Anda di halaman 1dari 51

UPAYA REHABILITASI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35

TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA MELALUI PROSES ASESMEN


DI BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN (BNNK)
BULELENG GUNA MEMBERANTAS TINDAK PIDANA NARKOTIKA
DI KABUPATEN BULELENG

OLEH
KADEK VRISCHIKA SANI PURNAMA
NIM. 1914101094

JURUSAN HUKUM DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2022
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN
JUDUL ....................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL .................................................................................... iv
A. Latar Belakang.................................................................................... ..1
B. Identifikasi Masalah.............................................................................. 6
C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 7
D. Rumusan Masalah................................................................................. 8
E. Tujuan Penelitian .................................................................................. 8
1. Tujuan Umum.................................................................................... 8
2. Tujuan Khusus ................................................................................... 9
F. Manfaat Penelitian................................................................................. 9
1. Manfaat Teoritis ................................................................................ 9
2. Manfaat Praktis................................................................................ 10
6. Kajian Pustaka ..................................................................................... 10
1. Tinjauan Umum Tentang Narkotika ................................................ 10
2. Tinjauan Umum Penyalahgunaan Narkotika................................... 15
3. Tinjauan Umum Rehabilitasi Narkotika .......................................... 17
4. Tinjauan Umum Asesmen Narkotika .............................................. 19
5. Tinjauan Umum Tim Asesmen Terpadu Narkotika ........................ 26
6. Tinjauan Umum Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Buleleng
................................................................................................................. 34
H. Metode Penelitian ............................................................................... 37
1. Jenis Penelitian ................................................................................ 38
2. Sifat Penelitian................................................................................. 38
3. Data dan Sumber Data ..................................................................... 39
4. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 40
5. Teknik Penentuan Sampel ............................................................... 42
6. Teknik pengolahan dan Analisis Data ............................................. 42
iii

DAFTAR RUJUKAN ............................................................................. 45


iv

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 1. Data Tindak Pidana Narkotika di Kabupaten Buleleng .............. 5


1

A. Latar Belakang

Salah satu kejahatan luar biasa atau sering disebut dengan extra ordinary

crime di Indonesia salah satunya adalah kejahatan narkotika yang jaringan

peredarannya sudah sangat luas hingga lintaas batas Negara (transnational

crime). Narkotika memiliki dampak yang buruk, mulai dari merusak kesehatan

hingga merusak karakter bangsa itu sendiri. Awalnya zat terlarang ini hanya

dapat dipergunakan sebagai alat untuk ritual keagamaan dan juga pengobatan

di dunia medis, namun seiring dengan perkembangan zaman, narkotika mulai

digunakan bukan untuk kepentingan pengobatan melainkan dijadikan sebagai

peluang bisnis yang kini kian berkembang pesat yang dimana hal ini tentu

berimbas pada kerusakan fisik hingga psikis pencandu narkotika yang dalam

hal ini banyak dikonsumsi generasi penerus. Madat atau opium adalah jenis

narkotika pertama yang digunakan juga sering disebut candu atau lazim,

(Girsang, 2019, p. 1)

Dalam bahasa Yunani, narkotika adalah “Narke” yang artinya tidak dapat

merasakan apapun, sedangkan pengertian narkotika secara farmokologis

medis adalah obat yang menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari

daerah visceral dan dapat menimbulkan efek stupor (bengong, masih sadar

tetapi harus digertak) serta adiksi. Narkotika menurut ketentuan yang ada

dalam Pasal 1 Angka 1 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5062), selanjutnya disebut


2

Undang – Undang Narkotik adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

atau bukan tanaman, baik sintetis atau semisintetis, yang menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurasi atau

menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang

dibedakan dalam golongan – golongan sebagaimana dalam Undang – Undang

ini. Di dalam Undang – Undang Narkotika tersebut, narkotika berdasarkan

Pasal 6 dibagi menjadi 3 golongan, yaitu Narkotika Golongan I, Narkotika

Golongan II, dan Narkotika Golongan III, (Amninullah, 2018)

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, narkotika merupakan salah satu

kejahatan luar biasa yang dapat merusak tatanan kehidupan keluarga,

lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah, bahkan secara langsung

ataupun tidak langsung merupakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan

dan masa depan bangsa dan Negara. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia

telah menjadi salah satu Negara yang dijadikan pasar utama dari jaringan

sindikat peredaran narkotika yang berdimensi internasional untuk tujuan

komersial. Untuk jaringan peredaran narkotika di Negara – Negara Asia,

Indonesia termasuk diperhitungkan sebagai pasar (market-state) yang paling

prospektif secara komersial bagi sindikat internasioonal yang beroperasi di

Negara – Negara berkembang. Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan

hanya masalah yang perlu mendapat perhatian untuk Negara Indonesia, tetapi

juga untuk dunia internasional.

Tindak pidana narkotika di Indonesia menjadi ancaman serius bagi

keamanan global yang dapat merusak citra bangsa dan kerusakan terhadap

generasi-generasi penerus bangsa dikarenakan perkembangan yang begitu


3

pesat. Penyalagunaan narkotika ini tidak hanya terjadi di Negara industry maju

dan bangsa – bangsa kaya, namun juga menyebar di Negara berkembang. Pada

dasarnya, narkotika merupakan obat – obatan penunjang dalam hal kesehatan

seseorang (ilmu kesehatan), namun apabila narkotika tersebut disalahgunakan

dan penggunaannya tidak sesuai dengan standar penggunaan akan

mengakibatkan kerugian yang sangat besar pada penggunanya.

Pada Pasal 54 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

terdapat sanksi yang berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan yang disebut

dengan “Double Track”. “Double Track” ini memiliki arti “pemisahan”,

pemisahan disini tertuju pada pemisahan antara sanksi pidana dengan sanksi

tindak pidana. Selain itu, perkembangan system hukum di Indonesia juga

memperkenalkan tindakan yang disebut (maatregel) yang menjadi alternative

pidana pokok yang dalam hal ini tertuju pada pidana penjara. Tindakan ini di

dasari atas ketidakpercayaan akan berhasilnya sanksi penjara sebagai salah

satu bentuk hukuman, (Sakdiyah, Setyorini, Yudianto, Otto, 2021: 1).

Narkotika bersifat adiktif yang menyebabkan pencandunya memiliki sifat

adiksi. Adiksi ini merupakan efek ketergantungan, namun sifat adiksi ini juga

memiliki tingkatan “relaps” yang tinggi sehingga penderitanya dapat pulih

dengan sendirinya (Kumparan, 2022), namun dalam hal ini pecandu apabila

sudah mencapai tingkat tersebut mereka akan kembali menggunakan narkotika

tersebut. Berdasarkan alternative tindakan (maatregel), para pecandu perlu

untuk melalui upaya penyembuhan dengan pendekatan secara reaktif dan

represif. Oleh karena ini adanya paradigm baru dalam penanganan korban
4

penyalahgunaan narkotika ini berorientasi kepada sanksi tindakan berupa

rehabilitasi.

Untuk dapat menentukan seseorang yang dalam proses hukum karena

kasus narkotika menjalani rehabilitasi medis ditentukan melalui suatu proses

yang disebut dengan proses asesmen. Dalam proses hukum, asesmen ini

memiliki persyaratan khusus terhadap korban penyalahgunaan narkotika

(compulsory). Selanjutnya dalam melakukan asesmen terhadap pecandu

narkotika sebagai tersangka penyalahgunaan narkotika, dibentuk Tim

Asesmen Terpadu yang terdiri dari (1) Tim Dokter yang meliputi dokter dan

psikologis, (2) Tim Hukum yang terdiri dari unsur Polri, BNN, Kejaksaan, dan

Kemenkuham. Melalui proses ini, atas permintaan penyidik, tim hukum dapat

melakukan analisis terhadap peran seorang yang ditangkap atau tertangap

tangan menggunakan narkotika sebagai pecandu atau pengedar. Pemeriksaan

pada proses asesmen ini sangat penting untuk menentukan seorang tersangka

merupakan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, guna

proses rehabilitasi.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dilakukan dirumah sakit yang

ditunjuk oleh menteri. Terhadap tersangka yang berdasarkan keputusan Tim

Asesmen Terpadu menjalani rehabilitasi medis, selanjutnya akan diserahkan

kepada lembaga yang ditunjuk tersebut. berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib

Lapor dan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika. Proses asesmen yang dilaksanakan terhadap

seorang tersangka yang merupakan pecandu narkotika pada tahap penyiikan


5

ataupun penuntutan, secara umum berakhir pada diberikannya rekomendasi

untuk menjalani rehabilitasi medis dan social. Sepanjang terpenuhinya

persyaratan bahwa yang bersangkutan murni pengguna yang tidak terlibat

dengan peredaran narkotika. Melalui Tim Asesmen Terpadu dapat diketahui

tingkat keparahan kecanduan seseorang terhadap narkotika, disamping

keterlibatannya dalam penggunaan narkotika tersebut. (Afrizal, Anggunsuri,

2019: 264).

