Anda di halaman 1dari 61

IMPLEMENTASI HAK ANAK KORBAN TINDAK PIDANA

PENCABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN 2014


TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
(STUDI KASUS DI UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK)

Oleh :

Apri Setia Wiratama

19010000053

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

2023

i
IMPLEMENTASI HAK ANAK KORBAN TINDAK PIDANA
PENCABULAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN 2014
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
(STUDI KASUS DI UNIT PELAYANAN PEREMPUAN DAN ANAK)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Program

Sarjana Strata Satu Program Studi Hukum

Oleh :

Apri Setia Wiratama

19010000053

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

2023

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

NAMA : APRI SETIA WIRATAMA


NIM : 19010000053
UNIVERSITAS : MERDEKA MALANG
FAKULTAS : HUKUM
PROGRAM STUDI : HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM PIDANA
JUDUL SKRIPSI : IMPLEMENTASI HAK ANAK KORBAN
TINDAK PIDANA PENCABULAN MENURUT
UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN
2014TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

Malang 18 Desember 2023

Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II

Enny Ristanti, S.H., M.S Dr. Nahdiya Sabrina, S.H., M.H., M.Kn.

Mengetahui

Ketua
Program Studi Ilmu Hukum S-1

Dhaniar Eka Budiastanti, S.H., M.Kn.

iii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv

BAB IPENDAHULUAN..........................................................................................1

A. Latar Belakang ................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 12
E. Metode Penelitian .......................................................................... 13
1. Jenis Penelitian .................................................................... 13
2. Metode Pendekatan ............................................................. 13
3. Jenis dan Sumber Data ........................................................ 14
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 15
5. Analisa Data......................................................................... 17
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 17
BAB IITINJAUAN UMUM .................................................................................. 19
A. Tinjauam Umum Implementasi ............................................19
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana................................................ 24
C. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pencabulan ............................... 30
D. Tinjauan Umum tentang Anak dan hak-hak korban tindak
pidana......................................................................................34
E. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak.....................................36
BAB IIIPEMBAHASAN ..................................................................................... 39
A. Implementasi Hak Anak Sebagai Korban Tindak Pidana
Pencabulan Menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak Di Unit PPA Polresta Malang Kota ............... 39
B. Kendala Dalam Implementasi Hak Sebagai Korban Tindak
Pidana Pencabulan Menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak Oleh Unit PPA Polresta Malang Kota48
BAB IVPENUTUP ............................................................................................. 54
A. Kesimpulan.................................................................................... 54
B. Saran .............................................................................................. 55
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak rentan terhadap tindak kekerasan yang dapat terjadi di

berbagai lingkungan, termasuk di rumah, di ruang publik, dan

bahkan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Kekerasan terhadap

anak seringkali mendominasi dalam lingkup rumah tangga, tempat

seharusnya memberikan rasa aman. Sayangnya, kasus-kasus

kekerasan terhadap anak sering dianggap sebagai masalah yang

biasa dan tidak dianggap sebagai tindak pidana, terutama ketika

kekerasan tersebut berhubungan dengan tindak pidana pencabulan

terhadap anak.

Salah satu fenomena kriminal yang semakin mencuat adalah

kekerasan seksual terhadap anak. Anak dianggap sebagai

anugerah yang sangat berharga yang diberikan oleh Tuhan kepada

setiap pasangan manusia untuk dijaga, dilindungi, dan dididik. Anak

adalah individu yang memiliki keterbatasan fisik, mental, dan sosial,

sehingga mereka sangat bergantung pada pihak lain, terutama

anggota keluarga, yang bertanggung jawab aktif untuk melindungi

dan merawat mereka. Tanggung jawab perlindungan terhadap anak

1
2

ini melibatkan kedua orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara.1

Perlindungan terhadap anak tidak hanya mencakup

pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan,

tetapi juga melibatkan perlindungan terhadap kondisi psikologis

atau mental anak, khususnya dalam perkembangan kejiwaannya.

Ini berarti bahwa anak harus dapat berkembang dan hidup secara

normal, tidak hanya dari segi fisik tetapi juga dari segi jiwa atau

psikisnya.

Selain itu, aspek penting dari perlindungan anak adalah

perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana. Perlindungan

hukum ini memberikan jaminan bahwa pihak yang menjadi korban

tindak pidana akan mendapatkan keadilan dan kompensasi atas

penderitaan atau kerugian yang mereka alami.2

Perlindungan yang diberikan negara terhadap anak-anak

meliputi berbagai aspek kehidupan yaitu aspek ekonomi, sosial,

budaya, politik, pertahanan, dan keamanan maupun aspek hukum.

Selain menurut para ahli, adapula pengertian anak menurut

Peraturan Perundang-undangan antara lain :

1. Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

1 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan,

(Bandung: PT Refika Aditama, 2018). Hal. 35


2 Primautama Dyah Savitri, Benang Merah Tindak Pidana Pelecehan seksual

(Jakarta: Yayasan Obor, 2006). Hal. 11


3

Anakmerumuskan bahwa anak adalah seseorang yang belum

berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada

dalam kandungan.

2. Undang-Undang Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak merumuskan bahwa anak adalah seseorang yang belum

mencapai umur 21 (dua puluh Satu) tahun dan belum pernah

kawin.

3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 45 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana bahwa anak adalah anak yang belum

dewasa apabila seseorang tersebut belum berumur 16 (enam

belas ) tahun.

4. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Bahwa

anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak. Anak yang berhadapan dengan

hokum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang

menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi

tindak pidana.

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak di

Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

Pasal 4, 5,7, 8, 10, 11, 13, 16,17 dan 18 bahwa hak-hak anak

yang harus dilindungi adalah sebagai berikut :

1. Setiap Anak berhak untuk dapat hidup,tumbuh, dan


4

berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan


harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
2. Setiap Anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan ;
3. Setiap Anak berhak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri ;
4. Setiap Anak berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual dan sosial ;
5. Setiap Anak berhak menyatakan dan di dengar pendapatnya,
menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan
tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya
sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan ;
6. Setiap Anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan
waktu luang, bergaul dengan Anak yang sebaya, bermain,
berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri ;
7. Setiap Anak selama dalam pengasuhan Orang Tua, Wali, atau
pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari
perlakuan : diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun
seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan
penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya ;
8. Setiap Anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi ;
9. Setiap anak berhak untuk mendapatkan kebebasan sesuai
dengan hukum ;
10. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara Anak
hanya dilakuakan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku
dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir ;
11. Setiap Anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk
mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan
penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, dan membela diri
serta memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum
12. Setiap Anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan
seksual atau yang behadapan dengan hukum berhak
dirahasiakan ;dan
13. Setiap Anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana
berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.3

3
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
5

Pada tahun 2014, Indonesia mengeluarkan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang

mencakup ketentuan-ketentuan terkait tindak pidana kekerasan

seksual terhadap anak. Pasal-pasal dalam undang-undang ini

memberikan dasar hukum untuk melindungi anak-anak dari segala

bentuk kekerasan seksual. Berikut adalah beberapa pasal yang

relevan dalam Undang-Undang tersebut:

1. Pasal 81 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014: Menetapkan

bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan cabul

atau perbuatan tidak senonoh terhadap anak.

2. Pasal 82 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014: Menetapkan

bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan atau

perbuatan cabul lainnya dengan anak di bawah umur

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana

denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar

rupiah).

Pencabulan merupakan tindakan yang dilakukan seseorang

yang didorong oleh keinginan seksual untuk melakukan hal-hal

yang dapat membangkitkan hawa nafsu birahi, sehingga

menimbulkan kepuasan pada dirinya. Salah satu tindak pidana

yang meresahkan masyarakat adalah tindak pidana pencabulan


6

anak, apakah itu anak laki-laki ataupun anak perempuan. Dalam

kasus pencabulan anak dibawah umur, bahwa pelaku pencabulan

tidak lagi mengenal status, pangkat, pendidikan, jabatan dan usia

korbannya.4

Pencabulan merupakan salah satu dari kejahatan seksual

yang diakibatkan dari adanya perubahan yang terjadi dalam

struktur masyarakat kita. Pencabulan adalah jenis kejahatan yang

berdampak sangat buruk terutama pada korbannya, sebab

pencabulan akan melanggar hak asasi manusia serta dapat

merusak martabat kemanusiaan, khususnya terhadap jiwa, akal

dan keturunan. Ada beberapa bentuk dan jenis istilah tentang

pencabulan adalah :5

1. Exhibitionism seksual yaitu, sengaja memamerkan alat

kelamin pada anak.

