Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN

NILAI DAN PRINSIP PERILAKU ANTI KORUPSI

Dosen Pengampu : Abd. Mu’id Aris Shofa, S.Pd M.Sc

Kelompok 2 :
Wahana Mulyaning Galih (195090500111041)
Tiara Diva Adiputri Wlantari (195090500111058)
Matius Albert Anggaraksa (195090500111064)
Abi Wildan Ghilmanul Faqih (195090507111041)
Beliana Putri Permatasari (195090507111051)

JURUSAN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN


ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2021
DAFTAR ISI

1 PENDAHULUAN 2
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan dan Manfaat Pembahasan 3
2 PEMBAHASAN 5
2.1 Pengertian Korupsi dan Sejarah Korupsi di Indonesia 5
2.2 Perilaku Koruptif (Lembaga Negara dan Warga Negara) 13
2.3 UU TIPIKOR (Bentuk - Bentuk Kejahatan Korupsi) 16
2.3.1 Kerugian Keuangan Negara 17
2.3.2 Suap-menyuap 19
2.3.3 Penggelapan dalam Jabatan 23
2.3.4 Pemerasan 25
2.3.5 Perbuatan Curang 26
2.3.6 Benturan Kepentingan dalam Pengadaan 28
2.3.7 Gratifikasi 28
2.4 Perbandingan Korupsi di Indonesia dan negara lain 30
2.5 Strategi Pemberantasan Korupsi 36
1.1.1 Peningkatan Integritas dan Etika Penyelenggara Negara 37
1.1.2 Pemantapan dan Percepatan Reformasi Birokrasi 38
1.1.3 Pembangunan Budaya Anti Korupsi Masyarakat 41
1.1.4 Penegakan Hukum yang Tegas, Konsisten, dan Terpadu 42
2.6 Studi Kasus: Korupsi Dana Bansos Covid-19 43
3 PENUTUP 46
3.1 Kesimpulan 46
3.2 Saran 46

1
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, korupsi telah menjadi kata yang menjadi bahan
perbincangan mulai dari tingkat keluarga hingga negara. Hampir setiap
elemen masyarakat hingga pejabat tinggi tidak lepas dari kata korupsi. Di
berbagai media cetak, media elektronik, hingga sosial media, korupsi
menjadi pemberitaan umum. Bahkan golongan yang terlibat pun sangat
beragam, mulai dari masyarakat umum, tokoh, agama, sampai pejabat.
Hampir semua kalangan sepakat bahwa korupsi di Indonesia sudah
membudaya dan mendarah daging. Budaya korupsi seolah-olah mendapat
lahan yang subur karena sifat sebagian masyarakat yang lunak, sehingga
permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Bukanlah hal yang mengejutkan apabila Indonesia selalu mendapat


‘prestasi’ sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia, yaitu dengan
peringkat nomor empat di dunia dan nomor satu di Asia Tenggara. Adanya
fakta bahwa sikap dan tindak koruptif masih ada dan terus terjadi dimana-
mana yang sebagian bekerja secara sistematis dan terstruktur dalam sistem
kekuasaan dan sistem sosial masyarakat. Pemberantasan korupsi masih
kerap dijadikan sebagai sekedar jargon politik dari suatu kekuasaan oleh
sebagian kalangan, meskipun sebagian lainnya menjadikan pemberantasan
korupsi benar-benar sebagai prioritas yang secara serius perlu dilakukan
untuk membangun tata pemerintahan yang baik (good governance) melalui
gerakan reformasi atau perbaikan tata pemerintahan (governance reform).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, agar
permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas, maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian dan sejarah korupsi di Indonesia

2
2. Bagaimana perilaku koruptif baik pada lembaga negara maupun
warga negara
3. Bagaimana pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam hukum
pidana di Indonesia
4. Bagaimana perbandingan tindak pidana korupsi di Indonesia
dengan negara lain
5. Bagaimana strategi pemberantasan korupsi yang diterapkan dalam
upaya mengurangi tindak pidana korupsi

1.3 Tujuan dan Manfaat Pembahasan


Berdasarkan rumusan masalah diatas pembahasan yang hendak
dilakukan harus memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan arah agar penulis mampu mencari
pemecahan isu terkait. Adapun tujuan yang hendak dicapai pada penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian dan sejarah korupsi di Indonesia


2. Untuk mengetahui perilaku koruptif baik pada lembaga negara
maupun warga negara
3. Untuk mengetahui pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam
hukum pidana di Indonesia
4. Untuk mengetahui perbandingan tindak pidana korupsi di
Indonesia dengan negara lain
5. Untuk mengetahui strategi pemberantasan korupsi yang diterapkan
dalam upaya mengurangi tindak pidana korupsi

Di sisi lain, diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang


dapat diambil dari pembuatan makalah ini. Adapun yang menjadi manfaat
dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran di
bidang ilmu kewarganegaraan pada umumnya dan tindak
pidana korupsi pada khususnya

3
b. Dapat bermanfaat sebagai literatur dan bahan informasi ilmiah
dalam konteks kasus tindak pidana korupsi
c. Dapat dipakai sebagai acuan terhadap makalah-makalah
sejenis berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi semua pihak yang berkepentingan dan menjawab
permasalahan yang sedang diteliti.
b. Meningkatkan daya penalaran, daya kritis, dan membentuk
pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh.
c. Dapat memperkaya wacana keilmuan terkait Tindak Pidana
Korupsi khususnya di Indonesia

4
2 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi dan Sejarah Korupsi di Indonesia


Dikutip dari Say No to Korupsi (2012) karya Juni Sjafrien Jahja, kata
korupsi dari bahasa Latin corruptio atau corruptus yang berasal dari bahasa
Latin yang lebih tua corrumpere. Istilah korupsi dalam bahasa Inggris
corruption dan corrupt, dalam bahasa Perancis corruption dan dalam bahasa
Belanda corruptie yang menjadi kata korupsi dalam bahasa Indonesia.
Henry Campbell Black dalam Black's Law Dictionary menjabarkan korupsi
adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud memberikan beberapa
keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain. Perbuatan
seorang pejabat atau seorang pemegang kepercayaan yang secara
bertentangan dengan hukum, secara keliru menggunakan kekuasaannya
untuk mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain,
bertentangan dengan tugas dan hak orang lain.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan tentang


pengertian istilah korup (kata sifat) dan korupsi (kata benda). Korup adalah
buruk, rusak, busuk. Arti lain korup adalah suka memakai barang (uang)
yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya
untuk kepentingan pribadi). Mengkorup adalah merusak, menyelewengkan
(menggelapkan) barang (uang) milik perusahaan (negara) tempat kerjanya.
Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara
(perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Mengkorupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang dan
sebagainya).

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah


dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke
dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut
menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan

5
sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana
korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kerugian keuangan negara


b. Suap-menyuap
c. Penggelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan
g. Gratifikasi

Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan


diatas, masih ada tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang tertuang pada UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20
Tahun 2001. Jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi itu adalah:

1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi


2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar
3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan palsu
5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan
keterangan atau memberikan keterangan palsu
6. Saksi yang membuka identitas pelapor

Dari beberapa definisi tersebut juga terdapat beberapa unsur yang


melekat pada korupsi. Pertama, tindakan mengambil, menyembunyikan,
menggelapkan harta negara atau masyarakat. Kedua, melawan norma-norma
yang sah dan berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang
atau amanah yang ada pada dirinya. Keempat, demi kepentingan diri
sendiri, keluarga, kerabat, korporasi atau lembaga instansi tertentu. Kelima,
merugikan pihak lain, baik masyarakat maupun negara.

