Anda di halaman 1dari 27

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN YANG


DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NO.
8/Pid.Sus-Anak/2021/PN. Tbn)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Hukum


Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Disusun Oleh:

MARSEKAL WANGTA CAHYADI ALAM

02011281722119

Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya

PALEMBANG

2023
NAMA : MARSEKAL WANGTA CAHYADI ALAM

NIM : 02011281722119

PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM PIDANA

JUDUL

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA


TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NO.
8/Pid.Sus-Anak/2021/PN. Tbn)

Secara Substansi Telah Disetujui untuk Mengikuti Ujian seminar proposal

Palembang, 2023

Disetujui Oleh :

Pembimbing Utama Pembimbing Pembantu

Dr. Henny Yuningsih, S.H., M.H. Neisa Angrum Adisti S.H.,M.H.


NIP. 198301242009122001 NIP. 198812032011012008

Mengetahui

Ketua Bagian Hukum Pidana

Rd.Muhammad Ikhsan S.H.,M.H.

NIP. 196802211995121001

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................


HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian......................................................................................... 9
E. Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. 10
F. Kerangka Teori.............................................................................................. 10
1. Teori Diversi ................................................................................................. 10
2. Teori Pemidanaan .......................................................................................... 12
3. Teori Tindak Pidana Anak ............................................................................ 15
G. Metode Penelitian.......................................................................................... 18
1. Jenis Penelitian............................................................................................... 18
2. Pendekatan Penelitian ................................................................................... 19
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum .................................................................. 20
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum............................................................. 20
5. Analisis Bahan Hukum................................................................................... 21
6. Penarikan Kesimpulan.................................................................................... 22
H. Sistematika Penulisan ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

ii
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA
TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NO.
8/Pid.Sus-Anak/2021/PN. Tbn)

A. Latar Belakang

Tindak pidana pada saat ini sangat beragam motifnya seperti kekerasan fisik

atau penganiayaan, kekerasan terhadap psikis, dan masih banyak lagi motif tindak

pidana yang lainnya. Tindak pidana dapat dikatakan sebagai bentuk tingkah laku

seseorang yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum dan norma-norma hukum

yang berlaku di dalam masyarakat. Belakangan ini tindak pidana bisa terjadi

terhadap setiap kalangan baik dewasa maupun anakanak, terlebih terhadap anak-

anak sangat riskan karena anak merupakan generasi penerus bangsa yang

membutuhkan perlindungan hukum khusus yang berbeda dari orang dewasa,

dikarenakan alasan fisik dan mental anak yang belum dewasa dan matang.1

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, tidak menutup kemungkinan bahkan

sudah menjadi hal yang biasa apabila anak-anak melakukan tindak pidana.

Kenakalan anak sering disebut dengan junevile deliquency, yang diartikan dengan

anak cacat sosial.2 Banyaknya kasus tindak pidana yang melibatkan anak di

bawah umur, seperti kasus perkelahian dan minumminumann keras, kasus

pencurian, perusakan, penghinaan, kekerasaan pengeroyokan disebabkan karena

pada masa ini

1
Akala Fikta Jaya, “Penegakan Hukum Pidana terhadap Anak yang Terjerat Perkara
Pidana melalui Diversi (Studi Di Polrestabes Medan)” Journal of Education, Humaniora and
Social Sciences (JEHSS) (Agustus,2020) Vol 3, No. 1, hlm. 79
2
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama,2014), hlm. 67