2. Voyeurism yaitu, orang dewasa mencium anak dengan

bernafsu.

3. Fonding yaitu, mengelus/meraba alat kelamin seorang anak.

4. Fellatio yaitu, orang dewasa memaksa anak untuk

melakukan kontak mulut

4 Kartini Kartono, 1983, Patologi Sosial,CV. Rajawali, Jakarta, hlm 23


5 Yuwono, Ismantoro Dwi. 2005, Penerapan hukum dalam kasus kekerasan
seksual anak. Yogyakarta Cet 1: Pustaka Yutisia, hlm. 34
7

Pada 2019, Kemen PPPA mencatat 6.454 anak menjadi

korban kekerasan seksual. Jumlah tersebut meningkat di 2020

sebesar 8,14 persen. Kemudian di 2021, peningkatan terjadi

sebesar 25,07 persen. Sejak Januari hingga Mei 2022, data di

Robinopsnal Bareskrim Polri mencatat 2.267 anak di seluruh

wilayah di Indonesia menjadi korban kejahatan. Jenis

kejahatannnya beragam di antaranya kekerasan fisik, kekerasan

psikis, kekerasan seksual, penelantaran, mempekerjakan anak di

bawah umur, hingga pelanggaran hak asasi anak-anak sebagai

manusia. Dari data tersebut, jumlah anak perempuan yang menjadi

korban sebesar kurang lebih 80,68 persen. Selebihnya adalah anak

laki-laki yang menjadi korban kejahatan. Sementara itu, laman

resmi milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menerima 10.727 laporan kasus

kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebanyak 11.604 orang

menjadi korban kekerasan sejak Januari hingga Juni 2022.

Dari data tersebut, jumlah anak yang menjadi korban lebih

banyak ketimbang dewasa. Yaitu 56,5 persen anak menjadi korban.

Sementara korban dewasa sebesar 43,5 persen dari data tersebut.

Bahkan, anak di rentang usia 13 sampai 17 tahun paling

mendominasi data korban kekerasan yaitu sebanyak 3.815 orang.

Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar,

mengatakan tren jumlah kasus kekerasan seksual pada anak


8

meningkat. Itu terjadi karena masyarakat kini berani melapor ke

kepolisian maupun Kemen PPPA.6

Melihat dari kasus di atas tersebut maka sudah seharusnya

hukum pidana memberikan sanksi yang setimpal bagi pelaku

kejahatan tersebut sehingga supremasi hukum benar-benar

ditegakkan dan tercipta ketertiban dalam masyarakat. Sejatinya

pidana hanyalah sebuah alat yaitu alat untuk mencapai tujuan

pemidanaan. Penetapan sanksi dalam suatu perundang-undangan

pidana bukanlah sekedar masalah teknis perundang-undangan

semata, melainkan ia bagian yang tidak terpisahkan dari substansi

atau materi perundang-undangan itu sendiri.

Jaminan hukum terhadap korban pencabulan pun harus

lebih digencarkan dan diutamakan. Oleh karena itu penjatuhan

pidana terhadap pelaku pencabulan anak seharusnya hakim

memperhatikan akibat-akibat yang timbul dari adanya suatu

perbuatan tersebut baik aspek psikis maupun aspek psikologis dari

korban, sehingga dalam putusannya dapat memuaskan rasa

keadilan bagi korban dan masyarakat. Bahwasannya Pencabulan

dalam hal ini pencabulan yang terkait di masyarakat itu bisa terjadi

dari pelakunya itu orang dewasa atau pun anakanak sesama

6 Pusiknas Bareskrim Polri. 2023. Kekerasan Seksual Mendominasi


Kasus Kejahatan pada Anak.
https://pusiknas.polri.go.id/detail_artikel/kekerasan_seksual_mendominasi_kasus_kejahatan_pada
_anak diakses pada 2 Desember 2023
9

anak.7

Sedangkan upaya perlindungan hukum terhadap korban

pencabulan keterkaitan dalam kebijakan atau politik hukum

pidana,yaitu merumuskan suatu perundangundangan pidana.

Pada akhirnya upaya perlindungan dan penanggulangan korban

dari kejahatan dapat ternimalisir. Adapun perlindungan khusus

yang harusnya diupayakan kepada Anak korban kejahatan

seksual menurut Pasal 69A undang-undang nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak, yaitu:

1. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai


kesusilaan;
2. rehabilitasi sosial;
3. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai
pemulihan; dan pemberian perlindungan dan pendampingan
pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan,
penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Secara Umum dapat disebutkan hak korban adalah sebagai

berikut :

1. Korban berhak mendapat kompensasi atas penderitaan,


sesuai dengan kemampuan pelaku.
2. Korban berhak menolak kompensasi karena tidak
memerlukannya.
3. Korban berhak mendapat kompensasinya untuk ahli warisnya,
bila korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.
4. Korban berhak mendapat pembinaan.
5. Korban berhak mendapatkan kembali hak miliknya.
6. Korban berhak menolak menjadi saksi, bila hal ini akan
membahayakan dirinya.
7. Korban berhak melaporkan perlindungan dari ancaman pihak
pelaku, bila melapor ke dan menjadi saksi
8. Korban berhak mendapat bantuan penasehat hukum.

7 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak Indonesia (Jakarta:Rajawali

Pers, 2011). Hal 1.


10

9. Korban berhak mempergunakan upaya hukum


(rechtsmiddelen).
Adapun kewajiban korban adalah sebagai berikut :

1. Korban tidak main hakim sendiri (eigenrichting)


2. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah
terjadinya/timbulnya korban lebih banyak lagi.
3. Korban berkewajiban mencegah kehancuran si pelaku baik
oleh diri sendiri, maupun orang lain. Korban wajib ikut serta
membina pelaku.
4. Bersedia dibina atau membina diri sendiri agar tidak menjadi
korban lagi.
5. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan
kemampuan pelaku.
6. Berkewajiban memberi kesempatan kepada pelaku untuk
memberi kompensasi secara bertahap atau sesuai dengan
kemampuannya.
7. Berkewajiban menjadi saksi bila tidak membahayakan diri
sendiri dan ada jaminan8
Lingkungan sekitar mempunyai pengaruh dan peran yang

cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. Untuk itu

bimbingan, pembinaan dan perlindungan dari orang tua, guru,

serta orang dewasa lainnya sangat dibutuhkan oleh anak di dalam

perkembangannya. 9 Perlindungan terhadap anakpun sudah ada

dan ditetapkan oleh pemerintah dalam mengatasi kekerasan

seksual. Meskipun sudah diberlakukannya Undang-Undang

Perlindungan Anak namun para pelaku tetap saja berani untuk

melakukan aksi jahatnya.

Dengan dilatar belakangi uraian tersebut diatas maka

penulis terdorong untuk melakukan penelitian dan penulisan

8
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
9
Moerti Hadiati Soeroso.2010.Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Jakarta: Sinar
Grafika. Hlm.115
11

skripsi dengan judul “Implementasi Hak Anak Korban Tindak

Pidana Pencabulan Menurut Undang-Undang No 35 Tahun

2014 Tentang Perlindungan Anak (Studi Kasus Di Polresta

Malang Kota)”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi hak anak sebagai korban tindak

pidana pencabulan menurut undang-undang no 35 tahun 2014

tentang perlindungan anak di unit PPA Polresta malang kota?

2. Apakah kendala dalam implementasi hak sebagai korban

tindak pidana pencabulan menurut undang-undang no 35

tahun 2014 tentang perlindungan anak oleh unit PPA Polresta

malang kota?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui serta menganalisa implementasi hak anak

sebagai korban tindak pidana pencabulan menurut undang-

undang no 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak di unit

PPA Polresta malang kota.

