Anda di halaman 1dari 44

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP VONIS BEBAS DI

PENGEDILAN NEGERI MEDAN DALAM PERKARA TINDAK


PIDANA NARKOTIKA TIDAK DAPAT
MEMENUHI UNSUR PIDANA
(Studi Putusan Nomor 2794/Pid.Sus/2021/PN Mdn)

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

MARTUA PANGGABEAN
181010250081

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN
2022
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................................... i

HALAMAN DAFTAR ISI.......................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................ 8
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 9
E. Kerangka Teori ....................................................................................... 9
F. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 15
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG ANALISIS PUTUSAN DALAM


VONIS BEBAS TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA
NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR 2794/PID.SUS/2021/PN
MDN)
A. Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam Sudut Pandang Teoritis ..... 19
B. Eksistensi Kekuasaan Kehakiman dalam Memutus Perkara di
Indonesia.......................................................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ..................................................................................... 36
B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................... 37
C. Sumber dan Jenis Data ......................................................................... 37
D. Lokasi Penelitian .................................................................................. 39
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 39
F. Teknik Analisis Data ............................................................................ 39
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kejahatan dan hukum merupakan kontruksi manusia (human contuction).

Tidak ada kejahatan jika tidak dilakukan dan diciptakan oleh manusia. Demikian

dengan hukum. tidak ada hukum tanpa perbuatan manusia untuk meniadakan

kejahatan. Oleh sebab itu kejahatan, individu pelaku kejahatan dan hukum merupakan

rangkaian yang tidak dapat dipisahkan, dalam rangka mempelajari gejala kejahatan

seluas-luasnya yang disebut dengan ilmu kriminologi. Pemecahan masalah kejahatan

perlu diketahui faktor penyebab dari kejahatan tersebut, setelah mempelajari faktor

penyebab kejahatan akan dijumpai akibat dari perbuatan kejahatan pada manusia baik

secara individu maupun masyarakat. Kerugian yang dialami korban selanjutnya

setelah diketahui maka perlu ditetapkan pola penangulangan terhadap kejahatan

tersebut. baik penanganan individu pelaku, penetapan pasal tindak pidana. proses

hukum acara pidana (peradilan mulai dari proses penyidikan, penuntutan dan

peradilan) dan penetapan sanksi atau hukuman (pemidanaan).

Hukum pidana memusatkan perhatianya terhadap pembuktian suatu

kejahatan sedangkan kriminologi memusatkan perhatian terhadap faktor-faktor

penyebabnya terjadinya kejahatan.1

1
Emilia Susanti & Eko Rahardjo, Hukum dan Kriminologi, Penerbit Aura CV. Anugrah
Utania Raharja, Bandar Lampung, 2018, Hlm. 13

1
2

Menurut Pasal 28H (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, “Setiap orang

berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan”. Rakyat Indonesia tentunya berhak untuk mendapatkan tinggal dan

mendapatkan lingkungan yang tidak terdapat narkotika. Sebagaimana kita ketahui,

narkotika dapat membuat kecanduan dan merusak tubuh serta merusak kehidupan

seorang manusia. Kehidupan manusia harus bersih dan bebas dari hal-hal yang

membuat kesehatan terganggu.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur,

mengawasi dan menindak peredaran dan penyalahgunaan Narkotika. Narkotika tidak

saja membuat manusia kecanduan, akan tetapi dapat mengakibatkan meninggalnya

seseorang dengan cepat dan tidak wajar. Manusia sangat memerlukan tempat yang

bersih dalam lingkungannya dan tubuhnya sehat agar dapat melangsungkan

kehidupannya. Penyalahgunaan narkotika sudah disebut sebagai kejahatan terhadap

kemanusiaan. Narkotika tentunya menjadi musuh bangsa kita dalam hal mencetak

generasi penerus bangsa yang sehat dan bebas dari narkotika.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman, baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri,

serta menimbulkan ketergantungan. Penggunaan narkotika sering dikaitkan dengan

kejahatan, baik narkoba dianggap memiliki pengaruh negatif dan menyebabkan


3

penggunanya melakukan kejahatan.2 Sebagai kejahatan narkotika yang sudah sejak

lama menjadi musuh bangsa, kini narkotika sudah sangat mengkhawatirkan bangsa

kita dan seluruh bangsa di dunia saat ini. Produksi dan peredaran narkotika begitu

masif beredar di tengah-tengah masyarakat kita.

Hal lain yang cukup mengesankan dalam perkembangan masalah narkotika

dunia adalah upaya untuk meningkatkan penanggulangan masalah narkotika bukan

hanya pada sisi ketersediaan (supply), tetapi juga dari sisi permintaan (demand).3

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu “Narkotika

hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Akan tetapi banyak masyarakat di

dunia terutama di Indonesia disalahgunakan pemakaiannya. Masyarakat sering

menggunakan narkotika dengan dosis yang besar sehingga dapat memabukkan dan

ketagihan. Oleh sebab itu, kejahatan narkotika dijadikan ajang bisnis yang

menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya

mental baik fisik maupun psikis pemakai narkotika khususnya generasi muda.

Penyalahgunaan narkotika sudah di lakukan oleh semua elemen masyarakat. Dari

pejabat penegak hukum, pejabat politik, pejabat swasta, mahasiswa, anak-anak.

Narkotika ini memang sangat diperlukan atau dibutuhkan dalam bidang

pengobatan, kesehatan dan kedokteran serta pengembangan ilmu pengetahuan, akan

2
Anton Sudanto, Penerapatan Hukum Pidana Narkotika di Indoensia, Fakutas Hukum
Unverista 17 Agustus 1945, Jurnal Hukum Vol. 7 No. 1, Hlm. 139
3
BNN Portal, Kejahatan Transnasional, Masalah Narkoba, dan Diplomasi Indonesia,
http://bnn.narkotika.htm, diakses tanggal 26 Maret 2022.
4

tetapi bila disalahgunakan, akan dapat menimbulkan persoalan/masalah yang besar

bagi bangsa dan negara Indonesia dimasa yang akan datang, seperti masalah

kesehatan, ekonomi, nilai-nilai agama (etika dan moral), nilai-nilai sosial budaya,

keamanan dan pertahanan serta kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia.

Sebagaimana telah disinggung pada halaman sebelumnya, bahwa perkembangan

peredaran gelap, penyalahugnaan dan kejahatan narkotika di Indonesia, telah

dirasakan mulai dari sekitar tahun 1970an, baik secara kuantitas maupun kualitas

semakin meningkat yang telah begitu banyak menimbulkan kerugian dan korban

(baik materiil maupun immateriil).

Didalam Pasal 109 dan 110 UU No. 35/2009 pemerintah memberikan

penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya

pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap dan prekursor

narkotika, yang disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam

penjelasan pasal, ketentuan ini menegaskan bahwa dalam pemberian penghargaan

harus tetap memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap yang diberi

penghargaaan. Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam, tanda jasa, premi

dan/atau bentuk penghargaan lainnya. Pertimbangan pembentuk undang-undang ini

memang dapat dimaklumi dan diterima secara logika atau rasionil, bahwa mereka-

mereka yang telah berhasil melaporkan, mengungkap atau memberikan petunjuk akan

atau telah terjadinya transaksi narkotika kepada aparat penegak hukum, memang

seharusnya diberikan jaminan dan perlindungan terhadap keselamatan aktivitas


5

hidupnya, jiwa atau harta benda pribadi dan keluarganya baik sebelum, selama dan

sesudah proses pemeriksaan.