6
Tindak pidana korupsi tidak saja terbatas di sektor publik, namun juga
di sektor swasta dan bahkan lembaga dan perusahaan internasional yang
beroperasi di suatu negara. Patut dicatat bahwa di Indonesia, definisi
korupsi terbatas untuk sektor publik mengingat demikianlah batasan definisi
korupsi sesuai dengan UU Antikorupsi (UU no 31/1999 jo UU 20/2001).
Sesuai dengan UNCAC (United National Convention Against Corruption)
definisi korupsi tidak saja mencakup korupsi di sektor publik, namun juga di
sektor swasta maupun lembaga/organisasi/perusahaan asing yang beroperasi
di suatu negara. Bahkan the Bribery Act di Inggris mampu menjerat
koruptor dan praktik korupsi yang terjadi di luar wilayah geografi Inggris,
selama individu/lembaga asing tersebut memiliki hubungan kerja dengan
pemerintah/lembaga yang berafiliasi dengan Inggris.

Adapun sejarah korupsi di Indonesia terbagi menjadi beberapa


periode, sebagai berikut.

1. Korupsi pada masa kerajaan


Berdasarkan sejarah, korupsi adalah bagian dari tindakan
yang telah ada hampir setua peradaban itu sendiri. Di Indonesia,
pungli mulai tercatat sejak abad 13. Asal mulanya berasal dari
sistem pembiayaan tradisional Kerajaan Majapahit, Mataram
hingga kerajaan lainnya di Nusantara.
Lewat catatan itulah jejak mereka yang menguasai jabatan
tertentu dalam memperoleh keuntungan besar mulai terlihat.
Sejarawan Ong Hok Ham mengungkap pungli langgeng karena
pejabat dalam kerajaan tradisional ini tak digaji oleh raja.
Sehingga, mereka harus berdikari dalam hal keuangan. Raja hanya
memberi pejabat tanah dan sejumlah petani, atau hak-hak untuk
memungut bea cukai. Sesudahnya, pejabat itu meminta denda dan
upeti ke rakyat. Dari sumber keuangan inilah urusan jabatan
dibiayai.
Tak cuma satu dua jabatan saja yang mencari gajinya
sendiri. Ong Hok Ham mencatat mulai dari jabatan menteri di

7
keraton, bupati, pengawas pengairan, jagal, pencatat penduduk,
penarik pajak, kepala desa, dan lain sebagainya telah berdiri sendiri
dalam keuangan.
2. Korupsi pada masa VOC
VOC adalah sebuah asosiasi dagang yang pernah
menguasai dan memonopoli perekonomian nusantara, asosiasi ini
bahkan bertindak sebagai “pemerintah” yang mengatur dan
berkuasa atas wilayah nusantara, praktek dagang yang di
kembangkan sangat monopolis, sehingga hubungan dagang
diwarnai kecurangan dan persengkongkolan yang cenderung
korup, karena tingginya tingkat korupsi di dalam tubuh VOC
hingga mengalami kebangkrutan.
Di tahun 1799 asosiasi dagang VOC (Verenigde oost
Indische Compagnie) yang di plesetkan dengan Vergaan onder
Corruptie, runtuh lantaran korupsi, Gubernur Antonio van Diemen
menyurati Heeren XVII tentang parahnya korupsi di tubuh VOC,
di samping sistem perekonomian yang monopolik yang cenderung
korup, korupsi di tubuh VOC juga diakibatkan korupsi yang terjadi
di lingkungan pegawai VOC, gaji pegawai VOC yang sangat
rendah yang berkisar antara 16-24 gulden perbulan, tidak sesuai
dengan gaya hidup batavia pada saat itu, kesenjangan gaji yang
diterima para pegawai VOC dan birokrasi VOC telah
mengakibatkan tingkat korupsi yang begitu tinggi. Pasalnya gaji
yang diterima gubernur jenderal berkisar antara 600-700 gulden,
bandingkan dengan gaji pegawai yang terlalu minim.
VOC zaman itu hanya memberikan gaji nominal, sekedar
uang pengikat. Seorang Gubernur Pantai Utara Jawa, misalnya
hanya digaji 80 gulden sebulan. Oleh sebab itu, kebanyakan di
antaranya melakukan praktik curang. Mereka harus berdagang
demi kepentingan majikannya, justru berusaha berdagang demi
keuntungan sendiri.

8
Menurut penuturan seorang komisioner VOC, Dirk van
Hogendorp (1761-1822), ia melihat sendiri pungutan yang diambil
oleh pejabat VOC banyak berasal dari denda barang-barang yang
overweight (melampaui batas) milik orang-orang China dan Jawa,
keuntungan penjualan opium, hadiah-hadiah dan sebagainya.
Dirk dikutip Sri Margana dalam buku Korupsi Dalam
Silang Sejarah Indonesia (2016) menyebutkan jenis-jenis hadiah
yang didapat dari para pejabat pribumi, bupati, misalnya hadiah
pada penunjukkan pejabat baru, hadiah setiap tahun baru, hadiah
buat istri pejabat yang melahirkan, pungutan setiap kali mau
menghadap Gubernur di Semarang, setiap menghadap Gubernur
Jenderal di Hindia-Belanda, setiap kali mendatangi penobatan
bupati pribumi yang baru terpilih dan sebagainya.
3. Korupsi pada masa orde lama
Sejak Indonesia merdeka, pasca 1945, korupsi juga telah
mengguncang sejumlah partai politik. Sejarawan Bonnie Triyana
menceritakan, skandal korupsi menimpa politisi senior PNI, Iskaq
Tjokrohadisurjo, yang adalah mantan Menteri Perekonomian di
Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Kasus tersebut bergulir 14 April
1958. Kejaksaan Agung yang memeriksa Iskaq memperoleh bukti
cukup untuk menyeretnya ke pengadilan terkait kepemilikan devisa
di luar negeri berupa uang, tiket pesawat terbang, kereta, dan mobil
tanpa seizin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri
(LAAPLN). Iskaq akhirnya mendapat grasi dari Presiden
Soekarno. Namun, mobil Mercedes Benz 300 yang diimpornya
dari Eropa tetap disita untuk negara.
Kasus lain adalah Menteri Kehakiman Mr Djody
Gondokusumo (menjabat 30 Juli 1953-11 Agustus 1955) yang
tersandung perkara gratifikasi dari pengusaha asal Hongkong,
Bong Kim Tjhong, yang memperoleh kemudahan memperpanjang
visa dari Menteri Kehakiman. Visa tersebut ternyata dibayar
dengan imbalan Rp 20.000. Jaksa Agung Muda Abdul Muthalib

9
Moro menduga uang pemberian pengurusan visa tersebut
digunakan untuk membiayai Partai Rakyat Nasional pimpinan
Djody. Partai besar lain, yakni Masyumi, juga terseret korupsi.
Pada 28 Maret 1957, politisi Masyumi, Jusuf Wibisono, ditahan
tentara di Hotel Talagasari, Jalan Setiabudi, Bandung, karena
diduga terlibat korupsi.
Bonnie Triyana mengutip harian Suluh Indonesia, 20 April
1957, menceritakan, Hotel Talagasari dipenuhi tersangka korupsi.
Terdapat lima mantan menteri, anggota konstituante, anggota
parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha, dan
lain-lain. Sedangkan yang diperiksa mencapai 60 orang. Periode
1950-1965 tersebut memang dipenuhi gonjang-ganjing korupsi dan
pemberontakan. Deskripsi tentang kehidupan penguasa dan politisi
korup pada zaman itu bisa dibaca jelas dalam novel Senja di
Jakarta karya wartawan senior Mochtar Lubis.
4. Korupsi pada masa orde baru dan reformasi
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres
No.28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan
Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan
pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan
hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai
bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di
tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi
IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan
mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.
Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama
RI Bung Hatta memunculkan wacana bahwa korupsi telah
membudaya di Indonesia. Lanjut Hatta, korupsi telah menjadi
perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal
usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita
pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih
sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan bahwa Hatta

10
saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi
karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut
dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.

Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan


peraturan karena masa Orde Baru yang cukup panjang. Namun
sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku efektif
dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia.
Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus
1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aturan ini
menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda
maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan
korupsi.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara
Garis-garis Besar Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah
satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi.
Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan negara
diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di
semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.
Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi
pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh
pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi. Lembaga
yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga tak
ada kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus
korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil
dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi
ruang gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi
mempertahankan kekuasaannya.

Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa


mengenyahkan koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul
pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di

11
masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk
mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan
Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional,
Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan
oleh pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa
sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung.
Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah konkret
penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan
dijadikan tersangka pada saat itu.

Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus


korupsi menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan
masyarakat. Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan
korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang ditengarai
banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah
satunya.

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap


lembaga negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan
Megawati kemudian membentuk Komisi Pemberantasan TIndak Pidana
Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum
atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang
kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin


segar ketika muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan
kewenangan yang jelas untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya,
ini dibilang terlambat dari agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal
43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor

12
20 Tahun 2001, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk
keseriusan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan
korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh
banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi yang berimplikasi pada
perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative heavy
pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan
RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persoalan internal yang
melanda sistem politik di Indonesia pada era reformasi.

Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari


langkah awal yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden
Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana
Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas.
RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan
menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK
melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan
internasional (structure), dan instrumen hukum yang saling mendukung
antara hukum nasional dan hukum internasional.

Pemerintahan boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat


Indonesia menginginkan pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar
dalam pemberantasan korupsi. Kemauan politik kuat yang ditunjukkan
untuk mendukung lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang nantinya
akan dicatat sebagai sejarah baik atas panjangnya upaya pemberantasan
korupsi yang selama ini sudah dilakukan.

2.2 Perilaku Koruptif (Lembaga Negara dan Warga Negara)


Beberapa pakar telah berupaya mengungkapkan ataupun merumuskan
tentang penyebab dari timbulnya perilaku koruptif ini. Salah satu yang
terkenal yakni hasil analisa dari Robert Klitgaard, dimana menyatakan
bahwa korupsi terjadi karena adanya monopoli kekuasaan dan diskresi

13
kewenangan namun lemah dalam akuntabilitas. Namun dari hasil kajian,
analisa dan pengalaman di lapangan, rumusan yang dikemukakan oleh
Klitgaard ini memiliki kecenderungan yang cocok diterapkan pada kondisi
sebuah institusional, kelembagaan, atau organisasi. Rumusan tersebut
kurang mampu mengulas bila dihadapkan pada kondisi global atau yang
berlaku umum.

Dari penelusuran literatur dari Robert Klitgaard dengan kedua buku


karyanya tersebut, memang pada hakikatnya banyak berbicara pada kondisi
dunia birokrasi, perkantoran, dan perusahaan swasta. Sehingga, pendapat
yang dicetuskan tersebut memiliki kebenaran yang signifikan bila
diterapkan pada situasi perkantoran dan perusahaan. Sementara dunia
korupsi amat luas dan sangat kompleks, menyentuh seluruh aspek
kehidupan masyarakat secara global. Sehingga adanya kompleksitas
tersebut membutuhkan banyak indikator yang bisa merangkum semua aspek
yang melingkupinya.

Amien Rais, membagi jenis korupsi yang harus diwaspadai dan dinilai
telah merajalela di Indonesia ke dalam empat tipe. yaitu :

a. Korupsi manipulatif (manipulative corruption).

Jenis korupsi ini merujuk pada usaha kotor seseorang untuk


mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah
dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi tingginya. Sebagai
misal, seorang atau sekelompok konglomerat memberi uang pada
bupati, gubernur, menteri dan sebagainya agar peraturan yang
dibuat dapat menguntungkan mereka. Bahwa kemudian peraturan-
peraturan yang keluar akan merugikan rakyat banyak.

b. Korupsi ekstortif (extortive corruption).

Korupsi ini merujuk pada situasi dimana seseorang terpaksa


menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan
proteksi atas hak dan kebutuhannya. Sebagai misal, seorang

14
pengusaha terpaksa memberikan sogokan (bribery) pada pejabat
tertentu agar bisa mendapat ijin usaha, perlindungan terhadap
usaha sang penyogok.

c. Korupsi nepotistik (nepotistic corruption).

Korupsi jenis ini merujuk pada perlakuan istimewa yang


diberikan pada anak-anak, keponakan atau saudara dekat para
pejabat dalam setiap eselon. Dengan preferential treatment itu para
anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat dapat menangguk
untung yang sebanyak-banyaknya. Korupsi nepotistik pada
umumnya berjalan dengan melanggar aturan main yang sudah ada.
Namun pelanggaran-pelanggaran itu tidak dapat dihentikan karena
dibelakang korupsi nepotistik itu berdiri seorang pejabat yang
biasanya merasa kebal hukum.

d. Korupsi subversif.

Korupsi ini berbentuk pencurian terhadap kekayaan negara


yang dilakukan oleh para pejabat negara. Dengan
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, mereka dapat
membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan.

Korupsi menjadi sesuatu yang ironis karena sebagian pelaku memiliki


peran penting dalam penyelenggaraan negara. Salah satu contoh perilaku
koruptif di lembaga negara adalah kasus penangkapan Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar karena menerima uang suap terkait penanganan
sengketa hasil Pilkada Lebak, Banten pada Oktober 2013. Kasus penyuapan
ini bertujuan untuk memuluskan perkara yang ditangani MK dalam sengketa
pilkada.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat beberapa indikator


kebiasaan atau perilaku di masyarakat yang menjurus kepada perilaku
koruptif. Indikator tersebut dibagi menjadi tiga lingkup, yaitu lingkup
keluarga, lingkup komunitas dan lingkup publik. Salah satu contohnya

15
adalah pemberian uang damai kepada polisi saat melanggar lalu lintas.
Contoh lain, petugas KUA yang meminta uang tambahan untuk transport,
pemberian uang jaminan kepada guru agar anaknya diterima masuk ke
sekolah yang diajarnya, hingga pembagian uang dan barang pada
pelaksanaan pemilu.

2.3 UU TIPIKOR (Bentuk - Bentuk Kejahatan Korupsi)


Tindak pidana korupsi seperti penyuapan, pemerasan maupun
gratifikasi pada dasarnya sudah terjadi sejak lama dengan pelaku yang
terdiri dari berbagai macam golongan. Tindakan korupsi pada hakekatnya
berawal dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang tidak disadari oleh setiap
aparat, mulai dari menerima suap, upeti, pemberian fasilitas tertentu atau hal
lain yang pada akhirnya lama-lama akan menjadi bibit korupsi nyata dan
merugikan keuangan negara.