2. Untuk mengetahui serta kendala yang di hadapi unit PPA

Polresta malang kota dalam pelaksanaan perlindungan dan


12

hak anak sebagai korban tindak pidana pencabulan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil dari Penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan dan ilmu pengetahuan tentang hak anak sebagai

korban tindak pidana pencabulan.

b. Hasil dari penelitian ini digunakan untuk memenuhi

tugaspenelitian hukum, sebagai syarat menyelesaikan studi di

fakultas hukum universitas merdeka malang.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat, pencerahan, pengetahuan, serta informasi kepada

masyarakat tentang tindak pidana pencabulan dan hak-hak

anak sebagai korban tindak pidana pencabulan.

b. Bagi Unit PPA

Memberikan informasi dan menjadikan masukan bagi

para penegak hukum dalam melindungi korban tindak pidana

pencabulan terhadap anak dan memberikan efek jera

terhadap pelaku.
13

c. Bagi Mahasiswa

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi

bahan dan sumber bacaan bagi mahasiswa untuk

meningkatkan pengetahuan mereka tentang hak-hak anak

sebagai korban tindak pidana pencabulan.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian empiris, yaitu

penelitian dengan adanya data-data lapangan sebagai sumber

data utama, seperti hasil wawancara dan observasi. Penelitian

empiris digunakan untuk menganalisis hukum yang dilihat

sebagai perilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan

masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan

dalam aspek kemasyarakatan10

2. MetodePendekatan

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode penelitian yang bersifat yuridis sosiologis

yaitu penelitian terhadap masalah dengan melihat dan

memperhatikan norma hukum yang berlaku dihubungkan

dengan fakta-fakta yang ada dari permasalahan yang ditemui

10
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm, 43.
14

dalam penelitian.

3. Jenis dan Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah

mengidentifikasikan sumber bahan, maka bahan yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis sumber

bahan yaitu :

a) Data Primer

Data Primer adalah Penelitian yang mengkaji dan

menganalisis tentang perilaku hukum seseorang atau

kelompok masyarakat yang berhubungan dengan

hukum dan sumber data yang digunakan yaitu

wawancara atau observasi yang dilakukan oleh peneliti

dengan mendatangi langsung tempat penelitian

tersebut agar menggambarkan dengan mudah dan

mendapat data yang valid. 11 Pengumpulan data yang

dilakukan peneliti yang terjun langsung ke

lapangan didapatkan melalui cara wawancara oleh

pihak-pihak terkait atau narasumber, yaitu anggota

pihak Unit PPA Polresta Malang kota.

11
Bachtiar, Metode Penelitian Hukum, (Tangerang Selatan: UNPAM
Press, 2018), Hlm. 61-65
15

b) Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder yang telah didapatkan

oleh peneliti, dipelajari, memeriksa atau membaca dan

mengumpulkan data yang berhubungan dengan objek

penelitian yang dilakukan. Data sekunder berupa

peraturan perundang-undangan, jurnal, buku dan artikel

yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode penelitian dengan cara mengumpulkan data ini

memiliki korelasi yang sangat erat yang saling

berkesinambungan. Maka dari itu, ada beberapa cara dalam

teknik pengumpulan data yaitu dengan wawancara, daftar

pertanyaan dan pengamatannya dan dokumentasi. Dalam

proses pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti yaitu

dengan menggunakan metode-metode penelitian tertentu yang

disesuaikan yaitu dengan cara tanya jawab, pengamatan dan

dokumentasi untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin.

a) Wawancara (interview)

Wawancara adalah sebuah alat pengumpulan data

yang digunakan untuk mendapatkan informasi langsung dari

narasumber atau informan.8 Proses dalam tahap tanya jawab


16

secara lisan antara dua orang atau lebih secara langsung

tentang informasi-informasi atau keteranganketerangan.

Dengan begitu, pemberi pertanyaan diharapkan dapat

menyampaikan semua pertanyaan dengan jelas, narasumber

untuk menjawab semua pertanyaan dan mencatat semua

informasi yang dibutuhkan dengan benar.

b) Observasi (pengamatan)

Observasi ialah sebuah alat yang digunakan untuk

mengumpulkan data setelah data diperoleh, tujuan penelitian

hukum yang berkaitan adalah mencatat perilaku hukum

sebagaimana terjadi di dalam kenyataan.12 Pengamatan yang

dilakukan yaitu mengenai implementasi hak anak korban

tindak pidana pencabulan menurut undang-undang no 35

tahun 2014 tentang perlindungan anak apakah telah

diterpakan secara optimal atau belum, serta peran serta

masyarakat dalam menjaga, memantau, mengawasi dan

memberikan laporan/informasi jika menemukan kasus

pencabulan anak.

c) Dokumentasi

Dokumentasi ialah studi yang dilakukan pada data-data

yang bersifat fisik atau bukti yang berhubungan dengan

12Ishad, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis Serta Disertasi,
(Bandung: Penerbit Alfabeta, 2017), hlm. 115
17

implementasi hak anak korban tindak pidana pencabulan

menurut undang-undang no 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak. Yang berupa informasi yang didapatkan

oleh peneliti yaitu dokumen

5. Analisa Data

Setelah data terkumpul nantinya maka langkah

selanjutnya adalah pengolahan dan menganalisis data yang

disusun secara deskriptif kualitatif yaitu dengan cara

memaparkan dan menggabungkan data yang diperoleh dari

lapangan. kualitatif karena data yang diperoleh tidak berupa

angka melainkan berupa kalimat yang berguna untuk

menjawab permasalahan yang dirangkai dari kata perkata

menjadi kalimat dan paragraf sehingga mudah untuk

dipahami.13

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi penulis menggunakan sistematika

yang bertujuan untuk memperjelas dan dapat mengerjakannya

secara runtut dalam bab per bab. Pembaca agar dapat

mudah untuk memahami penulisan dalam skripsi ini, maka dari itu

penulis menjelaskan sistematikanya sebagai berikut :

13
Arikunto, 2009, Manajemen Penelitian, Jakarta: Ineka Cipta, hlm 72
18

BAB I: Pendahuluan

Bab ini memuat hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan topik dari

penulisan skripsi dan sekaligus menjadi pengantar umum di dalam

memahami penulisan secara keseluruhan yang terdiri dari latar

belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Pada bab ini berisi tentang teori-teori yang melandasi penulisan

dan pembahasan di antaranya, yaitu : pengertian implementasi,

pengertian perlindungan hukum, pengertian tinadak pidana

pencabulan.

BAB III: Pembahasan

Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai pembahasan

berdasarkan permasalahan yaitu tentang implementasi hak anak

korban tindak pidana pencabulan menurut undang-undang no 35

tahun 2014 tentang perlindungan anak.

BAB IV: Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dan saran oleh penulis


BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG IMPLEMENTASI HAK ANAK KORBAN


TINDAK PIDANA PENCABULAN

A. Tinjauam Umum Implementasi

1. Pengertian implementasi

Pengertian Implementasi Secara umum istilah Implementasi dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pelaksanaan atau

penerapan.Istilah implementasi biasanya dikaitkan dengan suatu kegiatan

yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Salah satu upaya

mewujudkan dalam suatau sistem adalah implementasi. Kebijakan yang

telah ditentukan, karena tanpa implementasi sebuah konsep tidak akan

pernah terwujudkan. Implementasi kebijaksanaan sesungguhnya bukanlah

sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-

keputusan politik ke dalam prosedur – prosedur rutin lewat saluran-saluran

birokrasi, melainkan lebih dari itu menyangkut masalah konflik, keputusan

dan siapa memperoleh apa dari suatu Kebijaksanaan.

B. Tinjauam Umum Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah mengenai tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa

Belanda yaitu strafbaarbeit atau delict, namun dalam perkembangan

hukum isitlah strafbaarbeit atau delict memiliki banyak definisi yang

berbeda-beda, sehingga untuk memperoleh definisikan tentang tindak

19
20

pidana secara lebih tepat sangatlah sulit mengingat banyaknya pengertian

mengenai tindak pidana itu sendiri. Perkataan feit dalam bahasa Belanda

mengandung arti sebagian dari kenyataan atau een gedeelte van de

werkelijkheid, sedangkan kata strafbaar mengandung arti dapat dihukum.