1
2

seorang anak berada dalam transisi perubahan, sehingga menyebabkan emosi

yang tak terkontrol. Salah satu tindak pidana yang perlu diperhatikan secara

khusus pada saat ini adalah kasus pengeroyokan dan penganiayaan yang

dilakukan oleh anak anak yang tergolong masih muda. Seperti yang terjadi pada

bulan September tahun 2020 telah terjadi kasus pengeroyokan yang terjadi di

Jalan Depan Gapura di Desa Bunut, Saksi korban Moh. Yavi Nur Aszudin dan

Saksi Novari Rohman disuruh berhenti dan dipepet oleh 6 orang dikarenakan

Saksi Moh Yavi sebelumnya berkata “Ada apa kamu ngelirik lirik ?”, Ke 6 Orang

yang masih dibawah umur ini sedang dalam keadaan mabuk karna meminum

minuman keras ini tidak terima dan memberhentikan korban, Terdakwa ABH II

Khadiq Sofiul Fikri dan Terdakwa ABH III M. Nashoicul Ibad mengajak Saksi

Yavi berkelahi, Kedua Terdakwa memukuli saksi korban menggunakan tangan

kosong, Moh. Yavi yang merasa dipukuli pun membela diri dengan melakukan

perlawanan balik, melihat hal ini Terdakwa ABH I Niken Deni dan Satu orang

DPO yaitu Agus Riyanto ikut memukuli Saksi Yavi, dan Agus Riyanto

menancapkan bagian kepala belakang Saksi Yavi menggunakan Kunci Motor

sehingga menyebabkan luka berat berupa luka robek, Lalu Hal ini

meklasifikasikan bahwa perbuatan para terdakwa melanggar pasal 170 Ayat (2)

Ke 1 Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.3

Agar pertumbuhan psikis anak yang pernah melakukan suatu tindak pidana

dapat berlangsung dengan baik, maka dalam Undang Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak mengenal adanya Keadilan Restoratif dan diversi yang

3
Putusan Pengadilan Nomor. 8/Pid.sus-anak/2021/PN.Tbn
3

dapat meringankan hukuman bagi pidana anak.4 Keadilan restoratif adalah

penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga

pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan

semula, bukan pembalasan5 Sedangkan yang dimaksud diversi adalah pengalihan

penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan

pidana, dengan adanya tindakan diversi ini, maka diharapkan akan mengurangi

dampak negatif akibat keterlibatan anak dalam proses pengadilan tersebut.6

Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

memberikan definisi anak ialah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk

anak yang masih di dalam kandungan. Anak juga wajib diberikan perlindungan

agar dapat menjamin serta melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.7 Peraturan perundang-undangan di Indonesia, anak memiliki batasan

usia yang berbeda-beda. Sebagai contoh Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan dalam pasal 47 menyatakan bahwa anak adalah setiap orang

yang belum berusia 18 tahun.8 Merurut Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014

Tentang Perlindungan Anak memberikan definisi anak ialah seseorang yang

4
Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia, (Bandung: PT. Alumni,
2014), hlm. 113
5
M. Nasir Djamil. Anak Bukan Untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sisitem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), hlm. 26.
6
Lilik Mulyadi, loc.cit
7
Undang Undang Nomor 35 Tahun Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
LN.2014/No. 297, TLN No. 5606, LL SETNEG: 48 HLM
8
M. Nasir Djamil. Op.cit hlm. 34
4

belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Hal ini

menunjukan bahwa setiap orang termasuk anak juga diatur secara jelas dalam

perundang-undangan yang berlaku Seorang anak dalam melakukan suatu

kejahatan sebenarnya terlalu ekstrim apabila disebut sebagai tindak pidana. 9

Hal ini dikarenakan anak dianggap memiliki kondisi kejiwaan yang labil,

proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, serta agresif yang dapat

mengganggu ketertiban umum. Hal ini belum bisa dikatakan sebagai kejahatan

melainkan sebuah kenakalan. Karena anak belum sadar sepenuhnya dalam

bertindak dan kondisi psikologis yang tidak seimbang. 10 Pada kasus ini, anak

belum sadar sepenuhnya dalam melakukan suatu tindakan, oleh karenanya

penanganan terhadap tindak pidana anak berbeda dengan tindak pidana dewasa.

Secara paradigma model penanganan pidana anak yang berlaku menurut Undang

Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah sama

sebagaimana penanganan kejahatan orang dewasa, dengan model retributive

justice, yaitu penghukuman sebagai pilihan utama atau sebagai pembalasan atas

suatu tindak pidana. Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini dianggap tidak

sesuai karena dinilai belum memberikan perlindungan kepada anak yang

berhadapan dengan hukum.11 Karena penanganan kejahatan anak tentunya

berbeda dengan yang dilakukan oleh orang dewasa karena dalam hal ini anak

masih sangat rentan baik secara fisik dan psikisnya 12 Proses peradilan pidana anak

9
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 9
10
Nasir Djamil, Loc.cit
11
Ibid, hlm.35
12
Kartini, Kartono, Kenakalan Remaja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.
67
5

menimbulkan efek negatif yaitu dapat berupa penderitaan fisik dan emosional

seperti ketakutan, kegelisahan,dan lainnya. Begitu juga efek negatif adanya

putusan hakim pemidanaan terhadap anak maka stigma yang berkelanjutan, rasa

bersalah pada diri anak dan sampai pada kemarahan dari pihak keluarga13

Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan

setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut

meminta.14 Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on

the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga

dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak dan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2014 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