Saat ini, penyalahgunaan narkotika sudah lama tersebar di Kabupaten

Buleleng. Banyak orang di Kabupaten Buleleng yang terjerat dalam

penyalahgunaan ini karena berawal dari kecanduan nikotin dari rokok dan

mencoba menggunakan narkotika. Pemerintah sudah sedemikian rupa

melakukan tindakan pencegahan mulai dari dikeluarkannya peraturan guna

mencegah dan menanggunalgi penyalahgunaan maupun peredaran narkotika.

Namun fakta dilapangan menyatakan bahwa masih banyak orang di

Kabupaten Buleleng yang sudah terjerumus di dalamnya. Berikut data Tindak

Pidana Narkotika di Kabupaten Buleleng dalam lima tahun terakhir dapat

dilihat dari:

Tabel 1: Data Tindak Pidana Narkotika di Kabupaten Buleleng

No Tahun Jumlah Kasus

1 2018 55

2 2019 48

3 2020 60

4 2021 44
6

5 2022 16

Sumber: Satuan Reserse (Satres) Narkoba Polres Buleleng

Berdasarkan tabel diatas menyatakan bahwa kasus tindak pidana narkotika di

Kabupaten Buleleng masih terjadi setiap tahunnya walaupun pemerintah sudah

mengeluarkan peraturan guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan

narkotika tersebut. Penegak hukum khususnya Badan Narkotika Nasional

Kabupaten (BNNK) Buleleng melakukan upaya rehabilitasi guna pemberantasan

tindak pidana narkotika melalui proses asesmen yang sejak berdiri pada tahun

2018, BNNK Buleleng sudah terhitung 3 tahun melaksanakan mekanisme

asesmen sejak tahun 2020. Dilakukannya upaya rehabilitasi dengan mekanisme

asesmen ini didasari karena adanya “Double Track” pada Pasal 54 Undang –

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dimana sanksi pidana

dilakukan pemisahan yang Dalam hal ini juga dilakukan tindakan (maatregel)

yang dijadikan alternative pidana pokok (pidana penjara), serta sifat adiksi yang

memiliki tingkat relaps yang tinggi sehingga dapat pulih dengan sendirinya

sehingga para pecandu perlu dibantu untuk disembukan. Oleh karena itu, sangat

penting dikaji atau ditelaah lebih lanjut terkait dengan upaya rehabilitasi melalui

proses asesmen di BNNK Buleleng, baik melalui sarana penal maupun non penal

dalam bentuk penelitian dengan judul “Upaya Rehabilitasi Dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Melalui Proses Asesmen

Di Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Buleleng Guna

Memberantas Tindak Pidana Narkotika Di Kabupaten Buleleng”

B. Identifikasi Masalah
7

Permasalahan dalam melakukan penelitian yang diajukan oleh penulis dapat

diidentifikasi permasalahannya adalah sebagai berikut.

1. Maraknya penyalahgunaan narkotika di Kabupaten Buleleng setiap

tahunnya yang mengakibatkan dampak buruk bagi fisik dan psikis

pencandunya

2. Penerapan mekansime asesmen terpadu terhadap korban penyalahgunaan

narkotika sebagai upaya pemberantasan tindak pidana narkotika

berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di

Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Buleleng yang belum

menimbulkan efek jera bagi pecandu narkotika

3. Masih banyak kendala yang timbul dalam penerapan mekanisme asesmen

sebagai upaya rehabilitasi di BNNK Buleleng

4. Masih ada faktor penghambat dalam mengatasi kendala yang terjadi dalam

penerapan asesmen bi BNNK Buleleng

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang disajikan diatas, perlu untuk

menggarisbawahi kata-kata-kata artikel ilmiah ini terkait dengan materi yang akan

ditentukan di dalamnya. Sangat penting untuk tidak meninggalkan masalah utama

yang muncul yang telah dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat digambarkan

secara sistematis. Untuk menghindari diskusi diluar topic, batasan diberikan

sejauh mana masalah yang akan dibahas.

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan penulis, maka pembatasan

ruang lingkup pembahasan yaitu mengenai efektivitas penerapan proses asesmen


8

sebagai upaya rehabilitasi guna memberantas tindakan penyalahgunaan narkotika

di BNNK Buleleng.

D. Rumusan Masalah

Setelah menguraikan pembatasan masalah, maka dalam penelitian ini dapat

dirumuskan tiga rumusan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini,

yaitu:

1. Bagaimana efektivitas penerapan mekanise asesmen terpadu terhadap

korban penyalahgunaan narkotika sebagai upaya pemberantasan tindak

pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika di Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK)

Buleleng?

2. Kendala yang dihadapi dalam menerapkan mekanisme asesmen di Badan

Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Buleleng?

3. Upaya apa yang dilakukan oleh BNNK Buleleng untuk mengatasi kendala

yang terjadi dalam penerapan mekanisme asesmen?

E. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menjajaki, menguraikan,

menerangkan, membuktikan atau menerapkan suatu gejala, konsep atau dugaan,

atau membuat suatu prototype. Dalam merumuskan tujuan penelitian ini, peneliti

berpegang pada masalah yang dirumuskan. Adapaun tujuan dalam penelitian ini

meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, yakni:

1. Tujuan Umum
9

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya rehabilitasi

melalui proses asesmen yang dilakukan oleh BNNK Buleleng guna

memberantas tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Tujuan Khusus

a) Untuk memperluas dan memperdalam pemahaman penulis tentang

upaya rehabilitasi melalui proses asesmen sebagai upaya rehabilitasi

guna memberantas tindak pidana narkotika di BNNK Buleleng

b) Untuk mengetahui kendala yang dialami dalam penerapan mekanisme

asesmen di BNNK Buleleng

c) Untuk mengetahui upaya yang diimplementasikan BNNK Buleleng

dalam mengatasi kendala yang terjadi dalam penerapan mekanisme

asesmen

F. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun

praktis. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yakni sebagai

berikut:

1. Manfaat Teoritis

Keunggulan ini memungkinkan untuk memahami upaya rehabilitasi

melalui proses asesmen guna memberantas tindak pidana narkotika

berdasakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di

BNNK Buleleng. Selain itu juga diharapkan dapat menjadi acuan tambah

bagi pengembangan ilmu hukum khususnya di bidang hukum pidana

mengenai aturan-autran hukum yang berkaitan dengan undang-undang.


10

2. Manfaat Praktis

a) Bagi Penulis

Menambah informasi rinci kepada penulis tentang upaya rehabilitasi

melalui proses asesmen guna memberantas tindak pidana narkotika

berdasakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

di BNNK Buleleng, dan diharapkan para sarjana yang mempelajari

hukum dapat menambahkan informasi baru sebagai referensi.

b) Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi sebagai

sarana pengembangan gagasan penegakan hukum terhadap pengguna

dan korban penyalahgunaan narkotika di lingkungan BNNK Buleleng,

yang dalam hal ini mengambil perspektif Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika.

c) Bagi Pemerintah

Memberikan sumbangsih pikiran serta evaluasi untuk aparat penegak

hukum dalam memberikann upaya hukum khususnya upaya hukum

bagi korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika.

d) Bagi Peneliti Sejenis

Sebagai sumbangsih pikiran dalam pelaksanaan penelitian sejenis serta

sebagai bacaan baru bagi ilmu hukum.

G. Kajian Pustaka

1. Tinjauan Umum Tentang Narkotika

1. Pengertian Narkotika
11

Terjadi berbagai fenomena social memasuki abad ke-21 dengan

pertanda munculnya berbagai masalah kemasyarakatan, yang paling

menonjol dan menjadi highlight internasional adalah penyalahgunaan

narkotika. Istilah narkotika yang digunakan adalah “drug”, yaitu

merupakan sejenis zat yang memberikan efek pada pecandu, diantara lain:

1) Berpengaruh pada kesadaran

2) Memberikan efek penenang, perangsang, menimbulkan halusinasi

kesadaran pecandu.

Sederhananya, pecandu narkotika akan mengalami gangguan fisik maupun

psikis.

Menurut Sudarto, narkotika berasal dari bahasa Yunani “Narke”

yang memiliki arti “terbius sehingga tidak merasakan apa – apa”.