Jadi secara harfiah, strafbaar feit diterjemahkan sebagai sebagian dari

suatu kenyataan yang dapat dihukum.14

Setelah istilah tindak pidana, istilah lain sebagaimana terjemahan

dari strafbaar feit yang digunakan yaitu :

a) Peristiwa pidana

b) Perbuatan pidana

c) Pelanggaran pidana

d) Perbuatan yang dapat dihukum

Pengertian mengenai strafbaarfeit menurut sarjana sangatlah

banyak, diantaranya:

a) Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana disertai dengan

sanksi berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan

tersebut. Dengan kata lain Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan

pidana adalah perbuatan yang diatur oleh aturan hukum dilarang dan

diancam pidana, asal saja larangan ditujukan pada perbuatan,

sedangkan ancaman pidananya diajukan kepada orang yang

14P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm.181.
21

menimbulkan kejadian itu.15

b) Roeslan Saleh menyatakan, perbuatan pidana atau yang disebut juga

dengan delik adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana

dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang. Berdasarkan wujud dan

sifatnya, perbuatan pidana adalah perbuatan-perbuatan yang

melawan hukum yang merugikan masyarakat. Akan tetapi, tidaklah

semua perbuatan yang melawan hukum atau yang bersifat merugikan

masyarakat dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana.

c) Simons merumuskan pengertian strafbaarfeit sebagai suatu tindakan

melanggar hak yang telah ditentukan dengan sengaja maupun tidak

sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

tindakannya dan oleh UndangUndang telah dinyatakan sebagai

tindakan yang dapat dihukum.16

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Pada hakekatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-

unsur, karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang

ditimbulkan karenanya adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Setiap

tindak pidana yang terdapat didalam kitab undang-undang hukum pidana

pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur, yang pada

dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam, yakni unsur-unsur subjektif

15 Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta,


hlm. 60-61
16
Lamintang, Op.cit, hlm.185.
22

dan unsur-unsur objektif. Unsur-unsur subjektif adalah yang melekat pada

diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk

kedalamnya segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, sedangkan

yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif merupakan unsurunsur yang

ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan

dimana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.17

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

a) Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa)

b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti

yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya

didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,

pemalsuan dan lain-lain.

d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut

Pasal 340 KUHP

e) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam

rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP

Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

a) Sifat melanggar hukum.

b) Kualitas si pelaku.

c) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai

17
Ibid, hlm.190.
23

penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Perlu diketahui bahwa unsur melanggar hukum diisyaratkan

didalam setiap rumusan delik, walaupun oleh pembentuk undang-undang

tidak dinyatakan secara tegas sebagai salah satu unsur dari delik yang

bersangkutan. 18 Dalam unsur-unsur tindak pidana terdapat dua aliran,

yaitu aliran monoistis dan aliran dualistis. Menurut aliran monoistis semua

syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak pidana, aliran ini

tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatan dan akibatnya

(Criminal Act) atau sama dengan pertanggungjawaban dalam hukum

pidana. Syarat untuk adanya pidana dalam aliran ini adalah semuanya

merupakan sifat dari perbuatan, konsekuensi dianutnya aliran monoistis

terhadap tindak pidana bahwa kalau satu konstitusi atau unsur-unsur tidak

terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum, dan

jika ada peristiwa pidana maka pembuatnya harus dipidana.

Sedangkan aliran dualistis memisahkan criminal act dengan

criminal responbility atau criminal liability yang menjadi unsur tindak

pidana dalam aliran ini hanyalah unsur-unsur yang melekat pada

perbuatan yang dapat dipidana. Simons mengemukakan bahwa unsur

tindak pidana adalah:

a) Adanya perbuatan manusia Yang dimaksud dengan perbuatan

manusia menurut simons tidak hanya perbuatan aktif tetapi juga

termasuk perbuatan yang tidak aktif. Perbuatan aktif merupakan

18
Ibid, hlm.193-194.
24

perbuatan yang benarbenar dilakukan dengan aktif, misalnya

membunuh, mencuri dan menipu seperti yang diatur didalam KUHP.

Dalam perbuatan tidak aktif seseorang yang tidak berbuat atau

melalaikan dapat juga dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana

karena dibebankan suatu kewajiban hukum terhadapnya.

b) Diancam dengan pidana. Untuk menjatuhkan pidana disamping

adanya tindak pidana diperlukan ada orang yang dapat dipidana.

Seseorang baru dapat dipidana jika ada kesalahan pada dirinya dan

bersifat melawan hukum.

c) Melawan hukum. Menurut Simons melawan hukum berarti

bertentangan dengan hukum. Dalam undang-undang unsur melawan

hukum dirumuskan dengan berbagai istilah, yang paling sering

digunakan adalah istilah “melawan hukum”. Istilah lain yang sering

menunjukkan unsur melawan hukum adalah istilah “tanpa mempunyai

hak untuk itu” .

d) Dilakukan dengan kesalahan. Unsur ini harus diartikan sebagai

bentuk-bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan (dolus) atau (culpa).

e) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.19

C. Tindak Pidana Pencabulan

1. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan

Tindak pidana adalah kejahatan yang tidak hanya dirumuskan oleh

19 Neng Sarmida, dkk, 2002, Diktat Hukum Pidana, Fakultas Hukum


Universitas Andalas, hlm. 36-43
25

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai suatu perbuatan yang

melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi karena merugikan orang

lain. Kejahatan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang

mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut dikarenakan

kejahatan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat

pada umumnya. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya untuk

menanggulangi kejahatan tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat

sulit untuk memberantas kejahatan secara tuntas karena pada dasarnya

kejahatan akan senantiasa berkembang pula seiring dengan

perkembangan masyarakat.

Perkembangan masyarakat yang begitu pesat serta meningkatnya

kriminalitas di dalam kehidupan bermasyarakat, berdampak kepada suatu

kecenderungan dari masyarakat itu sendiri untuk berinteraksi satu dengan

yang lainnya. Serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum

pidana menyebabkan seseorang menjadi korban tindak pidana dan pelaku

tindak pidana. Salah satu bentuk tindak pidana yang terjadi di dalam

masyarakat adalah tindak pidana pencabulan. Tindak pidana pencabulan

merupakan suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar

kesopanan dan kesusilaan terhadap anak Pencabulan merupakan

kecenderungan untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang

tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun wanita, dengan kekerasan

maupun tanpa kekerasan.

Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktifitas


26

seksual dengan orang yang tidak berdaya seperti anak, baik pria maupun

wanita dengan kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian

pencabulan atau cabul dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan

sebagai berikut, pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan

keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh), tidak

susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila, mencabul:

menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatanperempuan, film cabul:

film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan,

kesopanan).20

Tindak pidana Pencabulan menurut Moeljatno adalah sebagai

segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang

berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.21 Definisi yang diungkapkan

Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh

orang yang berdasarkan nafsu kelaminnya, dimana langsung atau tidak

langsung merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat

dipidana. R Soesilo memberikan penjelasan terhadap perbuatan cabul

yaitu segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau

perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi

kelamin.22

R. Sughandhi mengatakan Tindak Pidana cabul adalah seorang

Departemen Pendidikan Nasional, 2007, Kamus Besar Bahasa


20

indonesia edisi Ketiga, Balai Pustaka: Jakarta, hlm. 74


21 Moeljatno, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bumi
Aksara, Jakarta, hlm. 106.
22 R Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta

komentarkomentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia, Bogor, hlm. 212.


27

pria yang memaksa pada seorang wanita bukan istrinya untuk melakukan

persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana

diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan

seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani. 23 Pencabulan

dalam Pasal 289 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana “Barang siapa

dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang

melakukan atau membiarkan dilakukan padanya perbuatan cabul, karena

perbuatan yang merusak kesusilaan, dipidana penjara selamalamanya

sembilan tahun”.

Ancaman hukuman dalam Pasal ini ialah orang yang memaksa

seseorang untuk melakukan perbuatan cabul atau memaksa seseorang

agar ia membiarkan dirinya diperlakukan cabul, dengan kekerasan atau

dengan ancaman kekerasan. Dimaksud dengan perbuatan cabul sesuai

dengan Pasal 289 KUHP ialah segala perbuatan yang melanggar

kesusilaan, kesopanan, atau perbuatan keji, semuanya itu dalam

lingkungan nafsu birahi kelamin, ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,

buah dada, dan sebagainya. Persetubuhan termasuk pula dalam

pengertian ini, tetapi dalam Undang-Undang disebutkan sendiri, yaitu

dalam Pasal khususnya Pasal 287 KUHP yang mengatur:

1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita yang bukan istrinya,


padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umur
wanita itu belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas,
bahwa belum waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana

23 P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra

Aditya Bakti, Bandung, hlm.41.


28

penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun.


2) Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan, kecuali bila umur wanita
itu belum sampai 12(dua belas) tahun atau bila ada salah satu hal
seperti tersebut dalam Pasal 291 dan Pasal 294.
Menurut Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak :

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,


memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul.”
Di dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak:

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga
kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencabulan

Adapun mengenai unsur-unsur dalam tindak pidana pencabulan

dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, adalah:

a) Unsur “barang siapa” Unsur “barang siapa” dalam Pasal ini adalah

menunjukkan tentang subjek atau pelaku atau siapa yang didakwa

melakukan tindak pidana dimaksud. Unsur ini dimaksudkan untuk

meneliti lebih lanjut tentang siapakah yang “duduk” sebagai terdakwa

adalah benar-benar pelaku atau bukan. Hal ini untuk antara lain

menghindari adanya “error in personal” dalam menghukum seseorang.


29

b) Unsur “dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan

dilakukan perbuatan cabul.

Yang dimakud unsur sengaja di sini adalah sama dengan teori

kesengajaan (dollus) yang artinya menghendaki dan atau menginsafi

terjadinya suatu perbuatan atau tindakan beserta akibat-akibatnya yaitu

tindak pidana yang dilakukan dengan cara melakukan kekerasan atau

ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan dan membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan

dilakukan perbuatan cabul. Jadi unsur ini tertulis kata atau yang berarti

dan bersifat alternative, maksudnya apabila salah satu perbuatan sudah

terbukti maka perbuatan-perbuatan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.

Berdasarkan Pasal 289 KUHP, dapat dirincikan unsur-unsur Tindak

Pidana Pencabulan sebagai berikut:

a) Unsur-Unsur objektif

1) Barangsiapa dimaksudnya yaitu siapa saja yang apabila orang

tersebut terbukti memenuhi semua unsur tindak pidana yang

dimaksud di dalam ketentuan pidana yang diatur dalam pasal 289,

maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana kekerasan;

2) Memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;

3) Objeknya seorang anak untuk melakukan atau membiarkan

perbuatan cabul;
30

b) Unsur-unsur subjektif yaitu perbuatan ini menyerang kehormatan

kesusilaan

D. Tinjauan Umum tentang Anak dan hak-hak korban tindak pidana

1. Pengertian Anak Menurut Peraturan Perundang-Undangan

Pada umumnya yang diartikan dengan anak adalah seorang yang

masih dibawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin.

Sedangkan menurut pengetahuan umum yang disebut anak adalah

seorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Pengertian anak seperti

diatas menunjukkan adanya suatu batas usia tertentu yang sampai

sekarang belum ada keseragaman pendapat para ahli mengenai batas

usia seseorang yang disebut sebagai anak. Demikian halnya dengan

hukum positif Indonesia, terdapat pluralisme mengenai kriteria anak.

Hal ini sebagai akibat dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan

yang mengatur secara tersendiri mengenai kriteria anak seperti:

a) Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Di

dalam penjelasan Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

huruf (a) menyatakan bahwa yang dimaksud belum dewasa

adalah mereka yang berumur 16 (enam belas) tahun dan belum

kawin.

b) Anak menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) Dalam

Pasal 171 huruf (a) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


31

(KUHAP) menyatakan sebagai berikut “yang diperiksa untuk

memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak yang umurnya

belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin.

c) Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)Pasal

330 ayat (1) memuat batas antara belum dewasa

(minderjarigheid) dengan telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21

tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur

21tahun dan Pendewasaan (venia aetetis, Pasal 419 KUHPer).

d) Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak Di dalam Pasal 1 ayat (2), mendefinisikan

anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan

belum pernah kawin.

e) Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang

Pengadilan Anak Di dalam Pasal 1 ayat (1), anak adalah orang

yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan)

tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan

belum pernah kawin.

f) Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Perlindungan Anak Di dalam Pasal 1 ayat (1) anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

g) Anak menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan Di dalam Pasal 1 ayat (8) huruf (a), Anak Pidana


32

adalah anak yang berdasarkan putusan Pengadilan menjalani

pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai

berumur 18 (delapan belas) tahun.

h) Anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak Di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak menyatakan anak yang berkonflik dengan hukum yang

selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua

belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

diduga melakukan Tindak Pidana.

i) Anak menurut Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menjangkau batas usia untuk melakukan

perkawinan. Dalam hal ini batas minimal umur perkawinan bagi

wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan

bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud

dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan

perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara

baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan

yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur

yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk

kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan

menurunkan resiko kematian ibu dan anak.


33

2. Hak-Hak Anak Korban tindak pidana

Seorang anak yang menjadi korban eksploitasi seksual ermasuk

pencabulan mempunyai beberapa hak-hak yang pemenuhannya wajib

dilaksanakan demi melindungi hak asasi manusianya. Hak-hak anak

ebagai korban dapat berupa ganti kerugian, selain itu terdapat

beberapa hak nak sebagai korban untuk mendapatkan bantuan medis

dan bantuan ehabilitasi psiko-social. Hak-hak anak sebagai korban

banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya

yakni pada pasal 59A dan 69 A Undang- Undang Repubik Indonesia

Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 isi dari pasal tersebut yaitu :

Pasal 59A
Perlindungan Khusus bagi Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:
a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau
rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan
penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai
pemulihan;
c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari
Keluarga tidak mampu;
d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap
proses peradilan.
PASAL 69
Perlindungan Khusus bagi Anak korban Kekerasan fisik dan/atau
psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf i
dilakukan melalui upaya:
a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang melindungi Anak korban tindak
Kekerasan;
b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
34

3. Hak Restitusi

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau

keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga. Menurut

Pasal 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang

Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana

yaitu bentuk restitusi yang berikan kepada korban tindak pidana

dapat berupa: ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau

penghasilan,ganti kerugian, baik materiil maupun imateriil, yang

ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai

akibat tindak pidana; penggantian biaya perawatan medis dan/ atau

psikologis; dan/ataukerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat

tindak pidana, termasuk biaya transportasi dasar, biaya pengacara,

atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum. Hak

Restitusi.

E. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

1. Pengertian dan Pengaturan Unit Perlindungan Perempuan dan

Anak

Unit yang bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk

perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban

kejahatan dan penegakan hukum terhadap perempuan dan anak yang

menjadi pelaku tindak pidana. bagian Unit Pelayanan Perempuan dan

Anak (Unit PPA) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan


35

Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA). Kemudian

pelaksanannya juga mengacu pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang

Pelayanan Khusus yang menyebutkan tugas Unit PPA dalam memberikan

perlindungan kepada perempuan dan anak korban tindak pidana.

2. Tugas Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Unit PPA bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk

perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban

kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya. Dalam

melaksanakan tugasnya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

menyelenggarakan fungsi menurut Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan

Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak sebagai berikut:

a) Perdagangan Orang (Human Trafficking);

Trafiking perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku

trafiking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan,

pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindah tanganan,

pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara perempuan

dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik,

penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan,

memberikan atau menerima atau keuntungan, dimana perempuan dan

anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual, buruh

migran legal maupun illegal, adopsi anak, pengantin pesanan, pembantu


36

rumah tangga, pengemis, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ

tubuh, serta bentuk lainnya.

b) Penyelundupan Manusia (People Smuggling);

Penyelundupan pada umumnya dipahami sebagai pengadaan atau

pengangkatan manusia untuk mendapatkan keuntungan untuk masuk

secara ilegal ke dalam sebuah negara dengan menyediakan fasilitas untuk

masuk atau melintasi sebuah negara secara ilegal, serta melibatkan para

migran yang setuju dengan kegiatan tersebut. Dalam penyelundupan

manusia terdapat 3 unsur penting, yaitu :

1) Unsur kecurangan

2) Unsur penipuan

3) Unsur pemaksaan.

c) Kekerasan (secara umum maupun dalam rumah tangga);

Secara Umum Yakni kekuatan fisik atau perbuatan fisik yang

menyebabkan orang lain secara fisik tidak berdaya, tidak mampu

melakukan pelawanan atau 20 pembelaan. Secara Keluarga Menurut

Pasal 1 Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dimaksud adalah setiap

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,

atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan

perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan


37

hukum dalam lingkup rumah tangga.

d) Susila (Perkosaan, Pelecehan, Pencabulan);

Yakni tindak pidana atas kehormatan yang diatur dalam Pasal 285

KUHAP yang didalamnya berisi bahwa telah terjadi pemaksaan kehendak

baik secara kekerasan maupun dengan ancaman kekerasan kepada

wanita untuk bersetubuh dengan si pelaku sehingga terjadi pelecehan

seksual yang sering berakibat trauma yang berkepanjangan bagi si

korban.

e) Vice (Perjudian dan Prostitusi);

Yakni perilaku yang melibatkan adanya resiko kehilangan yang

berharga dan melibatkan interaksi sosial serta adanya unsur kebebasan

untuk memilih apakah akan mengambil resiko kehilangan tersebut atau

tidak.

f) Pornografi dan Pornoaksi;

Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi

memberikan definisi mengenai pornografi dan pornoaksi. Pornografi

adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat commit to

user untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi

seksual, pencabulan, atau erotik. Sedangkan pornoaksi adalah perbuatan

mengeksploitasi seksual, pencabulan atau erotic dimuka umum.

g) Money Laundering dari Hasil Kejahatan Terhadap Perempuan dan

Anak;

Pasal 2 Undang-Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana


38

Pencucian Uang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hasil

kejahatan terhadap perempuan dan anak antara lain, penyelundupan

tenaga kerja, penyelundupan imigran, narkotika, psikotropika,

perdagangan manusia, penculikan, perjudian, dan prostitusi.

h) Adopsi illegal;

i) Masalah Perlindungan Anak (sebagai korban atau tersangka);

j) Perlindungan korban, saksi, keluarga, dan teman;

k) Kasus–kasus dimana pelakunya adalah perempuan dan anak.


