Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH FILSAFAT HUKUM

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG


PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Disusun Oleh:

Yondra Permana, SH
2120113024
Nomor Absen : 12

PRODI S2 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
TA 2021/2022
DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan........................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN
A. Tinjauan Yuridis UU No. 24 Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga …5
B. Tinjauan Hukum Pidanan Sanksi Pidana bagi Pelaku Pembuangan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun………………………………….. 10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................................. 14
B. Saran.......................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia ditakdirkan untuk hidup berpasangan, yang kemudian hubungan
pasangan pria dan wanita ini diikat dalam suatu ikatan perkawinan. Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masingmasing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan dan materiil.1 Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) dikatakan bahwa “Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.”2 Pada intinya dapat diartikan bahwa perkawinan
merupakan suatu ikatan yang mengesahkan hubungan seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri untuk membentuk satu rumah tangga baru yang diharapkan
mencapai kebahagiaan sampai akhir hayat.
Ditinjau dari hukum perdata, ketentuan Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) menentukan bahwa “Undang-undang memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”. Berdasarkan ketentuan tersebut,
Djaja S. Meliala berpendapat bahwa di dalam KUH Perdata perkawinan semata-mata
merupakan perjanjian perdata, tidak ada kaitannya dengan agama yang dianut oleh para
pihak (calon mempelai).3 Subekti menjelaskan bahwa Pasal tersebut hendak
menyatakan, bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi
syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata (Burgelijk Wetboek), dan syarat-
syarat serta peraturan agama dikesampingkan.4

1
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, cet. ke-I, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 163.
2
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
3
Djaja S. Meliala, 2006, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa
Aulia, Bandung, hlm. 47.
4
Subekti, 1989, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hlm. 23.
1
2

Rumah tangga adalah sebuah susunan atau jaringan yang hidup yang merupakan
alam pergaulan manusia yang sudah diperkecil yang ditunjukkan untuk mengekalkan
keturunan yang kemudian nantinya akan terbentuk sebuah keluarga. Dia bukan sekedar
tempat tinggal belaka. Tetapi rumah tangga sebagai lambang tempat yang aman, yang
dapat menentramkan jiwa, sebagai tempat latihan yang cocok untuk menyesuaikan diri,
sebagai benteng yang kuat dalam membina keluarga dan merupakan arena yang nyaman
bagi orang yang menginginkan hidup bahagia, tentram dan sejahtera.5 Namun
realitanya, tidak semua kehidupan rumah tangga seseorang berlangsung harmonis.
Ketika ada permasalahan di dalam rumah tangga terkadang diselesaikan dengan
menggunakan cara yang tidak beretika, yaitu dengan cara menggunakan kekerasan.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat berbagai bentuk, baik
kekerasan fisik atau penganiayaan, eksploitasi, penelantaran hingga kekerasan seksual
yang dialami istri/suami, anak-anak atau pekerja rumah tangga (PRT).6 Banyaknya
kasus KDRT baik yang dilaporkan maupun tidak sebenarnya sering kita temui dalam
kehidupan kita seharihari. Kekerasan terhadap perempuan pada dasarnya merupakan
bentuk diskriminasi dan merupakan bentuk pelanggaran HAM fundamental yaitu hak
untuk hidup dengan rasa aman dan bebas dari segala bentuk ancaman dan ketakutan.
Banyaknya kasus-kasus KDRT yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dengan angka
yang terus meningkat dari tahun ke tahun, maka muncullah gagasan mengenai
pentingnya sebuah Undang-undang khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
Dengan lahirnya Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menjadi landasan hukum untuk penghapusan dan
pencegahan tindakan kekerasan disamping perlindungan korban serta penindakan
terhadap pelaku.
Selama ini, dalam menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga
berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Sebagian besar
korban kekerasan memilih melakukan perceraian, hanya sedikit korban yang bersedia
membawa kasusnya diproses secara pidana. Namun beberapa kasus KDRT yang terjadi