Encyclopedia Americana juga mengemukakan “narcotic” sebagai ”a drug

that dulls the senses, relieves pain, induces sleep, and can produce

addiction on varying degrees”. Jadi, narkotika merupakan suatu zat yang

memberikan pengaruh rasa, menghilangkan rasa nyeri dan juga kesadaran

hingga halusinasi. Pada Pasal 1 Angka 1 Undang – Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa narkotika merupakan

zat atau obat – obatan yang berasal dari tanamanan atau bukan tanaman

baik sintetis maupun semisintetis yang dapat mengakibatkan penurunan

hingga perubahan kesadaran, mengurangi hingga menghilangkan rasa

nyeri, dan juga memiliki sifat adiksi (ketergantungan), (Syaprilianti, Sella,

2019: 876).
12

Di Indonesia, narkotika dikenal dengan beberapa istilah berupa

akronim yang diantaranya narkoba adalah singkatan dari narkotika dan

obat/bahan berbahaya. Selain “Narkoba”, Departemen Kesehatan Republik

Indonesia juga memberkenalkan istilah lain seperti “Napza” yang

merupakan singkatan dari Narkotika, Prikotorika, dan Zat Adiktif.

Keduanya memiliki resiko kecanduan bagi penggunanya. Sebenarnya

menurut pakar kesehatan, narkotika merupakan psikotropika yang hanya

digunakan untuk melakukan bius pada pasien yang akan menjalani

prosedur operasi ataupun sebagai obat untuk penyakit tertentu. Namun

semakin bertambahnya waktu, presepsi tentang narkotika kini berubah

menjadi penyalahgunaan pemakaian yang melampaui dosis. Hal inilah

yang menyebabkan narkotika memberikan efek buruk perubahan psikologi

secara drastic yang didalamnya termasuk perasaan, pikiran, suasana hati,

dan juga perilaku.

2. Jenis – Jenis Narkotika

Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

membagi narkoba menjadi 18 dalam 3 jenis, yaitu Narkotika, Psikotropika,

dan Zat Adiktif lainnya.

1. Soerdjono Dirjosisworo berpendapat bahwa Narkotika merupakan

yang dapat menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang

menggunakannya dengan cara memasukkannya kedalam tubuh (1986).

Zat tersebut bias memberikan pengaruh yang berupa pembiusan

(hilangnya kesadaran), meredakan hingga menghilangkan rasa sakit,

memacu adrenalin/semangat, memberi pengaruh halusinasi yang


13

menyebabkan timbul khayalan. Pengaruh tersebut dalam dunia medis

dianggap sebagai sifat yang bermanfaatkan untuk pengobatan dalam

dunia bedah dan juga menghilangkan rasa sakit sementara.

Sebagaimana ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika, narkotika dibagi atas tiga golongan:

a) Narkotika Golongan I, narkotika ini hanya dapat digunakan untuk

keperluan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

telah mendapat persetujuan dari Menteri atas rekomendasi Kepala

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Narkotika golongan

I tidak dapat digunakan untuk penetingan pelayanan kesehatan

karena memiliki potensi yang menyebabkan ketergantungan.

Contoh: ganja, morphine, putaw (heroin tidak murni berupa

bubuk).

b) Narkotika Golongan II, golongan ini memiliki manfaat pengobatan

opsi terakhir dan juga dapat digunakan sebagai terapi dan/atau

untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sama halnya dengan

narkotika golongan I, narkotika ini juga sama mengandung potensi

tinggi yang memberi efek ketergntungan. Contoh: petidin dan

turunannnya, benzetidin, betametadol.

c) Narkotika Golongan III, golongan terakhir ini memiliki manfaat

pengobatan dan berbeda dengan golongan I dan II, narkotika

golongan III memiliki potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan. Contoh: codein dan turunannya, (Krisnawati,

2022: 8).
14

2. Psikotropika menurut Soerdjono Dirjosisworo (1986) merupakan zat

atau obat bukan narkotika dalam golongan ilmiah ataupun sintetis yang

berkhasiat psikoatif. Manfaat ini memberi pengaruh selektifpada

susunan saraf pusat yang nantinya akan menyebabkan perubahan khas

pada 19 aktivitas normal dan perilaku.

3. Selain kelompok narkotika dan psikotropika, zat adiktif lainnya juga

dapat menimbulkan efek ketergantungan pada pemakainya, antara lain:

a. Rokok

b. Kelopok alcohol

c. Thiner dan zat kimia lain seperti lem kau, bensin, cat, dan zat

sejenisnya yang apabila dihirup akan menimbulkan efek mabuk,

(Amanda, Humaedi, Santoso, 2017: 341).

3. Sifat Jahat Narkotika

Berbeda dengan obat atau zat lainnya, narkotika memiliki tiga sifat

jahat yang menjadikan pecandunya menjadi budak setia yang enggan

untuk meninggalkan, selalu membutuhkan, dan mencintai zat tersebut

melebihi apapun. Tiga sifat berbahaya tersebut adalah habitual, adiktif,

dan toleran yang diantaranya:

1. Habitual

Habitual memiliki efek yang menyebabkan pecandu akan selalu

terbayang yang berdampak pada aktifitas seeking (mencari dan rindu).

Sifat ini yang terkadang menjadi faktor utama pecandu narkotika yang

sudah menjalani rehabilitasi bisa menggunakan kembali (relapse) dan

pada akhirnya terjerumus kembali. Penyebab terjadi terjerumusnya


15

kembali pecandu dikarenakan kesan kenikmatan yang tercipta oleh

narkotika (sugest). Sugest ini hanya dapat dikalahkan oleh tekad dan

kemauan yang besar seorang pecandu yang benar – benar muncul

dalam dirinya. Namun, apabila pecandu sudah mencapai tingkat

habitual tertinggi yang ada pada heroin (putaw), maka pecandu

dianggap mustahil bisa bebas selamanya.

2. Adiktif

Adiktif merupakan sifat narkotika yang menimbulkan efek

ketergantungan pada pecandunya. Apabila terjadi penghentian atau

pengurangan dosis pemakaian akan memicu rasa sakit yang sering

disebut dengan “sakaw”, hal ini terjadi karena terjadinya “efek putus

zat” atau “withdrawal effect” yang dimana rasa sakit ini merupakan

sakit yang paling berat dan menyiksa.

3. Toleran

Toleran adalah sifat yang menyebabkan tubuh seorang pecandu

semakin lama akan semakin menyatu dengan narkotika sehingga

semakin menuntut untuk menambah dosis pemakaian. Berada

setingkat diatas efek “sakaw”, toleran ini dapat memberikan efek yang

cukup mematikan apabila dosis yang digunakan sudah melampaui

batas dan dapat menyebabkan “over dosis”, (Krisnawati, 2022: 5).

2. Tinjauan Umum Penyalahgunaan Narkotika

1. Penyalahgunaan

Penyalahguna narkotika dalam Undang – Undang Republik

Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika pada Pasal 1 Ayat


16

(14) adalah orang yang menggunakan narkotika diluar pengawasan dan

tanpa sepengetahuan dokter. “Penyalahguna” secara tidak langsung

memiliki permasalahan – permasalahan yang bersentuhan langsung

dengan obat dan alcohol dalam hidupnya. Masalah yang muncul bisa

berupa masalah fisik, mental, emosional, dan/atau hingga spiritual.

Penyalahgunaan narkotika (drugs abuse) merupakan tindakan pemakaian

illegal (non medical) barang terlarang, narkotika ini dapat merusak

kesehatan dan aktifitas produktif pemakainya, (Adam, Sumarlin, 2012: 6).

2. Dampak Penyalahgunaan Narkotika

Selain menimbulkan ketergatungan, penggunaan narkotika secara

terus menerus juga akan mengakibatkan dampak berupa gangguan fisik

dan juga psikologis, hal ini disebabkan karena organ – organ tubuh

pemakainya telah terjadi kerusakan pada syaraf pusat (SSP).

a. Dampak Fisik

Dampak fisik berdampak pada gangguan pada syaraf (neurologis)

yang disertai dengan ciri, kejang – kejang, halusinasi, gangguan

kesadaran, hingga kerusakan syaraf tepi. Selain itu, ini juga berdampak

pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) dengan tanda:

infeksi akut pada otot jantung, gangguan peredaran darah, gangguan

pada kulit (dermatologis) yang meliputi: penanahan (abses), alergi,

eksim, gangguan pada paru – paru (pulmoner) seperti: penekanan pada

fungsi pernapasan, kesulitan bernafas serta pengerasan jaringan paru –

paru.

b. Dampak Psikologis
17

Adapun dampak psikologis yang ditimbulkan, diantaranya kelambatan

system kerja otak, gelisah, apatis, halusinasi, segala aktifitas terganggu

dan emosi yang tidak bisa dikendalikan, (Adam, Sumarlin, 2012: 6).

