Anda di halaman 1dari 157

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

BOOK CHAPTER

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Anti
Korupsi

Dosen Pengampu:
Prof. Dr.Cecep Darmawan, S.Pd., S.I.P., S.H., M.H., M.Si.
Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H.
Kanigara Hawari, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Natalia Deandra NIM 1703418
Nirwan Iskandar NIM 1705302
Pinta NIM 1705158
Pipid Mupidin NIM 1705841
Putri Robyyatul A. NIM 1701267
Ramadan Ramala NIM 1703670
Ria Aulia Markum NIM 1701214

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan pembuatan book chapter
mengenai “Pendidikan Anti Korupsi”. Adapun maksud penulisan book chapter ini
adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen Prof.
Dr.Cecep Darmawan, S.Pd., S.I.P., S.H., M.H., M.Si., Dwi Iman Muthaqin, S.H.,
M.H., dan Kanigara Hawari, S.H., M.H. serta teman-teman, dan semua pihak
yang telah membantu kelancaran dalam proses penulisan book chapter ini. Kami
berharap semoga semua kebaikan yang telah diberikan mendapat imbalan dari
Allah SWT.
Dalam penulisan book chapter ini penyusun menyadari masih terdapat
kekurangan, baik dari segi isi, materi, maupun bahasa yang digunakan. Hal ini
disebabkan karena terbatasnya pengalaman serta pengetahuan penulis. Oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat, penyusun harapkan
untuk perbaikan pada penulisan-penulisan makalah di masa yang akan datang.

Bandung, Januari 2021

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................2
BAB II...................................................................................................................24
BAB III..................................................................................................................29
BAB IV..................................................................................................................40
BAB V....................................................................................................................60
BAB VI..................................................................................................................82
BAB VII..............................................................................................................102
BAB VIII.............................................................................................................120
LAMPIRAN SOAL............................................................................................139

ii
BAB I
TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM KONSEP HUKUM PIDANA
(Natalia Deandra)
NIM 1703418

1
BAB I
TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KONSEP HUKUM PIDANA

A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI


Tindak pidana korupsi secara harfiah berasal dari kata Tindak Pidana dan
Korupsi. Sedangkan secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi
terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2 sampai
dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK. 1

Rumusan-rumusan yang terkait dengan pengertian tindak korupsi tersebut tentu


saja akan memberi banyak masukan dalam perumusan UU PTPK, sehingga sanksi
hukuman yang diancamkan dan ditetapkan dapat membantu memperlancar upaya
penanggulangan Tindak Pidana Korupsi.

Beberapa tipe tindak pidana korupsi yang lainnya, antara lain:ga

a) Tindak Pidana Korupsi Tipe Pertama


Tindak pidana korupsi tipe pertama terdapat dalam Pasal 2 UU PTPK
yang menyebutkan bahwa:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit
dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
b) Tindak Pidana Korupsi Tipe Kedua
Korupsi tipe kedua diatur dalam ketentuan pasal 3 UU PTPK yang
menyebutkan bahwa:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
1
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik.
Alumni. Bandung 2008. hlm 186

2
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh
juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
c) Tindak Pidana Korupsi Tipe Ketiga
Korupsi tipe ketiga terdapat dalam ketentuan pasal 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12,
12A, 12B, 12C dan 13 UU PTPK, berasal dari pasal-pasal KUHP yang
kemudian sedikit dilakukan modifikasi perumusan ketika ditarik menjadi
tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
dengan menghilangkan redaksional kata “Sebagaimana dimaksud dalam
pasalpasal….KUHP” seperti formulasi dalam ketentuan Undang-Undang
nomor 31 tahun 1999. Apabila dikelompokkan, korupsi tipe ketiga dapat
dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Penarikan perbuatan yang bersifat penyuapan, yakni pasal 209,
210, 418, 419, dan Pasal 420 KUHP
2. Penarikan perbuatan yang bersifat penggelapan, yakni pasal 415,
416, dan pasal 417 KUHP.
3. Penarikan perbuatan yang bersifat kerakusan (knevelarij,
extortion), yakni pasal 423, dan 425 KUHP.
4. Penarikan perbuatan yang berkolerasi dengan pemborongan,
leverensir dan rekanan, yakni
5. pasal 387, 388, dan 435 KUHP.
d) Tindak Pidana Korupsi Tipe Keempat
Korupsi tipe keempat adalah tipe korupsi percobaan, pembantuan atau
permufakatan jahat serta pemberian kesempatan sarana atau keterangan
terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang diluar wilayah
Indonesia (Pasal 15 dan Pasal 16 UU PTPK). Konkritnya, perbuatan
percobaan/poging sudah diintrodusir sebagai tindak pidana korupsi oleh
karena perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi sehingga percobaan

3
melakukan tindak pidana korupsi dijadikan delik tersendiri dan dianggap
selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana
korupsi itu, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi
meskipun masih merupakan tindak persiapan sudah dapat dipidana penuh
sebagai suatu tindak pidana tersendiri.
e) Tindak Pidana Korupsi Tipe Kelima
Korupsi tipe kelima ini sebenarnya bukanlah bersifat murni tindak pidana
korupsi, tetapi tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi sebagaimana diatur dalam Bab III Pasal 21 sampai dengan Pasal
24 UU PTPK.
Apabila dijabarkan, hal-hal tersebut adalah:
1) Dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara
langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi
dalam perkara korupsi.
2) Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35,
atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau
memberi keterangan yang tidak benar.
3) Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau
Pasal 430 KUHP.

Ketentuan mengenai sanksi pidana yang diatur dalam Bab III Pasal 21- 24
UU PTPK tersebut berturut-turut dari poin (a) sampai (d) adalah sebagai
berikut:
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp

4
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
3) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
4) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
atau denda paling banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh
juta rupiah).

Pengertian Tindak Pidana Korupsi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31


Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, yaitu:2

a) Tindak pidana korupsi yaitu bahwa setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negaraatau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
ataupidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahundan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyakPp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)(Pasal
2 ayat (1)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
b) Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana ….”.

Ketentuan lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yaitu:

2
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

5
a. Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam KUHP yang ditarik
sebagai tindak pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal
dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsurunsur yang terdapat
dalam masing-masing Pasal KUHP.
b. Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).

B. PERKEMBANGAN PERATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI


INDONESIA
Perkembangan pengaturan perundang-undangan pidana dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan
dariperkembangan dan proses pembaruan hukum pidana pada umumnya.
Pembaharuan hukum pidana itu sendiri erat kaitannya dengan sejarah
perkembangan bangsa Indonesia, terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai
pada era pembangunan dan era reformasi seperti sekarang ini.
Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa latar belakang dan urgensi dilakukannya
hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiopilosofik, maupun dari
aspek sosiokultural.3 Disamping itu dapat pula ditinjau dari aspek kebijakan, baik
kebijakan sosial (social policy), kebijakan kriminal (criminalpolicy) maupun dari
aspek kebijakan penegakan hukum pidana (criminal lawenforcement)
Dasar Hukum dalam Penerapan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut:

1) TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintah


yang Bersih dan Bebas KKN
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (TPPU)

3
Barda Nawari, Bunga Rampai Hukum Pidana, 2010

6
3) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi
4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi UNCLC 2003
5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Korupsi
6) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Tindak Pidana Korupsi
7) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemerintahan yang Bersih
dari KKN
8) Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi tahun 2014
9) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi tahun 2013
10) Instruksi Presiden Nomor 56 Tahun 2012 Strategi Nasional Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2012 – 2025
11) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi tahun 2012
12) Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi
13) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Peran Aktif
Masyarakat.

7
C. KERANGKA HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

Alinea 4 Pembukaan
UU KPK UU Ketetapan MPR No.
Undang-Undang Dasar 1945
No 30 XI/MPR/1998
Tahun 2002
Ketetapan MPR No. VII/MPR2001

1. Undang-undang
Nomor 5/1999
UU No. 28 ttg Larangan
UU Tipikor
Tahun 1999 praktik
UU No. 31
Penyelenggar TIPIKOR Monopoli dan
Tahun 1999
aan Negara yg Persaingan
joUU No. 20
Bersih & Usaha
Tahun 2001
Bebas dr KKN 2. Undang-undang
Nomor 14/2008
ttg Keterbukaan
1. KUHP Informasi Publik
2. Undang- 3. Undang-undang
undang Nomor 37/2008
UU No. 7 ttg Ombudsman
Nomor
2006 4. Undang-undang
8/1981 ttg
Ratifikasi Nomor 30
KUHP
UNCAC Tahun 2014 ttg
3. Undang-
undang No. Administrasi
13/2006 Pemerintahan
ttg
Perlindung
an saksi &
Korban
4. Undang-
undang No.
46/2009
1. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2014 Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
5. Undang-
Korupsi tahun 2014
undang No.
2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
8/2010 ttg
Korupsi tahun 2013
Pencurian
3. Instruksi Presiden Nomor 56 Tahun 2012 Strategi Nasional Pencegahan dan
Uang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2012 – 2025;
4. Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi tahun 2012 5. Instruksi Presiden Nomor 5 TAHUN 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi 6. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang
Peran Aktif Masyarakat.

8
D. ASAS-ASAS HUKUM DALAM TINDAKAN KASUS KORUPSI
Secara Hukum Asas legalitas terdapat di pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada
suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perUndang-Undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” Dalam
bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat
diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering juga dipakaiistilah
Latin: ”Nullum crimen sine lege stricta, yang dapat diartikan dengan: ”Tidak ada
delik tanpa ketentuan yang tegas”. Hal ini sejalan dengan tindak pidana korupsi
maupun tindak pidana lainnya tentu harus tercipta terlebih dahulu regulasi yang
melegalkan atau tidak melegalkan suatu perbuatan sehingga jelas perbuatan
tersebut termasuk dalam tindak pidana atau bukan.

Asas-asas tindak pidana korupsi lain yang terdapat dalam Undang-Undang


TPPU nomor 8 tahun 2010 sebagai berikut:4

1. Asas Presumption of guilty atau praduga bersalah (Pasal 35), yaitu jika
terdakwa tidak dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya, maka
terdakwa dapat dipersalahkan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Pasal 68 : Asas Lex Specialis, yaitu Undang-Undang TPPU ini merupakan
Undang-Undang khusus yang mengatur tentang pencucian uang yang
mepunyai peraturan tersendiri baik penyidikan, penuntutan, pemeriksaan
serta pelaksanaan putusan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam perundangundangan
ini.
3. Asas Pembuktian Terbalik (Pasal 77 dan 78 ayat (1) dan (2)), yaitu
terdakwa harus membuktikan asal usul dana atau harta kekayaan yang
dimiliki untuk membuktikan kehalalan hartanya tersebut, tetapi melalui
penetapan hakim.

Jadi yang wajib membuktikan kebenaran asal usul dana tersebut bukan
Jaksa Penuntut Umum tetapi terdakwa sendiri, hal ini dilakukan untuk
mempermudah proses persidangan dan dikhawatirkan apabila JPU yang
4
Undang-undang TPPU Nomor 8 Tahun 2010

9
membuktikan dakwaan, alat bukti dihilangkan atau dirusak oleh terdakwa.
Caranya dengan melalui penetapan hakim atau permintaan dari pihak jaksa
kepada hakim untuk melaksanakan metode tersebut. Di pasal 78 mekanismenya
adalah hakim yang memerintahkan terdakwa untuk membuktikan itu. Penerapan
pembuktian terbalik ini tidak bisa diterapkan dalam kasuskorupsi murni,
Melainkan pada kasus korupsi yang memiliki unsur pidana pencucian uang. Jadi
ini terkait dengan masalah tindak pidana pencucian uang.Kalau semata-mata
hanyamasalah korupsi, kita tidak bisa menerapkan metode pembuktian terbalik,
kita baru bisa menerapkan pembuktian terbalik apabila dakwaan nya adalah
pencucian uang. 4. Asas in Absentia (Pasal 79 ayat (1)), yaitu pemeriksaan dan
penjatuhan putusan oleh tanpa kehadiran terdakwa, jadi tidak ada penundaan
sidang meskipun tidak dihadiri terdakwa tetapi proses hukum atau persidangan
tetap berlanjut.

E. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI

Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun


permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis,
tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan
pembuktian perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui
dari doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yang memberikan
penafsiran terhadap rumusan Undang-Undang yang semula tidak jelas atau terjadi
perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan
penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan
hukum.

1) Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian Keuangan


Negara
Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang
terdapat dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagai berikut:
 Pasal 2 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

10
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit
dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
 Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar
rupiah.
Firman Wijaya menguraikan unsur-unsur delik korupsi yang terdapat dalam
pasal 2 UU PTPK tersebut sebagai berikut:5
1. Setiap orang;
2. Secara melawan hukum;
3. Perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Sementara itu, dalam pasal 3 UU PTPK tersebut unsur-unsur deliknya adalah


sebagai berikut:

1. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi;
2. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan;
3. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penjelasan lebih lanjut unsur-unsur tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Penjelasan Pasal 2 UU PTPK


a. Setiap orang Pengertian setiap orang selaku subjek hukum pidana dalam
tindak pidana korupsi ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 1 butir 3 UU
PTPK, yaitu merupakanorang perseorangan atau termasuk korporasi.
5
Firman wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta, 2008

11
Berdasarkan pengertian tersebut,maka pelaku tindak pidana korupsi
dapat disimpulkan menjadi orang perseorangan selaku manusia pribadi
dan korporasi. Korporasi yang dimaksudkan disini adalah kumpulan
orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik badan hukum maupun
bukan badan hukum (Pasal 1 butir (1) UU PTPK).
b. Secara melawan hukum Sampai saat ini masih ditemukan adanya
perbedaan pendapat mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam kajian
hukum pidana. Perbedaan pendapat tersebut telah melahirkan adanya dua
pengertian tentang ajaran sifat melawan hukum, yaitu sifat melawan
hukum dalam pengertian formil (formielewederrechtelijkheid) dan
melawan hukum dalam pengertian materil
("materielewederrechtelijkheid). Suatu perbuatan dikatakan melawan
hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan
ketentuan Undang-Undang (hukum tertulis). Berdasarkan pengertian ini,
maka suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah
dipenuhi semua unsur yang disebut di dalam rumusan delik. Dengan
demikian, jika semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu
lagi diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat dirasakan
sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Parameter untuk
mengatakan suatu perbuatan telah melawan hukum secara materil, bukan
didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang-
undangan, melainkan ditinjau dari rasa kepantasan di dalam masyarakat.
Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam
mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam
rumusanUndang-Undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana.
Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang
dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak
menjadi tindak pidana.
c. Unsur Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Secara harfiah, "memperkaya" artinya menjadikan bertambah kaya.
Sedangkan "kaya" artinya "mempunyai banyak harta (uang dan
sebagainya)”, ”demikian juga dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia

12
buah tangan Poerwadarminta." Dapat disimpulkan bahwa memperkaya
berarti menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang
yang sudah kaya menjadi bertambah kaya. Berdasarkan UNDANG-
UNDANG TIPIKOR terdahulu, yaitu dalam penjelasan UU PTPK 1971,
yang dimaksud dengan unsur memperkaya dalam Pasal 1 ayat (1) sub (a)
adalah "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan"
dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (2) yang
memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan
tentang sumber kekayaan sedemikian rupa sehingga kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa telah
melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 37 ayat (4) UU PTPK 1999).
Berdasarkan uraian di atas, maka penafsiran istilah "memperkaya" antara
yang harfiah dan yang dari pembuat Undang-Undang hampir sama
karena kedua penafsiran di atas menunjukkan perubahan kekayaan
seseorang atau pertambahan kekayaannya, diukur dari penghasilan yang
telah diperolehnya.
d. Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pada penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan
bahwa kata "dapat" sebelum frasa "merugikan keuangan atau
perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil. Dengan demikian adanya tindak pidana korupsi
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Pengertian keuangan negara
sebagaimana dalam rumusan delik Tindak Pidana Korupsi di atas, adalah
seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapunyang dipisahkan atau tidak
dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena:

13
 Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
pejabat Lembaga Negara, baik di tingkat pusat, maupun di
daerah;
 Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan
modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara
mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik
ditingkat pusat, maupun di daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada
seluruh kehidupan rakyat.
e. Penjelasan Pasal 3 UU PTPK Perbuatan Menyalahgunakan Kewenangan
karena jabatan atau Kedudukan Sejak Peraturan Penguasa Militer tahun
1957 hingga sekarang yang dimasukkan dalam bagian inti delik
(bestanddeel delict) dalam tindak pidana korupsi adalah penyalahgunaan
wewenang. Akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan tidak ada
memberikan penjelasan yang memadai mengenai penyalahgunaan
wewenang, sehingga membawa impikasi interpretasi yang beragam.
Berbeda dengan penjelasan mengenai “melawan
hukum”(wederrechtelijkheid) yang dirasakan cukup memadai walaupun
dalampenerapannya masih debatable.

F. KORUPSI DALAM KONSEP HUKUM FORMAL


Undang-undang dalam arti formil, ialah keputusan pemerintah yang
memperoleh nama undang-undang karena bentuknya, dalam mana ia timbul. 6
Artinya bahwa hukum formil adalah hukum yang ditetapkan untuk
mempertahankan atau melaksanakan hukum materiil. Hukum dalam arti formal

6
Lihat Van Apeldoorn dalam O. Sadino, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Kedua Puluh Dua,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 92.

14
ini disebut juga hukum acara. Mengingat bahwa tindak pidana korupsi sudah
merupakan extra ordinary crime sehingga penanggulangannya pun diperlukan
cara-cara yang luar biasa, sehingga dengan hanya mengandalkan hukum acara
pidana (KUHAP) maka penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi tidak akan
efektif. Oleh karena itu, dalam perundang-undangan tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, juga diatur tentang beberapa ketentuan acara yang
diperlukan untuk lebih efektifnya penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beberapa ketentuan tentang
acara pidana terhadap tindak pidana korupsi yaitu antara lain:
1) Pembuktian terbalik dalam proses peradilan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas,
pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain dengan
cara penerapan "sistem pembuktian terbalik" yakni pembuktian yang dibebankan
kepada terdakwa. Artinya terdakwa sudah dianggap telah melakukan tindak
pidana korupsi kecuali yang bersangkutan mampu membuktikan sebaliknya. 7
Dalam hal setiap PNS, pegawai BUMN/D atau penyelenggara negara yang
berdasarkan bukti permulaan mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib membuktikan sahnya kekayaan
yang diperolehnya. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
Pasal 37 A dan 38 B. Namun demikian sebagai konsekuensi dari sistem
pembuktian terbalik tersebut, kepada terdakwa juga diberikan hak untuk
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, sehingga dengan
demikian tercipta suatu keseimbangan atas pelanggaran asas praduga tak bersalah
dan menyalahkan diri sendiri dengan perlindungan hukum yang wajib diberikan
kepada tiap orang. Peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan KKN
dan bisnis meskipun instrumen hukum telah cukup lengkap, namun dalam
penerapan hukum secara struktural dan praktikal tetap menjadi peluang dan
kendala
terjadinya bentuk kejahatan dimensi baru. Kasus-kasus KKN dalam praktik bisnis,
yang terjadi selama ini hampir tidak dapat terdeteksi dan diselesaikan secara
7
M. Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun
1999), Cetakan 1, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 102.

15
yuridis. Peran politik hukum pidana dalam pembetukan peraturan perundang-
undangan baru yang memenuhi kebutuhan perkembangan KKN sangat
menentukan. Pasal-pasal hukum dalam KKN dan hukum bisnis masih terjadi
kamuflase yang dikemas sedemikian rupa sehingga dalam penerapannya terjadi
kelemahan bahkan KKN dalam praktik bisnis semakin meningkat dan kronis
endemis.
2) Perluasan alat bukti.
Perluasan alat bukti ini dimaksudkan untuk mendukung sistem pembuktian
terbalik. Dalam UU No. 20 Tahun 2001 menetapkan perluasan mengenai
perolehan alat bukti yang berupa petunjuk. Menurut paragraf empat penjelasan
umum UU No. 20 Tahun 2001 bahwa perluasan mengenai sumber perolehan alat
bukti berupa petunjuk selain yang diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan
keterangan terdakwa (sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2) UU No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP), juga menurut Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001
diperoleh dari alat bukti lain yang berupa: (1). Alat bukti yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu, (2). Dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda
fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi
yang memiliki makna.

G. Korupsi dalam Konsep Hukum Materiil


Undang-undang dalam arti materiil menurut Van Apeldorn yang diterjemahkan
oleh Sadino8 adalah bahwa:
"Undang-undang dalam arti materiil ialah sesuatu keputusan pemerintah, yang
mengingat isinya disebut undang-undang, yaitu tiap-tiap keputusan pemerintah,
yang menetapkan peraturan-peraturan yang mengikat secara umum (dengan
perkataan lain, peraturan-peraturan objektif)".
Perbuatan korupsi sebagai konsep hukum materiil berarti perbuatan yang diatur
dalam perundang-undangan tentang korupsi itu sendiri atau perbuatan yang
8
Van Apeldoron dalam O. Sadino, Op-Cit, hlm. 92.

16
dirumuskan dalam suatu undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah yang
isinya tetang perbuatan yang disebut dengan korupsi. ada suatu kepentingan yang
ingin dilindungi oleh pembuat undang-undangsehingga larangan terhadap
perbuatan korupsi dirumuskan dalam perundangundangan tersebut. Barang siapa
yang menyalahi ketentuan dari makna yang dirumuskan dalam perundang-
undangan itu berarti telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sifat melawan
hukum materil menurut Schaffmeiter et, al, yang diterjemahkan oleh Sahetapy
adalah :
Bahwa melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Artinya
bahwa perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa
keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana. (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang 31 ta11uu1 1999). Sifat
melawan hukum formal berarti: "semua bagian yang tertulis dari rumusan delik
telah dipenuhi (jadi semua syarat tertulis untuk dapat dipidana).9
Undang-undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Perubahan Undang-undang Nomar
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari segi
materiil muatannya membawa perubahan yang cukup substansial, sehingga secara
filosofis, sosiologis, dan yuridis diharapkan mampu memberikan daya berlaku
yang kuat, dalam upaya mewujudkan penegakan supremasi hukum berdasarkan
keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Pokok-pokok perubahan di antaranya
adalah: penyebutan secara langsung unsur-unsur yang terdapat dalam masing-
masing Pasal KUHP yang diacu, penghapusan ketentuan minimum denda dan
pidana penjara, pengaturan mengenai gratifikasi dan pengecualiannya, perluasan
alat bukti, pembuktian terbalik, hak negara melakukan gugatan perdata dan
penegasan terhadap pemberlakuan undang-undang korupsi sebelumnya. Dalam
perundang-undangan korupsi telah mengatur tentang upaya perlindungan keadilan
sosial 10
ekonomi bagi masyarakat. Dalam Pasal 38 C UU No. 20 Tahun 2002
ditentukan bahwa negara diberi hak untuk melakukan gugatan perdata terhadap
terpidana dan atau ahli warisnya, dalam hal terpidana sengaja menyembunyikan
9
J.E. Sahetapy, Terjemahan dari Schaffmeter et a1, Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta, 1995,
hlm. 39
10
Dj. Prakoso dan A. Suryati, Upetisme Ditinjau dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Bina Aksara, Jakarta, 1971, hlm. 406.

17
atau menyamarkan kekayaan atau harta benda yang diduga atau patut diduga
berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk
negara, pada saat pengadilan memutuskan perkara yang memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dasar filosofi timbulnya hak negara tersebut adalah untuk
memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku korupsi yang menunjukkan
bahwa Undang-undang tersebut tidak hanya sebagai alat penegak keadilan hukum,
tetapi juga penegak keadilan sosial ekonomi. Mengingat bahwa perbuatan korupsi
adalah perbuatan yang bukan hanya merugikan keuangan dan perekonomian
negara tetapi lebih dari itu menimbulkan konflik dan kesenjangan sosial. Artinya
bukan semata memberi hukuman bagi yang terbukti bersalah dengan hukuman
yang sebesar-besarnya, melainkan juga agar kerugian negara yang diakibatkan
oleh perbuatan pelaku dapat kembali semua dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Upaya penanggulangan korupsi dilihat dari segi peraturannya, dapat dikatakan
bahwa politik hukum pidana dalam upaya penanggulangan korupsi ini sudah
cukup signifikan. Dapat dilihat berapa kali diperbarui perundangundangan tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut. Peraturanperaturan tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi telah silih berganti diberlakukan, selalu
yang belakangan memperbaiki dan menambah yang dahulu. Sebagaimana
dijelaskan dalam latar belakang bahwa dalam kurun waktu 5 (lima) tahun
sedikitnya sudah empat undang-undang tentang korupsi dibentuk oleh pemerintah.
Daniel Lev ahli politik dari Amerika Serikat berpendapat bahwa:
"Pemberantasan korupsi yang sudah mengakar sejak demokrasi terpimpin, tidak
akan bisa dilaksanakan tanpa adanya reformasi institusional lebih, dahulu.
Penggantian pemerintahan tidak akan banyak bermanfaat jika konstitusi
pemerintah yang ada masih seperti yang lama."
Paling tidak ada 3 pilar dalam masyarakat yang harus dilibatkan dalam gerakan
anti korupsi yakni: civil society, kalangan bisnis dan media massa. Gerakan anti
korupsi tersebut tidak akan berhasil jika tidak didukung masyarakat. Kalangan
bisnis harus sadar bahwa korupsi dalam jangka panjang akan merugikan
perkembangan bisnis karena akan menimbulkan bisnis biaya tinggi yang tidak
kompetitif. Media massa sangat penting dalam menggelembungkan gerakan
antikorupsi". Meskipun demikian, suatu pandangan mengatakan bahwa jika anda

18
memiliki pengemudi yang buruk, mengganti mobil tidak akan menyelesaikan
masalah. Hal ini menggambarkan inkonsistensi penegak hukum sangat
mendukung tercapainya legal spirit dari hukum itu sendiri. Menurut Lopa bahwa :
"Apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata ketidakberdayaan pemerintah dan aparat
penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi bukan disebabkan oleh
kurang baiknya undang-undang, tetapi yang menjadi faktor penyebab utama
adalah kelemahan sistem yang merupakan produk dari integritas moral. Oleh
karena itu, untuk memperbaiki sistem tersebut sangat tergantung pada integritas
moral yang dimiliki oleh seseorang sebab yang dapat berpikir perlunya diperbaiki
sistem ialah orang yang bermoral pula. Orang yang tidak bermoral meskipun tidak
berilmu, tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem, karena kelemahan
sistem itu sendiri diperlukan baginya untuk melakukan penyelewengan."11
Dalam tulisan yang sama, Lopa juga menekankan kelemahan lainnya yaitu
keteladanan, bahwa untuk memberantas korupsi harus dimulai dari atas. Kalau
kalangan atas melakukan korupsi maka akan berpengaruh ke bawah atau
mendorong jajarannya (kalangan pejabat menengah ke bawah) untuk melakukan
perbuatan yang sama dengan alasan tidak mungkin atasan melakukan tindakan
atau hukuman, karena pada dasarnya atasan itu sendiri telah memelopori
perbuatan tidak terpuji itu.

RINGKASAN
1. Tindak pidana korupsi secara harfiah berasal dari kata Tindak Pidana dan
Korupsi. Sedangkan secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi
terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2
sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan
dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai
dengan 24 UU PTPK.
2. Perkembangan pengaturan perundang-undangan pidana dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dariperkembangan
dan proses pembaruan hukum pidana pada umumnya. Pembaharuan hukum
pidana itu sendiri erat kaitannya dengan sejarah perkembangan bangsa

11
3Baharuddin Lopa, Korupsi Tetap Merupakan Sumber Kerawanan, Kompas, Jakarta, 1996, hlm.

19
Indonesia, terutama sejak proklamasi kemerdekaan sampai pada era
pembangunan dan era reformasi seperti sekarang ini.
3. Asas-asas tindak pidana korupsi lain yang terdapat dalam Undang-Undang
TPPU nomor 8 tahun 2010 sebagai berikut:
1. Asas Presumption of guilty atau praduga bersalah (Pasal 35), yaitu jika
terdakwa tidak dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya, maka
terdakwa dapat dipersalahkan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang.
2. Pasal 68 : Asas Lex Specialis, yaitu Undang-Undang TPPU ini
merupakan Undang-Undang khusus yang mengatur tentang pencucian
uang yang mepunyai peraturan tersendiri baik penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan serta pelaksanaan putusan dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
perundangundangan ini.
3. Asas Pembuktian Terbalik (Pasal 77 dan 78 ayat (1) dan (2)), yaitu
terdakwa harus membuktikan asal usul dana atau harta kekayaan yang
dimiliki untuk membuktikan kehalalan hartanya tersebut, tetapi melalui
penetapan hakim.
4. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi yang Terkait dengan Kerugian Keuangan
Negara
Unsur-unsur tindak pidana korupsi tidak akan terlepas dari unsur-unsur yang
terdapat dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, sebagai berikut:
 Pasal 2 : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit
dua ratus juta rupiah dan paling banyak satu milyar rupiah.
 Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan

20
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu milyar
rupiah.
5. Undang-undang dalam arti materiil ialah sesuatu keputusan pemerintah, yang
mengingat isinya disebut undang-undang, yaitu tiap-tiap keputusan
pemerintah, yang menetapkan peraturan-peraturan yang mengikat secara
umum (dengan perkataan lain, peraturan-peraturan objektif). Perbuatan
korupsi sebagai konsep hukum materiil berarti perbuatan yang diatur dalam
perundang-undangan tentang korupsi itu sendiri atau perbuatan yang
dirumuskan dalam suatu undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah
yang isinya tetang perbuatan yang disebut dengan korupsi.