Pemerintah indonesia sendiri sebenarnya sudah menunjukkan


komitmennya dalam upaya strategi pemberantasan korupsi. Beberapa
komitmen tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan
peraturan perundang-undangan diantaranya:

1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara


Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
2. Undang-undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme
3. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan UU No. 20
Tahun 2001
4. UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
6. Keputusan Presiden RI No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan

16
Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara
Negara

Peraturan pemerintah terhadap pemberantasan korupsi yang sekarang


berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang
sering disebut UU Tipikor (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi). UU
Tipikor tersebut ditetapkan oleh pemerintah pusat pada 21 November 2001
dan berlaku sejak tanggal penetapan tersebut.

Dengan ditetapkannya UU No. 20 Tahun 2001, pemerintah mencabut


UU. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946
Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. UU No. 20 Tahun 2001 juga memuat perubahan atas UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001


tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana
korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai
perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
disederhanakan dalam 7 (tujuh) kelompok besar bentuk-bentuk kejahatan
korupsi, yakni sebagai berikut:

2.3.1 Kerugian Keuangan Negara


Perbuatan yang merugikan negara, dapat di bagi menjadi dua
bagian, yaitu mencari keuntungan dengan cara melawan hukum
dan merugikan negara serta menyalahgunakan jabatan untuk mencari
keuntungan dan merugikan negara.

Korupsi terkait keuangan negara/perekonomian negara diatur


dalam Pasal 2 (ayat 1 dan 2) dan Pasal 3 UU Tipikor, sebagai berikut :

17
Pasal 2

Ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Ayat (2): Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”.

Pasal 3

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau


orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”

Sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel UU Korupsi


Menganut Kerugian Negara Dalam Arti Formil, Guru Besar Hukum
Pidana Universitas Padjajaran Komariah Emong Sapardjaja menguraikan
bahwa UU Tipikor menganut konsep kerugian negara dalam arti delik
formal. Unsur ‘dapat merugikan keuangan negara’ seharusnya diartikan
merugikan negara dalam arti langsung maupun tidak langsung. Artinya,
suatu tindakan otomatis dapat dianggap merugikan keuangan negara
apabila tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara.

18
2.3.2 Suap-menyuap
Suap mencakup semua bentuk tindakan pemberian/menerima uang
maupun barang yang dilakukan oleh siapapun baik itu perorangan atau
badan hukum (korporasi) yang dilakukan untuk mengubah sikap penerima
atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap tersebut berlawanan
dengan penerima.

Korupsi terkait Suap-Menyuap, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf


a dan b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, Pasal 6 ayat (2),
Pasal 11, Pasal 12 huruf a, b, c dan d, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 12C,
dan Pasal 13. sebagai berikut:

Pasal 5

Ayat (1): Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau


penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengankewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.

Ayat (2): Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau
huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).

19
Pasal 6

Ayat (1): Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud


untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili;atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.

Ayat (2): Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian
atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.

20
Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah


atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut
diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

Pasal 12 A

Ayat (1): Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi
yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

21
Ayat (2): Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 12 B

Ayat (1): Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara


negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,


pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum.

Ayat (2): Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

Pasal 12 C

Ayat (1): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1)


tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ayat (2): Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

22
Ayat (3): Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan
wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik
negara.

Ayat (4): Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 13

Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).

2.3.3 Penggelapan dalam Jabatan


Kategori ini sering juga dimaksud sebagai penyalahgunaan jabatan,
yakni tindakan seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang
dimilikinya melakukan penggelapan laporan keuangan, menghilangkan
barang bukti atau membiarkan orang lain menghancurkan barang bukti
yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dengan jalan merugikan
negara.

Korupsi terkait Penggelapan Dalam Jabatan, diatur dalam Pasal 8,


Pasal 9, dan Pasal 10 huruf a, b, dan c. Sebagai berikut:

Pasal 8

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau

23
orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya,
atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut.

Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau
daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak


dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang,
yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut; atau

24
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan,
merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat,
atau daftar tersebut.

Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal (hal. 258), penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan
pencurian. Bedanya ialah pada pencurian, barang yang dimiliki itu belum
berada di tangan pencuri dan masih harus ‘diambilnya’. Sedangkan pada
penggelapan, waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si
pembuat, tidak dengan jalan kejahatan.

2.3.4 Pemerasan
Pemerasan adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai negeri
atau penyelenggara negara untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri.

Korupsi terkait Pemerasan, diatur dalam Pasal 12 huruf e, f, dan g,


sebagai berikut:

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan


maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau

25
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut
bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

2.3.5 Perbuatan Curang


Perbuatan curang ini biasanya terjadi di proyek-proyek
pemerintahan, seperti pemborong, pengawas proyek, dan lain-lain yang
melakukan kecurangan dalam pengadaan atau pemberian barang yang
mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau keuangan negara.

Korupsi terkait Perbuatan Curang, diatur dalam Pasal 7 ayat (1)


huruf a, b, c, dan d, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h, sebagai berikut:

Pasal 7

Ayat (1): Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00
(tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan,


atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan
bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam
keadaan perang;

26
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana di maksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

Ayat (2): Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau
orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada


waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di
atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;

27
2.3.6 Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa pemerintah
adalah situasi di mana seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara,
baik langsung maupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.

Korupsi terkait Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan, diatur


dalam Pasal 12 huruf i, sebagai berikut:

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun
tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan,
untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.

2.3.7 Gratifikasi
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Korupsi terkait Gratifikasi, diatur dalam Pasal 12B dan Pasal 12C,
sebagai berikut :

Pasal 12 B

Ayat (1): Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara


negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya

28
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,


pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut umum.

Ayat (2): Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)

Pasal 12 C

Ayat (1): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1)


tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ayat (2): Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)


wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Ayat (3): Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu


paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan
wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik
negara.

Ayat (4): Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

29
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 juga mengatur jenis tindak pidana
lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana yang
demikian ini diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24.
Dimana bentuk-bentuk pidananya mencakup 6 (enam) macam, yaitu
merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi, tidak memberi keterangan
atau pemberian keterangan yang tidak benar, pihak bank yang tidak
memberikan keterangan rekening tersangka, saksi atau ahli yang tidak
memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu, orang yang
memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan
keterangan palsu, dan saksi yang membuka identitas pelapor.

2.4 Perbandingan Korupsi di Indonesia dan negara lain


Korupsi di Indonesia sendiri sudah terjadi sejak dahulu sebelum
kemerdekaan Indonesia, bahkan pada masa Indonesia masih berbentuk
kerajaan. Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia kehancuran
kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit dan Mataram adalah
karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.

Pada masa Orde Lama, dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi,


Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk berdasarkan UU
Keadaan Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang
anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun
pemberantasan korupsi saat itu belum terlaksana dengan baik. Pada Masa
Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai
Jaksa Agung pada tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan TPK dalam
memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar
melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.

Beberapa lembaga pemberantasan korupsi selalu di bentuk di


Indonesia. Hingga saat ini lembaga yang terbentuk dan masih aktif
melaksanakan tugas yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) . Kegiatan
korupsi di Indonesia sudah tidak asing lagi untuk didengar, tindakan
tersebut masih merajalela di lingkungan perusahaan maupun pemerintah.

30
Akibat sifat konsumtif individual yang membuat individu tidak
memiliki rasa cukup atau puas dengan hasil kerja yang didapatkan.
Mayoritas kasus korupsi di Indonesia selalu terpaut dengan dana atau uang.
Mereka cenderung memilih jalan instan untuk menggunakan uang agar
mendapatkan kehidupan yang lebih, tanpa memikirkan kemana seharusnya
uang itu tersalurkan.