3. Tinjauan Umum Rehabilitasi

1. Pengertian Rehabilitasi

Secara umum rehabilitasi merupakan upaya

pemulihan/penyembuhan dengan cara memulihkan dan mengembalikan

kondisi normal mantan pecandu narkotika dalam keadaan sehat fisik,

psikologis, social dan spiritual. Selain itu, pada Pasal 103 Ayat (2) Undang

– Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memaparkan bahwa

rehabilitasis narkotika merupakan proses pengobatan guna membebaskan

pecandu dari efek ketergantungan. Upaya rehabilitasi ini juga sudah

termasuk ke dalam perhitungan masa hukuman yang dijalani, (Shabrina,

Talitha, 2017: 54).

2. Program Rehabilitasi

Program rehabilitasi berlangsung dengan jangka waktu 3 – 6 bulan

sesuai dengan metode dan program dari lembaga terkait. Sebelum korban

penyalahgunaan diputuskan untuk menjalani rehabilitasi, pecandu sebelum

itu harus menjadi proses asesmen yang diadakan oleh Badan Narkotika

Nasional di masing – masing daerah. Dadang Hawari membagi program

rehabilitasi menjadi enam program yang diantaranya:

1) Rehabilitasi Medik
18

Rehabilitasi ini bertujuan agar residen narkotika benar – benar bisa

pulih secara fisik yang memiliki arti dapat berlanjut. Pada program ini

dilakukan pemulihan kondisi fisik yang lemah.

2) Rehabilitasi Psikiatrik

Pada program ini diharapkan residen yang semula memiliki perilaku

maladaptive berubah menjadi adaptif yang berarti sikap dan tindakan

anti social dihilangkan dengan tujuan residen dapat kembalu

bersosialisasi dengan baik.

3) Rehabilitasi Psikososial

Dalam kata lain, program ini merupakan persiapan residen kembali ke

masyarakat (re-entry program) dengan adaptif bersosialisasi dengan

kembali membentuk pendidikan dan keterampilannya.

4) Rehabilitasi Psikoreigius

Unsur agama menjadi salah satu unsur penting dalam program

penyembuhan, unsur agama dipercaya dapat memperkuat percaya diri,

harapan serta keimanan.

5) Forum Silahturahmi

Forum ini merupakan program lanjutan yang dapat dilakukan mantan

residen narkotika dengan keluarganya dengan tenggat waktu 1 – 2 kali

dalam sebulan secara berkesinambungan selama 2 tahun.

6) Program Terminal (Re-Entry Program)

Pada program ini, residen disiapkan untuk kembali ke sekolah/kuliah

atau bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri. Program ini berisi

kurikulum yang cukup padat, (Shabrina, Talitha, 2017: 55).


19

4. Tinjauan Umum Tentang Proses Asesmen

1. Pengertian Asesmen

Asesmen merupakan suatu proses yang memiliki tujuan memantau

perkembangan proses pembelajaran dengan memberikan umpan balik.

Dalam peraturan perundang – undangan, Tim Asesmen Terpadu ini terdiri

dari tim dokter dan tim hukum yang ditetapkan oleh pimpinan satuan kerja

setempat berdasarkan keputusan kepala Badan Narkotika Nasional, Badan

Narkotika Nasional Provinsi, Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota,

(Panjaitan, Liana, 2020: 21).

Asesmen ini merupakan salah satu bentuk implementasi terhadap

penanganan penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Mekanisme ini

menghasilkan hasil analisa antara tim medis dan tim hukum yang

berwenang terkait penentuan tersangka tindak pidana narkotika apakah

masuk ke daalam kategori korban penyalahgunaan narkotika atau

pengedar nerkotika, (Hariyadi, Anindito, 2021: 381).

Dalam menentukan diagnosis, ada dua langkah yang bisa

dilakukan, pertama skrining yaitu penggunaan instrument tertentu,

skrining ini bertujuan untuk mendapatkan informasi apakah ada faktor

resiko dan masalah terkait dengan penggunaan narkotika. Instrument

skrining dan asesmen dapat digunakan untuk menemukan gangguan

penggunaan narkotika yang telah berkembang secara global yang teah

diinisasi oleh lembaga – lembaga penelitian di Negara maju maupun badan

– badan dunia terkhusus WHO. Beberapa instrument yang dimaksudkan

yaitu:
20

1) ASSIST (Alcohol,Smoking, Substance Use Involvement Screening &

Testing)

2) DAST 10 (Drug Abuse Screening Test)

3) ASI (Addiction Severity Index). Biasanya penerapan atas instrument

tertentu dikaitkan dengan penggunaan instrument tersebut pada

berbagai Negara.

Adiksi merupakan penyakit otak dimana terdapat zat aktif yang

berpengaruh karena pengaturan perilaku. Hal ini ditandai penyakit adiksi

berupa perubahan perilaku. Adiksi ini memiliki perbedaan dengan

penyakit lainnya dalam beberapa aspek dengan rentang yang luas mulai

dari citra diri, hubungan interpersonal, kondisi finansial, aspek hukum,

sekolah/pekerjaan, sampai dengan kekuatan fisik. Melihat kompleksnya

hasil dari kondisi adiksi, proses asesmen ini merupakan aspek yang sangat

penting untuk pendekatan pada adiksi ini. Asesmen yang berkualitas dapat

menghubungkan diagnosis dengan penatalaksanaan awal dengan

memastikan akurasi diagnosis awal, mengidentifikasi jenis terapi dan

rehabilitasi yang dianggap efesien dan efektif untuk dijalankan. Untuk

memeroleh gambaran klinis yang lebih mendalam, maka dilakukanlah

asesmen klinis. Untuk dapat mengenali keterlibatan seseorang pada

narkotika diperlukan beberapa alat yang pada umumnya, yaitu:

1) Instrumen skrining seperti ASSIST

2) Urin analisis

3) Kajian resep/obat – obatan yang diminum klien sebelumnya.


21

Dalam menemukan gambaran klinis yang mendalam dan komperhensif

ada hal yang harus diperhatikan yakni penemuan kasus melalui alat

skrining yang dilanjutkan dengan proses asesmen. Dalam skrining, alat

yang paling sering digunakan adalah urinanalisis yang digunakan petugas

kesehatan dan juga penegak hukum. Urinanalisis merupakan skrining awal

yang sangat penting guna mendeteksi penggunaan narkotika dalam kondisi

yang sudah akut. Urinanalisis dilakukan tanpa disertai dengan

wawancara/instrumen skrining tentang riwayat penggunaan narkotika

termasuk resep dokter yang dapat menyebabkan salah diagnosis. Skrining

awal ini menghasilkan interpretasi yang sulit dikarenakan seringnya yang

terdeteksi hanya penggunaan yang baru saja dan sulit untuk melihat

perbedaan legal atau illegal. Dalam tes skrining, secara biologi yang

mempunyai jangka waktu skrining berbeda ada yang harus diperhatikan,

yaitu:

a. Tes skrining urin atau air liur positif untuk kokain dan/atau heroin

condong mengindikasi penggunaan yang baru beberapa hari atau satu

minggu kebelakang, sedangkan hasil positif berupa marijuana (ganja)

dapat mendeteksi penggunaan yang terjadi pada satu bulan hingga

beberapa bulan belakangan.

b. Dalam penentuan sampel, tidak mungkin menentukan waktu

penggunaan bila sampel diambil dari rambut.

Tes skrining narkotika secara biologi dapat mendeteksi semua obat –

obatan yang disalahgunakan seperti MDMA, metadon, pentanil, dan opid

sintetik lainnya harus dilakukan secara terpisah. Secara biologi tes skrining
22

ini memerika konsentrasi obat pada nilai ambang spesifik dari suatu

sampel. Hasil negative tidak selalu terjadi penyalahgunaan obat dan suatu

hasil positif dapat mencerminkan penggunaan zat lain. Apabila terjadi

sesuatu yang dikhawatirkan dan terjadi pengelabuhan hasil, maka sampel

harus dimonitor kembali dari segi temperature atau bahan – bahan

campuran serta ada program harus diterapkan dan mengikuti prosedur

pendokumentasian dengan kronologi yang akurat, (Mujab, M, 2018: 8).

Dalam pelaksanaannya, asesmen ini diambil alih oleh Tim Asesmen

Terpadu yang penting dalam hal penarikan kesimpulan dan rekomendasi

berdasarkan hasil pemeriksaan untuk menentukan bahwa hasil

pemeriksaan menunjukan apakah pantas/layak diberikan rehabilitasi

social.

2. Mekanisme Pelaksanaan Asesmen

Dalam pelaksanaannya, mekanisme asesmen terpadu dalam tindak

pidana narkotika menyentuh 2 aspek yang diantaranya aspek hukum dan

aspek medis. Adapun mekanisme pelaksanaan asesmen terpadu diatur

sebagai berikut:

1. Tim Asesmen Terpadu melakukan asesmen dengan dasar tertulis dari

penyidik. Dari penyidik mengajukan permohonan paling lama 1 x 24

jam setelah ternjadinya penangkapan dengan atembusan kepada

Kepala Badan Narkotika Nasional setempat sesuai dengan tempat

kejadian perkara.