21
REFERENSI
Baharuddin Lopa. Korupsi Tetap Merupakan Sumber Kerawanan Kompas
Jakarta.

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Kencana


Prenada Media Group, Jakarta. 2010.
Firman Wijaya. Peradilan Korupsi Teori dan Praktik. Jakarta. Penerbit Penaku
bekerjasama dengan Maharini Press.2008.
Dj. Prakoso dan A. Suryati. Upetisme Ditinjau dari Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bina Aksara. Jakarta. 1971.

J.E. Sahetapy. Terjemahan dari Schaffmeter et a1, Hukum Pidana, Liberty.


Yogyakarta. 1995.

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik.
Alumni. Bandung 2008. hlm 186
M. Prodjohamidjojo. Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU
No. 31 Tahun 1999). Cetakan 1. Mandar Maju. Bandung. 2001.

O. Sadino. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Kedua Puluh Dua. Pradnya Paramita.
Jakarta. 1985.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pengertian Tindak Pidana


Korupsi.
Undang-undang TPPU Nomor 8 Tahun 2010

22
BAB II
SEJARAH TINDAK PIDANA
KORUPSI
(Nirwan Iskandar)
NIM 1705302

23
BAB II
SEJARAH TINDAK PIDANA KORUPSI

Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam


pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara
tak luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon
kepala negara untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi
terus terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang
berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat.
Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong dengan
para koruptor. Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik
pemilih untuk mencari calon kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan
memberikan secercah harapan bahwa setiap orang yang berbuat curang pada
negara layak diusut sampai penghabisan.
Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu
masih terngiang dalam pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap dengan
cengkok gaya bahasa dalam pidatonya yang disampaikan bahwa dirinya akan
berada di garda terdepan dalam pemberantasan negeri ini. Rupanya komitmen
yang disampaikan oleh SBY ini bukan barang baru. Pendahulunya, Soeharto
pernah menyatakan komitmen yang sama. Saat itu tahun 1970 bersamaa dengan
Peringatan Hari Kemerdekaan RI, Soeharto-Presiden saat itu-mencoba
meyakinkan rakyat bahwa komitemn memberantas korupsi dalam
pemerintahannya sangat besar dan ia juga menegaskan bahwa dia sendiri yang
akan memimpin pemberantasan korupsi. “Seharusnya tidak ada keraguan, saya
sendiri yang akan memimpin.”
Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang berat
untuk dilakukan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap
periode pemerintahan negara ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa
pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun 1957, dengan
keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang
dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh

24
penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan
Laut.
Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun
1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya,
tim tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa
dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk
protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang
kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa
permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk
mengatasinya.
Masih ditahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta
memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal,
lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin
Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-
cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda.
Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah
dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas.
Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”
BANJIR PERATURAN PEMBERANTASAN KORUPSI
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena
masa Orde Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan
yang dibuat itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi
Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970,
pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang
PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara
maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik
yang dikategorikan korupsi.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar
Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat
untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena
pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara
di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.

25
Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan
dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi
pengawasan tak ada lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde
Baru, sehingga taka da kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus
korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa
Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan
intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.
Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan
dengan pemberantasan korupsi :
1. GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan
Bersih dalam Pengelolaan Negara;
2. GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam
rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi,
Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan
Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk
Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan;
3. Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi;
4. Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan
PNS;
5. Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban;
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. 
REFORMASI: PERJUANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI MASIH
BERLANGSUNG
Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa
mengenyahkan koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan
baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang
Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur
kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya
pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak
Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan
Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

26
Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh
pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai
Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI
sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak
koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi
menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat.
Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan
saat itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak
bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.
Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga
negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia
membentuk Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK).
Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya
pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal
Komisi Pemberantasan Korupsi.
KPK LAHIR, PEMBERANTASAN KORUPSI TAK PERNAH TERHENTI
Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar
ketika muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang
jelas untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag
dari agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU
KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Megawati
Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU
tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi uang
berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan
legislative heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan
pembahasan RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang
melanda system politik di Indonesia pada era reformasi.
Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah
awal yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun
2004 dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional

27
Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN
Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan
paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan
sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari
pengadilan umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum
yang saling mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional.

28
BAB III
SIKAP DAN PERILAKU KORUPSI
DI MASYARAKAT
(Pinta)
NIM 1705158

29
BAB III
SIKAP DAN PERILAKU KORUPSI DI MASYARAKAT

A. Pendahuluan
Perubahan sosial sebagai proses pembangunan nasional yang
terencana oleh pemerintah bertujuan untuk memperbaiki kehidupan
rakyat dan masyarakat Indonesia. Perbaikan kehidupan sosial, ekonomi,
politik dan bidang lainnya dilaksanakan untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial. Pemerintah menjalankan
program-program sebagai penjabaran kebijakan publik dan
melibatkan seluruh jajaran aparat birokrasi pemerintah, didukung
partisipasi masyarakat dan segenap unsur organisasi social. Partisipasi
masyarakat berpengaruh positif bagi peningkatan atau perbaikan
kualitas hidup rakyat secara proporsional dan berkeadilan sosial.12
Pemerintah Indonesia melibatkan seluruh jajaran institusi birokrasi
dan segenap aparatur untuk menggerakkan perubahan sosial mewujudkan
cita-cita di atas. Faktor hukum (peraturan per- Undang-Undangan)
13

melandasi langkah-langkah seluruh pelaksanaan program. Faktor


internal dan eksternal yang hadir mendinamisasi peran masyarakat dalam
pelaksanaan program-program pembangunan.14
Korupsi adalah realitas tindakan penyim- pangan norma sosial dan
hukum yang tidak dikehendaki masyarakat dan diancam sanksi oleh
negara. Korupsi sebagai bentuk penyalahgunaan kedudukan (jabatan),
kekuasaan, kesempatan untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dan
atau kelompoknya yang melawan kepentingan bersama (masyarakat).
Indonesia berada dalam satu posisi penguasaan trihibrid, tiga
12
Adjie Suradji. 2012. “Pemimpin, Korupsi dan Tanggung Jawab”,
Jakarta: harian Kompas, Sabtu 13 Oktober 2012

13
Ainan. 1997. dalam Bunga Rampai Etika Pegawai Negeri, eds.
Mochtar Lubis. Jakarta: Bhratara Karya Aksara

14
Poloma, Margaret M. 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta:
RajaGrafindo Persada dan Yayasan Solidaritas Gadjah Mada

30
aspek yang berbeda sifatnya: yaitu politik, hukum dan korupsi yang
menyatu. Jika 10 – 20 tahun ke depan, satu negara dipimpin oleh
barbarian modern: birokrasi korup, politisi busuk, pengacara hitam, dan
pengusaha kapitalistik; Negara itu akan runtuh (Adjie Suradji, Kompas,
Sabtu 13 Oktober 2012). Upaya Pemerintah Indonesia menanggulangi
korupsi dilakukan dengan memberlakukan Undang-Undang Nomer 30
Tahun 2005 tentang Penanggulangan Korupsi.15
Secara atomistik, tindak korupsi merebak di lingkar oligarkhi
kekuasaan, karena: (1) tidak ada kompetensi teknis moral, dan (2)
pemimpin menjadi patron kejahatan (dalam J. Chambliss ‘ Criminal
Law in Action). Korupsi merupakan konstruksi sosial bersifat struktural,
dan diduga korupsi kalangan masyarakat bawah sebagai konstruksi
sosial terkait pengaruh korupsi kalangan masyarakat atas (elite sosial
ekonomi), misalnya: pemimpin dan tokoh masyarakat lainnya).16
Beny Murdani (1932-2004) menyatakan bahwa penghayatan
perjuangan masa lalu dan sekarang berbeda. Generasi saat ini adalah
generasi masa damai yang tidak mengalami masa revolusi kemerdekaan.
Mereka lebih profesional karena memperoleh pendidikan dan pelatihan
secara akademik, namun kurang memiliki tanggung jawab bersama.
Oleh sebab itu, negeri ini tidak lagi melahirkan pemimpin sejati.
Sebuah pohon bisa dikenali dari buahnya. Sedangkan karakter bangsa
bisa dilihat dari kualitas hukum dan kredibilitas pemimpinnya. 17
Selanjutnya dinyatakan bahwa jika semakin banyak produk hukum
dibuat, makin mempertegas anggapan bahwa tindak korupsi makin besar
dan meluas. Maka dari itu, implementasi bentuk tanggung jawab
pemimpin wajib dilaksanakan dengan tegas dan jelas dalam memelopori

Anonim. 1999. Undang-Undang Nomer 31 Tahun 1999 tentang


15

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-


Undang Nomer 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomer 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
16
Alatas. 1987. Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3eS

17
RB. Soemanto. 2006. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Penerbit Universitas
Terbuka

31
usaha pemberantasan korupsi.
Penilaian itu lazim, karena perilaku korupsi telah berkembang dan
menjalar ke segala segi dan lapisan masyarakat, dan dilakukan oleh
pejabat publik serta hampir seluruh unsur masyarakat (Djulianto, 2009).
Tindakan korupsi berkembang di tingkat individu, lembaga (organisasi)
dan kelompok sosial.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa proses pelaksanaan
pembangunan terganggu oleh praktek korupsi para pejabat pemerintah
dan penyelenggara negara. Pemerint ah b er u sah a un tu k me
mbe r an ta sn ya , d an membutuhkan partisipasi masyarakat. Upaya
penanggulangan korupsi dilakukan juga oleh organisasi sosial tertentu
seperti ICW (Indonesian corruption watch). Warga masyarakat
belum/tidak mengorganisir peranannya mendukung pemerintah
menanggulangi korupsi. Kesadaran dan respon masyarakat terhadap
korupsi belum jelas diketahui peta sebaran dan keadaannya.

B. Pembahasan
Perilaku manusia tidak dapat terlepas dari keadaan individu
orang itu sendiri dan lingkungan sosial (masyarakatnya). Perilaku
individu merupakan tindakan berulang dalam waktu tertentu dan
didorong oleh motif tertentu sehingga ia berperilaku sosial tertentu.
Hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan, sikap, kesadaran, dan
respon/tanggapan masyarakat terhadap perbuatan korupsi.18 Teori-teori
psikologi sosial dan teori sosiologi dikemukakan tentang hal tersebut
sebgai berikut:

1. Teori Dorongan (drive theory)

Teori ini berpandangan bahwa organisme (masyarakat dan


individu) mempunyai dorongan-dorongan atau drive tertentu.
Dorongan-dorongan ini berkaitan dengan kebutuhan-
kebutuhan masyarakat dan ndividu yang mendorong terbentuknya

18
Mullan, Mc. 1997. dalam Bunga Rampai Etika Pegawai Negeri, eds.
Mochtar Lubis. Jakarta: Bhratara Karya Aksara

32
perilaku. Bila masyarakat dan individu timbul kebutuhan (baru),
kebutuhan itu bisa mendorong timbulnya ketegangan dalam
hubungan sosial di masyarakat. Bila perilaku individu dan
masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya, maka terjadi
pengurangan atau reduksi terhadap factor dorongan yang
menimbulkan ketegangan (Walgito, 2002 : 17-18).

2. Teori Insentif (incentive theory)

Teori ini berpendapat bahwa perilaku individu dan masyarakat terjadi


karena ada insentif yang mendorong masyarakat berbuat dan
beperilaku tertentu. Insentif bersifat positif dan negatif, yang positif
mendorong individu dan masyarakat merespon dengan perilaku,
sedangkan yang negatif menghambat individu dan masyarakat
berperilaku (Walgito, 2002:18).

Menurut George Ritzer (2003 : 73), terdapat teori-teori yang termasuk


dalam paradigma perilaku sosial. Salah satunya adalah teori Sosiologi
Perilaku (behavioral Sosiology) yang menekankan fungsi ganjaran
sebagai penguat atau disebut reinforcement, dan Teori Pertukaran
(exchange). Teori Perilaku Sosial menitikberatkan pada hubungan
antara tingkah laku aktor/pelaku dengan tingkah laku
lingkungannya. Konsep dasarnya adalah penerimaan ganjaran;
ganjaran yang t idak berpengaruh terhadap tindakan aktor tidak
akan berulang. Teori Pertukaran (exchange) menitikberatkan
pemahaman bahwa manusia pada dasarnya tidak mencari
keuntungan dari interaksi yang dilakukan dengan pihak (individu) dan
kelompok lain.19

Homans (dalam Poloma, 2003 : 61-65) mengklasifikasi perilaku


sosial ke dalam lima pernyataan proposional:
a. Proposisi sukses

19
Kluckhon. 1980. Mentalitas dan Pembangunan ed. Koentjoroningrat.
Jakarta : Gramedia

33
Dalam tindakan, semakin sering suatu t indak a n memper ole h
ganjaran, maka kian kerap tindakan itu dilakukan (diulang).
Dalam proposisi ini Homans menyatakan bahwa bilamana
seseorang berhasil mem per o le h g an jar a n (ata u menghindari
hukuman) maka ia akan cenderung untuk mengulangi tindakan
tersebut ( dalam Poloma, 2003 : 61).
b. Proporsi Stimulus
Jika terjadi stimulus (pengetahuan, informasi) khusus, atau sejumlah
stimuli, maka peristiwa dimana tindakan seseorang memperoleh
ganjaran, semakin mirip dengan stimuli yang ada saat ini; seseorang
akan melakukan, merespon tindakan serupa atau yang agak sama.
Stimulus berhubungan secara fungsional dengan obyek, respon
atau tindakan untuk memperoleh ganjaran yang diinginkan (dalam
Poloma, 2003 : 62).
c. Proposisi Nilai
Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang
melakukan tindakan itu. Proposisi ini khusus berhubungan
dengan ganjaran atau hukuman yang merupakan hasil tindakan
(dalam Poloma, 2003 : 63).

d. Proposisi Kejenuhan-Kerugian (deprivasi- satiasi)


Semakin sering (pada saat ini atau saat yang baru berlalu)
seseorang menerima suatu ganjaran, maka semakin kurang
bernilai bagi orang tersebut sekalipun terjadi peningkatan
ganjaran dari setiap tindakan itu (Poloma, 2003: 63-64).

e. Proposisi Persetujuan-Perlawanan (Approval-agression)


Bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang
diharapkann ya, atau menerim a hukuman yang tidak
diinginkan, maka dia akan marah, dia menjadi sangat cenderung
menunjukkan perilaku agresif, dan hasil perilaku demikian
lebih bernilai baginya. Bilamana tindakan seseorang memeperoleh
ganjaran yang diharapkannya, khusus ganjaran yang lebih besar
dari yang diperkirakan, atau tidak memeperoleh hukuman yang

34
diharapakannya, maka ia akan merasa senang, dan berperilaku atas
hal yang disenanginya, dan hasil dari perilaku yang demikian
akan menjadi lebih bernilai baginya (Poloma, 2003 : 64-65).
Perilaku dapat diartikan suatu respon seseorang terhadap
rangsangan (pengetahuan , informasi) dari luar subjek
tersebut. Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi sosial
terhadap lingkungannya. Perilaku terjadi apabila ada sesuatu
yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yang disini disebut
rangsangan (pengetahuan, informasi). Rangsangan (pengetahuan,
informasi) tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku
tertentu. Perilaku seseorang adalah aktivitas yang timbul
karena adanya stimulus dan respons yang dapat diamati secara
langsung dan tidak langsung.
Koruspsi adalah bentuk pengkhianatan kepercayaan
masyarakat, menipu rakyat dan pemerintah, melalaikan
kepentingan masyarakat, dilakukan sendiri dan lebih dari 1 orang.
Pemahaman mereka tentang hal yang sama masih beragam;
seperti : mencuri uang rakyat, mengambil kekayaan Negara,
mencuri uang Rukun Tetangga, dan sebagainya.
Sikap masyarakat terhadap merebaknya tindak korupsi
menunjukkan gambaran yang positif. Artinya, mereka cenderung
tidak setuju (< 60%) terhadap pemberian sanksi hukum yang
ringan pada koruptor, menolak sumbangan social yang berasal
dari perbuatan korupsi, menolak membayar untuk masuk
(bagi anak) menjadi pegawai negeri, menolak memberi uang
(amplop) untuk mendapatkan perlakuan khusus, dan sebagainya.
Tingkat kesadaran masyarakat cukup tinggi (< 60%)
terhadap tindak korupsi yang umumnya dilakukan oleh pejabat
Negara, pihak swasta bahkan oleh sebagian warga masyarakat;
dan kalau tidak ditindak tegas dan diberantas secara sistemik
korupsi akan makin besar dan menghancurkan kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

35
Respon masyarakat terhadap usaha pemerintah untuk
menanggulangi korupsi juga cukup besar. Hal ini terbukti respon
masyarakat tercatat lebih dari 65%. Respon itu dinyatakan
berupa dukungan dan tindakan partisipatif terhadap upaya
pemerintah untuk menanggulangi tindak korupsi; namun mereka
membutuhkan jaminan perlindungan keselamatan dari pemerintah.
Test hubungan antara variable pengetahuan, sikap, dan
kesadaran masing-masing dengan responnya terhadap usaha
pemerintah maupun organisasi masyarakat dalam upaya
penanggulangan korupsi; koefisien korelasinya sangat
signifikan. Artinya, semakin tinggi pengetahuan seorang dalam
masyarakat, sikapnya positif dan tegas dan kesadaran yang
besar, mendorong tumbuhnya respon positif terhadap upaya
penanggulangan korupsi.20

Hasil analisis dan pembahasan hasil penelitian (di atas) dapat


dinyatakan bahwa teori perilaku (proporsi stimulus, nilai,
kejenuhan-kerugian, persetujuan- perlawanan) mendukung
analisis dan pembahasan hasil penelitian yang membahas
pengetahuan, sik ap, kesadaran masyarakat dan respon
masyarakat terhadap tindak korupsi21

Respon seseorang terhadap rangsangan (pengetahuan,


informasi) dari luar subjek, sebagai suatu aksi-reaksi sosial
terhadap lingkungannya. Perilaku (respon) terjadi apabila ada
sesuatu yang diperlukan untuk bereaksi, yaitu rangsangan
(pengetahuan, informasi). Rangsangan (pengetahuan, informasi)
tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu berupa

20
Djulianto. 2009. dalam ‘A to Z Korupsi : Menumbuhkan Spirit Anti
Korupsi’ eds. Ulul Albab. Surabaya: Jaringpena

21
Jonathan Sarwono. 2002. Mixed Methods: cara Menggabung Riset
Kuantitatif dan Riset Kualitatif Secara Benar

36
sikap dan kesadaran. Perilaku (respon) seseorang adalah aktivitas
yang timbul karena adanya stimulus yang dapat diamati secara
langsung dan tidak langsung.22

Pengetahuan masyarakat tentang tindak korupsi yang


berkembang cepat, menimbulkan sikap menolak, karena
merugikan kepentingan mereka (bersama), dan menumbuhkan
kesadaran positif terhadap usaha-usaha menanggulanginya.
Respon masyarakat bersedia mendukung dan membantu usaha
pemerintah dalam program dan kegiatan penanggulangan
korupsi. Respon positif tersebut akan dilakukan lebih-lebih jika
mereka mendapatkan jaminan perlindungan keamanan dan
keselamatan dari pemerintah.

C. Kesimpulan

a) Sikap masyarakat terhadap perbuatan korupsi berupa sikap tidak


simpati sampai dengan sikap antipati. Korupsi bersifat merugikan
Negara dan masyarakat, melemahkan sendi- sendi kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi dilakukan oleh
orang, kelompok orang, pihak tertentu yang memperkaya diri,
mencelakai kehidupan masyarakat, dan melemahkan solidaritas
sosial karena menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi yang makin
besar di masyarakat. Masyarakat pedesaan maupun perkotaan
memiliki sikap serupa terhadap tindak korupsi. Mereka
menunjukkan sikap tidak setuju, membenci perbuatan korupsi yang
pelakunya dihukum ringan, dan mengecam serta menolak
bantuan/sumbangan yang diberikan koruptor dengan ke rumah jompo,
panti asuhan, dan warga masyarakat miskin lainnya.23

b) Tingkat kesadaran dan persepsi masyarakat terhadap tindak korupsi


yang berkembang sekarang ini menimbulkan keprihatinan warga

22

23
Raho, Bernard, SVD. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi
Pustaka Publishers

37
masyarakat. Jika program penanggulangan korupsi tidak intensif
dilakukan pemerintah, maka perbuatan korupsi akan meluas dan
membahayakan kehidupan bersama sebagai masyarakat, bangsa dan
Negara. Oleh sebab itu, mereka umumnya bersikap pro dan bersedia
membantu upaya pemerintah menanggulangi korupsi.24

c) Pengetahuan masyarakat tentang perbuatan korupsi yang meningkat


menumbuhkan keprihatinan dan sikap anti terhadap korupsi. Karena
itu di masyarakat tumbuh kesadaran bahwa korupsi yang meningkat
kuantitas dan kualitasnya menyebabkan kehidupan rakyat dan
masyarakat makin sengsara, melemahkan sendi dan kekuatan hidup
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Pengetahun, sikap, dan
kesadaran mereka yang tinggi terhadap dampak yang
ditimbulkannya; membangkitkan respon yang positif dan besar
terhadap upaya pemerintah menanggulangi tindak korupsi. Mereka
bersedia mendukung dan berpartisipasi terhadap upaya pemerintah
tersebut, terlebih jika mendapat jaminan perlindungan hukum yang
menambah rasa aman.25

Masyarakat mengetahui tentang tindak korupsi yang meluas


saat ini. Mereka bersikap kritis terhadap korupsi, karena berpengaruh
dan berdampak negatif terhadap usaha untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya. Korupsi merugikan masyarakat, dan kondisi kehidupan
berbangsa dan bernegara.26 Oleh sebab itu, masyarakat memberikan
respon kritis dan mendukung upaya pemerintah memberantas
korupsi. Mereka bersedia dan berperan membantu untuk
meningkatkan pelaksanaa program pemberantasan korupsi; sebagian

24
Ritzer, George. 1980. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma ganda,
Penyadur Alimandan. Jakarta: Penerbit Rajawali

25
Sjafri, Sairin. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia.
Persepektif Anthropologi, yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http:/fisip-Erika.repository.korupsi.usu.ac.id., diakses pada [13 Oktober


26

2011]

38
besar di antara mereka ingin berpartisipasi aktif dengan mengharapkan
jaminan perlindungan keamanan dirinya dari pemerintah.

39
BAB IV
NILAI-NILAI DAN PRINSIP-
PRINSIP ANTI KORUPSI
(Pipid Mupidin)
NIM 1705841

40
BAB IV
NILAI-NILAI DAN PRINSIP-PRINSIP ANTI KORUPSI

A. Pendahuluan
Pada saat ini korupsi telah menjadi masalah besar bagi bangsa
Indonesia. Setiap hari selalu ada pejabat yang tersandung kasus korupsi, baik
pejabat ditingkat pusat maupun daerah. Hal ini membuat indonesia sedang
darurat korupsi. Berdasarkan hasil laporan yang dilakukan oleh World Justice
Project (WJP), fakta menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-
14 dari 15 negara terkorup di dunia dan peringkat ke-80 dari 90 negara di
dunia (WJP, 2015: 13). Banyaknya kasus korupsi yang terjadi ini sangat
merugikan bagi bangsa Indonesa. Adapun kerugiannya yaitu mengakibatkan
melambatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara, menurunnya investasi,
meningkatnya kemiskinan, serta meningkatnya ketimpangan pendapatan.
Bahkan korupsi juga dapat menurunkan tingkat kebahagiaan masyarakat
disuatu negara. Melihat dampak tersebut, korupsi menjadi masalah yang
sangat serius dan perlu disikapi oleh oleh semua pihak.
Masalah pemberatasan korupsi tidak hanya dapat dilakukan oleh
aparat penegak hukum saja, dunia pendidikan diharapkan dapat berperan
dalam pencegahan korupsi sejak dini. Pendidikan sebagai wadah untuk
membentuk generasi penerus bangsa menjadi wadah yang efektif dalam
rangka pencegahan korupsi. Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan
menghukum dan memberikan ceramah atau seminar anti korupsi. Agar tidak
terjadi tumbuh silih bergantinya korupsi di Indonesia, maka perlu dicari
sampai dari akar masalahnya. Dengan membekali pendidikan anti korupsi
yang cukup akan memberikan perlindungan kepada para calon generasi
penerus bangsa dari maraknya tindak korupsi.
Salah satu cara pendidikan anti korupsi dalam membentuk karakter
generasi penerus anti korupsi yaitu menanamkan nilai-nilai anti korupsi.
Nilai-nilai anti korupsi ini sangat penting karena untuk mencegah faktor
internal terjadinya korupsi. Adapun nilai-nilai anti korupsi tersebut yaitu
meliputi kejujuran, kepedulian, kemandirian, kedisiplinan,

41
pertanggungjawaban, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan.
Nilai-nilai inilah yang akan mendukung prinsip-prinsip anti korupsi untuk
dapat dijalankan dengan baik. Prinsip-prinsip anti korupsi juga sangat penting
karena untuk mencegah faktor internal terjadinya korupsi.

B. Substansi Isi
1. Nilai-Nilai Anti Korupsi
Pendidikan anti korupsi secara internal sangat dipengaruhi oleh nilai-
nilai anti korupsi yang tertanam dalam diri seseorang. Menurut Nanang &
Romie (2011:75) terdapat 9 (sembilan) nilai anti korupsi, yaitu 1) kejujuran,
2) kepedulian, 3) kemandirian, 4) kedisiplinan, 5) tanggung jawab, 6) kerja
keras, 7) kesederhanaan, 8) keberanian, dan 9) keadilan.27
a. Kejujuran
Kejujuran adalah sifat (keadaan) jujur, ketulusan hati, dan
kelurusan hati (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 479). 28 Kejujuran
merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral
(Suseno, 1987: 142). Tanpa kejujuran, manusia tidak dapat maju selangkah
pun, karena ia tidak berani menjadi diri sendiri. Tanpa kejujuran,
keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilainya. Bersikap
baik kepada orang lain, tetapi tidak dilandasi kejujuran adalah
kemunafikan dan racun bagi diri sendiri.29
Nilai kejujuran ibarat sebuah mata uang yang berlaku di mana-
mana termasuk dalam kehidupan di sekolah/madrasah. Jika peserta didik
terbukti melakukan tindakan yang tidak jujur, baik pada lingkungan
sekolah/madrasah maupun masyarakat, maka selamanya orang akan
merasa ragu untuk mempercayai peserta didik tersebut. Akibatnya, peserta
didik akan selalu mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan
orang lain. Juga menjadi ketidaknyamanan bagi orang lain karena selalu
27
Bura, Romie O dan Nanang T. Puspito, “Nilai dan Prinsip Anti Korupsi” Dalam Pendidikan
Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi (Ed. Nanang T. Puspito), (Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI, 2011), hal 75.
28
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), hal 479.
29
Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hal 142.

42
menaruh curiga terhadap peserta didik tersebut. Prinsip kejujuran harus
dapat dipegang teguh oleh setiap peserta didik. Nilai kejujuran di
sekolah/madrasah dapat diwujudkan oleh peserta didik dalam bentuk tidak
melakukan kecurangan akademik, antara lain dapat berupa tidak
mencontek saat ujian, tidak melakukan kecurangan akademik, tidak
memalsukan nilai, dan sebagainya.
Menurut Yunahar Ilyas (dalam Mukodi & Afid Burhanuddin,
2014) bentuk-bentuk kejujuran terdiri dari 4 (empat) bentuk, yakni:
1) Jujur dalam perkataan
Dalam keadaan apa dan bagaimanapun peserta didik harus berkata
yang benar, baik dalam menyampaikan informasi, menjawab pertanyaan,
melarang dan memerintah apapun yang lainnya. Orang yang selalu
berkata benar akan dipercaya oleh masyarakat. Sebaliknya orang yang
berdusta apalagi suka berdusta, masyarakat tidak akan mempercayainya,
sebagaimana pribahasa mengatakan “sekali lacung keujian, seumur hidup
orang tidak akan percaya”.
2) Jujur dalam pergaulan
Barang siapa yang selalu bersikap jujur dalam pergaulan maka dia
akan menjadi kepercayaan masyarakat, siapapun ingin bergaul
dengannya. Tetapi sebaliknya, siapa yang suka berdusta dan
berpenampilan palsu, maka masyarakat tidak akan mempercayainya,
bahkan menjauhinya.
3) Jujur dalam kemauan
Sebelum memutuskan sesuatu, peserta didik harus
mempertimbangkan dan menilai terlebih dahulu apakah yang
dilakukannya itu benar dan bermanfaat. Apabila yakin benar dan
bermanfaat, dia akan melakukannya tanpa ragu-ragu, tidak dipengaruhi
oleh komentar kiri kanan yang mendukung atau mencelanya. Jika
menghiraukan semua komentar orang, dia tidak akan jadi
melaksanakannya. Tetapi bukan berarti dia mengabaikan kritik, asalkan
kritik tersebut argumentatif dan konstruktif.
4) Jujur dalam berjanji

43
Janji adalah hutang, begitulah pribahasa mengatakan. Maka
seorang peserta didik yang telah berjanji, maka dia harus menepati. Jika
selalu tidak menepati janji, maka dia menjadi orang yang tidak dipercaya
oleh orang lain. Begitulah etika dalam pergaulan.
Dalam kehidupan sekolah maupun kampus, nilai kejujuran dapat
diwujudkan oleh siswa dan mahasiswa, dengan tidak melakukan
kecurangan akademik, seperti tidak berbohong kepada guru dan dosen,
tidak mencontek saat ujian, tidak melakukan plagiarisme, dan tidak
memalsukan nilai.30
b. Kepedulian
Kepedulian berasal dari kata “peduli”, artinya mengindahkan,
memperhatikan, menghiraukan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002:841). 31
Kepedulian bermakna berperilaku dan memperlakukan orang lain dan
lingkungan sekitarnya, sehingga bermanfaat bagi semua pihak (Surono,
t.th.: 57).32 Peduli merupakan sifat yang dapat membuat segala kesulitan
dapat dihadapi, segala keadaan dapat ditanggung bersama, dan
keterbatasan pun dapat dicarikan solusinya. Kata kunci peduli adalah
memahami, menghargai, mendukung, menghormati, dan menolong (Bahri,
2008: 17).33
c. Kemandirian
Menurut Nanang & Romie (2011:77), kondisi mandiri bagi peserta
didik diartikan sebagai proses mendewasakan diri yaitu dengan tidak
bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan tanggung
jawabnya. Hal ini penting untuk masa depannya dimana peserta didik
tersebut harus mengatur kehidupannya dan orang-orang yang berada di
bawah tanggungjawabnya sebab tidak mungkin orang yang tidak dapat
mandiri (mengatur dirinya sendiri) akan mampu mengatur hidup orang
lain. Dengan kemandirian tersebut, peserta didik dituntut untuk

30
Mukodi & Afid Burhanuddin, Pendidikan Anti Korupsi : Rekonstruksi Interpretatif dan
Aplikatif di Sekolah, (LPPM Press STKIP PGRI Pacitan, 2014).
31
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit hlm 841.
32
Surono, op.cit hlm 57.
Bahri, Syamsul. Buku Panduan Guru Modul Pendidikan Anti Korupsi Tingkat
33

SMP/MTs, (Jakarta: KPK, 2008), hal 17.