Oleh karenanya mereka (pengguna, pecandu atau pengedar atau bandar)

tidak menutup kemungkinan akan melakukan perbuatan-perbuatan balas dendam

terhadap pelapor/pemberi informasi, yang menyebabkan mereka ditangkap dan

dituntut oleh aparat penegak hukum Disamping itu, para tokoh agama, tokoh adat,

tokoh masyarakat lainnya, termasuk pemegang jabatan, baik dinas maupun adat dapat

melakukan upaya-upaya yang :

1. Community Approach, yaitu suatu pendekatan yang bertitik tolak dari


asumsi, bahwa pecandu narkotika mengembangkan ketergantungannya
didalam lingkungannya sendiri. Oleh karena itu, pembinaan dan
bimbingan harus dipusatkan bukan pada pemindahan si pecandu dari
kondisi yang menggiring kearah itu, tetapi lebih mengusahakan untuk
menimbulkan kemampuan untuk menghindar dari hal-hal tersebut,
seperti:
a. Pemuka-pemuka masyarakat harus memiliki sufat tanggap terhadap
orang-orang yang keluar masuk daerah/wilayahnya.
b. Mengakui eksistensi/keberadaan para generasi mudanya, sehingga
harus dilibatkan dalam segala kegiatan yang diadakan oleh masyarakat
itu sendiri.
c. Mengawasi dan ikut terlibat dalam segala urusan yang diadakan oleh
warga masyarakatnya (khususnya kegiatan generasi muda) yang
diselenggarakan, baik dalam daerahnya maupun diluar daerahnya.
d. Membantu dan melayani para generasi muda didaerahnya yang
mengalami saat-saat krisis jasmani dan rohani dalam hidupnya.

2. Treatmen with religious stress atau perlakuan yang menekankan untuk


taat kepada ajaran-ajaran agama, yaitu suatu pendekatan yang dilandasi
oleh motifasi agama, misalnya :
6

a. Mengadakan pembinaan dan bimbingan kearah kesadaran beragama.


b. Membentuk kelompok-kelompok pengajian dan pembacaan kitab-
kitab suci keagamaan, yang pada dasarnya memuji dan memuja akan
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.
c. Membuat program untuk mengadakan perlombaan pembacaan kitab-
kitab suci keagamaan.
d. Mengundang atau mendatangkan pengkhotbah, penutur/penuntun atau
penceramah dari tokoh-tokoh keagamaan dalam membentuk sifat,
watak atau prilaku yang sesuai dengan etika, moral, agama, adat dan
hukum yang berlaku.

3. Pendekatan yang bersifat persuasif yaitu suatu pendekatan yang bersifat


untuk menumbuhkan keyakinan masyarakatnya terhadap akibat dan
bahaya penyalahgunaan narkotika, misalnya :
a. Membentuk kelompok-kelompok kesenian rakyat, karena melalui hal
ini terasa lebih akrab dan lebih diresapi/dihayati serta mudah
menembus hati nurani/perasaan, untuk menyampaikan akibat dan
bahaya narkotika itu;
b. Mengundang pihak-pihak yang berwenang dan terkait kedaerahnya
untuk memberikan ceramah atau penerangan/penyuluhan kepada
warganya tentang akibat dan bahaya penyalahgunaan narkotika;
c. Menyediakan atau membuat fasilitas-fasilitas atau saranasarana positif
yang dapat menunjang kegiatan-kegiatan warganya, terutama para
generasi mudanya.

Menurut Oemar Seno Adji4: “Suatu pengadilan yang bebas dan tidak

dipengaruhi merupakan syarat yang indispensable bagi negara hukum. Bebas berarti

tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif dan legislatif

dalam menjalankan fungsi judiciary. Ia tidak berarti bahwa ia berhak untuk

bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, ia “subordinated”,

terikat pada hukum.” Ide dasar yang berkembang secara universal perlunya suatu

peradilan yang bebas dan tidak memihak, "freedom and impartial judiciary" yang

4
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta. 1987 Hlm. 46
7

menghendaki terwujudnya peradilan yang bebas dari segala sikap dan tindakan

maupun bentuk multiintervensi merupakan nilai gagasan yang bersifat “universal”.

"Freedom and impartial judiciary" merupakan karakteristik dan persyaratan utama

bagi negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon maupun eropa kontinental

yang menyadari keberpihakan pada penegakan pinsip rule of law.

Ada tiga ciri khusus negara hukum Indonesia yang digariskan oleh ilmu

hukum melalui prinsip-prinsip Rule of Law, yaitu:5

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung


pengertian perlakuan yang sama di bidang politik, hukum, sosial,
ekonomi, budaya, dan pendidikan;
2. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya; dan
3. Peradilan yang bebas, tidak bersifat memihak, bebas dari segala pengaruh
kekuasaan lain.

Prinsip kebebasan hakim, oleh sebagian hakim dipahami sebagai suatu

kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batas, sehingga makna kebebasan dipahami

sebagai kesewenang-wenangan6, sehingga orang dikatakan bebas, kalau dapat berbuat

atau tidak berbuat sesuka hatinya. Disini bebas dipahami juga sebagai terlepas dari

segala kewajiban dan keterikatan, termasuk keterikatan dari perbudakan nafsu. Secara

paralel, kebebasan hakim dapat dipahami sebagai kebebasan yang terlepas dari segala

kewajiban dan keterikatan dengan seseorang atau apa pun (termasuk nafsu) yang

5
Ibid., Hlm 6
6
Soejadi, Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di Indonesia, Pidato
pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2003.
8

dapat membuat hakim tidak leluasa. Ukurannya adalah kebenaran, dan kebaikan yang

dipancarkan oleh nurani.

Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka penulis

menarik kesimpulan untuk melakukan penelitian mengenai “Analisis Putusan

Hakim Terhadap Vonis Bebas Di Pengedilan Negeri Medan Dalam Perkara

Tindak Pidana Narkotika Tidak Dapat Memenuhi Unsur Pidana (Studi Putusan

Nomor 2794/Pid.Sus/2021/Pn Mdn)”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal-hal yang telah menjadi permasalahan dari latar belakang

masalah di atas, akhirnya penulis mencoba mengidentifikasi permasalahan tersebut.

Kemudian lahirlah pertanyaan-pertanyaan yang penulis akan kemukakan dalam

perumusan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Hakim dalam memutus Perkara Narkotika dengan


Putusan Nomor 2794/Pid.Sus/2021/Pn Mdn?
2. Bagaimanakah Putusan Nomor 2794/Pid.Sus/2021/Pn Mdn di putus
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku?