Berikut merupakan beberapa contoh kasus korupsi yang ada di


Indonesia:

1. Mantan Ketua DPR Setya Novanto yang divonis 15 tahun penjara


dan denda Rp500 juta. Setnov dinilai terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan korupsi proyek pengadaan KTP
Elektronik (e-KTP), yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3
triliun. (melanggar pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.)
2. Korupsi di Bank Century oleh Mantan Gubernur Bank Indonesia
Budi Mulya. Budi divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta.
(melanggar pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi
Nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64
ayat 1 KUHP dengan kerugian negara mencapai Rp 7 triliun).
3. Kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang dengan oleh mantan Ketua
Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Ia divonis 8 tahun pidana
penjara karena terbukti korupsi menerima hadiah dan tindak pidana
pencucian uang. melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang TPPU
jo Pasal 64 KUHP, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, serta Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003).
4. Kasus hukum yang masih berjalan Bupati Kotawaringin Timur
Supian Hadi sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait izin usaha

31
pertambangan (IUP) di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan
Tengah. Atas penerbitan IUP itu Komisi Pemberantasan Korupsi
menduga Supian telah merugikan negara hingga Rp5,8 triliun dan
US$711 ribu atau setara Rp9,9 miliar dengan asumsi kurs Rp 14
ribu. (melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor
Juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP).
5. Kasus korupsi terbaru dan masih berjalan yang menyeret nama
Mensos Juliari Peter Batubara (JPB) menerima Rp17 miliar dari
korupsi bansos sembako yang ditujukan untuk keluarga miskin yang
terdampak akibat wabah virus corona.

Selain di Indonesia kasus korupsi juga ditemukan di berbagai Negara.


Berikut merupakan bukti bahwa korupsi yang terjadi di beberapa Negara.

1. Singapura
Korupsi terjadi di Singapura sejak pemerintahan kolonial
Inggris, namun hal ini tidak terekspos ke permukaan secara luas
dikarenakan adanya kebijakan untuk memindahkan bahkan
memecat pegawai yang terbukti korupsi. Semakin meningkatnya
praktik korupsi di Singapura pasca pemerintahan kolonialisme
Inggris semakin menggerogoti sistem pemerintahan Singapura
masa kini, upaya Lee Kuan Yew untuk menjadikan Singapura
sebagai negara maju maka kebijakan utama yang dikeluarkan oleh
Lee Kuan Yew adalah memberantas bersih praktik korupsi yang
dapat mengganggu cita-cita kemapanan negara Singapura.
Tercapainya sistem perekonomian yang maju tidak terlepas dari
keberhasilan untuk menjadikan warga negara Singapura dan
pemimpinnya sebagai sosok yang taat hukum sehingga pembagian
hak dan kewajiban.

32
2. Filipina
Penyebab terjadinya korupsi di Filipina didorong oleh
beberapa faktor rendahnya gaji pegawai dan pemimpin politik.
Rendahnya tingkat gaji para pegawai, menyebabkan pegawai
publik di Filipina cenderung melakukan praktik korupsi kecil
seperti melakukan pungutan liar. Sistem Red Tape yang
menyebabkan tidak efisiennya kinerja pegawai publik sehingga
meningkatkan peluang terjadinya praktik korupsi. Birokrasi di
Filipina cenderung berbelit-belit atau melalui prosedur yang
sangat panjang, Hal ini pula yang kemudian membuat praktik rent-
seeking di kalangan birokrat dan pengusaha.
Rendahnya risiko deteksi dan hukuman dari praktik korupsi
menjadi penyebab korupsi di Filipina. Hal ini jelas terlihat pada
kasus korupsi yang dilakukan oleh keluarga Presiden Marcos,
dimana hukuman yang diberikan kepada Marcos dan istrinya
dinilai oleh sebagian besar publik sebagai hukuman yang ringan
hal ini berbanding terbalik dengan kerugian besar yang
ditimbulkan oleh keluarga tersebut.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk memberantas korupsi
di Filipina telah lama dilakukan namun tidak membuahkan hasil
yang signifikan.

Adapun Saat ini di Indonesia terdapat beberapa aparat penegak hukum


yang memiliki kewenangan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, dan Komisi Pemberantasan
Korupsi berperan sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi. Berbeda
dengan di tanah air, saat ini Singapura hanya memiliki satu lembaga anti
korupsi yaitu CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) sebagai
organisasi baru yang independen dan terpisah dari lembaga kepolisian untuk
melakukan penyidikan semua kasus korupsi. Hasilnya pun juga sudah
terlihat jelas bahwa pemberantasan dan pencegahan korupsi di kedua negara
tersebut sangatlah efektif dan efisien.

33
Hal inilah yang seharusnya diadopsi oleh Indonesia yaitu dalam
wilayah hukum NKRI harusnya hanya ada satu lembaga yang berperan
secara penuh dalam penanganan tindak pidana korupsi, dalam hal ini
menurut pendapat penulis yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Semua kewenangan dalam penanganan tindak pidana korupsi berada di
tangan KPK, sedangkan Polri dan Kejaksaaan hanya sebagai tugas
pembantuan jika diperlukan oleh KPK sebagai poros utama pemberantasan
korupsi, hal ini dikarenakan korupsi merupakan tindak pidana khusus yang
harus ditangani secara khusus pula. Selain itu PPATK, OJK, ICW dan PBK
juga dapat membantu kinerja KPK dalam rangka pencegahan dan
pengawasan terutama aliran dana yang disinyalir terdapat kejanggalan.

Pada tahun 2013 menurut data dari Transparency International


tentang Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Indeks), Indonesia
menempati peringkat 114, sedangkan Singapura peringkat 5 bersama
Norwegia dan Hongkong menduduki peringkat 15 dan Jepang 18. Hal
tersebut terlihat dari tabel di bawah ini:

34
Dari data diatas dapat kita lihat bahwa Singapura dan Hongkong
memiliki IPK yang begitu baik yang menunjukkan efektifnya
pemberantasan tindak pidana korupsi di negara tersebut. Hal tersebut
bertolak belakang dari Indonesia yang hanya menempati peringkat 114
dengan IPK 32, yang menunjukkan masih lemahnya pencegahan dan
penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Singapura pada tahun 2013 menurut data dari Transparency


International tentang Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception
Index), menempati peringkat 5 dengan nilai 86. Hal ini membuktikan bahwa
Singapura memang benar-benar negara anti korupsi. Prestasi yang
ditorehkan Singapura tersebut tidak lepas dari peranan penguasa
pemerintahan saat itu dan juga CPIB dalam mengusut tuntas semua kegiatan
yang diindikasi korupsi.

Singapura adalah negara maju yang mana kesadaran masyarakat dan


sikap serta budaya profesionalisme sudah mendarah daging. Selain itu
komitmen pemerintah Singapura dalam memberantas korupsi sangatlah
besar. Hal ini ditunjukkan pada Singapura, dimana mantan perdana menteri
Lee Kuan Yew pada masa awal pemerintahannya mendeklarasikan perang
terhadap korupsi dengan jargonnya ‘no one, not even top government
officials are immune from investigation and punishment for corruption’.
‘Tidak seorang pun, meskipun pejabat tinggi negara yang kebal dari
penyelidikan dan hukuman dari tindak korupsi’. Apabila kita lihat
komitmen yang begitu besar dan cara yang begitu efisien dan efektif yang
diterapkan oleh Singapura tersebut, rasa-rasanya akan sulit untuk diterapkan
di Indonesia.

