Anda di halaman 1dari 88

PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAMBATAN - HAMBATAN YANG

DIHADAPI DALAM KASUS ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK


PIDANA PENCABULAN DI WILAYAH HUKUM KEPOLISIAN
RESORT MANGGARAI BARAT

HASIL PENELITIAN

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan memenuhi Syarat-syarat


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

Reinildis Dejam
NIM : 1802010130

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG
2023

i
LEMBAR PENGESAHAN

HASIL PENELITIAN SKRIPSI INI DENGAN JUDUL PERLINDUNGAN


HUKUM DAN HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM KASUS
ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN DI WILAYAH
HUKUM KEPOLISIAN RESORT MANGGARAI BARAT. NAMA REINILDIS
DEJAM. NIM 1802010130.TELAH DISETUJUI UNTUK DISEMINARKAN PADA
HARI……TANGGAL……….

PEMBIMBING I, PEMBIMBING II,

Nikolas Manu, S.H., M.H. Rosalind Angel Fanggi, S.H., M.H.


NIP. 195805261987041001 NIP. 198112122005012002

MENGETAHUI,
TIM PEMINATAN BAGIN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVESITAS NUSA CENDANA

Rosalind Angel Fanggi, S.H., M.H.


NIP. 198112122005012002

ii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan...................................................................................................
Daftar Isi.....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................
1.1 Latar Belakang ......................................................................................
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................
1.3 Keaslian penelitian.................................................................................
1.4 Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian ...........................................
1.5 Metode Penelitian..................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................
2.1 Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pencabulan Anak.....................................
2.2 Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak
dan Korban Pencabulan...............................................................................
2.3 Faktor Penghambat Dalam Proses Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Korban Tindak Pidana Pencabulan .....................................................................
2.4 Tinjauan Tentang Penyididikan....................................................................
2.5 Kerangka Berpikir.........................................................................................
2.6 Jadwal dan Biaya Penelitian..........................................................................
2.7 Organisasi Penelitian....................................................................................
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..........................................
3.1 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan
Proses Penyelidikan dan Penyidikan di Wilayah Hukum Kepolisian
Resort Manggarai Barat................................................................................
3.2 Hambatan Hambatan Dalam Proses Perlindungan Hukum Terhadap
Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan Selama Proses Penyelidikan
dan Penyidikan di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Manggarai Barat. . .
......................................................................................................................

iii
BAB IV PENUTUP...................................................................................................
4.1 Kesimpulan...................................................................................................
4.2 Saran..............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

(UUD NKRI) Tahun 1945,”1 Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Dengan

demikian dinamika dalam kehidupan masyarakat dikendalikan oleh hukum, hukum

yang masih hidup sampai saat ini adalah hukum positif, artinya hukum yang sedang

berlaku saat ini, dan akan terus ada selama masyarakat ada. Selama manusia hidup, ia

akan dibelenggu oleh permasalahan hidup, dan masalah itu hadir karena konstruksi

manusia itu sendiri. Salah satu bentuk kejahatan seksual yang sangat merugikan dan

meresahkan masyarakat dewasa ini adalah bentuk kejahatan pencabulan dari sekian

banyak jenis kejahatan terhadap hak asasi manusia yang sering terjadi.2 Pencabulan

merupakan kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV KUHP tentang

kejahatan terhadap kesopanan. Menurut kamus hukum yang disusun oleh Sudarsono,

menyatakan bahwa cabul berarti keji dan kotor, tidak senonoh karena melanggar

kesopanan, dan kesusilaan. Perbuatan pencabulan adalah segala wujud perbuatan, baik

dilakukan pada diri sendiri maupun dilakukan kepada orang lain mengenai dan

berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang

nafsu sosial. 3

Perlindungan hukum terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun

1
Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang dasar Negara kesatuan Republik Indonesia (UUD NKRI)
Tahun 1945
2
Sulistyanta dan Maya Hehanusa, Kriminologi Dalam Teori Dan Solusi Penanganan Kejahatan,
(Yogyakarta : CV. Absolute Media, 2016), Hlm 132.
3
Adami Chazawi , Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada). hlm 80

1
2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang. Pasal 1 Undang-Undang tentang

Perlindungan Anak dijelaskan bahwa, Anak adalah seorang yang belum berusian 18

(delapan belas) tahun ,termasuk anak yang masih dalam kandungan . Dalam pasal 15

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 15 mengatakan bahwa:

setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;


2. Perlibatan dalam sengketa bersenjata;
3. Perlibatan dalam kerusuhan sosial;
4. Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan ;
5. Perlibatan dalam peperangan;dan
6. Kejahatan seksual.

Perlindungan hukum dalam proses penyidikan kepada anak korban tindak pidana

pencabulan merupakan sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk

melindungi kepentingan anak. Dalam Pasal 2 ayar (3) dan ayat (4) Undang-undang

Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang mendorong

perlunya perlindungan anak dalam rangka mengusahakan kesejahteraan anak dan

perlakuan yang adil terhadap anak. Perlindungan terhadap anak pada suatu

masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya

diwajibkan sesuai dengan kemampuan demi kepentingan nusa dan bangsa.

Pengaturan mengenai perlindungan sanksi dan korban diatur dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2006 Tentang Saksi dan Korban. Pada Pasal 5 menyebutkan beberapa hak yang

diperoleh saksi dan korban diantaranya:

2
Saksi dan korban berhak :
1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
2) Ikut seta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan;
3) Memberikan keterangan tanpa tekanan ;
4) Mendapat penerjemahan ;
5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
7) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
9) Dirahasiakan identitasnya;
10) Mendapatkan indentitas baru;
11) Mendapatkan tempat kediaman sementara;
12) Mendapat tempat kediaman baru;
13) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
14) Mendapat nasihat hukum;
15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir;
16) Mendapat pendamping.
Dalam Pasal 6 ayat (1) juga dijelaskan bahwa korban pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana
perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana
kekerasaan seksual, dan korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 juga berhak mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitas psikososial dan psikologis.

Pada ayat (2) dijelaskan juga bahwa ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (1) diberikan berdasarkan keputusan LPSK.

Hukum pidana dan sistem peradilan pidana merupakan lembaga yang harus terus

berperan aktif dalam memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak

korban serta mengupayakan keadilan bagi korban dan keluarga yang berjuang untuk

mengapai keadilan. Pengaturan mengenai perlindungan khusus kepada anak

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. pada Pasal 59

menyebutkan bahwa:

3
1. Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya berkewajiban
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.
2. Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang di eksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual ;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikitropika, dan zaat adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi ;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan dan/ atau perdagangan;
i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban jaringan terorisme;
l. Anak penyandang disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari perlabelan terkait
dengan kondisi orangtuanya.

Pasal 69A dijelaskan bahwa Upaya perlindungan khusus bagi anak korban
kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan
melalui upaya :
a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;
b. Rehabilitas seksual
c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap pemeriksaan
mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan disidang
pengadilan.
Bentuk perlindungan korban dapat dilakukan dengan upaya rehabilitas medis dan

rehabilitas sosial, baik didalam maupun diluar lembaga pada saat upaya pemulihan

korban. Karena percabulan anak berbeda dengan korban kejahatan lainnya, korban

pencabulan mengalami trauma yang mendalam, oleh karena itu perlu adanya upaya

perlindungan bagi korban pencabulan secara hukum. Jadi perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat

dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak khususnya kasus

4
tindak pidana pencabulan, aparat penegak hukum masih mengalami hambatan.

Secara umum sehingga hal ini dapat menghambat dalam memenuhi hak-hak anak

sebagai korban tindak pidana pencabulan selama proses penyidikan ditinjauan dari

teori Seorjono soekanto diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Faktor hukum sendiri

2. Faktor penegak hukum

3. Faktor sarana dan prasarana yang belum memadai

4. Faktor masyarakat, dan

5. Faktor budaya

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kepolisian Resort Manggarai

Barat, pen memperoleh data mengenai kasus pencabulan anak yang ditangani oleh

Kepolisian Resort Manggarai Barat yang setiap tahunnya mengalami peningkatan.

Kasus tindak pidana pencabulan anak dalam proses penyelidikan dan penyidikan yang

ditangani di Kepolisian Resort Manggarai Barat pada unit pelayanan perlindungan

perempuan dan Anak (PPA) dalam kurung waktu 4 (empat) tahun terakhir 2019-

2022).

Tabel 1. Jumlah kasus pencabulan anak tahun 2019-2022 di Wilayah Hukum

Kepolisian Resort Manggarai Barat

No Tahun Jumlah
1 2018 1 orang
2 2019 2 orang
3 2020 4 orang
4 2021 5 orang
Sumber: Unit PPA Sat Reskrim Polres Manggarai Barat

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penulis memfokuskan pembahasan

mengenai perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan

5
berdasaran Studi Kasus di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Manggarai Barat

dengan judul “ Perlindungan Hukum Dan Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi

Dalam kasus Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pencabulan Di Wilayah

Hukum Kepolisian Resort Manggarai Barat“.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok masalah dalam skripsi ini

dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana

pencabulan selama proses penyelidikan dan penyidikan di Wilayah Hukum

Kepolisian Resort Manggarai Barat?

2. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi selama proses penyelidikan dan

penyidikan terhadap anak korban tindak pidana pencabulan di Wilayah Hukum

Kepolisian Resort Manggarai Barat?

1.3 Keaslian Penelitian

Hasil kajian pustaka, penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang memiliki

fokus penelitian serta relevansi yang sama dengan penelitian yang akan dikaji oleh

penulis. Penelitian tersebut diantaranya adalah:

1. Oky Hoklan Harianja yaitu, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitan Islam

Riau Pekanbaru angkatan 2019 dengan judul “Tinjauan Viktimologi Terhadap

Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pencabulan Di Wilayah Kota

Pekanbaru”. dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah peranan anak sebagai korban dalam terjadinya tindak

pidana pencabulan diwilayah hukum Kota PekanBaru?

6
2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban

pencabulan diwilayah hukum kota PekanBaru

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah:

a) Topik yang diteliti sama-sama mengenai perlindungan hukum terhadap

anak korban pencabulan namun yang berbeda yaitu:Penelitian

terdahulu berbicara tentang bagaimanakah peranan anak sebagai

korban dalam terjadinya tindak pidana pncabulan di wilayah Pekanbaru

sedangkan penelitian ini membicakan tentang bagaimanakah

perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan

selama proses penyidikan diwilayah hukum Kepolisian Resort

Manggarai Barat.

b) Penelitian terdahulu membicara tentang bagaimanakah perlindungan

hukum terhadap anak yang menjadi korban pencabulan diwilayah

hukum kota Pekanbaru sedangkan penelitian ini membicarakan tentang

apakah hambatan-hambatan yan dihadapi selama proses penyidikan

terhadap anak korban tindak pidana pencabulan di Wilayah Hukum

Kepolisian Resort Manggarai Barat.

2. Adapun perbedaan lain, yaitu mengenai lokasi penelitian terdahulu dilakukan di

pekanbaru sedangkan penelitian ini dilakukan di Manggarai Barat Nusa Teggara

Timur.

7
1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk Megetahui perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana

pencabulan di wilayah hukum kepolisian Resort Manggarai Barat .

2) Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh penegak hukum

(polisi) selama proses penyelidikan dan penyidikan di Wilayah Hukum

Kepolisian Resort Manggarai Barat dalam proses perlindungan terhadap

anak korban tindak pidana pencabulan.

1.4.2. Manfaat Penelitian


Berdasarkan penelitian di atas diharapkan, memberi manfaat baik bagi

penulis sendiri maupun masyarakat pada umumnya. Manfaat dari penulisan ini

dapat dibedaan menjadi dua bentuk, yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberi masukan terhadap penegak hukum dan

pembuat undang-undang untuk lebih memperhatikan hk-hak korban demi

tegaknya hukum keadilan bagi anak yang menjadi korban pencabulan serta

lebih mempertegas sanksi teradap pelaku pencabulan anak.

b. Manfat praktis

1) Unuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis menenai

hukum pidana, serta untuk menambah referensi keputakaan di program

studi ilmu hukum.

2) Untu memenuhi syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukumdi

Universitas Nusa Cendan Kupang.

8
1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Jenis Penelitian

Peneitian ini adalah penelitian yuridis empiris, yaitu sebagai usaha

mendekatan masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai

dengan kenyataan yang dialami masyarakat.

1.5.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Wilayah Hukum Kepolisian Resort

Manggarai Barat.

1.5.3 Metode Pendekatan

a. Populasi penelitian

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah komponen yang terkait

dengan sekumpulan objek yang menjadi pusat perhatian , yang dari

padanya terkandung informasi yang ingin diketahui. Dalam penelitian ini,

populasi yang diteliti adalah polisi dan korban percabulan anak di Wilayah

Hukum Kepolisian Resort Manggarai Barat.

b. Sampel

Pendekatan sampel adalah suatu kegiatan mengambil sebagian dari

populai (sampel), untuk mengumpulkan data dan penelitiannya metode

yang dipakai dalam penelitian ini bertujuan untuk mengambil beberapa

fenomena yag terjadi sehingga penelitian mampu menkaji masalah

perlindungan hukum korban percabulan terhadap anak di Wilayah Hukum

Kepolisian Resort Manggaai Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

9
Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang –Undang Nomor 11 Tahun

2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

c. Responden /informen dalam penelitian

Responden merupakan orang yang dipanggil untuk menanggapi

komunikasi yang dilakukan oleh peneliti melalui jenis angket yang

disebarkan dengan jawaban yang memwakili diri sendiri sebagai individu,

dan organisasi yang menjadi bagiannya.

Yang menjadi respoden atau informen dalam penelitian ini adalah :

Polisi : 2 orang

Korban : 2 orang

Informan lainya : 2 orang

Jumlah : 6 orang

1.5.4 Aspek yang diteliti

Adapun aspek-aspek yang diteliti

1. Perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan

selama proses peeriksaan perkara, dengan aspek-aspek sebagai berikut:

a. UPaya perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan dalam

pemenuhan hak-hak anak sebagai korban tindak pidana pencabulan

selama proses penyelidikan dan peyidikan.