44
mengerjakan semua tanggungjawab dengan usahanya sendiri dan bukan
orang lain. Nilai kemandirian dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk
mengerjakan tugas secara mendiri, mengerjakan ujian secara mandiri, dan
menyelenggarakan kegiatan kesiswaan dengan swadaya.34
d. Kedisiplinan
Kedisiplinan berasal dari kata disiplin, artinya tata tertib, ketaatan
kepada peraturan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 268). Disiplin
merupakan kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang
teguh dalam memegang prinsip, pantang mundur dalam menyatakan
kebenaran, dan pada akhirnya mau berkorban untuk kepentingan bangsa
dan negara (Bahri, 2008: 3).35 Hidup disiplin tidak berarti harus hidup
seperti pola militer dengan hidup di barak bagai robot, tetapi hidup
disipilin dipahami siswa atau mahasiswa dengan cara mengatur dan
mengelola waktu sebaik-baiknya untuk menyelesaikan tugas dan
pekerjaan. Manfaat hidup disiplin adalah siswa atau mahasiswa dapat
mencapai tujuan atau mengejar kepentingan secara lebih efisien dan
efektif. Kata kunci kedisiplinan adalah komitmen, tepat waktu, prioritas,
perencanaan, taat, fokus, tekun, dan konsisten (Tamrin, 2008: 17).36
Wujud dari kehidupan disiplin dalam kegiatan di sekolah dan
kampus, di antaranya adalah belajar sesuatu dengan cermat, mengerjakan
sesuatu berdasarkan perencanaan yang matang, serta menyelesaikan tugas
tepat waktu.
e. Tanggung Jawab
Kata tanggung jawab berasal dari kata tanggung dan kata jawab.
Kata tanggung bermakna beres, tidak perlu khawatir (Pusat Bahasa
Depdiknas, 2002: 1138).37 Tanggung jawab berarti keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai
akibat sikap pihak sendiri atau orang lain (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002:

34
Bura, Romie O dan Nanang T. Puspito, op.cit hlm 77.
35
Ibid., hlm 3.
36
Tamrin, Rustika, Buku Panduan Guru Modul Pendidikan Anti Korupsi Tingkat SLTA/MA,
(Jakarta: KPK, 2008), hlm 17.
37
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit hlm 1138.

45
1139). 38
Tanggung jawab adalah melaksanakan tugas dengan sungguh-
sungguh dari orang lain atau diri sendiri hingga selesai atau sanggup
menanggung resiko dari apa yang telah dikerjakan atau diperbuat (Surono
(ed), t.th: 16).39 Nanang & Romie (2011:78) mendefinisikan
tanggungjawab adalah menerima segala sesuatu dari sebuah perbuatan
yang salah, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab
tersebut berupa perwujudan dan kesadaran akan kewajiban menerima dan
menyelesaikan semua masalah yang telah dilakukan. Tanggung jawab
merupakan suatu pengabdian dan pengorbanan.40
Penerapan nilai tanggung jawab antara lain dapat diwujudkan
dalam bentuk belajar dengan sungguh-sungguh, lulus tepat waktu dengan
nilai yang baik, mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, menjaga
amanah dan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Jika di masa peserta
didik sudah mempunyai tanggung jawab yang baik, maka di masa
mendatang, akan lahir generasi pembangun bangsa yang
bertanggungjawab.
f. Kerja Keras
Kata “kerja” bermakna kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu yang
dilakukan untuk mencari nafkah (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 554).41
“Keras” berarti gigih atau sungguh-sungguh hati (Pusat Bahasa Depdiknas,
2002: 550).42 Dengan demikian, bekerja keras berarti melakukan sesuatu
secara bersungguh-sungguh. Pribadi pekerja keras akan muncul dari sosok
yang memiliki motivasi tinggi untuk berubah dan pantang menyerah dalam
segala keadaan. Pribadi pekerja keras dapat diwujudkan dengan selalu
melakukan tanggung jawab secara sungguh-sungguh serta melakukan
segala sesuatu dengan upaya terbaik, sekuat tenaga, penuh kecerdasan
tinggi, dan sepenuh hati. Menurut Alma (2008: 106), kerja keras
merupakan salah satu dari delapan anak tangga untuk mencapai
keberhasilan. Anak tangga lainnya adalah mencapai tujuan dengan

38
Ibid., hlm 1139.
39
Surono, op.cit hlm 16.
40
Bura, Romie O dan Nanang T. Puspito, op.cit hlm 78.
41
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit hlm 554.
42
Ibid., hlm 550.

46
menggunakan orang lain, penampilan yang baik, keyakinan diri, membuat
keputusan, pendidikan, dorongan ambisi, dan pandai berkomunikasi.
Karena pentingnya kerja keras, sampai-sampai Nabi Muhammad saw,
secara simbolik memberi hadiah kapak dan tali kepada seorang laki-laki
agar dapat digunakan untuk bekerja.43
Wujud dari nilai kerja keras dalam kehidupan di sekolah dan
kampus, di antaranya adalah tidak mengambil jalan pintas dalam mencapai
tujuan, menghargai proses tidak sekadar mencapai hasil akhir,
menggunakan waktu yang sebaik-baiknya untuk mengejar suatu target atau
tujuan, serta tidak terlalu memikirkan apa yang akan diperoleh, tetapi
memikirkan apa yang harus dapat dihasilkan.
g. Kesederhanaan
Kesederhanaan berasal dari kata sederhana, artinya bersahaja, tidak
berlebih-lebihan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 1008).44 Kesederhanaan
adalah sikap dan perilaku yang tidak berlebihan terhadap suatu benda,
tetapi lebih mementingkan tujuan dan manfaatnya (Surono (ed), t.th: 3). 45
Hidup sederhana berarti hidup bersahaja dan tidak berlebih-lebihan yang
didasari oleh suatu sikap mental rendah hati. Kata kunci sederhana adalah
bersahaja, tidak berlebihan, sesuai kebutuhan, apa adanya, dan rendah hati
(Tamrin, 2008: 19).46
Wujud dari nilai kesederhanaan dalam kehidupan sekolah dan
kampus, di antaranya adalah rendah hati dalam pergaulan di sekolah dan
kampus, berpakaian dan menggunakan asesoris tidak berlebihan, tidak
boros dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak suka pamer kekayaan, serta
hemat dalam menggunakan air, listrik, dan energi lainnya.
h. Keberanian
Keberanian adalah tindakan untuk memperjuangkan sesuatu yang
diyakini kebenarannya (Sutrisno dan Sasongko (ed), t.th.: 30).47 Berani
43
Alma, Buchari, Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm
106.
44
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit hlm 1008.
45
Surono, op.cit hlm 3.
46
Tamrin, op.cit hlm 19.
47
Sutrisno, V dan Eva Sasongko, Pendidikan Nilai-Nilai Anti Korupsi Untuk Kelas 5 SD, (Jakarta:
KPK dan GTZ, T.th), hlm 30.

47
menyampaikan pendapat adalah modal awal untuk mencegah terjadinya
korupsi. Sikap berani akan semakin kuat jika diimbangi dengan keyakinan
yang kuat dalam dirinya. Untuk mengembangkan keberanian demi
mempertahankan pendirian dan keyakinan, maka peserta didik perlu
mempertimbangkan terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan
yang mendalam menimbulkan perasaan percaya kepada diri sendiri.
Penguasaan terdahap permasalahan yang sedang dihadapi menjadi faktor
terakhir sebagai modal untuk menyampaikan pendapatnya tanpa ada
keraguan.
Guru perlu memupuk rasa percaya diri peserta didik. Jika rasa
percaya diri muncul maka sikap berani akan tumbuh dengan sendirinya.
Nilai keberanian dapat dikembangkan dapat dikembangkan peserta didik
diantaranya melalui berani mengatakan dan membela kebenaran, berani
bertanggungjawab terhadap segala bentuk kesalahan, berani
menyampaikan pendapat, dan sebagainya.
i. Keadillan
Keadilan berasal dari kata adil, artinya sama berat, tidak berat
sebelah, tidak memihak; berpihak kepada yang benar, berpegang pada
kebenaran; sepatutnya, tidak sewenang-wenang (Pusat Bahasa Depdiknas,
2002: 8).48 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil diartikan sebagai
1) tidak berat sebelah, tidak memihak, 2) berpihak kepada yang benar,
berpegang pada kebenaran, dan 3) sepatutnya, tidak sewenang-wenang.
Tindakan tidak berat sebelah atau tidak memihak adalah merupakan
tindakan yang sangat didambakan oleh setiap orang, lebih-lebih pada
orang yang berada pada strata sosial paling bawah. Hal ini dapat
dimaklumi karena bagaimanapun juga, orang kecil akan selalu
mendapatkan dampak dari sikap dan kebijakan orang di atasnya. Oleh
karena itu harapannya selalu bergantung pada orang yang ada di atasnya
agar selalu dapat berbuat dengan seadil-adilnya. Orang yang selalu dapat
mengedepannya keadilan maka disebut sebagai orang yang arif dan bijak,
yakni orang yang mampu menempatkan dirinya sesuai dengan porsinya.

48
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit hlm 8.

48
Orang yang arif dan bijaksana menyadari betul bahwa kehidupan di dunia
tidak terlepas dari dua keadaan yang saling bertentangan seperti baik dan
buruk, untung dan rugi, dan sebagainya.
Nilai keadilan dapat dikembangkan oleh peserta didik diantaranya
melalui bentuk memberikan saran perbaikan dan semangat pada temannya
yang tidak berprestasi, tidak memilih teman dalam bergaul berdasarkan
suku, agama, ras dan antar golongan.

2. Prinsip-Prinsip Anti Korupsi


Setelah memahami nilai-nilai anti korupsi yang penting untuk
mencegah faktor internal terjadinya korupsi, berikut akan dibahas prinsip-
prinsip Anti-korupsi yang meliputi akuntabilitas, transparansi, kewajaran,
kebijakan, dan kontrol kebijakan, untuk mencegah faktor eksternal penyebab
korupsi.
a. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan
kerja. Semua lembaga mempertanggung jawabkan kinerjanya sesuai aturan
main baik dalam bentuk konvensi (de facto) maupun konstitusi (de jure),
baik pada level budaya (individu dengan individu) maupun pada level
lembaga (Bappenas : 2002).49 Lembaga-lembaga tersebut berperan dalam
sektor bisnis, masyarakat, publik, maupun interaksi antara ketiga sektor.
Akuntabilitas publik secara tradisional dipahami sebagai alat yang
digunakan untuk mengawasi dan mengarahkan perilaku administrasi
dengan cara memberikan kewajiban untuk dapat memberikan jawaban
(answerability) kepada sejumlah otoritas eksternal (Dubnik : 2005).50
Selain itu akuntabilitas publik dalam arti yang paling fundamental merujuk
kepada kemampuan menjawab kepada seseorang terkait dengan kinerja
yang diharapkan (Pierre : 2007).51 Seseorang yang diberikan jawaban ini
haruslah seseorang yang memiliki legitimasi untuk melakukan

49
BAPPENAS RI, Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat,( Jakarta: Bappenas RI,
2002).
50
Dubnick, Melvin, Accountability and the Promise of Performance, Public Performance and
Management Review (PPMR), 28 (3), 2005,
51
Pierre, Jon, Handbook of Public Administration, (London : SAGE Publication Ltd, 2007).

49
pengawasan dan mengharapkan kinerja (Prasojo : 2005). 52 Akuntabilitas
publik memiliki pola-pola tertentu dalam mekanismenya, antara lain
adalah akuntabilitas program, akuntabilitas proses, akuntabilitas keuangan,
akuntabilitas outcome, akuntabilitas hukum, dan akuntabilitas politik
(Puslitbang, 2001).53
Dalam pelaksanaannya, akuntabilitas harus dapat diukur dan
dipertanggungjawabkan melalui mekanisme pelaporan dan
pertanggungjawaban atas semua kegiatan yang dilakukan. Evaluasi atas
kinerja administrasi, proses pelaksanaan, dampak dan manfaat yang
diperoleh masyarakat baik secara langsung maupun manfaat jangka
panjang dari sebuah kegiatan.
b. Transparansi
Salah satu prinsip penting anti korupsi lainnya adalah transparansi.
Prinsip transparansi ini penting karena pemberantasan korupsi dimulai dari
transparansi dan mengharuskan semua proses kebijakan dilakukan secara
terbuka sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik
(Eko Prasojo, 2007).54
Transparansi menciptakan kepercayaan timbal balik antara
sekolah/madrasah dan masyarakat, melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan dalam memperoleh informasi yang memadai.
Pengembangan transparansi sangat diperlukan untuk membangun
keyakinan dan kepercayaan publik kepada sekolah/madrasah. Dengan
transparansi yang tinggi, publik tidak lagi curiga terhadap
sekolah/madrasah dan karenanya keyakinan dan kepercayaan publik
terhadap sekolah/madrasah juga tinggi. Dalam bentuk yang paling
sederhana, transparansi mengacu pada keterbukaan dan kejujuran untuk
saling menjunjung tinggi kepercayaan. Ketiga sikap itulah yang
mengantarkan peserta didik untuk mampu melaksanakan tugas dan

52
Prasojo, Eko, Demokrasi di Negeri Mimpi: Catatan Kritis Pemilu 2004 dan Good Governance,
(Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI, 2005).
53
Puslitbang BPKP, Evaluasi Perkembangan Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah, (Jakarta:
BPKP, 2001).
54
Prasojo, Eko, Dkk, Refomasi dan Inovasi Birokrasi: Studi di Kabupaten Sragen, (Jakarta:
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI dan YappikaCIDA, 2007).

50
tanggungjawab yang diembannya dari masa kini hingga masa yang akan
datang.
c. Kewajaran
Prinsip anti korupsi selanjutnya adalah prinsip kewajaran. Prinsip
ini ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi (ketidakwajaran)
dalam penganggaran, baik dalam bentuk mark up maupun ketidakwajaran
lainnya. Prinsip kewajaran ini terdiri dari lima hal penting yaitu 1)
komprehensif dan disiplin, 2) fleksibilitas, 3) terprediksi, 4) kejujuran dan
5) informatif (Nanang & Romie, 2011:82).55
Komprehensif dan disiplin berarti mempertimbangkan keseluruhan
aspek, berkesinambungan, taat asas, prinsip pembebanan, pengeluaran dan
tidak melampaui batas. Fleksibilitas artinya adanya kebijakan tertentu
untuk mencapai efisiensi dan efektifitas. Terprediksi berarti adanya
ketetapan dalam perencanaan atas dasar asas value for money untuk
menghindari defisit dalam tahun anggaran berjalan. Anggaran yang
terprediksi merupakan cerminan dari adanya prinsip kewajaran di dalam
proses perencanan pembangunan. Sifat selanjutnya adalah kejujuran.
Kejujuran mengandung arti tidak adanya bias perkiraan penerimaan
maupun pengeluaran yang disengaja, yang berasal dari pertimbangan
teknik maupun politis. Kejujuran merupakan bagian pokok dari prinsip
kewajaran. Sifat informatif dijadikan sebagai dasar penilaian kinerja,
kejujuran dan proses pengambilan keputusan (Nanang & Romie,
2011:82).56
d. Kebijakan
Prinsip kebijakan ini diperlukan agar peserta didik mengetahui dan
memahami kebijakan anti korupsi. Kebijkan ini berperan untuk mengatur
tata interaksi agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan
negara dan masyarakat. Kebijakan anti korupsi ini tidak selalu identik
dengan undang-undang anti korupsi, namun dapat berupa undang-undang
kebebasan mengakses informasi, undang-undang desentralisasi, undang-
undang anti monopoli maupun undang-udang lainnya yang dapat
55
Bura, Romie O dan Nanang T. Puspito, op.cit hlm 82.
56
Ibid., hlm 83

51
memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol terhadap
kinerja dan penggunaan anggaran negara oleh para pejabat negara (Nanang
& Romie, 2011:83).
Aspek-aspek kebijakan terdiri dari 1) isi kebijakan, 2) pembuat
kebijakan, 3) pelaksana kebijakan, dan 4) kultur kebijakan. Kebijakan anti
korupsi akan efektif apabila di dalamnya terkandung unsur-unsur yang
terkait dengan persoalan korupsi dan kualitas dari isi kebijakan tergantung
pada kualitas dan integritas pembuatnya. Eksistensi kebijakan tersebut
terkait dengan nilai-nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran
masyarakat terhadap hukum atau undang-undang anti korupsi. Lebih jauh
lagi, kultur kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat
dalam pemberantasan korupsi.
e. Kontrol Kebijakan
Kontrol kebijakan merupakan upaya agar kebijakan yang dibuat
betul-betul efektif dan mengeliminasi semua bentuk korupsi. Bentuk
kontrol kebijakan menurut Nanang & Romie (2011: 83) terdiri dari tiga
bentuk yakni 1) Partisipasi, 2) Revolusi, dan 3) Reformasi. Kontrol
kebijakan berupa partisipasi yakni melakukan kontrol terhadap kebijakan
dengan ikut serta dalam penyusunan dan pelaksanaannya dan kontrol
kebijakan berupa oposisi yakni mengontrol dengan menawarkan alternatif
kebijakan baru yang dianggap lebih layak. Kontrol kebijakan berupa
revolusi yaitu mengontrol dengan mengganti kebijakan yang dianggap
tidak sesuai. Dan reformasi diartikan sebagai menyempurnakan kebijakan
yang dianggap tidak cocok diterapkan dalam zaman yang berbeda.57

3. Nilai-Nilai dan Prinsip-Prinsip Anti Korupsi dalam Pendidikan


Indonesia
Pendidikan antikorupsi mulai dirintis implementasinya di sekolah
pada tahun 2010 pada masa penerapan Standar Isi 2006 (selanjutnya di sini
diberi istilah masa penerapan Kurikulum 2006). Hal ini diperkuat dengan
Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 2012, yang menugaskan Kementerian
57
Bura, Romie O dan Nanang T. Puspito, loc.cit.

52
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penanggung jawab untuk melakukan
aksi berupa pengajaran antikorupsi sebagai sisipan dalam kurikulum karakter
bangsa pada pendidikan dasar dan menengah, dengan sasaran berupa
pengintegrasian nilai-nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah (Sekretariat Negara, 2011), karena nilai-nilai antikorupsi belum
terakomodasi secara eksplisit dalam Kurikulum 2006 (Departemen
Pendidikan Nasional, 2006).58
Selanjutnya, pogram pemerintah pada tahun 2013 akan
mengimplementasikan Kurikulum 2013 secara bertahap dan terbatas.
Bertahap, artinya baru akan diterapkan di kelas I, IV, VII, dan X, sedangkan
kelas lainnya masih menggunakan Kurikulum 2006; terbatas, artinya tidak
semua kelas I, IV, VII, dan X pada setiap sekolah harus menerapkannya,
tetapi hanya terbatas pada sekolah-sekolah tertentu saja (sekolah sasaran),
yang disebabkan antara lain karena keterbatasan anggaran untuk pelatihan
guru dan tenaga kependidikan lainnya serta untuk penggandaan bukunya.
Berbeda dengan Kurikulum 2006, dalam Kurikulum 2013 nilai-nilai
antikorupsi sudah terakomodasi secara eksplisit (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2013), yakni terakomodasi dalam Kompetensi Inti-I (KI-1) dan
Kompetensi Inti-2 (KI-2). KI-1 berisi sikap spiritual, terkait tujuan
membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa; KI-2 berisi sikap
sosial, terkait tujuan membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri,
demokratis, dan bertanggungjawab (Nuh, 2013).59

C. Ringkasan
Penyebab korupsi terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal merupakan penyebab korupsi yang datangnya dari diri pribadi
atau individu, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan atau sistem.
Upaya pencegahan korupsi pada dasarnya dapat dilakukan dengan
menghilangkan, atau setidaknya mengurangi, kedua faktor penyebab korupsi
tersebut. Faktor internal sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti
korupsi tertanam dalam diri setiap individu. Nilai-nilai anti korupsi tersebut
58
Widyastono, H. (2013). Strategi Implementasi Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah. Jurnal
Teknodik, 17(2), hlm 196.
59
Ibid., hlm 195.

53
antara lain meliputi kejujuran, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab,
kerja keras, sederhana, keberanian, dan keadilan.
Kejujuran merupakan dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat
secara moral (Suseno, 1987: 142). Tanpa kejujuran, manusia tidak dapat maju
selangkah pun, karena ia tidak berani menjadi diri sendiri. Tanpa kejujuran,
keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilainya. Bersikap baik
kepada orang lain, tetapi tidak dilandasi kejujuran adalah kemunafikan dan
racun bagi diri sendiri.60 Dalam kehidupan sekolah maupun kampus, nilai
kejujuran dapat diwujudkan oleh siswa dan mahasiswa, dengan tidak
melakukan kecurangan akademik, seperti tidak berbohong kepada guru dan
dosen, tidak mencontek saat ujian, tidak melakukan plagiarisme, dan tidak
memalsukan nilai.
Kepedulian berasal dari kata “peduli”, artinya mengindahkan,
memperhatikan, menghiraukan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002:841).61
Kepedulian bermakna berperilaku dan memperlakukan orang lain dan
lingkungan sekitarnya, sehingga bermanfaat bagi semua pihak (Surono, t.th.:
57).62 Wujud dari nilai kepedulian dalam kehidupan di sekolah dan kampus di
antaranya adalah mematuhi peraturan sekolah dan tata tertib kampus,
membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi teman, merawat tanaman di
sekitar sekolah dan kampus, tidak merusak fasilitas umum, serta merawat dan
menjaga barangbarang milik umum.
Menurut Nanang & Romie (2011:77), kondisi mandiri bagi peserta
didik diartikan sebagai proses mendewasakan diri yaitu dengan tidak
bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya.
Nilai kemandirian dalam kehidupan di sekolah dan kampus di antaranya
adalah mengerjakan tugas-tugasnya sendiri, berangkat sendiri ke sekolah
menggunakan transportasi publik, dan. membersihkan laci, meja dan kursi
tempat duduk di kelas tanpa bantuan orang lain.
Kedisiplinan berasal dari kata disiplin, artinya tata tertib, ketaatan
kepada peraturan (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 268). Disiplin merupakan
60
Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hal 142.
61
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit hlm 841.
62
Surono, op.cit hlm 57.

54
kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam
memegang prinsip, pantang mundur dalam menyatakan kebenaran, dan pada
akhirnya mau berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara (Bahri, 2008:
3).63 Wujud dari kehidupan disiplin dalam kegiatan di sekolah dan kampus, di
antaranya adalah belajar sesuatu dengan cermat, mengerjakan sesuatu
berdasarkan perencanaan yang matang, serta menyelesaikan tugas tepat
waktu.
Tanggung jawab adalah melaksanakan tugas dengan sungguh-sungguh
dari orang lain atau diri sendiri hingga selesai atau sanggup menanggung
resiko dari apa yang telah dikerjakan atau diperbuat (Surono (ed), t.th: 16).64
Wujud nilai tanggung jawab di antaranya adalah belajar sungguhsungguh,
mengerjakan tugas tepat waktu, memelihara amanah ketika mendapat tugas
atau menempati posisi tertentu dalam kegiatan (kepanitiaan), dan lulus tepat
waktu dengan meraih nilai baik.
Kata “kerja” bermakna kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu yang
dilakukan untuk mencari nafkah (Pusat Bahasa Depdiknas, 2002: 554). 65
“Keras” berarti gigih atau sungguh-sungguh hati (Pusat Bahasa Depdiknas,
2002: 550).66 Dengan demikian, bekerja keras berarti melakukan sesuatu
secara bersungguh-sungguh. Pribadi pekerja keras akan muncul dari sosok
yang memiliki motivasi tinggi untuk berubah dan pantang menyerah dalam
segala keadaan. Wujud dari nilai kerja keras dalam kehidupan di sekolah dan
kampus, di antaranya adalah tidak mengambil jalan pintas dalam mencapai
tujuan, menghargai proses tidak sekadar mencapai hasil akhir, menggunakan
waktu yang sebaik-baiknya untuk mengejar suatu target atau tujuan, serta
tidak terlalu memikirkan apa yang akan diperoleh, tetapi memikirkan apa
yang harus dapat dihasilkan.
Kesederhanaan adalah sikap dan perilaku yang tidak berlebihan
terhadap suatu benda, tetapi lebih mementingkan tujuan dan manfaatnya
(Surono (ed), t.th: 3).67 Wujud dari nilai kesederhanaan dalam kehidupan

63
Ibid., hlm 3.
64
Surono, op.cit hlm 16.
65
Departemen Pendidikan Nasional, op.cit hlm 554.
66
Ibid., hlm 550.
67
Surono, op.cit hlm 3.

55
sekolah dan kampus, di antaranya adalah rendah hati dalam pergaulan di
sekolah dan kampus, berpakaian dan menggunakan asesoris tidak berlebihan,
tidak boros dalam memenuhi kebutuhan hidup, tidak suka pamer kekayaan,
serta hemat dalam menggunakan air, listrik, dan energi lainnya.
Keberanian adalah tindakan untuk memperjuangkan sesuatu yang
diyakini kebenarannya (Sutrisno dan Sasongko (ed), t.th.: 30). Orang yang
berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah,
merupakan agen penting dalam mengembangkan nilai-nilai antikorupsi. Nilai
keberanian dalam kehidupan sekolah dan kampus dapat diwujudkan dengan
indikator berani bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuat, berani
membela kebenaran dan keadilan betapa pun pahitnya, dan berani mengakui
kesalahan.
Keadilan adalah memperlakukan seseorang sesuai dengan kebutuhan
dan haknya (Surono, t.th.: 47). Kata kunci keadilan adalah objektif, sesuai,
netral, proporsional, tidak memihak, berpikiran terbuka, dan penuh
pertimbangan. Nilai keadilan dalam kehidupan sekolah dan kampus dapat
diwujudkan dengan sikap dan perilaku tidak memilih teman dalam bergaul,
memberikan pujian kepada teman yang berprestasi, serta tidak menyepelekan
atau merendahkan teman.
Untuk mencegah terjadinya faktor eksternal, selain memiliki nilai-
nilai anti korupsi, setiap individu perlu memahami dengan mendalam prinsip-
prinsip anti korupsi yaitu akuntabilitas, transparansi, kewajaran, kebijakan,
dan kontrol kebijakan dalam suatu organisasi/institusi/masyarakat. Oleh
karena itu hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-nilai anti korupsi
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

D. Kesimpulan
Upaya untuk melawan atau memberantas korupsi tidak cukup dengan
menangkap dan menjebloskan koruptor ke penjara, sebab peluang untuk
berbuat korupsi terhampar luas di hadapan para calon koruptor, terlebih lagi
banyak tersedia arena bagi koruptor-koruptor baru untuk melampiaskan
hasrat korupsinya. Itulah sebabnya diperlukan penanaman nilai-nilai anti

56
korupsi sebagai upaya pencegahan kepada generasi muda. Penamaman nilai-
nilai anti korupsi dapat dilakukan melalui pendidikan anti korupsi.
Pendidikan anti korupsi dilakukan dengan cara menanamkan nilai-
nilai anti korupsi kepada anak-anak, siswa, mahasiswa, dan generasi muda,
guna membentuk sikap antikorupsi dan menghilangkan peluang
berkembangnya tindak pidana korupsi maupun perilaku koruptif lainnya.
Nilai-nilai antikorupsi yang ditanamkan tersebut, yaitu nilai kejujuran,
kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana,
keberanian, dan keadilan.
Nilai-nilai anti korupsi tersebut secara formal ditanamkan di sekolah
dan perguruan tinggi melalui kurikulum yang dikembangkan. Nilai-nilai
tersebut dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum, misal dalam silabi, satuan
acara pembelajaran (perkuliahan), dan kontrak pembelajaran (perkuliahan)
atau pun diselenggarakan dalam bentuk mata pelajaran atau mata kuliah
tersendiri.
Selain menanamkan Nilai-nilai anti korupsi kepada generasi muda,
diperlukan juga pemahaman mendalam akan prinsip-prinsip anti korupsi.
Adapun prinsip-prinsip anti korupsi tersebut yaitu, akuntabilitas, transparansi,
kewajaran, kebijakan, dan kontrol kebijakan dalam suatu
organisasi/institusi/masyarakat. Hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-
nilai anti korupsi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

57
REFERENSI
Alma, B. (2008). Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung:
Alfabeta.
BAPPENAS RI. (2002). Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat.
Jakarta: Bappenas RI
Bura, Romie O dan Nanang T. Puspito. (2011). “Nilai dan Prinsip Anti Korupsi”.
Dalam Pendidikan Antikorupsi untuk Perguruan Tinggi (Ed. Nanang T.
Puspito). Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Mukodi & Afid Burhanuddin. (2014). Pendidikan Anti Korupsi : Rekonstruksi
Interpretatif dan Aplikatif di Sekolah. LPPM Press STKIP PGRI Pacitan
Pierre, J (2007). Handbook of Public Administration. London : SAGE Publication
Ltd.
Prasojo, E., Teguh K., & Defny H. (2007). Refomasi dan Inovasi Birokrasi: Studi
di Kabupaten Sragen. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI dan
Yappika CIDA.
Puslitbang BPKP. (2001). Evaluasi Perkembangan Akuntansi Pemerintah Pusat
dan Daerah. Jakarta: BPKP.
Surono, Yustinus. (T.th). Pendidikan Nilai-Nilai Anti Korupsi Untuk Kelas 6 SD.
Jakarta: KPK dan GTZ.
Suseno, Franz Magnis. (1987). Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Yogyakarta: Kanisius.
Sutrisno, V dan Eva Sasongko. (T.th). Pendidikan Nilai-Nilai Anti Korupsi Untuk
Kelas 5 SD. Jakarta: KPK dan GTZ.
Tamrin, R. (2008). Buku Panduan Guru Modul Pendidikan Anti Korupsi Tingkat
SLTA/MA. Jakarta: KPK.