Dalam berbagai kasusnya sebuah Negara harus memiliki pola


pengendalian Korupsi. Berikut merupakan pola pengendalian korupsi yang
di gunakan di berbagai Negara:

35
1. Penetapan undang-undang dan membentuk tim pemberantasan
korupsi dari tubuh lembaga-lembaga publik yang sifatnya
Independen. (Jepang)
2. Penetapan undang-undang dan membentuk lembaga anti korupsi
yang independen serta pembentukan sebuah lembaga khusus yang
melayani sistem pelayanan publik seperti Ombudsman. (India,
Taiwan, Philipina)
3. Sangat bergantung pada undang-undang pemberantasan korupsi dan
melalui undang-undang tersebut dibentuklah lembaga-lembaga anti
korupsi untuk mengimplementasikan amanat dari undang undang
pemberantasan korupsi, (Singapura, Hongkong, Thailand, Korea
Selatan, Indonesia, dan Mongolia).

Korupsi dapat terjadi dimanapun dan kapanpun, menurut teori


Triangle Fraud (Donald R. Cressey) ada tiga penyebab mengapa orang
korupsi yaitu adanya tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan
rasionalisasi (rationalization), sedangkan menurut Teori Willingness and
Opportunity korupsi bisa terjadi bila ada kesempatan akibat kelemahan
sistem atau kurangnya pengawasan dan keinginan yang didorong karena
kebutuhan atau keserakahan.

Dari kasus korupsi yang melanda Indonesia maupun negara lain


hukuman yang diberikan untuk tersangka kasus korupsi sudah diatur oleh
undang-undang beserta dengan denda yang harus dibayar oleh tersangka.
Terdapat perbedaan antara pemberantasan korupsi pada negara maju dan
berkembang yang terletak pada kegigihan dan ketegasan pemimpin kepada
masyarakat, juga kesadaran individu yang benar-benar fokus membasmi
kasus Korupsi.

2.5 Strategi Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan korupsi adalah prioritas utama guna meningkatkan


kesejahteraan rakyat dan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) serta dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Maka dari itu

36
kebijakan optimalisasi pemberantasan korupsi harus ditindaklanjuti dengan
strategi yang komprehensif, integral, dan holistik agar benar-benar dapat
mencapai hasil yang diharapkan.

Menyimak penyebab terjadinya korupsi yang terjadi di negara kita,


dapat disimpulkan terkait aspek-aspek manusia, regulasi, birokrasi, political
will, komitmen, dan konsistensi penegak hukum serta budaya masyarakat.
Untuk itu secara garis besar strategi yang diterapkan terkait pemberantasan
korupsi meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

a. Peningkatan Integritas dan Etika Penyelenggara Negara dalam


Rangka Mewujudkan Aparatur Negara yang Profesional dan
Berintegritas;

b. Pemantapan dan Percepatan Reformasi Birokrasi Dalam Rangka


Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, Bersih, dan
Bebas KKN;

c. Pembangunan Budaya Anti Korupsi Masyarakat Dalam Rangka


Membangun Sikap dan Mental Masyarakat yang Anti Korupsi;
dan

d. Penegakan Hukum yang Tegas, Konsisten, dan Terpadu Dalam


Rangka Mewujudkan Keadilan, Kepastian Hukum, dan
Kemanfaatan, Yaitu Timbulnya Efek Jera Bagi Koruptor dan
Mencegah Calon Koruptor.

1.1.1 Peningkatan Integritas dan Etika Penyelenggara Negara

Lemahnya integritas dan etika penyelenggara atau aparatur negara


menjadi penyebab atau faktor utama terjadinya penyimpangan dan
penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan. Aparatur negara merupakan
pengaruh utama keberhasilan pemerintah mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas Korupsi Kolusi Nepotisme
(KKN). Tanpa aparatur yang berintegritas dan beretika mustahil program

37
kerja pemerintah dapat berjalan dengan baik. Untuk itu, salah satu aspek
utama dari program reformasi birokrasi ialah reformasi aspek sumber daya
manusia (SDM), karena aspek inilah yang nantinya akan
mengimplementasikan atau menggerakkan semua program reformasi
birokrasi.

Namun demikian, pembangunan integritas dan etika aparatur


negara tidak dapat dilakukan secara singkat hanya melalui program
reformasi birokrasi belaka. Pembangunan integritas dan etika aparatur
negara harus dilakukan secara simultan, sejak di bangku sekolah hingga
pendidikan-pendidikan kedinasan. Oleh karena itu, perlu ada re-orientasi
kurikulum pendidikan formal dan pendidikan kedinasan dengan
memasukkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, baik yang bersumber dari
agama, budaya maupun ideologi bangsa yaitu Pancasila. Nilai-nilai luhur
tersebut harus diaktualisasikan dalam setiap kegiatan penyelenggaraan
negara agar upaya membangun integritas dan etika aparatur negara dapat
diwujudkan secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari, hingga akhirnya
dapat membentuk aparatur negara yang profesional dan berdisiplin tinggi.

Aparatur negara yang berintegritas dan beretika merupakan salah


satu syarat bagi terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik, bersih
dan bebas KKN. Di negara negara luar penguatan integritas dan etika
pejabat publik merupakan salah satu metode yang sangat efektif untuk
membangun sikap dan kesadaran dalam memberantas atau setidak-
tidaknya mengurangi korupsi secara efektif. Lebih jauh lagi adanya
integritas dan etika tersebut dapat memberikan dukungan bagi
terwujudnya good governance. Dengan demikian, maka penguatan
integritas dan etika merupakan suatu keharusan agar upaya pemberantasan
korupsi dapat berjalan baik.

1.1.2 Pemantapan dan Percepatan Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi adalah bentuk dari upaya untuk menata ulang


birokrasi pemerintahan agar mampu memberikan pelayanan prima kepada

38
masyarakat. Reformasi birokrasi awalnya mencakup 3 (tiga) aspek pokok
yaitu : Kelembagaan (organisasi); Ketatalaksanaan (business process); dan
sumber daya manusia (aparatur).

a. Aspek Kelembagaan Reformasi di bidang kelembagaan


diperlukan untuk menata ulang struktur organisasi agar
terbentuk organisasi yang tepat fungsi dan ukuran (right sizing)
sehingga tercipta organisasi modern yang mampu mendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi secara efektif, efisien, transparan,
dan akuntabel serta lebih mengutamakan pelayanan kepada
masyarakat.

b. Aspek Ketatalaksanaan Reformasi di bidang tata laksana


diperlukan agar dalam setiap pelaksanaan tugas dan fungsi,
baik yang sifatnya teknis yuridis maupun administratif
mempunyai panduan yang jelas sehingga hasil-hasilnya dapat
terukur dengan jelas. Reformasi ketatalaksanaan dilakukan
dengan membangun sistem, proses, dan prosedur kerja (SOP)
yang jelas, tertib, tidak tumpang tindih, sesuai dengan prinsip
good governance.

c. Aspek Sumber Daya Manusia (SDM) Reformasi di bidang


SDM, meliputi 3 (tiga) hal yaitu : perubahan pola pikir
(mindset), perubahan budaya kerja (culture set), dan perubahan
tata laku (behavior).

1) Perubahan pola pikir (mindset) Perubahan pola pikir


harus dilakukan oleh semua aparatur negara mulai dari
pimpinan paling atas sampai pegawai paling bawah.
Pola pikir sebagai penguasa yang cenderung ingin
dilayani harus diubah menjadi pelayanan masyarakat,
karena pada dasarnya aparatur negara merupakan abdi
masyarakat sehingga harus mengutamakan pelayanan
kepada masyarakat. Dengan adanya perubahan pola

39
pikir diharapkan aparatur negara memiliki sense of
belonging, sense of responsibility, dan sense of crisis
dalam setiap melaksanakan tugas pokok, fungsi, dan
kewenangannya.