(selanjutnya disingkat UU SPPA) yang kesemuanya mengemukakan prinsip-

prinsip umum perlindungan anak, yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik

bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang serta menghargai partisipasi

anak. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 juga

mengatur jelas hak-hak anak yang salah satunya adalah berhak atas kelangsungan

13
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 3.
14
Nashriana, Perlindungan hukum bagi anak di Indonesia, (Jakarta: Raja grafindo
Persada, 2011), hlm.13
6

hidup, tumbuh dan kembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.15

Prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip non diskriminasi yang

mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan

hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga diperlukan penghargaan terhadap

anak, termasuk terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Oleh karena itu,

maka diperlukan suatu sistem peradilan pidana anak yang di dalamnya terdapat

proses penyelesaian perkara anak di luar mekanisme pidana konvensional.

Muncul suatu pemikiran atau gagasan untuk hal tersebut dengan cara pengalihan

atau biasa disebut Diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk

menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam Lembaga Pemasyarakatan

rawan terjadi pelanggaran- pelanggaran terhadap hak anak. Hal inilah yang

mendorong ide Diversi khususnya melalui konsep Restoratif Justice menjadi

suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana

yang dilakukan oleh anak.16

Perlindungan hukum bagi anak dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan

hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Perlindungan terhadap

anak ini juga mencakup kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan

anak. Perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) merupakan

tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya anak sebagai

pelaku, namun mencakup juga anak sebagai korban dan saksi. Aparat penegak
15
Tim Pustaka Setia, Undang-Undang Dasar 1945 setelah Amandemen Keempat Tahun
2002, (Bandung: CV. Pustaka Setia. 2005), hlm.23
16
Sigit Angger Pramukti & Primarharsya Fuadi, Sistem Peradilan Pidana Anak,
(Yogyakarta: Madpress 2002), hlm.38
7

hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang

berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian dari

pada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 tahun setelah Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diundangkan atau mulai berlaku pada

tanggal 1 Agustus 2014 (Pasal 108 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak).17 Tetapi yang dilakukan oleh terdakwa tampaknya

tidak bisa diberikan perlakuan Diversi dikarenakan sudah memenuhi unsur

– unsur yang sudah ada pada Pasal 170 Ayat 2 ke-1 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan

formal dengan memasukan anak kedalam penjara ternyata tidak berhasil

memberikan efek jera dan tidak tentu menjadikan pribadi anak lebih baik untuk

proses tumbuh kembangnya. Penjara justru sering kali membuat anak semakin

profesional dalam melakukan tindak pidana, oleh karena itu negara harus

memberikan perlindungan terhadap anak apabila anak tersebut menjadi pelaku

tindak pidana. Perlindungan anak ini dapat dilakukan dari segala aspek, mulai dari

pembinaan pada keluarga, kontrol sosial terhadap pergaulan anak, sampai

penanganan yang tepat melalui peraturan-peraturan yang baik. Oleh karena itu

terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana sangat tepat jika diterapkan

Restorative Justice terhadap penyelesaiannya, karena lebih menitik beratkan pada


17
Ridwan Mansyur, “Keadilan Restoratif sebagai Tujuan Pelaksanaan Diversi pada
Sistem Peradilan Pidana Anak”, Law Enforcement & Justice Magazine REQUISITOIRE, Vol.
3:9, 2014, hlm. 58
8

kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban, dengan

mengedepankan proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas

penyelesaiaan perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak pelaku dan

korban.18

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, di dalam anak melakukan perbuatan pidana wajib mengutamakan

pendekatan Restorative Justice. Kepentingan seorang anaklah yang menjadi faktor

penting yang harus didahulukan, maka dari itu terhadap seorang anak wajib

menggunakan pendekatan Restorative Justice karena sanksi pidana dalam hal

seorang anak melakukan tindak pidana merupakan upaya terakhir (Ultimum

Remedium) apabila pendekatan Restorative Justice ini tidak dapat memberikan

hasil, tetapi Dalam prakteknya, kasus yang terkait dengan perbuatan pidana anak

masih belum begitu menerapkan diversi dalam penyelesaian tindak pidana yang

dilakukan oleh anak. Dikarenakan praktek restorative justice yang kurang begitu

maksimal dalam penerapan di setiap tingkatan, baik dalam kepolisian maupun

pengadilan, yang membuat masih banyaknya anak di bawah umur yang harus

dihukum penjara badan, sehingga dikhawatirkan hal seperti ini akan terus

berulang karena diversi belum begitu maksimal dilakukan.

18
Ibid, hlm.59
9

Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengkaji

lebih jauh bagaimana Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan penyelesaian kasus

Anak yang berhadapan dengan hukum dengan tindak pidana pengeroyokan

berjudul “PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA

TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI PUTUSAN NO.

8/Pid.Sus-Anak/2021/PN. Tbn)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana

penyebaran pornografi melalui jejaring media sosial Telegram dalam

Putusan Pengadilan Nomor. 8/Pid.Sus-Anak/2021/PN. Tbn.?

2. Bagaimana pertanggung jawaban pidana terhadap pelaku penyebaran

konten Pornografi melalui jejaring media sosial Telegram dalam Putusan

Pengadilan Nomor. 8/Pid.Sus-Anak/2021/PN. Tbn. ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini, sebagai

berikut :
10

1. Untuk mengetahui analisis pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan putusan tindak pidana Pengeroyokan yang dilakukan oleh

anak dalam Putusan pengadilan nomor. 8/Pid.Sus-Anak/2021/PN. Tbn.

2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum sebagai bentuk

pertanggungjawaban terhadap tindak pidana pengeroyokan yang dilakukan

oleh anak dalam studi kasus Putusan pengadilan nomor.

8/Pid.Sus-Anak/2021/PN. Tbn.

D. Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat yang diharapkan dalam penulisian skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1. Manfaat Teoritis

Dalam penulisan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai

penambah ilmu penegetahuan maupun masukan terhadap pemahaman

masyarakat yakni memberikan informasi mengenai bagaimana sistem

penyelesaian pidana melalui diversi yang dilakukan oleh anak menurut

hukum yang berlaku sampai saat ini, serta memberikan penjelasan akibat

hukum bagi anak yang melakukan tindak pidana.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini memberi manfaat positif bagi para

pembaca, terutama dalam bidang penyelesaian tindak pidana yang

dilakukan anak, serta dapat digunakan sebagai acuan atau perbandingan

bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian dengan tema yang sama.
11

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian yang akan penulis teliti hanya membahas mengenai

bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana Pengeroyokan yang dilakukan

oleh anak Pada Putusan No.8/Pid.Sus- Anak/2021/PN. Tbn,

F. Kerangka Teori

1. Teori Putusan Hukum Hakim

Pemahaman atas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak lepas dari prinsip

pemisahan kekuasaan yang dikemukaan oleh John Locke dan Montesqueiu. Hal

ini dimaksudkan untuk menjamin sikap tidak memihak, adil, jujur, atau netral

(impartiality). Apabila kebebesan tidak dimiliki oleh kekuasaan kehakiman, dapat

dipastikan tidak akan bersikap netral, terutama apabila terjadi sengketa antara

pengusaha dan rakyat.19

Suatu badan yang melalui putusan hakim menentukan isi dan kekuatan asas-

asas hukum positif disebut kekuasaan kehakiman. Tanpa kekuasaan kehakiman

yang merdeka, yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang merdeka dan tidak

memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum, sebaik apapun peraturan

perundang-undangan yang dibuat di suatu negara untuk menjamin keamanan dan

kesejahteraan masyarakat, peraturan tersebut tidak ada artinya. kekuatan peraturan

19
Ismail Rumadan, “PROBLEMATIKA PELAKSANAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
(Dalam Konteks Pelaksanaan Fungsi Check and Balances System)”, Jurnal Hukum dan Peradilan
(November 2014), Volume 3, Nomor 3: 243-252 hlm. 246.
12

dan konten melalui keputusan mereka.20 Menurut Mac Kenzei, “ada beberapa

teori yang digunakan hakim sebagai dasar dalam menjatuhkan pidana pada suatu

perkara pidana, yaitu” :

a. Teori keseimbangan

Seolah-olah ada keseimbangan antara kepentingan masyarakat,

kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban, keseimbangan yang

dimaksud disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan

undang-undang dengan kepentingan pihak-pihak yang terlibat atau terkait

dengannya. kasus.21

b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Ketika seorang hakim membuat keputusan, dia menggunakan