2. Tim Asesmen Terpadu melakukan prosedur asesmen ini dengan jangka

waktu maksimal 2 x 24 jam yang selanjutnya hasil dari pelaksanaan


23

tersebut yang didapat dari tim dokter dan tim hukum dapat disimpulan

dengan jangka waktu maksimal tiga hari.

3. Selanjutnya hasil dari asesmen tersebut akan dibahas pada pertemuan

pembahasan (case conference) pada hari keempat untuk ditetapkannya

rekomendasi Tim Asesmen Terpadu. Rekomendasi ini berisi

keterangan yang berkaitan dengan peran tersangka dan/atau terdakwa

dalam tindak pidana narkotika dengan tingkat ketergantungan

penyalahgunaan narkotika, yang selanjutnya rekomendasi ini akan

dilanjutkan dengan proses hukum dan tempat serta lamanya waktu

menjalani rehabilitasi. Rekomendasi ini ditanda tangani langsung oleh

Ketua Tim Asesmen Terpadu disertai dengan lampiran berkas perkara

asli. Rekomendasi inilah yang sudah seharusnya dijadikan pedoman

atau dasar bagi hakim dalam menetapkan seorang terdakwa tergolong

sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau malah sebagai pelaku

tindak pidana narkotika, (Merak, Manuk, 2018).

3. Proses Pelaksanaan Asesmen

Guna dapat menentukan seseorang yang dalam proses hukum

karena kasus narkotika menjalani rehabilitasi medis ditentukan melalui

proses asesmen ini yang memiliki persyaratan proses hukum (compulsory

treatment) sebagai berikut:

1. Surat permohonan langsung dari penyidik/jaksa penuntut umum untuk

melakukan pemeriksaan
24

2. Surat permohonan dari klien/wali/kuasa hukumnya, identitas

permohonan tersangka, kronologis serta pokok permasalahan dalam

proses penangkapan

3. Salinan surat izin berencana apabila pemohon adalah kuasa hukum

tersangka dan disertai dengan surat kuasa dari keluarga

4. Pas foto tersangka

5. Salinan KTP tersangka, pemohon atau kuasa hukum

6. Salinan Kartu Keluarga pemohon dan tersangka

7. Salinan keanggotaan BPJS

8. Salinan surat penangkapan dan surat penahanan

9. Surat keterangan dari tempat rehabilitasi bila tersangka pernah atau

sedang dalam proses rehabilitasi

10. Hasil tes urin dari Laboratorium BNN/Puslabfor Mabes Polri/instansi

kesehatan pemerintah

11. Menandatangani surat pernyataan permohonan rehabilitasi tanpa

pungutan biaya

12. Penyidik/penuntut umum bersedia menandatangani surat pernyataan

akan melampirkan hasil asesmen dalam BAP, (Afrizal, Anggunsari,

2018: 265)

4. Peraturan Pelaksanaan Asesmen

Dalam pelaksanaan asesmen, terdapat aturan yang wajib ditaati,

yakni pada Pasal 3 Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11

Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka Dan/Atau Terdakwa


25

Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam

Lembaga Rehabilitasi, yang meliputi:

(1) Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang

tanpa hak dan melawan hukum sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa

dalam penyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses

penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan

pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.

(2) Penentuan rekomendasi Pecandu Narkotika da Korban

Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan hasil rekomendasi

Tim Asesmen Terpadu.

(3) Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang

tanpa hak dan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yang menderita komplikasi medis dan/atau komplikasi psikiatris,

ditempatkan di rumah sakit pemerintah yang biayanya ditanggung

sendiri atau keluarga serta bagi yang tidak mampu ditanggung oleh

pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(4) Dalam hal Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika

yang tanpa hak dan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) memilih ditempatkan di rumah sakit swasta tertentu yang

ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan rehabilitasi, biaya

menjadi tanggungan sendiri atau keluarga.

(5) Keamanan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika

yang tanpa hak dan melawan hukum yang ditempatkan dalam


26

lembaga rehabilitasi atau rumah sakit sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) sampai dengan ayat (4), dilaksanakan oleh rumah sakit

dan/atau lembaga rehabilitasi yang memenuhi standar keamanan

tertentu serta dalam pelaksanaannya dapat berkoordinasi dengan

Pihak Polri.

5. Tinjauan Umum Tim Asesmen Terpadu

1. Pengertian Tim Asesmen Terpadu

Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri

Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa

Agung Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasiona Republik

Indonesia tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi menjadi dasar dari

dibentuknya Tim Asesmen Terpadu. Tim Asesmen Terpadu ini melibatkan

formasi BNN, Kepolisian, Kejaksaan dan Bappas. Dibentuknya tim inilah

yang nantinya akan menentukan apakah seseorang bisa dinyatakan sebagai

pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika atau sebagai pengedar.

Dalam proses peradilan pidana, kedudukan Tim Asesmen Terpadu ini

dinilai sangat penting, hal ini dikarenakan apabila terjadi atau ditemukan

kegagalan institusi lembaga Negara dalam menekan peradaran narkotika

saat ini yang dimana ketimpangan dalam penyatuan keputusan institusi

tersebut dalam penanganan perkara lah yang menjadi salah satu faktor

kegagalan, (Saefudin, Gumbira, Sumarji, 2020: 114).


27

Secara umum, Tim Asesmen Terpadu merupakan tim yang terdiri

dari Tim Dokter yang meliputi Dokter dan Psikolog yang telah memiliki

sertifikasi asesor dari Kementrerian Kesehatan, selain itu juga ada Tim

Hukum yang terdiri dari Polri, BNN, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan

HAM seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Tim ini dibentuk dengan

dasar kondisi yang terjadi pada BNN setempat untuk penanganan

tersangka pelaku tindak pidana narkotika. Tim Asesmen Terpadu ini

pelaksanaan mekanisme asesmennya bertempat di Klinik Prataa yang ada

di BNN Provinsi dan BNN Kabupaten/Kota dengan ketetapan Dinas

Kesehataan setempat yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –

undangan.

2. Tugas & Wewenang Tim Asesmen Terpadu

Sebagai tolok ukur pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan

narkotika hingga lamanya jangka waktu rehabilitasi terhadap pemohon,

Tim Asesmen Terpadu memiliki tugas untuk menganalisis seseorang yang

tertangkap dan/atau ditangkap tangan oleh aparat penegak hukum yang

berkesinambungan dengan peredaran gelap narkotika serta

penyalahgunaan narkotika, asesmen dan analisis medis, psikososial dan

juga perekomendasian terapi serta rehabilitasi yang tertangkap sebagai

pemohon. Tim Asesmen Terpadu ini terdiri dari dua tim yang masing –

masing memiliki tugas khusus yang diantaranya:

1. Tim medis yang bertugas dalam hal pelaksanaan asesmen dan analisis

medis, psikosoial, serta merekomendasikan rencana terapi dan

rehabilitasi pecandu atau penyalahgunaan narkotika.


28

2. Tim Hukum bertugas melakukan analisis yang berkaitan dengan

peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika serta

penyalahgunaan narkotika yang berkoordinasi dengan penyidik yang

menangani perkara, (ASHEFA Griya Pusaka (Drug Addiction

Treatment Center).

Wewenang dari Tim Asesmen Terpadu ini dapat dilihat dari

permintaan penyidik yang menugaskan/meminta Tim Asesmen Terpadu

ini untuk melaksanakan kegiatan analisis peran yang tertangkap dan/atau

ditangkap apakah orang tersebut masuk ke dalam golongan korban

penyalahgunaan narkotika, pecandu narkotika, atau sebagai pengedar

narkotika itu sendiri. Selanjutnya Tim Asesmen Terpadu ini memiliki

wewenang untuk menentukan kriteria pada tingkat keparahan penggunaan

narkotika sesuai dengan jenis kandungan yang digunakan, situasi dan

kondisi ketika tertangkap dan/atau ditagkap pada tempat kejadian perkara

(TKP). Wewenang terakhir Tim Asesmen Terpadu ini dapat

merekomendasikan rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu dan

penyalahgunaan narkotika, (A. Iswara, 2019: 35 – 35).

3. Prosedur Kerja Tim Asesmen Terpadu

Dalam pelaksanaannya, pada bagian keempat Pasal 14, Pasal 15,

Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18 Peraturan Kepala Badan Narkotika

Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka

Dan/Atau Terdakwa Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan

Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabiitasi, dipaparkan prosedur kerja Tim

Asesmen Terpadu yang diantaranya:


29

Pasal 14:

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) diajukan

oleh Penyidik paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam

setelah penangkapan.

(2) Tim Asesmen Terpadu melakukan asesmen setelah menerima

permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Tim Asesmen Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

melaksanakan tugasnya dan memberikan rekomendasi hasil asesmen

dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) hari kepada Penyidik untuk

dilaporkan secara tertulis kepada Pengadilan Negeri setempat.