BAB III

PEMBAHASAN

A. Implementasi Hak Anak Sebagai Korban Tindak Pidana


Pencabulan Menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak Di Unit PPA Polresta Malang Kota
Perlindungan hukum dalam tahap penyelidikan terhadap anak yang

menjadi korban tindak pidana pencabulan adalah bentuk perhatian dan

perlakuan istimewa yang bertujuan melindungi kepentingan anak. Pasal 2

ayat (3) dan (4) dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak menekankan perlunya perlindungan anak untuk

memastikan kesejahteraan dan perlakuan yang adil terhadap mereka.

Perlindungan terhadap anak di dalam suatu masyarakat menjadi indikator

peradaban bangsa, dan oleh karena itu, perlu ditekankan sesuai dengan

kemampuan demi kepentingan nusa dan bangsa.

Kegiatan perlindungan anak merupakan tindakan hukum yang

berdampak hukum. Oleh karena itu, jaminan hukum diperlukan untuk

melindungi kegiatan perlindungan anak. Kejelasan hukum diperlukan

untuk menjamin kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah

penyelewengan yang dapat menghasilkan konsekuensi negatif yang tidak

diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Oleh karena itu,

kegiatan perlindungan anak mencakup kebijakan dan regulasi hukum

yang mengatur hak-hak anak serta kebijakan dalam penerapan peraturan

39
40

hukum tersebut.24

Dalam konteks kebijakan perlindungan, Pasal 28 D ayat (1)

Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 menegaskan pentingnya aspek

ini. Selain itu, Pasal 3 dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak menggarisbawahi hak-hak setiap anak

dalam proses peradilan pidana, termasuk hak untuk diperlakukan secara

manusiawi, dipisahkan dari orang dewasa, mendapatkan bantuan hukum

dan bantuan lainnya secara efektif, beraktivitas rekreasi, bebas dari

perlakuan yang kejam, dan hak-hak lainnya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menyediakan

perbedaan dalam perlakuan dan perlindungan terhadap hak dan

kewajiban anak, terutama anak yang menjadi korban dalam proses

peradilan pidana. Hal ini mencakup seluruh prosedur hukum pidana, mulai

dari penyelidikan, penyidikan, hingga pelaksanaan pidana. Pasal 13

mengatur bahwa setiap anak yang berada di bawah pengasuhan orang

tua, wali, atau pihak yang bertanggung jawab atas pengasuhan memiliki

hak mendapat perlindungan dari berbagai bentuk perlakuan seperti

diskriminasi, eksploitasi ekonomi dan seksual, penelantaran, kekejaman,

kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya.

24
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan,
PT Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm.97.
41

Jika orang tua, wali, atau pengasuh melakukan perlakuan semacam itu,

pelaku dapat dikenakan pemberatan hukuman.

Definisi perlindungan anak, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1

ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, menyatakan:

"Perlindungan Anak merujuk pada segala kegiatan yang bertujuan


untuk menjamin dan melindungi anak beserta hak-haknya, sehingga
mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan martabat kemanusiaan. Selain itu, anak juga
berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi."
Pelaksanaan perlindungan anak yang efektif melibatkan beberapa

persyaratan penting, seperti berikut:

1. Partisipan yang terlibat dalam pelaksanaan perlindungan anak harus

memiliki pemahaman yang tepat terkait dengan isu perlindungan

anak. Hal ini diperlukan agar mereka dapat menghadapi dan

menangani permasalahan yang terkait dengan perlindungan anak

dengan sikap dan tindakan yang sesuai.

2. Perlindungan anak harus menjadi upaya bersama yang melibatkan

warganegara, anggota masyarakat baik secara individu maupun

kolektif, dan pemerintah. Kerjasama ini bertujuan untuk kepentingan

bersama, kepentingan nasional, dan pencapaian aspirasi bangsa

Indonesia.

3. Kerjasama dan koordinasi sangat penting dalam pelaksanaan

perlindungan anak yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat

antara partisipan yang terlibat. Hindari konfrontasi yang tidak perlu


42

dan perkuat komunikasi positif, edukatif, dan membangun antara

partisipan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

4. Dalam perumusan kebijakan dan rencana kerja yang dapat

dilaksanakan, diperlukan inventarisasi faktor-faktor yang mendukung

dan menghambat kegiatan perlindungan anak. Penting untuk meneliti

masalah-masalah yang dapat menjadi faktor kriminogen atau

viktimogen dalam implementasi perlindungan anak.

5. Dalam pembuatan ketentuan-ketentuan terkait perlindungan anak

dalam peraturan perundang-undangan, prioritas harus diberikan pada

perspektif yang dilindungi daripada perspektif yang melindungi.

Kepastian hukum perlu ditekankan untuk kelangsungan kegiatan

perlindungan anak dan mencegah dampak negatif yang tidak

diinginkan.

6. Perlindungan anak harus tercermin dan diwujudkan dalam berbagai

aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Setiap anggota

masyarakat, bekerja sama dengan pemerintah, harus berkontribusi

menciptakan situasi yang mendukung perlindungan anak langsung

atau tidak langsung dalam berbagai bidang kehidupan.25

Berdasarkan ketentuan tersebut, Penyidik Unit Perlindungan

Perempuan dan Anak (UPPA) Polresta Malang memberikan perlindungan

dan pendampingan pada setiap tahap pemeriksaan, mulai dari penyidikan,

penuntutan, hingga sidang pengadilan. Pendampingan ini dilakukan


25
Firdaus, Emilda dan Sukamariko Andrikasmi, 2016, Hukum
Perlindungan Anak dan Wanita, Alaf Riau, Pekanbaru, hlm. 78
43

dengan memberikan dukungan kepada korban dan keluarganya agar

mereka terhindar dari ancaman yang dapat datang dari tersangka atau

keluarga tersangka selama proses penyidikan hingga sidang pengadilan.

Tujuan dari tindakan ini adalah agar korban dapat memberikan kesaksian

tanpa rasa takut dan tanpa tekanan dari pihak manapun.

Perlindungan hukum terhadap anak selama proses peradilan

dimulai sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di

sidang pengadilan, hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam

seluruh tahapan peradilan ini, hak-hak anak harus diperlakukan sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan oleh karena itu, penerapan ini

harus konsisten dari pihak-pihak yang terlibat dalam menangani perkara

anak.

Peran penyidik dalam proses pemilihan dan penetapan bentuk

perlindungan serta dukungan keamanan bagi anak yang menjadi korban

tindak pidana pencabulan sangat penting. Unit Perlindungan Perempuan

dan Anak (PPA) Polres Malang, sebagai contoh, memberikan

perlindungan dan dukungan keamanan dengan menangani secara

menyeluruh perkara yang dilaporkan oleh korban hingga selesai. Selama

proses penyidikan, korban tindak pidana pencabulan selalu mendapatkan

pengawasan.

Anak yang menjadi korban kejahatan pencabulan memerlukan

perhatian khusus, dan upaya tersebut dapat dilakukan melalui partisipasi

aktif dari lembaga dan perangkat hukum yang telah disediakan khusus
44

bagi anak yang menjadi korban tindak pidana, terutama pencabulan. Hal

ini dilakukan karena anak, yang memiliki kedudukan yang lemah sebagai

korban tindak pidana, memerlukan penanganan yang berbeda dengan

orang dewasa.

Berdasarkan hasil wawancara terkait pelaksanaan hak-hak anak

sebagai korban tindak pidana pencabulan di Unit PPA Polresta Malang

Kota diperoleh hasil, diantaranya:

1. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tahap

pemeriksaan, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga sidang

pengadilan. Pendampingan ini melibatkan dukungan kepada korban

dan keluarganya agar terhindar dari ancaman yang mungkin datang

dari tersangka selama proses hukum. Fokusnya adalah agar korban

merasa aman dan memberikan kesaksian tanpa tekanan.

2. Turut serta dalam pemilihan dan penentuan jenis perlindungan dan

dukungan keamanan. Penyidik Unit PPA Polresta Malang menangani

sepenuhnya perkara yang dilaporkan oleh korban hingga selesai,

dengan pengawasan terus menerus selama penyidikan. Undang-

Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur bahwa

perlindungan adalah upaya untuk memenuhi hak dan memberikan

bantuan agar korban merasa aman, sesuai kebutuhan.

3. Memberikan kesaksian tanpa adanya tekanan. Korban diharapkan

dapat mengungkapkan tindak pidana pencabulan yang dialaminya

dengan terbuka kepada penyidik. Hal ini bertujuan agar pelaku dapat
45

ditangkap dan bertanggung jawab, tanpa tekanan dari penyidik,

memastikan keterangan korban dapat diungkapkan secara jujur.

4. Memperoleh jasa penerjemah. Pemberian penerjemah menjadi

keharusan sejak tahap penyidikan bagi korban pencabulan di wilayah

Malang yang mengalami kendala berbahasa Indonesia atau memiliki

gangguan berbicara. Keberadaan penerjemah penting untuk

memastikan pemahaman yang tepat antara korban dan pihak

penegak hukum.

5. Tidak terjebak dalam pertanyaan yang merugikan. Korban tindak

pidana pencabulan memiliki kebebasan untuk memberikan keterangan

tanpa pertanyaan yang bersifat menjerat. Hal ini dilakukan agar

keterangan yang diberikan tetap jujur dan akurat, tanpa pengaruh

tekanan atau ancaman dari penyidik.

6. Mudah mengakses informasi perkembangan perkara. Informasi

mengenai perkembangan perkara disampaikan melalui Surat

Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).

Tahapannya dibagi menjadi SP2HP 1, SP2HP 2, dan SP2HP 3, yang

memberikan rincian mengenai penanganan laporan korban oleh Unit

PPA Polres Malang dan pengiriman laporan ke Kejaksaan Negeri

Malang.

7. Mengetahui rincian putusan pengadilan. Informasi tentang putusan

pengadilan tidak disampaikan oleh penyidik, namun korban dapat

memperolehnya langsung dari pengadilan. Memberikan informasi ini


46

dianggap penting sebagai bentuk apresiasi terhadap peran korban

sebagai saksi dan untuk memberikan rasa aman.

8. Diberitahu jika terdakwa dibebaskan. Pihak penyidik memberikan

informasi tentang pembebasan terpidana untuk menghindari ketakutan

korban terkait kemungkinan balas dendam dari terdakwa. Memberikan

hak ini dianggap memberikan rasa aman selama proses peradilan.

9. Identitas Korban dan Pengamanan Identitas. Pada tahap penyidikan,

identitas korban dijaga kerahasiaannya, sehingga tidak perlu

memberikan identitas baru. Penyamaran identitas digunakan dalam

pelaporan media untuk melindungi psikologis korban dari potensi

gangguan.

10. Tempat Kediaman Baru. Hak anak sebagai korban tindak pidana

pencabulan untuk mendapatkan tempat kediaman baru belum dapat

direalisasikan karena keterbatasan anggaran. Meskipun demikian,

tersedia shelter (rumah aman) untuk korban dan keluarganya,

memastikan keselamatan mereka dari potensi ancaman.

11. Penggantian Biaya Transportasi. Penyidik Unit PPA Polresta Malang

mengajukan dana perencanaan kebutuhan untuk memenuhi hak

korban terkait penggantian biaya transportasi selama proses

penyidikan, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

12. Pendampingan dan Nasehat Hukum. Pada dasarnya, SP2DPH tidak

dapat mengabaikan tanggung jawab negara untuk memberikan


47

bantuan hukum kepada Anak, karena hak atas bantuan hukum

merupakan hak konstitusional yang dimiliki setiap warga negara.

Pendekatan aparat penegak hukum yang memandang pemberian

bantuan hukum hanya sebagai bagian dari administrasi peradilan tidak

sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik bagi Anak. Oleh karena itu,

Penyidik seharusnya aktif dalam memastikan bahwa Anak

memperoleh haknya atas bantuan hukum sebagaimana diamanatkan

oleh Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Bantuan hukum tanpa biaya adalah manifestasi dari penghormatan

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) oleh negara terhadap warganya

yang kurang mampu. Sayangnya, sebagian besar masyarakat tidak

menyadari bahwa sebagai individu yang menghadapi masalah hukum

dan tidak mampu secara finansial, mereka berhak mendapatkan

bantuan hukum tanpa biaya. Penyidik Unit PPA Polresta Malang

senantiasa memberikan pendampingan dan nasehat hukum kepada

korban dari tahap penyidikan awal hingga penyidikan berakhir,

membantu mereka membuat keputusan yang terbaik untuk kehidupan

dan masa depan mereka.

13. Bantuan Biaya Hidup Sementara. Hak memperoleh bantuan biaya

hidup sementara sampai batas perlindungan berakhir telah diberikan,

terutama untuk keluarga korban yang tidak mampu. Bantuan

mencakup dukungan pendidikan dan bantuan ekonomi seperti beras

atau kambing, bekerja sama dengan dinas sosial Kota Malang.


48

14. Pendampingan Psikososial. Pada tahap pemulihan kejiwaan, korban

mendapatkan pendampingan psikososial dari seorang psikolog dan

seorang rohaniawan, sesuai dengan keyakinan korban. Kolaborasi

antara unit PPA dan rumah sakit memastikan korban mendapatkan

perawatan medis, termasuk visum, tanpa dikenakan biaya.

Kepala Unit PPA Polresta Malang Kota, menekankan langkah

solusi antisipatif untuk mencegah anak menjadi korban kejahatan seksual.

Salah satu langkahnya adalah dengan menganggap kejahatan seksual

sebagai tindak pidana serius. Apabila masyarakat memiliki kesadaran

tersebut, mereka akan secara otomatis membentuk perilaku yang

melibatkan perlindungan anak. Perlindungan hukum terhadap anak korban

kejahatan seksual juga memerlukan kerjasama antara aparat kepolisian,

orangtua, dan keluarga dalam menangani kasus yang terjadi.

B. Kendala Dalam Implementasi Hak Sebagai Korban Tindak Pidana


Pencabulan Menurut Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Tentang
Perlindungan Anak Oleh Unit PPA Polresta Malang Kota
Penegakan hukum merupakan upaya untuk menciptakan

keteraturan, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat, baik melalui

langkah-langkah pencegahan, pemberantasan, atau tindakan setelah

terjadi pelanggaran hukum. Dengan kata lain, tujuan hukum acara pidana

adalah mencari kebenaran materil dari suatu perkara pidana, dengan

menerapkan Hukum Acara Pidana secara jujur dan konsisten, sehingga

dapat mengidentifikasi pelaku sebenarnya.


49

Menurut Soerjono Soekanto dalam teori penegakan hukum,

masalah utama penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang

mungkin memengaruhinya. Faktor-faktor ini bersifat netral, sehingga

apakah dampaknya positif atau negatif tergantung pada konten faktor-

faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut mencakup:26

1. Faktor Hukum Itu Sendiri (The Legal Factor Itself)

Kualitas suatu peraturan hukum memengaruhi kemungkinan

penegakannya. Peraturan hukum yang baik memudahkan

penegakan, sementara peraturan yang kurang baik akan sulit untuk

ditegakkan.

2. Faktor Penegak Hukum

Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pengacara memiliki

peran krusial dalam penegakan hukum. Penegak hukum harus

menjadi individu yang profesional, memiliki kekuatan mental,

integritas moral, dan etika yang tinggi.

3. Faktor Sarana

Tanpa sarana yang memadai untuk penegakan hukum,

pelaksanaannya tidak akan berjalan sebagaimana mestinya.

Sarana ini melibatkan keahlian individu yang terdidik di bidang

hukum dan peralatan yang memadai.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan


26
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, hlm. 8.
50

untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Kesadaran hukum

masyarakat sangat penting, dan semakin tinggi kesadaran

hukumnya, semakin baik penegakan hukumnya.

5. Faktor Kebudayaan

Faktor budaya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum

yang berlaku, menentukan apa yang dianggap baik dan buruk

dalam suatu masyarakat.27

Faktor-faktor yang menjadi hambatan bagi pemerintah dalam

memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak korban kejahatan

seksual di Kota Malang adalah sebagai berikut:

1. Faktor Keluarga

Berdasarkan wawancara dengan Kepala Unit PPA Kota

Malang, rasa malu orangtua korban kejahatan seksual terhadap

anak sering menjadi kendala karena dianggap sebagai aib

keluarga. Oleh karena itu, banyak orangtua yang enggan

melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib. Ancaman dari pelaku

atau keluarga pelaku terhadap korban dan keluarganya menjadi

faktor yang membuat korban enggan dan takut untuk melapor.

Kejahatan seksual pada anak seringkali dilakukan oleh orang-orang

terdekat atau anggota keluarga seperti tetangga, kakek, ayah tiri,

paman, ibu tiri, dan sebagainya.Kurangnya pengetahuan orangtua

mengenai dampak kejahatan seksual terhadap anak juga

27
Ibid, hlm. 10
51

berpengaruh besar dalam memberikan perlindungan khusus pada

anak.

2. Faktor Masyarakat

Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya perlindungan

hukum terhadap anak masih rendah. Ketika terjadi pelanggaran

hukum, seperti kekerasan seksual terhadap anak, masyarakat

cenderung acuh dan tidak peduli. Keterbatasan akses pendidikan

dan informasi mengenai pencabulan anak dapat menyebabkan

ketidakpahaman masyarakat terhadap dampak dan seriusnya

masalah ini.

Kesenjangan informasi di media massa atau kurangnya

kampanye penyuluhan dapat membuat masyarakat tidak menyadari

tingginya angka kasus pencabulan anak. Adanya stigma sosial

yang melekat pada korban pencabulan dapat menyebabkan banyak

orang enggan membahas atau menyuarakan kasus semacam itu.

Tidak adanya kampanye atau program penyuluhan yang efektif

mengenai perlindungan anak dapat membuat masyarakat tidak

memahami pentingnya melibatkan diri dalam upaya pencegahan

dan perlindungan anak.

3. Faktor Kebudayaaan

Korban seringkali tidak mengikuti proses hukum lebih lanjut

atau mencabut laporannya setelah awalnya melapor ke kantor

polisi. Kejadian ini kerap terjadi ketika korban, setelah melaporkan


52

kejadian, tidak pernah hadir kembali dan memutuskan untuk

mencabut laporannya. Penyebabnya sering kali adalah karena

korban mengalami trauma yang mendalam akibat tekanan dari

orang tua yang sering memarahi mereka. Hal ini membuat korban

mengalami stres dan bahkan mengancam bunuh diri apabila proses

hukum terus berlanjut. Keadaan ini menjadi semakin kompleks

karena pelaku pencabulan ternyata adalah kekasih dari korban,

sehingga proses hukum terpaksa dihentikan. Pemikiran yang masih

berkembang di masyarakat bahwa berurusan dengan hukum akan

memerlukan biaya yang besar dan melibatkan proses yang lama

menjadi hambatan dalam menegakkan hukum.

4. Faktor Sarana dan Fasilitas

Unit PPA Polresta Malang Kota menghadapi kesulitan

karena tidak memiliki ruangan khusus untuk melakukan interogasi

terhadap anak-anak korban tindak pidana pencabulan. Kebanyakan

dari korban mengalami tekanan dan depresi yang signifikan, dan

kebutuhan akan ruangan khusus untuk interogasi anak menjadi

sangat penting. Unit PPA telah mengajukan permintaan

penambahan atau pembangunan ruangan khusus untuk Unit PPA

kepada Kepala Kepolisian Resort Malang. Pembangunan ruangan

khusus ini dianggap sangat penting untuk melindungi kesejahteraan

mental anak-anak korban, yang bisa terganggu jika mereka harus

berada dalam satu ruangan dengan banyak orang.Terbatasnya


53

anggaran yang dialokasikan untuk layanan Unit PPA Kota Malang

menjadi kendala dalam penegakan hukum, sehingga penegakan

hukum menjadi kurang optimal.

Keempat faktor ini menjadi penghambat bagi pemerintah Kota

Malang, yang diwakili oleh Unit PPA Kota Malang dalam menegakkan

hukum terhadap anak yang menjadi korban kejahatan seksual, hal ini tidak

sesuai dengan teori penegakan hukum yang disampaikan oleh Soerjono

Soekanto.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Dalam memberikan perlindungan khusus terhadap anak korban

kejahatan seksual berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak di Kota Malang, yang diwakili

oleh Unit PPA Polresta Malang Kota masih belum mencapai

tingkat optimal. Hal ini termanifestasi dengan kurangnya

pemberian perlindungan khusus oleh pemerintah kota Malang,

yang cenderung memberikan perlindungan kepada anak korban

kejahatan seksual hanya ketika ada laporan resmi. Disamping itu,

terdapat kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai hak anak

korban kejahatan seksual untuk menerima perlindungan khusus,

yang turut berkontribusi pada minimnya efektivitas perlindungan

yang diberikan.

2. Kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam memberikan

perlindungan khusus kepada anak korban kejahatan seksual di

Kota Pekanbaru melibatkan beberapa faktor. Salah satunya

adalah rasa malu yang dirasakan oleh orangtua korban, karena

mereka menganggap kejahatan seksual yang dialami oleh anak

mereka merupakan aib keluarga. Lebih lanjut, kebanyakan pelaku

kejahatan seksual terhadap anak ternyata adalah orang terdekat,

54
55

bahkan anggota keluarga korban. Kendala lainnya melibatkan

kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan

hukum terhadap anak. Selain itu, pemikiran masyarakat yang

masih berkembang menyatakan bahwa berurusan dengan hukum

akan menimbulkan biaya besar dan memakan waktu lama.

B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis memberikan saran

kepada pihak terkait dengan implementasi perlindungan hukum terhadap

korban tindak pidana pencabulan anak di Polresta Malang Kota, sebagai

berikut :

1. Pemerintah Kota Malang harus meningkatkan upaya perlindungan

hukum terhadap anakkorban kejahatan seksual untuk memastikan

hak-hak mereka terpenuhi secara optimal.

2. Pemerintah Kota Malang juga perlu melakukan sosialisasi yang

lebih luas mengenai perlindungan anak, dengan tujuan

meningkatkan kesadaran masyarakat dan aparat pemerintah.

Sosialisasi ini bertujuan agar semua pihak dapat berpartisipasi

dalam upaya perlindungan anak, sesuai dengan kapasitas

masing-masing dan dengan mematuhi nilai-nilai Pancasila serta

Undang-Undang Dasar 1945. Pesan yang ingin disampaikan

adalah bahwa perlindungan hukum terhadap anak bukan hanya

tanggungjawab orangtua, pemerintah, dan negara, tetapi

merupakan tanggungjawab bersama.


56

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademika


Pressindo
Arikunto, 2009, Manajemen Penelitian, Jakarta: Ineka Cipta
Bambang Sunggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada
Bambang Waluyo, 2012, Viktimologi Perlindungan Saksi Dan Korban,
Jakarta: Sinar Grafika
Ishad, 2017, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis Serta
Disertasi, Bandung: Penerbit Alfabeta
Kartini Kartono, 1983, Patologi Sosial,Jakarta: CV. Rajawali
Leden Marpaung. 2004. Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Jakarta. Sinar
Grafika Offset
Maidin Gultom, 2018, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan
Perempuan, Bandung: PT Refika Aditama
Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak Indonesia
Jakarta:Rajawali Pers.
Moerti Hadiati Soeroso.2010.Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Jakarta:
Sinar Grafika.
P.A.F Lamintag, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti
Primautama Dyah Savitri, 2006, Benang Merah Tindak Pidana Pelecehan
seksual Jakarta: Yayasan Obor
Yuwono, Ismantoro Dwi. 2005, Penerapan hukum dalam kasus kekerasan
seksual anak. Yogyakarta Cet 1: Pustaka Yutisia
57

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban

Undang-undang No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban Undang-undang No 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-
undang no 23 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia Undang-undang no 23 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang no 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga

Undang-undang no 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

WEBSITE

Febrianto, Vicki. Polisi tangkap pelaku pencabulan tiga anak di Kota


Malang. 13 April 2020.
https://www.antaranews.com/berita/1417987/polisi-tangkap-
pelaku-pencabulan-tiga-anak-di-kota-malang (diakses juli 27, 2023).

Anda mungkin juga menyukai