- Merahasiakan identitas korban

- Penyidikan dengan suasana kekeluargaan

- Perawatan atau visum terhadap korban

- Menyediakan pendamping terhadap korban

10
- Menyediakan penerjemahan bagi korban

- Menyediakan rumah aman (shelter) bagi korban dan Rehabilitas

mental, atau sosial

- Menginformasik hak-hak dan kewajiban korban

- Menginformasikan perkembangan kasus

- Korban diberikan bantuan hukum

2. Kendala yang dihadapi oleh penegak hukum (kepolisian) selama proses

pemeriksaan perkara korban pencabulan anak, dengan aspek-aspek sebagai

berikut:

1. Kendala internal

- Pelaku melarikan diri

- Kurangnya jumlah personil penyidik unit PPA

- Faktor sarana dan prasarana

2. Kendala eksternal

- Korban tidak memiliki identitas yang jelas

- Korban anak-anak dan balita tidak dapat memberikan

keterangan yang konsisten

- Korban tidak melaporkan kasus tindak pidana pencabulan

- Korban mencabut laporan

- Jarak atau lokasi jauh dari Kepolisian Resot Manggarai Barat

- Faktor lingkungan atau tempat tinggal

11
1.5.5 Jenis dan Sumber Data

1. Data primer

Sumber data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari lokasi

penelitian melalui hasil wawancara dengan responden penelitian.

2. Data sekuder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui studi kepustakan,

dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah yang diteliti. Dokumen

yang dimaksud adalah bahan-bahan hukum yang relevan dengan masalah

yang diteliti, yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer berupa peraturan yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, skripsi dan jurnal yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier berupa kamus-kamus, baik kamus hukum

maupun kamus non hukum.

1.5.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengmpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Wawancaa (interview)

12
Wawacara merupakan pengumpulan data dengan cara mengadakan

wawancra tanya jawab secara langsung pada pihak-pihak yang terkait

dengan enggunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman wawancara.

b. Studi Dokumen

Studi dokumen metode pengumpulan data dengan cara mengumpulkan

dan menganalisis dokumen-dokumen yang telah ada .dokumen dapat

berupa atobiografi, surat arsip foto, jurnal kegiatan dan lainya.

1.5.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

a. Pengolaha Data

Pengoahan data dilakukan secara bertahap, yang terdiri dari:

1. Editing, yaitu mengecek atau memeriksa kelengkapan-kelengkapan

data yang diperoleh agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

2. Coding yaitu memberi tanda atau kode terhadap semua data diperoleh

dari lapangan sesuai dengan variasi jawaban yang diberikan

responen/informan.

3. Tabulasi yaitu proses pemindahan data kedalam bentuk tabel sederhna

guna memudahkan kegiatan analisis4.

b. Analisis data

Pengumplan data diperoleh dari penelitian lapangan dan dianalisis secara

deskriptif kualitatif, yaitu dengan cara menguraikan/atau menjabarkan /atau

menjelaskan berbagai informasi yang diperoleh guna menjawab

permasalahan penelitian.

4
Sukardan Aloysius ,Pedoman Penulin Skripsi,2015.Hlm.17

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Tindak Pidana Pencabulan Anak

2.1.1 Tindak Pidana Percabulan

Perbuatan cabul menurut penjelasan KUHP adalah perbuatan yang melanggar

rasa kesusilaan (kesopanan), atau perbuatan lain yang keji dan semua perbuatan itu

dalam lingkugan nafsu birahi kelamin seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota

kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Perbuatan cabul diatur dalam

KUHP dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP.

Dalam pengetahuan hukum pidana, para ahli hukum memiliki pendapat yang

berbeda tentang percabulan. Pengertian percabulan menurut para ahli:

a) Menurut Soetandjo Wignjosoebroto, pencabulan adalah suatu usaha atau

hasrat melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki kepada seorang

perempuan dengan cara menurut moral atau hukum yang berlaku melanggar.

Dari pendapat tersebut, pencabulan memiliki arti yaitu suatu tinkan atau

perbuatan seorang laki-lakiyang melampiaskan nafsu sekualnya terhadap

seorang perempuan yang dimana perbuatannya terseut tidak bermoral dan

dan di larang menurut hukum yang berlaku.

b) Menurut R. Sughandhi pencabulan adalah seorang pria yang memaksa

seorang wanita bukan istrinya untuk bersetubuh denganya dengan ancaman

kekerasan, yang mana diharuskan kemaluan pria telah masuk kedalam lubang

seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.5

5
Trisna Dinda M, “dkk”, ” Jurnal Cahaya Keadilan”,Analisis yuridis Terhadap
Tindak Pidana Pencabulan Anak Dibawah Umur Berdasarkan Undang-Undang

14
c) Menurut R.Soesilo perbuatan cabul adalah perbuatan cium-ciuman ,meraba-

raba anggota kemaluan ,meraba-raba buah dada dll.6

d) Menurut pendapat Njowito Hamdani perbuatan cabul adalah perbuatan yang

melanggar kesusilaan, yang mana perbuatan tersebut dapat mengakibatakan

nafsu birahi atau nafsu seksual di luar perkawinan. Unsur –unsur tindak

pidana.

berdasarkan bentuk kekerasan ada beberapa dampak yang dapat terjadi:

a. Anak mengembangkan pola adatasi dan keyakinan-keyakinan keliru sesuai

dengan sosialisasi yang diterimanya.misalnya anak akan mengaggap wajar

prilaku orang dewasa, meniri tindakan yang dilakukan kepadanya,

menyalahkan ibu atau orang dewasa yang mengasuhnya yang dianggapnya

tidak membelanya dari hal-hal buruk yang dialaminya. Yang sering terjadi

adalah merasa bersalah, menjadi tanggungjawab kejadian yang dialami,

mengagap diri aneh dan terlahir sial.

b. Anak rasa dihianati. Bila pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat dan

dipercaya, ap alagi orangtua sendiri, anak akan mengembangkan perasaan

dihianti, dan akhirnya menunjukan ketakutan dan ketidakkeprcayaan pada

orang lain dan kehidupan pada umumnya. Hal ini akan berdampak pada

kemampuan sosialisasi, kebahiagian dan hampir semua dimensi kehidupan

psikologiis pada umumnya.

c. Stigmatitasi. Sisatu sisi, masyarakat yang akan mengetahui sejarah kehudupan

anak akan melihat dengan kacamata berbeda. Misalnya dengan rasa kasihan

sekaligus merendahkan, atau menghindarinya. Disisi lain anak akan

N0mor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, (Batam:,2020), hlm 25.


6
Sulistyanta dan Maya Hehanusa.Op.cit, hlm 183-184

15
menggembangkan mengambaran negatif tentang diri sendiri. Anak merasa

malu dan rendah diri, dan yakin bahwa yang terjadi pada dirinya akarena

adanya suatu yang memang salah dengan dirinya sendiri.

d. Traumatisasi seksual. Pemeparan pengalaman seksual terlalu dini, juga yang

terjadi secara salah, dapat berdampak pada munculnya trauma seksual. Trauma

seksual dapat tertampilkan dalam dua bentuk, inhibisi seksual, yakni

hambatan-hambatan untuk dapat tertarik dan menikmati seksual, atau justru

disinhibisi seksual, yakni obsesi dan memperhatikan berlebihan pada aktivitas

atau hal terkait dengan hubungan seksual.7

Bentuk pencabulan cukup beragam , ada beberapa jenis istilah tentang

pencabulan, yaitu:

1) Exhibitionism : segaja memamerkan kelamin pada orang lain,

2) Voyeurism : memcium seseorang dengan nafsu

3) Fonding : mengelus/meraba alat kelamin seseorang

4) Fellato : memaksa orang untuk melakukan kontak mulut8.

2.1.2 Unsur –Unsur Tindak Pidana Pencabulan Anak

Untuk dapat dipidananya seseorang atas tindak pidana pencabulan anak, maka

perlu memenuhi syarat-syarat yang dapat dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 tentang atas Perubahan Undang-Undang 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak sebagai berikut:

1. Unsur subjektif

7
Ache Sudiarti Luhulima, Pemehaman Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak
Perempuan, Kelompok Kerja, Convetion Watch Kajuan Wanita Dan Jender, (Jakarta Universitas
Indonesia, 2000), hlm 41-42
8
Leden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Jakarta: PT : Sinar Grafinda, 2004) hlm. 64

16
a. Setiap orang

Unsur kejahatan yang pertama adalah sifat manusia. Pada prinsipnya,

siapa pun dapat melakukan suatu kejahatan (natuurlijk persoon) .

selain manusia yang dapat melakukan kejahatan adalah badan

hukum, asosiasi atau perusahan yang dapat dikenakan suatu tindak

pidana jika secara jelasdari undang-undang bahwa tindak pidana

tertentu sudah dilakukan.9 Setiap orang dapat diartikan sebagai orang

atau perseorang atau badan hukum yang dianggap sebagai tersangka,

apabila perbuatannya memenuhi syarat-syarat ketentuan yang

bersangkutan, maka dia dapat dimintakan pertanggungjawabn atas

perbuatannya.

b. Dengan sengaja

Memorie van Toelichting (MvT), memberikan makna disegaja

seperti keinginan atau pengetahuan , sedangkan Soedarto

menyatakan kesegajaan iyalah untuk menghendaki dan mengetahui

apa yang harus dilakukan . secara yang bertindak secara sadar dan

tahun apa yang dia lakukan . jadi, segaja adalah orang yang

melakukan dengan niat atau keinginan pertama dan memhami

konssekuensi dari tindakan itu.

2. Unsur objektif

Menipu berbohong atau menyakinkan atau untuk berhubungan badan

atau melakukan percabulan dengan atau orang lain. Anwar menjelaskan

bahwa penipuan adalah cara bertindak , atau cara memimpin suatu

9
Soedarto,Hukum Pidana 1, ( Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
1990), Hlm 63

17
tindakan untuk mempercaya suatu yang lain, jadi bukan hanya tentang

kata-kata tetapi juga tentang adanya suatu tindakan. Membujuk yang

diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat mempengaruh oranglain

sehinga individu tersebut sesuai dengan keinginan untuk membujuk.

Dalam hal ini menyakinkan dengan cara mengoda atau membujuk

mereka yang mudah dipercaya, seperti anak-anak agar mudah

dipengaruhi.10

Pasal 55 ayat (1) angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

menyebutkan bahwa barang siapa memberi atau menjanjikan suatu

dengan menyalahgunakan kekuasaan atau mertabatnya dengan kekerasan ,

ancaman atau arah yang salah, atau dengan memberikan kesempatan,

sarana atau keterangan dengan maksud segaja mendorong oranglain

untuk berbuat.

2.1.3 Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Anak

Sanksi pidana yang diatur didalam kitab undang-undang hukum pidana

(KUHP) Mengatur mengenai tindak pidana percabulan yang korbanya adalah

anak dibawah umur jika dibandingkan dengan undang-undang perlindungan anak,

sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap pelaku percabulan anak sesuai

dengan Undang-Undang RI NO. 17 Tahun Tahun 2016 Perubahan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Jo. Undang NO.23 tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

10
Adam Chazawi, Op. Cit. HLM 85

18
1. Sanksi pidana percabulan anak nenurut Kitab undang-undang hukum pidana

( KUHP)

Di dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), Perbuatan yang

dikenal sebagai percabulan adalah perbuatan cabul yang dilakukan orang

dewasa dengan seorang anak dibawah umur. Sebelum berlakunya Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana

telah diubah dengan dengan Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang

tentang perlindungan anak. perbuatan cabul, termasuk terhadap anak dibawah

umur, diatur dalam Pasal 290 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) yang berbunyi : di ancam dengan pidana penjara paling lama tujuh

Tahun:

1. Barangsiapa yang melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal

diketahui nya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;

2. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum

lima belas tahun atau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum

waktunya untuk dikawin;

3. Barangsiapa membujuk seorang yang diketahuinya atau sepatutnya

harus harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau

kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk

kawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,

atau bersetubuh diluat perkawinan dengan orang lain.

Sedangkan, ancaman pidana bagi orang yang melakukan perbuatan cabul

dengan anak yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan pelaku

19
perbuatan cabul, diatur dalam Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) yang berbunyi:

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang orang lain

sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga belum

dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

2. Percabulan menurut undang-undang perlindungan anak

Sejak diberlakunya Undang –Undang Nomor 35 Tahun 2015 Tentang

Perlindungan Anak yang merupakan langkah pemerintah untuk meningkat

jaminan perlindungan terhadap anak, mengenai tindak pidana perbuatan

cabul terhadap anak diatur lebih spesifik dan lebih melindungi kepentingan

bagi anak. Seorang yang dikategorikan sebagai anak apabila belum berusia

18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian, terkait

ketentuan mengenai percabulan terhadap anak, terdapat dalam Pasal 82 jo.

Pasal 76E Undang-Undang NO. 17 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 35/2014 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang

berbunyi: setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan,memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian

kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan

dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2016 perubahan dari

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

20
dan paling lama (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh orangtua, wali, pengasuh anak,pendidik atau tenaga pendidikan, maka

pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagimana

dimaksud pada ayat (1).

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (21, penambahan

1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang

pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 76E.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E

menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat,

gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi

reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah l/3

(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan

ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman

identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (21 sampai dengan ayat

(4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat

pendeteksi elektronik.

(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama

dengan dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan

tindakan.

(8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.

21
2.2 Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pencabulan

2.2.1 Pengertian Anak

Anak merupakan generasi penerus bangsa dan penerus perjuangan pembangunan

yang ada. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan yang Maha Esa yang

senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-

hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi . Hak asasi anak merupakan

bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan

konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak . Dari sisi 11kehidupan

berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus

cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,tumbuh, dan

berkembang , , berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan

diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. 12

Perlindungan terhadap anak tidak terbatas pada pemerintah selaku kaki tangan

negara akan tetapi harus dilakukan juga oleh orang tua, keluarga dan masyarakat

untuk bertanggungjawab menjaga dan memelihara hak asasi anak tersebut. Dalam

hal ini pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi

anak terutama untuk menjamin pertembuhan dan perkembangan secara optimal.