2) Perubahan budaya kerja (culture set) Perubahan budaya


kerja (culture set) sangat erat kaitannya dengan rasa
tanggung jawab (sense of responsibility) terutama
dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, khususnya dalam
hal waktu, anggaran, peralatan dan lain sebagainya.
Aparatur negara diharapkan menambah wawasan dan
meningkatkan kapabilitas profesionalnya dengan tidak
menunda-nunda pekerjaan dan berusaha sekuat tenaga
untuk menyelesaikan pekerjaan dengan tepat waktu dan
penggunaan anggaran sehemat mungkin

3) Perubahan tata laku (behavior) Sebagai abdi


negara/masyarakat, setiap aparatur negara harus
memiliki perilaku terpuji, terutama pada saat
menjalankan tugas dan fungsinya. Aparatur negara
harus mampu memberi teladan kepada masyarakat,
terutama dalam hal ketaatan dan kepatuhan terhadap
norma-norma hukum yang berlaku. Jangan sampai
aparatur negara justru melakukan pelanggaran hukum.

Adapun percepatan reformasi birokrasi meliputi 9 (sembilan)


program dimulai dari penataan struktur birokrasi, seleksi penerimaan
CPNS, pelayanan publik sampai dengan efisiensi penggunaan fasilitas,
sarana dan prasarana kerja pegawai negeri. Melalui reformasi birokrasi
diharapkan dapat dibangun profil dan perilaku aparatur yang berintegritas
tinggi, berproduktivitas tinggi, dan bertanggung jawab, serta
mengutamakan pelayanan masyarakat guna mewujudkan birokrasi yang
bersih, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.

40
1.1.3 Pembangunan Budaya Anti Korupsi Masyarakat

Upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih,


dan bebas KKN pada hakikatnya tidak bisa hanya dilakukan oleh aparatur
negara atau instansi pemerintah. Sebab pada hakikatnya stakeholder
kepemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN itu ada 3 (tiga), yaitu :
negara, sektor swasta, dan masyarakat. Negara atau pemerintah, konsepsi
pemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh
dari melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat; sektor
swasta, pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif
dalam interaksi dalam sistem pasar, seperti : industri pengolahan
perdagangan, perbankan, dan koperasi, termasuk kegiatan sektor informal;
dan masyarakat, dalam konteks kenegaraan, kelompok masyarakat pada
dasarnya berada ditengah-tengah atau di antara pemerintah dan
perorangan, yang mencakup baik perorangan maupun kelompok
masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi.

Dengan demikian, maka sikap dan mental masyarakat terhadap


praktik KKN dalam penyelenggaraan negara juga sangat menentukan
upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas
KKN. Selama ini tata nilai masyarakat hanya menghargai seseorang dari
aspek materi semata, sehingga sikap masyarakat banyak mengabaikan
perilaku koruptif. Apalagi bila hasil korupsi tersebut sebagian
disumbangkan ke masyarakat untuk kegiatan sosial maupun keagamaan.
Seolah-olah hal ini telah menghapuskan dosa-dosa para pelaku korupsi.
Oleh karena itulah, maka perlu meluruskan tata nilai masyarakat seperti ini
karena cenderung mendorong terjadinya praktik korupsi.

Upaya meluruskan tata nilai di masyarakat tersebut dapat


dilakukan melalui penyuluhan hukum, pendidikan anti korupsi yang sudah
dimulai sejak dini di bangku sekolah, pembentukan komunitas masyarakat
anti korupsi, keteladanan, dan kampanye anti korupsi yang dilakukan

41
dalam pelbagai media terutama media massa. Dengan gerakan kampanye
anti korupsi yang masif serta penanaman nilai nilai anti korupsi sejak dini,
diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat betapa
berbahayanya korupsi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu
bagi pelaku harus menyadari bahwa keuntungan yang diperoleh dari
korupsi tidak sebanding dengan penderitaan yang akan diterimanya
(menyesal sampai tujuh keturunan). Dengan tumbuhnya kesadaran seperti
itu, diharapkan mampu membentuk sikap dan mental masyarakat yang anti
korupsi. Kondisi demikian idealnya diperkuat dengan pemahaman dan
pengamalan nilai-nilai kebangsaan, Pancasila, dan nasionalisme Indonesia.

1.1.4 Penegakan Hukum yang Tegas, Konsisten, dan Terpadu

Penegakan hukum yang konsisten dan terpadu sangat penting bagi


terwujudnya pilar-pilar keadilan dan kepastian hukum. Pilar-pilar keadilan
dan kepastian hukum merupakan pondasi utama berjalannya proses
demokratisasi. Demokratisasi merupakan salah satu prinsip dari tata kelola
pemerintahan yang baik, sebab demokratisasi membuka ruang bagi
masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara.
Selain itu, kepastian hukum juga sangat diperlukan bagi kalangan usaha
dalam berinvestasi dalam suatu negara. Sebab tanpa adanya kepastian
hukum, maka resiko berusaha tidak dapat diprediksi sehingga dapat
menurunkan iklim investasi. Kecilnya angka investasi akan memperkecil
lapangan kerja baru bagi masyarakat, sehingga akan terjadi banyak
pengangguran yang berpotensi menimbulkan ancaman dan gangguan bagi
keamanan.

Selanjutnya, penegakan hukum yang konsisten dan terpadu juga


akan membawa kemanfaatan bagi masyarakat yaitu timbulnya efek jera,
sehingga dapat mencegah seseorang yang hendak melakukan korupsi.
Manfaat lainnya ialah tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap upaya
penegakan hukum dan aparatur penegak hukum, sehingga dukungan
masyarakat terhadap lembaga penegak hukum akan menguat. Sebaliknya

42
bila terjadi inkonsistensi dan ketidakterpaduan dalam penegakan hukum,
masyarakat akan menilai bahwa dalam proses penegakan hukum terjadi
tarik menarik kepentingan, sehingga kepercayaan kepada penegak hukum
akan melemah. Dampak buruknya, hal ini melemahkan budaya hukum dan
kepatuhan terhadap hukum oleh masyarakat.

Dengan demikian tidak seharusnya pemberantasan tindak pidana


korupsi hanya ditumpukan pada satu lembaga saja. Bahkan para penegak
hukum sadar akan pentingnya keterpaduan dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi dengan dituangkannya suatu kesepakatan bersama antara
Kejaksaan RI, Polri, dan KPK Nomor : KEP-049/A/JA/03/2012,
B/23/III/2012, Nomor : SPJ-39/01/03/2012, tanggal 29 Maret 2012.
Adapun ruang lingkup kesepakatan bersama tersebut meliputi :

a. Pencegahan tindak pidana korupsi;

b. Penanganan perkara tindak pidana korupsi;

c. Pengembalian kerugian negara perkara tindak pidana korupsi;

d. Perlindungan hukum bagi pelapor dan saksi pelaku yang


bekerjasama (whistleblower atau justice collaborator) dalam
pengungkapan tindak pidana korupsi;

e. Bantuan personil dalam penanganan perkara tindak pidana


korupsi;

f. Pendidikan/pelatihan bersama dalam penanganan perkara


tindak pidana korupsi;

g. Jumpa pers dalam rangka penanganan perkara tindak pidana


korupsi.