Jurnal
Dubnick, M. (2005). Accountability and the Promise of Performance. Public
Performance and Management Review (PPMR), 28 (3).
Mukodi (2018). TEENAGER CORRUPTION WATCH: Studi Pemodelan
Pemberantasan Korupsi Di Pacitan, Jurnal Penilitian Pendidikan, (10)2,
hlm 1533-1537.

58
Widyastono, H. (2013). Strategi Implementasi Pendidikan Anti Korupsi di
Sekolah. Jurnal Teknodik, 17(2), hlm 194-208.

59
BAB V
PEMBENTUKAN LEMBAGA
PEMBERANTASAN DAN
PENEGAKAN HUKUM TINDAK
PIDANA KORUPSI
(Putri Robyyatul Arofah)
NIM 1701267

60
BAB V
PEMBENTUKAN LEMBAGA PEMBERANTASAN DAN PENEGAKAN
HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sejarah Pembentukan Lembaga Pemberantasan Korupsi


Sejarah pembentukan Lembaga / Tim Pemberantasan Korupsi sesungguhnya
sudah dimulai sejak tahun 1960 hingga saat ini. Lembaga atau tim yang pernah
dibentuk dalam pemberantasan korupsi, sebagai berikut:
1. Pada masa orde lama (“Operasi Budhi”)
Munculnya Perppu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak
pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya untuk
mengusut karyawan-karyawan ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu
perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh
para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain mengusut Mayor Suhardiman (kini
Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan dari dakwaan.
Pada masa orde baru
a. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK))
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi
(TPK) dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar
hukumnya masih tetap UU 24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain
seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil
kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9 orang yang diindikasikan
“koruptor”.
b. Komisi empat
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970, untuk
memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil
pemerintah, dan memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif
untuk memberantas korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai
penasihat Komisi Empat. Anggota- anggotanya adalah mantan perdana menteri
Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto dan Kepala
BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena
korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun).
Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik
Kaltim Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi Presiden
menguranginya menjadi 20 tahun). Koruptor itu menilep uang negara Rp. 7,6
milyar — jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang dihukum adalah
para koruptor lapis kedua dan rendahan bahkan sedikit sekali pelaku tindak pidana

61
korupsi yang diajukan di pengadilan. Banyak kasus yang dipetieskan atau tidak
diketahui kelanjutannya secara jelas.
Komisi Anti Korupsi (KAK)
Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi
Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis
mahasiswa eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan
dkk. Namun belum terlihat hasil yang telah dicapai,
c. Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua bulan sejak
terbentuk.
d. Operasi Penertiban (OPSTIB)
Pada tahun 1977 dengan berdasarkan Inpres 9 Tahun 1977, Pemerintah
melancarkan Operasi Penertiban (OPSTIB). Dalam empat tahun (1977- 81)
Opstib telah menyelamatkan uang negara Rp.200 milyar dan menindak 6.000
pegawai. Opstib merupakan gabungan dari unsur polisi, kejaksaan, militer, dan
dari menteri pedayaguanaan aparatur negara dan setiap tiga bulan melaporkan
kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah.
3. Masa reformasi
a. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah Jaksa
Agung Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai
terbentuknya komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat UU No.31
tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang
beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari masyarakat tidak mendapat dukungan.
Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan TGPTPK untuk mengusut kasus
BLBI yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa Agung. Akhirnya,
TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang Hakim
Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan


Penyelenggaran Negara (KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf Syakir ini bertugas menerima dan
memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara. Sejumlah pejabat pernah
dilaporkan oleh KPKPN ke Kepolisian, namun banyak kasus yang tidak
ditindaklanjuti seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah yang tidak dilaporkan
milik Jaksa Agung waktu itu, MA Rachman. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002
tentang KPK akhirnya KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Upaya terakhir

62
mempertahankan KPKPN melalui permohonan Judicial Review akhirnya ditolak
oleh Mahakamah Konstitusi.
b. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29
wewenang yang luar biasa ini dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin
Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana Harjapamengkas, Tumpak Hatorang.
Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima 1.452 laporan masyarakat
mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus diantaranya ditindaklanjuti dalam
proses penyidikan dan sudah dua kasus korupsi yang berhasil dilimpahkan ke
Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah
divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang
terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan
KPK berhasil menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai
Setjen KPU ke penjara. Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai kalangan
namun apa yang telah dilakukan oleh KPK sedikit banyak memberikan harapan
bagi upaya penuntasan beberapa kasus korupsi di Indonesia. Setelah Megawati
lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu
Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung , Basrief Arief dibawah
koordinasi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan
Kepolisian bertugas memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang
melarikan diri keluar negeri. Meskipun belum terlihat hasil yang telah dicapai,
namun Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah menurunkan tim ke lima negara,
yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan Australia. Selain itu Tim
pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang terparkir di luar
negeri sebanyak Rp 6- 7 triliun.
c. Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) Tim
pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang dibentuk Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada tanggal 2 Mei 2005. Ada dua
tugas utama yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman Supandji. Pertama,
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketentuan
hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi.
Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak
pidana serta menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara
optimal.
Masa tugas Tim yang terdiri dari 48 orang anggota dan berasal dari unsur
kepolisian, kejaksaan dan BPKP adalah dua tahun dan dapat diperpanjang. Tim
ini berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Setiap tiga bulan,

63
timtas tipikor melaporkan perkembangan kerjanya kepada Presiden. Tidak lama
setelah berdiri, tim ini sudah disibukkan dengan penyelesaian kasus korupsi yang
terjadi di 16 badan usaha milik negara (BUMN), 4 Departemen, 3 perusahaan
swasta dan 12 koruptor yang melarikan diri.
Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menentukan adanya
kriteria kasus korupsi yang dapat langsung ditangani oleh komisi, dalam Kepres
No. 11 Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum keberadaan Timtas Tipikor tidak
menyebutkan kriteria kasus apa saja yang menjadi kewenangannya.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Hasil evaluasi terhadap praktek pemberantasan dan penegakan hukum tindak
pidana korupsi dan perkembangan hukum nasional dan internasional telah
mendorong perubahan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil dalam
penanganan tindak pidana korupsi dan yang terakhir adalah diundangkannya
Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi sebagai pengadilan khusus yang menngadili perkara tindak pidana
korupsi dan perubahan tersebut telah membawa implikasi hukum pada ketentuan
undang-undang lain.
B. Kelembagaan dan Penanganan Pemberantasan Korupsi Saat ini. Lembaga
Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana korupsi
a. Kepolisian
Polisi merupakan salah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tugas dan
wewenang kepolisian diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Republik Indonesia. Dalam kaitannya dengan kasus korupsi polisi memiliki hak
dalam penyelidikan, yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undan dan penyidikan. Selain itu polisi juga memiliki hak penyidikan,
yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya. Hal ini sebagimana yang dijelaskan dalam pasal 14 UU No 2 Tahun
2002 yang berbunyi ”melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya”. Selain itu kepolisian juga berwenang untuk menghentikan
penyidikan sebagaiman yang di ungkapkan dalam pasal 16 bahwa : ” Dalam
rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan 14 di
bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
h. Mengadakan penghentian penyidikan”.
b. Kejaksaan

64
Ide dasar yang terkandung di dalam KUHAP adalah penyidik
utama adalah kepolisian. Tetapi dalam pasal 284 KUHAP secara khusus
memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk menyidik perkara tindak
pidana khusus untuk sementara dimaksudkan untuk mempersiapkan sumber daya
manusia serta sarana prasarana di dalam Kepolisian agar pada waktunya dirinya
sudah memadai sebagai penyidik.
Ada dua macam perkara pidana umumnya yang harus mengikuti ketentuan dalam
KUHAP untuk sementara, pasal 284 ayat (2) menyebutkan bahwa : "Dalam
jangka waktu dua tahun setelah undang- undang ini diundangkan, maka terdapat
semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian
untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi”. Sementara dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan, “yang
dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada, antara lain :
1. Undang-undang tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana
ekonomi (undang-undang nomor 7 Drt. Tahun 1995);
2. Undang-undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (undang-
undang Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001), dengan catatan
bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-
undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu
sesingkat- singkatnya.
Selanjutnya mengenai kewenangan penyidikan oleh Kejaksaan dipertegas dalam
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dapat dijumpai pada
pasal 30 ayat (1) huruf d bahwa “di Bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas
dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang. Dengan demikian nampak jelas bahwa dalam perkara tindak
pidana khusus Kejaksaan mempunyai wewenang untuk menyidik. Sementara itu,
Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan dapat dijumpai pada
pasal 30 ayat (1) huruf e yaitu memberi kewenangan pada Kejaksaan untuk
melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
c. KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara
yang dalam melaksakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi).

65
KPK dibentuk karena penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana
korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami
berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar
biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan
luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara
optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Begitu parahnya maka korupsi di Indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak
pidana luar biasa (extra ordinary crime). Cara penanganan korupsi harus dengan
cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK yang mempunya wewenang luar
biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super
body).
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat
independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5
(lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat
negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat
sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi
yang:
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan
institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan;
3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism);

66
4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada,
dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan
oleh
kepolisian dan/atau kejaksaan.
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah
pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola
Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum
yang kuat sehingga sumber daya manusia tersebut dapat konsisten dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
ini.
KPK diberikan kewenangan yang luar biasa seperti yang diatur dalam Pasal 6
butir b, c, d dan e UU. No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi bahwa lembaga ini dapat bertindak mulai dari:
1. Mensupervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana
korupsi;
2. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi;
3. Melakukan tindakan pencegahan korupsi;
4. Memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Selanjutnya KPK
mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan
apabila :
1. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditinjaklanjuti;
2. Proses penanganan tindak pidana korupsi tidak ada kemajuan/berlarut-larut/
tetunda tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan;
3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi
yang sesungguhnya;
4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
5. Adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari
eksekutif, yudikatif atau legislatif; atau
6. Keadaan lain yang menurut pertimbangnan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga diberi
kerwenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang :

67
1. Melibatkan aparat pengak hukum, penyelengara negara dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat pengak
hukum dan penyelengara negara;
2. Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000
(satu miliar rupiah).
Lembaga PenuntutanTindak Pidana korupsi a. Kejaksaan
Pengertian penuntutan adalah suatu tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang, yang dalam hal ini dan
cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa oleh
Hakim di Pengadilan. Selanjutnya dalam Undangundang Nomor 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan RI pasal 2 angka (1), disebutkan bahwa Kejaksaan Republik
Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini yang disebut Kejaksaan
adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
Untuk kesempurnaan tugas penuntutan, Jaksa perlu mengetahui sejelas-jelasnya
semua pekerjaan yang dilakukan dalam penyidikan perkara i pidana dari
permulaan sampai akhir, yang seluruhnya dilakukan atas dasar hukum. Oleh
karena itu, prapenuntutan merupakan wewenang yang diberikan undang-undang
kepada Jaksa Penuntut Umum. Apabila Jaksa Penuntut telah menerima dan
memeriksa hasil penyidikan dari Kepolisian berikut bukti buktinya, dan kemudian
berpendapat hasil penyidikan belum lengkap dan sempurna, maka atas dasar itu,
Jaksa Penuntut Umum segera mengembalikan berkas dengan disertai petunjuk-
petunjuk seperlunya. Misalnya, tambahan dan merinci tindakan tersangka dan
mencari bukti lainnya yang akan memperkuat dugaan pelanggaran tersebut dan
sebagainya.
Dalam kaitan ini, penyidik segera melaksanakan permintaan penuntut umum.
Sebaliknya, Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa pemeriksaan pendahuluan
sudah lengkap, maka Jaksa Penuntut Umum segera membuat surat dakwaan dan
melimpahkannya ke Pengadilan. Dan Jaksa Penuntut Umum harus
memperhatikan dua hal yaitu kepentingan umum dan kepentingan tersangka. Bagi
tersangka, Jaksa penuntut Umum memberikan kesempatan untuk persiapan
pembelaan dirinya. Bagi kepentingan umum adalah untuk menghindari sejauh
mungkin jalan menghentikan penuntutan demi kepentingan umum. Dalam hal
penuntut umum berpendapat ada alasan untuk tidak menuntut ia harus
menetapkan untuk menghentikan penuntutan. Ada dua macam keputusan tidak
menuntut yang dibenarkan KUHAP. Pertama, penghentian penuntutan karena
alasan teknis. Kedua, Penghentian penuntutan karena alasan kebijakan.
b. KPK

68
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat
independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5
(lima) orang yang merangkap sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat
negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat
sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi
yang:
a. melibakan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan
institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan;
3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada,
dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan
oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah
didukung oleh ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis antara lain:
1. ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat
perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian terbalik;

69
2. ketentuan tentang wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dapat
melakukan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
penyelenggara negara, tanpa ada hambatan prosedur karena statusnya selaku
pejabat negara;
3. ketentuan tentang pertanggungjawaban Komisi Pemberantasan Korupsi kepada
publik dan menyampaikan laporan secara terbuka kepada Presiden Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan;
4. ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota
Komisi atau pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan
korupsi; dan
5. ketentuanmengenaipemberhentiantanpasyaratkepadaAnggota Komisi
Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah
pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan memimpin dan mengelola
Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum
yang kuat sehingga sumber daya manusia
tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang ini.
KPK diberikan kewenangan yang luar biasa seperti yang diatur dalam Pasal 6
butir b, c, d dan e UU. No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi bahwa lembaga ini dapat bertindak mulai dari:
1) Mensupervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana
korupsi;
2) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi;
3) Melakukan tindakan pencegahan korupsi;
4) Memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selanjutnya KPK mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani kepolisian
atau kejaksaan apabila :
1) laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditinjaklanjuti;
2) Proses penanganan tindak pidana korupsi tidak ada kemajuan/berlarut-larut/
tetunda tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan;
3) Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi
yang sesungguhnya;
4) Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

70
5) Adanya hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif; atau
6) Keadaan lain yang menurut pertimbangnan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga diberi
kerwenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang :
1) Melibatkan aparat pengak hukum, penyelengara negara dan orang lain yang ada
kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat pengak
hukum dan penyelengara negara;
2) Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau
3) Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000
(satu miliar rupiah).
Untuk memerangi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana
luara biasa (extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan kewenangan yang
tidak dimiliki instititusi lain yaitu:
1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang
seseorang berpergian keluar negeri;
3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa;
4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa,
atau pihak lain yang terkait;
5. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada
instansi terkait;
6. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan
bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang
sedang diperiksa;

71
7. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain
untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar
negeri;
8. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Ide pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi muncul dalam
proses pembentukan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 dimuat dalam Bab
VII tentang Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Pasal 53 sampai dengan Pasal 62.
Pembentukan Pengadilan Korupsi dimuat dalam Pasal 53 dikutip selengkapnya:
Pasal 53
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana
korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
Pembentukan Pengadilan Tipikor melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
tersebut telah diuji materiil dan hasil pengujian materiil tersebut dimuat dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016- 019/PUU-IV/2006 tanggal 19
Desember 2006 yang intinya menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang dimuat dalam Pasal 53- 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
adalah inskonstitusional. Atas dasar Putusan MK tersebut telah diterbitkan produk
hukum baru yaitu Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dan ketentuan Pasal 39 telah mencabut berlakunya Pasal
53-62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.
 Pencegahan Tindak Pidana di Sektor Publik

Fenomena korupsi di dalam era reformasi banyak terjadi di Indonesia,


khususya di tingkat Pemerintah Daerah. Korupsi sebenarnya termasuk
salah satu bentuk tindakan yang dilarang di Indonesia karena merupakan
tindak pidana. Hal tersebut tertera pada Undang Undang Republik
Indonesia nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme pasal 1 ayat 3 yang
berbunyi, korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi.
Melihat fenomena korupsi yang terus menjamur di Indonesia,
menyebabkan semakin kecilnya kepercayaan masyarakat akan kinerja
khususnya di instansi pemerintah. Korupsi menunjukan tantangan serius
terhadap pembangunan daerah. Di dalam dunia politik, korupsi

72
mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal.
Fenomena korupsi di daerah yang semakin terbuka, terjadi karena terdapat
perbedaan atau ketidak konsistensian peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat dan daerah. Money politics merupakan salah satu bentuk
terjadinya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di daerah. Otonomi
daerah pada dasarnya di berikan kepada daerah agar pemerintah daerah
dapat meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas pemerintah
daerah untuk tercapainya pemerintahan yang baik. (Mardiasmo, 2009).
Menurut Rinaldi, Purnomo, dan Damayanti (2007) sejak diberlakukannya
otonomi otonomi daerah berdasarkan UU no. 22 tahun 1999 tentang
pemerintah daerah di tahun 2001 telah terjadi kecenderungan korupsi di
pemerintah daerah yang meningkat.
Hingga akhir 2014, Indonesia masih mengalami korupsi yang relatif
tinggi. Dalam Corruption Perception Index 2014, Indonesia menempati
posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0
berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih). Dalam data tersebut
juga diungkapkan bahwa korupsi menempati urutan teratas dari 18
(delapan belas) faktor penghambat kemudahan berusaha di Indonesia.
Terciptanya suatu pemerintah daerah yang akuntabel menjadi suatu
harapan tersendiri bagi masyarakat, sehingga tercipta suatu sistem
pertanggungjawaban pemerintah daerah sebagai entitas yang mengelola
dan bertanggung jawab atas penggunaan kekayaan daerah.
Menurut Mardiasmo (2009) akuntabilitas pada organisasi sektor publik,
mempunyai arti bahwa pengelolaan pemerintah daerah terdapat hubungan
keagenan (teori keagenan) antara masyarakat sebagai prinsipal dan
pemerintah sebagai agen. Dari konsep teori keagenan inilah bisa terjadi
information asymmetry antara pihak pemerintah (agent) yang memiliki
akses langsung terhadap informasi dengan pihak masyarakat (principal).
Karena terjadi information asymmetry bisa menyebabkan terjadinya
korupsi atau penyelewengan oleh agent (pemerintah). Untuk menghindari
terjadinya korupsi di pemerintahan daerah, maka pengelolaan pemerintah
daerah harus akuntabel dan diperlukan sistem pengawasan yang handal.
Dengan terciptanya pemerintah daerah yang akuntabel berarti semakin
sedikit terjadinya permasalahan information asymmetry, sehingga semakin
sedikit peluang terjadinya penyelewengan atau korupsi, oleh pihak
pemerintah daerah (agent).
Salah satu dimensi akuntabilitas publik yang utama adalah akuntabilitas
keuangan (Mardiasmo, 2006). Akuntabilitas keuangan merupakan
pertanggungjawaban mengenai integritas keuangan, pengungkapan dan
ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sasarannya adalah
laporan keuangan yang mencakup penerimaan, penyimpanan dan
pengeluaran keuangan instansi pemerintah (LAN dan BPKP, 2001).
Dengan demikian tingkat akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah (LKPD) yang dibuat oleh pemerintah daerah menggambarkan

73
tingkat akuntabilitas keuangan pemerintah daerah yang menjadi kebutuhan
penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Menurut Heriningsih (2014) Akuntabilitas Pemerintah Daerah merupakan
tingkat pengukuran kinerja yang diukur dengan menggunakan hasil audit
BPK RI atas LKPD setiap tahunnya. Terdapat tiga indikator pengukuran
yang digunakan dalam penelitian ini yang merupakan tiga hasil yang
terdapat dalam LKPD yang telah diaudit. Opini auditor menjadi pusat
perhatian dalam setiap laporan kinerja suatu entitas demikian juga dengan
penelitian ini sehingga dengan menggunakan penalaran bahwa jika
Pemerintah daerah memperoleh opini WTP (wajar tanpa pengecualian)
maka harapannya akan semakin bagus kinerja pemerintah daerah dan
pastinya korupsi tidak dapat terjadi. Sedangkan jika terdapat tingkat
kelemahan pada Sistem pengendalian internal maka tentu terdapat
tambahan masukan untuk pemperbaiki pengendalian agar lebih efektif di
tahun berikutnya. Yang ke tiga ketaatan pada perundang-undangan dapat
dikatakan bahwa semakin banyak ditemukan ketidaktaatan maka akan
mudah disinyalir bisa terindikasi terjadinya korupsi.
Opini audit BPK RI terdiri dari empat opini, yaitu Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP/unqualified opinion), Wajar Dengan Pengecualian
(WDP/Qualified opinion), Tidak Wajar (TW/Adverse opinion) dan Tidak
Memberikan Pendapat (TMP/Disclaimer opinion). Opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP/unqualified opinion) menyatakan bahwa laporan
keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal
yang material dan informasi keuangan dalam laporan keuangan dapat
digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. Opini Wajar Dengan
Pengecualian (WDP/Qualified opinion) menyatakan bahwa laporan
keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dalam semua hal
yang material, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan
yang dikecualikan, sehingga informasi keuangan dalam laporan keuangan
yang tidak dikecualikan dalam opini pemeriksa dapat digunakan oleh para
pengguna laporan keuangan. Opini Tidak Wajar (TW/Adverse opinion)
menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan
secara wajar dalam semua hal yang material, sehingga informasi keuangan
dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para pengguna
laporan keuangan. Pernyataan menolak memberikan opini atau Tidak
Memberikan Pendapat (TMP/Disclaimer opinion) menyatakan bahwa
laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar
pemeriksaan.
Dengan kata lain, pemeriksa tidak dapat memberikan keyakinan bahwa
laporan keuangan bebas dari salah saji material, sehingga informasi
keuangan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para
pengguna laporan keuangan. Selain menerbitkan laporan hasil
pemeriksaan keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah yang
berupa opini, BPK juga menerbitkan laporan hasil pemeriksaan atas
Sistem Pengendalian Intern (SPI) pada setiap entitas yang diperiksa.

74
Laporan ini memaparkan tingkat kelemahan pengendalian intern yang
terjadi pada suatu entitas (pemerintah daerah). Hasil evaluasi SPI oleh
BPK menunjukkan kasus-kasus kelemahan sistem pengendalian intern
yang dapat dikelompokkan sebagai kelemahan sistem pengendalian
akuntansi dan pelaporan, kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja, serta kelemahan struktur pengendalian
intern. Semakin banyak kelemahan sistem pengendalian intern yang terjadi
pada suatu pemerintah daerah berarti menunjukkan tingkat
akuntabilitasnya semakin rendah dan akan meningkatkan peluang
terjadinya korupsi. Hal ini terjadi karena salah satu penyebab korupsi
adalah adanya sistem yang lemah sebagaimana disampaikan M Jasin,
wakil ketua KPK (2008), bahwa kelemahan sistem menimbulkan potensi
tindak pidana korupsi.
Komponen terakhir yang diungkapkan BPK dalam rangka menilai
akuntabilitas LKPD adalah kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan. Pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan dilaksanakan guna mendeteksi salah saji material yang
disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian
laporan keuangan. Hasil pemeriksaan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan atas laporan keuangan mengungkapkan
ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan yang
mengakibatkan kerugian daerah, potensi kerugian daerah, kekurangan
penerimaan, administrasi, ketidakekonomisan, ketidakefisienan, dan
ketidakefektifan. Akuntabilitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) yang dinilai oleh BPK melalui laporan hasil pemeriksaan (LHP)
yang terdiri dari opini, sistem pengendalian intern, dan kepatuhan terhadap
ketentuan perundangundangan secara teoritis berpengaruh terhadap tingkat
korupsi di pemerintah daerah. Klitgaard (Kurniawan, 2009) berpendapat
bahwa salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk memberantas
korupsi adalah dengan memperbaiki sistem yang korup yakni dengan
mengatur masalah monopoli, diskresi dan akuntabilitas.

Heriningsih dan Marita (2013) melakukan penelitian dengan judul


Pengaruh Opini Audit dan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah terhadap
Tingkat Korupsi Pemerintah Daerah (Studi Empiris pada Pemerintah
Kabupaten dan Kota di Pulau Jawa). Penelitian bertujuan untuk menguji
menguji secara empiris pengaruh opini audit dan kinerja keuangan
pemerintah daerah terhadap tingkat korupsi di yang terjadi di Kota dan
Kabupaten di Pulau Jawa Periode 2008-2010. Hasil pengujian secara
statistik membuktikan bahwa variabel opini audit dan kinerja keuangan
(rasio kemandirian, rasio aktivitas, dan rasio pertumbuhan) tidak
berpengaruh terhadap tingkat korupsi di Pulau Jawa.
Berdasarkan paparan diatas, penelitian ini dimaksudkan untuk
membuktikan teori yang menyatakan bahwa akuntabilitas publik

75
berpengaruh terhadap korupsi dan menambah referensi tentang peran
akuntabilitas publik dalam pemberantasan korupsi dengan menganalisis
secara empiris tentang Pengaruh Akuntabilitas Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah (LKPD) Terhadap Tingkat Korupsi Pemerintah Daerah
Di Indonesia.

 Pencegahan Tindak Pidana di Sektor Swasta


Indonesia yang merupakan lokomotif ekonomi di Asia Tenggara dan
anggota G20, telah terbukti berhasil bangkit kembali dari Krisis Keuangan
Asia tahun 1997. Reformasi kelembagaan serta komitmen kuat untuk
memberantas korupsi secara sistematis, telah meningkatkan perekonomian
Indonesia yang berkelanjutan dan menjanjikan. Meskipun tindak pidana
korupsi yang melibatkan sektor swasta relatif tinggi, upaya pencegahan
dan penindakan masih terkonsentrasi pada sektor publik. Upaya
meningkatkan kepatuhan dengan memberlakukan larangan penerimaan
hadiah atau gratifikasi bagi pegawai negeri, menunjukkan hasil yang
signifikan. Berdasarkan laporan KPK, pegawai Badan Usaha Milik
Negara/Daerah (BUMN/BUMD) berkontribusi sebesar 58 persen dari total
laporan gratifikasi yang diterima dalam kurun waktu 2010-2014. Akan
tetapi, upaya lebih lanjut masih perlu dilakukan guna melibatkan pihak
swasta secara keseluruhan dalam upaya melawan korupsi. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Univesitas Gajah Mada, 670 pelaku korupsi dari
sektor swasta menjadi terdakwa dalam kasus korupsi antara tahun 2001
dan 2015.

76
Temuan tersebut menempatkan komunitas bisnis dalam peringkat kedua tertinggi
pelaku korupsi setelah pegawai negeri. Sebagai upaya lebih lanjut, KPK
melakukan pendekatan pencegahan korupsi di sektor swasta dengan menerapkan
tiga tahap strategi, yakni; mempromosikan praktik-praktik terbaik, membangun
komitmen terhadap nilai-nilai anti-korupsi, serta membangun kerja sama strategis
dengan pemangku kepentingan utama, termasuk komunitas bisnis.

1. MEMBANGUN KOMITMEN NILAI-NILAI ANTIKORUPSI

Strategi utama KPK dalam upaya pencegahan korupsi berfokus pada


pembangunan komitmen perusahaan akan nilai-nilai antikorupsi. Saat ini KPK
sedang membangun upaya pelibatan sektor swasta dalam pencegahan korupsi.
KPK telah menyelenggarakan serangkaian pertemuan dengan sektor swasta,
dan juga Kamar Dagang dari Kanada, Jerman, Amerika Serikat, dan Inggris
serta mitra strategis lainnya guna memfasilitasi keterlibatan sektor swasta
dalam pencegahan korupsi. Forum kerja sama ini memberikan kesempatan
untuk saling bertukar pengalaman, pemikiran-pemikiran mengenai kebijakan,
dan inisiasi baru antara para pemangku kepentingan utama. Meskipun dunia
bisnis memiliki bentuk, ukuran dan tujuan beragam, KPK bermaksud
membuat aksi bersama dan kolaborasi dengan komunitas bisnis dalam
melawan praktik-praktik bisnis yang tidak etis dan ilegal.

2. KELOMPOK KERJA SEKTORAL

KPK menerapkan pendekatan baru dalam upaya mencegah tindak pidana korupsi
bersama-sama dengan pemerintah dan swasta. Pendekatan ini memprioritaskan
lima sektor utama: kesehatan, minyak dan gas bumi, kehutanan, pembangunan
infrastruktur, dan ketahanan pangan. KPK bermaksud memberdayakan agen
perubahan (champion) dari masing-masing sektor, mendorong pembentukan dan
penguatan kebijakan pencegahan korupsi, serta mendorong aksi anti-korupsi yang
melibatkan aktor-aktor dari sektor swasta, aparat pemerintah,LSM, akademisi,
serta masyarakat.