C. TUJUAN PENELITIAN

Sebuah penelitian yang akan dituangkan menjadi proposal skripsi ini

memiliki beberapa tujuan yang terdiri dari :

a. Untuk mengetahui dan menganalisa putusan hakim Nomor


2794/Pid.Sus/2021/Pn Mdn yang telah dinyatakan putus bebas dalam
tindak pidana narkotika.
b. Untuk mengtahui dan menganalisa Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika
9

Diharapkan dari hasil penelitian ini memiliki beberapa manfaat yang sangat

prinsipil kepada masyarakat Indonesia terkait dengan Kedaulatan Rakyat yang

terletak di tangan Rakyat yang harus dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat :

D. MANFAAT PENELITIAN

Dalam penelitian ini penulis menjelaskan manfaat penelitian menjadi 2

(dua) bagian yaitu sebagai berikut:

1. Secara Teoritis
Untuk menambah pengetahuan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan hukum khususnya dalam bidang hukum pidana terkait
dengan bahaya narkoba dikalangan masyarakat.
2. Secara Praktis
1) Menambah wawasan dan memberikan sumbangsih pemikiran
tentang Kedaulatan Rakyat.
2) Sebagai bahan referensi akademik bagi proses pengembangan studi
hukum.
3) Memberikan informasi baru mengenai Kedaulatan Rakyat sebelum
pra repormasi.
4) Untuk menambah referensi bacaan diperpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Pamulang.
5) Sebagai salah satu syarat untuk menjadikan gelar Strata Satu
Fakultas Hukum di Universitas Pamulang.

E. KERANGKA TEORI

Narkotika adalah merupakan zat atau bahan aktif yang bekerja pada system

saraf pusat (otak), yang dapat menyebabkan penurunan sampai hilangnhya kesadaran

dari rasa sakit dan (nyeri) serta dapat menimbulkan ketergantungan atau ketagihan.7

7
Edy Karsono, Meengenal kecanduan Narkoba dan Minuman Keras, Yrama Widya,
Bandung 2004, Hlm.11.
10

Secara eytimologis, narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Narkan” yang

memiliki arti kaku (kejang), sedangkan dari termilogi medis dikenal dengan istilah

“Narkose” yang memiliki arti dibiuskan, terutama dilakukan pada saat akan

dilaksanakannya suatu pembedahan (operasi). Kemudian arti ini pula yang terdapat

dalam istilah latin yakni “Narkotikum” (obat bius) yang artinya kemudian semakin

meluas sehingga sama dengan kata “Drugs” dalam bahasa inggris.

Secara terminologi, beberapa pengertian yang terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai berikut:

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam
undang-undang ini;

2. Prekursor narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang
dapat digunakan dalam pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel
sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini;

3. Produksi adalah kegiatan atau proses meyiapkan, mengolah, membuat, dan


menghasilkan narkotika secara langsung atau tidak langsung melalui
ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintesis kimia atau
gabunganya, termasuk mengemas dan atau mengubah bentuk narkotika;

4. Impor adalah kegiatan memasukan narkotika dan prekursor narkotika ke


dalam daerah pabean;

5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dan prekursor narkotika


dari daerah pabean;

6. Peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika adalah setiap kegiatan


atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan
hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika;
11

7. Pemufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang


bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu,
turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi
konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan narkotika atau
mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika;

8. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan, atau


penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan
jaringan komunikasi, yang dilakukan melalui telepon dan atau alat
komunikasi elektronik lainya;

9. Kejahatan terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu


kelompok yang terstruktur yang terdiri atas tiga otang atau lebih yang telah
ada untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan
melakukan suatu tindak pidana;

10. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan,
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Semua zat yang termasuk golongan narkotika dapat menimbulkan ketagihan,

yang dalam bahasa kedokteran disebutkan sebagai adiksi. Ketagihan yang terus

menerus dan tidak dapat ditanggulangi lagi mengajibatkan ketergantungan

(dependensi).8

Dadang Hawari menerangkan bahwa ketergantungan adalah kondisi yang

kebanyakan diakibatkan oleh penyalahgunaan zat, yang disertai dengan sifat-sifat

sebagai berikut:9

1) Keinginan yang tak tertahankan (an over-powering desire) terhadap zat


yang dimaksud, dan kalau perlu dengan jalan apapun untuk
memperolehnya;

8
Y.P. Joko Suytono, Masalah narkotika dan bahan sejenisnya, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, 1980, Hlm. 29.
9
Dadang Hawari, penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (Narkotika, alkohol dan zat
adiktif). Gaya baru , Jakarta, 2003. Hlm. 5
12

2) Kecenderungan untuk menambah takaran (dosis) sesuai dengan toleransi


tubuh;

3) Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan


menimbulkan gejala-gejala kejiwaan seperti gelisah, cemas, depresi dan
sejenisnya;

4) Ketergantungan fisik, yaitu apabila pemakaian zat dihentikan akan


menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat
(withdrawalsymptoms).

1. Teori Kepastian Hukum


Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.

Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan

adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai

wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat

menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa

dijawab secara normatif, bukan sosiologi.10

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah

pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan

menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma

adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi

aturanaturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku

dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun

dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi

masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.

10
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 59.
13

Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian

hukum.11

Kepastian hukum menurut Jan Michiel Otto mendefenisikan sebagai

kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu :

1) Tersedia aturan -aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh,
diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) nagara;
2) Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-aturan
tersebut;
4) Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpikir menerapkan
aturanaturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan
sengketa hukum;
5) Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.

Menurut Sudikno Mertukusumo,12 kepastian hukum merupakan sebuah

jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian

hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan

yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu

memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum

berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

2. Teori Relatif

Teori ini menyebutkan, dasar suatu pemidanaan adalah pertahanan tata tertib

masyarakat. Oleh karena itu, maka yang menjadi tujuan pemidanaan adalah

menghindarkan atau mencegah (prevensi) agar kejahatan itu tidak terulang lagi.

11
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, Hlm.158
12
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Pt. Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm. 3.
14

Jadi, pidana dijatuhkan bukan semata-mata karena telah dilakukannya kejahatan,

melainkan harus dipersoalkan pula manfaat suatu pidana dimasa depan, baik bagi

si penjahat maupun masyarakat.

3. Teori Hukum Pidana


Teori pemidanaan dapat digolongkan dala tiga golongan pokok yaitu
golongan teori pembalasan, golonngan teori tujuan, dan golongan teori gabungan.
1) Teori Pembalasan
Teori pembalasan atau juga bisa disebut dengan teori absolut adalah dasar
hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu
menimbulkan penderitaan bagi orang lain maka sipelaku kejahatan
pembalasannya adalah harus diberikan penderitaan juga.13 Teori pembalasan
ini menyetujui pemidanaan karna seseorang telah berbuat tindak pidana.
Pencetus teori ini adalah Imanuel Kant yang mengatakan “Fiat justitia ruat
coelum” yang maksudnya walaupun besok dunia akan kiamat namun penjahat
terakhir harus tetap menjalakan pidananya. Kant mendasarkan teori ini
berdasarkan prinsip moral dan etika. Pencetus lain adalah Hegel yang
mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan
kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan keadilan. Karena itu,
menurutnya penjahat harus dilenyapkan. Sedangkan menurut Thomas Aquinas
pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan karena itu harus dilakukan pembalasan
kepada penjahat.14

2) Teori Tujuan
Teori Tujuan Berdasarkan teori ini, pemidanaan dilaksanakan untuk
memberikan maksud dan tujuan suatu pemidanaan, yakni memperbaiki
ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat perbuatan kejahatan tersebut. Dalam

13
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2012. Hlm.
105
14
Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011, Hlm.142
15

hal ini teori ini juga dapat diartikan sebagai pencegahan terjadinya kejaatan
dan sebagai perlindungan terhadap masyarakat. Penganjur teori ini yaitu Paul
Anselm van Feurbach yang mengemukakan “hanya dengan mengadakan
ancaman pidana pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan
pemjatuhan pidana kepada si penjahat”.15

3) Teori Gabungan
Teori gabungan ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut dan teori relatif
yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan. Aliran ini didasarkan pada
tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat secara
terpadu.16

F. ORISINALITAS PENELITIAN

Orisinalitas penelitian menyajikan persamaan dan perbedaan bidang kajian

yang diteliti antara penulis dengen penulis-penulis sebelumnya. Hal tesebut, untuk

menghindari adanya pengulangan kajian terhadap hal-hal yang sama. Dengan

demikian, akan diketahui sisi-sisi apa saja yang membedakan dan akan diketahui pula

letak persamaan antara penelitian penulis dengan penelitian-penelitian terdahulu.