kebijaksanaan atau otoritas mereka untuk melakukannya. Saat mengambil

keputusan, hakim akan mempertimbangkan situasi dan menjatuhkan

hukuman yang adil pada setiap penjahat, dengan mempertimbangkan

situasi para pihak yang berperkara. Dalam mengambil keputusan,

pendekatan artistik hakim lebih dipengaruhi oleh insting atau intuisi

daripada oleh mereka pengetahuan.22

c. Teori pendekatan keilmuan

Pendekatan ilmiah ini berfungsi sebagai semacam peringatan bahwa hakim

harus dibekali dengan pengetahuan hukum dan wawasan ilmiah hakim

20
Ibid, hlm. 247
21
Ibid
22
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 102
13

ketika menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan, bukan hanya

mengandalkan intuisi atau insting.23

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Karena seorang hakim memiliki pengalaman, ia dapat memahami

bagaimana suatu putusan dalam suatu perkara pidana mempengaruhi

pelaku, korban, dan masyarakat. Pengalaman ini dapat membantu seorang

hakim menangani kasus-kasus yang ditanganinya setiap hari.24

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara

yang disengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan

yang sesuai dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar

hukum dalam penjatuhan.25

2. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pertanggungjawaban adalah

kewajiban menanggung segala sesuatu jika terjadi sesuatu dapat dituntut,

dipersalahkan dan dibawa ke pengadilan. Dalam kamus hukum tanggung jawab

adalah kewajiban seseorang untuk menyelesaikan apa yang diminta darinya. 26

Konsep dari Tanggung Jawab hukum erat dengan konsep hak dan kewajiban.27

23
Ibid
24
Ibid, hlm. 103
25
Ibid, hlm.104
26
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), hlm 32.
27
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.55.
14

Konsep hak merupakan konsep yang menekankan pengertian hak yang

disandingkan dengan pengertian kewajiban. Pendapat umum menyatakan bahwa

hak satu orang terkait dengan kewajiban orang lain. 28 Konsep yang terkait dengan

konsep kewajiban hukum adalah konsep pertanggungjawaban perdata. Apakah

seseorang bertanggung jawab secara hukum atas tindakan tertentu atau seseorang

memikul tanggung jawab hukum, yang berarti bahwa orang tersebut bertanggung

jawab atas sanksi jika tindakannya melanggar peraturan yang berlaku.29

Hukum pidana berpusat pada unsur perbuatan pidana dan kesalahan

kesengajaan. Unsur perbuatan pidana berada pada bidang objektif, disusul dengan

unsur sifat melawan hukum. Sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana bersifat

subyektif yang terdiri dari kesanggupan untuk bertanggung jawab dan adanya

kesalahan (kesengajaan dan kelalaian).30

Menurut pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP, masalah pertanggungjawaban

pidana dikaitkan dengan alasan penghapusan kejahatan. Selain itu, meskipun Pasal

183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang pentingnya kekeliruan dalam

menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa, informasi tambahan mengenai hal ini

sangat sedikit. Akibatnya, kesalahan pembuat dan tanggung jawab pidana

memainkan peran besar dalam menentukan hukuman mereka, tetapi peraturan

undang-undang hanya memberikan informasi yang sangat sedikit.31

28
Ibid, hlm 57.
29
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, (Bandung: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), hlm.95
30
A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMMPRES, 2004), hlm.74
31
Chairul Huda, Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm.3
15

3. Teori Tindak Pidana Anak

Istilah tindak pidana adalah istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda

sebagai Strafbaarfeit. Dalam peraturan perundangundangan Indonesia tidak

ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama

ini merupakan kreasi para ahli ilmu hukum. Para ahli hukum pidana umumnya

masih merumuskan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana.

Demikian pula dengan apa yang didefinisikan Simons dan Van Hamel. Dua ahli

hukum pidana Belanda tersebut, pandangan-pandangannya mewarnai pendapat

para ahli hukum pidana Belanda dan Indonesia hingga saat ini. 32 Simons

mengatakan bahwa Strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang diancam dengan

pidana, bersifat melawan hukum dan berhubungan dengan kesalahan yang

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.33

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung

makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur,

yaitu :

a. adanya perbuatan manusia;

b. perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;

c. adanya kesalahan;

d. orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan.34

32
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.25
33
Ibid, hlm.26
34
Ibid
16

Batasan-batasan tersebut belum berarti sama dengan batas usia pemidanaan

anak. apalagi dalam KUHPidana ditegaskan bahwa seseorang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya diisyaratkan adanya kesadaran diri

yang bersangkutan. Ia harus mengetahui perbuatan itu terlarang menurut hukum

yang berlaku, sedangkan predikat anak disini menggambarkan usia tertentu,

dimana ia belum mampu dikatagorikan orang dewasa yang karakteristiknya

memiliki cara berpikir normal akibat dari kehidupan rohani yang sempurna,

pribadi yang mantap menampakkan rasa tanggung jawab sehingga dapat

mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang dipilihnya karena ia berada

pada posisi dewasa.35

Tetapi Anak dalam hal ini adalah anak yang dikenal dengan istilah juvenille

delinquent, memiliki kejiwaan yang labil, kritis, agresif dan menunjukkan

kebengalan yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini

tidak bisa dikatakan sebagai psikologis yang tidak seimbang, di samping itu

pelakunya pun tidak sadar akan apa yang seharusnya ia lakukan. Tindakannya

merupakan menifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang

lain sebagai apa yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan (KUHPidana)

yaitu menyadari akibat dari perbuatannya dan pelakukan mampu

bertanggungjawab.36

Berdasarkan Pasal 1 UU SPPA, yang dimaksud dengan Anak yang Berhadapan

dengan Hukum adalah :37


35
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, (Bandung, PT. Refika Aditama,
2017), hlm.12
36
Ibid
37
Ibid, hlm.16
17

- anak yang berkonflik dengan hukum, adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

diduga melakukan tindak pidana.

- anak yang menjadi korban tindak pidana, adalah anak yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau

kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana

- dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. anak yang belum berumur 18

(delapan

belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,

penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang

didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

G. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian data

yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum. Penelitian

normatif dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum

sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta

bagaimana baiknya peristiwa itu menurut hukum.38 Jenis penelitian dalam

penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal. Menurut

Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan

bahwa penelitian hukum doktrinal adalah sebagai berikut : “doctrinal research:

38
Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015) hlm. 153
18

research wich provides a systematic exposition of the rules goverming a

particular legal kategory, analyses the relationship between rules, explain areas

of difficullty and, perhaps, predicts future development.” (Penelitian doktrinal

adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur

suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan

menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa

depan).39

Penelitian hukum normatif yang nama lainnya adalah penelitian hukum

doktrinal yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen

karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan

yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.40

2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum kita dapat menemukan berbagai macam

pendekatan yang dapat kita pergunakan untuk membantu mengelola dan

menafsirkan bahan hukum. Namun dalam studi ini pendekatan yang dipergunakan

adalah :

a. Pendekatan Undang Undang (Statue Apporach)

Pendekatan perundang-undangan. Penulisan hukum ini dimaksudkan untuk

memahami sekaligus menganalisis secara komprehensif hirarki peraturan

perundang-undangan dan asas-asas dalam peraturan perundang- undangan.

39
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), hlm.35

40
Soerjono Soekanto Dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Cetakan ke-8, PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 13
19

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah

semua peraturan perundang-undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan

isu hukum yang sedang ditangani.41

b. Pendekatan kasus (case approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-

kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Kasus itu dapat berupa

kasus yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain.42

3. Sumber Bahan Hukum

Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sumbersumber data

sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau

penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan

masalah atau materi penelitianyang sering disebut sebagai bahan hukum. Data

sekunder diperoleh dari 2 (dua) bahan hukum, baik bahan hukum sekunder

maupun primer

a. Bahan Hukum Primer

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;

2) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

b. Bahan Hukum Sekunder

1) Buku-buku yang membahas tentang Kekuasaan Kehakiman

41
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), hlm 133
42
Ibid
20

2) Skripsi, Tesis, Jurnal dan Disertasi Hukum.43

c. Bahan Hukum Tersier

1) bahan hukum yang memberikan pemahaman dan pengertian terhadap

bahan hukum lainnya yang dapat berupa bahan yang diakses melalui

artikel, website serta referensi lainnya terkait pokok permasalahan dalam

penelitian ini.44

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam hal ini penelitian hukum dilakukan dengan cara penelitian kepustakan

atau disebut dengan penelitan normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan

nama bahan acuan dalam bidang hukum atau rujukan bidang hukum.45

Metode library research adalah mempelajari sumber-sumber atau bahan- bahan

tertulis yang dapat dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini. Berupa rujukan

beberapa buku, wacana yang dikemukakan oleh pendapat para sarja hukum yang

sudah mempunyai nama besar dibidangnya, koran dan majalah.46

5. Analisis Bahan Hukum

43
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006), hlm.196
44
Soerjono Soekanto Dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 13
45
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 119
46
Ibid
21