Senada dengan itu dalam Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan

Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa negara menjamin setiap anak

berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

11

12

22
2.2.2 Hak-hak anak

Anak Sebagai pribadi memiliki ciri yang khas , walaupun dia dapat berindak

berdasarkan perasaaan, pikiran dan kehendaknya sendiri. Ternyata lingkungan

sekitar, mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam membentuk prilaku seorang

anak. Untuk itu bimbingan pembinanaan dan perlindungan dari orangtua, guru, serta

orang dewasa lainnya sangat dibutuhkan oleh anak didalam perkembangannya13.

Pasal 16 ayat (3) deklarasi umum tentang hak anak asasi manusia (DUHAM)

menentukan bahwa keluarga adalah kesatuan alamiah dan mendasar dari masyarakat

dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara. DUHAM adalah

instrumen internasional HAM yang memiliki sifat universal dalam arti setiap hak-hak

yang diatur didalamnya berlaku untuk semua umat manusia didunia tanpa kecuali.

Dengan demikian sudah pasti pemenuhannya tidak ditentukan oleh batas usia. Anak

sebagai bagian dalam keluarga memiliki pemeliharaan dan perlindungab khusus dan

tergantung pada batuan dan pertolongan orang dewasa.

Konstitusi Indonesia , Undang-undang dasar Republik Indonesia 1945 sebagai

norma hukum tertinggi telah menggariskan bahwa “ setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta behak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”. Dengan dicantumkan hak anak tersebut dalam batang

tubuh konstitusi, maka bisa diartikan bahwa berkedudukan dan perlindungan hak

anak merupakan hal penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam

kenyataan sehari-hari.

Berdasarkan konvensi hak-hak anak, hak-hakk anak secara umum dapat

dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori hak-hak anak, diantara lain:

13
Di dalam Naskah Akademis RUU Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

23
a. Hak untuk kelangsungan hidup (The Righst To Of Servival) yaitu hak-hak

melestarikan untuk dan mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak

untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-

baiknya. Hak ini antara lain termuat dalam pasal-pasal berupa:

1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak

dilahirkan.

2) Hak anak untuk hidup bersama orangtuanya, kecuali hal ini tidak

sesuai dengan kepentingan terbaikya.

3) Hak anak-anak penyandang disabilitas untuk memperoleh pengasuhan,

pendidikan, dan latihan khusus.

4) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang madai dan

tanggungjawab utama orangtua, kewajiban negara untuk

memenuhinya.

5) Hak anak atas pendidikan.

6) Hak anak atas perlindungan dari pengyalahgunaan obat bius dan

narkotika.

7) Hak anak atas perlindungan eksploitasi, penganiyaan seksual, dan

termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi.

b. Hak terhadap perlindungan ( protection rights) yaitu hak-hak dalam kovensi hak

anak yang meliputi hak perlindungan dan nondiskriminasi, tindak kekerasan dan

keterlantaran bagi anak yang tidak memiliki keluarga, bagi anak-anak pengungsi.

Hak ini terdiri atas 3 (tiga) katagori:

1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu nondkriminasi terhadap hak-hak

anak, hak mendapatkan nama, dan kewarganegaraan dan hak anak

peyandang distabilitas.

24
2) Larangan ekploitasi anak, miasalnya hak berkumpul dengan keluarganya,

kewajiban negara untuk melindunginya anak dari segala bentuk salah

perlakuan orangtua atau oranglain , perlindungan bagi anak yatim.

b. Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights) yaitu hak-hak anak dalam

konvensi hak hak anak yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan

nonformal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi

perkembangan fisik, mental, spritual, moral, dan sosial anak ( the rights of

standart of living). Beberapa hah-hak tumbuh kembang ini, yaitu:

1) Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information)

2) Hak memperoleh pendidikan (the rights to education)

3) Hak bermain dan rekreasi ( the rights to play and recreation)

4) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to

participation in cultural activities)

5) Hak untuk kebebasan berpikir (conscience) dan beragama (the rights to

personality development)

6) Hak untuk memperoleh identitas (the rights indetity)

c. Hak untuk berpartisipasi, yaitu hak-hak anak yang meliputi hak untuk

menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak untuk

berpartisipasi juga merupakan hak anak mengenai indetitas budaya mendasar

bagi anak masa kanak-kanak dan perkembangan keterlibatanya dalam

masyarakat luas. 14

2.2.3 Perlindungan Hukum Bagi Anak

14
Mohammad Joni dan Zulchaina Z Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif
Konvensi Hak Anak, ( Bandung: Citra Aditya Bakti,1999), hlm 35

25
Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur

bangsa, calon-calon pemimpin bangsa dimasa mendatang dan sebagai sumber

harapan bagi generasi terdahulu perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya

untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial.

Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam

berbagai kedudukan dan peranan yang menyadari betul pentingnnya anak bagi nusa

dan bangsa dikemudian hari jika mereka telah matang pertumbuhan fisik maupun

mental dan sosialnya maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan

kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat,

dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan

bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibata

hukum, baik dalam kegiatannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak

tertulis.15

Menurut Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu dusahakan

demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang

membawa akibat negatif yang tidak diingikan dalam pelaksanaan perlindungan

anak16.

15
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia,
(Bandung: PT Refika Aditama,2014), Hlm. 40
16
Arif Gosita, masalah korban kejahatan kumpulan karangan,(Jakarta: akademika pressido, 1985),
hlm. 18

26
Menurut Sholeh Soe’aidy perlindungan anak adalah segala upaya yang

ditunjukan untuk mencegah, merehabilitas dan memperdayakan anak yang

mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan pelantaran agar dapat menjamin

kelangsungan hidup dan tumbuh dan berkembang anak secara wajar, baik fisik,

mental maupun sosialnya.

Perlindungan anak anak dapat dibedakan dalam 2 (dua) bagian, yaitu

perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi: perlindungan dalam bidang

hukum publik dan dalam dalam bidang hukum kerperdata; perlindungan anak

yangbersifat nonyuridis, meliputi: perlindungan dalam bidang sosial, bidang

kesehatan, dan bidang pendidikan. Berdasarkan hasil seminar perlindungan

anak/remaja oleh prayuana pusat tanggal 30 Mei Tahun 1977, terdapat dua

perumusan tentang perlindungan anak, yaitu.

a) segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun

lembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan,

penguasahan, pemenuhan kejehastraan fisik, mental dan sosial anak dan

remaja yang sesuai dengan kepentingan hak asasinya.

b) Segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan,

keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk

mengamankan, mengadakan, dan pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan

jasmaniah anak.17

Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 15

mengatakan bahwa: setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

(1) Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

17
Maidin Guktom, Op.Cit, Hlm 41

27
(2) Pelibatan dalam sengketa bersenjata;

(3) Perlibatan dalam kerusuhan sosial;

(4) Perlibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan ;

(5)Perlibatan dalam peperangan;dan

(6) Kejahatan seksual.

Hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah lembaga yang harus terus

berperan aktif dalam memberikan jaminnan perlindungan dan pemenuhan hak-hak

korban serta mengupayakan keadilan bagi korban dan keluarga yang berjuang untuk

mengapai keadilan.

Pengaturan mengenai perlindungan khusus kepada anak sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. pada Pasal 59 mneyebutkan bahwa:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya berkewajiban

bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.

(2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diberikan kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum;

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang di eksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,

psikitropika, dan zaat adiktif lainnya;

f. Anak yang menjadi korban pornografi;

g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;

28
i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual;

k. Anak korban jaringan terorisme;

l. Anak penyandang disabilitas;

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;

n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari perlabelan terkait dengan

kondisi orangtuanya.

Upaya perlindungan bagi korban tindak pidana pencabulan merupakan

perjuangan atas hak-hak mereka. Hak sebagai anak dan hak sebagai perempuan

merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan

dipenuhi. Korban adalah orang sangat dirugikan dalam hal terjadinya tindak pidana

apapun, terutama korban tindak pidana pencabulan anak. Oleh karena itu korban

sepatutnya harus dilindungi oleh pemerintah, aparat penegak hukum maupun oleh

lembaga lainnya.

Pasal 69A dijelaskan bahwa Upaya perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan

seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui

upaya :

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;

b. Rehabilitas seksual

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap pemeriksaan mulai

dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan disidang

pengadilan.

29
Bentuk perlindungan korban dapat dilakukan dengan upaya rehabilitas medis

dan rehabilitas sosial, baik didalam maupun diluar lembaga pada saat upaya

pemulihan korban. Karna percabulan anak berbeda dengan korban kejahatan

lainnya, korban pencabulan mengalami traumatik yang mendalam, oleh karena itu

perlu adanya upaya perlindungan bagi korban pencabulan secara hukum. Jadi

perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan

hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. dan begitupun setiap orang berhak

memperoleh perlindungan, baik didalam maupun diluar sidang demi pengadilan

kepentingan, harkat dan martabat sebagai manusia, terlebih lagi mereka (orang –

orang ) yang terlihat, menjadi korban suatu tindak Kriminal (kejahatan) mutlak

diberikan perhatian serta perlindungan atas hak-hak yuridisnya demi tegaknya

hukum keadilan dan hak-hak asasi mereka sebagaimana manusia.

2.2.4 Pengertian Korban

Korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana, menurut stanciu yang

dimaksud dengan korban dalam arti luas adalah orang yang menderita akibat dari

ketidakadilan. Stanciu menyakan juga bahwa ada dua sifat yang dari korban

tersebut, mendasar (melekat) dari korban tersebut, yaitu stuffering (penderitaan) dan

injustice (ketidakadilan). 18
menurut kamus besar Crime Dictionary, victim (korban)

adalah orang yang telah mendapatkan penderitaan fisik atau penderitaan mental,

kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha

pelanggaran ringan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Arif Gosita

18
Siswanto S unarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika,2014),
hlm 42

30
mneyatakan yang dimaksud dengan korban adalah merka yang menderita jasmaniah

dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri

sendiri atau orang lain yang bertentang dengan kepentingan dan hak asasi yang

menderita. Ini mengunakan istilah penderitaan jasmaniah dan rihaniah (fisik dan

mental) dari korban dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia dari korban19.

Menurut Muladi korban ( victims) adalah orang-orang yang baik secara

individual maupu kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau

mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansi terhadap hak-haknya yang

fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di

masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.20 Undang –Undang

Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 1 angka

2 dijelaskan korban adalah seorang yang mengalami peneritaan fiisk, mental,

dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Yang

disebutkan korban dalam Pasal 1 angka 2 dalam UUSK adalah:

(1) Setiap orang;

(2) Mengalami penderitaan fisik;

(3) Kerugian ekonomi;

(4) Akibat tindak pidana;

2.2.5 Hak dan Kewajiban Korban

Hubungan pembuat, kejahatan berhadapan, sesuai dengan pendapat Mendelsohn

bahwa dalam suatu kejahatan terdapat satu pasang, yaiti pembuat dan korban dengan

19
Arif Gosita dalam Bambang Wuluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban,(Jakrata: Sinar
Grafika, 2012), hlm. 9
20
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma
Dan Realita, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Hlm 46

31
mengunakan istilah penal couple. Sedangkan menurut Arif Gosita hak dan

kewajiban korban antara lain adalah sebagai berikut:

1. Korban berhak mendapatkan kompesasi atas penderitanya, sesuai dengan

taraf keterlibatan korban itu sendiri dalam menjadikan kejahatan tersebut,

2. Korban berhak menolak kompesasi untuk untuk kepentingan pembuat korban

(tidak mau diberikan kompesasi karena tidak memerlukannya),

3. Korban berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitas.

4. Korban berhak mendapatkan kembali hak miliknya

5. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal itu akan membahayakan

dirinya

6. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat

korban bila melapor atau menjadi saksi,

7. Korban berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum

8. Korban berhak mempergunakan upaya hukum (rechtmiddelen).21

Secara yuridis hak-hak korban juga dicantum dalam Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang ini merupakan sebuah

terobosan hukum karena memnberikan jaminan hukum dan mengakui

tanggungjawab negara untuk menyediakan layanan perlindungan bagi korban, saksi

dan pelapor. Bagi korban Undang-undang ini juga merupakan alat baru dalam

mengakses keadilan karena akan merumuskan beberapa hak –hak saksi dan korban

diantaranya:

21
Adhi Wibowo, Perlindungan Hukum Dan Korban Amuk Massa Sebuah Tinjauan Viktimologi,
(Yogyakarta: Thafa Media, 2015), hlm. 35

32
1. Jaminan hukum tentang perlindungan bagi saksi, korban dan pelapor dari

tuntutan secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian

yang akan, sedang, dan telah diberikan. Walaupun masih terbatas, jaminan

bagi pelapor adalah penting, terutama karena masih banyak korban yang tidak

berani secara sendiri melaporkan kejahatan yang menimpanya.

2. Adanya perluasan cakupan perlindungan yang dapat diperoleh oleh para saksi

dan korban tindak pidana yang menempatkan korban dalam situaso rentan dan

berada dalam ancama terus-menerus seperti korban-korban atau saksi pada

situasi konflik, situasi birokrasi dan lainya.

3. Danya ketegasan asas-asas yang menjadi acauan implementasi dan

operasional penyediaan perlindungan saksi dan korban , yaitu asas

penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak

diskriminasi, dan kepastian hukum

4. Adanya penjabaran yang cukup rinci tentang hak-hak Saksi dan korban

dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2) Ikut seta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

dan dukungan keamanan;

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan ;

4) Mendapat penerjemahan ;

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

33
6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

7) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

9) Dirahasiakan identitasnya;

10) Mendapatkan indentitas baru;

11) Mendapatkan tempat kediaman sementara;

12) Mendapat tempat kediaman baru;

13) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

14) Mendapat nasihat hukum;

15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir;

16) Mendapat pendamping.