Dalam hal ini, akan lebih mudah dipahami, jika penulis menyajikannya dalam bentuk

paparan yang bersifat uraian. Oleh karenanya, penulis memaparkannya dalam bentuk

uraian sebagai berikut:

1. Adimas Bagus Mahendra, Judul Penelitian Skripsi, Penyalahgunaan Narkotika


Oleh Anak Dalam Prespektif Kriminologi, Fakulas Hukum, Universitas
Muhammadiyah Magelang, Tahun Penerlitian 2020. Sehingga Persamaan

15
Dalam Erdianto Efendi, Op.cit, Hlm. 142
16
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar
Grafika, Jakarta, 2007, Hlm. 19.
16

penelitian Penulis mengunakan Analisis Kualitatif terkait dengan Undang-Undang


Narkotika tidak mengatur secara khusus tentang sanksi bagi anak syang terlibat
penyalahgunaan narkotika melainkan mengatur sanksi bagi anak sebagai korban
dalam suatu tindak pidana narkotika. Sehingga Perbedaan dari penelitian Penulis
ialah Dalam penegakan hukum kasus anak, wajib diupayakan untuk adanya
diversi, begitu pula dalam kasus narkotika oleh anak. Namun, jika dalam kasus
tersebut tidak memenuhi syarat diversi yaitu ancaman pidana kurang dari 7 tahun
dan bukan pengulangan tindak pidana, maka proses hukum tetap dilanjutkan
hingga ke pengadilan.

2. Meylani Putri Utami, Judul Penelitian Skripsi, Tinjauan Yuridis Terhadap


Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Makassar
No: 516/Pid.Sus/2015/PN.Mks), Fakultas Hukum, Hasanuddin Makasar, Tahun
Penelitian 2016 sehingga persamaan penelitian penulis mengunakan Analisis
Kualitatif terkait dengan Tindak pidana narkotika yang dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan sanksi pidana yang
cukup berat sehingga perbedaan dari Penelitian Penulis ialah penerapan hukum
pidana materiil didalam kasus ini sudah tepat. Kenapa diterapkan Pasal 127 ayat
(1) huruf a UU No. 35 Tahun 2009 itu karena terdakwa terbukti mengkonsusmsi,
dan dari hasil tes urine terdakwa ICAL SETIAWAN positif sebagai pengguna
sedangkan Pasal 112 ayat (1) Jo Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 itu
memiliki, 73 menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I
tanpa di konsumsi dan hasil tes urine negatif.

3. Jemmy Anantha Caniago, Jurnal Penelitian Skripsi, Tinjauan Yuridis Pelaku


Tindak Pidana Narkotika Golongan 1 (Satu) Jenis Sabu-Sabu Menurut
Undangundang Ri Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Yang Memutus
Bersalah Terdakwa (Satu) 1 Tahun 6 Bulan Penjara (Studi Kasus : Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 792/Pid.Sus/2017), Fakultas Hukum, Universitas 17
17

Agustus 1945 Banyuwangi, Tahun Penelitian 2020, sehingga persamaan


penelitian penulis mengunakan Analisis Kualitatif terkait dengan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 ini tidak lagi berpatokan kepada penjatuhan hukuman
kepada setiap penyalahgunaan narkotika yang ternyata selama ini dirasakan
kurang efektif untuk memberantas atau mengurangi kejahatan narkotika, sehingga
perbedaan dari Penelitian Penulis ialah Penerapan Hukum Pidana Materiil oleh
Hakim terhadap tindak pidana Penyalahgunaan Narkotika Golongan I bagi diri
sendiri dalam Putusan Perkara Nomor 792 K/Pid.Sus/2017 sudah tepat. Bahwa
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sesuai dengan bunyi
pasal 127 ayat (1) huruf A Undang-Undang RI No 335 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Agar pembaca lebih mudah dalam memahami Propsal Skripsi ini, maka

penulis membuat suatu sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : Pendahulan
Dalam bab ini berisi tentang Latar Belakang
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Orisinalitas
Penelitian dan Sistematika Penelitian.

BAB II : Tinjauan Pustaka Tentang Analisis Putusan


dalam Vonis Bebas Terhadap Perkara Tindak
Pidana Narkotika
Dalam bab ini beisikan tentang Teori Kepastian
Hukum, Teori Relatif dan Teori Pemidanaan serta
Konsep-Konsep yang berkaitan dengan Putusan
Hakim terhadap Vonis Bebas dalam Tindak Pidana
Narkotika di Pengadilan Negeri Medan.
18

BAB III : Metode Penelitian


Dalam bab ini penulis akan membahas tentang Jenis
Penelitian, Spesifikasi Penelitian, Sumber dan Jenis
Data, Lokasi Penelitian, Metode Pengumpulan Data
dan Metode Analisis Data.

BAB IV : Analisa Yuridis Dalam Putusan Hakim Terhadap


Vonis Bebas Di Pengedilan Negeri Medan Dalam
Perkara Tindak Pidana Narkotika Tidak Dapat
Memenuhi Unsur Pidana (Studi Putusan Nomor
2794/Pid.Sus/2021/Pn Mdn)
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan
maka pada bab ini diuraikan mengenai Analisis
Putusan Hakim Terhadap Vonis Bebas Di Pengedilan
Negeri Medan Dalam Perkara Tindak Pidana
Narkotika Tidak Dapat Memenuhi Unsur Pidana
(Studi Putusan Nomor 2794/Pid.Sus/2021/Pn Mdn)

BAB V : Penutup
ada bab ini peneliti menyampaikan kesimpulan dari
hasil penelitiannya dan menyampaikan saran-saran
yang berkaitan dengan hal-hal yang diteliti dari hasil
rumusan masalah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG ANALISIS PUTUSAN
DALAM VONIS BEBAS TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA
NARKOTIKA (STUDI PUTUSAN NOMOR 2794/PID.SUS/2021/PN MDN)

A. Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam Sudut Pandang Teoritis

Pengadilan sesungguhnya merupakan suatu institusi dalam masyarakat yang

telah diterima oleh berbagai kalangan masyarakat, tidak hanya sebagai lembaga

hukum yang memeriksa dan mengadili perkara, tetapi juga dapat dipandang sebagai

suatu institusi ekonomi dan politik serta sebagai lambang harapan-harapan

masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan lain-lain. Pengadilan tidak dapat

dipandang hanya sebagai suatu institusi hukum saja sebab sama sekali tidak

tergambarkan secara lengkap.17 Pengadilan nasional di negara berkembang seperti

halnya Indonesia, dianggap identik dengan sistem ekonomi, hukum, budaya dan

politik dari negara-negara tempat pengadilan tersebut berada.18 Pengadilan sebagai

lembaga pelaksana dari kekuasaan kehakiman sebenarnya memiliki fungsi yang

sangat penting, keberadaan lembaga pengadilan merupakan ciri utama dari sebuah

negara hukum.