Pasal 15:

(1) Asesmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a,

meliputi:

a. Wawancara, tentang riwayat kesehatan, riwayat penggunaan

Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat psikiatris,

serta riwayat keluarga dan sosial Tersangka dan/atau Terdakwa;

b. Observasi atas perilaku Tersangka; dan

c. Pemeriksaan fisik dan psikis.

(2) Asesmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dan

ditandatangani minimal oleh 2 (dua) orang anggota Tim Medis.

(3) Format asesmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum

dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan

Peraturan ini.
30

Pasal 16:

(1) Asesmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b,

meliputi:

a. pencocokan identitas Tersangka, antara lain : photo, sidik jari,

ciri-ciri fisik, dan nama/alias, dengan data jaringan Narkotika

yang ada di database BNN dan Polri;

b. analisis data intelijen terkait, jika ada;

c. riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas;

d. telaahan Berita Acara Pemeriksaan Tersangka yang terkait

dengan perkara lainnya; dan

e. telaahan penerapan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalah Guna

Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan

Rehabilitasi Sosial dan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor

SE002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban

Penyalahgunaan Narkotika Ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan

Rehabilitasi Sosial.

(2) Asesmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dan

ditandatangani minimal oleh 2 (dua) orang anggota Tim Hukum.

(3) Format asesmen, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum

dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan

Peraturan ini.
31

Pasal 17:

(1) Dalam melakukan asesmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

dan Pasal 16, Tim Asesmen Terpadu dapat meminta keterangan

kepada Tersangka dan pihak lain yang terkait.

(2) Setiap pelaksanaan asesmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dibuatkan Berita Acara yang ditandatangani oleh anggota Tim

Asesmen Terpadu.

(3) Format Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum

dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan

dengan Peraturan ini.

Pasal 18:

(1) Tim Asesmen Terpadu memberikan rekomendasi pelaksanaan

rehabilitasi.

(2) Dalam hal kepentingan pemulihan Tersangka, rekomendasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan setelah Tim

Asesmen Terpadu melakukan asesmen.

(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam

bentuk Surat Keterangan yang ditandatangani oleh Ketua Tim

Asesmen Terpadu.

(4) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan

kepada Penyidik yang meliputi:


32

1. peran tersangka sebagai:

a) Pecandu dengan tingkat ketergantungannya terhadap

Narkotika;

b) Pecandu merangkap sebagai pengedar atau terlibat dalam

jaringan peredaran gelap Narkotika; dan

c) Korban Penyalahgunaan Narkotika.

2. rencana rehabilitasi sesuai dengan tingkat ketergantungan

Narkotika;

(5) Contoh Format rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak

terpisahkan dengan Peraturan ini.

4. Tujuan Tim Asesmen Terpadu

Dalam pembentukannya, Tim Asesmen Terpadu ini bertujuan

untuk mengetahui keteribatan pelaku dalam jaringan tindak pidana

narkotika dan lamanya pemakaian dalam penyalahgunaan narkotika,

(Badan Narkotika Nasional Kabupaten Bandung Barat, 2021). Untuk

mencapai tujuan tersebut, Tim Asesmen Terpadu ini perlu menerbitkan

rekomendasi proses hukum lanjutan kepada tersangka agar bisa

dilaksankannya mekanisme asesmen.

Selain menerbitkan rekomendasi proses hukum Tim Asesmen

Terpadu ini juga perlu menjalankan mekanisme asesmen untuk

tercapainya tujuan dari Tim Asesmen Terpadu ini yang pada Pasal 18

Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014

tentang Tata Cara Penanganan Tersangka Dan/Atau Terdakwa Pecandu


33

Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga

Rehabiitasi, yaitu:

(1) Penyidik menempatkan Tersangka Pecandu Narkotika dan Korban

Penyalahgunaan Narkotika yang sedang dalam proses peradilan ke

dalam lembaga rehabilitasi.

(2) Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

setelah Tersangka mendapatkan rekomendasi berdasarkan asesmen

dari Tim Asesmen Terpadu.

(3) Asesmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan

berdasarkan permohonan Penyidik kepada Tim Asesmen Terpadu.

(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan secara

tertulis dengan tembusan kepada Kepala BNN setempat sesuai

dengan tempat kejadian perkara.

(5) Penyidik mendapatkan nomor register asesmen berdasarkan

permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

5. Hasil Yang Dicapai Dari Proses Pelaksanaan Asesmen Dari Tim

Asesmen Terpadu

Dengan dasar Ius Constitutum, Ius Operatum dan Ius

Constituendum, mekanisme asesmen terpadu oleh Tim Asesmen Terpadu

dianggap penting untuk di analisa terkait formulasi, tahap aplikasi dan

tahap eksekusi dari aspek keterlibatan para penegak hukum, baik penyidik,

penuntut umum, hakim. Mekanisme asesmen penyalahgunaan narkotika

yang dilaksanaksan oleh Tim Asesmen Terpadu ini merupakan bentuk

penerapan keprihatinan terhadap penanganan penyalahgunaan narkotika di


34

Indonesia yang secara khusus di Kabupaten Buleleng. Dalam menjalankan

tugas dan wewenang pada pelaksanaan asesmen narkotika, Tim Asesmen

Terpadu memeroleh hasil dari kedua elemen tim yakni tim medis dan tim

hukum terhadap penentuan tersangka tindak pidana narkotika termasuk ke

dalam golongan pecandu atau penyalahgunaan narkotika, dan juga apakah

tersangka tersebut digolongkan ke dalam pengedar narkotika. Hasil ini

didapatkan dari perpaduan hasil pelaksanaan asesmen tersebut oleh tim

medis dan tim hukum, (Hariyadi, W, Anindito, T, 2021: 381).

6. Tinjauan Umum Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK)

Buleleng

1. Pengertian Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Buleleng

Berlokasi di Jalan Teleng Nomor 3 Singaraja, Badan Narkotika

Nasional Kabupaten (BNNK) Buleleng berdasarkan Peraturan Kepala

Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia No 23 Tahun 2017 Tentang

Perubahan Kelima atas Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No 3

Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika Nasional

Kabupaten/Kota, BNNK Buleleng ini berdiri pada tanggal 13 Maret 2018.

Berdasarkan Nota Kesepahan Nomor 075/16/KB/2018, BNNK Buleleng

berada dibawah dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Buleleng tentang

kerjasama Percepatan Pengembangan dan Pembangunan Kapasitas Badan

Narkotika Nasional di Kabupaten Buleleng. BNNK Buleleng juga

memiliki tugas, fungsi dan wewenang dalam wilayah Kabupaten Buleleng

yang tertuang dalam Pasal 36 Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional.


35

BNNK Buleleng dipimpin oleh bapak I Gede Astawa, S.H.,M.H

yang sudah selama 34 tahun menjadi anggota kepolisian serta pengalaman

menjadi Kepala Satuan (KaSat) Narkoba di Polresta Denpasar. Dalam

kepemimpinannya, beliau didampingi oleh satu Kasubag Umum dan

ketiga Kasi dan pegawai fungsional lainnya yang masing – masing

diantaranya adalah:

KASUBAG UMUM : I Ketut Maravia Buntaran, S. Sos.

KASI PEMBERANTASAN : NI LUH SRI EKARINI, S. Kep., Ners.

KASI P2M : SAIRUL HUDA, S.Sos, M.Si.

BBNK Buleleng memiliki Visi dan Misi yang diantaranya:

Visi:

“Menjadi lembaga yang profesional, tangguh, dan terpercaya dalam

Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap

Narkotika.”

Misi:

1. Mengembangkan dan memperkuat kapasitas kelembagaan.

2. Mengoptimalisasi sumber daya dalam penyelenggaraan pencegahan

dan pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran gelap Narkotika.

3. Melaksanakan pencegahan penyalahgunaan Narkotika secara

komprehensif.
36

4. Memberantas peredaran gelap Narkotika secara Profesional, (Badan

Narkotika Nasional Kabupaten Buleleng).

3. Fungsi Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Buleleng

Berdasarkan Peraturan Kepala BNN Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Perubahan Keempat atas Peraturan Kepala BNN Nomor 3 Tahun 2015

tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika Nasional

Kabupaten/Kota disebutkan bahwa Badan Narkotika Nasional

Kabupaten/Kota yang selanjutnya dalam Peraturan Kepala Badan

Narkotika Nasional ini disebut BNNK/Kota adalah instansi vertikal Badan

Narkotika Nasional yang melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang

Badan Narkotika Nasional dalam wilayah Kabupaten / Kota.

