
pemberantasan korupsi.
12
DAFTAR PUSTAKA
Redaksi DJPb. (2022, November 8). Tindak Pidana Korupsi : Pengertian dan Unsur-
unsurnya. Kemenkeu.go.id.
https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/manokwari/id/data-publikasi/berita-terbaru/
3026-tindak-pidana-korupsi-pengertian-dan-unsur-unsurnya.html
https://aclc.kpk.go.id/action-information/exploration/20220411-null
Trisna Wulandari. (2022, March 9). 16 Faktor Penyebab Korupsi dari Aspek Individu
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5975109/16-faktor-penyebab-korupsi-
dari-aspek-individu-hingga-organisasi
https://www.google.com/search?
q=macam+macam+korupsi&oq=MACAM+MACAM+KORUPSI&aqs=chrome.
0.69i59.5015j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8
13