Sesuai dengan konstitusi, pengadilan dapat berperan baik secara politis,

yuridis maupun sosiologis:

17
Satjipto Rahardjo, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 5 tahun XXXIV, 1994,
Hlm. 447
18
D.M Lew, Julian, Applicable Law in International Commercial Arbitration, Netherlands
Sijthoff and Norhoff, 1978, Hlm. 12

19
20

1. Peran politis merupakan fungsi umum dari setiap lembaga negara. Peran
ini meliputi keterlibatan Mahkamah Agung yang secara sadar membawa
negara ini menuju pada tujuan seperti tercantum dalam konstitusi.19 Peran
Mahkamah Agung tersebut tentu saja harus diikuti oleh lembaga-lembaga
pengadilan di bawahnya;

2. Peran yuridis merupakan fungsi utama dari pengadilan sebagaimana


dikehendaki oleh Pasal 1 Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yaitu untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselengaranya Negara Hukum Republik Indonesia;

3. Peran sosiologis merupakan peran yang tidak kurang pentingnya dalam


menjalankan kehidupan pengadilan, karena peran ini merupakan jiwa
bagi peran-peran lainnya sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 28 ayat (1)
Undang-undang No. 4 tahun 2004 di mana hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
Tujuan diadakannya suatu proses di muka pengadilan adalah untuk

memperoleh putusan hakim.20 Putusan hakim atau lazim disebut juga dengan istilah

putusan pengadilan merupakan sesuatu yang dapat diinginkan atau dinantinantikan

oleh pihak-pihak berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan

sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa

mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka

hadapi.21 Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Adapun yang dimaksud dengan

putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap itu adalah putusan hakim

19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Ctra Aditya Bakti, Bandung, 1991, Hlm. 1
20
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2003, Hlm
48.
21
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Cetakan I, Rineka Cipta,
Jakarta, 2004, hlm 124
21

yang tidak diajukan upaya hukum apapun baik banding, kasasi maupun peninjauan

kembali oleh pihak-pihak yang berperkara dalam tenggang waktu yang ditentukan

oleh peraturan perundang-undangan.

Hakim berwenang menjatuhkan putusan akhir yang mengandung amar,

memerintahkan supaya putusan yang dijatuhkan tersebut, dijalankan atau

dilaksanakan lebih dahulu:

1. Meskipun putusan itu belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap


(res judicita).
2. Bahkan meskipun terhadap putusan itu diajukan perlawanan atau banding
Berdasarkan ketentuan yang digariskan Pasal 180 ayat 1 HIR, Pasal 191
ayat 1 RBg serta Pasal 54 Rv, memberi wewenang kepada hakim
menjatuhkan putusan yang berisi diktum: memerintahkan pelaksaanaan
lebih dahulu putusan, meskipun belum memperoleh kekuatan tetap adalah
bersifat eksepsional.

Penerapan Pasal 180 HIR dimaksud, tidak bersifaf generalisasi, tetapi

bersifat terbatas berdasarkan syarat-syarat yang sangat khusus. Karakter yang

memperbolehkan eksekusi atas putusan yang berisi amar dapat dijalankan lebih

dahulu sekalipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap,

merupakan ciri eksepsional yakni pengecualian yang sangat terbatas berdasarkan

syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.22

Namun dalam hal memutus hakim harus mempunyai keyakianan sehingga

dapat memutus perkara dengan sesuai hati nurani dan Undang-Undang yang berlaku

sehingga penerapan ketentuan Pasal 127 Ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun

22
Ibid, Hlm. 898
22

2009, maka menurut hukum Pengadilan Negeri Medan melalui Majelis yang

memeriksa dan mengadili perkara ini berkewajikan untuk memperhatikan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103 UU Nomor 35 tahun

2009 Tentang Narkotika Jo Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2010

Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu

Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, sedangkan

jika kemudian penyalahguna Narkotika terbukti sebagai korban penyalahgunaan

Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi

sosial.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang N0 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

menyebutkan pengertian Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedahkan

ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada

Pasal 1 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman

baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan

dapat menimbulkan ketergantungan yang dibebakan ke dalam golongan-golongan


23

sebagaimana terlampiran dalam Undang-Undang ini yang kemudian ditetapkan

dengan keputusan Menteri Kesehatan.23

Jenis-jenis Narkotika di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika pada bab III ruang lingkup Pasal 6 ayat (1) berbunyi bahwa

Narkotika digolongkan menjadi:

1. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan


untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
untuk terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan;

2. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan


digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam
terapi/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan

3. Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan


untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
untuk terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan

4. Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan


digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam
terapi/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.24

5. Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan


banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Pada lampiran Undang-Undang No 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika Tambahan Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor

23
Undang-Undang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 dan UndangUndang Psikotropika
Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
24
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 6, Hlm 8.
24

506, yang dimaksud dengan Narkotika golongan I, antara lain sebagai


berikut:
a. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagianbagiannya
termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinnya;
b. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari
buah tanaman Papever Somniferum L yang hanya mengalami
pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa
memperhatikan kadar morfinya.
c. Opium masak terdiri :
a) Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan
peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan;
b) Jicing, sia-sia dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan
apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
Menurut Undang-Undang Narkotika nomor 35 tahun 2009 Pasal 1 ayat 15,

pengertian penyalahgunan Narkotika adalah orang yang mengunakan Narkotika tanpa

hak atau melawan hukum. Pada saat ini banyak sekali kita jumpai penyalahgunaan

Narkotika banyak sekali modus peredaran Narkotika, di samping dapat membawa

kerusakan/gangguan fisik, juga dapat mendatangkan gangguan pada mental atau

rohani dari si pecandu. Seorang yang kecanduan narkoba dapai dipastikan akan

mengalami gangguan mental. Orang yang menjadi pecandu narkotika mempunyai

kepribadian yang labil atau mudah goyah. Mereka yang sudah kecanduan akan sulit

melepastkan diri dari ketergantungan. Tidak menutup kemungkinan pecandu

narkotika akan melakukan apa saja asal keperluannya terhadap narkotika dapat

terpenuhi. Boleh jadi barang-barang miliknya dan milik keluarganya akan digadaikan,

mungkin pula ia mencuri, merampok, merampas, menggarong, membunuh dan

sebagainya. Pendek kata, segala macam tindakan kriminal dapat dilakukan oleh

pecandu narkotika demi terpenuhinya kebutuhan akan narkotika.