BNNK / Kota berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Kepala BNN Provinsi dipimpin oleh Kepala BNNK. Dan dalam

melaksanakan tugasnya, BNN Kabupaten/Kota menyelenggarakan fungsi :

1. Pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan rencana

kerja tahunan di bidang P4GN dalam wilayah Kabupaten/Kota;

2. Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pencegahan, pemberdayaan

masyarakat, rehabilitasi dan pemberantasan dalam wilayah

Kabupaten/Kota;

3. Pelaksanaan layanan hukum dan kerja sama dalam wilayah

Kabupaten/Kota;

4. Pelaksanaan koordinasi dan kerja sama P4GN dengan instansi

pemerintah terkait dan komponen masyarakat dalam wilayah

Kabupaten/Kota;
37

5. Pelayanan administrasi BNN Kabupaten/Kota;

6. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan BNN Kabupaten/Kota, (Badan

Narkotika Nasional Kabupaten Buleleng).

4. Tugas Pokok Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Buleleng

Dalam menjalankan tugasnya, BNNK Buleleng mempunyai tugas

pokok yang harus dipenuhi tentunya untuk mencapai visi misi serta tujuan

dengan dilandasi aturan hukum dan prosedur yang diantaranya adalah:

1. Memimpin BNNK dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang

BNN dalam wilayah Kabupaten Buleleng.

2. Mewakili Kepala BNN dalam melaksanakan hubungan kerjasama

dengan Instansi Pemerintah terkait dan Komponen Masyarakat dalam

wilayah kabupaten Buleleng, (Badan Narkotika Nasional Kabupaten

Buleleng).

H. Metode Penelitian

Pada dasarnya, metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan

data yang memiliki tujuan dan kegunaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, maka

terdapat empat kata kunci yang perlu diperhatikan yaitu, cara ilmiah yang berarti

kegiatan penelitian yang memiliki ciri dasar keilmuan yang meliputi, rasional,

empiris, dan sistematis. Berdasarkan ciri keilmuan tersebut, rasional merupakan

kegiatan penelitian yang dilakukan dengan cara yang masuk akal dan dapat

dijangkau oleh penalaran manusia. Empiris yaitu cara-cara yang dilakukan dapat

diamati langsung oleh indra manusia. Sistematis berarti suatu proses dalam

penelitian ini melalui langkah-langkah yang bersifat logis, (Sugiyono, 2015:2).


38

Guna menyelesaikan permasalahan yang telah dirumuskan, maka metode

penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Penelitian

hukum empiris adalah penelitian yang mengkaji realitas hukum yang

terjadi dalam masyarakat, mengkajinya dari perspektif empiris, (Yuliartini,

2014: 398). Penelitian hukum empiris adalah proses yang digunakan untuk

memecahkan masalah penelitian dengan terlebih dahulu meneliti data

sekunder kemudian melakukan penelitian data primer di lapangan. Metode

pengumpulan data yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan,

yaitu penelitian dengan menggunakan bahan kepustakaan di internet.

Metode penelitian lapangan (Field Research) dengan lokasi penelitian di

Badan Narkotika Nasional Kabupaten Buleleng, (JH Manurung, 2016).

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah

penelitian yang secara sistematis, realistis, dan akurat menggambarkan

suatu populasi atau wilayah tertentu, dalam kaitannya dengan

karakteristik, sifat, atau faktor tertentu, (Ishaq, 2017: 30). Penelitian ini

dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan secara holistic atau

praktis upaya rehabilitasi guna memberantass tindak pidana

penyalahgunaan narkotika melalui proses asesmen di Badan Narkotika

Nasional Kabupaten Buleleng berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Data dan Sumber Data


39

Dalam penelitian hukum empiris, data yang diteliti ada dua jenis,

yaitu data primer dan data sekunder, diantaranya yaitu:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil studi

lapangan yang diberikan oleh informan atau responden yang lebih

paham dengan permasalahan yang diangkat. Data primer ini berasal

dari hasil studi lapangan yang dilakukan di Badan Narkotika Nasional

Kabupaten Buleleng. Lokasi ini dipilih dengan pertimbangan bahwa

masih banyaknya tindak pidana narkotika yang terjadi di Kabupaten

Buleleng walaupun sudah ada aturan yang menjatuhkan sanksi.

Menyikapi hal tersebut, dilakukannya tindakan alternative (maatregel)

sebagai dasar upaya rehabilitasi melalui proses asesmen di BNNK

Buleleng. Namun masih juga ada kendala dalam pelaksanaan proses

asesmen tersebut. Kondisi inilah yang membuat peneliti memilih

BNNK Buleleng sebagai lokasi penelitian, karena sudah memenuhi

karakteristik sebagai tempat untuk dilakukan penelitian, .(Yuliartini,

2014:37).

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan

yaitu data yang di peroleh tidak secara langsung dari sumber

pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah

terdokumentasi dalam bentuk bahan-bahan hukum. Data Sekunder

dapat dibagi menjadi beberapa bahan hukum adalah sebagai berikut:

1) Bahan Hukum Primer


40

Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai

otoritas (autoritatif). Adapun bahan hukum primer yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu:

- Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana

- Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah data yang diperoleh dan bersumber dari artikel dalam jurnal

– jurnal, doktrin dan hasil penelitian yang berkaitan dengan

narkotika, upaya rehabilitasi, proses asesmen, kendala dalam

menerapkan proses asesmen, serta upaya dalam mengatasi kendala

yang dihadapi BNNK Buleleng.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam rangka pengumpulan data primer maupun data sekunder, maka

peneliti menggunakan tiga jenis teknik pengumpulan data, yaitu sebagai

berikut:

a. Teknik Studi Dokumen

Penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah bahan – bahan pustaka

yang relevan dengan penelitian berupa literature – literature,

pengamatan (observasi), karya ilmiah (hasil penelitian), peraturan

perundang – undangan, jurnal ilmiah, (Waluyo, 2008 8). Dalam studi

dokumen ini, dilakukan dengan mengumpulkan data asesmen dan


41

rehabilitasi tindak pidana narkotika di Badan Narkotika Nasional

Kabupaten Buleleng.

b. Teknik Wawancara

Teknik wawancara adalah teknik yang digunakan untuk terjun

langsung ke lapangan dengan mewawancarai pihak terkait dengan

masalah yang sedang dibahas. Dalam wawancara, dilakukan proses

tanya jawab dengan penulis dan narasumber, dimana sebelumnya

penulis telah menyiapkan sejumlah pertanyaan yang dirancang untuk

memperoleh tanggapan dari responden sumber dan penyedia informasi

yang berkaitan dengan masalah penelitian, (Bungin, 2013:126). Teknik

wawancara yang dilakukan yaitu mengadakan wawancara langsung

dengan informan yaitu pihak dari Polres Buleleng, dan Badan

Narkotika Nasional Kabupaten Buleleng yang mengetahui tentang

permasalahan yang akan diteliti agar memperoleh jawaban mengenai

permasalahan yang diangkat di penelitian ini.

c. Teknik Observasi

Teknik observasi adalah melakukan pengamatan yang disengaja dan

sistematis terhadap gejala-gejala social dengan gejala-gejala psikologis

untuk kemudian direkam. Untuk penelitian ini, peneliti menggunakan

teknik observasi langsung yang disebut observasi non-participating,

(Sugiyono, 2011:145). Dalam penelitian ini teknik observasi yang

dilakukan yaitu dengan melakukan pengamatan langsung kondisi yang

sebenarnya terkait upaya rehabilitasi melalui proses asesmen di BNNK

Buleleng, dengan bertindak sebagai pengamat tak terlibat (non


42

participant observation) yaitu peneliti tidak ikut berpartisipasi

langsung dalam suatu kelompok tersebut namun hanya mengamati dan

tidak secara langsung terlibat melakukan tindakan.

5. Teknik Penentuan Sampel

Pada penelitian ini penulis menggunakan teknik Nonprobability

Sampling, yan dimana dalam penelitian ini tidak ada batasan pasti berapa

sampel yang digunakan untuk mewakili populasi. Pengambilan sampel

dalam penelitian ini dilakukan di Badan Narkotika Nasional Kabupaten

Buleleng. Cara yang digunakan dalam menentukan subjek penelitian

adalah dengan teknik Purposive Sampling, yaitu penarikan sampel

dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu sampel dipilih atau ditentukan

sendiri oleh peneliti yang mana penunjukan dan pemilihan sampel

didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-

sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari

populasinya, (Diantha, 2016:198).

6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan teknik

analisis deskriptif kualitatif dengan melalui pendekatan yuridis empiris.

Dimana penelitian ini akan disusun secara sistematis dan selektif sehingga

memperoleh suatu kesimpulan umum. Tujuan menggunakan teknik

deskriptif kualitatif melalui pendekatan yuridis empiris yaitu agar

memperoleh data secara sistematis faktual dan aktual mengenai fakta-fakta

suatu gejala atau peristiwa yang timbul di dalam masyarakat dengan

menganalisis suatu data merupakan suatu langkah dalam suatu penelitian.


43

Proses pengolahan data dan analisis data dalam penelitian dibagi

atas beberapa tahapan yang penjelasannya sebagai berikut:

1. Pengumpulan data merupakan suatu proses yang harus ditempuh untuk

memperoleh informasi terkait dengan data yang diperoleh melalui

berbagai metode pengumpulan data. Dengan menggunakan penerapan

metode wawancara, observasi, dan pencatatan dokumen diharapkan

mampu mengumpulkan data yang akurat dan akan dikumpulkan

menjadi satu data yang mentah. Namun dalam tahap ini sudah

dilakukan analisis terhadap data-data yang sudah diperoleh untuk

mempermudah ketika memasuki tahapan selanjutnya dalam kegiatan

pengolahan data.

2. Reduksi data, data yang di reduksi akan dirangkum dan akan dipilih

hal-hal yang paling penting yang berkaitan dengan kajian penelitian.

Karena sebagai seorang peneliti pemula, di dalam mengumpulkan data

tidak terlepas dari pembiasaan dari data-data yang diperoleh, oleh

sebab itu segala data yang sudah diperoleh dikumpulkan menjadi satu

atas dasar pendapat, pikiran, atau kriteria tertentu dengan

pengelompokan ke dalam bagian-bagian isi secara jelas yang saling

berkaitan dengan penelitian.

3. Penyajian data, karena penelitian ini merupakan penelitian kualitatif

maka seluruh hasil yang diperoleh dari penerapan beberapa metode

pengumpulan data akan disajikan dalam bentuk teks naratif, sejumlah

matrik yang akan disusun secara baris dan kolom yang diinginkan.
44

4. Penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Pada tahap ini dilakukan

penyimpulan terhadap hasil penelitian namun simpulan tersebut dapat

bersifat sementara dan akan dilakukan verifiksi sampai sesuai dengan

tujuan penelitian, kemudian peneliti menarik kesimpulan atau

keputusan sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan yang

peneliti buat atau dicantumkan dalam sebuah tulisan.

Pengolahan data merupakan tahap dimana data dikerjakan dan

dimanfaatkan sehingga berhasil mendapatkan jawaban yang relevan dalam

permasalahan yang diangkat dari penelitian ini. apa yang dapat

diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2010:248).


45

DAFTAR RUJUKAN
BUKU
Bungin, Burhan. 2013. Metode Penelitian Sosial & Ekonomi: Format-Format
Kuantitatif dan Kualitatif Untuk Studi Sosiologi, Kebijakan, Publik,
Komunikasi, Manajemen, dan Pemasaran Edisi Pertama. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

Diantha, I Made Pasek. 2016. Metodologi Hukum Normatif Dalam Justifikasi


Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media Group.

Ishaq. 2017. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.

Krisnawati. 2022. Seputar Narkotika: Sejarah Sampai Dampak Narkotika. CV


Media Edukasi Creative: hlm. 5-8.

Moleong, L.J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda


Karya.

Mujab, M. 2018. Kekuatan Mengikat Rekomendasi Tim Asesmen Terpadu Dalam


Putusan Hakim Perkara Narkotika (Studi Di Badan Narkotika Nasional
Provinsi Sumatera Selatan). Sumatera Selatan: Universitas Sriwijaya, 8.

Yuliartini, Ni Putu Rai. 2014. “Kajian Kriminologis Kenakalan Anak Dalam


Fenomena Balapan Liar Di Kota Singaraja Bali” (Tesis). Program Studi
Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.

SKRIPSI/TESIS
A. Iswara. 2019. Implementasi Tim Asesmen Terpadu Narkotika Terhadap
Putusan Hakim Yang Menjatuhkan Sanksi Pidana Dihubungkan Dengan
Asas Kepastian Hukum. Pasundan: Universitas Pasundan, hlm. 34 – 35.
Panjaitan, Liana. 2020. Proses Asesmen Dalam Penanganan Pecandu dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Satuan Narkotika Polresta Kota
Medan). Medan: Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, hlm. 21.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung:


Alfabeta.

Syaprilianti, Sella. 2019. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu


Narkotika Di Badan Narkotika Nasional Kabupaten Kuantan Singingi.
Singingi: Universitas Islam Kuantan Singingi.

Shabrina, Talitha. 2017. Strategi Coping Klien Muslimah Yang Menjalani


Rehabilitasi Narkoba di Yayasan Rehbailitasi Narkoba Hidayah
Foundation Palembang. Skripsi Universitas Islam Negeri Raden Fatah,
Palembang, hlm. 54 – 55.
46

Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar


Grafika.

ARTIKEL DALAM JURNAL


Afrizal, Riki, Anggunsuri, Upita. (2019). Optimalisasi Proses Asesmen Terhadap
Penyalahgunaan Narkotika Dalam Rangka Efektivitas Rehabilitasi Sosial
Bagi Pecandu Narkotika. Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 19 No.
3, September 2019: 259 – 268.
Amanda, M. P, Humaedi, S, Santoso, M.B. (2017). Penyalahgunaan Narkoba di
Kalangan Remaja (Adolescent Substance Abuse). Jurnal Penelitian &
PPM: Vol. 4 No: 2, Juli 2017.
Adam, Sumarlin. (2012). Dampak Narkotika Pada Psikologi dan Kesehatan
Masyarakat.
Frizal, Riki, Anggunsari Upita. (2018). Optimalisasi Proses Asesmen Terhadap
Penyalah Guna Narkotika Dalam Rangka Efektivitas Rehabilitasi Medis
Dan Sosial Bagi Pecandu Narkotika (Optimizing Assessment Process to
Drug User Within the Scope of Effective Medical and Social
Rehabilitation for Drug Addicts). Jurnal Penelitian Hukum De jure: Vol.
19 No. 3, 3 September 2022, hlm 265.
Hariyadi, Wahyu, Anindito, Teguh. (2021). Pelaksanaan Asesmen Terhdap Pelaku
Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari Undang – Undang No. 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha:
Vol. 9 No. 2 (Mei, 2021), hlm. 381.
Huda, N. Saefudin, Y. Gumbira, S. W, Sumarji. (2020). Asesmen Terpadu:
Penerapan Restorative Justice Penanggulangan Kejahatan Narkotika Di
Indonesia (Integrated Assessment: Implementation of Restorative Justice
to Countermeasure Drugs Crime in Indonesia). Jurnal Ilmiah Kebijakan
Hukum, Vol. 14 No. 1, Maret 2020: hlm. 114.
JH Manurung, Reposiotry Universitas Medan Area, (2016).
Sakti, Aminullah. (2018). Asas Strict Liability Dalam Tindak Pidana Narkotika.
Jurist – Diction: Vol. 1 No. 2, November 2018.
Sakdiyah, Fasichatus, Setyorini, E. H, Yudianto, Otto. (2021). Model Double
Track System Pidana Terhadap Pelaku Penyalagunaan Narkotika Menurut
Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009. Jurnal Yustitia Fakultas Hukum
Universitas Madura Pamekasan: Vol. 22 No. 1, 2020.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
47

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis


Pelaksanaan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu,
Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata
Cara Penanganan Tersangka Dan/Atau Terdakwa Pecandu Narkotika Dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

INTERNET
ASHEFA Griya Pusaka (Drug Addiction Treatment Center). Dikutip dari
https://ashefagriyapusaka.co.id/berita-rehabilitasi-narkoba/implementasi-
tim-asesmen-terpadu/. Diakses pada 24 Agustus 2022.
Badan Narkotika Nasional Kabupaten Bandung Barat. (2021). Tim Asesmen
Terpadu (TAT) Penyalahgunaan Narkotika. Dikutip dari
https://bandungbaratkab.bnn.go.id/tim-asesmen-terpadu-tat-
penyalahgunaan-narkotika-2/. Diakses pada 24 Agustus 2022.
Badan Narkotika Nasional Kabupaten Buleleng. Profil BNNK Buleleng. Dikutip
dari https://bulelengkab.bnn.go.id/visi-dan-misi-bnn/. Diakses pada 25
Agustus 2022.
Kumparan, (2022). Pengertian Zat Adiktif dan Efeknya bagi Tubuh Manusia.
Dikutip dari https://kumparan.com/berita-update/pengertian-zat-adiktif-
dan-efeknya-bagi-tubuh-manusia-1xW7oVkeYXq/full. Diakses pada 22
Agustus 2022.
Merak, Manuk. (2018). Asesmen Terpadu terhadap Pecandu dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika Untuk Rehabilitasi Pada Proses Peradilan.
Dikutip dari https://www.fianhar.com/2015/02/assesmen-terpadu-
terhadap-pecandu-dan.html. Diakses pada 24 Agustus 2022.

Anda mungkin juga menyukai