Sebagai langkah awal, KPK membentuk kelompok kerja anti-korupsi pada Maret
2016 yang terdiri dari profesional dan asosiasi bisnis dengan fokus pada
pencegahan korupsi di sektor kesehatan. Kelompok kerja serupa dibentuk pada
bulan yang sama dengan fokus pada sektor minyak dan gas bumi. Melalui
kelompok-kelompok kerja ini KPK berkeinginan memfasilitasi komitmen anti-
korupsi dari kelompok sektor swasta terkait, sekaligus membantu pengembangan
rencana kerja sama antar kelompok. Kelompok-kelompok kerja anti-korupsi ini
juga mendukung kegiatan sosialisasi praktik-praktik terbaik, misalnya: bagaimana
meningkatkan level kepatuhan terhadap peraturan bagi korporasi yang sudah
memiliki kebijakan kepatuhan, dan bagaimana mengembangkan dan menerapkan
kode etik bagi perusahaan yang belum memiliki peraturan kepatuhan anti-korupsi.

77
Saat ini KPK telah menyelesaikan kurikulum untuk Anti-Corruption Learning
Center guna mendukung pengembangan budaya perusahaan yang lebih baik,
terciptanya pengawasan internal yang lebih kuat, dan mekanisme lain yang
mendorong integritas dalam mencegah korupsi di sektor swasta. Selanjutnya,
KPK bekerja sama dengan sektor swasta dalam mengembangkan alat edukasi
interaktif dan inovatif berupa anti-corruption board games. KPK juga mendorong
komunitas bisnis agar berani mendeklarasikan komitmen praktik bisnis bebas
korupsi dengan memasukkan rencana, kebijakan dan pakta anti-korupsi dalam
laporan tahunan perusahaan.

Pencegahan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat

a. Salah satu upaya memberantas korupsi adalah memberi hak pada masyarakat
untuk mendapatkan akses terhadap informasi (access to information). Sebuah
sistem harus dibangun di mana kepada masyarakat (termasuk media) diberikan
hak meminta segala informasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang
mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hak ini dapat meningkatkan keinginan
pemerintah untuk membuat kebijakan dan menjalankannya secara transparan.
Pemerintah memiliki kewajiban melakukan sosialisasi atau diseminasi berbagai
kebijakan yang dibuat dan akan dijalankan.
b. Isu mengenai public awareness atau kesadaran serta kepedulian publik terhadap
bahaya korupsi dan isu pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bagian
Sejak beberapa tahun silam KPK bekerjasama dengan perguruan tinggi dan guru
membuat modul pendidikan anti korupsi bagi siswa Sekolah Menengah dan siswa
Sekolah Dasar. Pendidikan anti korupsi ini bertujuan untuk sejak dini
memperkenalkan kepada siswa sekolah tentang bahaya korupsi. Buku Ajar
Pendidikan Anti Korupsi yang anda pegang ini juga merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kepedulian serta kesadaran mahasiswa akan bahaya korupsi.
Buku saku yang dikeluarkan oleh KPK adalah salah satu contoh saja cara
melakukan kampanye untuk mencegah dan memberantas korupsi.
yang sangat penting dari upaya memberantas korupsi. Salah satu cara untuk
meningkatkan public awareness adalah dengan melakukan kampanye tentang
bahaya korupsi. Sosialisasi serta diseminasi di ruang publik mengenai apa itu
korupsi, dampak korupsi dan bagaimana memerangi korupsi harus diintensifkan.
Kampanye tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan media massa (baik
cetak maupun tertulis), melakukan seminar dan diskusi. Spanduk dan poster yang
berisi ajakan untuk menolak segala bentuk korupsi ‘harus’ dipasang di kantor-
kantor pemerintahan sebagai media kampanye tentang bahaya korupsi. Di
beberapa negara termasuk Indonesia, isu korupsi dimasukkan sebagai salah satu
bagian dari mata pelajaran atau mata kuliah baik di tingkat sekolah dasar maupun

78
menengah dan perguruan tinggi. Sayangnya subjek ini belum diberikan secara
nasional. Transparency International juga mengeluarkan toolkit mengenai
pendidikan anti korupsi untuk anak di tingkat pendidikan dasar. Mata kuliah yang
mahasiswa pelajari saat ini adalah salah satu cara supaya mahasiswa dapat
mengetahui seluk- beluk korupsi dan meningkatkan kepedulian serta kesadaran
akan bahaya korupsi. Di beberapa sekolah didirikan ‘Kantin Kejujuran’ yang
bertujuan untuk melatih kejujuran siswa.
c. Salah satu cara untuk ikut memberdayakan masyarakat dalam mencegah dan
memberantas korupsi adalah dengan menyediakan sarana bagi masyarakat untuk
melaporkan kasus korupsi. Sebuah mekanisme harus dikembangkan di mana
masyarakat dapat dengan mudah dan bertanggung-jawab melaporkan kasus
korupsi yang diketahuinya. Mekanisme tersebut harus dipermudah atau
disederhanakan misalnya via telepon, surat atau telex. Dengan berkembangnya
teknologi informasi, media internet adalah salah satu mekanisme yang murah dan
mudah untuk melaporkan kasus-kasus korupsi.
d. Di beberapa Negara, pasal mengenai ‘fitnah’ dan ‘pencemaran nama baik’ tidak
dapat diberlakukan untuk mereka yang melaporkan kasus korupsi dengan
pemikiran bahwa bahaya korupsi dianggap lebih besar dari pada kepentingan
individu. Walaupun sudah memiliki aturan mengenai perlindungan saksi dan
korban yakni UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
masyarakat Indonesia masih dihantui ketakutan akan tuntutan balik melakukan
fitnah dan pencemaran nama baik apabila melaporkan kasus korupsi.
e. Pers yang bebas adalah salah satu pilar dari demokrasi. Semakin banyak
informasi yang diterima oleh masyarakat, semakin paham mereka akan bahaya
korupsi. Menurut Pope media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang
independen. Selain berfungsi sebagai alat kampanye mengenai bahaya korupsi,
media memiliki fungsi yang efektif untuk melakukan pengawasan atas perilaku
pejabat publik. Henry Grunwald, pemimpin redaksi Time menyatakan bahwa
‘pemerintahan yang terpilih secara demokratis dan patuh sekalipun dapat dengan
mudah menjadi pemerintah yang korup apabila kekuasaannya tidak diawasi oleh
pers yang bebas’. Media mempunyai peranan khusus dalam perang melawan
korupsi. Pejabat publik mungkin lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan
jabatan mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin tidak ada resiko
bahwa perbuatan mereka akan terbongkar dan diungkapkan oleh pers (Pope:
2003). Namun media juga memiliki titik lemah. Hal ini terjadi apabila media
tersebut dimiliki oleh pemerintah. Umumnya pemerintah adalah pemilik stasiun
televisi dan radio terbesar dalam suatu negara. Kita ambil contoh saja TVRI dan
RRI. Karena milik pemerintah, tentu saja independensinya tidak dapat terlalu
diandalkan. Salah satu titik lemah lagi dari media adalah pekerjaan jurnalisme
yang berbahaya. Penculikan, penganiayaan dan intimidasi terhadap jurnalis atau
wartawan menjadi hal yang biasa (Pope : 2003). Segala macam cara akan
digunakan oleh mereka (terutama yang memiliki uang dan kekuasaan) yang tidak
ingin namanya tercoreng karena pemberitaan di media.

79
f. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau NGOs baik tingat lokal atau
internasional juga memiliki peranan penting untuk mencegah dan memberantas
korupsi. Mereka adalah bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang
keberadaannya tidak dapat diremehkan begitu saja. Sejak era reformasi, LSM baru
yang bergerak di bidang Anti-Korupsi banyak bermunculan. Sama seperti pers
yang bebas, LSM memiliki fungsi untuk melakukan pengawasan atas perilaku
pejabat publik. Simak saja apa yang telah dilakukan oleh ICW (Indonesia
Corruption Watch), salah satu LSM lokal yang berkedudukan di Jakarta. LSM ini
menjadi salah satu garda terdepan yang mengawasi segala macam perbuatan
pemerintah dan perilaku anggota parlemen dan lembaga peradilan. Sama seperti
pekerjaan jurnalisme yang berbahaya, penculikan, penganiayaan dan intimidasi
terhadap aktivis LSM sangat sering terjadi.
g. Salah satu cara lain untuk mencegah dan memberantas korupsi adalah dengan
menggunakan atau mengoperasikan perangkat electronic surveillance. Electronic
surveillance adalah sebuah perangkat atau alat untuk mengetahui dan
mengumpulkan data dengan menggunakan peralatan elektronik yang dipasang
pada tempat-tempat tertentu. Alat tersebut misalnya audio-microphones atau
kamera video (semacam kamera CCTV atau Closed Circuit Television) atau data
interception dalam kasus atau di tempat-tempat di mana banyak digunakan
telepon genggam dan electronic mail (e-mail) atau surat elektronik. Namun di
beberapa negara, penggunaan electronic surveillance harus disetujui terlebih
dahulu oleh masyarakat, karena masyarakat tidak ingin pemerintah ‘memata-
matai’ segenap aktivitas dan gerak langkah yang mereka lakukan. Tindakan
memata-matai atau ‘spying’ ini, dalam masyarakat yang demokratis dianggap
melanggar hak asasi terutama hak akan privacy. Dalam beberapa kasus, negara
yang otoriter justru akan menggunakan data yang terekam dalam electronic
surveillance untuk melakukan intimidasi terhadap rakyatnya.

80
REFERENSI
Soedjono Dirjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam
Penanggulangan Korupsi Di Indonesia, Cv Sinar Baru, Bandung. 1984.

Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.


Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung 1998.

Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Penerbit


PT Citra Aditya Bakti,Bandung. 2001

Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan


Hukum Pidana. Penerbit Sinar Baru. Bandung 1983.

Bunga Rumpai Kebijakan Hukum Pidana. Penerbit PT Citra Aditya Bakti,


Bandung. 1996

81
BAB VI
KEBIJAKAN TERHADAP
PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI
(Ramadan Ramala)
NIM 1703670

82
BAB VI
KEBIJAKAN TERHADAP PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI

1. Peran Justice Collaborator dan Whistleblower dalam Mengungkap


Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan salah satu kategori kejahatan yang
dikategorikan sebagai kejahatan terorganisir (organized crime). Pelaku
tindak pidana korupsi rata-rata berasal dari pihak-pihak yang memiliki
kekuasaan dan memegang posisi-posisi strategis baik di eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Berdasarkan hal itu, tidak diragukan lagi bahwa
tindak pidana korupsi merupakan white collar crime, sehingga modus
operasinya sangat dinamis yang sangat sulit memperoleh prosedural
pembuktiannya. Sulitnya menemukan fakta-fakta dalam modus operasi
tindak pidana korupsi membuat penegakan hukum melakukan terobosan.
Terobosan yang terjadi adalah menemukan informasi melalui JC dan WB.
Pada pembahasan ini menyangkut tema mengenai peran JC dan
WB dalam sistem peradilan pidana. Pembahasan pada tema ini lebih
mengkhususkan pada tindak pidana korupsi di Indonesia. Seperti yang
telah diketahui bahwa dalam sistem peradilan pidana ada beberapa tahapan
yaitu: tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan
pengadilan dan pelaksanaan putusan. Untuk mengetahui peran JC dan WB
dalam sistem peradilan pidana berikut dijelaskan pada setiap tahap sistem
peradilan pidana.68
a. Tahap Penyelidikan dan Penyidikan
Tahap ini merupakan tahap awal dari sistem peradilan pidana. Pada
tahap ini penting untuk mencari dan menemukan suatu fakta kebenaran
materiil berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Proses penemuan
fakta-fakta dapat berasal dari penerimaan laporan, mencari keterangan
dan barang bukit, serta aktivitas lainnya. Pada proses penyidikan,
penyidik dapat melakukan tindakan pertama di tempat kejadian,

68
Rusli Muhammad. (2015). “Pengaturan dan Urgensi Whistleblower dan Justice Collaborator
dalam Sistem Peradilan Pidana”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM. 2(22), h. 203-222.

83
pemanggilan dan pemeriksaan tersangka dan saksi serta melakukan
upaya paksa yang diperlukan.
Menemukan fakta pada kasus ringan tidaklah sulit, tetapi jika
kasus yang ditangani merupakan kasus yang terorganisir, maka sulit
untuk menemukan fakta-faktanya. Pada kondisi tersebut, peran dari JC
dan WB sangat diperlukan untuk membantu proses penyidikan. Peran
JC dan WB dalam tahap ini adalah membantu penegak hukum untuk
menemukan fakta yang berhubungan dengan kejahatan baik sebelum
kejahatan dilakukan maupun sesudah kejahatan
b. Tahap Penuntutan
Tahap ini memiliki kendali di wilayah institusi kejaksaan yang
memberikan kewenangan penuh pada jaksa penuntut umum. Penuntut
umum dapat memproses tuntutan apabila BAP yang diberikan
penyidik lengkap. BAP yang diajukan penyidik diterima kemudian di
proses untuk membuat surat dakwaan. Kelengkapan BAP berdampak
pada ketepatan dalam menyusun dakwaan. Meskipun demikian,
penuntut umum tetap harus mencermati dan meneliti dalam proses
penyusunan dakwaan, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam
merumuskan tindak pidana dan ancaman pasal-pasalnya.
Agar terhindar dari kesalahan dalam penyusunan dakwaan,
dalam hal ini sumber informasi dari JC dan WB merupakan hal utama
yang diperlukan. Peran JC dan WB pada tahap penuntutan adalah
sebagai pencegahan adanya kesalahan dan ketidaktepatan dalam
menyusun surat dakwaan, menghindari ketidaksesuaian antara uraian
perbuatan dengan pasal-pasal yang didakwakan dan menjadi dasar
penuntutan serta ketepatan dalam mengajukan terdakwa.69 Dengan
demikian JC dan WB memiliki peran penting dalam tahap penuntutan
sebagai sumber informasi yang terpercaya.
c. Tahap Pemeriksaan
Pengadilan Tahap ini memiliki kendali pada Ketua Hakim majelis,
kemudian masing-masing pihak berupaya menyampaikan dan

69
ibid

84
mengedepankan kepentingannya. Pada tahap ini terdapat proses
pembuktian, proses ini akan berjalan lancar apabila perkara yang nilai
komersialnya tidak tinggi dan tidak berdampak luas, pembuktiannya
ringan dan mudah diselesaikan. Apabila perkara yang disidangkan
bernilai tinggi dan berdampak luas, merugikan negara serta
terorganisir, umumnya proses pembuktiannya sulit, memakan waktu
yang panjang, bahkan keterangan saksi berubah-ubah atau
bertentangan satu sama lainnya, sehingga tidak dapat menunjukkan
keselarasan antara alat bukti yang didapatkan dengan keterangan saksi.
70

Kondisi pembuktian yang demikian memerlukan terobosan dan


inovasi baru dalam sistem peradilan pidana, tanpa perubahan, SPP
akan tertinggal dan akan tetap menghasilkan putusan-putusan hukum
tanpa ada daya preventif dalam menghadapi berbagai modus kejahatan.
Kehadiran dan diakomodirnya JC dan WB dalam sistem peradilan
pidana sangat membantu dalam pengungkapan kejahatan terutama
dalam proses pembuktian dan pengambilan putusan oleh Hakim. JC
dan WB akan menjadi saksi kunci dalam persidangan dan dengan
keterangan yang disampaikan didukung oleh saksi lain serta alat-alat
bukti lain akan memberikan dan menumbuhkan keyakinan bagi hakim
dalam menjatuhkan putusannya.
JC dan WB sangat berperan penting pada proses pengungkapan
suatu tindak pidana yang masuk dalam kategori kejahatan yang
terorganisir. Dimana dalam praktik peradilan aparat hukum seringkali
menemukan berbagai kendala yuridis dan non yuridis untuk
mengungkap tuntas dan menemukan kejelasan suatu tindak pidana
terutama dalam menghadirkan saksi-saksi kunci dalam proses hukum
sejak penyidikan sampai proses pengadilan. 71Sejalan dengan itu,
Nurma Rosyida menjelaskan peran seorang justice collaborator dalam
mengungkap suatu kejahatan terorganisir sangat besar dan
informasinya sangat penting untuk membantu aparat penegak hukum
70
ibid
71
ibid

85
dalam mengungkap jaringan kejahatan yang selama ini tertutup sangat
rapi.72

d. Tahap Pelaksanaan
Putusan Tahap ini merupakan tahap akhir dalam sistem
peradilan pidana. Tujuan dari sub sistem ini adalah pembinaan dari
penghuni Lembaga Pemasyarakatan (NAPI). Justice collaborator
sebagai pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum telah
mendapat pidana dan menjalani hukumannya. Peran justice
collaborator pada tahan ini tidak diperlukan lagi, karena informasi
yang diberikan sudah membuat pelaku utama. Namun, pada
kenyataannya justice collaborator yang sedang menjalankan
putusannya, tidak kehilangan perannya. Sebagai contoh, Nazaruddin
yang mengungkap beberapa kasus lain, selain kasus yang melibatkan
dirinya. Kasus korupsi yang diungkap Nazaruddin yaitu pembangunan
gedung MK, diklat MK, pembangunan gedung pajak, pengadaan
simulator SIM, pembelian pesawat MA 60 oleh Merpati dan masih ada
beberapa proyek lain73. Dalam hal ini peran Nazaruddin yang
mengungkap kasus korupsi di luar dari kasus yang melibatkan dirinya
menjadikan Nazaruddin sebagai whistleblower.

2. Dasar Hukum Pengaturan Justice Collaborator dan Whistleblower


a. United Nations Convention Against Corruption/ UNCAC (Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi)
b. United Nations Convention Against Transnasional Organized
Crime/UNCATOC (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir)
c. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban

72
Nurma Rosyida, Kadek Deddy Permana Artha, dan dan Lintang Yudhanaka. (2020). “The
Position of Justice Collaborator to Reveal Corruption in Finansial Management of Regional
Government”. Yuridika. 35 (1), h. 93-111.
73
detik.com. op.cit.

86
d. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakukan
bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang
bekerjasama di dalam perkara tindak pidana tertentu.
e. Peraturan Bersama Aparat Penegak Hukum dan LPSK tentang
Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama.
f. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban.

3. Sanksi Tindak Korupsi Dalam Peraturan Perundang-undangan


Indonesia
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan
oleh hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah:
a. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi yang dapat merugikan Keuangan Negara atau
perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1
Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu.
b. Pidana Penjara
1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 bagi
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan Keuangan Negara atau perekonomian Negara
(Pasal 2 ayat 1).
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 bagi setiap orang yang dengan tujuan

87
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
Keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
3. Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 dan paling banyak
Rp. 600.000.000,00 bagi setiap orang yang dengan sengaja
mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi
dalam perkara korupsi (Pasal 21).
4. Pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 dan paling banyak
Rp. 600.000.000,00 bagi setiap orang sebagaimana dimaksuddalam
pasal 28, pasal 29, pasal 35 dan pasal 36.
c. Pidana Tambahan
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk
atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang-barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya
sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling
lama 1 tahun.
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah
atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
5. jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam
waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh

88
kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
6. jika terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara
yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya, dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam
putusan pengadilan.
4. Pengertian Pembuktian Terbalik
Dalam kaitannya tentang pengertian tindak pidana korupsi jo pembuktian
terbalik secara eksplisit ketentuan Pasal 12B Undang-undang No. 20 tahun
2001 selengkapnya berbunyi sebagai berikut : setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan kewajiban
atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. Yang nilainya Rp. 10.000.000,00 ( sepuluh juta rupiah ) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap
dilakukan oleh penerima gratifikasi.
b. Yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000,00 ( sepuluh juta
rupiah ) pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh
penuntut hukum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau
pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan
3. pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).

Di kaji dari perspektif kebijakan formulatif, beban pembuktian


terbalik ini dilakukan karena tindak pidana korupsi sebagai ketentuan

89
yang mengandung prefensi khusus. Oleh karena itu dengan adanya
ditetapkannya pembuktian terbalik ini, bergeserlah beban pembuktian
dari jaksa penuntut umum kepada terdakwa.74

Bagaimana gambaran sistem beban pembuktian terbalik dalam


hukum acara pidana korupsi kita, dapat dibaca pasal 37 jo 12B ayat (1)
jo 38A dan 38B undang- undang No. 20 tahun 2001.

1. Pasal 37 merupakan dasar hukum sistem pembebanan pembuktian


terbalik
2. Pasal 12B ayat (1) huruf a dan b pasal 38B merupakan ketentuan
mengenai tindak pidana korupsi (objeknya) yang beban
pembuktiannya dengan menggunakan sistem terbalik75.

Apabila dilihat dari sudut objek apa yang harus dibuktikan


terdakwa, maka pembuktian terbalik berlaku dan diterapkan pada 2
(dua) objek pembuktian ialah :

a. Pertama : pada korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp.


10 juta atau lebih (pasal 12B ayat 1 jo 37 ayat 2 jo
38A).Pembuktian terbalik pada korupsi suap menerima gratifikasi,
dimana terdakwa dibebani kewajiban (bukan hak) untuk
membuktikan tidak melakukan korupsi menerima gratifikasi, dapat
disebut dengan sistem beban pembuktian terbalik murni. Karena
objek yang wajib dibuktikan terdakwa adalah langsung pada unsur-
unsur (kewajibannya) tindak pidana yang didakwakan (dalam
perkara pokok) yang mengandung akibat hukum langsung pada
amar pembebasan atau sebaliknya pemidanaan terdakwa atau
pelepasan dari tuntutan hukum.
b. Kedua : pada harta benda terdakwa yang belum didakwakan (pasal
38B jo 37). Kewajiban terdakwa membuktikan terbalik (sebaliknya)
yang kedua ini adalah bukan terhadap tindak pidana (unsur-
unsurnya) yang didakwakan. Akibat hukum dari berhasil atau tidak
74
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag I, Radja Grafindo Jakarta 2005 hal.254-256
75
ibid

90
berhasil terdakwa membuktikan harta benda terdakwa diperoleh
dari korupsi atau secara halal, tidak menentukan dipidana ataukah
dibebaskan terdakwa dari dakwaan melakukan korupsi dalam
perkara pokok. Melainkan sekedar untuk dapat menjatuhkan pidana
perampasan barang dalam hal terdakwa tidak berhasil membuktikan
harta bendanya tersebut sebagai harta benda yang halal atau
sebaliknya untuk tidak menjatuhkan pidana perampasan barang
dalam hal terdakwa tidak berhasil membuktikan harta bendanya
sebagai harta benda yang halal.

5. Tentang Hukum Pembuktian

Ditinjau dari segi hukum acara pidana; tentang pembuktian antara lain berarti:

“Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari


dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum terdakwa
atau penasehat hukum, masing-masing terikat pada ketentuan tatacara
dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang- undang. Hakim,
penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum tidak boleh leluasa
bertindak dengan caranya sendiri dalam penilaian pembuktian. Dalam
mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang
dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undang-
undang. Terutama bagi majelis hakim yang bersangkutan. Harus benar-
benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan
pembuktian yang ditemukannya selama pemeriksaan persidangan. Jika
majelis hakim hendak meletakan kebenaran yang ditemukannya dalam
putusan yang akan mereka jatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan
alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat
pada setiap alat bukti yang mereka temukan. Kalau tidak demikian bisa
saja orang yang jahat lepas, dan orang yang tak bersalah mendapat
ganjaran hukuman”. 76

76
M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Jilid II, P.T Sarana Bakti
Semesta, hal. 793-794

91
Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang
akan dijatuhkannya dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang
telah ditentukan undang-undang secara limitatif; sebagaimana yang
disebut dalam pasal184 KUHAP. Begitu pula dalam cara mempergunakan
dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti.
Harus dilaksanakan dalam batas- batas yang dibenarkan undang-undang.
Agar dalam mewujudkan kebenaran dan putusan yang hendak dijatuhkan,
majelis hakim yang bersangkutan terhindar dari pengorbanan kebenaran
yang harus dibenarkan. Jangan sampai kebenaran yang mereka
wujudkan dalam putusan itu berdasar hasil perolehan dan penjabaran yang
keluar dari garis yang dibenarkan undang-undang pembuktian. Tidak
berbau dan diwarnai oleh perasaan subjektif dan pendapat hakim semata-
mata.

Pedoman yang digariskan dalam Hukum Acara Pidana disebutkan sebagai


berikut :

“Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi hak untuk


mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang
didakwakannya kepada terdakwa, Sebaliknya terdakwa atau penasehat
hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian
yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan
undang-undang. Bisa berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan.
Dengan saksi yang meringankan atau saksi a decharge maupun dengan
alibi.Pembuktian juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak
pidana lainlah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat
dakwaan penuntut umum bersifat alternatif, dan dari hasil kenyataan
pembuktian yang diperoleh dalam persidangan pengadilan, kesalahan yang
terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada
dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan peristiwa yang dapat
dibuktikan. Maka dalam hal seperti ini, arti dan fungsi pembuktian
merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh
terdakwa. Serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak

92
terbukti dan menghukumnya berdasar dakwaan tindak pidana yang telah
terbukti”. 77

Berikutnya timbul suatu persoalan kapan diperlukan pembuktian


dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana? Apakah selamanya
pembuktian perlu diperiksa dalam sidang pengadilan?

Kejelasan hal ini perlu di perbandingkan dengan pembuktian yang


diatur dalam hukum acara perdata. Proses pemeriksaan persidangan
pengadilan dalam perkara perdata telah menggariskan suatu prinsip
pembuktian: Pembuktian diperlukan sepanjang terhadap apa yang dibantah
secara tegas, dan apa-apa yang tidak dibantah oleh tergugat, dianggap
telah terbukti, karena itu tidak perlu lagi dibuktikan oleh penggugat.
Apakah prinsip yang demikian dapat diterapkan dalam pemeriksaan
perkara pidana? Tidak. Dalam proses pembuktian perkara pidana yang
diatur dalam hukum acara pidana, pemeriksaan pembuktian selanjutnya
tetap diperlukan sekalipun terdakwa telah mengakui tindak pidana yang
didakwakan kepadanya. Seandainya terdakwa telah mengakui kesalahan
yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap
berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang
lain. Pengakuan salah dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan
kewajiban penuntut umum dan persidangan untuk menambah dan
menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa
alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau surat maupun dengan alat
bukti petunjuk. Hal tersebut sesuai dengan penegasan yang dirumuskan
dalam pasal 189 ayat 4:

“Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup


untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang
lain”.

77
ibid

93
Ketentuan ini sama dengan apa yang diatur dalam pasal 308 HIR yang
menegaskan: untuk dapat menghukum terdakwa, selain daripada
pengakuannya harus dikuatkan pula dengan alat-alat bukti yang lain.

Materi pasal 189 ayat 4, mempunyai makna bahwa pengakuan


menurut KUHAP, bukan merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna atau bukan volledig bewijs kracht. Juga tidak
memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan atau bukan beslissende
bewijs kracht. Oleh karena pengakuan atau keterangan terdakwa bukan
alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan
menentukan, penuntut umum dan persidangan tetap mempunyai kewajiban
berdaya upaya membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang
lain. Jelas bagi kita, KUHAP sebagai hukum acara pidana tidak mengenal
keterangan atau pengakuan yang bulat dan murni. Ada atau tidak
pengakuan terdakwa, pemeriksaan pembuktian kesalahan terdakwa tetap
merupakan kewajiban bagi sidang pengadilan.

Kenapa demikian halnya? Ini sesuai dengan kebenaran yang hendak


dicari dan ditemukan dalam perkara pidana. Kebenaran yang harus
ditemukan dan diwujudkan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah
kebenaran sejati atau matriil waarheid. Oleh karena itu pengakuan atau
keterangan terdakwa belum dianggap sebagai perwujudan kebenaran sejati
tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain. Lain halnya dalam pemeriksaan
perkara perdata. Kebenaran yang hendak diwujudkan secara ideal haruslah
kebenaran sejati. Tapi jika kebenaran sejati tidak ditemukan, hakim sudah
dibenarkan mewujudkan kebenaran formil.

Menambah penjelasan kita dalam uraian pengertian pembuktian ini,


perlu juga dibicarakan mengenai apa yang dirumuskan dalam pasal 184
ayat 2 yang berbunyi: Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan.

Lazimnya bunyi rumusan pasal 184 ayat 2 ini selalu disebut dengan
istilah notoire feiten yang berarti setiap hal yang sudah umum diketahui
tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan.

94
Mengenai pengertian hal yang secara umum diketahui ditinjau dari
segi hukum, tiada lain daripada perihal atau keadaan atau omstandigheiden
atau circumstance, yakni hal ikhwal atau peristiwa yang diketahui umum
bahwa hal ikhwal atau peristiwa itu memang sudah demikian hal yang
sebenarnya, atau sudah semestinya demikian halnya atau bisa juga berarti
berupa perihal kenyataan dan pengalaman yang akan selamanya dan selalu
akan mengakibatkan “resultan” atau kesimpulan yang demikian, yaitu
kesimpulan yang didasarkan pengalaman umum ataupun berdasar
pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang
seperti itu akan senantiasa menimbulkan akibat yang pasti demikian.
Banyak contoh sederhana dalam masalah ini, umpamanya saja, api panas.
Hal ini adalah suatu keadaan yang sudah secara umum diketahui oleh
setiap orang. Dan menurut pengalaman pun semua orang tahu bahwa api
adalah panas. Atau pada lazimnya, umum sudah mengetahui bahwa suatu
takaran minuman keras tertentu pasti dapat memabukkan. Maka kalau
terjadi suatu peristiwa dimana seseorang meminum minuman keras dalam
takaran tertentu, resultannya si peminum pasti akan mabuk. Dalam hal-hal
seperti ini persidangan pengadilan tidak perlu lagi membuktikannya.
Karena keadaan itu dianggap merupakan hal yang secara umum sudah
diketahui umum.

Notoire feiten dalam Hukum Acara Perdata tidak lagi perlu dibuktikan
serta dianggap merupakan penilaian pembuktian yang tidak takluk pada
pemeriksaan tingkat kasasi. Bagaimana halnya dalam hukum acara pidana
yang diatur dalam KUHAP? Apakah hal yang secara umum sudah
diketahui, tidak memerlukan pembuktian lagi? Memang demikinlah
halnya sebagaimana yang ditegaskan dalam pasal 184 ayat 2. oleh karena
itu dalam penerapan notoire feiten tersebut :

Majelis hakim dapat menariknya dan mengambilnya sebagai suatu


kenyataan yang dapat dijadikannya sebagai pendapat tanpa
membuktikannya lagi.