25

Masalah penyalahgunaan narkoba terus menjadi permasalahan global,

mewabah hampir semua bangsa di dunia ini, mengakibatkan kematiun jutaan jiwa,

menghancurkan kehidupan keluarga dan mengancam kerukunan, stabilitas da

ketahanan nasional. Di Indonesia, ancaman narkoba dewasa ini sudah sangat serius

dan memprihatinkan dilihat dari jumlah, proporsi penyalahgunaannya, jenis dan

jumlah narkoba yang disalahgunakan dan diedarkan secara gelap. Meningkatnya

penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh tersedianya nurkoba di mana-mana (di

pemukiman, sekolah, kampus, universitas di diwarungwarung kecil, dan lain-lain).

Pada umumnya, apabila di suatu tempat narkoba itu mudah diperoleh, maka

di lingkungan itu akan banyak pula dijumpai korban penyalahgunaannarkoba.

Penggunaan narkoba adalah pemakaiun obat-obatan atau zat-zat berbahaya lain

dengan maksud “bukan" untuk tujuan pengobatan dan/atau penelitian serta digunakan

tanpa mengikuti aturan serta dosis yang benar. Penggunaan narkoba secara terus

menerus dapat mengakibatkan ketergantungan (dependensi) adiksi atau kecanduan

(ketagihan).

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan

yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan

di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara

atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan,

melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian

diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak


26

mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh

hakim.25

Putusan akhir dalam suatu sengketa yang diputuskan oleh hakim yang

memeriksa dalam persidangan umumnya mengandung sangsi berupa hukuman

terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Sanksi

hukuman ini baik dalam Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana

pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar hak tanpa pandang bulu,

hanya saja bedanya dalam Hukum Acara Perdata hukumannya berupa pemenuhan

prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau yang

dimenangkan dalam persidangan pengadilan dalam suatu sengketa sedangkan dalam

Hukum Acara Pidana umumnya hukumannya penjara dan atau denda.26

B. Eksistensi Kekuasaan Kehakiman dalam Memutus Perkara di Indonesia

Penataan terhadap struktur lembaga peradilan dengan seperangkat peraturan

undang-undang selangkah lebih maju, setidak-tidaknya lembaga peradilan telah bebas

dan mandiri tidak lagi bergantung secara financial dan administratif kepada eksekutif.

Dengan kebebasan dan kemandirian ini diharapkan para hakim eksistensinya semakin

percaya diri dan teguh pendirian dalam menjalankan amanah yang dipikulnya tanpa

khawatir terpengaruh dan goyah dari intervensi pihak luar. Namun disayangkan,

kedudukan sebagai lembaga yang bebas dan mandiri ternyata tidak dimanfaatkan

25
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, Hlm 132
26
Sarwono, Op.Cit, Hlm 53
27

secara baik dan benar. Kebebasan dan kemandirian ini telah disalahgunakan dan

sudah kebablasan, yang terjadi bukan lagi kebebasan dan kemandirian yang

bertanggung jawab tapi lebih pada penyalahgunaan kewenangan dan penghianatan

terhadap tanggung jawab.

Kebebasan yang diberikan kepada kekuasaan kehakiman dalam

melaksanakan peradilan memang sudah selayaknya dimiliki, karena mengadili adalah

perbuatan yang luhur terutama untuk memberikan putusan yang sematamata harus

didasarkan kepada kebenaran, kejujuran dan keadilan. Tugas hakim harus dijauhkan

dari tekanan atau pengaruh dari pihak manapun baik oknum, golongan atau

masyarakat, apalagi dari kekuasaan pemerintahan yang memiliki jaringan yang kuat

dan luas, sehingga pihak lemah dirugikan. Padahal pencari keadilan harus tidak

dibedakan kedudukan dan martabatnya mereka juga harus diberikan jaminan yang

sebaik-baiknya oleh kekuasaan kehakiman.27

Kemudian Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 diubah lagi dengan UU No.

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selanjutnya dikeluarkan Undang-

Undang No 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang kemudian diubah dengan

Undang-Undang No 3 Tahun 2009. Dikeluarkan pula Undang-Undang No 8 tahun

2004 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang

Peradilan Umum.

27
Ibid, Hlm. 11
28

Mengenai kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 31 Undang-

Undang No. 14 Tahun 1985, bahwa:28

1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya


terhadap peraturan perundangundangan di bawah ini undang-undang;
2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidah sah semua peraturan
perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-
undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.

Sekalipun pasal ini telah mendapat perubahan dengan Undang-Undang No. 3

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,

namun perubahan tersebut tidak memperbaiki kewenangan uji materiil Mahkamah

Agung. Terlihat dengan jelas adanya batasan kewenangan Mahkamah Agung di

dalam melakukan Hak Uji Materiil di dalam kedua ketentuan tersebut di atas. Karena

ketentuannya sudah demikian, maka sepanjang ketentuan ini belum dirubah,

Mahkamah Agung tidak akan dapat melakukan pengujian terhadap undang-undang

sekalipun undang-undang tersebut nyata-nyata bertentangan dengan dasar negara dan

Undang-Undang Dasar 1945.

Bebas yang dimaksud dalam pengertian di atas bukan berarti bahwa

kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya tanpa

ramburambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal

adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice),

dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka

28
Rusli Muhammad, Eksistensi Hakim dalam Pemikiran Yuridis dan Keadilan, Jurnal
Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 21 JULI 2014, Hlm. 433
29

kemungkinan diajukannya upaya hukum.29 Jadi dalam pelaksaanaannya, penegakan

prinsip kebebasan dalam kekuasaan kehakiman tetap harus dalam koridor yang benar

yaitu sesuai dengan pancasila, UUD 1945 serta hukum yang berlaku. Kemerdekaan,

kebebasan atau kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan syarat mutlak dan

sangat fundamental bagi negara yang berlandaskan pada sistem negara hukum dan

sistem negara demokrasi. Apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah

berada di bawah pengaruh kekuasaan lainnya maka dapat dipastikan bahwa negara

tersebut tidak menjunjung tinggi prinsipprinsip negara hukum dan demokrasi.30

Menurut Bagir Manan, ada beberapa substansi dalam kekuasaan kehakiman

yang merdeka, yaitu sebagai berikut:31

1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan dalam


menyelenggarakan peradilan atau fungsi yudisial yang meliputi
kekuasaan memeriksa dan memutus suatu perkara atau sengketa dan
kekuasaan membuat suatu ketetapan hukum;
2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dimaksudkan untuk menjamin
kebebasan hakim dari berbagai kekhawatiran atau rasa takut akibat suatu
putusan atau suatu ketetapan hukum;
3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka bertujuan menjamin hakim
bertindak objektif, jujur dan tidak memihak;
4. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dilakukan semata-mata melalui
upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa
oleh dan dalam lingkingan kekuasan kehakiman sendiri;
5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka melarang segala bentuk campur
tangan dari kekuasaan diluar kekuasaan kehakiman;
6. Semua tindakan terhadap hakim semata mata dilakukan semata-mata
dilakukan menurut undang-undang.

29
Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Setara Press, Malang, 2014, Hlm.
131
30
Ibid, Hlm. 120
31
Ibid, Hlm. 126
30

Independensi konstitusional (constitusionele onafhankelijk-kheid), adalah

independensi yang dihubungkan dengan doktrin Trias Politika dengan sistem

pembagian kekuasaan menurut Montesqueiu. Lembaga kekuasaan kehakiman harus

independen dalam arti kedudukan kelembagaan harus bebas dari pengaruh politik35 .