Selain hak-hak yang terdapat dalam Pasal 5, dan Pasal 6 Udang-Undang Nomor

31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga terdapat beberapa hak

untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitas psiko-sosial bagi korban

pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Menurut penjelasan Pasal 6 bantuan

rehabilitas psikososial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban

yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali

kondisi kejiwaannya korban.

Korban disamping memiliki hak, juga dibebani kewajiban aga terjadi

keseimbangan, karena masyarakat akan goncang bilamana anggota masyarakat

hanya menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya masyarakat akan tentram

dan damai apabila antara hak dan kewajiban seimbangan, oleh karena itu, hukum

selalu mengatur tentang apa yang menjadikan hak dan kewajiban anggota

34
masyarakatnya.. adapun kewajiban-kewajiban korban kejahatan menurut Arif

Gosita, adalah:

1) Korban berkewajiban untuk sendiri membuat korban dengan mengadakan

pembalasan (main hakim sendiri)

2) Korban berkewajiban berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan

korban lebih banyak lagi,

3) Korban berkewajiban mencegah kehancuran si pembuat korban b aik oleh diri

sendiri maupun oleh oranglain

4) Korban berkewajiban ikut serta membina pembuat korban

5) Korban berkewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk

tidak menjadi korban lagi

6) Korban berkewajiban untuk tidak menuntut kompesasi yang tidak sesuai

dengan kemampuan pembuat korban

7) Korban berkewajiban memberi kesempatan pada pembuat korban untuk

memberi kompesasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya.

(pembayaran terhadap/imbalan jasa).

8) Korban berkewajiban menjadikan saksi bila tidak membahayakan diri dan ada

jaminan.22

2.3 Faktor Penghambat Dalam Proses Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban

Tindak Pidana Pencabulan

Mengenai faktor penghambat upaya perlindungan hukum, maka dapat

mengunakan teori mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penegak

22
Adhi Wibowo, Op. Cit, hlm. 36

35
hukum. faktor-faktor penghambat penegak hukum menurut soerjono soekanto terdiri

dari 5 (lima) faktor agar suatu hukum benar-benar berfungsi, yaitu sebagai berikut:

1) Kaidah hukum itu sendiri

Berlakunya kaidah hukum dalam masyarakat ditinjaua dari kaidah hukum itu

sendiri. Menurur teori-teori hukum harus memenuhi tiga macam hal

berlakunya kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:

(1) Berlakunya secara yuridis, artinya kaidah hukum itu harus dibuat

sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan sebagai

syarat berlakunya suatu kaidah hukum.

(2) Berlakunya secara sosiologis, artinya kaidah hukum itu dapat berlaku

secara efektif, baik karena dipaksakan oleh penguasa walaupun tidak

diterima oleh masyarakat ataupun berlkau dan diterima oleh

masyarakat.

(3) Berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita –cita hukum

sebagai nilai positif yang tertinggi. Jika hanyaberlaku secara filosifis

maka kaidah hukum tersebut hanya merupakan hukum yang di cita-

citakan (ius constituendum).

2) Penegak hukum

Komponen yang bersifat struktural ini menunjukan adanya kelembagaan yang

diciptakan oleh sistem hukum . lembaga –lembaga tersebut mempunyai

plekatan,fungsi-fungsi tersediri didalam berlakunya sistem hukum .lembaga-

lembaga itu antara lain adalah kepolisian dan PPNS, kejaksaan,pengadilan,

dan lemaga pemasyarakatan termasuk penasihat hukum. Secara lebih

mendalam lagi, lembaga-lembaga tersebut memiliki undang-undang

tersendiri sebagai dasar hukum bekerjanya. Disamping undang-undang

36
hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa komponen yang bersifat

struktural ini mengkinkan kita untuk mengharapakan bagaimana suatu sistem

hukum itu harusnya berkerja.

3) Fasilitas

Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana yang bersifat fisik, yang berfungsi

sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan.

4) Masyarakat

Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum

merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

Artinya, jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap suatu peraturan

tinggi, maka peraturan tersebut memang berfungsi.

5) Budaya

Sebagai hasil karya, cipta, rasa didasarkan pada karsa manusia didalam

pergaulan hidup.23

2.4 Tinjauan Tentang Penyidikan

a. Pengertian penyidikan

Penyidikan adalah orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti

serangkaian tindakan mencari dan meneruskan suatu keadaan atau pristiwa yang

berhubungan dengan kejahatan atau pelanggaran tindak pidanaatau yang diduga

sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menemukan pristiwa yang diduga sebagai

perbuatan tindak pidana. Sedangkan penyidikan menurut KUHAP (Pasal 1 angka

2) adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

23
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum, (Yogyakarta: Gentha
Publishing,2015), Hlm 4-5

37
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan

tersangkanya.

Pencarian dan usaha meneruskan pristiwa yang diduga sebagi tindak pidana,

bermaksud untuk menentu kan sikap penjabat penyidik, apakan pristiwa yang

ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur

oleh KUHAP ( Pasal 1 angka 5). Jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan,

dilakukan dulu penyelidikan oleh penjabat penyelidiki, dengan maksud dan tujuan

untuk mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat

dilakukantindak lanjut penyidikan.

Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakan pada tindakan mencari dan

menumukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana,

pada penyidikan tidik berat tekanannya diletakankan pada tindakan mencari serta

mengumpulkan bukti supaya tindak pidana ditemukankan menjadi terang, serta

agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Pasal 1 angka 1 KUHAP

menyebutkan penyidik adalah penjabat Polisi Negara Republik Indonesia atau

penjabat pengawal negeri sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan.

b. Wewenang penyidikan

Pada Pasal 6 ayat (1) mneyebutkan yang diberikan kewenagan untuk

melakukan penyidikan adalah Penjabat Polisi Negara Republik Indonesia dan

penjabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberikna wewenang khusus oleh

undang-undang. Penyidik penjawat Polisi Negara Republik Indonesia karena

kewajibannya

Pasal 7 ayat (1) KUHAP) mempunyai wewenang sebagai berikut:

38
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

b) Melakukan tindak pertama pada saat ditempat kejadian;

c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;

d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan;

f) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g) Memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h) Meendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubunganya dengan

pemeriksaan perkara;

i) Mengadakan penghentian penyidikan ;

j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertenggungjawab.

Dalam perkara pidana yang melibatkan anak sebagai korban seperti kejahatan

pencabulan, penyidik yang bertugas untuk memeriksa perkara tersebut adalah

penyidik anak, hal ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Undang-Undang SPPA) . penyidik

tersebut ditunjuk berdasarkan keputusan kapolri atau penjabat lain yang ditunjukan

oleh kapolri ( Pasal 26 ayat (1) UU SPPA) . untuk anak korban dan anak saksi

dilakukan juga oleh penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut.

39
2.5 Kerangka Berpikir

40
Bentuk perlindungan hukum terhadap korban
pencabulan anak selama proses penyelidikan dan
penyidikan

Merahasiakan identitas korban


Penyidikan dengan suasana kekeluargaan
Perlindungan
Perawatan atau visum terhadap korban
hukum dan
hambatan-hambatan Menyediakan pendamping terhadap korban
yang dihadapi Menyediakan penerjemahan bagi korban
dalam kasus anak
sebagai korban dari Menyediakan rumah aman (shelter) bagi korban dan
tindak pidana Rehabilitas mental, atau sosial
pencabulan
Menginformasik hak-hak dan kewajiban korban
diwilayah hukum
kepolisian resort Menginformasikan perkembangan kasus
Manggarai Barat

Kendala-kendala yang dihadapi oleh polisi selama


proses penyidikan anak korban pencabulan
Kendala internal
Pelaku melarikan diri
Kurangnya jumlah personil penyidik UPPA
Faktor sarana dan prasarana
Kendala eksternal
Identitas korban tidak jelas
Korban anak-anak dan balita menyulitkan
penyidik karena belum dapat memberikan
keterangan kosisten
Korban tidak melaporakan tindak pidana
Korban mencabut laporan
Jarak atau lokasi korban jauh dari kepolisian
resort Manggarai Barat
Respon dari lingkungan atau masyarakat

Perlindungan 41
hukum dan
hambatan-hambatan
yang dihadapi
sebagai korban dari
tindak pidana
pencabulan
diwilayah hukum
Kepolisian Resort
Manggarai Barat

2,6 Jadwal dan Biaya Penelitian

1) Jadwal Penelitian

No. Tahapan Penelitian Waktu/Hari


1 Tahap persiapan 10
2 Tahap penguumpulan data 30
3 Tahap pengolahan data 20
4 Tahapan Penyusunan Laporan Penelitian Skripsi 15
5 Tahap Penyusunan Skripsi 15
Total 90 Hari

2) Biaya Penelitian

No. Komponen Pembiayaan Biaya (Rp.)


1 Biaya Persiapan Penelitian Rp. 400.000
2 Biaya Pengadaan Litelatur Rp. 300.000
3 Biaya Penelitian Rp. 1.000.000
4 Biaya Pengetikan dan Penjilitan Rp. 400.000
5 Biaya Tranportasi Rp. 200.000
6 Biaya Tak Terduga Rp. 200.000
Total Rp. 2.500.000

2,7 Organisasi Penelitian

1) Pelaksana Penilitian

Nama : Reinildis Dejam

Nim : 1802010130

Semester : X ( Sepuluh)

Penasehat Akademik : Rosalind Angel Fanggi,S.H.,M.H

Fakultas : Hukum

Jurusan : Hukum Pidana

42
2) Dosen Pembimbing Penilitian

a. Nama : Nikolas Manu,S.H.,M.H

Nip : 19580526 198704 1 001

Jabatan : Pembimbing I

Alamat : Fakultas Hukum

b. Nama : Rosalind Angel Fanggi,S.H.,M.H

Nip : 19811212 200501 2 002

Jabatan : Pembimbing II

Alamat : Fakultas Hukum

43
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.1 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Pencabulan

Selama Proses penyelidikan dan Penyidikan Di wilayah Hukum Kepolisian

Resort Manggarai Barat.

Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan

oleh pihak Kepolisian maupun Pemerintah terhadap anak yang mengalami korban

tindak pidana pencabulan anak. Perlindungan hukum dalam proses penyidikan

kepada anak korban tindak pidana pencabulan merupakan sebagai bentuk perhatian

dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perlindungan terhadap

anak pada suatu masyarakat merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut,

karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan demi kepentingan nusa dan

bangsa. Undang –Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. memberikan perbedaan

perlakuan dan perlindungan pelaksanan hak dan kewajiban anak dan saksi, khususnya

anak sebagai korban pencabulan dalam proses peradilan pidana, yaitu meliputi

seluruh prosedur acara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada

pada pelaksanaan pidana.

Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas dan wewenang untuk

menerima laporan ketika terjadi suatu tindak tindak pidana. Ketika ada suatu laporan

mengenai suatu tindak pidana pencabulan terhadap anak, polisi akan membuat laporan

polisi dari kasus pencabulan tersebut. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak

korban pencabulan di tingkat penyelidikan dan penyidikan dilakukan di unit

44
pelayanan perempuan dan anak (PPA) yang berada di unit IV. Dasar hukum

pembentukan unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) adalah Peraturan Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor Pol. 10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata

Kerja Unit Pelayana Perempuan dan Anak (Unit PPA). Ketika terjadi kasus tindak

pidana pencabulan anak maka, unit PPA Kepolisian Resort mMnggarai akan bekerja

sama dengan Lembaga Pekerja Sosial, dan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk

bekerja sama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi

korban dari sebuah kejahatan.

Perlakuan yang diterima korban pencabulan selama proses peradilan pidana adalah

salah satu wujud pelindungi Secara yuridis dan sosiologis mengenai hak-hak korban

hal ini dicantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, yang merumuskan beberapa hak –hak saksi dan

korban diantaranya:

1. Saksi dan korban berhak :

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2) Ikut seta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan

dan dukungan keamanan;

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan ;

4) Mendapat penerjemahan ;

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

7) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

45
9) Dirahasiakan identitasnya;

10) Mendapatkan indentitas baru;

11) Mendapatkan tempat kediaman sementara;

12) Mendapat tempat kediaman baru;

13) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

14) Mendapat nasihat hukum;

15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir;

16) Mendapat pendamping.

Selain hak-hak yang terdapat dalam Pasal 5, dan Pasal 6 Undang-undang Nomor

31 Tahun 2014 juga terdapat beberapa hak untuk mendapatkan bantuan medis dan

bantuan rehabilitas psiko-sosial bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang

berat. Menurut penjelasan Pasal 6 bantuan rehabilitas psikososial adalah bantuan yang

diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan

lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaannya korban. Dalam undang-

undang-undang ini ditegaskan,bahwa tujuan perlindungan terhadap saksi dan korban

adalah agar saksi dan korban merasa aman dalam memberikan keterangan pada

setiap proses peradilan pidana dan selain itu ditegaskan pula bahwa perlindungan

yang diberikan kepada saksi dan korban berasaskan pada penghargaan atas harkat,

dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminasi dan kepastian hukum.

Upaya perlindungan bagi korban tindak pidana pencabulan merupakan perjuangan

atas hak-hak mereka. Hak sebagai anak dan hak sebagai perempuan merupakan

bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi. Menurut

Arif Gosita Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai

akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri dan orang lain yang

46
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Ini mengunakan

istilah jasmaniah dan rohaniah ( fisik dan mental) dari korban dan juga bertentangan

dengan hak asasi manusia dari korban. 24Korban adalah orang yang sangat dirugikan

dalam hal terjadinya tindak pidana apapun, terutama korban tindak pidana pencabulan

anak. Oleh karena itu korban sepatutnya harus dilindungi oleh pemerintah, aparat

penegak hukum maupun oleh lembaga lainnya.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan Ibu Putu Yuli penyidik unit PPA

Kepolisian Resort Manggarai Barat, 10 Agustus 2022 di ruangan Unit PPA

Mengenai proses perlindungan hukum pada saat penyelidikan dan penyidikan

terhadap anak korban tindak pidana pencabulan. Unit pelayanan perempuan dan anak

di Manggarai Barat mengatakan bahwa bentuk perlindungan hukum mengenai hak-

hak anak korban pencabulan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang yaitu

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Mengenai Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. penyidik unit pelayanan perempuan dan

anak di Manggarai Barat belum menerapkan Undang-Undang tersebut karena belum

ada pengajuan atau permohonan dari pihak korban maupun dari keluarga korban.