5
Melisa, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan
Oleh Suami Terhadap Istr, (Skripsi, Universitas Negeri Makasar, 2016). Hal. 2
6
Emei Dwinanarhati Setiamandani dan Agung Suprojo, Tinjauan Yuridis Terhadap Uu Nomor 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (REFORMASI, Vol. 8 Nomor 1, 2018).
Hal. 37
3

di masyarakat, selain pertimbangan hukum tersebut, pandangan masyarakat yang


menganggap bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah urusan suami-istri
yang bersangkutan, yang harus diselesaikan oleh mereka berdua, juga turut menghambat
proses perlindungan terhadap perempuan.7 Ketiadaan akses yang setara kepada keadilan
terkait dengan persoalan penegakan prinsip equality before the law (persamaan di
hadapan hukum) dalam praktek hukum. Secara ideal prinsip tersebut baru dapat berlaku
efektif bila setiap orang memiliki akses yang sama kepada keadilan.
Pengalaman para korban KDRT yang banyak tidak tersentuh oleh keadilan
meskipun sudah ada UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 memerlukan pembaruan hukum
yang dapat mengantarkan para perempuan, khususnya korban KDRT kepada keadilan.
Implementasi hukum di lapangan yang diwarnai oleh praktek ketiadaan pemahaman
tentang perspektif perempuan (seringkali adalah korban) di kalangan penegak hukum,
semakin menjauhkan perempuan dari akses kepada keadilan. Untuk itu diperlukan
upaya pembaharuan hukum terhadap UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 agar para
perempuan dapat mengakses keadilan dalam koridor the rule of law.8 Oleh karena itu
tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang tinjauan Yuridis terhadap UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dikemukakan rumusan
masalah dalam makalah ini adalah “bagaimana tinjauan Yuridis terhadap UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga?

C. Tujuan Penulisan Masalah


1. Maksud
a. Meningkatkan keterampilan menulis efektif Mahasiswa Pascasarjana
Fakultas Ilmu Hukum Universitas Andalas,
b. Meningkatkan kemampuan untuk mengungkapkan gagasan, pendapat,
pikiran kepada orang lain.

7
Harsono, Irawati, Risa Permanadeli, Sri Nurherwati, dan Sulistyowati Irianto. 2009. Buku Referensi
Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Komnas
Perempuan, Jakarta.
8
Harkristuti. 2000. Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Obor, Jakarta
4

2. Tujuan
a. Sebagai tugas pada Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Andalas.
b. Untuk menganalisis tinjauan Yuridis terhadap UU Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
c. Untuk mengetahui Aliran Positivisme Hukum terhadap penerapan UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Yuridis Terhadap UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang disahkan tanggal 22
September 2004, yang digunakan sebagai payung hukum penyelesaian kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga. UU PKDRT dianggap sebagai salah satu peraturan yang
melakukan terobosan hukum karena terdapat beberapa pembaruan hukum pidana yang
belum pernah diatur oleh Undang-Undang sebelumnya. Setelah itu menyusul Undang-
Undang seperti Perlindungan Saksi dan Korban dan UndangUndang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang. Menurut Pasal 1 butir 1 UU Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan selanjutnya disingkat UU
P-KDRT menyatakan bahwa KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.9
Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai hidden crime yang telah
memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini dapat terjadi
dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor. Sebagai akibatnya tidak
hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak juga ikut mengalami penderitaan. Untuk
mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,
negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan, dan penindakan
pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945. Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan secara fisik,
psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga pada kenyataannya terjadi sehingga
dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus kekerasan dalam rumah
tangga.
Pembaruan hukum sangat diperlukan, khususnya tentang perempuan,
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah

9
Nanda Yunisa, Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah TanggaSS,
Permata Press, Surabaya, 2019, hal. 2.
5
6

tangga. Pembaruan hukum tersebut diperlukan karena Undang-Undang yang ada belum
memadai dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Sehingga,
sudah saatnya ada pembaharuan hukum pidana terhadap UU PKDRT yang diatur secara
komprehensif, jelas, dan tegas untuk melindungi dan berpihak kepada korban, serta
sekaligus memberikan pendidikan dan penyadaran kepada masyarakat dan aparat bahwa
segala tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan.
1. Tinjauan Yuridis Hukum Pidana Dalam Bentuk-Bentuk KDRT
Tinjauan yuridis yang pertama diakomodir dalam UU PKDRT ini adalah
bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang mencakup kekerasan fisik,
kekerasan psikis, kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi atau penelantaran keluarga.
Dengan adanya terobosan hukum ini, maka korban KDRT yang selama ini
terdiskriminasi secara hukum dapat mencari keadilan seperti yang diharapkan untuk
berbagai bentuk kekerasan yang memang terjadi dan menimpa mereka. Kekerasan
Psikis yang menjadi terobosan UU PKDRT dalam proses hukumnya antara lain
memungkinkan untuk dilakukan Visum et Psikiatrikum sebagai pembuktiannya. Namun,
terobosan ini belum banyak digunakan baik oleh aparat penegak hukum maupun
pendamping. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya ahli psikologi/psikiater yang
mempunyai pemahaman tentang konteks KDRT terjadi. 10 Kekerasan Seksual yang salah
satunya kekerasan seksual terhadap istri (marital rape) juga menjadi terobosan UU
PKDRT, meskipun masih merupakan delik aduan. Tindak pidana khusus ini diatur
dalam Pasal 8 huruf (a) yang menyatakan bahwa tidak lagi memisahkan ranah privat
dan publik ketika terjadi kekerasan. Dari bentuk-bentuk KDRT ini, dimana banyak
terjadi pembaruan hukum, dalam pelaksanaan proses pidananya banyak sekali kendala
atau kesulitan yang dihadapi, baik oleh korban, pendamping maupun aparat penegak
hukum sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, karena penjelasan pasal yang kurang
terutama untuk Pasal 2 ayat (2) terkait dengan kata “menetap” dan “berada” seringkali
menimbulkan penafsiran yang berbeda diantara aparat penegak hukum dan pendamping.
Yang dimaksud menetap dan berada itu apakah dalam jangka waktu tertentu atau
memang tinggal dalam rumah tangga tersebut. 11 Hal ini menjadi kritik bagi pasal
tersebut, terutama dalam konteks pekerja rumah tangga yang tidak menetap atau tinggal,
10
Hamzah, Andi. 2001. Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
11
Haris. 1987. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat Dalam HIR,PT. Bina Cipta, Jakarta.
7