95
Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari hal yang secara umum
sudah diketahui atau notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan
kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan
yang ditarik dan diambil hakim dari notoire feiten tidak cukup
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah
pada hakekatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui
oleh undang-undang sebagaimana yang disebut secara limitatif dalam
pasal 184 ayat 1, hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah
merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu
saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara
menyeluruh.

Sistem pembuktian adalah bertujuan untuk mengetahui bagaimana


cara meletakan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang
diperiksa. Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat
dianggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Apakah
dengan terpenuhi pembuktian minimum sudah dapat dianggap cukup
membuktikan kesalahan terdakwa? Apakah dengan lengkapnya
pembuktian dengan alat-alat bukti, faktor atau unsur keyakinan hakim?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab oleh sistem pembuktian
dalam hukum acara pidana.

Ajaran atau teori sistem pembuktian :

a. Conviction – intime
Sistem pembuktian conviction - intime menentukan; salah tidaknya
seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan
hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan
terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya,
tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan
disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang
pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan
hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan
terdakwa. Sistem pembuktian conviction – intime ini, sudah barang tentu

96
mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada
seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa
didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa
membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun
kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang
lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam
sistem pembuktian conviction – in time, sekalipun kesalahan terdakwa
sudah cukup terbukti pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan
oleh keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak
terbukti berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan
bersalah semata-mata atas dasar keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah
yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa.
Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan
kesalahan terdakwa. Solah-olah sistem ini menyerahakan sepenuhnya
nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan
hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem
pembuktian ini.
b. Conviction – raisonee.
Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa.
Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim
dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran
keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction –
raisonee keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang
jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang
mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan
hakim dalam sistem conviction – raisonee, harus dilandasi oleh reasoning
atau alasan- alasan. Dan reasoning itu sendiri harus pula reasonable yakni
berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai
dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak
semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang
masuk akal.

97
c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif.
Pembuktian menurut undang-undang secara positif adalah merupakan
pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan atau conviction intime. Pembuktian menuruut undang-undang
secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam
membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini,
tidak ikut berperan menentukan salah satu tindaknya terdakwa. Sistem ini
berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya
terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal
sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-
undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang
kesalahan terdakawa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah
terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya
akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot
pelaksana undang-undang yang tak memiliki hati nurani. Hati nuraninya
seolah-olah tidak hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa.
Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan.
Sistem ini benar-benar menuntut hakim suatu kewajiban mencari dan
menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan
tatacara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-
undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus
melemparkan dan mengenyampingkan jauh-jauh faktor keyakinannya.
Hakim semata- mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa
mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan
dengan unsur subjektif keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan
hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang, mereka tidak perlu lagi menanya dan
menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya.

98
Bagaimana kalau sistem ini kita bandingkan dengan sistem
pembuktian keyakinan atau conviction – intime? Kita berpendapat sistem
pembuktian menurut undang-undang secara positif, lebih sesuai
dibandingkan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem undang-
undang menurut undang-undang secara positif, lebih dekat kepada prinsip:
penghukuman berdasar hukum. Artinya penjatuhan hukuman terhadap
seseorang, semata-mata tidak diletakan di bawah kewenangan hakim.
Tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan azas:
seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang
didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang.

d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk


stelsel) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang- undang
secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction – intime
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan suatu sistem keseimbangan antara kedua sistem yang saling
bertolak belakang secara ekstrim. Dari keseimbangan tersebut, sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan ke
dalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan
dengan sistem pembuktian menurut undang- undang secara positif. Dari
hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang tadi,
terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif. Yang rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa
ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Menyatakan salah atau tidaknya seorang terdakwa, tidak hanya
cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata. Atau hanya semata-
mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang.
Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang

99
didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian
kesalahan tadi “dibarengi” pula dengan keyakinan hakim78.

78
Drs. Adami Chazawi, SH., Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni Bandung 2008,
hal. 1

100
REFERENSI
Rusli Muhammad. (2015). “Pengaturan dan Urgensi Whistleblower dan Justice
Collaborator dalam Sistem Peradilan Pidana”. Jurnal Hukum IUS QUIA
IUSTUM. 2(22)
Nurma Rosyida, Kadek Deddy Permana Artha, dan dan Lintang Yudhanaka.
(2020). “The Position of Justice Collaborator to Reveal Corruption in
Finansial Management of Regional Government”. Yuridika. 35 (1)
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag I, Radja Grafindo Jakarta 2005
M. Yahya Harahap, SH., Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP, Jilid II,
P.T Sarana Bakti Semesta
Drs. Adami Chazawi, SH., Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni
Bandung 2008
Ibnu Hariyanto. “Pimpinan KPK: Nazaruddin Bukan Justice Collaborator, Tapi
Whistleblower”. available from https://news.
detik.com/berita/d-5065463/pimpinan-kpknazaruddin-bukan-justice-
collaborator-tapiwhistleblower/1, diakses pada 1 Januari 2021

101
BAB VII
PERBANDINGAN
PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA KORUPSI ANTAR
NEGARA
(Ria Aulia Markum)
NIM 1701214

102
BAB VII
PERBANDINGAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
ANTAR NEGARA

Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak


sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga korupsi dapat dikatakan
sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes), sehingga dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut
cara- cara yang luar biasa” (extra-ordinary enforcement).79
Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya
persoalan hukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan sosial
dan psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan
persoalan hukum sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga
merupakan persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya
pemerataan kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial
karena korupsi merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan.80
Upaya untuk dapat melaksanakan pemberantasan korupsi secara
efektif dan efisien salah satunya adalah melalui penerapan sistem Pembalikan
Beban Pembuktian dan pembentukan suatu badan atau lembaga khusus yang

independen dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.8 1 Di Indonesia


Lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi telah dibentuk berdasarkan
undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak
hanya di Indonesia korupsi juga terjadi di beberapa negara di belahan dunia ini.
Dibawah ini merupakan berbagai perbandingan dari tindak pidana korupsi
diberbagai negara, yaitu sebagai berikut.

79
Ermansyah Djaja. (2009). Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi Pemberanrasan
Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 28.
80
Ermansyah Djaja. (2009). Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi Pemberanrasan
Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 31
81
Tumbur Ompu Sunggu. (2012). Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penegakan
Hukum di Indonesia. YogyakartaL Total Media. Hlm. 4.

103
1. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun
ketahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari
jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian Negara, maupun dari segi
kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya
yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana, tidak
saja bagi kehidupan perekonomian nasional, juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi
ditengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti
akan terjadi akibat dari dampak korupsi tersebut, maka tindak pidana
korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus
dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah
yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam
masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Untuk
dapat memberantas korupsi diperlukan lembaga independen yang bebas
dari pengaruh kekuasaan negara.
Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi semakin meningkat,
karena korupsi telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Untuk itu
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan
dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kepentingan masyarakat. Untuk dapat memberantas korupsi diperlukan
lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan negara.
Sehingga dibentuklah KPK sebagai lembaga khusus pemberantasan
korupsi di Indonesia. 82
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal
3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah “lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari penagruh kekuasaan
manpun”. Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 1 angka
82
http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/992/5/108400040_file5.pdf

104
3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu “serangkaian tindakan
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kehadiran
sebuah badan khusus ini merupakan bagian dari tuntutan reformasi untuk
melakukan pemberantasan korupsi yang telah merajalela di semua lapisan
masyarakat dan juga lembaga negara Indonesia.
Seharusnya tindak pidana korupsi tidak lagi dapat dimasukkan pada
golongan kejahatan biasa. Pemberantasannya pun tidak dapat dilakukan
dengan cara-cara biasa melalui instansi penegak hukum, yang terbukti
caranya tidak cukup efektif untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan
demikian diperlukan adanya badan khusus yang independen untuk
memberantas korupsi. Badan khusus ini dapat dikatakan sebagai suatu
kebutuhan yang mendesak karena tidak terpungkiri bahwa public
mencerminkan ketidakpercayaannya terhadap kinerja aparat penegak
hukum yang sudah ada.
Tugas KPK di Indonesia pada dasarnya, merupakan lembaga yang
bersifat independen serta bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam
melakukan pemusnahan terhadap tindak pidana korupsi. Visi Komisi
Pemberantasan Korupsi 2011-2015 83
1. Menjadi lembaga penggerak pemberantasan korupsi yang
berintegritas, efektif, dan efisien. Misi Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah sebagai berikut:
a. Melakukan koordinasi pada instansi terkait dan berwenang untuk
melakukan pemberantasan Korupsi.
b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang dalam
melakukan pemberantasan Tindak pidana korupsi.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
Tindak Pidana Korupsi.
83
Pohan, S. (2018). Perbandingan Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia Dan Beberapa Negara
Dunia. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, 1(1), 271-303.

105
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap tindakan
korupsi.
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan sistem
pemerintahan negara.
Dengan demikian Fungsi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi
yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan seperti MPR dan
DPR, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem tata negara
yang kerangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Perlu diketahui bahwa dalam menjalani setiap tugas,fungsi dan
wewenag Komisi Pemberantasan Korupsi dilandasi oleh asas-asas yang
terdapat dalam UU Nomor 30 tahun 2002. Menurut Pasal 5 UU Nomor 30
Tahun 2002 tersebut, asas-asas yang dimaksud adalah:
a. Asas kepastian hukum merupakan landasan pada negara hukum yang
mengutamakan dsar terhadap peraturan perundang-undangan,
kepatutan dan juga keadilan dalam setiap kebijakan untuk menjalankan
tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
b. Asas keterbukaan, berarti membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk mendapatkan informasi yang akurat, jujur dan tidak diskriminasi
terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi ketika menjalankan
tugas dan fungsi KPK tersebut.
c. Asas akuntabilitas adalah asas penentuan terhadap setiap tindakan dan
hasil yang telah dilakukan akhir Komisi Pemberantasan Korupsi harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat Indonesia, sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara, yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku.
d. Asas kepentingan yaitu perlakuan yang mendahulukan terhadap
kesejahteraan dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
e. Asas proporsionalitas, asas yang memberikan keutamaan untuk
melakukan keseimbangan saat melaksanakan tugas, wewenang,
tanggung jawab dan kewajiban KPK yang diemban.

106
Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut meliputi: 84

1. Mengkoordinasikan terhadap instansi yang memiliki kewenangan


untuk memberantas tindak pidana korupsi.
2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan memberikan tuntutan
terhadap tindak pidana korupsi.
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi dan
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan.
Korupsi berwenang:
1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;
4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi.

2. Tindak Pidana Korupsi di Thailand


Sebelum tahun 1975 penanganan kasus korupsi di Thailand sepenuhnya
menjadi wewenang kepolisian dengan mengandalkan undang-undang hukum
pidana dan undang-undang lain yang mengatur tentang pejabat publik.
Namun kinerja kepolisian dalam menanggulangi korupsi dianggap sebagian
besar masyarakat jauh dari mencukupi. Korupsi semakin merajalela di
Thailand, walaupun setiap pemerintahan yang berkuasa selalu berjanji untuk
menangani, namun korupsi justru semakin menjadi. Korupsi juga menjadi

84
http://www.kpk.go.id/id/

107
salah satu pemicu jatuhnya pemerintahan di Thailand, baik itu melalui
kudeta militer maupun melalui parlemen.

Keinginan untuk memecahkan masalah korupsi semakin memuncak,


tepatnya pada tanggal 14 Oktober 1973 para pelajar dan mahasiswa
menggelar aksi demonstrasi sambil memaparkan fakta kepada masyarakat
dan media bahwa banyak pejabat dan penyelenggara negara yang
menyalahgunakan jabatan dan tugasnya untuk keuntungan pribadi. Beberapa
diantara mereka yang mencoba untuk menentang korupsi tidak mampu
berbuat apa-apa, bahkan tidak sedikit pula yang menderita sebagai akibat
menentang korupsi. Hal ini sebagai akibat dari tidak adanya hukum yang
mengatur secara khusus mengenai korupsi dan juga sebagai akibat dari
banyak tekanan dan ancaman yang diterima aparat ketika memberantas
korupsi. Kesimpulannya adalah bahwa korupsi adalah suatu masalah besar
yang telah mempengaruhi seluruh sendi kehidupan seperti pembangunan
nasional, ekonomi, politik, dan terutama keamanan negara.85

Komisi Pemberantasan Korupsi di Thailand adalah NCCC (Nation


Counter Corruption Commission) yang bertanggung jawab kepada
Perdana Menteri. Pada tanggal 8 November 1999 diterbitkan undang-undang
baru tentang pemberantasan korupsi bernama Organic Act on Counter
Corruption. Berdasarkan Pasal 6 Organic Act on Counter Corruption,
komisi pemberantasan korupsi di Thailand diberi nama NCCC (The
National Counter Corruption Commission) yang terdiri atas seorang ketua
yang disebut President dan 8 (delapan) anggota yang terdiri dari satu
sekretaris jenderal, dua asisten sekretaris jenderal, empat deputi sekretaris
jenderal yang diangkat oleh Raja dengan nasehat dari Senat, dan
pertanggungjawabannya langsung kepada Raja.86

85
Pohan, S. (2018). Perbandingan Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia Dan Beberapa Negara
Dunia. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, 1(1), 271-303.
86
Tumbur Ompu Sunggu. (2012). Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penegakan
Hukum di Indonesia. YogyakartaL Total Media. Hlm. 90

108
Adanya NCCC membuka lembaran baru bagi Thailand dalam

penanganan kasus korupsi. Korupsi tidak ditangani secara biasa namun

lebih modern dan komprehensif oleh super body dengan pendekatan yang

“extra ordinary”. NCCC disebut super body karena diberi keleluasaan

wewenang untuk mengusut dan menuntut politisi maupun pejabat. NCCC

tidak hanya melakukan pendekatan represif melalui penuntutan namun juga

punya kewenangan untuk mengajukan pemecatan terhadap politisi dan

memeriksa kekayaan pejabat. Dalam menunjang fungsi penyelidikannya,

NCCC diberi kekuasaan yang besar untuk mendapatkan dokumen,

menangkap dan menahan tertuduh atas permintaan pengadilan. Dalam

fungsi preventif, NCCC juga melakukan upaya-upaya penyadaran

masyarakat, dengan melibatkan media dan LSM melalui berbagai

pendekatan. Pendekatan transparansi yan ditempuh NCCC, terutama dalam

pemeriksaan kekayaan pejabat dan politisi. Untuk menjaring laporan,

NCCC juga melakukan program perlindungan saksi dan penyadaran

masyarakat antikorupsi di tiap wilayah. 87

Persamaan tugas dan wewenang NCCC Thailand dengan KPK Indonesia


yang paling menonjol yaitu mengambil tindakan untuk mencegah
korupsi dan membangun sikap berkaitan dengan integritas dan kejujuran.
Sedangkan perbedaannya yaitu NCCC Thailand tidak dapat melakukan
penuntutan tindak pidana korupsi, hal tersebut hanya dapat dilakukan
melalui Kejaksaan agung selaku penuntut umum untuk mengadili

87
Pohan, S. (2018). Perbandingan Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia Dan Beberapa Negara
Dunia. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, 1(1), 271-303.

109
tindak pidana korupsi, sedangkan KPK Indonesia dapat melakukan
sendiri penuntutannya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.88

3. Tindak Pidana Korupsi Di Malaysia


Dalam rangka membangun Negara modern yang bebas korupsi, sejak
tahun 1961 Malaya yang kemudian berkembang menjadi Malaysia, telah
mempunyai undang-undang anti korupsi, yang pertama Undang- Undang
Tahun 1961 yang bernama Prevention of Corruption Act atau Akta Pencegah
Rasuah Nomor 57, kemudian diterbitkan lagi Emergency Essential Power
Ordinance Nomor 22 tahun 1970, lalu dibentuk Badan Pencegah Rasuah
(BPR) berdasarkan Anti Corruption Agency Act tahun 1982. Sekarang
berlaku Anti Corruption Act tahun tahun 1997 yang selanjutnya disingkat
ACA yang merupakan penggabungan ketiga undang- undang dan ordonansi
tersebut. Organisasi Badan Pencegah Rasuah (BPR) Malaysia berada pada
kantor Perdana Menteri langsung dibawahnya adalah Direktur Jenderal atau
Ketua Pengarah BPR Malaysia, ketua BPR Malaysia dibantu 2 deputy
(timbalan) yaitu Ketua Pengarah Operasi dan Ketua Pengarah Pencegahan
yang diangkat oleh Yang Dipertuan Agung (Raja) atas nasehat Perdana
Menteri dan bertanggung jawab kepada Raja Yang dipertuan Agung
Malaysia. 89
Pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan dengan segala daya dan
cara, represif yang keras, tegas, dibarengi sistem preventif dan hubungan
masyarakat yang sangat intensif, didukung dengan political will yang prima
dari Pemerintah disertai dengan sumber daya manusia yang professional dan
berintegritas. Tidak kurang pentingnya adalah tersedianya anggaran yang
sangat memadai untuk menunjang semua kegiatan operasional dari BPR
Malaysia. Peraturan (Anti Curruption Act) pun lengkap, walaupun hanya
dengan satu undang-undang telah mampu mencakup semua hal dengan
88
Andi Hamzah, (2005). Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Hlm. 4
89
Andi Hamzah, (2005). Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Hlm. 38

110
rumusan delik yang jelas, sangat keras, dan dijalankan oleh BPR Malaysia
dengan konsisten. Permasalahannya, BPR Malaysia dalam pemberantasan
korupsi di Malaysia masih belum independen (independensinya masih belum
tegas), karena BPR Malaysia masih berada di bawah administrasi kantor
Perdana Menteri Malaysia. Dengan demikian, pertanggungjawaban BPR
Malaysia juga menjadi pertanyaan atau permasalahan, yaitu begaimana
mekanismenya. 90
BPR Malaysia dengan KPK Indonesia mempunyai maksud dan tujuan
yang sama untuk memberantas korupsi di Negara masing-masing. Perbedaan
kewenangan BPR Malaysia dengan KPK Indonesia yang paling menonjol
adalah dalam melakukan penyelidikannya, BPR Malaysia dalam
penyelidikan perkara korupsi dilakukan oleh Divisi Intelejen dibawah Ketua
Pengarah Operasi, sedangkan KPK Indonesia tidak ada Divisi Intelejen yang
langsung mengadakan penyelidikan kelapangan. KPK Indonesia dalam
penyelidikan perkara korupsi dilakukan oleh Direktorat Penyelidikan
dibawah Deputi Bidang Penindakan yang sifatnya untuk menyelidiki kasus-
kasus adanya laporan pengaduan korupsi, jadi tidak memiliki inisiatif
menyelidiki kelapangan dalam hal-hal yang mencurigakan.91

4. Tindak Pidana Korupsi di Singapura


Gerakan pemberantasan korupsi sudah berjalan dalam kurun waktu
yang lama di Singapura. Pemerintah kolonial Inggris, sudah mulai
memikirkan strategy yang tepat untuk mengurangi korupsi yang semakin
parah di negara ini. Hingga tahun 1952, semua kasus korupsi ditangani oleh
unit kecil di kesatuan polisi Singapura yang dikenal sebagai 'Unit Anti
Korupsi” . Namun unit ini dianggap kurang mencukupi setelah pada
Oktober 1951, ditemukannya keterlibatan polisi Singapura dalam
penyelundupan opium senilai S$ 400 ribu. Terbongkarnya kasus ini
mengawali dibentuknya CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau)
90
Ermansyah Djaja. (2009). Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi Pemberanrasan
Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 447
91
Tumbur Ompu Sunggu. (2012). Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Penegakan
Hukum di Indonesia. YogyakartaL Total Media. Hlm. 90

111
sebagai organisasi baru yang independen dan terpisah dari lembaga
kepolisian untuk melakukan penyidikan semua kasus korupsi. 92

Landasan undang-undang dan dukungan politis yang kuat dalam


program pemberantasan korupsi menjadikan CPIB sebagai pelopor
terbentuknya citra Singapura yang bersih dari korupsi.

Perjalanan CPIB juga tidak selalu mulus, pada tahun 1959,


perundangan yang ada dianggap kurang mendukung kinerja CPIB. Banyak
kalangan di Singapura yang skeptis dalam menilai kinerja CPIB saat itu.
Adanya kendala perundang-undangan tersebut diresponse pemerintah
dengan menciptakan peraturan anti korupsi yang lebih efektif di tahun
1960'an dengan nama “the Prevention of Corruption Act”. Undang-undang
yang baru ini menambah kewenangan investigasi dari CIPB dan
menetapkan hukuman yang lebih berat bagi pelaku korupsi.

Undang-Undang Korupsi kemudian disyahkan di tahun 1989, yang


memberikan wewenang pengadilan untuk membekukan dan menyita aset
dan properti yang didapat dari tersangka korupsi.

Di tahun 1999, Undang Undang Korupsi digantikan dengan undang-


undang baru yang disebut Undang Undang Korupsi, Perdagangan Obat Bius
dan Kejahatan Serius. Undang-undang yang baru ini dapat dijadikan dasar
bagi pemerintah Singapura untuk memberantas pencucian uang. Dan juga
memberikan wewenang lebih bagi CPIB untuk menyita aset dan
memberikan tambahan denda atau tambahan hukuman bagi terpidana
korupsi untuk kasus-kasus tertentu.

Komitmen pemerintah Singapura dalam pemberantasan korupsi juga


tidak terbatas anya pada kegiatan penindakan namun juga pada kegiatan
pencegahan dan pendidikan masyarakat. Salah satu kegiatan pencegahan
yang pantas diteladani dari Singapura adalah:

92
Pohan, S. (2018). Perbandingan Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia Dan Beberapa Negara
Dunia. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, 1(1), 271-303.

112
1. Pemerintah memotong peluang korupsi melalui penyederhanaan
prosedur administrative, menghilangkan berbagai pungutan dan
menghukum kontraktor pemerintah yang terlibat kasus suap
2. Secara periodik mereview “legal framework” yang sudah ada dengan
terus menganalisa perlunya amendemen yang mungkin dibutuhkan
dalam menyikapi perubahan situasi dan kondisi terkini di Singapura
3. Meningkatkan gaji pegawai layanan publik menjadi lebih memadai dan
tidak tertinggal jauh dengan gaji di sektor swasta. Saat ini gaji pegawai
pemerintah di Singapura merupakan gaji pegawai pemerintahan tertinggi
di dunia. 93

5. Tindak Pidana Korupsi di Hongkong


Pada sekitar tahun 1960-1970an Hongkong mengalami kemajuan yang
sangat pesat dalam berbagai sektor pembangunan. Kemajuan ini tidak hanya
memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan penduduk
namun juga memberikan peluang korupsi bagi petugas pemerintah dalam
memberikan layanan. Masyarakat mulai mencari cara lain untuk
mendapatkan pelayanan yang baik dan cepat dari pemerintah dengan
memberikan uang extra kepada aparat pemerintah. 94
Korupsi saat itu merajalela di Hongkong, salah satu contohnya adalah
menawarkan uang suap kepada pejabat pemerintah merupakan hal yang
biasa saat itu, sebab bila tidak dilakukan maka mereka tidak akan melayani
masyarakat. Korupsi yang paling serius adalah yang terjadi di Kepolisian
Hongkong, petugas polisi yang korup melindungi pelaku perjudian,
prostitusi, dan narkoba. Banyak masyarakat yang telah menjadi korban,
namun mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Korupsi sudah menjadi masalah sosial di Hongkong, namun pemerintah
Hongkong saat itu seperti tidak berdaya untuk mengatasinya. Masyarakat
mulai kehilangan kesabaran dan mulai mendesak pemerintah untuk segera
93
Institutional Arrangement to Combat Corruption, A comparative Study, UNDP, 2005,
hal.81
94
Pohan, S. (2018). Perbandingan Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia Dan Beberapa Negara
Dunia. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, 1(1), 271-303.

113
mengatasi korupsi. Puncaknya adalah larinya seorang polisi warga negara
asing yang sedang dalam penyidikan.
Peter Godber, seorang Kepala Polisi yang memiliki aset senilai HK$
4.3 juta yang diduga berasal dari hasil korupsi berhasil melarikan diri. Hal
ini langsung memicu reaksi masyarakat. Masyarakat melakukan
demonstrasi dan menuntut pemerintah melakukan aksi nyata untuk
memberantas korupsi dan menangkap Peter Godber.
Menanggapi aksi ini, pemerintah menunjuk Sir Alastair Blair-Kerr,
yang juga seorang Hakim untuk memimpin sebuah tim untuk menyelidiki
kasus larinya Peter Godber. Masyarakat yakin kasus ini tidak akan
terselesaikan kecuali pemerintah mendirikan sebuah lembaga anti korupsi
yang terpisah dari kepolisian. Menindak lanjuti laporan Sir Alastair Blair-
Kerr, Gubernur Hongkong, Sir Murray MacLehose pada pidatonya di depan
Dewan Perwakilan mengemukakan bahwa sudah saatnya memiliki
Hongkong memiliki sebuah badan anti korupsi yang independent.
Pada bulan Februari, 1974 didirikanlah Independent Commission
Against Corruption. ICAC memiliki komitmen untuk memberantas korupsi
dengan strategi “3 ujung”, yaitu pencegahan, penindakan, dan pendidikan.
Salah satu tugas awalnya adalah untuk menangkap Peter Godber.
Perkembangan ICAC Hongkong ini sangat pesat. Bahkan dijadikan
“role model” bagi pemberantasan korupsi di negara lain. Kunci dari
keberhasilan ICAC adalah komitmen, konsistensi dan pendekatan yang
koheren antara pencegahan dan penindakan.
Pencegahan termasuk pendidikan masyarakat dan peningkatan
kesadaran sikap anti korupsi merupakan aktifitas utama (core activity) dari
“model Hongkong”. Kegiatan pencegahan yang dilakukan oleh ICAC
Hongkong ini mendapat dukungan penuh bahkan dari penyidik yang sedang
melakukan tindakan represif. Banyak KAK yang gagal mengadopsi model
Hongkong ini karena tidak mampu mensinergikan fungsi penindakan dan
pencegahan sebaik ICAC Hongkong.

114
ICAC (Independent Commission Against Corruption) Hongkong:
Model Universal ICAC Hongkong disebut model universal karena dianggap
sebagai model KAK yang ideal bagi pemberantasan korupsi. Ideal disini
dalam arti mempunyai kerangka hukum yang kuat, mendapatkan support
keuangan yang cukup besar, jumlah tenaga ahli yang mencukupi dan yang
terpenting konsistensi dukungan pemerintah yang terus-menerus selama
lebih dari 30 tahun.
ICAC Hongkong didirikan dengan wewenang yang besar dalam
penindakan dan pencegahan. Wewenang yang besar seperti melakukan
penyelidikan terhadap rekening bank, mengaudit harta kepemilikan dan
yang terpenting dapat melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk
mencegah tersangka melarikan diri dari proses penuntutan.
Investasi modal dari pemerintah Hongkong untuk ICAC relatif besar,
untuk tahun 2001 sebesar US $ 90 juta, yang sebagian besar digunakan
untuk membayar pegawainya yang berjumlah 1200 orang. Investasi
sumberdaya manusia dilakukan dengan sangat baik oleh ICAC Hongkong,
sehingga SDM ICAC tercukupi baik dari jumlah dan keahlian.
Pola recruitment dan jenjang karir di ICAC Hongkong didasarkan pada
keahlian dan kinerja masing-masing staf. Turn over di ICAC Hongkong ini
terbilang sangat rendah. Ada persyaratan tertentu bagi staf ICAC yang
berasal dari lembaga pemerintah yakni, tidak diperbolehkan untuk masuk
kembali ke kantor pemerintah, atau lembaga yang terdapat kasus korupsinya
dalam kurun waktu 2 tahun setelah keluar dari ICAC.
ICAC Hongkong mengkontrol korupsi di Hongkong melalui 3
departemen fungsional yakni investigasi, pencegahan dan hubungan
masyarakat. Departemen terbesar adalah departemen operasional
(investigasi). 75 persen anggaran ICAC dialokasikan untuk departemen
operasional termasuk menggaji staf yang berkualitas di departemen ini.
Departemen pencegahan menginvestasikan sebagian besar dananya untuk
membiayai kegiatan study yang berkaitan dengan korupsi,
menyelenggarakan seminar untuk pebisnis dan membantu masyarakat dan

115
organisasi swasta dalam mengidentifikasi upaya strategis untuk mengurangi
potensi korupsi. Study yang dilakukan ICAC Hongkong ini memberikan
informasi yang menarik mengenai tingkat dan modus korupsi yang
dilakukan pegawai pemerintahan, sehingga dapat dijadikan acuan dalam
merubah hukum dan undang-undang anti korupsi yang berlaku.
Departemen hubungan masyarakat menginformasikan kepada publik
tentang revisi dari Undang Undang dan peraturan yang berlaku. Departemen
ini juga berperan dengan baik dalam meningkatkan kepedulian masyarakat
terhadap bahaya korupsi melalui berbagai kampanye publik yang sistematis
dan terencana.
Keseluruhan fungsi-fungsi dari tiap departemen di ICAC Hongkong
menjadi acuan bagi banyak KAK di seluruh dunia, meskipun tidak ada
jaminan sepenuhnya bahwa mengadopsi model ini akan sanggup
menyelesaikan masalah yang dihadapi KAK di tiap-tiap negara.

Ringkasan:
1. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah “lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari penagruh kekuasaan
manpun”. Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 1 angka
3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu “serangkaian tindakan
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kehadiran
sebuah badan khusus ini memiliki tugas, fungsi dan juga wewenang
sekaligus merupakan bagian dari tuntutan reformasi untuk melakukan
pemberantasan korupsi yang telah merajalela di semua lapisan masyarakat
dan juga lembaga negara Indonesia.
2. Komisi Pemberantasan Korupsi di Thailand adalah NCCC (Nation Counter
Corruption Commission) yang bertanggung jawab kepada Perdana

116
Menteri. Pada tanggal 8 November 1999 diterbitkan undang-undang baru
tentang pemberantasan korupsi bernama Organic Act on Counter
Dalam menunjang fungsi penyelidikannya, NCCC diberi
Corruption.
kekuasaan yang besar untuk mendapatkan dokumen, menangkap dan

menahan tertuduh atas permintaan pengadilan. Dalam fungsi preventif,

NCCC juga melakukan upaya-upaya penyadaran masyarakat, dengan

melibatkan media dan LSM melalui berbagai pendekatan. Pendekatan

transparansi yan ditempuh NCCC, terutama dalam pemeriksaan kekayaan

pejabat dan politisi. Untuk menjaring laporan, NCCC juga melakukan

program perlindungan saksi dan penyadaran masyarakat antikorupsi di tiap

wilayah untuk memaksimalkan dalam kasus pemberantasan korupsi yang ada

di Thailand.

3. Di negara Malaysia, telah mempunyai undang-undang anti korupsi, yang


pertama Undang- Undang Tahun 1961 yang bernama Prevention of
Corruption Act atau Akta Pencegah Rasuah Nomor 57, kemudian diterbitkan
lagi Emergency Essential Power Ordinance Nomor 22 tahun 1970, lalu
dibentuk Badan Pencegah Rasuah (BPR) berdasarkan Anti Corruption
Agency Act tahun 1982. Sekarang berlaku Anti Corruption Act tahun tahun
1997 yang selanjutnya disingkat ACA yang merupakan penggabungan ketiga
undang- undang dan ordonansi tersebut. Organisasi Badan Pencegah Rasuah
(BPR) Malaysia berada pada kantor Perdana Menteri langsung dibawahnya
adalah Direktur Jenderal atau Ketua Pengarah BPR Malaysia, ketua BPR
Malaysia dibantu 2 deputy (timbalan) yaitu Ketua Pengarah Operasi dan
Ketua Pengarah Pencegahan yang diangkat oleh Yang Dipertuan Agung
(Raja) atas nasehat Perdana Menteri dan bertanggung jawab kepada Raja
Yang dipertuan Agung Malaysia.

117
4. Pada tahun 1952, semua kasus korupsi ditangani oleh unit kecil di kesatuan
polisi Singapura yang dikenal sebagai 'Unit Anti Korupsi” . Namun unit ini
dianggap kurang mencukupi setelah pada Oktober 1951, munculah CPIB
(Corrupt Practices Investigation Bureau) sebagai organisasi baru yang
independen dan terpisah dari lembaga kepolisian untuk melakukan
penyidikan semua kasus korupsi. Landasan undang-undang dan dukungan
politis yang kuat dalam program pemberantasan korupsi menjadikan CPIB
sebagai pelopor terbentuknya citra Singapura yang bersih dari korupsi.
Selain itu di singapura, pemerintah dengan menciptakan peraturan anti
korupsi yang lebih efektif di tahun 1960'an dengan nama “the Prevention of
Corruption Act”. Undang-undang yang baru ini menambah kewenangan
investigasi dari CIPB dan menetapkan hukuman yang lebih berat bagi
pelaku korupsi.
5. Semenjak munculnya kasus korupsi Peter Godber, yang merugikan
masyarakat Hongkong pada saat itu, maka bulan Februari 1974 pemerintah
mendirikan sebuah organisasi untuk memberantas korupsi yaitu
Independent Commission Against Corruption (ICAC). ICAC memiliki
komitmen untuk memberantas korupsi dengan strategi “3 ujung”, yaitu
pencegahan, penindakan, dan pendidikan. Salah satu tugas awalnya adalah
untuk menangkap Peter Godber. Perkembangan ICAC Hongkong ini sangat
pesat. Bahkan dijadikan “role model” bagi pemberantasan korupsi di
negara lain. Kunci dari keberhasilan ICAC adalah komitmen, konsistensi
dan pendekatan yang koheren antara pencegahan dan penindakan.

118
REFERENSI
Andi Hamzah, (2005). Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional
dan Internasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Diakses melalui:
http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/992/5/108400040_file5.p
df pada tangga; 4 Desember 2021 Pukul 06.39 WIB
Diakses melalui: http://www.kpk.go.id/id/ pada tangga; 4 Desember 2021 Pukul
07.00 WIB
Ermansyah Djaja. (2009). Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi
Pemberanrasan Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Institutional Arrangement to Combat Corruption, (2005). A comparative Study,
UNDP.
Pohan, S. (2018). Perbandingan Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia Dan
Beberapa Negara Dunia. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan
Humaniora, 1(1), 271-303.
Tumbur Ompu Sunggu. (2012). Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam Penegakan Hukum di Indonesia. YogyakartaL Total Media.

119
BAB VIII
PERAN MAHASISWA DAN
MASYARAKAT DALAM
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
(Kelompok)

120
BAB VIII
PERAN MAHASISWA DAN MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA KORUPSI

PERAN MAHASISWA DALAM MEMERANGI KORUPSI


Disarikan dari Modul Sosialisasi Anti Korupsi BPKP tahun 2005 oleh
Mohamad Risbiyantoro, Ak., CFE (PFA pada Deputi Bidang Investigasi BPKP).
Mahasiswa dan Sejarah Perjuangannya
Mahasiswa merupakan suatu elemen masyarakat yang unik. Jumlahnya
tidak banyak, namun sejarah menunjukkan bahwa dinamika bangsa ini tidak lepas
dari peran mahasiswa. Walaupun jaman terus bergerak dan berubah, namun tetap
ada yang tidak berubah dari mahasiswa, yaitu semangat dan idealisme. Semangat-
semangat yang berkobar terpatri dalam diri mahasiswa, semangat yang mendasari
perbuatan untuk melakukan perubahan-perubahan atas keadaan yang dianggapnya
tidak adil. Mimpi-mimpi besar akan bangsanya. Intuisi dan hati kecilnya akan
selalu menyerukan idealisme.
Mahasiswa tahu, ia harus berbuat sesuatu untuk masyarakat, bangsa dan
negaranya. Sejarah mencatat dengan tinta emas, perjuangan mahasiswa dalam
memerangi ketidak adilan. Sejarah juga mencatat bahwa perjuangan bangsa
Indonesia tidak bisa lepas dari mahasiswa dan dari pergerakan mahasiswa akan
muncul tokoh dan pemimpin bangsa.
Apabila kita menengok ke belakang, ke sejarah perjuangan bangsa,
kebangkitan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda dimotori oleh
para mahasiswa kedokteran STOVIA. Demikian juga dengan Soekarno, sang
Proklamator Kemerdekaan RI merupakan tokoh pergerakan mahasiswa. Ketika
pemerintahan bung Karno labil, karena situasi politik yang memanas pada tahun
1966, mahasiswa tampil ke depan memberikan semangat bagi pelaksanaan tritura
yang akhirnya melahirkan orde baru.
Demikian pula, seiring dengan merebaknya penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan oleh orde baru, mahasiswa memelopori perubahan yang kemudian
melahirkan jaman reformasi.
Demikianlah perjuangan mahasiswa dalam memperjuangkan
idealismenya, untuk memerangi ketidakadilan. Namun demikian, perjuangan

121
mahasiswa belumlah berakhir. Di masa sekarang ini, mahasiswa dihadapkan pada
tantangan yang tidak kalah besar dibandingkan dengan kondisi masa lampau.
Kondisi yang membuat Bangsa Indonesia terpuruk, yaitu masalah korupsi
yang merebak di seluruh bangsa ini. Mahasiswa harus berpandangan bahwa
korupsi adalah musuh utama bangsa Indonesia dan harus diperangi.
Apa itu Korupsi?
Dalam seni perang, terdapat ungkapan “untuk memenangi peperangan
harus mengenal lawan dan mengenali diri sendiri”. Untuk itu, mahasiswa harus
mengetahui apa itu korupsi. Banyak sekali definisi mengenai korupsi, namun
demikian pengertian korupsi menurut hukum positif (UU No 31 Tahun 1999 jo
UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) adalah
perbuatan setiap orang baik pemerintahan maupun swasta yang melanggar hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara.
Penyebab terjadinya korupsi bermacam-macam dan banyak ahli
mengklasifiksikan penyebab terjadinya korupsi. Salah satunya Boni Hargen, yang
membagi penyebab terjadinya korupsi menjadi 3 wilayah (media online 2003),
yaitu:
1. Wilayah Individu, dikenal sebagai aspek manusia yang menyangkut moralitas
personal serta kondisi situasional seperti peluang terjadinya korupsi termasuk
di dalamnya adalah faktor kemiskinan.
2. Wilayah Sistem, dikenal sebagai aspek institusi/administrasi. Korupsi dianggap
sebagai konsekuensi dari kerja sistem yang tidak efektif. Mekanisme kontrol
yang lemah dan kerapuhan sebuah sistem memberi peluang terjadinya korupsi.
3. Wilayah Irisan antara Individu dan Sistem, dikenal dengan aspek sosial
budaya, yang meliputi hubungan antara politisi, unsur pemerintah dan
organisasi non pemerintah. Selain itu meliputi juga kultur masyarakat yang
cenderung permisif dan kurang perduli dengan hal-hal yang tidak terpuji. Di
samping itu terjadinya pergeseran nilai, logika, sosial, dan ekonomi yang ada
dalam masyarakat.
Adapun dampak dari korupsi bagi bangsa Indonesia sangat besar dan komplek.
Menurut Soejono Karni, beberapa dampak korupsi adalah:

122
1. rusaknya sistem tatanan masyarakat,
2. Ekonomi biaya tinggi dan sulit melakukan efisiensi,
3. Munculnya berbagai masalah sosial di masyarakat,
4. Penderitaan sebagian besar masyarakat di sektor ekonomi, administrasi, politik,
maupun hukum,
5. Yang pada akhirnya menimbulkan sikap frustasi, ketidakpercayaan, apatis
terhadap pemerintah yang berdampak kontraproduktif terhadap pembangunan.
Strategi Pemberantasan Korupsi
Upaya memerangi korupsi bukanlah hal yang mudah. Dari pengalaman
Negara-negara lain yang dinilai sukses memerangi korupsi, segenap elemen
bangsa dan masyarakat harus dilibatkan dalam upaya memerangi korupsi melalui
cara-cara yang simultan. Upaya pemberantasan korupsi meliputi beberapa prinsip,
antara lain:
1. Memahami hal-hal yang menjadi penyebab korupsi,
2. Upaya pencegahan, investigasi, serta edukasi dilakukan secara bersamaan,
3. Tindakan diarahkan terhadap suatu kegiatan dari hulu sampai hilir (mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan aspek kuratifnya) dan meliputi
berbagaui elemen.
Sebagaimana Hong Kong dengan ICAC-nya, maka strategi yang perlu
dikembangkan adalah strategi memerangi korupsi dengan pendekatan tiga pilar
yaitu preventif, investigative dan edukatif. Strategi preventif adalah strategi upaya
pencegahan korupsi melalui perbaikan system dan prosedur dengan membangun
budaya organisasi yang mengedepankan prinsip-prinsip fairness, transparency,
accountability & responsibility yang mampu mendorong setiap individu untuk
melaporkan segala bentuk korupsi yang terjadi.
Strategi investigatif adalah upaya memerangi korupsi melalui deteksi,
investigasi dan penegakan hukum terhadap para pelaku korupsi. Sedangkan
strategi edukatif adalah upaya pemberantasan korupsi dengan mendorong
masyarakat untuk berperan serta memerangi korupsi dengan sesuai dengan
kapasitas dan kewenangan masing-masing. Kepada masyarakat perlu ditanamkan
nilai-nilai kejujuran (integrity) serta kebencian terhadap korupsi melalui pesan-
pesan moral.

123
Mahasiswa dan Potensi yang Dimilikinya
Selain mengenal karakteristik korupsi, pengenalan diri diperlukan untuk
menentukan strategi yang efektif yang akan digunakan. Dalam kaitannya dengan
hal tersebut, mahasiswa harus menyadari siapa dirinya, dan kekuatan dan
kemampuan apa yang dimilikinya yang dapat digunakan untuk menghadapi
peperangan melawan korupsi.
Apabila kita menilik ke dalam untuk mengetahui apa hakekat dari
mahasiswa, maka kita akan mengetahui bahwa mahasiswa mempunyai banyak
sekali sisi. Disatu sisi mahasiswa merupakan peserta didik, dimana mahasiswa
diproyeksikan menjadi birokrat, teknokrat, pengusaha, dan berbagai profesi
lainnya. Dalam hal ini mahasiswa dituntut untuk memiliki kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Hal tersebut disebabkan kecerdasan intelektual tidak dapat mencegah
orang untuk menjadi serakah, egois, dan bersikap negatif lainnya. Dengan
berbekal hal-hal tersebut, mahasiswa akan dapat menjadi agen pembaharu yang
handal, yang menggantikan peran-peran pendahulunya di masa yang akan datang
akan dapat melakukan perbaikan terhadap kondisi yang ada kearah yang lebih
baik. Di sisi lain, mahasiswa juga dituntut berperan untuk melakukan kontrol
sosial terhadap penyimpangan yang terjadi terhadap sistem, norma, dan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat.
Selain itu, Mahasiswa juga dapat berperan dalam mempengaruhi kebijakan
publik dari pemerintah. Usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh mahasiswa untuk
mempengaruhi keputusan politik adalah dengan melakukan penyebaran
informasi/tanggapan atas kebijakan pemerintah dengan melakukan membangun
opini public, jumpa pers, diskusi terbuka dengan pihak-pihak yang berkompeten.
Selain itu, mahasiswa juga menyampaikan tuntutan dengan melakukan
demonstrasi dan pengerahan massa dalam jumlah besar. Di samping itu,
mahasiswa mempunyai jaringan yang luas, baik antar mahasiswa maupun dengan
lembaga-lembaga swadaya masyarakat sehingga apabila dikoordinasikan dengan
baik akan menjadi kekuatan yang sangat besar untuk menekan pemerintah.

124
Peran Mahasiswa dalam Pemberantasan Korupsi dan Peran Mahasiswa di
Lingkungan Kampus
Untuk dapat berperan secara optimal dalam pemberantasan korupsi adalah
pembenahan terhadap diri dan kampusnya. Dengan kata lain, mahasiswa harus
mendemonstrasikan bahwa diri dan kampusnya harus bersih dan jauh dari
perbuatan korupsi. Untuk mewujudkan hal tersebut, upaya pemberantasan korupsi
dimulai dari awal masuk perkuliahan.
Pada masa ini merupakan masa penerimaan mahasiswa, dimana
mahasiswa diharapkan mengkritisi kebijakan internal kampus dan sekaligus
melakukan pressure kepada pemerintah agar undang-undang yang mengatur
pendidikan tidak memberikan peluang terjadinya korupsi.
Di samping itu, mahasiswa melakukan kontrol terhadap jalannya
penerimaan mahasiswa baru dan melaporkan kepada pihak-pihak yang berwenang
atas penyelewengan yang ada. Selain itu, mahasiswa juga melakukan upaya
edukasi terhadap rekan-rekannya ataupun calon mahasiswa untuk menghindari
adanya praktik-praktik yang tidak sehat dalam proses penerimaan mahasiswa.
Selanjutnya adalah pada proses perkuliahan.
Dalam masa ini, perlu penekanan terhadap moralitas mahasiswa dalam
berkompetisi untuk memperoleh nilai yang setinggi-tingginya, tanpa melalui cara-
cara yang curang. Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan jalan
membentengi diri dari rasa malas belajar.
Hal krusial lain dalam masa ini adalah masalah penggunaan dana yang ada
dilingkungan kampus. Untuk itu diperlukan upaya investigatif berupa melakukan
kajian kritis terhadap laporan-laporan pertanggungjawaban realisasi penerimaan
dan pengeluarannya. Sedangkan upaya edukatif penumbuhan sikap anti korupsi
dapat dilakukan melalui media berupa seminar, diskusi, dialog. Selain itu media
berupa lomba-lomba karya ilmiah pemberantasan korupsi ataupun melalui bahasa
seni baik lukisan, drama, dan lain-lain juga dapat dimanfaatkan juga.
Selanjutnya pada tahap akhir perkuliahan, dimana pada masa ini
mahasiswa memperoleh gelar kesarjanaan sebagai tanda akhir proses belajar
secara formal. Mahasiswa harus memahami bahwa gelar kesarjanaan yang

125
diemban memiliki konsekuensi berupa tanggung jawab moral sehingga perlu
dihindari upaya-upaya melalui jalan pintas.
Peran Mahasiswa dalam Masyarakat dan Penentuan Kebijakan Publik
Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat, mahasiswa merupakan
faktor pendorong dan pemberi semangat sekaligus memberikan contoh dalam
menerapkan perilaku terpuji. Peran mahasiswa dalam masyarakat secara garis
besar dapat digolongkan menjadi peran sebagai kontrol sosial dan peran sebagai
pembaharu yang diharapkan mampu melakukan pembaharuan terhadap sistem
yang ada.
Salah satu contoh yang paling fenomenal adalah peristiwa turunnya orde
baru dimana sebelumnya di dahului oleh adanya aksi mahasiswa yang masif di
seluruh Indonesia. Sebagai kontrol sosial, mahasiswa dapat melakukan peran
preventif terhadap korupsi dengan membantu masyarakat dalam mewujudkan
ketentuan dan peraturan yang adil dan berpihak pada rakyat banyak, sekaligus
mengkritisi peraturan yang tidak adil dan tidak berpihak pada masyarakat.
Kontrol terhadap kebijakan pemerintah tersebut perlu dilakukan karena
banyak sekali peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang hanya berpihak
pada golongan tertentu saja dan tidak berpihak pada kepentingan masyarakat
banyak. Kontrol tersebut bisa berupa tekanan berupa demonstrasi ataupun dialog
dengan pemerintah maupun pihak legislatif.
Mahasiswa juga dapat melakukan peran edukatif dengan memberikan
bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat baik pada saat melakukan kuliah
kerja lapangan atau kesempatan yang lain mengenai masalah korupsi dan
mendorong masyarakat berani melaporkan adanya korupsi yang ditemuinya pada
pihak yang berwenang.
Selain itu, mahasiswa juga dapat melakukan strategi investigatif dengan
melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam upaya penegakan hukum
terhadap pelaku korupsi serta melakukan tekanan kepada aparat penegak hukum
untuk bertindak tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Tekanan tersebut
bisa berupa demonstrasi ataupun pembentukan opini publik.

126
Rangkuman:
Dengan kekuatan yang dimilikinya berupa semangat dalam menyuarakan
dan memperjuangkan nilai-nilai kebenaran serta keberanian dalam menentang
segala bentuk ketidak adilan, mahasiswa menempati posisi yang penting dalam
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Kekuatan tersebut bagaikan pisau yang bermata dua, di satu sisi,


mahasiswa mampu mendorong dan menggerakkan masyarakat untuk bertindak
atas ketidakadilan sistem termasuk didalamnya tindakan penyelewengan jabatan
dan korupsi. Sedangkan di sisi yang lain, mahasiswa merupakan faktor penekan
bagi penegakan hukum bagi pelaku korupsi serta pengawal bagi terciptanya
kebijakan publik yang berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak.95

PERAN MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA


KORUPSI
A. Pendahuluan
KPK menyadari bahwa sumber daya dan infrastruktur yang mereka
miliki tidak memungkinkan untuk menggarap semua kasus korupsi yang
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Jumlah hakim pengadilan khusus
tindak pidana korupsi juga relatif sangat kurang. Kondisi ini tentu
berimplikasi pada sedikitnya kasus korupsi yang dapat ditangani oleh KPK
dibandingkan jumlah kasus yang masuk ke KPK atau jumlah pengaduan dari
masyarakat. Kinerja KPK tahun 2008 menunjukkan hal ini. Pengaduan dari
masyarakat mengenai korupsi ada 8.000 kasus, yang diselidiki 70 kasus
dengan penuntutan 7 kasus diputuskan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
21 kasus telah dieksekusi (Fahmi, 2009:17).96 Dari kasus yang berhasil
ditangani KPK tersebut tidaklah sebanding dengan jumlah kasus yang masuk
ke KPK. Itu artinya, kepercayaan masyarakat terhadap KPK cukup tinggi

95
http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/investigasi/files/Gambar/PDF/
peranan_mahasiswa.pdf
96
Fahmi, I, (2009), “Peran Serta Penyelenggara Negara Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi”.
Makalah. Disampaikan dalam Workshop Forum Komunikasi Wartawan Jawa Tengah (FKWJT) di
Hotel Santika Semarang pada tanggal 26 Pebruari 2009, hlm 17.

127
terlihat dari jumlah kasus yang cukup besar, tetapi di sisi lain sumber daya
KPK yang relatif kecil belum mampu menangani kasus yang banyak tersebut.
Karena kondisi inilah, dalam bidang penindakan, KPK memilih untuk
mengefektifkan koordinasi dan supervisi dengan kejaksaan dan kepolisian
untuk memastikan bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan telah
berjalan sebagaimana mestinya (Fahmi, 2009: 18).97 Namun dalam hal
melakukan pencegahan korupsi, KPK menyadari tidak mampu melakukannya
sendirian. Itulah sebabnya, KPK harus menggandeng tangan semua
komponen bangsa ini, terutama dari kalangan swasta dan masyarakat.

B. Substansi Isi
1. Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya
pemberantasan korupsi. Sebagai pihak eksternal, kehadiran masyarakat
sangat dibutuhkan, sebab biasanya mata luar lebih awas daripada mata
yang ada di dalam. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat merupakan
strategi kunci bagi upaya pemberantasan korupsi (Sudjana, 2008: 168). 98
Masyarakat yang berdaya dapat melakukan kontrol secara efektif terhadap
lembaga negara yang bertugas memberantas korupsi. Bahkan masyarakat
dapat menjadi mitra strategis bagi lembaga antikorupsi dalam melakukan
kegiatan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku korupsi. Mengapa
masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal ini
beralasan, karena masyarakat pun memiliki kontribusi dan memberikan
peluang bagi tumbuh suburnya korupsi. Seperti dikatakan Pope (2007:
59), kegiatan-kegiatan publik tidak dilakukan dalam situasi vakum.
Masyarakatlah yang sering memberi suap. Titik singgung antara sektor
swasta dan sektor publik juga sering menjadi tempat terjadinya korupsi
dan suap-menyuap. Contoh yang paling telanjang adalah penyuapan yang
dilakukan oleh pengendara motor atau mobil kepada polisi lalu lintas

97
Ibid, hlm 18.
98
Sudjana, E, Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati, (Surabaya: JP Books, 2008),
hlm 168.

128
ketika mereka melakukan pelanggaran lalu lintas.99 Upaya antikorupsi
tanpa melibatkan masyarakat, akan sia-sia karena masyarakat merupakan
salah satu pendukung yang paling berpotensi dan ampuh dalam
memberantas korupsi. Itulah sebabnya, pemerintah juga memiliki
kewajiban turut memberdayakan masyarakat agar mereka semakin sadar
dan tidak terlibat korupsi (Sudjana, 2008: 171).100
Partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam upaya
pemberantasan korupsi memiliki landasan hukum yang jelas. Partisipasi
tersebut tidak hanya diatur dalam UU Korupsi, tetapi juga diatur dalam
UU tentang Penyelenggara Negara. Dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme dijelaskan bahwa peran serta masyarakat
dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggung jawab
masyarakat untuk ikut mewujudkan penyelenggara negara yang bersih.
Dalam pasal 9 ayat (1) UU tersebut disebutkan bahwa peran serta
masyarakat untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih
diwujudkan dalam bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang
penyelenggara negara;
b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
penyelenggara negara;
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
terhadap kebijakan penyelenggara negara;
d. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal: melaksanakan
haknya sebagaimana dimaksud dalam nomor 1, 2, dan 3 serta diminta
hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di siding pengadilan
sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Direktorat Pembinaan
Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 156).101

99
Pope, J, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Terjemahan Masri
Maris, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm 59.
100
Sudjana, op.cit hlm 171.

129
Dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi, peran serta
masyarakat diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peran tersebut
diwujudkan dalam bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. Hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak
pidana korupsi;
c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab
kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana
korupsi;
d. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari;
e. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal: (a)
melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2, 3,
dan (b) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di
siding pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (KPK,
t.th.: 67).102
Peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan
Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam

101
Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, Kumpulan Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: KPK, 2006), hlm 156.

102
KPK. T.th. UU No. 30/2002, UU No. 20/2001, UU No. 31/1999, UU No. 28/1999, UU No.
3/1971, PP No. 71/2000, Organisasi dan Tata Kerja KPK, Kode Etik Pimpinan KPK, Ringkasan
Draft Rencana Strategis KPK, dan Gratifikasi. Jakarta, hlm 67.

130
PP tersebut, yang dimaksud peran serta masyarakat adalah peran aktif
perorangan, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut PP tersebut, setiap orang, organisasi masyarakat, atau
lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi.
Masyarakat juga berhak dan bertanggung jawab menyampaikan saran dan
pendapat kepada penegak hukum atau KPK mengenai adanya tindak
pidana korupsi. Penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau
permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggung jawab sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, norma agama,
kesusilaan, dan kesopanan. Informasi, saran, atau pendapat dari
masyarakat harus disampaikan secara tertulis, disertai dengan: (a) data
mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan organisasi masyarakat, atau
pimpinan lembaga swadaya masyarakat dengan melampirkan foto kopi
kartu tanda penduduk atau identitas diri lain, (b) keterangan mengenai
dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti
permulaan (KPK, t.th.: 120).103 Setiap informasi, saran, atau pendapat dari
masyarakat harus diklarifikasi dengan bukti-bukti permulaan.
Ketentuan di atas menyangkut partisipasi masyarakat dalam hal
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi, saran, dan pendapat
tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi. Ketentuan mengenai hak
dan tanggung jawab masyarakat dalam memperoleh pelayanan dan
jawaban dari penegak hukum, diatur dalam pasal 4 PP tersebut. Dalam
pasal 4 tersebut diatur bahwa setiap orang, organisasi masyarakat, atau
lembaga swadaya masyarakat berhak memperoleh pelayanan dan jawaban
dari penegak hukum atau KPK atas informasi, saran, atau pendapat yang
disampaikan kepada penegak hukum atau komisi. Penegak hukum atau
komisi wajib memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas
informasi, saran, atau pendapat dari setiap orang, oranisasi masyarakat,
atau lembaga swadaya masyarakat dalam waktu paling lambat 30 (tiga

103
Ibid, hlm 120.

131
puluh) hari terhitung sejak tanggal informasi, saran atau pendapat tersebut
diterima. Dalam hal tertentu, penegak hukum atau komisi dapat menolak
memberikan isi informasi atau memberikan jawaban atas saran atau
pendapat yang disampaikan perorangan, organisasi masyarakat, atau
lembaga swadaya masyarakat, sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya
masyarakat dalam partisipasinya berhak atas perlindungan hukum, baik
mengenai status hukum maupun rasa aman. Perlindungan mengenai status
hukum tersebut tidak diberikan apabila dari hasil penyelidikan atau
penyidikan terdapat bukti yang cukup, yang memperkuat keterlibatan
pelapor dalam tindak pidana korupsi yang telah dilaporkannya.
Perlindungan hukum juga tidak diberikan tatkala pelapor dikenakan
tuntutan dalam perkara lain. Namun demikian, kerahasiaan dan rasa aman
diberikan kepada pelapor yang murni bersih dari perkara korupsi.
Dalam pasal 6 ayat (1) dinyatakan, “penegak hukum atau komisi
wajib merahasiakan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor
atau isi informasi, saran, atau pendapat yang disampaikan” (KPK, t.th.:
121).104 Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan, “apabila diperlukan, atas
permintaan pelapor, penegak hukum atau komisi dapat memberikan
pengamanan fisik terhadap pelapor maupun keluarganya.”
Agar peran serta masyarakat berjalan efektif, maka partisipasi
tersebut harus dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan
menciptakan koalisi strategis antar-elemen masyarakat. Sejumlah tokoh
masyarakat dan figur dari berbagai kalangan yang berpengaruh, seperti
pekerja seni, artis, musisi, guru, dosen, pekerja sosial, pendeta, ulama,
mahasiswa, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya dapat bekerjasama untuk
menjadi kekuatan penekan (pressure power) terhadap keseriusan
pemerintah dalam memberantas korupsi atau setidaknya sebagai kekuatan
sipil dalam mengembangkan benih-benih perilaku antikorupsi yang dalam

104
Ibid, hlm 121.

132
jangka panjang dapat menciptakan generasi dan masyarakat berbudaya
antikorupsi.
2. Pemberian Penghargaan
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang
telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau
pengungkapan tindak pidana korupsi (Direktorat Pembinaan Jaringan
Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006: 149).105
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2000, setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya
masyarakat yang telah berjasa dalam usaha membantu upaya pencegahan
atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan.
Penghargaan tersebut berupa Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999, pemerintah memberikan penghargaan kepada
anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan,
pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi (Direktorat
Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, 2006:
149).106
Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
2000, setiap orang, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya
masyarakat yang telah berjasa dalam usaha membantu upaya pencegahan
atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan.
Penghargaan tersebut berupapremi atau piagam. Dalam pasal 9 Peraturan
Pemerintah tersebut, besar premi ditetapkan paling banyak sebesar dua
permil dari nilai kerugian keuangan negara yang dikembalikan. Premi
diberikan kepada pelapor setelah putusan pengadilan yang memidana
terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap. Penyerahan premi
dilakukan oleh Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk. Sementara itu,
piagam diberikan kepada pelapor setelah perkara dilimpahkan ke
Pengadilan Negeri (pasal 10). Penyerahan piagam tersebut dilakukan oleh
penegak hukum atau KPK.
105
Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK, op.cit hlm 149.
106
Ibid, hlm 149.