Sehingga unit Pelayanan perempuan dan anak di Manggarai Barat hanya menerapkan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang –Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Beberapa bentuk perlindungan hukum

yang dilakukan oleh penyidik di Kepolisian Resort Manggarai Barat. Bentuk-bentuk

perlindungan hukum yang diberikan Kepolisian Resort Manggarai Barat selama

24
Arif Gosita dalam Bambang Wuluyo, Op.Cit,hlm.9

47
proses Penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian Resort Manggarai Barat adalah

sebagai berikut:

1. Merahasiakan identitas korban

Setalah unit PPA menerima laporan dari kepolisian, penyidik PPA akan

merahasiakan identitas pelapor atau korban tersebut dengan tujuan untuk

memberikan pelayanan keselamatan dan kenyamanan berlangsung hidup korban

saat mengalami tindak pidana pencabulan pada saat sudah terjadi pelaporan

kepada pihak kepolisian. kemudian memastikan korban dan pelapor tidak

mendapatkan tekanan dari pihak manapun. Merahasiakan identitas korban

merupakan salah bentuk perlindungan hukum yang sudah diatur dalam Pasal

64 poin I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi

penghindaran dari publikasi atas indentitasnya.

2. Penyidikan dengan suasana kekeluargaan

Dalam melakukan penyidikan dengan penanganan khusus seperti dengan

bermain dengan anak korban tindak pidana pencabulan. Sehingga suasana pada

saat penyidikan berlangsung dengan menyenangkan membuat anak tidak takut

untuk diminta keterangan. Penyidikan juga juga terkesan seperti bercerita buka

seperti penyidikan pada biasanya. Ini diatur Dalam Peraturan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2008 tentang

pembentukan ruangan pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi

dan/atau korban tindak pidana terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c, Pasal

17 ayat (1) huruf d, dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e ,dan Pasal 17 ayat (1)

huruf f, dan Pasal 17 ayat (1) huruf g, Pasal 17 ayat (1) huruf i, dan Pasal 17

ayat (1) j. Pada waktu melapor, korban ditempatkan diruangan pelayanan

48
khusus (RPK) dan didominasi oleh polisi wanita (polwan) sehingga korban

tidak malu dan lebih terbuka dalam memberikan keterangan dan menceritakan

kronologis peristiwa pencabulan yang dialaminya.

3. Dalam memberikan pertanyaan, sebisa mungkin penyidik tidak menyinggung

perasaan korban apalagi memojok korban selama proses pemeriksaan perkara .

4. Perawatan atau visum terhadap korban

Untuk kepentingan visum at repertum, unit PPA poresta Manggarai Barat

dilakukan di rumah sakit umum labuan bajo Marombok. Untuk pendamping

psikiater Kepolisian Resort Manggarai Barat saat ini belum ada. jadi Bagi

korban yang mengalami trauma atau gangguan psikis akibat kekerasan seskual

yang dialaminya unit PPA hanya melakukan rehabilitas sosial saja, dengan

bekerja sama dengan lembaga-lembaga atau yayasan rumah perlindungan

perempuan dan anak di Labuan bajo memulihkan trauma korban sebelum

korban kembali kekampung .

5. Unit PPA Juga menyediakan rumah aman (shelter) bagi korban pencabulan

dengan bekerja sama dengan yayasan rumah perlindungan perempuan dan anak di

manggarai barat. Untuk Membantu korban atau keluarga korban yang rumahnya

jauh dari kepolisian resort manggarai barat.

6. Unit PPA juga menyediakan penerjamahan bagi korban yang kurang lancar

dalam berbahasa Indonesia .dari tahap penyelidikan sampai pada tahap penyidikan

untuk Menghidari pertanyaan yang menjerat bagi korban yang mengalami tindak

pidana pencabulan .

7. korban didampingi oleh orangtua korban atau pendamping dari yayasan rumah

perlindungan perempuan dan anak atau yayasan pekerja sosial lainnya untuk

mendampingi korban selama proses penyelidikan, penyidikan sampai dengan

49
proses dipersidangan merupakan salah satu bentuk hak –hak korban yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diatur dalam

Pasal 23 ayat (1). proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara tansparan

terhadap korban dan orangtua korban namun tertutup untuk umum karena dapat

mempengaruhi mental pelapor korban terutama korban pencabulan.

8. Selain itu korban maupun keluarga korban juga mendapatkan informasi mengenai

perkembangan kasus secara bertahap dari tahap penyelidikan, penyidikan kepada

korban maupun keluarga korban sehingga korban maupun keluarga korban

mengetahui perkembangan kasus. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk

perlindungan hukum yang diberikan unit PPA Kepolisian Resort Manggarai Barat

terhadap hak korban pencabulan anak maupun keluarga korban. 25

9. Unit PPA juga memberitahukan mengenai hak-hak korban pencabulan anak

selama proses penyelidikan,penyidikan sampai pada tahap pemeriksaan perkara

dipersidangan sehingga korban mengetahui hak –hak korban yang mengalami

tindak pidana pencabulan.26

Berdasarkan wawancara dengan Ibu Putu, Tanggal 10 Agustus 2020 penyidik

unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) di Kepolisian Resort Manggarai

mengatakan sudah mengusahan memberikan perlindugan hukum terhadap hak-hak

anak korban maupun keluarga korban tindak pidana pencabulan. Sesuai dengan

prosedur Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak . Akan tetapi setelah peneliti

25
Wawancara dengan Penyidik Unit PPA Poresta Manggarai Barat Putu Yulia, tanggal 10 agustus
2022.
26
Wawancara dengan penyidik unit PPA Poresta Manggarai Barat Putu Yulia, Tanggal 12 agustus
2022.

50
wawancara 2 (dua) korban pencabulan anak VA dengan Nomor Laporan Polisi

LP/L/P/150/VIII/2021/NTT/Res.Mabar Polda/NTT Tanggal 30 Agustus 2021 dan

AJS dengan Nomor Laporan Kepolisian LP/147/XI/2019/NTT/Res. Mabar tertanggal

4 November 2019. ternyata masih ada korban pencabulan anak yang hak-haknya

belum diberikan secara maksiamal oleh pihak Kepolisian Resort Manggarai Barat

terhadap hak-hak korban. Sebagaimana sudah dicatumkan didalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014

perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi

dan Koban.

Kasus AJS dengan Nomor Laporan Kepolisian LP/147/XI/2019/NTT/Res. Mabar

tertanggal 4 November 2019.

Korban AJS berusia 8 tahun Mengalami tindak pidana pencabulan yang

berulang kali yang dilakukan oleh pelaku RH (guru komite) berusia 29 tahun

yang mencabuli siswanya AJS yang saat itu berusian 8 tahun. kronologis

kejadian bermula pada tahun 2018 saat korban duduk dibangku SD kelas III

sampai dengan hari sabtu, tanggal 07 september 2019 bertempat SDN Monting

Renggeng, Desa Watu Manggar Kecamatan Macang Pacar, di Manggarai Barat .

pelaku terhitung 10 kali menyuruh korban untuk melakukan perbuatan cabul,

yang secara berurutan terjadi diruangan kelas, toilet,WC,ruangan guru,SDN

Munting Renggeng, kemudian lapangan olahraga, dirumah terdakwa di

Kampung Paurundang Kecamantan Macang Pacar di Kabupaten Manggarai

Barat. dan terakhir kali di ruangan kelas IV SDN Munting Renggeng, dengan

cara-cara pelaku yang membuka celananya sendiri atau hanya membuka

resleting celananya, kemudian menyuruh korban AJS untuk memegang penis

51
pelaku, melakukan gerakan mengocok, mengisap penis pelaku , sampai pelaku

merasakan nikmat dan mengeluarkan sperma. Pada beberapa kejadian , pelaku

RH menyuruh anak korban untuk menjepit penis pelaku diantara kedua paha

anak korban lalu pelaku mengoyangkan pantatnya maju mundur, yang mana dari

rangkaiannya perbuatan pelaku tersebut, bertujuan agar pelaku marasakan nikmat

dan kepuasan dengan mengeluarkan spermanya. Kemudian kejadian terakhir

pelaku menyuruh anak korban AJS untuk menelan sperma dari pelaku RH.

Takut perbuatan diketahui, pelaku mengancam anak korban dengan berkata “

awas kamu cerita kepada nenek,mamamu dan guru atau siapa saja, kalau sampai

mereka tau nanti kamu berangkat ke sekolah saya akan potong jalan dan akan

tusuk leher kamu dengan pisau sampai mati dan jika sudah mati, saya akan buang

kamu ke sungai, jadi tidak akan ada orang yang akan lihat dan yang tahu kalau

kau sudah meninggal. Sehinggal hal inilah yang membuat korban tidak

menceritakan kejadian tersebut karna mendapatkan ancaman dari pelaku. Hal

inilah yang membuat korban AJS mengalami Trauma berat.27

Kondisi korban saat korban mengalami tindak pidana pencabulan yang

berulangkali korban mengalami ketakutan karena korban masih takut karena

diancam pelaku akan dibunuh bahkan pelaku juga mengancam akan membunuh

orangtua korban sehingga korban banyak diam dan korban tidak mau makan

karena korban masih jijik dan muntah untuk makan karena korban ingat

perbuatan pelaku yang menyuruh korban untuk telan sperma . Setelah sampai di

Kepolisian Resort Manggarai Barat korban memceritakan bahwa korban sempat

pingsan waktu di toilet Polres Manggarai Barat karena korban melihat orang

27
Wawancara dengan Putu Yulia Penyidik Unit PPA Kepolisian Resort Manggarai Barat hari Kamis
11 Agustus 2022,waktu jam 9:25

52
yang mirip dengan pelaku menghampiri korban dan ibu korban sehingga korban

teriak dan pingsan. Korban masih trauma kalau melihat orang yang mirip dengan

pelaku28.

Kasus VA dengan Nomor Laporan Polisi

LP/L/P/150/VIII/2021/NTT/Res.Mabar Polda/NTT Tanggal 30 Agustus 2021.

Kasus pencabulan terhadap anak VA yang masih berusia 8 ( delapan) tahun

yang dilakukan oleh pelaku atas nama PL yang berusia 29 (dua puluh sembilan)

tahun. Kronologis pada hari minggu tanggal 29 Agustus 2021 sekitar pukul 10:00

wita atau setidak-tidaknya suatu waktu dalam tahun 2021, bertempat di sebuah

pondok didalam persawahan daerah Kampung Lando, Desa Mbuit, Kecamatan

Boleng, Kabaupaten Manggarai Barat. pelaku PL melakukan perbuatan cabul

terhadap anak korban VA perbuatan tersebut dilakukan pelaku dengan cara ketika

anak korban pulang dari Gereja, pelaku dengan posisi sedang membawa sepeda

motor berhenti di samping anak korban untuk menawarkan mengantar anak korban

menuju Kampung Teko. kemudian pelaku menyuruh anak korban naik ke sepeda

motor pelaku dan anak korban meniyakan ajakan tersebut. Setelah melewati

Jembatan Wae Lengkong, anak korban meminta untuk diturunkan di Lokasi

tersebut namun pelaku tidak mengindahkan dan tetap mengendarai sepeda motor

hingga sampai pada sebuah pondok kosong di pinggir jalan namun masih dalam area

persawahan. Selanjutnya pelaku memaksa anak korban untuk masuk dalam area

persawahan. Pelaku memaksa anak korban untuk masuk kedalam pondok, setelah

berada dalam pondok tersebut dengan menarik tangan anak korban mengunakan

tangan pelaku menunju kesebuah pondok, setelah berada didalam pondok pelaku

28
Wawancara dengan korban AJS Di yayasan rumah perlindungan perempuan dan anak di Labuan
Bajo, hari senin 15 agustus 2022, jam 15:40

53
duduk di Lantai dengan dengan melipatkan kedua kakinya dan memangku anak

korban dengan posisi anak korban membelakangi pelaku. Kemudian pelaku meraba-

raba rok anak korban serta mengangkatnya ke atas, selanjutnya memasuki tangan

pelaku ke dalam celana dalam anak korban kemudian pelaku memasukakan jari

telunjuk dan jari tengah kedalam lubang kemaluan anak korban, sementara jari

telunjuk dan jari tengah tangan pelaku lainnya ke mulut hingga anak korban teriak

dikarenakan merasa sakit. Selanjutnya anak korban berusaha melepaskan diri dan

berhasil kabur dari pelaku menunju jalan dekat tempat kejadian bertemu dengan

saksi BMK dan langsung memeluknya serta minta pertolongan atas perbuatan

pelaku. Pada saat yang bersamaan pelaku melihat kejadian tersebut dan dengan

mengunakan sepeda motor langsung kabur. atas kejadian yang menimpa anak

korban langsung dilaporkan kepada petugas kepolisian agar di proses sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku.29

Kondisi korban melalui wawancara dengan Orang tua korban dan korban VA saat

kejadian itu korban ketakutan, menangis dan teriak2 dan juga korban ketakutan

bertemu dengan laki-laki dan orang banyak dan ibu korban juga saat itu juga dalam

kondisi kurang stabil atas kejadian yang menimpa anaknya. akhirnya orangtua

korban berangkat dari Kampung Teko ke Kepolisian Resort Manggarai Barat dan

melakukan visum di Rumah Sakit Umum Marombok Labuan Bajo Mangarai Barat

setelah itu korban di antarkan di rumah aman ( shelter) di Yayasan Rumah

Perlindungan Perempuan dan Anak di Labuan Bajo Mangarai Barat. Tapi saat itu

korban masih ketakutkan bertemu orang banyak, korban hanya duduk diluar teras

dan menangis dan juga kondisi ibu korban juga saat itu tidak stabil karena pristiwa

29
Wawancara dengan Putu Yulia penyidik unit PPA Kepolisian Resort Manggarai Barat, hari selasa 09
agustus 2022 jam 08:00

54
yang menimpa putrinya VA. akhirnya orangtua korban meminta ijin kepolisi untuk

mengijikan korban untuk membawa korban untuk tidak tinggal dirumah aman

karena korban takut melihat orang banyak. Karena saat itu psikologis anak korban

ada gejala-gejala kecemasan dan gejala-gejala trauma atas kejadian yang

menimpanya30 serta kondisi orang tua korban yang tidak stabil.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan dengan anak

korban AJS dengan Nomor Laporan Kepolisian LP/147/XI/2019/NTT/Res. Mabar

tertanggal 4 November 2019 dan korban VA dengan Nomor Laporan Kepolisian

LP/L/P/150/VIII/2021/NTT/Res.Mabar/polda NTT tanggal 30 Agustus bahwa

perlindungan hukum yang diberikan oleh unit PPA terhadap korban selama proses

Penyelidikan dan penyidikan belum efektif mengenai perlindungan hukum terhadap

anak korban tindak pidana pencabulan di Manggarai Barat. Penyidikan tindak pidana

korban kekerasan yang dialami anak merupakan langkah atau proses awal dari penegak

hukum dalam memberikan perlindungan hukum kepada korban dan upaya

memberantas tindakan kekerasan anak. Peneliti berpendapat bahwa perlindungan yang

diberikan oleh pihak Kepolisian Resort Manggarai Barat belum maksimal bahkan jauh

dari kata sempurna mengenai penerapan dan pelaksanaan perlindungan hukum

mengenai hak saksi dan korban anak tindak pidana pencabulan. Perlindungan anak

adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat

melaksanakan hak dan kewajibannya.

Berdasarkan wawancara Korban AJS dan VA, korban tidak mendapatkan upaya

rehabilitas dengan melakukan konseling psikologis dan psikososial. hak pemulihan

adalah seluruh upaya untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spritual dan sosial

30
Wawancara dengan orangtua korban dan korban VA di Rumah korban di Teko, hari kamis 08
september 2022,jam 11:00

55
korban. Hak pemulihan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak dalam Pasal 59, dan Pasal 59a terutama dalam kasus tindak pidana

pencabulan seperti:

1) Rehabilitas medis,

2) Rehabilitas mental, dan sosial,

3) Restitusi dan/atau kompesasi

Untuk itu didalam penyelidikan dan penyidikan diberikan hak terhadap anak

untuk melakukan konseling terhadap psikiater untuk memulihkan kondisi anak yang

mengalami trauma atau gejala-gejala trauma untuk kembali seperti sedia kala.

Terhadap anak korban pencabulan anak diberikan hak untuk konseling oleh psikiater.

Hal ini guna untuk memberikan hak pulih dari trauma yang dialami anak korban

tindak pidana pencabulan. Seperti tercatum dalam dalam pasal 120 ayat (1) KUHAP

yang memberikan wewenang kepada penyidik untuk diminta bantuan kepada ahli.

Upaya rehabilitas juga dicatumkan dalam peraturan perundangan-undangan telah

memberikan aturan adanya kewajiban bagi korban untuk melakukan upaya

rehabilitas. Sementara korban pencabulan anak VA dengan Nomor Laporan Polisi

LP/L/P/150/VIII/2021/NTT Res MABAR Polda NTT tanggal 30 Agustus Tahun

2021 dan AJS yang mengalami tindak pidana pencabulan berulang kali dengan

Nomor Laporan Kepolisian LP/147/Xl/ 2019 NTT Res MABAR tanggal 4 November

Tahun 2019 yang mengalami trauma atau gejala-gejala trauma tidak diberikan

pendamping psikiater dan rehabilitas. untuk kepentingan Visum At Reprutum, RPK

seharusnya menyediakan ruangan khusus sehingga sedikit banyak dapat membantu

meringankan penderitaan korban dalam proses penyelidikan dan penyidikan. namun

kenyataanya korban dibawah di Rumah Sakit Umum Labuan Bajo Marombok di

Manggarai Barat. Bentuk perlindungan korban dapat dilakukan dengan upaya

56
rehabilitas medis dan rehabilitas sosial, baik didalam maupun diluar lembaga pada

saat upaya pemulihan korban. Oleh karena itu korban sepatutnya harus dilindungi

oleh pemerintah , aparat penegak hukum, maupun oleh lembaga penegak hukum

lainya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan

sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu

masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang

kehidupan bernegara dan bermasyarakat.31 sebagaimana dicatumkaan dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 69A dijelaskan bahwa Upaya perlindungan

khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59

ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya :

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;

b. Rehabilitas seksual

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap pemeriksaan mulai

dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan disidang pengadilan.

Korban AJS dan korban VA tidak mendapatkan informasi atau pemberitahuan oleh

pihak kepolisian mengenai hak dan kewajiban korban pencabulan anak seperti korban tidak

diberitahukan mengenai apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari korban pencabulan

anak selama proses penyelidikan dan penyidikan. Seperti korban berhak untuk bantuan sosial

bagi anak yang tidak mampu atau mengajukan permohonan mengenai ganti rugi restitusi di

pengadilan. Korban VA juga merasa bahwa kepolisian tidak memperhatikan dan

menanyakan korban mengenai kebutuhan yang dibutuhan korban selama proses penyidikan

berlangsung, karna korban mengalami kesulitan mencari tempat tinggal, trasportasi dan juga

31
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Anak Di Indonesia,
(Bandung: PT Refika Aditama,2014), Hlm. 40

57
biaya hidup sementara korban dan saksi selama proses penyelidikan dan penyidikan

berlangsung di Kepolisian Resort Manggarai Barat. Korban tidak tinggal dirumah aman yang

disediakan oleh Kepolisian Resort Manggarai Barat karena korban mengalami trauma ketemu

orang banyak sehingga korban tidak aman tinggal di rumah aman (shelter) yang disediakan

oleh Kepolisian Manggarai Barat dengan bekerja sama dengan Yayasan Rumah

Perlindungan Perempuan dan Anak di Manggarai Barat yang dijadikan sebagai rumah aman (

Shelter) oleh Kepolisian Resort Manggarai Barat. Dan Untuk Korban AJS Proses

penyelesaian kasus dipeti eskan bahkan korban dan keluarga tidak mendapat informasi

mengenai perkembangan kasus secara bertahap . Berdasarkan peraturan perundang-

Undangan Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 59a berbunyi bahwa perlindungan khusus bagi anak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalaui upaya:

a) Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitas secara

fisik,psikis dan sosial serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan

laiannya;

b) Pedampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

c) Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga yang tidak

mampu; dan

d) Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dicantum dalam

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

yang merumuskan beberapa hak –hak saksi dan korban diantaranya:

1. Saksi dan korban berhak :

58
1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang

akan, sedang, atau telah diberikannya;

2) Ikut seta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan ;

4) Mendapat penerjemahan ;

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

7) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

9) Dirahasiakan identitasnya;

10) Mendapatkan indentitas baru;

11) Mendapatkan tempat kediaman sementara;

12) Mendapat tempat kediaman baru;

13) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

14) Mendapat nasihat hukum;

15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan

berakhir;

16) Mendapat pendamping.

Selain hak-hak yang terdapat dalam Pasal 5, dan pasal 6 Undang-undang Nomor 31

Tahun 2014 juga terdapat beberapa hak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan

rehabilitas psiko-sosial bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Menurut

penjelasan Pasal 6 bantuan rehabilitas psikososial adalah bantuan yang diberikan oleh

59
psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk

memulihkan kembali kondisi kejiwaannya korban.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan korban VA Selama proses penyelidikan dan

penyidikan di Kepolisian Resort Manggarai Barat Korban VA hanya didampingi oleh

orangtua korban Yang saat itu juga Ibu dari korban VA dalam kondisi yang kurang stabil

karena pristiwa yang menimpa anaknya . Korban VA tidak diberikan pendamping selama

proses penyelidikan dan penyidikan dan korban dikembalikan kekampung tanpa

mendapatkan upaya rehabilitas untuk korban dan ibu korban. Menurut Pasal 1 ayat (14)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak pendamping adalah

pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya. Seperti Dinas

Sosial atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang dibidang Perlindungan Perempuan dan

Anak. Dan juga untuk korban pencabulan anak berhak untuk mendapatkan pendamping

selama proses peradilan dari penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan. Hal Di ataur

dalam dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentng Perlindungan Anak pada Pasal 59 menyebutkan bahwa:

(1) Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya berkewajiban

bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.

(2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum;

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang di eksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual ;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikitropika,

dan zaat adiktif lainnya;

60
f. Anak yang menjadi korban pornografi;

g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;

i. anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual;

k. Anak korban jaringan terorisme;

l. Anak penyandang disabilitas;

m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;

n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari perlabelan terkait dengan kondisi

orangtuanya.

Pasal 69A juga menyebutkan bahwa Upaya perlindungan khusus bagi anak korban

kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan

melalui upaya :

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;

b. Rehabilitas seksual

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap pemeriksaan mulai

dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang

pengadilan.

Selain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang dicantum dalam Pasal 5 yang

merumuskan beberapa hak –hak saksi dan korban diantaranya:

Saksi dan korban berhak :

61
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya,

serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang akan, sedang,

atau telah diberikannya;

1) Ikut seta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

2) Memberikan keterangan tanpa tekanan ;

3) Mendapat penerjemahan ;

4) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

5) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

6) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

7) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

8) Dirahasiakan identitasnya;

9) Mendapatkan indentitas baru;

10) Mendapatkan tempat kediaman sementara;

11) Mendapat tempat kediaman baru;

12) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

13) Mendapat nasihat hukum;

14) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir;

15) Mendapat pendamping.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan korban AJS dan VA mengenai

perkembangan kasus. Korban AJS dan VA dan keluarga korban tidak mendapatkan

informasi mengenai perkembangan kasus secara bertahap, sehingga korban juga tidak

tahu proses penyelesaian kasus sudah sampai tahap mana korban hanya diminta untuk

datang dan dimeminta keterangan saja. Berdasarkan Peraturan Undang-Undang

62
Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e dijelaskan

bahwa korban berhak Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus secara

bertahap.

Korban AJS dan Korban VA juga tidak diberikan penasihat hukum dari proses

penyelidikan, penyidikan sampai pada tahap pemeriksaan perkaran di pengadilan.

bantuan hukum yaitu apabila korban tidak memiliki penasehat (kuasa hukum) sendiri

maka akan dicarikan dan disediakan oleh pihak Kepolisian Resort Manggarai Barat.

Bantuan hukum juga merupakan suatu bentuk pendampingan terhadap korban

kejahatan dan juga Pemberian informasi mengenai hak-hak korban tindak pidana

pencabulan dan juga tata cara dalam memperoleh pemenuhan hak tersebut dapat

diberikan melalui Lembaga Kepolisian sejak dilakukannya penyidikan. Pemberian

bantuan hukum terhadap korban kejahatan haruslah diberikan baik diminta ataupun

tidak diminta oleh korban. Hal ini penting, mengingat masih rendahnya tingkat

kesadaran hukum dari sebagaian besar korban maupun keluarga korban kejahatan.

Karena sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh bantuan hukum yang

layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya kondisi korban kejahatan. hal ini

juga sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebagaimanan

diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ayat ( 1). Undang-Undang ini merupakan sebuah

terobosan hukum karena memberikan jaminan hukum dan mengakui tanggungjawab

negara untuk menyediakan layanan perlindungan bagi korban, saksi dan pelapor.

Bagi korban kejahatan Undang-Undang ini juga merupakan alat baru dalam

63
mengakses keadilan karena akan merumuskan beberapa hak –hak saksi dan korban

diantaranya:

a. Jaminan hukum tentang perlindungan bagi saksi, korban dan pelapor dari

tuntutan secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang

akan, sedang, dan telah diberikan. Walaupun masih terbatas, jaminan bagi

pelapor adalah penting, terutama karena masih banyak korban yang tidak berani

secara sendiri melaporkan kejahatan yang menimpanya.

b. Adanya perluasan cakupan perlindungan yang dapat diperoleh oleh para saksi

dan korban tindak pidana yang menempatkan korban dalam situaso rentan dan

berada dalam ancama terus-menerus seperti korban-korban atau saksi pada

situasi konflik, situasi birokrasi dan lainya.

c. Danya ketegasan asas-asas yang menjadi acauan implementasi dan operasional

penyediaan perlindungan saksi dan korban , yaitu asas penghargaan atas harkat

dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminasi, dan kepastian

hukum

d. Adanya penjabaran yang cukup rinci tentang hak-hak Saksi dan korban dalam

pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban :

1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta

bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

2) Ikut seta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan

dukungan keamanan;

3) Memberikan keterangan tanpa tekanan ;

64
4) Mendapat penerjemahan ;

5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

6) Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;

7) Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;

8) Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;

9) Dirahasiakan identitasnya;

10) Mendapatkan indentitas baru;

11) Mendapatkan tempat kediaman sementara;

12) Mendapat tempat kediaman baru;

13) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

14) Mendapat nasihat hukum;

15) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu

perlindungan berakhir;

16) Mendapat pendamping.

Menurut Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu dusahakan

demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang

membawa akibat negatif yang tidak diingikan dalam pelaksanaan perlindungan anak

Menurut Arif Gosita hak korban antara lain adalah sebagai berikut:

1. Korban berhak mendapatkan kompesasi atas penderitanya, sesuai dengan taraf

keterlibatan korban itu sendiri dalam menjadikan kejahatan tersebut,

2. Korban berhak menolak kompesasi untuk untuk kepentingan pembuat korban

(tidak mau diberikan kompesasi karena tidak memerlukannya),

3. Korban berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitas.

4. Korban berhak mendapatkan kembali hak miliknya

5. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal itu akan membahayakan dirinya

65
6. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat

korban bila melapor atau menjadi saksi,

7. Korban berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum

8. Korban berhak mempergunakan upaya hukum (rechtmiddelen).32

Penyuluhan hukum oleh aparat penegak hukum ( kepolisian) pada saat

penyelidikan dan penyidikan juga sangat penting . dalam hal ini sangat penting untuk

memberikan perlindungan terhadap hak-hak korban tindak pidana pencabulan.

diantaranya adalah hak korban untuk restitusi yaitu pemberian ganti rugi dari pelaku

terhadap korban, kompesasi yaitu pemberian dana bantuan dari negara terhadap

korban dan rehabilitas yaitu pemulihan psikologi dan nama baik korban. Sehingga

dengan korban mengetahui hak dan kewajiban korban dapat melakukan proses

penanganan perkara dengan baik. Hak perlindungan merupakan upaya pemenuhan

hak dan pemberian rasa aman kepada saksi dan/ataau korban yang wajib dilaksanakan

oleh aparat penegak hukum maaupun lembaga-lembaga lainnya sesuai dengaan

ketentuaan peraturan perundang-undangan. Maka diperlunya penyuluhan hukum oleh

aparat hukum sehingga korban dan keluarga korban mengetahui hak- hak korban

yang perlu diperoleh oleh korban.

Pada kenyataannya, miskipun telah beragam ketentuan perundang-undangan

yang mengatur perlindungan terhadap anak, masih belum memberikan jaminan bagi

anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan

kebutuhannya dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga dalam melaksanakan

upaya perlindungan terhadap anak dan hak-hak anak selama proses peradilan belum

efektif . Kepolisian seharusnya menanyakan mengenai kebutuhan yang dibutuhkan

32
Andhi Wibowo, Op.Cit, Hlm 35.

66
oleh korban maupun keluarga korban dan saksi yang dimiliki korban selama proses

penyidikan. Mengenai Setiap anak korban pencabulan berhak untuk memperoleh

bantuan hukum. bantuan hukum terhadap anak korban sesungguhnya sama

pentingnya dengan bantuan hukum yang diberikan anak pelaku tindak pidana. anak

korban membutuhkan bantuan hukum terutama guna menjamin diperoleh semua hak

perlindungan, baik untuk haknya yang berkaitan dengan rehabilitas, ganti rugi

trasportasi dan juga biaya hidup sementara korban selama proses penyidikan sesuai

dengan kebutuhan, juga hak-hak lainya yang berkaitan dengan proses peradilan

pidana. Seperti perlindungan berkaitan dengan prosedur pemeriksaan di Kepolisian,

yang tidak lain sebenarnya juga berkaitan keduduknya sebagai saksi yaitu saksi

korban. sehingga korban maupun saksi korban merasa aman dan tidak merasa

mengalami korban yang berulangkali (viktimisasi).

Mengenai hak korban untuk mengajukan permohonan restitusi maupun

kompesasi tidak berdasarkan atas tugas dan kewajiban lembaga kepolisian, Penuntut

umum serta lembaga LPSK namun masih atas permohonan dari pihak korban, atas

dasar hal tersebut termuat dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 43 Tahun 2017 Tentang pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang

menjadi Korban Tindak Pidana. Pasal 4 dijelaskan bahwa:

1. Permohonan restitusi diajukan oleh pihak korban.

2. Pihak korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

(1) Orang tua atau wali anak yang menjadi korban tindak pidana;

(2) Ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana;

67
(3) Orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali, atau ahli waris

anak yang menjadi korban tindak pidana dengan surat kuasa

khusus.

3. Dalam hal pihak korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a

dan huruf b sebagai pelaku tindak pidana, permohonan untuk

memperoleh restitusi dapat diajukan oleh lembaga.

Pasal 5 dijelaskan bahwa :

(1) Permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 diajukan

secara tertulis dalam Bahasa Indonesia diatas kertas bermaterai kepada

pengadilan.

(2) Permohonan Restitusi kepada pengadilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1)yang diajukan sebelum putusan pengadilan, diajukan melalui

tahap:

(1) Penyidikan; dan

(2) Penuntutan.

(3) Selain melalui tahap penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud

dalam pada ayat (2), pemohonan restitusi dapat diajukan melalui LPSK

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Akan tetapi Polisi memiliki kewajiban untuk menginformasikan atau

memberitahukan kepada korban dan keluarga korban mengenai informasi pengajuan

ganti rugi restitusi sebagaimana yang dicantum dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak

yang menjadi Korban Tindak Pidana. Pasal 9 dijelaskan:“Pada tahap penyidikan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a penyidik memberitahukan

68
kepada pihak korban mengenai hak anak yang menjadi korban tindak pidana untuk

mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya”.

Sementara Berdasarkan Wawancara peneliti dengan korban AJS dan korban VA

dan keluarga korban, tidak mendapatkan informasi mengenai restitusi bagi korban

tindak pidana dan tata cara pengajuan restitusi tersebut oleh kepolisian selama proses

penyidikan di Kepolisian Resort Manggarai Barat. Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 34 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang

menjadi Korban Tindak Pidana dan cara memperoleh hak-hak korban pencabulan

selama proses penyidikan agar korban mengetahui mengenai hal tersebut. Apabila

permohonan tidak diajukan oleh pihak anak korban maka Lembaga Kepolisian,

Kejaksaan penuntun umum, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

akan bersifat pasif tidak akan memproses permohonan restitusi anak korban, yang hal

tersebut sama sekali tidak mencerminkan asas keadilan serta asas kepentingan terbaik

bagi anak. Korban disamping memiliki hak, juga dibebani kewajiban agar terjadi

keseimbangan, karena masyarakat akan goncang apabila anggota masyarakat hanya

menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya masyarakat akan tentram dan

damai apabila antara hak dan kewajiban seimbangan, oleh karena itu, hukum selalu

mengatur tentang apa yang menjadikan hak dan kewajiban anggota masyarakatnya.

adapun kewajiban-kewajiban korban kejahatan menurut Arif Gosita, adalah:

1) Korban berkewajiban untuk sendiri membuat korban dengan mengadakan

pembalasan (main hakim sendiri)

2) Korban berkewajiban berpartisipasi dengan masyarakat mencegah pembuatan

korban lebih banyak lagi,

3) Korban berkewajiban mencegah kehancuran si pembuat korban b aik oleh diri

sendiri maupun oleh oranglain

69
4) Korban berkewajiban ikut serta membina pembuat korban

5) Korban berkewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk

tidak menjadi korban lagi

6) Korban berkewajiban untuk tidak menuntut kompesasi yang tidak sesuai

dengan kemampuan pembuat korban

7) Korban berkewajiban memberi kesempatan pada pembuat korban untuk

memberi kompesasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuannya.

(pembayaran terhadap/imbalan jasa).Korban berkewajiban menjadikan saksi

bila tidak membahayakan diri dan ada jaminan33

Menurut peneliti, upaya pihak Kepolisian atau Penyidik untuk membuat

kerjasama dalam mekanisme penanganan anak yang menjadi korban dari tindak

pidana pencabulan pada anak dalam satu atap dengan melibatkan polisi, lembaga

swadaya masyarakat dan instansi-instansi terkait dan upayakan kesatuan informasi

serta dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak korban

pencabulan .dimutakirkann di Kepolisian Resort Manggarai Barat. Perlindungan

hukum terhadap para korban tindak pidana pencabulan anak di Wilayah Hukum

Kepolisian Resort Manggarai Barat tidak berjalan sesuai dengan Undang-Undang

yang berlaku dimana sebagaian korban hanya dikembalikan keorang tua. faktor besar

yang berpengaruh dalam implementasinya yaitu infrastruktur yang minim atau

terbatas untuk perlindungan korban., pendamping sosial yang kurang dan tidak

terjangkau, juga kesadaran keluarga yang kurang untuk menuntut hak-hak yang

seharusnya didapatkan anak korban tindak pidana pencabulan.

33
Adhi wibowo, Op. Cit, hlm 36

70
3.2 Hambatan –hamabatan dalam proses perlindungan hukum terhadap anak

korban tindak pidana pencabulan selama proses penyidikan di Manggarai Barat.

Penyidikan tindak pidana pencabulan yang dialami oleh anak pasti ada langkah

atau suatu proses awal dari penegak hukum dalam upaya membrantas tindak pidana

pencabulan dengan korban anak sebagaimana tujuan pembentukan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak dan juga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam melaksanakan tugasnya terhadap penyidikan

tindak pidana pencabulan dengan korban anak ternyata tidak jarang mengalami

kendala.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan bapak jimmy penyidik unit

pelayanan perempuan dan anak di Manggarai Barat,tanggal 12 Agustus 2022 di

Ruangan Unit Perempuan dan Anak di Manggarai Barat. Beberapa Hambatan –

hambatan internal yang dihadapi pihak Kepolisian dalam proses perlindungan hukum

terhadap anak korban tindak pidana pencabulan.

1) Kendala pertama adalah ketika pelaku tindak pidana pencabulan pada anak

mengetahui bahwa dirinya telah dilaporkan oleh korban ke polisi. Pelaku yang

telah dilaporkan biasanya akan melarikan diri dan bersembunyi di daerah atau

kota tertentu sebelum ditangkap oleh penyidik. Penyidik sering mengalami

kesulitan dalam mencari si pelaku yang telah melarikan diri dan menjadi buronan

tersebut. Dan kurangnya kerja sama antar masyarakat dalam hal mendapatkan

lokasi si pelaku hal tersebut dikarenakan kebanyakan masyarakat masih kurang

mengetahui hukum pidana yang berlaku sehingga para penyidik harus membawa

pasukan yang cukup banyak untuk menangkap pelaku.

71
2) Kurangnya jumlah personel penyidik dalam menyelesaikan perkara. Saat ini,

jumlah personel Penyidik di unit PPA Polrestabes Manggari Barat hanya

berjumlah 6 orang 4 orang laki-laki dan 2 orang perempuan sementara kasus

perbulan banyak ada kasus kejahatan seksual terhadap anak , KDRT, Trafiking,

dan kasus banyak lain. Menurut peneliti untuk jumlah penyidik 6 orang dalam

Unit PPA sudah cukup apabila penyidik memproses kasus dengan cepat

Berdasarkan data yang didapatkan peneliti jumlah kasus yang ditangani oleh

Kepolisian Resort Manggarai Barat pada unit pelayanan perlindungan perempuan

dan Anak (PPA) dalam kurung waktu 4 (empat) Tahun terakhir 2018-2021).

Tabel 2. Jumlah kasus perempuan dan anak yang ditangani oleh Kepolisian

tahun 2018-2021 di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Manggarai Barat

No Tahun Percabula Persetubuhan Penelantaran Hamil di


n Luar Nikah
1 2018 1 orang 1 orang 10 orang 2 orang
2 2019 2 orang - - -
3 2020 4 orang 4 orang 5 orang 2 orang
4 2021 5 orang 1 orang 11 orang 2 orang

Dan apabila masih kurang jumlah personil penyidik dalam menyelesaikan kasus

pencabulan anak Seharus unit pelayanan perempuan dan anak mengajukan

penambah personil penyidik di unit PPA karena hal ini akan mempengaruhi masa

depan anak yang berhadapan dengan hukum apabila proses penyelesaian kasus yang

cukup lama.

3) Faktor Sarana dan prasarana yang tidak mendukung dan kurang memadai. Sarana dan

fasilitas untuk memberikan perlindungan hukum terhadap korban pencabulan belum

terlalu memadai. Salah satunya Seperti ruangan pemeriksaan untuk memberikan

72
keterangan anak korban masih satu dengan korban orang dewasa dan tidak memiliki

rungan istirahat untuk anak. Menurut peneliti Meskipun pemeriksaan tidak dilakukan

secara bersamaan ini tentu dapat mempengaruhi psikologis anak yang menjadi korban

dari sebuah kejahatan dan juga mempengaruhi proses hukum. Karena akan

membutuhkan waktu yang cukup lama karena anak korban pencabulan harus

diberikan keterangan bergantian apabila dalam sebulan banyak kasus pencabulan,

persetubuhan, KDRT dan kasus lain. Untuk sarana dan prasaran menurut peneliti

seharusnya pihak kepolisian harus menyediakan ruangan khusus untuk penanganan

anak karena selama proses penyelidikan dan penyidikan korban anak dan orang dewasa

tidak boleh dilakukan dalam satu rungan hal ini sudah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak dalam Pasal 64 menyebutkan bahwa: perlindungan khusus bagi

anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)

huruf b dilakukan melalui:

a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan sesuai kebutuhan

umurnya;

b. Pemisahan dari orang dewasa;

c. Pemberian bantuan hukum dan batuan lain secara efektif;

d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional;

e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lainya yang

kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;

f. Penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau pidana seumur hidup;

g. Penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai

upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

73
h. Pemberian keadilan dimuka pengadilan anak yang objektif, tidak

memihak, dan dalam siding yang tertutup untuk umum;

i. Menghindari dari publikasi atas indetitasnya.

j. Pemberian pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh

anak;

k. Pemberian advokasi sosial;

l. Pemberian kehidupan pribadi;

m. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas;

n. Pemberian pendididikan;

o. Pemberian pelayanan kesehatan; dan

p. Pemberian hak lainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Hal ini juga berkaitan dengan korban anak dalam hal proses penyelesaian kasus

secara cepat dan tepat dalam hal ini membantu korban agar anak tidak terbebani dalam proses

peradilan yang cukup lama hal ini juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di

cantumkan dalam Pasal 59a berbunyi bahwa perlindungan khusus bagi anak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalaui upaya:

a) Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitas secara

fisik,psikis dan sosial serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan

laiannya;

b) Pedampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

c) Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga yang tidak

mampu; dan

d) Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

74
Untuk rumah aman (shelter) merupakan tempat tinggal sementara bagi anak

yang menjadi korban pencabulan yang membutuhkan perlindungan. Karena rumah

aman yang saat ini dipakai oleh kepolisian adalah Rumah Yayasan Perlindungan

Perempuan dan Anak di Labuan Bajo. Polisi bekerja sama dengan pimpinan Servae

Spiritus sanctus (SSpS) flores Barat- rumah perlindungan perempuan dan anak.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan korban VA bahwa korban VA tidak anyaman

tinggal dirumah Yayasan Perlindungan Perempuan dan Anak di Labuan Bajo

Manggarai Barat karena korban masih takut melihat orang banyak. Dalam hal ini

kepolisan harus melihat mengenai kepentingan terbaik bagi anak korban pencabulan,

dalam hal ini Kepolisian harus menyediakan rumah aman (Shelter) bagi perempuan dan

anak korban kejahatan di Kepolisian Resort Manggarai Barat.

Adapun hambatan-hambatan eksternal yang dihadapi oleh pihak Kepolisian Resort

Manggarai Barat dalam melindungi anak korban tindak pidana pencabulan sebagai

berikut:

1) Dalam proses penyidikan terkadang pelaku dan anak korban maupun keluarga

korban tidak memiliki identitas seperti korban tidak memiliki akta kelahiran

dan kartu keluarga .

2) Selain itu terkadang korban Anak-anak dan balita juga menyulitkan penyidik

untuk mengungkap kasus karena belum dapat memberikan keterangan yang

konsisten dan tepat. menurut peneliti dalam hal ini seharusnya pihak Kepolisian

membutuhan psikolog anak dan juga korban anak harus mendapat upaya

rehabilitas dan konseling dari psikologis untuk membantu korban dalam

mengurangi trauma. dalam ini korban masih dalam kondisi yang kurang stabil

atas apa yang dialami oleh korban pencabulan. Dan korban dipaksakan untuk

mengingatkan kembali kejadian yang menimpanya. Seperti korban AJS yang

75
mengalami korban pencabulan yang berulangkali selama 2 tahun tentu saja

korban membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena korban harus berusaha

untuk mengingat kejadian yang menimpa diri korban, dalam hal ini dapat

menganggu kondisi fisik dan psikis dari korban sendiri.

3) pihak korban maupun keluargan korban tidak mau melaporkan tindak pidana

pencabulan terhadap anak, karena korban maupun keluarga korban merasa malu

dan merasa bahwa hal tersebut merupakan aib bagi keluarga mereka. Tidak

maunya pihak korban melapor tindak pidana pencabulan terhadap anak

membuat kasus tindak pidana terhadap anak tidak bisa diperiksa dan divisum.

Sehingga dengan tidak maunya pihak korban melaporkan tindak pidana

pencabulan terhadap anak tidak bisa diperiksa dan di visum. hal ini karena

kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hukum mengakibatkan polisi sulit

untuk menyelesaikan kasus tindak pidana pencabulan terhadap anak ini dan

membuat pelaku tidak dapat menjalankan tanggungjawabnya dan tidak

mengalami efek jera bagi tersangka pelaku pencabulan.

4) Korban dan keluaraga korban memcabut laporan

pihak korban dan keluarga korban diajakan damai, sehingga Pihak

korban maupun keluarga korban mencabut tuntutan kepada pihak kepolisian

dan mengurus permasalahan tersebut secara kekeluargaan. Berdasarkan

wawancara korban dengan orang tua korban AJ mengatakan bahwa proses

penyelesaian kasus yang cukup lama membuat kami malas berhubungan dengan

hukum dan orang tua korban merasa mengalami korban yang berulangkali

karena karena harus membuang waktu dan tenaga tetapi kami tidak mendapat

jaminan apapun untuk masa depan korban. Sementara pelaku pelaku selalu

mempertimbangkan untuk segala hal sementara korban tidak memberikan

76
jaminan apapun selama proses peradilan. Menurut peneliti korban dan keluarga

korban memilih menyelesaikan kasus secara kekeluarga karena korban merasa

perlakuan yang buruk (senonoh) oleh aparat penegak hukum dan korban merasa

tidak memperoleh perhatian dalam proses peradilan sehingga korban merasa

rugi yang berulangkali (viktimisasi). Proses peradilan pidana juga dinilai

kurang memperhatikan hak korban pencabulan, penegak hukum lebih fokus

menjerat pelaku ketimbang memperhatikan kebutuhan apa yang dibutuh oleh

korban selama proses peradilan. Penegak hukum merasa dengan pelaku

mempertanggungjawab perbuatan adalah bentuk perlindungan hukum hukum

bagi korban. Menurut peneliti pelaku dipenjara itu adalah bentuk

tanggungjawab pelaku atas tindakam melawan hukum sementara mengenai

jaminan korban adalah proses yang berbeda dan harus diperhatikan setiap proses

peradilan.

5) jarak atau lokasi korban jauh dari Wilayah Hukum Kepolisian Resort

Mangggarai Barat. Jarak juga merupakan salah satu kendala dalam proses

perlindungan hukum terhadap anak korban pencabulan di manggarai barat

proses penyelesaian kasus membutuhkan waktu lama .

6) faktor lingkungan dan masyarakat

Respon dari lingkungan tempat tinggal respon lingkungan terdekat dan

masyarakat luas menanggapi anak yang menjadi korban pencabulan adalah

yang ternodai, buruk, mempermalukan keluarga, pembawa sial atau tidak punya

masa depan sehingga anak juga akan memperoleh dan mengembangkan

gambaran negatif tentang dirinya. Menurut peneliti faktor yang mempengaruhi

respon negatif dan perlakuan diskriminatif terhadap korban pelecehan seksual

77
karena lingkungan belum bisa memberikan rasa empati, melindungi,kasih

sayang, kepedulian seperti itu terhadap korban kekerasan seksual karena salah

satunya adalah faktor budaya patriarki.budaya patriarki adalah budaya yang

menempatkan laki-laki sebagai penguasa yang dominan sehingga

menimbulkankan dampak negatif yang berpengaruh terhadap ketidaksetraaan

gender. Maka hal sangat dibutuhan penyuluhan hukum ditengah masyarakat

tentang Undang-Undang Perlindungan Anak mengingat minim pengetahuan

masyarakat umum tentang hukum, dengan melakukan penyuluhan ini mungkin

dapat membantu masyarakat untuk lebih memperhatikan dan membantu korban

korban pencabulan anak untuk kembali kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan wawancara peneliti dengan Ibu Putu Yulia tanggal 12 Agustus

2022 Penyidik Kepolisian Resort Manggarai Barat dalam mengatasi kendala yang

dihadapi pada saat melaksanakan perlindunagan hukum terhadap anak korban

pencabulan yakni dengan melaksanakn upaya-upaya yang diperlukan untuk

menyelesaikan dan mengatasi kendala tersebut. Berikut ini adalah upaya aparat

penegak hukum (kepolisian) dalam mengatasi kendala pelaksanaan perlindungan

hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana pencabulan.

1. Upaya yang pertama, adalah pihak penyidik melakukan langkah kerja sama

dengan jajaran Kepolisian dari berbagai daerah dari polda manggarai untuk

mencari keberadaan dan mengamankan si pelaku. Dan Pentingnya melakukan

sosialisasi dengan masyarakat supaya masyarakat dapat memahami hukum dan

juga bekerja sama dalam pihak kepolisian dalam menemukan pelaku. Hal ini salah

satu bentuk perlindungan hukum dengan adanya sosialisasi mengenai perbuatan

asusila. Sosialisasi ini dalam rangka penyadaran hukum bagi masyarakat serta

78
meminimalisirkan kasus perbuatan asusila yang cukup tinggi di Wilayah Hukum

Kepolisian Resort Manggarai Barat.

2. Dalam pelaksanaan pengungkapan tindak pidana pencabulan yang mengalami

trauma dengan Upaya pendampingan terhadap anak sebagai korban tindak pidana

pencabulan oleh orangtua, pendamping dari pekerja sosial atau orang yang

dipercaya oleh korban sangat membantu seorang anak dalam masa pemulihan dan

membantu selama poses penyidikan berlangsung agar tidak menimbulkan rasa

takut pada korban.

3. Upaya pengajuan penambahan jumlah personel penyidik, pihak penyidik dalam

mengungkapkan tindak pidana kekerasan seksual (pencabulan) pada anak

melakukan upaya pengajuan jumlah personil penyidik sehingga pelaku dan korban

beserta keluarga yang ingin melakukan pengaduan tidak menunggu terlalu lama

untuk memproses pengaduan dari tindak pidana kekerasan seksual pada anak dan

melakukan upaya pengajuan perbaikan sarana dan persarana berupa ruagan

mediasi, ruang istrahat untuk anak dan untuk ibu yang menyusui,

memaksimalkan penyidik anak.

4. Menurut penyidik PPA Kepolisian Resort Manggarai Barat , peran orangtuan,

sekolah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mencegah tindak pidana

pencabulan pada anak secara terus menerus. Peran yang diberikan dapat

penyembuhan trauma pada anak baik secara fisik maupun secara psikis dapat

membantu selama proses penyidikan berlangsung. Orangtua harus lebih berhati-

hati atau lebih waspada dalam menjaga anak –anaknya dari lingkungan atau

pergaulan yang tidak baik.

79
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut

1. Perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana pencabulan selama

proses penyidikan di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Manggarai Barat,

bentuk-bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Kepolisian Resort

Manggarai Barat terhadap anak korban pencabulan berupa:

a. merahasiskan identitas korban

b. penyidikan dengan suasana kekeluargaan

c. perawatan atau visum terhadap korban

d. menyediakan penerjemahan bagi korban yang kurang lancar dalam berbahasa

Indonesia

e. mendapatkan pedamping disetiap proses peradilan

f. menyediakan rumah aman(shelter)

g. memberikan bantuan psikosial terhadap korban pencabulan

h. memberikan informasi mengeni perkembangan kasus secara bertahap

80
i. korban mendapatkan informasi megenai hak-hak korban kewajban serta

kewajiban korban dan keluarga korban

2. Hambatan-hambatan yang dihadapi selama proses penyidikan terhadap anak

korban pencabulan di Wilayah Hukum Kepolisian Resert Manggarai Barat.

kendala-kendala yang dihadapi oleh pihak kepolisian dikarenakan :

a. pelaku melarikan diri

b. kurannya personil penyidik

c. saranan dan prasarana yang tidak mendukung dan kurang memadai,

d. terkadang korban atau keluarga korban tidak memilik identitas seperti akta

kelahiran dan kartu keluarga

e. korban tidak dapat memberian keterangan yang konsisten dan tepat

f. pihak korban maupun keluarga korban tidak mau melaporkan tindak pidana

pencabulan Kekepolisian

g. korban dan pihak pelaku damai dan kasus diselesaiakn secara kekeluargaan

h. jarak atau lokasi korban jauh dari Kepolisian Resort Manggarai Barat.

81
4.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang dapat peneliti kemukakan adalah

disini adalah sebagai berikut:

1. Untuk pihak Kepolisian Resort Manggarai Barat atau penegak hukum untuk

lebih memperhatikan hak-hak dan kebutuhan korban maupun keluarga korban

selama proses peradilan.

2. Untuk pihak Kepolisian Untuk lebih memperhatikan korban mengenai upaya

rehabiltas dan upaya psikologis bagi korban kejahatan seksual

3. Untuk pihak kepolisian untuk menyediakan sarana dan prasarana seperti

ruangkan khusus terhadap para korban untuk melakukan visum dan ruangan

khusus lainya untuk korban anak sesuai usianya.

82
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Ache sudiarti luhulima. 2000, pemahaman bentuk-bentuk tindak pidanakekerasan terhadap


anak perempuan kerja, convention watch kajuan wanita dan jender. Jakarta
unuversitas Indonesia

Arlima, Laurensius.s.2015. Komnas HAM Dan Perlindungan Anak Pelaku Tindak pidana
Anak.

Chazawi , Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).

Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma Dan Realita, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).

Dwi ,Ismantoro Yuwono 2015.Tentang Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan


Seksual Terhadap Anak.Yogyakarta: Medpress Digitar.

Gultom Maidin, 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sisitem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia.

Huda ,Chairul, 2011, “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan ‘ Menunju kepada’ Tiada
Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan”’:Tinjauan Kritis Terhadap Teori
Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.

Marpauang Leden. 2004. Kejahatan terhadap kesusilaan. Jakarta: PT ptsinar grafinda

Miramis, Frans. 2012. Hukum Pidana Umum Dan Tertulis Di Indonesia. Jakarta : PT.
Ralagrafindo Perseda.

Mohamad joni dan zulchaina z tanamas. 1999. Aspek hukum perlindungan anak dalam
perspektif konvesi hak anak. Bandung: citra aditya bakti.

Prodjodikoro, Wirjono, 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia.

Prokoso, Djoko. 1998. Hukum Penitesier di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Soedarto, 1990. Hukum Pidana 1, ( Semarang: Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum


Universitas Diponegoro).

Sulistyanta Dan Maya Hehanusa. 2016. Kriminilogi Dalam Teori Dan Solusi Penanganan
Kejahatan. Kupang: CV.Absolute Media.

Sunarso siswanto. 2014. Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana.Jakarta: Sinar Grafika.

Wuluyo Bambang.2012. Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban. Jakrata: Sinar


Grafika.

83
Y.A. Triana Ohoiwutun,2017. Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi dan Depedensi Hukum
pada Ilmu Kedokteran).

B. JURNAL

Aloysius, Sukadan, Pedoman Skripsi, 2015.

Trisna Dinda M, “dkk”, ” Jurnal Cahaya Keadilan”,Analisis yuridis Terhadap Tindak


Pidana Pencabulan Anak Dibawah Umur Berdasarkan Undang-Undang N0mor 35 Tahun
2014 Tentang Perlindungan Anak).

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun


2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan
Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Dasar Negara Kasatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan


Pidana Anak

Undang Nomor 31 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Naskah Akademis Ruu Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

84

Anda mungkin juga menyukai