2.6 Studi Kasus: Korupsi Dana Bansos Covid-19


Kasus korupsi sangat melenceng dari arti yang sesungguhnya dari
keutamaan tanggung jawab. Kasus korupsi bansos corona yang melibatkan

43
menteri sosial menjadi salah satu contoh dari penyimpangan karakter
tanggung jawab. Seringkali para pejabat pemerintahan lalai akan tanggung
jawabnya sebagai pengayom masyarakat dan melakukan penyimpangan
perlakuan.

Tindak pidana korupsi yang dilakukan pejabat pemerintahan


sebaiknya ditindak lanjuti secara mendalam dan diberi hukuman yang
setimpal atas tindakannya, agar kasus korupsi di negara kita Indonesia ini
berkurang dan tidak merugikan masyarakat. Berdasarkan kasus korupsi
bansos corona yang melibatkan menteri sosial, kita bisa mengetahui betapa
pentingnya keutamaan karakter tanggung jawab dalam menjalankan amanah
sebagai pejabat pemerintahan dan tidak berlaku semena-mena akan jabatan
yang dimilikinya.

Sebagai pejabat pemerintahan, mereka sudah seharusnya mengerti


akan tanggung jawabnya kepada masyarakat apalagi di masa pandemi yang
membuat sebagian besar masyarakat Indonesia mengalami penurunan
pendapatan, terdampak phk, ataupun dalam beberapa waktu masyarakat
tidak bisa bekerja seperti biasanya. Dengan pejabat pemerintahan
melakukan korupsi bisa menjadikan masyarakat tidak percaya lagi kepada
kinerja pemerintahan. Masyarakat pasti menganggap bahwa pejabat
pemerintahan hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memperdulikan
masyarakatnya.

KPK menyelidiki bahwa ada penyalahgunaan anggaran penanganan


Covid-19 di wilayah Jabodetabek Tahun 2020. Kasus tersebut menyeret
nama Menteri Sosial RI nonaktif sekaligus politikus PDI Perjuangan
(PDIP), Juliari Peter Batubara. Ia disinyalir menerima total Rp17 milyar dari
dua paket pelaksanaan bansos berupa sembako untuk penanganan Covid-19
di wilayah Jabodetabek Tahun 2020. Jumlah itu diduga merupakan
akumulasi dari penerimaan fee Rp10 ribu per paket sembako. Pengadaan
bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial
RI Tahun 2020 sendiri memiliki nilai sekitar Rp5,9 triliun, dengan total 272
kontrak dan dilaksanakan dua periode. Pemangkasan dana bansos untuk

44
penanganan Covid-19 di wilayah Jabodetabek Tahun 2020 disinyalir sudah
dirancang sejak awal. Berdasarkan informasi yang dihimpun, dari biaya
Rp300.000 yang dikeluarkan per paket sembako, terdapat margin sebesar
Rp70.000 yang akan dibagikan untuk sejumlah pihak yakni pemilik kuota
40 persen, kreator 10 persen dan supplier 50 persen.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Mensos Juliari P.B.


disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1
KUHP.

Sedangkan pihak terkait Matheus Djoko Santoso dan Adi Wahyono


disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11
dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Adapun Ardian dan Harry disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1)


huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 4 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sidang penanganan kasus korupsi masih berjalan hingga saat ini


dengan bukti-bukti yang jelas dilakukan oleh terdakwa, penyelidikan juga
dilakukan dengan memperluas kemana saja aliran dana bansos yang di
korupsi sehingga dapat mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terkait
korupsi bansos Covid-19.

45
3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Korupsi dapat diartikan sebagai suatu bentuk penyimpangan


ketidakjujuran berupa pemberian sogokan, upeti, terjadinya kelalaian
kepentingan dan pemborosan yang akan memberikan keuntungan
kepada pelakunya dan merugikan pihak lain.
2. Korupsi bisa dikatakan sebagai suatu kejahatan luar biasa, karena
tindakan pencurian aset negara ini akan berdampak pada segala hal
dalam sebuah negara yang berakibat pada perlambatan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, serta dampak-dampak
sosial, politik dan budaya.
3. Tindakan korupsi sangatlah tidak bermartabat serta tidak
bertanggung jawab, karena itulah pemberantasan dan pencegahan
korupsi haruslah menjadi salah satu prioritas utama bangsa indonesia
saat ini demi kemajuan dan kemakmuran bangsa.

3.2 Saran
Korupsi merupakan permasalahan yang harus di berantas oleh semua
pihak dan dilakukan dengan cara yang lebih komprehensif dan preventif
sejak dini. Hal ini ditujukan karena tindak pidana korupsi di Indonesia bisa
dianggap sudah mengakar, membudaya serta sudah menjadi jalan pikir dan
mental. Dalam rangka pemberantasan korupsi yang sudah merajalela, paling
tidak ada beberapa usaha yang harus segera dilakukan, yaitu
memaksimalkan hukuman, penegakkan supremasi hukum, perubahan dan
perbaikan sistem yang ada dan revolusi kebudayaan baik pola pikir dan
mental.

46
DAFTAR PUSTAKA

Azhar, Muhammad. (Et.al). 2003. Pendidikan Antikorupsi, Yogyakarta: LP3


UMY, Partnership, Koalisis Antarumat Beragama untuk Antikorupsi

BBC. 2020. Mensos Juliari Batubara jadi tersangka korupsi bansos Covid-19,
ancaman hukuman mati bakal menanti?. https://www.bbc.com/indonesia
/indonesia-55204360. (Diakses pada 13 Mret 2021).

Carey, P. B. R., Haryadi, S. (2016). Korupsi dalam silang sejarah Indonesia:


Daendels (1808-1811) sampai era reformasi. Indonesia: Komunitas Bambu.

Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (Edisi Revisi).


Jakarta: Rajagrafindo Persada.

CNN. 2020. Deretan Kasus Korupsi Rugikan Negara di Atas Rp100 Miliar.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200804082317-12-531840/deretan
-kasus-korupsi-rugikan-negara-di-atas-rp100-miliar (diakses pada 13 Maret
2021).

Jahja, J. S. (2012). Say No to Korupsi. Jakarta: Visimedia.

Jurnal “PERBANDINGAN PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI


NEGARA SINGAPURA DAN INDONESIA”. (Diakses pada 13 Maret
2021). https://jurnal.uns.ac.id/recidive/article/viewFile/32712/21642.

Kompas. 2019. Korupsi: Pengertian, Penyebab dan Dampaknya.


https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/11/185540869/korupsi-
pengertian-penyebab-dan-dampaknya?page=all. (Diakses pada 13 Maret
2021).

Pusat Edukasi Antikorupsi (aclc.kpk.go.id)

Setiadi, Wicipto. 2018. Penyebab, Bahaya, Hambatan dan Upaya


Pemberantasan, Serta Regulasi. Fakultas Hukum Universitas Pembangunan
Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta Jalan RS. Fatmawati N0. 1 Pondok Labu,
Jakarta Selatan 12450.

47
Simandjuntak, Marcella Elwina, 2011, Upaya Pemberantasan Korupsi, dalam
Nanang T. Puspito, Marcella Elwina S., Indah Sri Utari, Yusuf Kurniadi,
Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Kemendikbud.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang


Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak


Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Waluyo, Bambang. 2014. Optimalisasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia.


Jurnal Yuridis Vo. 1 No. 2. https://media.neliti.com/media/publications/
282159-optimalisasi-pemberantasan-korupsi-di-in-6faf3218.pdf. (Diakses
pada 14 Maret 2021)

48

Anda mungkin juga menyukai