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diaturkan,

kemudian diorganisir dalam suatu satu pola, kategori dan uraian dasar. Analisis

bahan hukum ini adalah analisis dengan cara kualitatif, yaitu menganalisis secra

lengkap dan komperhensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga

dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini.47

6. Teknik Penarikan Kesimpulan

Teknink penarikan kesimpulan dalam penulisan Penelitian ini untuk

memberikan Pemikiran yang secara deduktif mampu memberikan penjelasan dari

permasalahan yang telah dirumuskan dari pembahasan yang terlihat umum

menjadi pembahasan yang khusus, dengan demikian pada kesimpulan penulisan

skrispsi ini akan memberikan kejesalan bagaimana penyelesaian dari

permasalaham yang menjadi persoalan dalam penelitian ini.

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memperoleh pembahasan dalam penelitian yang lebih terarah dan

sistematis, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis akan mengemukakan secara garis besar latar belakang,

perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, ruang lingkup

penulisan, kerangka teori, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

47
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian hukum dan jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm. 93
22

Pada bab ini penulis akan mengulas tinjauan pustaka mengenai penjelasan secara

spesifik penjelasan bagaimana penegakan hukum terkait penyalahgunaan ITE

yang berhubungan dengan tindak pidana asusila pornografi yang terjadi pada

bidang teknologi, serta Bagaimana Pihak yang berwenang menanggulangi

permasalahan terkait penyelahgunaan teknologi di masa modern seperti sekarang

ini.

BAB III PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan mengemukakan pembahasan mengenai dan

menjelaskan bagaimana pembahasan terkait rumusan masalah yang sudah peneliti

sampaikan terkait bagaimana Pihak berwenang seperti kepolisian,kejaksaan dan

pihak kehakiman menegakkan dan menyelenggarakan Hukum terhadap tindak

pidana pornografi melalui media .

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran yang membangun

mengenai topik permasalahan pada skripsi yang akan berguna bagi pembaca

maupun penulis sendiri.


23

DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

BUKU

Adam Chazawi ,Pelajaran Hukum Pidana bagan I, Raja Grafindo Persada,


Jakarta,2002

Ali, Zainudin. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika

Bambang Waluyo. Pidana dan Pemidanaan.Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h.103.

Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice Di Pengadilan

Anak Indonesia. Bandung: Indi Publishing, 2011


Herlina, Apong. Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum,

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004

Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana, 2008

Nasir Djamil, M. Anak Bukan Untuk Dihukum(Catatan Pembahasan UU Sisitem


Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Jakarta: Sinar Grafika, 2013

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia., Ed. 1; Jakarta:


Rajawali Pers, 2011
24

Nawawi Arief, Barda. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan.


Semarang: Pustaka Magister, 2012

Setya Wahyudi dalam M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum; Catatan
Pembahasan UU Sistem Peradilan Anak (UU-SPPA).

Wahyudi, Setya, Implementasi ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan


Pidana Anak di Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2011

JURNAL

Bambang Purnomo , Gunarto, Amin Purnawan “Penegakan Hukum Tindak


Pidana Anak Sebagai Pelaku Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi
Kasus Di Polres Tegal)” Khaira Ummah Vol. 13. No. 1 Maret 2018.

Pradityo, Randy “Garis Lurus Diversi Sebagai Pendekatan Non-Penal,” Jurnal


RechtsVinding Online Vol. 3 Jakarta, Tahun 2016.

Raihana,”Kenakalan Anak (Juvenile Deliquency Dan Upaya


Penanggulangannya”. Sisi Lain Realita, Jurnal Kriminologi Vol 1. No.1,
Juni 2016

I Made Sepud. “Perlindungan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak


Melalui Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia” Jurnal
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawidjaya Vol 2. No 3 Tahun
2013

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;

Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Anda mungkin juga menyukai