tetapi bekerja untuk waktu tertentu di rumah tersebut. Padahal dalam rumusan pasal
terkait dengan ruang lingkup, tidak menyebutkan bahwa locus delicti harus berada di
dalam rumah. Tetapi lebih menekankan pada relasi kerumahtanggaan akibat dari
perkawinan, hubungan darah, ataupun relasi kerja dalam rumah tangga. Maka dapat
ditafsirkan bahwa peristiwa pidana KDRT dapat pula terjadi di luar rumah.12
2. Tinjauan Yuridis Hukum Pidana Pada Pemulihan Korban KDRT
Sejak disahkannya UU PKDRT, upaya pemulihan korban KDRT menjadi salah
satu hal yang tak terpisahkan dari proses hukum. Dan hal ini sudah menjadi tanggung
jawab bersama antara pemerintah dan penyedia layanan, baik layanan medis, psikologis,
hukum dan rumah aman. Konsep layanan terpadu untuk korban kekerasan sudah
digagas dan disepakati bersama antara Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan,
Departemen Kesehatan, Departemen Sosial dan Kapolri.13
Dalam Pasal 13-14 UU PKDRT ini yang sudah memperluas bentuk layanan dan
koordinasi antar pihak terkait dengan hak korban KDRT untuk mendapatkan layanan,
masih memerlukan penjelasan teknis dalam pelaksanaannya. Dalam pasal 43 UU
PKDRT, dimandatkan untuk dibuatnya Peraturan Pemerintah terkait pelaksanaan
pemenuhan hakhak korban dalam rangka pemulihan. Peraturan Pemerintah untuk UU
PDKRT terkait dengan upaya pemulihan baru ditetapkan tahun 2006, yakni PP No.4
Tahun 2006 tentang penyelenggaraan dan kerjasama pemulihan korban KDRT.
3. Tinjauan Yuridis Hukum Pidana Terkait Kewajiban Masyarakat Pada Kasus
KDRT
Upaya pencegahan KDRT merupakan kewajiban bersama antara pemerintah dan
masyarakat. Semangat di atas yang kemudian dicoba dimasukkan dalam UU PKDRT.
Hal ini terkait dengan locus terjadinya KDRT di ranah privat, sehingga Pemerintah
tidak dapat begitu saja masuk dan memantau rumah tangga tersebut secara langsung.
Sehingga dibutuhkan keterlibatan masyarakat dalam memantau dan mencegah
terjadinya KDRT di lingkungannya.
Kewajiban masyarakat ini diakomodir dalam pasal 14 dan 15 UU PKDRT.
Namun, tinjauan yuridis ini masih belum dirasakan manfaatnya oleh korban KDRT. Hal
12
Kalibonso, Rita Serena. 2000. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Sebagai
Pelanggaran Hak Azasi Manusi, Obor, Jakarta.
13
Lapian, Gandhi. 2007. Pembaharuan Hukum yang Diamanatkan Undang-undang No. 7 Tahun 1984
tentang Ratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Obor,
Jakarta.
8

ini antara lain dikarenakan masih adanya penolakan laporan masyarakat dari pihak
Kepolisian, selain itu dari masyarakat pun juga masih banyak yang tidak peduli dengan
KDRT di lingkungannya. Misalnya dengan tidak bersedianya menjadi saksi bagi kasus
KDRT yang terjadi di depan matanya, dengan alasan takut menjadi saksi, takut
mendapatkan ancaman dari pelaku, takut mencampuri urusan rumah tangga orang,
ataupun alasan lainnya terkait dengan posisi, status, ekonomi dan juga keselamatan
yang bersangkutan. Oleh karenanya, dalam mendorong kewajiban masyarakat ini,
diperlukan adanya peningkatan pemahaman tentang KDRT dan juga tentang relasi
hubungan rumah tangga yang merupakan ikatan komitmen kedua belah pihak untuk
membentuk keluarga yang saling menghormati dan tidak ada kekerasan di dalamnya.
Selain itu diperlukan sosialisasi tentang prosedur penanganan kasus dan penerapan
perlindungan saksi serta korban yang sungguh-sungguh seperti yang diamanatkan dalam
Undang Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Hal ini
untuk mendorong keberanian korban maupun saksi untuk melaporkan tindak kekerasan
yang terjadi di lingkungannya tanpa ada rasa takut dan terancam jiwanya.
4. Tinjauan Yuridis Hukum Pidana Terkait Sanksi Pidana Terhadap Pelaku
KDRT
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga bertujuan
memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga.
Tetapi pada kenyataannya, perlindungan yang diberikan belum memadai, terutama
karena sanksi bagi pelaku yang tidak tepat. Dilihat dari sudut politik kriminil, maka
tidak terkendalinya perkembangan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang
semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana
yang dipilih dan ditetapkan.14 Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut
yang tidak dapat dilaksanakan karena sanksi hukum yang tidak sesuai dan tidak ada
peraturan pelaksanaannya seperti rumah aman dan rumah alternatif bagi korban KDRT.
Selain itu juga dengan sistem sanksi alternatif yang tercantum dalam Undang-Undang
No. 23 tahun 2004 bagi masyarakat pada umumnya yang awam di bidang hukum dapat
menimbulkan salah tafsir dimana mereka yang melakukan kekerasan dalam rumah
tangga dapat memilih penjatuhan sanksi bila tidak ingin dipenjara maka dapat dengan
membayar pidana denda saja maka mereka akan bebas dari jeratan hukum. Selain itu,
14
Pasaribu, Rawasita Reny. 2005. Rancangan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban;
Perjalanan Panjang Perlindungan HK Bagi Pengungkap Tindak Pidana, Sinar Grafika, Jakarta
9

