Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebuah keluarga yang harmonis menjadi tempat yang paling indah,
aman, dan menyenangkan bagi setiap anggota keluarga. Sebab setiap
orang dalam pernikahannya menginginkan agar dapat membangun
keluarga yang damai, bahagia dan saling mencintai. Namun, pada
kenyataannya tidak semua keluarga dapat kedamaian dan kebahagiaan
seperti apa yang kebanyakan orang harapkan. Justru yang dirasakan
adalah kondisi sebaliknya yaitu tidak adanya rasa kebahagiaan karena
perasaan tertekan, rasa takut, rasa tidak nyaman, rasa sedih dan lain
sebagainya. Hal ini dikarenakan, adanya ketidakbahagiaan dalam
keluarga atau adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kekerasan dalam rumah tangga adalah tindak pidana dengan
kekerasan yang memungkinkan laki-laki maupun perempuan sebagai
pelaku atau korbannya. Dalam hal ini, KDRT bukan hanya diartikan
sebagai kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh seorang
suami kepada istrinya melainkan juga memungkinkan untuk dilakukan
oleh istri terhadap suaminya. Meskipun demikian, korban paling banyak
dalam KDRT yang ada selama ini adalah perempuan dengan kondisinya
sangat memprihatikan sehingga perlu mendapatkan penanganan dan
perlindungan hukum. Dengan terjadinya KDRT yang dialami oleh
korban yang berakibat negatif terhadap kehidupan korban, maka sangat
memungkinkan terdapat efek samping yang tidak baik dan sangat
merugikan korban dalam hal hilangnya rasa kepercayaan diri dan
kebebasan untuk menjalani hidupnya.
Negara Republik Indonesia telah banyak melakukan ratifikasi
perjanjian internasional, di mana salah satunya adalah Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita. Hal ini dilakukan pemerintah sebagai wujud tanggung jawab

1
negara sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan dengan tegas
bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan. Terdapat upaya normatif dari Negara Indonesia untuk
mencegah terjadinya KDRT berlanjut dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (PKDRT). Selanjutnya, pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan ancaman untuk melakukan pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Maka
dengan ini tindakan kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya menjadi
urusan suami dan istri saja, tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga
dan masyarakat juga dapat ikut mencegah dan mengawasi bila terjadi
kekerasan pada anggota keluarga dalam rumah tangga. Korban kekerasan
dalam rumah tangga tidak selalu istri dan anak, bisa juga suami, asisten
rumah tangga, dan orang serumah lainnya.
Di zaman sekarang ini tidak sedikit yang menjadi korban KDRT dan
siapapun bisa menjadi korban KDRT baik itu suami, istri, anak ataupun
orang tua. Dalam catatan akhir tahun Komnas Perempuan Tahun 2018
ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan
ditangani ditahun 2017. KDRT (domestic violence) merupakan tindak
kekerasan yang menurut sejumlah orang bahwa tindakan penganiyaan
dan pemukulan terhadap anggota keluarga sebagai hal yang lumrah
sehingga korban menerima nasib begitu saja dan hanya bisa pasrah
karena menganggap hal itu merupakan kepatuhan dalam keluarga. Untuk
mengatasi kasus KDRT, perangkat hukum yang sudah ada tidak dapat
menjerat pelaku kekerasan dengan mudah. Selama ini pelaku hanya
dijerat dengan pasal penganiayaan ataupun pembunuhan itupun tidak
semua dapat terjerat, sebab tidak semua korban melaporkan kejadiannya
pada pihak yang berwajib dengan berbagai alasan. Selain itu perangkat

2
hukum yang belum sepenuhnya memberikan perlindungan hukum
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan Uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk
mengambil judul “Deskripsi Tentang Penyebab Terjadi Tindak Pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Menyebabkan Kematian”.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga?
2. Apa faktor-faktor yang menghambat implementasi perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga?
3. Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui implementasi penyelesaian perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat implementasi
perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Menambah pustaka dan memberikan sumbangan pemikiran dalam
perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana, terutama tentang
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu diharapkan juga
dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca atau pihak-
pihak lain dan masyarakat umum.
2. Secara Praktis

3
a. Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dengan bijak dapat
dijadikan sebagai masukan dan bahan pertimbangan mengenai
penyelesaian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
b. Bagi Polri, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai tolak
ukur kedepan bagaimana masyarakat agar lebih teredukasi lagi tentang
perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga,
sehingga tidak perlu langsung menuju proses pidana formal.
c. Bagi peneliti lainnya yang hendak meneliti topik sejenis, maka hasil
penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan bahan
pembanding yang dapat melengkapi hasil penelitiannya.

E. Keaslian Penelitian
Menelusuri kepustakaan, ternyata telah banyak ditemukan penelitian
di bidang hukum pidana. Akan tetapi menurut pengetahuan penulis,
penelitian Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Di Polsek Kelapa Lima Kupang berdasarkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004, sampai saat ini belum pernah ada.
Namun demikian apabila ternyata pernah dilaksanakan penelitian yang
sejenis dengan penelitian ini, maka penulis berharap penelitian ini dapat
melengkapinya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum
Di Indonesia, perlindungan hukum terhadap korban KDRT yang
terjadi didasari atas undang-undang KDRT itu sendiri dan peraturan
perundang-undangan lainnya seperti UUD 1945 serta UU menganai Hak
Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengenai
PKDRT Pasal 1 Ayat 4 disebutkan bahwa, perlindungan hukum adalah
segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada
korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya, baik yang bersifat
sementara maupun berdasarkan penetapan dari pengadilan. Satijipto
Raharjo menyatakan bahwa, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang
lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat
menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Perlindungan
hukum dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran dengan memberikan
peringatan dalam hal batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar dalam
melakukan suatu kewajiban.
b. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum dengan memberikan sanksi seperti denda, hukuman
penjara, atau hukuman tambahan apabila sudah pernah terjadi sengketa
sebelumnya.
Ketentuan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa, seorang
saksi dan korban berhak :

5
 Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
 Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan, memberikan keterangan tanpa tekanan.
 Mendapat penerjemah.
 Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
 Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus.
 Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan.
 Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan.
 Mendapat identitas baru.
 Mendapatkan tempat kediaman baru.
 Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan.
 Mendapat nasihat hukum.
 Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
Kemudian dalam Pasal 5 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 juga menyatakan, hak sebagaimana dimaksud pada Ayat 1
diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus
tertentu sesuai dengan Keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK). Selain itu, Pasal 7 dinyatakan bahwa korban melalui
LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa, hak atas kompensasi
dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, hak atas restitusi
atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
Hal ini juga terkait dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 yang menyatakan bahwa, Perlindungan Saksi dan/atau
Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban
dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
Dalam Undang-Undang PKDRT, korban KDRT berhak mendapatkan
perlindungan oleh aparat kepolisian dengan suatu ketentuan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 16 dan Pasal 22 mengenai Perlindungan yang
berbunyi, Perlindungan oleh pihak kepolisian berupa perlindungan
sementara yang diberikan paling lama 7 hari dan dalam waktu 1 x 24 jam

6
sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Korban KDRT dalam
Undang-Undang PKDRT secara tidak langsung akan dilindungi haknya
berdasarkan Pasal 10 untuk mendapatkan :
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Adanya perlindungan terhadap korban merupakan prinsip yang sangat
mendasar dan yang harus segera diambil untuk menyelamatkan korban
dari tindakan kekerasan yang berkelanjutan dalam rumah tangga, baik itu
kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran (Pasal 5 UU Nomor 23
Tahun 2004). Kemudian dapat diikuti langkah selanjutnya berupa
pendampingan korban atau relawan pendamping (Pasal 23 UU Nomor 23
Tahun 2004), yang bertujuan antara lain :
a. Agar korban dalam setiap tingkat pemeriksaan (penyidikan, penuntutan,
persidangan) dapat memaparkan KDRT yang sedang dialaminya.
b. Untuk memulihkan rasa trauma yang terjadi dalam diri korban.
c. Memberikan rasa percaya diri kepada korban.
d. Menanamkan keberanian bagi korban untuk memberikan keterangan
yang sebenar-benarnya.
Perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian kepada korban
cakupannya lebih luas jika dibandingkan dengan perlindungan yang
diberikan oleh pihak-pihak terkait lainnya, antara lain :
a. Mengamankan korban dari ancaman atau tindakan kekerasan lebih lanjut
dari tersangka/pelaku KDRT.
b. Mengawal/mengantarkan korban pulang ke rumahnya jika korban mau
kembali ke rumahnya setelah selesai diperiksa.

7
c. Merujuk/mengirimkan korban ke Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) atau
Rumah Sakit terdekat.
d. Mengantarkan korban ke rumah sakit untuk berobat dan meminta Visum
et Repertum.
e. Segera memproses tersangka, karena tindakan itu merupakan shock
terapi untuk tersangka KDRT.
f. Menjamin kerahasiaan informasi yang diperoleh.
g. Menjamin keamanan dan keselamatan pelapor maupun korban.
h. Segera menghubungi berbagai pihak untuk mendampingi korban.

2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana


a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaarfeit”, di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan
mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit itu
sendiri. Kata tindak pidana biasanya di sinonimkan dengan delik yang
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya yaitu, perbuatan yang
dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap
undang-undang tindak pidana. Secara yuridis formal, tindak pidana
merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.
Oleh sebab itu, setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus
dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan sanksi
pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang
harus ditaati oleh setiap warga Negara, wajib dicantumkan dalam
undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat
pusat maupun daerah.
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam
undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan
dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia
mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada
waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.

8
Setelah melihat berbagai definisi di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, pengertian
perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana,
pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif
(melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga
perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya
diharuskan oleh hukum). Tindak pidana/perbuatan pidana itu sendiri
dapat diklarifikasikan atas dasar-dasar tertentu yaitu sebagai berikut :
a) Menurut sistem KUHP, tindak pidana/perbuatan pidana dibedakan antara
kejahatan (misdrijven) yang dimuat dalam buku II dengan tindak pidana
pelanggaran (overtredingen) yang dimuat dalam buku III.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil
(formil delicten) dengan tindak pidana materil (materiele delicten).
c) Berdasarkan bentuk kesalahannya dibedakan antara tindak/perbuatan
pidana kesengajaan (dolus) dengan tindak pidana kelalaian (culpa).
d) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana
aktif/positif atau tindak pidana komisi (delicta commissionis) dengan
tindak pidana pasif/negatif disebut juga tindak pidana omisi (delicta
ommissionis).
e) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan
antara tindak pidana terjadi seketika dengan tindak pidana terjadi dalam
waktu lama atau berlangsung terus.
f) Berdasarkan sumbernya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana
umum dengan tindak pidana khusus.
g) Dilihat dari sudut subjek hukumnya, maka dapat dibedakan atas tindak
pidana communia (delik yang dapat dilakukan siapa saja) dengan tindak
pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas
tertentu).
h) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka
dapat dibedakan atas tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak
pidana pengaduan (klacht delicten).

9
i) Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan maka dapat
dibedakan antara tindak pidana dalam bentuk pokok, tindak pidana yang
diperberat dengan tindak pidana yang diperingan.

b. Unsur – Unsur Tindak Pidana


1) Unsur Objektif (Unsur Perbuatan Pidana)
Merupakan unsur yang terdapat diluar diri pelaku. Unsur ini dapat diuji
atau dibuktikan keberadaanya oleh siapapun. Unsur ini terdiri dari :
a) Adanya perbuatan.
b) Akibat perbuatan.
c) Bersifat melawan hukum (materil dan fomil).
d) Tidak ada alasan pembenar.
2) Unsur Subjektif (Unsur Pertanggungjawaban Pidana)
Merupakan unsur yang terdapat didalam diri pelaku. Unsur ini tidak
dapat diuji atau dibuktikan keberadaanya oleh orang lain. Unsur ini
terdiri dari :
a) Kesalahan (kesengajaan atau kealpaan).
b) Kemampuan bertanggungjawab.
c) Tidak ada alasan pemaaf.
Dalam unsur tindak pidana terdapat 2 (dua) aliran pemikiran yaitu
monisme dan dualisme. Aliran monisme adalah aliran yang
menggabungkan unsur objektif dan unsur subjektif. Sedangkan aliran
dualisme adalah aliran yang memisahkan antara unsur objektif dan unsur
subjektif. Adanya perbedaan pandangan aliran pemikiran tersebut
tidaklah prinsipil, karena pada saat akan mejatuhkan pidana, kedua unsur
tindak pidana tersebut sama pentingnya.

c. Jenis – Jenis Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga


1) Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pengaturan mengenai kekerasan fisik di Undang-Undang PKDRT sendiri
diatur secara lebih spesifik pada Pasal 44 ayat 1 sampai dengan ayat 4
yaitu, kekerasan fisik biasa, kekerasan fisik ringan, kekerasan fisik yang

10
menyebabkan korban jatuh sakit atau luka berat, dan kekerasan fisik
yang menyebabkan matinya korban.
2) Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. Jenis tindak pidana kekerasan
psikis adalah tindak pidana yang benar-benar baru karena tidak ada
padanannya dalam KUHP, berbeda dengan tindak pidana KDRT dalam
bentuk lainnya, yakni kekerasan fisik (penganiayaan), kekerasan seksual
(kesusilaan), serta penelantaran rumah tangga (Penelantaran orang yang
perlu diberi nafkah dan kehidupan).
3) Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual seagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
meliputi Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang
yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, Pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu, dan Pemaksaan hubungan seksual.
4) Penelantaran Rumah Tangga
Penelantaran orang dalam lingkup rumah tangga, yang dilarang
menurut Pasal 5 huruf d Undang-Undang PKDRT, sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 Undang-Undang PKDRT yaitu, Setiap orang dilarang
menelantarkan dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Dan penelantaran sebagaimana dimaksud ayat 1 juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan
cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.

3. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga


a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

11
Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis
dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
Konsep kekerasan dalam rumah tangga (family violence) sebagaimana
disebut di atas diadopsi dari konsep domestic violence yang pada
prinsipnya adalah penyalahgunaan kekuasaan seseorang untuk
mengontrol pihak lain yang tersubordinasi, yaitu pihak-pihak yang
berada dalam posisi atau kedudukan yang tidak setara atau berada
dibawah kekuasaan pihak lain sehingga menimbulkan rasa takut, hilang
rasa percaya diri, hilang kemampuan untuk bertindak dan sebagainya.

b. Pengertian Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu
kejahatan. Karena pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa, tidak
mungkin timbul kejahatan kalau tidak ada korban. Dalam hal terjadinya
suatu kejahatan yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohahiah sebagai akibat dari tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.
Dalam perkembangannya pengertian korban menjadi lebih luas lagi,
tidak hanya mengenal korban kejahatan saja. Dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 dalam Pasal 1 ayat 3 pengertian korban berbunyi:
"Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman
kekerasan dalam lingkup rumah tangga". Pasal 1 angka 3 Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 dan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
mendefinisikan korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang
yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional,
kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau

12
perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban, menyebutkan: "Korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, kerugian ekonomi, penderitaan mental yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana". Pelaku atau korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah orang yang mempunyai hubungan
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan
anak bahkan pembatu rumah tangga yang tinggal dalam sebuah rumah
tangga. Tidak semua tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat
ditangani secara tuntas karena korban sering menutup-nutupi dengan
alasan ikatan struktur budaya, agama, dan belum dipahaminya sistem
hukum yang berlaku. Padahal perlindungan yang diberikan negara dan
masyarakat bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada korban serta
menjatuhkan hukuman terhadap pelakunya.

c. Gambaran Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Hasil identifikasi dari berbagai kasus yang ada menunjukkan bahwa
tindakan kekerasan cenderung lebih banyak dilakukan oleh
laki-laki/suami dengan tujuan untuk mengontrol pikiran dan perilaku
perempuan/istri. Bahkan suami mempunyai anggapan bahwa istrilah
yang bertanggung jawab atas segala tindak kekerasan tersebut, maka
kekerasan dianggap perlu dilakukan untuk mendisiplinkan istri. Beberapa
kasus mengungkapkan bahwa tindak kekerasan sudah dimulai sejak awal
pernikahan, dengan pola yang teratur mengenai tindak kekerasan yang
terjadi. Dimulai dengan pertengkaran antara suami isteri mengenai
berbagai hal yang memuncak dan suami melakukan kekerasan terhadap
isterinya. Kemudian suami merasa menyesal dan minta maaf serta
berjanji tidak akan melakukan kekerasan lagi, namun suatu saat suami
akan mengulangi lagi tindakan kekerasan tersebut. Ini sering disebut
dengan cycle of violence atau lingkaran kekerasan.
Suami tidak secara terus menerus menampilkan sifat brutalnya, tetapi
ia juga dapat menjadi suami yang baik, sehingga membuat istri sulit
memahami permasalahannya secara jernih. Di satu sisi istri merasa

13
depresi, takut, tidak berdaya, tetapi di sisi lain mereka menginternalisasi
sikap berkorban, memahami, melayani dan memaafkan. Dari hasil
pengamatan di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, terlihat bahwa
lebih banyak istri/korban memilih untuk menyelesaikan kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang dialaminya lewat proses hukum perdata di
Pengadilan Agama. Dimana waktu penyelesaiannya tidak lama, dengan
vonis akhir yang sebatas ganti rugi dan suami tidak perlu ditahan atau
dipenjara. Meskipun begitu proses hukum yang ditempuh melalui
Pengadilan Agama juga belum menjamin akan memberi perlindungan
bagi istri/korban, karena hakim di Pengadilan Agama masih bersifat legal
formal, yaitu selalu menawarkan perdamaian bagi kedua belah pihak
yang sedang berperkara, tanpa memperhatikan secara detil kerentanan,
situasi khusus dan kebutuhan perempuan korban.
Gambar 1
Siklus KDRT (cycle of violence)

Ketegangan & Konflik

Hubungan Baik Ledakan Kekerasan

Periode Memaafkan

14
BAB III
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan faktor yang sangat penting untuk
menentukan keberhasilan dari suatu penelitian, yang pada umumnya
digunakan untuk menemukan, mengembangkan, dan memecahkan
masalah serta menguji kebenaran dari masalah tersebut. Spesifikasi
Penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah
deskriptif analisis, yaitu suatu metode penelitian yang dimaksudkan
untuk menggambarkan mengenai fakta-fakta berupa data dengan bahan
hukum primer dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang terkait
dan bahan hukum sekunder. Data yang diperoleh melalui penelitian
lapangan maupun penelitian kepustakaan disusun secara sistematis,
dianalisis secara kualitatif yaitu hanya mengambil data yang bersifat
khusus dan berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan yuridis sosiologis atau socio-legal research, yang mana
menekankan penelitian untuk memperoleh pengetahuan hukum secara
empiris dengan cara terjun langsung ke lapangan. Jenis penelitian yuridis
sosiologis merupakan penelitian hukum yang menggunakan data
sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data
primer atau data lapangan. Meneliti efektivitas suatu undang-undang dan
penelitian yang ingin mencari hubungan (korelasi) antara berbagai gejala
atau variabel sebagai alat pengumpul datanya terdiri dari studi dokumen,
pengamatan (observasi), dan wawancara (interview). Kegunaan
penelitian hukum sosiologis adalah untuk mengetahui bagaimana hukum
itu dilaksanakan termasuk proses penegakan hukum (law enforcement),
karena penelitian jenis ini dapat mengungkapkan permasalahan-
permasalahan yang ada dibalik pelaksanaan dan penegakan hukum,
dalam hal ini yaitu kepolisian (polsek kelapa lima kupang). Selain itu,
permasalahan yang diteliti berkaitan erat dengan implementasi aturan

15
hukum dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

2. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan langsung terjun kepihak terkait dengan
masalah yang diteliti. Untuk memperoleh data dan informasi yang
dibutuhkan dalam penyusunan karya tulis ini, maka penelitian dilakukan
di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polsek Kelapa Lima
Kupang. Pemilihan lokasi penelitian tersebut didasarkan karena dalam
penulisan skripsi ini penulis ingin melihat bagaimana kepolisian di Kota
Kupang khususnya di bagian Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
Polsek Kelapa Lima Kupang menjalankan perlindungan hukum terhadap
korban tindak pidana KDRT sesuai yang diamanahkan oleh peraturan
Perundang-undangan. Pemilihan lokasi penelitian ini dapat memberikan
efisiensi waktu bagi penulis dan masih dapat melaksanakan tugas pokok
penulis mengikuti perkuliahan sebagai mahasiswa di Universitas Kristen
Artha Wacana Kupang. Selain itu pertimbangan lain dalam pemilihan
lokasi penelitian ini ialah karena tingginya kasus KDRT diwilayah
Polsek Kelapa Lima Kupang.

3. Teknik Pengumpulan Data


Dalam pengumpulan data akan semakin lengkap apabila gambaran
penelitian menjadi jelas dan arah pandangannya didukung oleh alat-alat
yang tersedia. Data merupakan perwujudan dari informasi untuk
dikumpulkan guna mendeskripsikan suatu objek, oleh karena itu
diperlukan teknik untuk mengumpulkan data tersebut. Adapun teknik
yang digunakan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu
antara lain :
a) Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,
buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian. Hasil penelitian
dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-
undangan. Data sekunder dalam penelitian ini adalah hasil studi
kepustakaan yang diperoleh dari perpustakaan dan hasil penelusuran dari

16
internet yang berhubungan dengan objek penelitian ini. Studi
kepustakaan yaitu, penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data
yang terdapat dalam buku-buku, literatur, peraturan perundang-
undangan, majalah serta makalah yang berhubungan dengan objek yang
diteliti.
b) Data Primer
Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik
melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen
tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti. Data primer yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah data utama yang dianalisis untuk
mendapatkan jawaban atas permasalahan di dalam penelitian. Salah satu
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan wawancara.
Wawancara dilakukan dengan cara pembicaraan langsung dan terbuka
dalam bentuk tanya jawab terhadap narasumber atau pihak-pihak terkait.
Proses wawancara di lakukan di Polsek Kelapa Lima Kupang, yaitu
kepada penyidik-penyidik polisi yang memiliki hubungan dengan
penyelesaian perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana KDRT.
Adapun para penyidik tersebut antara lain Kanit PPA AIPDA Benny
Javed, BRIPTU Kassandra Fia, dan BRIPTU Halifah M Putry. Teknik
wawancara yang digunakan bebas terpimpin, dimana pertanyaan-
pertanyaan telah dipersiapkan terlebih dulu sebagai pedoman bagi
responden. Akan tetapi dimungkinkan timbul pertanyaan lain yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat berlangsungnya wawancara.

B. Pembahasan
1. Proses Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga

2. Faktor Yang Menghambat Implementasi Perlindungan Hukum


Terhadap Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

17
3. Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Tindak Pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga

BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

B. Saran

18
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2002. ‘Pelajaran Hukum Pidana I’. Jakarta: Rajawali
Press, halaman 122.
Amiruddin, dan Zainal Asikin. 2013. ‘Pengantar Metode Penelitian
Hukum’. Jakarta: Raja
Grafindo Persada (133-135).
Anastasia R Widyastuti. 2016. ‘Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kekerasan Dalam
Rumah Tangga’. Jurnal Law Pro Justitia 2 (1).
Andi Hamzah. 2001. ‘Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana’.
Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Andrew L Laurika. 2016. ‘Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Tindak Pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga’. Lex Crimen 5 (2).
Anggun Malinda. 2016. ‘Perempuan Dalam Sistem Peradilan Pidana:
Tersangka, Terdakwah,
Terpidana, Sanksi, Korban’. Yogyakarta: Garudhawaca, halaman 64.
Ayu Setyaningrum, dan Ridwan Arifin. 2019. ‘Analisis Upaya
Perlindungan Dan Pemulihan
Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Khususnya Anak-Anak
Dan Perempuan’. Jurnal Ilmiah Muqoddimah 3 (1).
Fathul Djannah, Dkk. 2002. ‘Kekerasan Terhadap Istri’. Yogyakarta:
Lkis, halaman 123.

19
Ferlinda K.S Putri, dkk. 2020. ‘Tinjauan Kriminologis Terhadap Suami
Yang Melakukan Kerasan Dalam Rumah Tangga Kepada Istri Sehingga
Menyebabkan Kematian’. Jurnal Lex Suprema, 2 (2), 50-65.
Hamidah Abdurrachman. 2010. ‘Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai
Implementasi Hak-Hak
Korban’. Jurnal Hukum 17 (3): 475-491.
Kasmanita. 2019. ‘Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga’.
Jurisprudentie 6 (2).
La Jamaa. 2014. ‘Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam Hukum
Pidana Indonesia’. Jurnal Cita Hukum 2 (2).
Lely Setyawati Kurniawan. 2015. ‘Refleksi Diri Para Korban dan Pelaku
Kekeraan dalam
Rumah Tangga’. Yogyakarta: CV. Andi Offset, halaman 13.
Peter Mahmud Marzuki. 2011. ‘Penelitian Hukum’. Jakarta: Kencana,
halaman 35.
Nurhikmah Siti, dan Sofyan Nur. 2020 ‘Kekerasan Dalam Pernikahan
Siri: Kekerasan Dalam Rumah Tangga? (Antara Yurisprudensi Dan
Keyakinan Hakim)’. PAMPAS: Journal of Criminal Law 1(1): 54–67.
Peter M Marzuki. 2005. ‘Penelitian Hukum (Edisi Revisi)’. Jakarta:
Prenamedia Group,
halaman 128.
P.A.F. Lamintang. 1996. ‘Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia’.
Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, halaman 7.
Qori R. H Kalingga. 2020. ‘Program Pendampingan (Paralegal) Dalam
Memberikan
Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Di
Kecamatan Percut Sei Tuan’. Jurnal Penelitian Pendidikan Sosial
Humaniora 5 (1).
Rahmi Safrina, Imam Jauhari, dan Arif. 2010. ‘Perlindungan Hukum
Terhadap Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga’. Mercatoria 3 (1).
Rena Yulia. 2009. ‘Restorative Justice Sebagai Alternatif Perlindungan
Hukum Terhadap
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga’. Jurnal Hukum dan
Pembangunan, halaman
2.
Ronald V Sabaja. 2018. ‘Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Polresta
Manado’. Lex Et Societatis

20
6 (3).
Satijipto Raharjo. 2000. ‘Ilmu Hukum’. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, halaman 5.
Siti M Puspitasari. 2019. ‘Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga’. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum.
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji. 2001. ‘Penelitian Hukum
Normative’. Jakarta: Rajawali Press, halaman 23.
Sulastri, Satino, dan Yuliana Yuli W. 2019. ‘Perlindungan Hukum
Terhadap Isteri Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
Jurnal Yuridis 6 (2).
Susilo, R. 2019. ‘Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal’.
Suwanta. 2016. ‘Kajian Perlindungan Hukum Bagi Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Di Wilayah Hukum Kepolisian Resort Kota
Surakarta’. Dinamika Hukum 7 (1).
Teguh Prasetyo. 2010. ‘Hukum Pidana’. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, halaman 50.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban beserta Penjelasannya, halaman 3-4.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
Zainuddin Ali. 2014. ‘Metode Penelitian Hukum’. Jakarta: Sinar Grafika,
halaman 106.

21

Anda mungkin juga menyukai