Independensi fungsional (zakleijke of functionele onafhankelijk-kheid), berkaitan

dengan pekerjaan yang dilakukan hakim ketika menghadapi suatu sengketa dan harus

memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh

menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan undang-undang apabila undang-

undang tidak memberikan pengertian yang jelas, karena bagaimanapun hakim

mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi undangundang pada kasus atau sengketa

yang sedang berjalan. Independensi personal hakim (persoonlijke of rechtspositionele

onafhankelijk-kheid), adalah kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan

dengan suatu sengketa. Independensi praktis yang nyata (constitusionele

onafhankelijk-kheid), adalah independensi hakim untuk tidak berpihak (imprsial).

Hakim harus mengikuti perkembangan pengetahuan masyarakat yang dapat dibaca

atau disaksikan melalui media. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh beritaberita itu

dan kemudian mengambil begitu saja kata-kata dari media tanpa

mempertimbangkannya. Hakim juga harus mampu menyaring desakan-desakan dari

masyarakat untuk mempertimbangkan dan diuji secara kritis dengan ketentuan hukum

yang ada. Hakim harus mengetahui sampai seberapa jauh dapat menerapkan norma-

norma sosial kedalam kehidupan masyarakat.32


32
Ibid, Hlm. 111
31

Mengingat bahwa hukum memerlukan paksaan bagi penataan

ketentuanketentuannya, dapat dikatakan hukum memerlukan kekuatan bagi

penegaknya. Tanpa kekuasaan, hukum tidak lain hanya merupakan kaidah sosial yang

berisikan anjuran belaka. Kekuasaan adalah faktor penting dalam menegakkan

hukum, tanpa adanya kekuasaan yang bersifat memaksa, maka mustahil aturan akan

dapat ditaati dan berlaku. Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar

kekuasaan negara yang bersifat memaksa, serta diberikan kewenangan untuk itu oleh

konstitusi.33 Kekuasaan kehakiman yang independen dan akuntabel merupakan pilar

penting dalam sebuah negara hukum yang demokratis.34

Bagir Manan mengemukakan secara garis besar, susunan kekuasaan

kehakiman suatu Negara dapat ditinjau dari beberapa dasar berikut:35

Pertama; pembedaan antara badan peradilan umum (the ordinary court) dan

badan peradilan khusus (the special court). Antara lain:

1. Susunan kekuasaan kehakiman pada Negara-negara yang tergolong ke


dalam “Common Law State”. Pada Negara-negara ini berlaku konsep
“rule of Law” tidak ada perbedaan forum peradilan bagi pejabat
administrasi Negara. Setiap orang-tanpa memandang sebagai rakyat
biasa atau pejabat administrasi negara-akan diperiksa, diadili dan diputus
oleh badan peradilan yang sama yaitu badan peradilan umum (the
ordinary court).

33
Ibid, Hlm. 102
34
Bambang Widjojanto, Kekuasaan Kehakiman yang Independen dan Akuntabel Pilar
Penting Negara Hukum Demokratis, dalam buku Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca …, Ibid.,
Hlm. 43
35
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM Unisba, Bandung, 1995,
Hlm. 17
32

2. Susunan kekuasaan kehakiman yang pada negara-negara yang tergolong


ke dalam ”prerogative state”. Menurut konsep ini, pejabat administrasi
negara dalam melakukan fungsi administrasi negaranya tunduk pada
hukum administrasi negara. Apabila pejabat administrasi negara tersebut
melakukan kesalahan atau kekeliruan dalam menjalankan fungsi
administrasi negaraakan mempunyai forum peradilan tersendiri yaitu
peradilan administrasi negara.

Kedua, perbedaan antara susunan kekuasaan kehakiman menurut negara

yang berbentuk federal dan negara kesatuan. Perbedaan ini menyangkut cara

pengorganisasian badan peradilan.

Ketiga, kehadiran hak menguji. Faktor ketiga yang mempengaruhi susunan

kekuasaan kehakiman adalah kehadiran hak menguji atas peraturan perundang-

undangan dan tindakan pemerintahan. Independensi kekuasaan kehakiman

merupakan prasyarat pokok bagi terwujudnya cita negara hukum, dan merupakan

jaminan bagi peradilan yang fair. Independensi itu melekat pada hakim baik secara

individual maupun institusional.36

Kekuasaan kehakiman (Judicial Power) menurut sistem ketatanegaraan

Indonesia adalah kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah

36
The Bangalore Draft Code of Judicial Conduct 2001adopted by the Judicial Group on
Strengthening Judicial Integrity, as revised at the Round Table Meeting of Chief Justices held at the
Peace Palace, The Hague, November 25-26, 2002, lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi No.
09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, Lampiran bagian
Pertama
33

Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam arti independen tersebut, telah

ditegaskan pada Pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk


menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan Militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi;
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang.

Apabila dikaji lebih jauh tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam

arti independen, terbebas dari interfensi pengaruh kekuasaan lainnya, maka

penegasan Hukum Dasar Negara tersebut, lebih lanjut dikembangkan di dalam

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, demikian

juga dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang

telah dirubah dengan UU. No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU. No. 14

Tahun 1985 juncto Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

UU. No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.


34

Pada Pasal 1 Butir 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

ditegaskan: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi

terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.

Pada Penjelasan Resmi Angka I UU No. 48 Tahun 2009 memuat klarifikasi

yang lebih tegas tentang adanya independensi badan-badan peradilan dalam

penyelenggaraan peradilan. Hemat penulis perihal tersebut adalah:

“UUD NRI Tahun 1945 menegaskan Indonesia adalah negara hukum.


Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara
hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Senada dengan irama pemahaman di atas, dipertegas pula pada Pasal 3 ayat

(1) dan (2) UU. No. 48 Tahun 2009, sebagai berikut :

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi
wajib menjaga kemandirian peradilan;
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Penegasan kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut di atas, secara

struktural dan vertikal berpuncak pada Mahkamah Agung. Hal itu diatur dalam Pasal

2 UU No. 14 Tahun 1985 (Perubahannya dengan UU No. 5 Tahun 2004 Junto UU.

No. 3 Tahun 2009), bahwa: Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi
35

dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari

pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.37

Atas dasar itu, maka hakim dituntut agar senantiasa melakukan penggalian,

mengikuti dinamika sosial, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat. Keharusan bagi hakim tersebut, dipertegas pada Pasal 5

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, bahwa:

(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;

(2) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang

tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum;

(3) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku

hakim.