pencantuman sanksi maksimal saja tanpa mencantumkan batas minimal dapat


menimbulkan ketidakpastian hukum. Pelaku bisa saja hanya dijatuhi dengan pidana
paling minimun dan ringan bagi korban yang tidak sebanding dengan perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku, sehingga korban enggan untuk mengadukan tindak kekerasan
dalam rumah tangga yang dialaminya yang dianggap akhirnya hanya akan membuang-
buang waktu dan tidak dapat memenuhi rasa keadilan korban.
Ketentuan pidana dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga dengan menganalisa delik aduan serta hubungan
antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan yang terkandung di dalamnya
yang merupakan titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. 15
Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana
atau tindakan yang akan digunakan dalam rangka penanggulangan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga.16 Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang
dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidak-tidaknya mendekati tujuan, tidak
dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi. Keterbatasan
lainnya adalah dalam soal pembuktian. Prinsip “satu saksi bukan saksi” serta rumusan
yang membatasi pada bukti-bukti fisik saja, pada akhirnya menyulitkan kasus-kasus
kekerasan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan yang lainnya untuk diproses secara
hukum.

B. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF HUKUM


POSITIF INDONESIA DAN PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Bahwa pandangan hukum positif dan hukum Islam memandang kekerasan


dalam rumah tangga atau kekerasan terhadap istri adalah perbuatan tercela dan

15
Saraswati, Rika. 2009. Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
16
Savitri, Niken. 2008. HAM Perempuan-Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, PT. Refika
Aditama, Bandung.
10

terlarang. Hukum positif dan Hukum Islam sama-sama berpandangan bahwa kedudukan


seorang istri sama tingginya dengan seorang suami. kekerasan di dalam rumah tangga
merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. 
Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban
diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan
bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan).  Pelaku dan
korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi
oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa. Tujuan dari penulisan ini
adalah untuk  mengkaji kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum positif dan
hukum Islam, dan untuk mengetahui korelasi kekerasan dalam rumah tangga ditinjau
dari hukum positif dan hukum Islam. Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) telah dirumuskan pasal-pasal tentang tindak pidana penganiayaan, namun
belum dianggap mengakomodir perbuatan pidana yang berkaitan dengan kekerasan
dalam rumah tangga. Menurut persektif hukum pidana Islam, tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga, terutama kekerasan fisik terhadap istri dalam UU
PKDRT merupakan bagian dari perbuatan jarimah yaitu tidak pidana atas selain jiwa.  S
Bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga bukanlah persoalan domestic (privat)
yang tidak boleh diketahui orang lain. KDRT merupakan pelanggaran hak asasi manusia
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapuskan. UU ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku KDRT, dan melindungi
korban KDRT. Undang-undang ini juga tidak bertujuan untuk mendorong perceraian,
sebagaimana sering dituduhkan orang. UU PKDRT ini justru bertujuan untuk
memelihara keutuhan rumah tangga yang (benar-benar) harmonis dan sejahtera dengan
mencegah segala bentuk kekerasan sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga.
KDRT merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi manusia yang harus segera di
tanggulangi, begitu banyak bentuk kekerasan dalam Rumah tangga, seperti : Kekerasan
terhadap istri secara fisik maupun psikis dewasa ini semakin sering terjadi di
masyarakat, melihat semakin banyaknya kasus yang terjadi secara realita menunjukan
bahwa kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri merupakan suatu fenomena yang
terkadang dianggap lazim dilingkungan masyarakat, anggapan ini tidak terlepas bahwa
11