133
Pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa baik
dalam kegiatan penindakan maupun pencegahan, tentu saja tidak terbatas
pada apa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut di atas.
KPK bisa mengembangkan 1.001 cara untuk mendorong masyarakat agar
membantu pemerintah dan KPK dalam memberantas korupsi. Misalnya
dengan memberikan penghargaan melalui ajang KPK Award. Kategori
penghargaan dapat bervariasi, misalnya kategori anggota Dewan
terbersih, menteri terbersih, gubernur terbersih, bupati atau wali kota
terbersih, guru terjujur, dosen terjujur, pengusaha terjujur, LSM
antikorupsi tergiat, pokja antikorupsi perguruan tinggi tergiat, dan
sebagainya. Dengan pemberian penghargaan tersebut, akan mendorong
mereka yang bekerja tanpa pamrih tersebut untuk berbuat lebih baik dan
lebih banyak lagi kepada nusa, bangsa, dan negara. Yang paling penting
pula adalah sel-sel antikorupsi tetap hidup dan bermutasi lebih banyak
lagi menyebarkan virus antikorupsi di semua lapisan masyarakat.
3. Pentingnya Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi
Melihat dampak korupsi yang demikian dahsyat, dan sangat
merugikan masyarakat, maka diperlukan sebuah keseriusan dalam
penegakan hukum guna pemebrantasan tindak pidana korupsi. Berkaitan
dengan penegakan hukum Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa
Penegakan hukum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
107
di sini berati bahwa penegak hukum dipercaya oleh masyarakat untuk
menegakkan nilainilai kebenaran dan keadilan yang terkandung di dalam
hukum. Namun demikian dalam penegakan hukum itu terdapat sisi yang
penting yaitu peran serta masyarakat, yang kemudian disebut sebagai
kontrol sosial.
Korupsi yang dilakukan dengan penggunaan kekuasaan pada
intinya dilakukan karena lemahnya kontrol sosial, atau lingkungan sosial
yang membentuknya demikian.108 Terutama lingkungan yang ada dalam

107
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan,
Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008
108
Topo Santoso dan Eva Achzani Zulfa, yang menyebutkan bahwa teori kontrol sosial
mendasarkan asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat
manusia, kriminologi, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2003

134
kekuasaan yang sudah dihinggapi oleh tanggung jawab yang hilang. Jadi
tak berlebihan jika James C. Scoot memiliki pendirian bahwa korupsi
meliputi penyimpangan tingkah laku standar, yaitu melanggar atau
bertentangan dengan hukum untuk memperkaya diri sendiri, oleh
karenanya diperlukan kontrol sosial. 109
Kontrol sosial menurut Ronny Hanitijo Soemitro, merupakan aspek
normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi definisi
dan tingkah laku yang menyimpang serta akibatakibatnya, seperti
larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti
rugi. bahkan menurutnya tingkah laku yang menyimpang tergantung pada
kontrol sosial. Ini berarti, kontrol sosial menentukan tingkah laku
bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang. Makin
tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial, maka semakin berat nilai
penyimpangan pelakunya. Jadi tindakan menyimpang tidak dibenarkan
karena masyarakat secara umum merasa tindakan-tindakan tersebut tidak
dapat diterima.110 Sikap penolakan masyarakat terhadap perilaku
menyimpang tersebut dapat dikualifisir sebagai kejahatan, di mana
kejahatan tersebut merupakan hal yang tercela bagi masyarakat. Oleh
karena itu, menurut Emile Durkheim, kejahatan merupakan tindakan yang
tidak disepakati secara umum oleh anggota masing-masing masyarakat.
Suatu tindakan bersifat kejahatan ketika tindakan tersebut melanggar
kesadaran bersama yang kuat dan terdefinisi. Jadi dengan demikian
menurut Emile Durkheim kejahatan merupakan hal yang disepakati oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Secara tegas Reiss
mendefinisikan kontrol sosial sebagai
Prosiding Seminar Nasional Mewujudkan Masyarakat Madani dan
Lestari seri 9 “Pemukiman Cerdas dan Tanggap Bencana” Yogyakarta, 24
Oktober 2019 Diseminasi Hasil-Hasil Penelitian 64 kemampuan kelompok
sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan
normanorma atau peraturan menjadi efektif.
109
Azhar, Peranan Biro Anti Korupsi Dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di Brunei Darusalam,
Jurnal Litigasi Volume 10, FH Unpas, Bandung, 2009
110
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007

135
Berkenaan dengan kontrol sosial tersebut Soerjono Soekanto,
menjelaskan bahwa, kontrol sosial adalah segala sesuatu yang dilakukan
untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak
direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga
masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-
nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan.111
Menurut Satjipto Rahardjo sendiri bahwa kontrol sosial adalah
suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar
bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat, kontrol sosial tersebut
dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan
penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi
secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Bahkan di
Malaysia, kontrol sosial tidak hanya dilakukan oleh lembaga yang
dibentuk secara resmi oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh
elemen masyarakat, hal tersebut di sampaikan oleh Perdana Menteri
Malaysia Abdullah Badawi, bahwa di Malaysia setiap warga harus
menjadi pemantau atas korupsi di pemerintahan.
Hal tersebut menjadi wajar, karena tindak pidana korupsi
merupakan kejahatan sosial dan yang paling dirugikan adalah masyarakat.
Jadi agar tidak terjadi ketidaktertiban sosial diperlukan adanya
aturan dalam rangka menanggulangi tindakan dan akibat jahat dari
tindakan korupsi, yang pada hakikatnya dapat merusak kehidupan sosial,
dan peraturan tersebut harus sesuai dengan aspirasi masyarakat pada
umumnya.
Agar kontrol sosial terlembagakan dalam sistem perundang-
undangan dan sebagai bentuk penyerapan aspirasi masyarakat, maka
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah oleh
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, telah merumuskan mengenai peran serta masyarakat.
Sebagai amanat Pasal 41 Ayat (5) dan Pasal 42 ayat (2), maka
pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun
111
R. Diyatmiko Soemodiharjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati Dinamikanya
di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008

136
2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam
Penyelenggaraan Negara, di mana dalam Pasal 7 ditegaskan bahwa : setiap
orang, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, yang telah
berjasa dalam usaha pencegahan atau pemberantasan tindak pidana
korupsi, berhak mendapat penghargaan. Bentuk penghargaan ini berupa
piagam dan premi yang besarnya 2 per mil dari kekayaan Negara yang
dikembalikan.112

Rangkuman:
1. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya pemberantasan
korupsi. Sebagai pihak eksternal, kehadiran masyarakat sangat dibutuhkan,
sebab biasanya mata luar lebih awas daripada mata yang ada di dalam. Oleh
karena itu, pemberdayaan masyarakat merupakan strategi kunci bagi upaya
pemberantasan korupsi. Masyarakat yang berdaya dapat melakukan kontrol
secara efektif terhadap lembaga negara yang bertugas memberantas korupsi.
Bahkan masyarakat dapat menjadi mitra strategis bagi lembaga antikorupsi
dalam melakukan kegiatan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku
korupsi. Selain itu adapun pemberian penghargaan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang, yang diberikan oleh pemerintah kepada anggota masyarakat
yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau
pengungkapan tindak pidana korupsi sebagai upaya untuk mendorong
masyarakat agar membantu pemerintah dan KPK dalam memberantas
korupsi.
2. Melihat dampak korupsi yang demikian dahsyat, dan sangat merugikan
masyarakat, maka diperlukan sebuah keseriusan dalam penegakan hukum
guna pemebrantasan tindak pidana korupsi. Maka diperlukan sebuah nilai-
nilai kebenaran dan keadilan untuk dapat menegakan sebuah hukum. Namun
demikian dalam penegakan hukum itu terdapat sisi yang penting yaitu peran
serta masyarakat, yang kemudian disebut sebagai kontrol sosial. Korupsi yang
dilakukan dengan penggunaan kekuasaan pada intinya dilakukan karena
lemahnya kontrol sosial, atau lingkungan social. Terutama lingkungan yang

112
Ronni Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Kompas, Jakarta, 2005

137
ada dalam kekuasaan yang sudah dihinggapi oleh tanggung jawab yang
hilang. Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial, maka semakin
berat nilai penyimpangan pelakunya. Jadi tindakan menyimpang tidak
dibenarkan karena masyarakat secara umum merasa tindakan-tindakan
tersebut tidak dapat diterima. Sikap penolakan masyarakat terhadap perilaku
menyimpang tersebut dapat dikualifisir sebagai kejahatan, di mana kejahatan
tersebut merupakan hal yang tercela bagi masyarakat. Kontrol sosial adalah
suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar
bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat, kontrol sosial tersebut
dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan
penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi
secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Bahkan kontrol
sosial tidak hanya dilakukan oleh lembaga yang dibentuk secara resmi oleh
pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat, maka dari itu
masyarakat harus menjadi pemantau atas korupsi yang ada di sekitar.

138
REFERENSI
Azhar, Peranan Biro Anti Korupsi Dalam Mencegah Terjadinya Korupsi di
Brunei Darusalam, Jurnal Litigasi Volume 10, FH Unpas, Bandung, 2009
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Kejahatan, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008
Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK. 2006.
Kumpulan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: KPK.
Fahmi, I. (2009). “Peran Serta Penyelenggara Negara Dalam Upaya
Pemberantasan Korupsi”. Makalah. Disampaikan dalam Workshop Forum
Komunikasi Wartawan Jawa Tengah (FKWJT) di Hotel Santika Semarang
pada tanggal 26 Pebruari 2009.
KPK. T.th. UU No. 30/2002, UU No. 20/2001, UU No. 31/1999, UU No.
28/1999, UU No. 3/1971, PP No. 71/2000, Organisasi dan Tata Kerja
KPK, Kode Etik Pimpinan KPK, Ringkasan Draft Rencana Strategis KPK,
dan Gratifikasi. Jakarta.
Pope, J. 2007. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional.
Terjemahan Masri Maris. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
R. Diyatmiko Soemodiharjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati
Dinamikanya di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2008
Ronni Rahman Nitibaskara, Tegakkan Hukum Gunakan Hukum, Kompas,
Jakarta, 2005
Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana
Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2007
Sudjana, E. 2008. Republik Tanpa KPK Koruptor Harus Mati. Surabaya: JP
Books.
Topo Santoso dan Eva Achzani Zulfa, yang menyebutkan bahwa teori kontrol
sosial mendasarkan asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan
merupakan bagian dari umat manusia, kriminologi, Radja Grafindo
Persada, Jakarta, 2003

139
LAMPIRAN SOAL
SOAL PG
1. “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Pernyataan
tersebut merupakan jenis tipe tindak pidana korupsi ke…
a. Tipe Pertama
b. Tipe Kedua
c. Tipe Ketiga
d. Tipe Keempat
e. Tipe Kelima
Jawaban: a. Tipe Pertama
2. Asas Lex Specialis atau disebut juga Undang-Undang TPPU dijelaskan dalam
Pasal…
a. Pasal 35
b. Pasal 68
c. Pasal 10
d. Pasal 11
e. Pasal 42
Jawaban: a. Pasal 68
3. Pengertian tindak pidana korupsi diatur dalam pasal…
a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998
d. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1998
Jawaban: b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
4. Seseorang menerima kaos dan uang kampanye dari salah satu peserta
pemilihan Kepala Desa. Hal tersebut termasuk ke dalam kasus…
a. Suap
b. Korupsi
c. Gratifikasi
d. Imbalan atas jasa

140
Jawaban: C. Gratifikasi
5. Koruptor melanggar UU No. 31/1999 dan UU No. 20/2001. Semua pelaku
korupsi harus dihukum, agar mereka tidak mengulanginya lagi dan dapat
mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama. Hal tersebut termasuk
ke dalam kasus….
a. Gratifikasi
b. Tindak pidana korupsi
c. Pelanggaran hukum
d. Suap
Jawaban: B. Tindak Pidana Korupsi
6. Saat ini begitu banyak perkara korupsi yang ditangani Penegak hukum,
namun korupsi masih saja terjadi. Oleh karena itu Anis tergerak untuk
berbagi pengetahuan anti korupsi pada keluarga dan lingkungan terdekat,
serta berusaha untuk senantiasa bersikap anti korupsi. Hal tersebut termasuk
ke dalam kasus…..
a. Pelanggaran Hukum
b. Gratifikasi
c. Tindak pidana korupsi
d. Sikap anti korupsi dan peran serta masyaraka
Jawaban: D. Sikap Anti Korupsi dan Peran Serta Masyarakat
7. Menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu merupakan upaya
pencegahan korupsi. Salah satu nilai yang harus ditanamkan yaitu keadilan.
Nilai keadilan dapat dikembangkan dalam bentuk, kecuali....
a. Memberikan pelayanan perawatan yang sama kepada semua klien
b. Ketika ada teman berselisih, dapat bertindak bijaksana dan memberikan
solusi tanpa memojokkan salah satu pihak
c. Tidak mengurangi dosisi obat yang diberikan kepada klien
d. Menimbang atau menakar sesuatu secara objektif
e. Mengajukan saran/usul untuk perbaikan proses belajar mengajar dengan
cara yang santun
Jawaban : e. Mengajukan saran/usul untuk perbaikan proses belajar mengajar
dengan cara yang santun

141
8. Melaporkan teman yang berbuat curang ketika ujian, seperti menyontek,
membuat ringkasan untuk menyontek, atau diskusi pada saat ujian. Tindakan
tersebut dapat dikembangkan dalam kehidupan dengan menanamkan nilai-
nilai anti korupsi seperti....
a. Bertanggungjawab
b. Kejujuran
c. Keberanian
d. Kedisiplinan
e. Kepedulian
Jawaban : c. Keberanian
9. Seseorang melakukan korupsi mungkin karena tekanan orang terdekatnya
seperti istri/suami, anak-anak, yang menuntut pemenuhan kebutuhan hidup,
termasuk dalam….
a. Aspek hukum
b. Aspek politik atau tekanan kelompok
c. Sikap masyarakat terhadap korupsi
d. Aspek organisasi
e. Aspek sosial
Jawaban : b. Aspek politik atau tekanan kelompok
10. Dibawah ini yang bukan termasuk proses transparansi yaitu ….
a. Penyusunan kebijakan
b. Pembahasan
c. Pengawasan
d. Kontrol kebijakan
e. Evaluasi
Jawaban : d. kontrol kebijakan
11. Aspek-aspek kebijakan dari empat hal berikut ini, kecuali….
a. Eksistensi kebijakan
b. Isi kebijakan
c. Pembuat kebijakan
d. Pelaksana kebijakan
e. Kultur kebijakan

142
Jawaban : a. Eksistensi kebijakan
12. Startegi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan kontrol 2 unsur
dan paling berperan dalam tindak korupsi.. ini pendapa dari ...
a. Jeremy pope
b. Utrech 
c. Prof.Mr.E.M.Mayers d. Leon Duguit e. S.M.Amin SH
d. Leon Duguit
e. S.M.Amin SH
Jawaban : a. Jeremy pope
13. Perubahan atas undang – undang nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan dan tindak pidana korupsi di perbaharui dengan ..
a. Undang – undang no 20 tahun 2001
b. Undang – undang no 30 tahun 2002
c. Undang – undang no 28 tahu 1999
d. Peraturan pemerintah No. 65 tahun 1999
e. Peraturan pemerintah No. 67 tahun 1999
Jawaban : a. Undang – undang no 20 tahun 2001
14. Upaya pemerintah untuk memebrantas KKN telah di lakukan dengan
membuat instrumen hukum ataupun melalui berbagai kebijakan antara lain:
1) Menghindari sikap dan prilaku KKN
2) Tidak melaporkan bila dilingkungannya terdapat orang yang melakukan
korupsi
3) Melaporkan bila mendapatu praktek uang
4) Berani mengatakan kebenaran
5) Berani memberikan uang kepada aparat Pernyataan yang termasuk peran
serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi adalah ...
a. 1-2-3
b. 2-3-4
c. 3-4-5
d. 1-3-4
e. 2-3-5
Jawaban : d. 1-3-4

143
15. Dalam menjalakan tugas dan wewenangnya, komisi pemberantasan korupsi
berasaskan pada ...
a. Keterbukaan dan kejuuran
b. Kepastian hukum dan proporsionalitasan
c. Kepandaian dan keahlian
d. Akuntabilitas dan kecerdikan
e. Keterbukaan dan kecerdikan
Jawaban : b. Kepastian hukum dan proporsionalitasan
16. Sebagai wujud keserasian masyarakat indonesia dalam memberantas korupsi
maka di bentuk berbagai macam gerakan anti korupsi, kecuali ..
a. Korupsi Pemberantasan Korupsi
b. Indonesia Corruption Watch
c. Transparancy Bantuan Hukum
d. Lembaga Bantuan Hukum
e. Jawaban a,b,c benar 
Jawaban : b. Transparancy Bantuan Hukum
17. Dibawah ini yang merupakan Dasar Hukum Pengaturan Justice Collaborator
dan Whistleblower kucuali...
a. United Nations Convention Against Transnasional Organized
Crime/UNCATOC (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir)
b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
c. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakukan
bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang
bekerjasama di dalam perkara tindak pidana tertentu.
d. Peraturan Bersama Aparat Penegak Hukum dan LPSK tentang
Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang
Bekerjasama.
e. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban.

144
Jawaban : e. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
18. Sanksi Tindak Korupsi diatur Dalam Peraturan Perundang-undangan
Indonesia.....
a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20
Tahun 2001
b. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20
Tahun 2012
c. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20
Tahun 2011
d. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20
Tahun 2003
e. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20
Tahun 2002
Jawaban : a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang
Nomor 20 Tahun 2001
19. Salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian
keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian
kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan
keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Merupakan ajaran
atau teori sistem pembuktian dari...
a. Conviction – intime
b. Conviction – raisonee.
c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif
d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk
stelsel)
e. Pembuktian menurut undang-undang secara positif dan negatif
20. Tindak pidana korupsi biasa disebut dengan extra-ordinary enforcement yang
artinya…
a. Kejahatan biasa
b. Kejahatan kejam
c. Kejahatan luar biasa

145
d. Kejahatan berat
e. Kejahatan ringan
Jawaban : c. Kejahatan luar biasa
21. Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan
huukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan social dan
psikologi social yang sungguh sangat parah. Yang dimaksud dengan
persoalan korupsi sebagai persoalan psikologi social karena…
a. Karena korpsi merupakan penyakit social yang sulit disembuhkan
b. Karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan
c. Karena korupsi merugikan seluruh lapisan masyarakat
d. Karena korupsi mengakibatkan dampak yang begitu besar diberbagai
sector
e. Karena korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa
Jawaban : a. Karena korpsi merupakan penyakit social yang sulit disembuhkan
22. Lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dibentuk
berdasarkan UU No…
a. Undang-undang No. 30 Tahun 1999
b. Undang-undang No. 30 Tahun 2000
c. Undang-undang No. 30 Tahun 2001
d. Undang-undang No. 30 Tahun 2002
e. Undang-undang No. 30 Tahun 2003
Jawaban : d. Undang-undang No. 30 Tahun 2002
23. Komisi pemberantasan korupsi di Thailand adalah NCCC (Nation Counter
Corruption Commision) yang bertanggungjawab kepada…
1. Presiden
2. Perdana mentri
3. Kejaksaan
4. MA
5. Wakil presiden
Jawaban : b. Perdana mentri

146
24. Undang-undang Tahun 1961 bernama Prevention of Corruption Act atau
Akta Pencegah Rusuah merupakan sebuah undang-undang pertama yang
diterbitkan di Malaysia, Undang-undang tersebut bernomorkan…
a. 55
b. 56
c. 57
d. 68
e. 59
Jawaban : c. 57
25. Kemana saja Anda dapat melaporkan tindakan korupsi?
a. Kepolisian
b. Kejaksaan
c. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
d. Semua jawaban benar
Jawaban: d. Semua Jawaban Benar
26. “Penegakan hukum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan”
merupakan sebuah pendapat yang dikemukakan oleh…
a. Barda Nawawi Arief
b. Topo Santoso
c. Azhar
d. Soharto
e. Ronni Rahman
Jawaban: a. Barda Nawawi Arief
27. Korupsi yang dilakukan dengan penggunaan kekuasaan pada intinya
dilakukan karena lemahnya…
a. Kontrol masyarakat
b. Kontrol social
c. Kontrol pemerintah setempat
d. Kontrol penegak hukum
e. Kontrol hukum yang berlaku tegas
Jawaban : b. Kontrol social

147
28. Peraturan pemerintah yang berisikan tentang tata cara pelaksanaan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaaan negara untuk turut serta dalam
pencegahan atau pemberantasan korupsi diatur dalam peraturan pemerintah
nomor…
a. Nomor 71 Tahun 2000
b. Nomor 72 Tahun 2000
c. Nomor 73 Tahun 2000
d. Nomor 74 Tahun 2000
e. Nomor 75 Tahun 2000

Jawaban : a. Nomor 71 Tahun 2000

SOAL ESAI
1. Jelaskan Apa Itu Tindak Pidana Korupsi?
Pengertian Tindak Pidana Korupsi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, yaitu:
a. Tindak pidana korupsi yaitu bahwa setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negaraatau
perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
ataupidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahundan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyakPp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)(Pasal
2 ayat (1)Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999).
b. Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana ….”.

148
2. Apakah korupsi dan apa batasan korupsi itu? Jelaskan!
Jawaban:
Kata ”Korupsi” berasal dari bahasa inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari
perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti ‘bersama-
sama’ dan rumpere yang berarti ‘pecah’ atau ‘jebol’. istilah “korupsi” juga
bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang
dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih
dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan, tanpa
ada catatan administrasinya. Secara hukum pengertian “korupsi” adalah
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi adalah UU No 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul efektif dan mengeliminasi
semua bentuk korupsi. Merupakan pengertian dari?
Jawaban : Kontrol kebijakan
4. Kedisiplinan merupakan salah satu nilai-nilai anti korupsi yang harus di
tanamkan pada semua individu. Sebutkan 4 manfaat dari kedisiplinan?
Jawaban : Manfaat dari kedisiplinan antara lain:
a. Hidup teratur
b. Dapat mengatur waktu
c. Pekerjaan selesai tepat waktu
d. Dapat mencapai tujuan hidup dengan waktu yang lebih efisien
5. Menanamkan nilai-nilai anti korupsi pada semua individu merupakan upaya
pencegahan korupsi. Salah satu nilai yang harus ditanamkan yaitu keadilan.
Bagaimana nilai keadilan dapat dikembangkan?
Jawaban : Nilai keadilan dapat dikembangkan dalam bentuk:
a. Memberikan pelayanan perawatan yang sama kepada semua klien

149
b. Ketika ada teman berselisih, dapat bertindak bijaksana dan
memberikan solusi tanpa memojokkan salah satu pihak
c. Tidak mengurangi dosisi obat yang diberikan kepada klien
d. Menimbang atau menakar sesuatu secara objektif
6. Bagaimana mewujudkan nilai keberanian peserta didik/mahasiswa?
Jawaban : Melaporkan teman yang berbuat curang ketika ujian, seperti
menyontek, membuat ringkasan untuk menyontek, atau diskusi pada saat
ujian.
7. Mengapa mahasiswa dianggap sebagai agen perubahan (agent of change)
pada suatu masyarakat atau suatu bangsa?
Jawaban : Karena mahasiswa adalah mereka yang masih berjiwa bersih
karena beridealisme, semangat muda, dan kemampuan intelektual yang
tinggi.
8. Apakah korupsi selalu terkait uang? Bagaimana dengan korupsi waktu,
penggunaan fasilitas untuk kepentingan pribadi, dll?
Jawaban : Korupsi tidak selalu terkait dengan uang. Korupsi berupa
pemberian suap dan gratifikasi juga dapat terjadi dalam bentuk pemberian
barang seperti: mobil, perangkat elektronik. (Pasal 5 (1) huruf a dan 13 UU
Tindak Pidana Korupsi) bahkan, berjanji memberikan sesuatu pun termasuk
korupsi (Pasal 5 (1) huruf a UU Tindak Pidana Korupsi) selain itu,
penggunaan fasilitas dan jabatannya untuk kepentingan pribadi juga termasuk
korupsi.
9. Berikutnya timbul suatu persoalan kapan diperlukan pembuktian dalam suatu
proses pemeriksaan perkara pidana? Apakah selamanya pembuktian perlu
diperiksa dalam sidang pengadilan?
Jawaban : (Kejelasan hal ini perlu di perbandingkan dengan pembuktian
yang diatur dalam hukum acara perdata. Proses pemeriksaan persidangan
pengadilan dalam perkara perdata telah menggariskan suatu prinsip
pembuktian: Pembuktian diperlukan sepanjang terhadap apa yang dibantah
secara tegas, dan apa-apa yang tidak dibantah oleh tergugat, dianggap telah
terbukti, karena itu tidak perlu lagi dibuktikan oleh penggugat. Apakah
prinsip yang demikian dapat diterapkan dalam pemeriksaan perkara pidana?

150
Tidak. Dalam proses pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum
acara pidana, pemeriksaan pembuktian selanjutnya tetap diperlukan
sekalipun terdakwa telah mengakui tindak pidana yang didakwakan
kepadanya. Seandainya terdakwa telah mengakui kesalahan yang
didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban
membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Pengakuan
salah dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan kewajiban penuntut
umum dan persidangan untuk menambah dan menyempurnakan pengakuan
itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat bukti keterangan saksi,
keterangan ahli atau surat maupun dengan alat bukti petunjuk. Hal tersebut
sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam pasal 189 ayat 4:
“Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang
lain”.)
10. Jelaskan Peran Justice Collaborator dan Whistleblower dalam Mengungkap
Tindak Pidana Korupsi pada Tahap Penyelidikan dan Penyidikan
Jawaban : (Tahap ini merupakan tahap awal dari sistem peradilan pidana.
Pada tahap ini penting untuk mencari dan menemukan suatu fakta kebenaran
materiil berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Proses penemuan fakta-
fakta dapat berasal dari penerimaan laporan, mencari keterangan dan
barang bukit, serta aktivitas lainnya. Pada proses penyidikan, penyidik dapat
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, pemanggilan dan
pemeriksaan tersangka dan saksi serta melakukan upaya paksa yang
diperlukan. Menemukan fakta pada kasus ringan tidaklah sulit, tetapi jika
kasus yang ditangani merupakan kasus yang terorganisir, maka sulit untuk
menemukan fakta-faktanya. Pada kondisi tersebut, peran dari JC dan WB
sangat diperlukan untuk membantu proses penyidikan. Peran JC dan WB
dalam tahap ini adalah membantu penegak hukum untuk menemukan fakta
yang berhubungan dengan kejahatan baik sebelum kejahatan dilakukan
maupun sesudah kejahatan)
11. Jelaskan ajaran teori pembuktian dari Conviction – raisonee.

151
Jawaban : (Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim
dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran keyakinan
hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem conviction – raisonee
keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim
wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari
keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan hakim dalam
sistem conviction – raisonee, harus dilandasi oleh reasoning atau alasan-
alasan. Dan reasoning itu sendiri harus pula reasonable yakni berdasar
alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar
alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata
atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal)
12. Jelaskan secara singkat bagaimana pemberantasan tindak pidana korupsi di
Thailand?
Jawaban: Komisi
Pemberantasan Korupsi di Thailand adalah NCCC (Nation
Counter Corruption Commission) yang bertanggung jawab kepada
Perdana Menteri. Pada tanggal 8 November 1999 diterbitkan undang-undang
baru tentang pemberantasan korupsi bernama Organic Act on Counter
Dalam menunjang fungsi penyelidikannya, NCCC diberi
Corruption.
kekuasaan yang besar untuk mendapatkan dokumen, menangkap dan

menahan tertuduh atas permintaan pengadilan. Dalam fungsi preventif,

NCCC juga melakukan upaya-upaya penyadaran masyarakat, dengan

melibatkan media dan LSM melalui berbagai pendekatan. Pendekatan

transparansi yan ditempuh NCCC, terutama dalam pemeriksaan kekayaan

pejabat dan politisi. Untuk menjaring laporan, NCCC juga melakukan

program perlindungan saksi dan penyadaran masyarakat antikorupsi di tiap

152
wilayah untuk memaksimalkan dalam kasus pemberantasan korupsi yang ada

di Thailand.

13. Bagaimana seharusnya peran mahasiswa dalam pencegahan tindak Pidana


korupsi?
Jawaban: Memiliki moralitas tinggi dan memiliki kemampuan interpersonal
tinggi naik atau berkiprah dalam pemerintahan menggantikan generasi
sekarang yang dianggap penuh dengan koruptor, tindakan korupsi di
harapkan dapat di tekan bahkan di hapuskan karena ada kesadaran dalam
diri kita sebagai mahasiswa untuk turut memajukan negara dengan tidak
melakukan korupsi.
14. Jelaskan pendapatmu apa hubungannya antara kontrol social dengan upaya
pemberantasan korupsi!
Jawaban: Korupsi yang dilakukan dengan penggunaan kekuasaan pada
intinya dilakukan karena lemahnya kontrol sosial, atau lingkungan social.
Terutama lingkungan yang ada dalam kekuasaan yang sudah dihinggapi oleh
tanggung jawab yang hilang. Makin tergantung tingkah laku itu pada kontrol
sosial, maka semakin berat nilai penyimpangan pelakunya. Jadi tindakan
menyimpang tidak dibenarkan karena masyarakat secara umum merasa
tindakan-tindakan tersebut tidak dapat diterima. Sikap penolakan masyarakat
terhadap perilaku menyimpang tersebut dapat dikualifisir sebagai
kejahatan, di mana kejahatan tersebut merupakan hal yang tercela bagi
masyarakat. Kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk
mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan
masyarakat, kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai
aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu
lembaga yang diorganisasi secara politik, melalui lembaga-lembaga yang
dibentuknya. 

153
154

Anda mungkin juga menyukai