37
Andi Suherman, IMPLEMENTASI INDEPENDENSI HAKIM DALAM PELAKSANAAN
KEKUASAAN KEHAKIMAN, Mahasiswa Magister, Program Pascasarjana, Universitas Muslim
Indonesia, Makassar, Vol. 1, No. 1 (September 2019) 42 – 51 e-ISSN: 2685 – 8606 || p-ISSN: 2685 –
8614
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode pendekatan adalah suatu cara untuk mendekati objek penetian

sehingga berkaitan bagaimana memperlakuan pokok permasalahan dalam rangka

mencari permasalahan berupa jawaban-jawaban dari permasalahan serta tujuan

penelitian.38 Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

metode pendekatan empiris yang itu berusaha mensingkronisasikan ketentuan-

ketentuan hukum berlaku dalam perlindungan hukum terhadap norma-norma atau

peraturan-peraturan hukum lainnya dengan kaitannya dalam penerapan peraturan-

peraturan hukum itu pada prakteknya di lapangan.39 Pendekatan ini dikenal pula

dengan pendekatan kuantitatif, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan

perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

Sumber utamanya adalah bahan hukum yang berkaitan dengan fakta sosial

karena dalam penelitian ilmu hukum empiris yang dikaji adalah bukan hanya bahan

hukum saja akan tetapi harus ditambah menurut pendapat para ahli. Penulisan skripsi

ini mengunakan data (1) primer, (2) sekunder, (3) tersier.

38
M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta;Raja Grafindo Persada, 2007,.
Hlm. 56
39
Burhan Asofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, Hlm. 15

36
37

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis yaitu dengan

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-

teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang berkaitan dengan

permasalahan.40 Penelitian deskriptif analitis sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh penulis, karena dalam penelitian ini penulis berusaha menguraikan kenyataan-

kenyataan yang ada atau fakta yang ada dan mendeskripsikan sebuah masalah yang

terdapat pada Analisis Putusan Hakim Terhadap Vonis Bebas Di Pengedilan Negeri

Medan Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Tidak Dapat Memenuhi Unsur

Pidana (Studi Putusan Nomor 2794/Pid.Sus/2021/PN Mdn).

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan penulis adalah data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh dari berbagai sumber yang telah ada. Data sekunder

diperoleh melalui studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah pengumpulan data-

data yang bersumber dari buku-buku, literatur dan pendapat ahli hukum yang

berkaitan dengan penelitian ini, ataupun sumber lain yang ada dilapangan untuk

menunjang keberhasilan dan efektivitas penelitian, yaitu dengan pemisahan secara

garis besar antara primer dan data sekunder.41

40
Ronny Haniarjo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurumentri, Jakarta: PT Ghalia
Indonesia, 1990, Hlm. 97-98
41
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, 2010, Hlm. 205
38

Dalam hal penulisan ini, Penulis memilih jenis data sekunder diperoleh

dengan cara mempelajari dan menganalisis bahan hukum. Data sekunder dalam

penelitian ini meliputi serta dikelompokan menjadi 3 (tiga) bahan yaitu :

1. Bahan Hukum Primer


Peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan masalah-
masalah yang diteliti guna mendapatkan landasan teori untuk menyusun
penulisan hukum. Peraturan yang digunakan yakni:
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006;
c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009;
d. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009;
e. Yurisprudensi atau Putusan Hakim Terdahulu.

2. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dipergunakan karya para
sarjana yang berkaitan dengan bahan hukum primer dan dapat memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri atas :
a. Buku-buku yang disusun oleh para pakar hukum;
b. Tulisan atau Pendapat-pendapat hukum dari para sarjana;
c. Hasil-hasil penelitian.

3. Bahan Hukum Tersier


Bahan-bahan penunjang atau rujukan untuk memperjelas bahan primer dan
bahan sekunder, terdiri dari:
a. Ensiklopedia Umum;
b. Hasil karya dari kalangan hukum;
c. Majalah, Media cetak dan Elektronik.
39

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini melalui Mahkamah Agung Republik Indonesia Alasan

dipilihnya lokasi tersebut adalah untuk memperoleh data secara lengkap terkait

dengan penelitian ini dilakukan, karena sebagaian besar data yang diperlukan dalam

penelitian ini terdapat pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang bertempat di

Jakarta Pusat.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang

pertama studi kepustakaan merupakan teknik untuk mendapatkan data sekunder

melalui dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian.42 Guna melengkapi data sekunder dilakukan dengan wawancara. Interview

atau wawancara yaitu mengadakan wawancara dengan informan yang bertujuan

untuk menggali informasi yang lebih mendalam tentang berbagai aspek yang

berhubungan dengan permasalahan.

F. Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknis analisis data secara kualitatif, analisis data

kualitatif yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi dilapangan

yang di dukung dengan peraturan-peraturan terkait maupun penelitian kepustakaan

kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisa secara kualitatif untuk

mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas. Setelah memperoleh dan mengolah

42
Soejono Soekanto, Penghantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1984,
Hlm. 252
40

data tersebut, maka dilanjutkan dengan menganalisa data yang diperoleh baik dalam

bahan bahan hukum sukunder, membahas permasalahan dengan menganalisis data

sekunder secara kualitatif dari sudut pandang ilmu hukum. Data sekunder yang

diperoleh dari penelitian kemudian disusun dengan literatir dan sistematis, lalu

dianalisa untuk mendapat suatu kesimpulan.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU/LITERASI

Dadang Hawari, penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (Narkotika, alkohol dan


zat adiktif). Gaya baru , Jakarta, 2003.

Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,


Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010.

Edy Karsono, Meengenal kecanduan Narkoba dan Minuman Keras, Yrama Widya,
Bandung 2004.

Emilia Susanti & Eko Rahardjo, Hukum dan Kriminologi, Penerbit Aura CV.
Anugrah Utania Raharja, Bandar Lampung, 2018.

Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011.

Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2012.

Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta. 1987.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.

Satjipto Rahardjo, dalam Majalah Hukum dan Pembangunan, No. 5 tahun XXXIV,
1994.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Ctra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Soejadi, Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasinya di Indonesia, Pidato
pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta. 2003.
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Y.P. Joko Suytono, Masalah narkotika dan bahan sejenisnya, Yayasan Kanisius,
Yogyakarta, 1980.
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, cet. III, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2003.
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Cetakan I, Rineka Cipta,
Jakarta, 2004.
Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Setara Press, Malang, 2014.
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM Unisba, Bandung,
1995.
JURNAL

Andi Suherman, IMPLEMENTASI INDEPENDENSI HAKIM DALAM


PELAKSANAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN, Mahasiswa Magister,
Program Pascasarjana, Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Vol. 1, No.
1 (September 2019) 42 – 51 e-ISSN: 2685 – 8606 || p-ISSN: 2685 – 8614

Anton Sudanto, Penerapatan Hukum Pidana Narkotika di Indoensia, Fakutas Hukum


Unverista 17 Agustus 1945, Jurnal Hukum Vol. 7 No. 1

BNN Portal, Kejahatan Transnasional, Masalah Narkoba, dan Diplomasi Indonesia,


http://bnn.narkotika.htm, diakses tanggal 26 Maret 2022.

D.M Lew, Julian, Applicable Law in International Commercial Arbitration,


Netherlands Sijthoff and Norhoff, 1978.

Rusli Muhammad, Eksistensi Hakim dalam Pemikiran Yuridis dan Keadilan, Jurnal
Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 3 VOL. 21 JULI 2014.

The Bangalore Draft Code of Judicial Conduct 2001adopted by the Judicial Group
on Strengthening Judicial Integrity, as revised at the Round Table Meeting
of Chief Justices held at the Peace Palace, The Hague, November 25-26,
2002, lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 09/PMK/2006 tentang
Pemberlakuan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, Lampiran bagian
Pertama.

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 dan UndangUndang Psikotropika


Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Anda mungkin juga menyukai