suami adalah pemimpin didalam suatu rumah tangga yang memiliki otoritas penuh
terhadap keluarga termasuk istri. Islam merupakan agama rahmatan lil alamin (rahmat
bagi seluruh alam), dengan kata lain bahwa hukum islam membawa misi perlindungan.
Agama islam sendiri juga menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi serta sangat
memuliakan seorang perempuan. Sebenarnya kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga dapat terjadi kepada pihak lain selain perempuan, namun berdasarkan fakta yang
terjadi di kehidupan membuktikan bahwa sebagian besar kaum perempuan cendrung
sangat rentan dan menjadi korban kekerasan dilingkup keluarganya sendiri.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan UU PKDRT dan tinjauan yuridisnya, diharapkan ada penurunan
angka KDRT dan menjawab rasa keadilan bagi korban. Namun, pelaksanaan Undang
Undang ini tidaklah mudah karena terobosan hukum yang terdapat dalam peraturan ini
memerlukan sosialisasi ke aparat penegak hukum selaku pelaksana Undang-Undang dan
juga kepada aparat pemerintah, masyarakat serta pihak-pihak penyedia layanan.
Sehingga mereka menjadi lebih sensitif terhadap KDRT, memahami konteks terjadinya
KDRT, dan mempunyai empati yang besar terhadap korban KDRT. Jika ketiga hal
tersebut dipunyai oleh setiap orang, maka penyalahan kembali pada korban tidak akan
terjadi (victimisasi korban), dan penyelesaian kasus melalui jalur hukum maupun non
hukum dapat menjawab keadilan korban serta pemecahan fenomena gunung es kasus
KDRT semakin dimungkinkan untuk terjadi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Emei Dwinanarhati Setiamandani dan Agung Suprojo. (2018). Tinjauan Yuridis


Terhadap UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, REFORMASI, 8 (1), pp. 37-46.

Hamzah, Andi. (2001). Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Haris. (1987). Pembaharuan Hukum Acara Pidana yang terdapat dalam HIR. Jakarta:
PT. Bina Cipta.

Harkristuti. (2000). Hukum Pidana dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta:


Obor.

Harsono, Irawati, Risa Permanadeli, Sri Nurherwati, dan Sulistyowati Irianto. (2009).
Buku Referensi Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di
Lingkungan Peradilan Umum. Jakarta: Komnas Perempuan.

Kalibonso, Rita Serena. (2000). Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah


Tangga Sebagai Pelanggaran Hak Azasi Manusi. Jakarta: Obor.

Lapian, Gandhi. (2007). Pembaharuan Hukum yang Diamanatkan Undang-undang No.


7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanit. Jakarta: Obor.

Meliala, Djaja S. (2006). Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum
Keluarga. Bandung: Nuansa Aulia.

Melisa. (2016). Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istr. Skripsi. Universitas Negeri
Makasar.

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara


Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019).

Pasaribu, Rawasita Reny. (2005). Rancangan Undang-undang Perlindungan Saksi dan


Korban; Perjalanan Panjang Perlindungan HK Bagi Pengungkap Tindak
Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Saraswati, Rika. (2009). Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan Dalam Rumah


Tangga. Banding: PT. Citra Aditya Bakti.

Subekti. (1989). Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Sudarsono. (1991). Hukum Kekeluargaan Nasional, cet. ke-I. Jakarta: Rineka Cipta.

Yunisa, Nanda. (2019). Undang-Undang RI No.23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan


Dalam Rumah Tangga. Surabaya: Permata Press.

13
14

Savitri, Niken. (2008). HAM Perempuan-Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP.
Bandung: PT. Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai