Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini diartikan
hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin
kedudukan yang sama di dalam hukum. Negara hukum menghendaki
agar hukum senantiasa ditegakkan, dihormati, dan ditaati oleh siapapun
juga tanpa ada pengecualian. Hal ini bertujuan untuk menciptakan
keamanan, ketertiban, kesejahteraan dalamkehidupanbermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, (UUD 1945 Hasil Amandemen). Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih menjadi problem
Bagi masyarakat di Indonesia. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
meyebutkan bahwa setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran merupakan bentuk
dari kekerasan dalam rumah tangga, (UU No 23 Thn 2004).

Mulai berpendapat bahwa seorang perempuan yang menjadi


korban kekerasan dalam rumah tangga akan menghambat pembangunan,
artinya berkurangnya rasa percaya diri perempuan sehingga menghambat
perempuan untuk berpartisipasi, berpolitik, serta menganggu pola berfikir
dan kesehatan perempuan. Lahirnya Undang-undang No.23 Tahun 2004
Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan
wujud jaminan Negara sebagai pencegahan atas kejahatan KDRT.
Dengan cara memberikan hukuman pidana kepada pelaku kejahatan
sekaligus melindungi korban KDRT.
Ika Kurnia Fitriani menyebutkan bahwa KDRT tidak hanya terjadi
Karena faktor ekonomi dan pendidikan. Akan tetapi juga disebabkan
2

adanya gangguan psikis dari pelaku. Sebagai upaya penanggulangan


KDRT dapat dilakukan pemeriksaan psikis pra nikah. Hal ini sesuai
dengan penelitian Mery Ramadani dan Fitri Yuliani yang menyatakan
bahwa adanya riwayat kekerasan yang dialami oleh pelaku dan pola asuh
sewaktu kecil memiliki hubungan bermakna dengan perilaku KDRT.
Sebagai wujud komitmen negara melindungi hak para korban, lahirlah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga yang disahkan pada tanggal 22 September 2004.
Melalui undang-undang ini, berbagai bentuk kekerasan fisik, psikis,
ekonomi, maupun seksual yang terjadi di wilayah domestik dikategorikan
sebagai tindak pidana. Meskipun demikian, tindak pidana KDRT
dimasukkan dalam deli kaduan. Pelaku KDRT hanya dapat diproses
secara hukum jika ada aduan dari korban kepada pihak kepolisian. Hal ini
membutuhkan keberanian para korban untuk melapor kepada pihak yang
berwajib. Terlebih ada beban psikologis yang harus ditanggung oleh pihak
korban.
Konsekuensi dari aturan ini menyebabkan pelaku kekerasan dalam
Rumah tangga terpaksa dilaporkan keaparat penegak hukum akibat dari
perbuatannya, bahkan harus diselesaikan di pengadilan, Namun tidak
sedikit yang dapat diselesaikan di kepolisian melalui mediasi karena pada
dasarnya KDRT terjadi dalam lingkup keluarga sehingga dengan berbagai
pertimbangan baik dari korban dan juga penegak hukum semuanya dapat
diselesaikan dengan alternative penyelesaian sengketa (Alternative
Dispute Resolution). Adapun Ayat yang menyebutkan mengenai
Kekerasan dalam Rumah tangga yaitu QS. An Nisa Ayat 34:
ۗ ‫َالِّر َج اُل َقَّو اُمْو َن َع َلى الِّن َس ۤا ِء ِبَم ا َفَّض َل ُهّٰللا َب ْع َض ُهْم َع ٰل ى َب ْع ٍض َّو ِبَم ٓا َاْن َفُقْو ا ِمْن َاْم َو اِلِه ْم‬
‫َف الّٰص ِلٰح ُت ٰق ِنٰت ٌت ٰح ِفٰظ ٌت ِّلْلَغ ْيِب ِبَم ا َح ِفَظ ُهّٰللاۗ َو اّٰل ِتْي َتَخ اُفْو َن ُنُشْو َز ُهَّن َف ِع ُظ ْو ُهَّن َو اْه ُجُرْو ُهَّن ِفى‬
٣٤- ‫اْلَمَض اِج ِع َو اْض ِر ُبْو ُهَّن ۚ َف ِاْن َاَط ْع َن ُك ْم َف اَل َت ْب ُغ ْو ا َع َلْي ِه َّن َس ِبْي اًل ۗ ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع ِلًّي ا َك ِبْيًر ا‬
Artinya: "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah
3

dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka


yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka,
tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu)
pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu
mencari - cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha
tinggi, Maha besar."
Penyelesaian perkara pidana dalam hal ini Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dapat melalui mediasi. Hal ini tidak dilepaskan dari cita
hukum yang didasarkan pada landasan filsafat hukum yaitu keadilan (law
is justice). Sekalipun juga khusus mengenai mediasi penal belum
diakomodir dalam hukum acara pidana. Perumusan kaidah hukum untuk
penyelesaian perkara pidana dilakukan melalui mediasi yang diderivasi
dari cita hukum dan asas hukum. Oleh karena itu pola mediasi yang
diterapkan harus mengacuh pada nilai-nilai keadilan, nilai kepastian
hukum dan kemanfaatan. Sedangkan norma hukum yang diterapkan
harus mempertimbangkan landasan filosofi, yuridis, dan sosiologi.

Mediasi Penal adalah “Penyelesaian perkara pidana melalui


musyawarah dengan bantuan mediator yang netral, di hadiri korban dan
pelaku beserta orang tua dan perwakilan masyarakat, dengan tujuan
pemulihan bagi korban, pelaku, dan lingkungan masyarakat”.

Proses penyelesaian perkara Kekerasaan Dalam Rumah Tangga


melaui jalur mediasi penal berdasarkan pada surat Kapolri No. Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tgl 14 Desember 2009 tentang penanganan
kasus melalui ADR, yaitu terhadap tindak pidana dengan kerugian kecil
dan disepakati oleh para pihak yang berperkara, melalui prinsip
mustawarah mufakat, serta menghormati norma hukum social/adat dan
berdasarkan keadilan bagi para pihak.

Keadilan restoratif sebagaimana pada dasarnya adalah sebuah


pendekatan hukum pidana yang memuat sejumlah nilai tradisional. Hal ini
didasarkan pada dua indikator yaitu nilai-nilai yang menjadi landasannya
4

dan mekanisme yang ditawarkannya. Hal tersebut menjadi dasar


pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif diperhitungkan
kembali. Keberadaan pendekatan ini barangkali sama tuanya dengan
hukum pidana itu sendiri. Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi
keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau
menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu
lama. Sebaliknya, pada model restoratif yang ditekankan adalah resolusi
konflik. Gagasan Restorative Justice ini pun sudah diakomodir dalam RUU
KUHP, yaitu diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman
kerja sosial dan hukuman pengawasan. Sehingga pada akhirnya
Restorative Justice memberi perhatian sekaligus pada kepentingan
korban kejahatan, pelaku kejahatan dan masyarakat.

Di Kota Pinrang sendiri banyak terjadi kasus Kekerasan Fisik oleh


suami terhadap istri yang di tangani Kepolisian Resort Pinrang, dari
beberapa kasus penyidik menggunakan proses penangangan perkara
melalui proses mediasi penal. Dengan penggunaan mediasi penal yang
dilakukan diharapkan dapat menjadikan kasus tersebut sebagai sarana
yang efektif untuk digunakan sesuai dalam bentuk penanganan kasus.
Dengan demikian, dari berbagai kasus yang ditemukan dapat dengan
efektif menangani segala bentuk ataupun upaya stress dari berbagai
kasus yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan uraian serta
persoalan yang telah dijelaskan calon peneliti diatas maka peneliti tertarik
untuk meneleti suatu kasus yang berjudul “Efektivitas Mediasi Penal
Dalam Penyelesaian Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Studi
(Polres Pinrang)”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah peran mediasi Penal dalam penyelesaian tindak pidana


kekerasan dalam rumah tangga menurut kepolisian Resort Pinrang?
5

2. apa faktor penghambat mediasi? Undang - undang ataupun hambatan


Konvensional!

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sejauh mana peran mediasi penal di Kepolisian


Resort Kota Pinrang dalam membantu menangani kasus kekerasan dalam
rumah tangga di kota Pinrang.

2. Untuk mengetahui salah satu faktor yang menjadi penghambat dari


peran dari mediasi, apakah dipengaruhi oleh undang-undang ataupun
Konvensional.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis

Manfaat dari Penelitian ini untuk memberikan sumbangan terhadap


Hukum Acara berkaitan dengan Efektivitas Mediasi Penal Oleh Kepolisian
Dalam Penanganan Konflik Kekerasaan Dalam Rumah Tangga di
Wilayah, Serta diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan yang
kedepannya berguna untuk pembaca dalam memahami hal-hal yang
berkenaan dengan keadaan rumah tangga.

2. Manfaat Praktis

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan


kepada masyarakat luas tentang Efektivitas Mediasi Penal Oleh
Kepolisian Dalam Penanganan Konflik Kekerasaan Dalam Rumah Tangga
di Wilayah Kepolisian Resort Pinrang. Dan diharapkan hasil dari penelitian
ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat, bahwa setiap perkara
kekerasan rumah tangga dapat diselesaikan dengan cara mengambil jalan
keluar terbaik, dalam hal ini mediasi penal menjadi salah satu alternatif
dalam penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Efektivitas Hukum

Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan


daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat
untuk taat terhadap hukum. Hukum dapat dikatakan efektif ketika faktor-
faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat berfungsi dengan
sebaik-baiknya.
Efektivitas hukum terdiri dari 2 (dua) kosa kata yang pertama
efektivitas diartikan secara etimologi berasal dari kata efektif dimana
dalam bahasa inggris disebut dengan effectiveness berarti berhasil
sedangkan dalam bahasa belanda effectief yang berarti berhasil guna
setelah itu melalui proses kulturasi menjadi bahasa Indonesia ialah kata
efektif, apabila merujuk kepada kamus besar bahasa Indonesia pengertian
efektif atau keefektivitasan ialah akibat, berpengaruh, atau memberi hasil
guna.
Berdasarkan pengertian tersebut jika dikorelasikan antara
efektivitas dan hukum menjadi efektivitas hukum mengandung makna
keberhasilan penerapan hukum yang berlaku, menurut Hans Kelsen
berbicara mengenai efektivitas hukum sama dengan validitas hukum yang
berarti berpengaruhnya penerapan norma-norma hukum yang ada kepada
masyarakat. Lalu menurutL. J. van Apeldoorn, efektivitas hukum berarti
keberhasilan, kemajemukan atau kemujaraban hukum atau undang-
undang untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.
Efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif
atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:
1) Faktor hukumnya sendiri (undang-undang).
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
7

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.


4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Menurut Soerjono Soekanto ukuran efektivitas pada elemen
pertama adalah :
Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sistematis.
Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sinkron, secara hirarki dan horizontal tidak ada pertentangan.
Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur
bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi.
Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan
persyaratan yuridis yang ada. Pada elemen kedua yang menentukan
efektif atau tidaknya kinerja hukum tertulis adalah aparat penegak hukum.
Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga
aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan
profesional dan mempunyai mental yang baik. Pada elemen ketiga,
tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat
pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang
dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat
untuk mencapai efektivitas hukum.
Sehubungan dengan sarana dan prasarana yang dikatakan dengan
istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto memprediksi patokan efektivitas
elemen-elemen tertentu dari prasarana. Prasarana tersebut harus secara
jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk
kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun
elemen-elemen tersebut yaitu (Soekanto, 1983: 82):
1) Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik.
8

2) Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan


angka waktu pengadaannya.
3) Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi.
4) Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki.
5) Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya.
6) Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi
fungsinya.
Ada beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari kondisi
masyarakat, yaitu :
Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan
yang baik.
2) Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun
peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa.
3) Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas
atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi.
Studi efektivitas hukum merupakan suatu kajian yang memperlihatkan
suatu perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan
antara realitas hukum (iusconstitutum) dan ideal hukum
(iusconstituendum), secara khusus terlihat jenjang antara hukum dalam
tindakan (law in action) dengan hukum dalam teori (law in theory) atau
dengan kata lain kegiatan ini akan memperlihatkan kaitannya antara law in
the book dan law in action.
B. Hukum Pidana
Perlu diketahui bahwa batasan pengertian Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah tangga (PKDRT) yang terdapat di dalam
undang-undang No. 23 tahun 2004, adalah ; “setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan,
atau penderitaan secara fisik, seksual psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga” ( pasal 1 ayat 1). Mengingat UU tentang
9

KDRT merupakan hukum publik yang di dalamnya ada ancaman pidana


penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas
khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga
sebaiknya mengetahui apa itu Kekerasan Dalam Rumah Tangga(KDRT).
Adapun tentang siapa saja yang termasuk dalam lingkup rumah
tangga, adalah : Suami, isteri, dan anak, termasuk anak angkat dan anak
tiri. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami,
isteri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti: mertua,
menantu, ipar, dan besan ; dan Orang yang bekerja membantu di rumah
tangga dan menetap tinggal dalam rumah tangga tersebut, seperti PRT.
Adapun bentuk KDRT seperti yang disebut di atas dapat dilakukan
suami terhadap anggota keluarganya terbagi dalam bentuk :
1. Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat ; Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri,hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya, dll.
2. Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara
tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan
komersial, atau tujuan tertentu ; dan
3. Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah
tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain
itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah,sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak
yang dapat dituntut kepada pelakunya, antara lain;
1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya maupun
atas penetapan perintah perlindungan dari pengadilan,
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis,
10

3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban,


4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum, dan
Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu korban KDRT juga berhak
untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau
pembimbing rohani. (vide, pasal 10 UU No.23 tahun 2004 tentang
PKDRT.
Dalam UU PKDRT Pemerintah mempunyai kewajiban, yaitu :
a). Merumuskan kebijakan penghapusan KDRT
b). Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT ;
c). Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT ; dan
d). Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender, dan
e). Isu KDRT serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang
sensitif jender. UU No.23 tahun 2004 juga mengatur kewajiban
masyarakat dalam PKDRT, dimana bagi setiap orang yang mendengar,
melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) wajib melakukan upaya:
 Mencegah KDRT ;
1. Memberikan perlindungan kepada korban ;
2. Memberikan pertolongan darurat ; dan
3. Mengajukan proses pengajuan permohonan penetapan
perlindungan (pasal 15 UU PKDRT).
Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta
kekerasan seksual yang terjadi di dalam relasi antar suami - isteri, maka
yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah yang menjadi korban
sendiri yang melaporkan KDRT yang dialaminya kepada pihak kepolisian
secara langsung dan tanpa perantara yang ikut serta. (vide, pasal 26 ayat
1 UU 23 tahun 2004 tentang PKDRT).
Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau
Advokat/Pengacara untuk melaporkan KDRT ke kepolisian (vide, pasal 26
ayat 2). Jika yang menjadi korban adalah seorang anak, laporan dapat
11

dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan.
Adapun mengenai sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun
2004 tentang PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal
53. Khusus untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku pidana
minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara atau 20 tahun
penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta
s/d 500 juta rupiah. ( vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).
Perlu diketahui juga, bahwa pada umumnya UU No.23 tahun 2004
tentang PKDRT, bukan hanya melulu ditujukan kepada seorang suami,
tapi juga juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melakukan
kekerasan terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau
pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut
Menyinggung tentang Kekerasan pada Anak (child abuse) dan perempuan
secara klinis diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu
terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau
mental.
Namun penulis, masalah kekerasan dalam hal ini tidak saja
diartikan sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan gangguan fisik dan
mental namun juga mengakibatkan gangguan social, karena kekerasan
bukan saja dalam bentuk emosional, seksual dan fisik namun juga dalam
hal ekonomi, seperti halnya dipaksa jadi pelacur, pembantu, pengamen
dan lain sebagainya. Begitupun sang pelaku bukan saja dapat dilakukan
oleh oleh orang-orang terdekat dalam keluarga (KDRT/domestic violence)
namun juga di lakukan oleh orang luar, dengan kata lain bukan saja
kekerasan tapi sudah masuk kejahatan dan modusnyapun semakin
berkembang.
Seperti akhir triwulan pertama tahun 2007 lalu, muncul kasus
dengan tingkat ekstrimitas yang tinggi, yakni sejumlah kasus pembunuhan
anak oleh ibu kandungnya sendiri. Kasus terkini, Maret 2008, seorang ibu
membunuh bayi dan balita dengan cara menceburkan mereka ke bak
mandi.
12

Modus baru yang perlu diwaspadai, kasus perdagangan anak untuk


dijual organ tubuhnya. Menurut laporan dalam suatu pertemuan di
Australia, diduga ada anak dari Indonesia yang jadi korban perdagangan
anak untuk kepentingan dijual organ tubuhnya. Data kasus yang
dilaporkan ke kepolisian, setiap tahun ada sekitar 450 kasus kekerasan
pada anak dan perempuan. Sebanyak 45 perosen dari jumlah kasus itu
adalah anak korbannya. (baca Harian Kompas, edisi 14/04/2008). Dari
laporan ini modus perdagangan manusia (human trafficking) saja sudah
berubah. Dimana awalnya perdagangan manusia hanya dalam hal
prostitusi dan buruh kerja, namun akhir-akhir ini berkembang sudah
masuk ke dalam perdagangan organ tubuh. Penulis yakin bahwa modus
seperti ini bukan saja terjadi pada anak namum juga pada perempuan
juga pada para remaja yang berbadan sehat.
Faktor Penyebab dan Dampaknya Faktor penyebab terjadinya
kekerasan pada anak dan perempuan, pada umumnya sebagaimana
disinggung dalam suatu teori yaitu yang behubungan dengan stress di
dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal
dari anak, orang tua (suami atau Istri), semua pihak yang tinggal dalam
satu rumah tangga tersebut atau oleh situasi tertentu yang ujungnya
mendatangkan stress. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan
kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada
umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau
menahun juga merupakan salah satu penyebab stres.
Stres yang berasal dari suami atau istri misalnya dengan gangguan
jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa
lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau
tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin. Stres juga berasal
dari situasi tertentu misalnya, suami/istri terkena PHK (pemutusan
hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga
sering bertengkar.
13

Namun tentunya teori tersebut hanya melingkupi kekerasan dalam


rumah tangga. Penyebab utama lainnya adalah, kemiskinan, masalah
hubungan social baik keluarga atau komunitas, menyimpang prilaku social
(masalah psikososial). Lemahnya kontrol social primer masyarakat dan
hukum dan pengaruh nilai sosial kebudayaan di lingkungan social tertentu.
Namun bagi penulis penyebab utama terjadinya masalah ini adalah
hilangnya nilai Agama sebagai sebagai perangkat nilai-nilai yang
dihormati dan diagungkan manusia dan digunakan sebagai tuntunan
hidup manusia di dunia dan akhirat.karena tentunya hanya dengan agama
yang bisa mengatur masalah social berbasis kesadaran individu. Diantara
dampak kekerasan pada anak dan perempuan adalah stigma buruk yang
melekat pada korban diantaranya, Pertama, Stigma Internal yaitu,
Kecenderungan korban menyalahkan diri, menutup diri, menghukum diri,
menganggap dirinya aib, hilangnya kepercayaan diri.
Adapun yang terutama adalah trauma sehingga seperti halnya
perempuan tidak mau lagi berkeluaraga setelah dirinya trauma menerima
kekerasan dari suaminya. Kedua, Stigma Eksternal yaitu, kecenderungan
masyarakat menyalahkan korban, media informasi tanpa empati
memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka dan tidak
menghiraukan hak privasi korban. Selain stigma buruk yang melekat pada
korban, kejahatan pada anak dan perempuan juga dapat menghancurkan
tatanan nilai etika dan social seperti halnya dampak buruk dari human
trafficking.
Solusi Mendesak Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan
pada anak dan perempuan dibutuhkan beberapa pendekatan diantaranya,
pendekatan individu, yaitu dengan cara menambah pemahaman agama,
karena tentunya seorang yang mempunyai pemahaman agama yang kuat
(terutama Islam) akan lebih tegar menghadapi situasi-situasi yang menjadi
factor terjadinya kekerasan. Terlebih Islam telah mengajarkan aturan
hidup dalam berumah tangga, baik sikap kepada Istri atau kepada anak
dan juga mengajarkan interaksi sosial yang baik.
14

Islam sangat mengutuk segala macam bentuk kekerasan, Islam


memperbolehkan bercerai jika ada kekerasan dalam rumah tangga
sebagai mana hadis dari Aisyah RA berkata, bahwasanya Habibah binti
Sahl, istri Tsabit bin Qais dipukul suaminya sampai memar. Keesokan
paginya Habibah melaporkan tindakan kekerasan suaminya kepada
Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit. Sabdanya,
”Ambillah sebagian hartanya (maharnya) dan ceraikanlah ia!” Tsabit
bertanya, ”Apakah hal itu sebagai penyelesaiannya ya Rasulullah?” Jawab
Rasulullah, ”Ya betul.” Tsabit berkata lagi, ”Sesungguhnya saya sudah
memberinya dua kali lipat, dan keduanya berada di tangannya.” Kata
Rasulullah lagi, ”Ambillah kedua bagian tersebut, dan ceraikan ia!” Lalu
Tsabit pun melaksanakan perintah tersebut. (HR. Imam Abu Dawud).
Pendekatan sosial melingkupi pendekatan partisipasi masyarakat
dalam melaporkan dan waspada setiap tindakan kejahatan, terutama
human trafficking. Pendekatan medis, untuk memberikan pelayanan dan
perawatan baik secara pisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan
terhadaporang tua tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan
benar. Dan terakhir adalah pendekatan hukum, tentunya yang
bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari
dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan
kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
Hukum Pidana merupakan seperangkat aturan yang mengatur
mengenal apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan setiap orang baik in
divide maupun kumpulan individu lalu apabila melanggarnya akan dikenai
sanksi agar setiap orang yang melakukan perbuatan tersebut tidak
melakukannya lagi dan sebagai alat pelindung masyarakat. Hukum pidana
dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang mengikatkan kepada
suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat
berupa pidana. Jadi pada dasarnya Hukum Pidana berpokok pada 2 hal,
ialah:
15

1. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.


Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu” itu
dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan
adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut
“perbuatan yang dipidana” atau disingkat “perbuatan jahat” (verbrechen
atau crime). Oleh karena dalam “perbuatan jahat” ini harus ada orang
yang melakukannya maka persoalan tentang “perbuatan tertentu” itu
diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang
melanggar larangan itu.
2. Pidana
Pidana Yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Di dalam hukum modern, pidana ini
juga meliputi apa yang disebut “tindakan tata tertib” (tuchtmaatregel,
Masznahme). Di dalam ilmu pengetahuan Hukum Adat, Ter Haar
memakai istilah (adat) reaksi. Di dalam KUHP yang sekarang berlaku
jenis-jenis pidana yang dapat diterapkan tercantum dalam Pasal 10 KUHP
dst.
Hukum pidana dalam buku Siti Soetami dapat dibagi menjadi 2
(dua) sebagai berikut:
1) Hukum pidana Objektif (iuspunale) yang terdiri dari hukum Pidana
formil dan hukum pidana materil.
2) Hukum pidana Subyektif (iuspuniendi) yaitu hak Negara atau alat
perlengkapannya untuk menghukum seseorang berdasarkan hukum
pidana.
Berdasarkan pembagian tersebut diketahui bahwa hukum pidana
formil merupakan seluruh ketentuan maupun peraturan-peraturan tentang
bagaimana cara menerapkan hukum pidana materil, sedangkan hukum
pidana materil menagtur apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum
dengan memenuhi ketentuan-ketentuan rumusan serta syarat-syarat
seseorang dapat dihukum atau dijatuhkan pidana.
16

Hukum pidana memiliki fungsi yang dapat dibedakan menjadi 2


(dua), yaitu:
1. Fungsi Umum
Oleh karena hukum pidana itu merupakan sebagian dari
keseluruhan lapangan hukum, maka fungsi hukum pidana juga sama
dengan fungsi hukum pada umumnya, ialah mengatur hidup
kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hukum
hanya memerhatikan perbuatan-perbuatan yang “sozial relevant”, artinya
yang ada sangkut pautnya dengan masyarakat. Ia pada dasarnya tidak
mengatur sikap batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila.
Hukum pidana sangat mungkin ada perbuatan seseorang yang
sangat tercela dan bertentangan dengan kesusilaan, akan tetapi hukum
pidana/negara tidak turun tangan campur tangan, karena tidak dinyatakan
secara tegas di dalam aturan hukum atau hukum yang benar-benar hidup
dalam masyarakat.
Di samping itu, seperti pada lapangan hukum lainnya, hukum
pidanapun tidak hanya mengatur masyarakat begitu saja akan tetapi juga
mengaturnya secara patut dan bermanfaat (zweckmassig). Ini sejalan
dengan anggapan bahwa hukum dapat digunakan sebagai sarana untuk
menuju kepolicy dalam bidang ekonomi, sosial dan kebudayaan. Memang
hukum harus dapat menyelenggarakan masyarakat yang “tata tentrem
kerta raharja”.
2. Fungsi Khusus
Fungsi yang khusus bagi hukum pidana ialah melindungi
kepentingan hukum perbuatan yang hendak memperkosanya dengan
sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan
dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Kepentingan-
kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang
dari badan atau dari kolektivita, misalnya masyarakat, negara dsb. Sanksi
yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan
kadang-kadang nyawa orang yang memperkosa benda-benda hukum itu.
17

Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk


menanggulangi perbuatan jahat. Sanksi hukum pidana mempunyai
pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-
pelanggaran norma hukum. Pengaruh ini tidak hanya ada apabila sanksi
pidana itu benar-benar diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit,
akan tetapi sudah ada, karena sudah tercantum dalam peraturan hukum
(Theorie des psychischen Zwanges= ajaran paksaan psychis).
Dalam pada itu harus diingat, bahwa sebagai alat “social control”
fungsi hukum pidana adalah subsider, artinya hukum pidana hendaknya
baru diadakan, apabila usaha-usaha lain kurang memadai.
Di dalam hukum pidana Indonesia, diakui memiliki beberapa
sumber hukum. Sumber utama dari hukum pidana Indonesia adalah
hukum yang tertulis. Namun, disamping itu diakui juga sebagai sumber
hukum pidana Indonesia dimana disuatu daerah tertentu yang mengikuti
hukum yang tidak tertulis. Induk peraturan hukum pidana positif ialah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), nama aslinya ialah “
KUHP ini merupakan turunan dari Negeri Belanda yang
selesaidibuattahun 1886. Memang tidak 100% sama, melainkan
disimpangkan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan Indonesia, akan
tetapi asas-asas yang digunakan dan dasar filsafatnya tetaplah sama
dengan yang di Negeri Belanda (Sudarto, 2013: 24).
Hukum pidana adat diberbagai daerah juga diakui sebagai sumber hukum
pidana indonesia. Hukum yang tidak tertulis dapat menjadi sumber hukum
yang negatif, artinya aturan-aturannya dapat menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan itu nyata-nyata
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, sehingga akhirnya
pembuat tidak dipidana karena tidak melakukan suatu .
Dengan masih diakuinya hukum pidana adat sebagai sember
hukum pidana Indonesia menimbulkan dualis medalam hukum pidana,
namun berdasarkan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP
18

yaitu nullum delictum nullapoena sine maka hukum pidana tertulis yang
menjadi sumber hukum utama dalam hukum pidana Indonesia.
Di dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RUU KUHP) tahun 2015 dalamPasal 1 ayat (1)
disebutkan bahwa “Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan
tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
tindakpidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada
saat perbuatan itu dilakukan” dari pasal tersebut menegaskan bahwa
perbuatan dapat dikatakan perbuatan pidana ketika perbuatan tersebut
dilarang secara tertulis dalam undang-undang.
Namun, dalam RUU KUHP Pasal 2 ayat (1) dijelaskan pula bahwa
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut di pidana walaupun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Jadi
berdasarkan Pasal 2ayat (1) RUU KUHP (1) Lingkup rumah tangga dalam
Undang-Undang ini meliputi : a. suami, isteri, dan anak; b. orang-orang
yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga;
dan/atau c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut.
C. Mediasi Penal
Salah satu bentuk mekanisme penyelesaian perkara pidana
dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif adalah mediasi
penal. Dari perspektif terminologinya mediasi penal dikenal dengan istilah
mediation in criminal cases, mediation in penal matters, victim offenders
mediation, offender victim arrangemen (Inggris), strafbe middeling
(Belanda), der Au Bergerichtliche Tatausgleich (Jerman), de mediation
penale (Perancis), yang dikemukakan oleh Mulyadi.
19

Mediasi Penal merupakan dimensi baru yang dikaji dari aspek


teoritis dan praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka mediasi penal akan
berkorelasi dengan pencapaian dunia peradilan. Seiring berjalannya
waktu dimana semakin hari terjadi peningkatan jumlah volume perkara
dengan segala bentuk maupun variasinya yang masuk kepengadilan,
sehingga konsekuensinya menjadi beban bagi pengadilan dalam
memeriksa dan memutus perkarasesuai asas peradilan sederhana, cepat
dan biaya ringan tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan
peradilanya itu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.
Mediasi dalam hukum pidana berarti proses penyelesaian perkara
pidana dengan mempertemukan pelaku kejahatan dengan korban untuk
mencapai kesepakatan bersama berkaitan dengan kejahatan yang
dilakukan pelaku dan restitusi yang diberikan kepada korban. Hutajulu
juga mengatakan bahwa seiring perkembangan zaman dan kebutuhan
korban, mediasi penal yang merupakan sebuah terobosan hukum
mempunyai manfaat yang banyak bagi kedua belah pihak yang
berperkara dan memberikan keuntungan tersendiri kepada pelaku dan
korban.
Pada pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa Flora
menjelaskan bahwa Mediasi Penal adalah bentuk penyelesaian
perselisihan alternatif di luar pengadilan yang umumnya dikenal sebagai
Alternatif Resolusi Sengketa atau ADR. ADR umumnya digunakan untuk
menyelesaikan perkara dikalangan sipil, bukan kasus pidana.
Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia saatini (hukum positif)
pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat dilakukan penyelesaiannya di
luar pengadilan.
Pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya
dalam perselisihan sipil, namun dalam praktiknya sering terjadi
penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan melalui kebijaksanaan
aparat penegak hukum atau melalui mekanis mekonsultasi/perdamaian
20

ataupengampunaninstitusi yang ada di masyarakat (pertemuan dewan


keluargadan konsultasi, kebiasaan musyawarah).
Pendekatan Mediasi Penal yang iambil ari beberapa referensi yang
telah peroleh ari Polresta Malang dan Polrestabes Surabaya oleh pihak
penyidik dilaksanakan sesuai dengan kapasitas institusi dengan landasan
Surat Edaran kapolri no.Pol. B/ 3022/ XII/2009/sdeops tanggal 14
Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui Alternatif Dispute
Resolution (ADR). Pertimbanganpertimbangan Penyidik Kepolisian Resort
Kota Pinrang Provinsi Sulawesi selatan.
Adapun sifat dari konflik atau sengketa dapat diklasifikasikan mulai
dari yang sederhana, sedang dan kompeks. Karena itu, konflik dapat
timbul di dalam berbagai macam situasi dan tingkat hidup masyarakat,
seperti misalnya dari mulai konflik suami-isteri yang bersifat emosional
atau konflik dua perusahaan yang selain bersaing memperebutkan pasar
atau langganan, sampai pada konflik antar negara atau antar kelompok
negara-negara yang saling bertentangan dalam bidang politik
internasional.
Tingkatan konflik tersebut akan melahirkan beberapa cara
penyelesaian yang berbeda antara konflik yang satu dengan yang lainnya,
sebagaimana diuraikan menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
a. Penyelesaian sepihak, Khususnya pihak yang lemah akan mengalah,
keluar, melarikan diri, mengundurkan diri, penyerahan sementara,
penundaan reaksi dan reaksi menunggu dulu pada situasi yang tidak
menguntungkan dirinya.
b. Penyelesaian konflik dikelola sendiri, Didalam kelompok ini konflik
ditandai dengan kesamaan tingkat dari kedua belah pihak dalam
menyelesaikan konflik tersebut, yang dilakukan dengan cara undian,
berdasarkan kesepakatan dan melakukan perundingan, tanpa
menggunakan pihak orang lain sebagai pihak ketiga atau yang menjadi
perantara antara dua orang,
21

c. Penyelesaian konflik prayuridis,


d. Kelompok penyelesaian sengketa dengan perantaraan hukum acara,
e. Penyelesaian sengketa secara yuridis - politis, Penyelesaian konflik
beralih dari ruang sidang pengadilan ketengah - tengah kancah
pertentangan dalam proses pembentukan keputusan pemerintahan dan
keputusan politik, sehingga dapat dikatakan penyelesaian melalui saluran
pemerintah, pembentukan keputusan legislatif dan berupa tindakan politik
dan aksi social yang dilakukan secara sukarela yang berasal dari niat
sendiri,
f. Penyelesaian sengketa secara kekerasan, Dimana satu pihak mencoba
menyelesaikan suatu konflik terhadap pihak lain dengan menggunakan
sarana fisik.
Peradilan pidana sesungguhnya bukan merupakan institusi yang
paling baik dalam menyelesaikan konflik antara korban dan pelaku. Dalam
realitanya peradilan pidana memiliki standard keadilan tersendiri terkait
dengan pelaku kejahatan yang sama sekali tidak memperhatikan
kepentingan-kepentingan korban. Penyelesaian konflik dengan peradilan
pidana merusak hubungan kekeluarga antara korban dan pelaku.
Hubungan yang awalnya damai, tentram, harmonis, dan bersifat
kekeluargaan hancur dengan kehadiran
Sistem Peradilan Pidana, Karena kelemahan dari peradilan pidana
dalam menyelesaikan perkara pidana maka dapat direkomendasikan
penyelesaian mekanisme Mediasi Penal (Penal Mediation), karena
memiliki kelebihan yang tidak ditemukan dalam peradilan pidana. Apabila
di uraikan lebih detail, hakikat mediasi penal dikembangkan dengan
bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut:
a. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konflik bearbeitung)
Tugas mediator adalah membuat pihak melupakan kerangka
hukum dan mendorong mereka terlibat komunikasi. Hal ini didasarkan
pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal.
Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
22

b. Berorientasi pada proses


Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari pada
hasil, yaitu menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya,
kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa
takut, dan sebagainya.
c. Proses informal (Informal Proceeding-Informalitat)
Media penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat
birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat. Ada partisipasiaktif
dan otonom pada pihak (Active and Autonomous Participation –
Parteiautonomie / Subjektivierung). Para pihak (pelaku dan korban) tidak
dilihat sebagai objek dari prosedur hokum pidana, tetapi lebih sebagai
subjek yang mempunya tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk
berbuat. Mereka diharapkan berbuatan atas kehendaknya sendiri.
Di dalam pelaksanaan mediasi penal terdapat beberapa model
pelaksanaan mediasi penal. Kemudian, terhadap mediasi penal ini dalam
“Explanatory memorandum” dari rekomendasi Dewan Eropa No. R. (99)
19 tentang “Mediation in Penal Matters”, dikemukakan model mediasi
penal sebagai berikut:
a. Model “Informal mediation”
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal
justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh
Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan
penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan
apabila tercapai kesepakatan. Pada model ini dapat dilakukan oleh
pekerja social atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat
polisi atau Hakim.
b. Model “Traditional village or tribal moots”
Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk
memecahkan konflik kejahatan diantara warganya dan terdapat pada
beberapa Negara yang kurang maju dan berada di wilayah
pedesaan/pedalaman. Asasnya, model ini mendahulukan hukum barat
23

dan telah member inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi


modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan
berbagai keuntungan dari pertemua suku (tribal moots) dalam bentuk
yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak
individu yang diakuinya menurut hukum.
c. Model “Victim-offender mediation”
Menurut model ini, mediasi antara korban dan pelaku merupakan
model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model ini melibatkan
berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk.
Banyak variasidari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat
formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan
pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap
penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada
yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang untuk
tipe tindak pidana tertentu (misalnya pengutilan, perampokan atau tindak
kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku
pemula, tetapi ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.
d. Model “Reparation negotiation pragrammes”
Model ini semata-mata untuk menaksir atau menilai kompensasi
atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada
korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini
berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya
berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiil. Dalam model ini,
pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat
menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.
e. Model “Community panels of Courts”
Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana
dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih
fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsure mediasi atau
negosiasi.
f. Model “Family and comunity group conferences”
24

Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang


melibatkan partisipasi masyarakat dalam SPP (system peradilan pidana).
Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga
keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti
polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan
keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif
dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga sipelaku
keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.
Di Indonesia tidak ada model khusus yang harus digunakan dalam
melakukan proses mediasi penal karena biasanya disetiap daerah memilih
untuk menggunakan model mediasi penal dalam menyelesaikan suatu
perkara pidana dengan menyesuaikan kebutuhan atau memang sudah
ditetapkan.

D. Kekerasan Dalam RumahTanggan (KDRT)


a. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga
Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT,
sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasukan caman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Karakter utama KDRT yang dilakukan terhadap istri adalah sifat
multi dimensi dari kekerasan yang dilibatkannya. Data kekerasan yang
tercatat di Rifka Annisa Women’s Crisis Centre Women’sCrisis Center
(WCC) menegaskan bahwa KTI memiliki tendensi yang kuat untuk
melibatkan berbagai bentuk kekerasan. Kekerasan dengan satu jenis
kekerasan hanya sebesar 20 %, artinya seperlima dari jumlah kasus yang
ada. Kekerasan yang mempunyai jumlah paling besar adalah kekerasan
25

yang melibatkan emosi dan ekonomi dan fisik yang masing-masing


sebanyak 24% dan 20%.
b. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Adapun bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-
undang No,23 tahun 2004 sebagaimana dijelaskan dalam : Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. kekerasan fisik
b. kekerasan psikis
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga.
Pasal 6
Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Pasal 8
Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau
tujuan tertentu.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
26

persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,


atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di
luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

c. Lingkup rumah tangga


Adapun yang dimaksud dengan lingkup rumah tangga menurut
undang-undang nomor 23 tahun 2004 adalah:
Pasal 2
(1) Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi:
a. suami, istri dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
b. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana disebutkan diatas karena hubungan darah, perkawinan
(missal mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau
c. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut
(2) Orang yang bekerja sebagaimana yang dimaksud pada huruf c diatas
dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada
dalam rumah tangga yang bersangkutan
Pasal 310
(1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang
dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud
yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan
hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp.4.500,—.
(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan,
dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu
dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara
27

selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-


banyaknya Rp. 4.500,—.
(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata
bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau
lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri. (K.U.H.P.
134 s, 142 s, 207, 311 s, 319 s, 483, 488).
Pasal 205
(1) Yang diperiksa rnenurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama
tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus
rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2
Bagianini.
(2) Dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyidik atas
kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari sejak berita acara
pemeriksaan selesai dibuat, menghadapkan terdakwa beserta barang
bukti, saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan.
(3) Dalam acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan
terakhir, kecuali dalam hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan
terdakwa dapat minta banding.
E. Kepolisian
a. Pengertian kepolisian
Dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Republik Indonesia mendefinisikan bahwa Kepolisian
adalah segala hal-hal yang berkaitan dengan fungsi dan Lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Dalam ayat (2) yang dimaksud dengan anggota kepolisian Negara
Repiblik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
b. Fungsi Kepolisian
28

Undang-undang nomor2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


Republik Indonesia menyebutkan :
Pasal 2
Fungsi kepolisian adalah satu fungsi pemerintahan Negara
dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat penegak
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 3
(1) Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh:
a. Kepolisian khusus
b. Penyidik pegawai negeri sipil; dan atau
c. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa
(2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
hurufa, b, dan c melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing
Pasal 4
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta
terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
c. Tugas dan Wewenang Kepolisian
Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia menyebutkan tugas kepolisian adalah sebagai berikut:
Pasal 13
Tujuan pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
b. Menegakkan hukum, dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat
29

Pasal 14
(1) dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan peraturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan
b. Menyelenggarakan segala kegiataan dan menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dijalan
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap
hukum dan peraturan perundang-undangan
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan tekhnis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa
g. Melakukan menyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan atau bencana termasuk
memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
ditangani oleh instansi dan atau pihak yang berwenang
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan
dalam lingkup tugas kepolisian, serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan perundang-undangan
30

(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) dan huruf f diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
Selanjutnya undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia menyebutkan wewenang kepolisian adalah
sebagai berikut:
Pasal 15
(1) Dalam rangka penyelengaraan tugas sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13 dan 14, Kepolisian Republik Indonesia secara umum
berwewenang:
a. Menerima laporan dan atau pengaduan
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administrative kepolisian
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangkap pencegahan
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang
i. Mencari keterangan dan barang bukti
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional
k. Mengeluarkan surat izin dan atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang:
31

a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan


kegiatan masyarakat lainnyya.
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik
e. Memberikan izin dan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan
senjata tajam
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap
badan usaha dibidang jasa pengamanan
g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus
dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian.
h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik
dan memberantas kejahatan internasional
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing
yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait
j. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional
k. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
kepolisian
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) huruf a dan d diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintaah.
Adapun landasan hukum POLRI dalam alternative dispute
resolution (ADR) berperspektif hukum, dasar atau paying hukum bagi
POLRI untuk penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan alternative
dispute resolution (ADR) dengan cara perdamaian adalah sebagai berikut:
Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP jo pasal 16 ayat (1) huruf 1 undang-
undang nomor 2 tahun 2002 tentang POLRI dalam rangka
penyelengaraan tugas dan wewenang dibidang prosestindakpidana
(penyelidikan dan penyidikan) berwenang“mengadakantindakan lain
menuruthukum yang bertanggungjawab”
Yang dimaksud tindakan lain adalah:
32

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum


b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa
e. Menghormati hak asasi manusia
Dengan demikian polisi berwenang untuk melakukan tindakan apa
saja, termasuk menyelesaikan perkara pidana di luar pengadilan,
sepanjang memenuhi ketentuan huruf a sampai e di atas, sebagaimana
telah disinggung di awal bahwasanya mediasi penal menjadi lebih bisa
dilakukan ketika Kepolisian Negara Republik Indonesia mengeluarkan
Surat Kapolri Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute
Resolution (ADR) yang menekankan penyelesaian kasus pidana dengan
menggunakan ADR sepanjang disepakati oleh pihak-pihak yang
berperkara. Maka dari hal tersebut ada beberapa hadits mengenai Batin
menderita lantaran orang yang semestinya mencurahkan segala cinta
dan perhatiannya justru berbalik arah dengan melakukan kezaliman dalam
ucapan maupun perbuatan. Dalam hadits qudsi Allah ta’ala berfirman:

‫َياِع َب ا ِد ْي ِِإِّن ْي َح َر ْم ُت الُظ ْلَم َع َلى َن ْف ِس ْي َو َج َع ْلَُت ُه َب ْي َن ُك ْم ُم َح َّر ًما َفَال َت َظ ا َلُمْو‬

Artinya: “Wahai hamba - hambaku! Sesungguhnya aku telah


mengharamkan kezaliman atas diriku. Dan aku menetapkannya sebagai
perkara yang diharamkan diantara kalian. Maka janganlah kalian saling
menzalimi”.
33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum


yuridis-empiris (socio-legal research). Penelitian hukum yuridis disebut
juga penelitian hukum kepustakaan, sosiologis atau empiris atau
penelitian hukum lapangan. Penelitian sosiologis yaitu suatu jenis
penelitian yang menggunakan asumsi masyarakat dalam mencari fakta-
fakta yang terjadi dilapangan untuk menjawab suatu permasalahan yang
ada.

Sistem peradilan pidana anak wajib menggunakan pendekatan


keadilan restoratif dengan melalui diversi. Diversi dalam penyelesaian
perkara anak adalah proses peradilan pidana yang dialihkan ke proses di
luar peradilan pidana. Jurnal ini difokuskan pada bentuk penerapan
mediasi penal sekaligus pembatasan pemberlakuannya dalam sistem
peradilan pidana anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Metode pendekatan
yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian
deskriptif. Hasil penelitian ini adalah bahwa sistem peradilan pidana anak
mengandung pengertian bentuk mediasi penal, dengan dua pendekatan
yakni victim offender mediation dan restorative conferencing
yangmeliputi family group conference.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian

Peneitian ini dilakukan di Kepolisian Resort Pinrang, pada bulan


Juni-Juli 2022. Pemilihan lokasi di Polres Pinrang dikarenakan perkara
yang akan diteliti berkaitan dengan pidana meskipun ranahnya mediasi,
sehingga sangat diharapkan hasil penelitian yang didapat bisa lebih
maksimal.
34

C. Sumber Data

1. Data Primer

Data primer adalah data yang penulis dapatkan atau diperoleh


secara langsung melalui wawancara dengan responden dilapangan
mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan masalah yang diteliti.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari Undang-Undang,


Literatur-literatur atau merupakan data yang diperoleh melalui penelitian
perpustakaan.

D.Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara atau Interview

Wawancara adalah teknik yang digunakan untuk memperoleh


Keterangan secara lisan guna mencapai tujuan. Adapun wawancara yang
dilakukan langsung kepada Kanit Pidana Umum Kepolisian Resort
Pinrang, Penyidik Kepolisian Resort Pinrang,dan Korban Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Diharapkan dengan peneliti menggunakan metode tersebut, maka


informasi yang diperoleh dapat dengan objektif sesuai apa yang
diharapkan agar nantinya apabila orang lain menginginkan skripsi tersebut
dikutip maka informasiyang diperoleh tersebut bisa lebih terpercaya.

2. Kajian Kepustakaan

Menggunakan teknik pengumpulan data baik dengan cara


membaca buku, jurnal-jurnal yang terkait dengan tajuk permasalahan
dalam proposal dan atau referensi lain. Nantinya dengan berbagai cara
yang diupayakan peneliti tersebut diharapkan para pembimbing memiliki
35

kebangaan tersendiri dari banyaknya upaya ataupun referensi yang di


usahakan peneliti tersebut dalamproses penyelesaian studi tersebut.

E. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data yang dilakukan adalah analisis


kualitatif, merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data
deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan tertulis. Penulis mengumpulkan data
dari observasi lokasi yang terbatas dengan beberapa responden yang
diwawancarai, yang kemudian data tersebut penulis pahami dan penulis
beri makna untuk selanjutnya penulis jadikan tulisan dan keterangan yang
dapat memberikan penjelasan atas permasalahan yang penulis teliti.
36

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Mediasi Penal dalam Kasus Kekerasan Dalam Rumah


Tangga di Polresta Pinrang.
Pada proses penyelesaian perkara KDRT melalui jalur penal di
tingkat penyidikan dijumpai beberapa kegiatan yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum, yaitu: penyelidikan, penyidikan, upaya paksa dan
pembuatan berita acara.
Adapun alasan apparat penegak hukum untuk melakukan kegiatan-
kegiatan tersebut adalah karena telah terjadi suatu tindak pidana
(perbuatan pidana). Berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa yang
patut diduga merupakan tindakpidana maka pihak penyidik atau kepolisian
dapat melakukan segera tindakan yaitu berupa tindakan penyelidikan.
Penyelidikan merupakan salah satu cara atau sub dari fungsi
penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa
penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat,
pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada
penuntut umum.
Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Rumah Tangga
dengan menggunakan mediasi penal di Polres Pamekasan dilakukan oleh
penyidik yang juga bertindak sebagai mediator, dalam hal ini penyidik di
tunjuk oleh kapolres melalui surat perintah, penyidik diberikan kebebasan
dalam menyelesaikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
dengan mengunakan diskresinya, yang dimaksud dengan diskresi
tersebut adalah suatu kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian / penyidik
dalam menyelesaikan suatu kasus, dimana kewenangan tersebut sesuai
dengan ketentuan yang berdasarkan pada perundang-undangan. Menurut
Momo Kelana, bahwa rumusan kewenangan tersebut yang merupakan
kewenangan yang bersumber dari asas kewajiban umum kepolisian
(plichtmatigheids beginsel), yaitu suatu asas yang memberikan
kewenangan kepada aparat kepolisian untuk bertindak atau tidak
37

melakukan tindakan berdasarkan penilaian pribadi sendiri dalam rangka


kewajibannya menjaga, memelihara ketertiban dan menjaga keamanan
umum.
Menurut Thomas J. Aaron dalam bukunya" The Control of Police"
sebagaimana dikutip oleh Sadjijono, dalam bukunya "Mengenal Hukum
Kepolisian Perspektif Kedudukan dan Hubungannya dalam Hukum
Administrasi", discretion diartikan "discretion is power authority conferred
by law to action on the basic of judgement or conscience and its use is
more on idea of morals then law". Artinya sebagai suatu kekuasaan atau
wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atau pertimbangan dan
keyakinannya dan lebih menekankan pertimbangan moral dari pada
pertimbangan hukum.
Pengertian yang dikemukakan Thomas tersebut mensyaratkan
tindakan dilakukan atas dasar hukum, walaupun pertimbangan hukum
dikesampingkan dan lebih bersifat pada pertimbangan moral. Beberapa
perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum penerapan
diskresi, khususnya dalam proses penegakan hukum pidana, antara lain:
Pasal 15 ayat (2) huruf k Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan: Kepolisian
Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan
lainnya berwenang: melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam
lingkup tugas kepolisian.
TABEL 1
Data Tentang Kasus KDRT Yang Masuk di Wilayah Hukum Polresta
Pinrang
TAHUN JUMLAH PRESENTASI
2019 38 48,5 %
2020 40 50,0 %
2021 39 61,5 %
TOTAL 117 100 %
Sumber: Data Sekunder , diolah November 2022
38

Data tersebut diatas menunjukkan bahwa tindak pidana kekerasan


dalam rumah tangga yang masuk di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
(PPA) Polresta Pinrang dari tahun 2019-2021 mengalami perubahan.
Selama tahun 20019 sampai dengan tahun 2021 mengalami penurunan
yaitu dari 38 kasus menjadi 40 kasus dan dari tahun 2019 sampai dengan
2020 juga mengalami penurunan yaitu dari 40 kasus menjadi 39 kasus.
Berdasarkan jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masuk
selama tahun 2019 sampai dengan tahun 2021, jika dipresentasekan
maka jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2019
sebesar 48,5 %, tahun 2020 sebesar 50,0 % dan tahun 2021 sebesar
61,5.
TABEL II
Data Tentang Kasus KDRT Yang Dapat di Mediasi di Wilayah Hukum
Polresta Pinrang
N
Keterangan 2019 2020 2021
O
1 Kasus Masuk 38 40 39
ADR (alternative dispute
2 17 20 23
resolution)
3 Kasus Dicabut 10 12 7
4 Pengadilan 11 8 9

Dari data diatas memperlihatkan bahwa efektivitas pemakaian


mediasi untuk meyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga
secara mediasi di polres Pinrang sangat efektif hal ini mungkin sesuai
dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang
mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan
gotong-royong. Dasar-dasar tersebut telah membentuk tingkah laku
toleransi, mudah memaafkan, dan mengkedepankan sikap mendahulukan
kepentingan bersama (komunal).
39

Mediasi merupakan instrumen yang baik untuk menyelesaikan


konflik guna menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban,atau
kekeluargaan. Musyawarah memang dapat menyelesaikan masalah.
Namun apabila suatu masalah telah dikategorikan sebagai tindak pidana
kekerasan, maka kerap kali musyawarah tidak memadai untuk
menyelesaikan masalah. Karena dalam musyawarah biasanya tidak ada
konpensasi yang diberikan kepada korban dan tidak ada tindakan yang
dikenakan terhadap pelaku.
Berdasarkan wawancara Tidar Ayu Kodding di Polrestabes Pinrang
dengan menggunakan mediasi penal merupakan jalan tengah atas dua
permasalahan tersebut. Dengan mediasi penal maka pola-pola
penyelesaian masalah dalam rumah tangga yang telah berlangsung
dalam masyarakat tetap dapat dilakukan. Tetapi penyelesaian masalah
tersebut berada dalam konstruksi hukum negara yang pengaturannya
diatur dengan undang-undang.
Pelaku tetap dapat diberikan tindakan sesuai dengan hal yang
disepakati dalam mediasi, dan diperkuat dengan putusan hakim.
Sementara korban tetap mendapat perlindungan dan atau kompensasi
atas apa yang terjadi padanya.
2. Kendala ± kendala pelaksanaan Mediasi Penal dalam Kasus Kekerasan
Dalam Rumah Tangga di Polresta Pinrang Penyelesaian perkara pidana
melalui mekanisme di luar peradilan saat ini semakin sering dilakukan dan
dapat diterima oleh masyarakat karena dirasakan lebih mampu
menjangkau rasa keadilan, walaupaun para praktisi dan ahli hukum
berpandangan bahwa Alternatif dispute resolution (ADR) hanya dapat
diterapkan dalam perkara perdata, bukan untuk menyelesaikan perkara
pidana karena pada asasnya perkara pidana tidak dapat diselesaiakan
melalui mekanisme di luar pengadilan. Penyelesaian perkarta dalam
restorative justice dapat di contohkan dalam bentuk mediasi penal, karena
dampak yang ditimbulkan mediasi penal sangat signifikan dalam proses
penegakan, walaupun mungkin menyimpang dari prosedur legal sistem.
40

Perumusan kaidah hukum untuk menyelesaikan perkara pidana


dilakukan melalui mediasi yang diderivasi dari cita-cita hukum dan asas
hukum. Oleh karena itu pola mediasi yang diterapkan harus mengacu
pada nilai-nilai keadilan, nilai kepastian hukum dan kemanfaatan. Rasa
keadilan terkadang hidup diluar undang-undang, yang jelas undang-
undang akan sangat sulit untuk mengimbanginya. Begitupula sebaliknya
undang-undang itu sendiri dirasakan tidaka adil ketika rasa keadilan itu
benar-benar eksis dan dirasakan oleh mayoritas kolektif maka kepastian
hukum akan bergerak menuju rasa keadilan itu sendiri. Kepastian hukum
adalah rasa keadilan itu sendiri, sebab keadilan dan hukum bukanlah dua
elemen yang terpisah. Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui
mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana KDRT dalam
penerapannya, terdapat beberapa kendala diantaranya:
1. Belum melembaganya proses penyelesaian melalui mediasi ini di
kalangan penegak hukum dan masyarakat.
2. Tidak adanya dasar hukum yang kuat dalam penyelesaian melalui
mediasi ini menimbulkan aparat penegak hukum tidak berani melakukan
diskresi.
3. Sistem peradilan pidana berujung tombak pada proses penyidikan.
apabila tersangka sudah dikenai penahanan pada proses penyidikan
maka mau tidak mau akan berlanjut pada proses berikutnya yaitu
penuntutan dan persidangan. Apabila tersangka sudah ditahan maka tidak
ada pilihan lain bagi hakim untuk menjatuhkan pidana penjara, alhasil
proses mediasi tidak bisa dilakukan,
4. Bagi pihak korban khususnya seorang isteri terkadang tidak mau
dilakukan mediasi apalagi apabila sebelumnya sudah ada pria idaman
lain, maka dengan adanya putusan pemidanaan akan mempermudah
proses perceraian,
5. Akibat atau dampak buruk dari tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga cukup parah sehingga korban tidak bisa memaafkan,
41

6. Para pihak tidak mentaati terhadap putusan mediasi, misalnya si


terdakwa mengulangi tindak pidananya lagi,
7. Ketidak percayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum,
sehingga apabila aparat penegak hukum menjadi mediator maka
masyarakat memiliki persepsi negatif sehingga menimbulkan kecurigaan
yang tidak beralasan.
Mediasi penal merupakan salah satu instrumen dari konsep
keadilan restoratif. Para pihaklah yang menentukan nilai keadilan yang
mereka inginkan, bukan Lembaga peradilan.Berdasarkan hasil
wawancara dengan Penyidik PPA Polresta Pinrang mengatakan bahwa
keterlibatan aparat penegak hukum dalam penyelesaian kasus kekerasan
dalam rumah.

Hasil wawancara dengan Ritha Kristina Mentari Porlesta Rumah


tangga hanyalah sebagai mediator. Mediasi penal merupakan metode
penyelesaian sengketa yang cocok dalam menangani perkara KDRT di
Indonesia. Berdasarkan wawancara dengan Kanit PPA Polrestabes
Pinrang Hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat masih
mengutamakan penyelesaian secara damai dalam penyelesaian sengketa
terutama dalam sengketa keluarga dikarenakan harmoni dan keutuhan
keluarga merupakan prioritas dalam budaya masyarakat Indonesia yang
terus dijaga. Namun dari sekian banyak kelebihan mediasi penal, metode
ini juga mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya kurangnya tindak
lanjut pelaku terhadao kesepakatan yang telah dibuat penundaan
persidangan perbuatan kriinal yang telah dilakukan dan putusannya
karena proses mediasi penal,banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk
berpatisipasi dalam proses mediasi penal (apabila menggunakan shuttle
mediation).

Berdasarkan wawancara dengan pentidik PPA Polresta Pinrang


mengatakan mediasi penal juga bisa menghadapi beberapa hambatan
yaitu:
42

1. Masalah operasional

a) Rekomendasi kasus untuk memakai mediasi Hal ini merupakan


masalah umum yang sering terjadi.Seperti telah disebutkan sebelumnya
pemahaman dan kerja sama antar aparat penegak hukum masih kurang
sehingga sulit meyakinkan mereka untuk merekomendasikan kasus untuk
diselesaikan melalui mediasi penal.

b) Terbatasnya waktu Karena mediasi penal tergabung dalam sistem


peradilan pidana makaada keterbatasan waktu dalam memediasi suatu
kasus, walaupun kasus sangat kompleks atau sensitive.

c) Kurangnya persiapan dan tindak lanjut Banyak penyidik/mediator yang


kurang mempersiapkan diri dalam menghadapi suatu kasus, padahal
tingkat kompleksitas dan sentivitas tiap kasus berbeda ± beda. Selain itu,
mediator juga menganggap bahwa tugasnya selesai Ketika para pihak
sudah mencapai kesepakatan.Padahal tindak lanjut berupa pengawasan
terhadap implementasi kesepakatan juga harus dilakukan.

d) Mediasi tidak langsung Kalau proses mediasi ini yang dipakai, maka
akan banyak memakan waktu dan kurang produktif dibandingkan bila
korban dan pelaku saling bertemu.

e) kurangnya sumber daya Apabila sumber daya manusia kuantitas dan


kualitasnya terbatas atau sumber daya berupa fasilitas ( seperti ruang
mediasi) tidak tersedia akan menggangu jalannya proses mediasi
penal.Ruang yang disiapkan khusus untuk mediasi mutlak diperlukan
sesuai asas kerahasiaaan proses mediasi yang harus dijaga.

2. Kegagalan untuk mempertahankan tujuan awal Hal ini terjadi karena


masih dominanya paradigma dan budaya system peradilan pidana, hingga
tujuan mediasi penal yang tergabung dalam siste tersebut dapat luntur
atau goyah.
43

3. Akuntabilitas pelaku Banyak pelaku yang hanya memanfaatkan mediasi


penal sebagai cara untuk menghindar dari peradilan pidana (penjara).
Setelah tercapainya kesepakatan perdamaian, mereka tidak mau
melaksanakannya. Berdasarkan Hasil wawancara dengan Kanit PPA
Polrestabes Pinrang. Selain upaya penerapan mediasi penal yang sulit
juga dipengaruhi oleh hambatan penghapusan KDRT di Indonesia yang
sangat berpengaruh dalam penerapan mediasi penal antara lain, yaitu:

a) Persepsi Masyarakat Indonesia terhadap perkara KDRT Kesulitan


penghapusan KDRT di Indonesia berawal dari persepsi masyarakat
sendiri yang mengangap bahwa masalah yang terjadi dalam rumah
tangga adalah urusan pasangan suami ± istri. Konflik yang terjadi dalam
keluarga dianggap sebagai dinamika yang biasa terjadi dalam keluarga
yang tidak boleh dicampuri orang lain. Merupakan sebuah aib dan bisa
menodai kehormatan keluarga bila ada yang membocorkan konflik yang
terjadi kepada orang luar. Orang yang melaporkan tersebut dianggap tidak
bisa menjaga martabat keluarga. Korban juga sering tidak tega suami
ditahan ketika dilaporkan karena masih cinta atau memikirkan masa
depan anak. Kondisi inilah yang membuat korban KDRT enggan untuk
menyampaikan kekerasan yang terjadi padanya pada pihak lain. Dari sisi
pelaku sendiri, masih banyak yang mengangap bahwa kekerasan yang
dilakukan merupakan cara atau pembelajaran untuk mendidik istri agar
bersikap lebih baik. Karena itu, upaya penghapusan KDRT harus dimulai
dengan mengubah persepsi yang masih mendominasi masyarakat
Indonesia.

Pengesahan UU PKDRT pada tahun 2004 merupakan sebuah


tonggak bersejarah dalam upaya mengubah persepsi masyarakat.Hal ini
disebabkan perbuatan KDRT dimasukkan ke dalam lingkup tindak pidana
dimana pelaku akan berhadapan dengan Negara melalui pengadilan. UU
PKDRT merupakan kemajuan nyata yang dihasilkan oleh perjuangan
organisasi perempuan di Indonesia yang mendobrak persepsi dominan
44

masyarakat yang mengangap KDRT adalah urusan internal suami ± istri


ke wilayah public. Namun mengubah persepsi dominann masyarakat ini
memang membutuhkan waktu. Masih banyak anggota masyarakat,
bahkan aparat penegak hukum, yang belum mengerti UU PKDRT. Dalam
penelitian yang dilakukan di Kota Pinrang, mayoritas responden tidak bisa
menjawab secara lengkap mengenai lingkup tindak pidana KDRT.
Sebagian besar hanya menjawab kekerasan fisik saja atau kekerasan fisik
dan psikis, tidak ada yang menjawab secara lengkap 4 (empat) jenis
kekerasan seperti yang diatur dalam UU PKDRT,yaitu kekerasan fisik,
psikis, seksual, penelantaran rumah tangga. Dengan pemahaman seperti
ini, bisa dipahami kesulitan yang dihadapi dalam upaya penghapusan
KDRT di Indonesia.

Korban umumnya hanya mengetahui kekerasan fisik yang masuk


dalam perbuatan pidana hingga korban tidak melaporkan tindak
kekerasan yang dialaminya. Selain itu, sebagian responden juga
menyatakan bahwa konflik rumah tangga merupakan hal yang negatife
dan seharusnya disimpan/dirahasiakan dalam keluarga sesuai ajaran
islam Karena itu, responden yang lain menyatakan penerapan UU PKDRT
harus dilaksanakan secara selektif dan hati ± hati. 3 Upaya ± upaya dalam
mengatasi kendala pelaksanaan Mediasi Penal dalam Kasus Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Peran Polresta Pinrang dalam penyelesaian kasus-kasus


Kekerasan dalam Rumah tangga yang dilaksanakan selama ini di kota
Pinrang dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan penal
dan pendekatan mediasi penal. Berdasarkan wawancara dengan Kanit
PPA Polrestabes Pinrang Pendekatan mediasi penal yang dilaksanakan
oleh kepolisian Resort Kota Pinrang terhadap penyelesaian Kasus
kekerasan Dalam Rumah Tangga penal telah dipilh sebagai salah satu
proses penanganan kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
yang terjadi dalam masyarakat.
45

Pendekatan Mediasi Penal oleh Polres Pinrang oleh pihak penyidik


dilaksanakan sesuai dengan kapasitas institusi dengan landasan Surat
Edaran kapolri no.Pol. B/ 3022/ XII/2009/sdeops tanggal 14 Desember
2009 tentang penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolution
(ADR). Pertimbangan-pertimbangan Penyidik Polres Pinrang dalam
proses penyelesaian Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga melalui
pendekatan mediasi penal dititik beratkan bukan pada penegakan
hukumnya akan tetapi pada nilai-nilai kemanfataan dan keadilan sebagai
dasar kebutuhan atau kepentingan para pihak untuk mendapatkan solusi,
serta penghindaran dari proses peradilan pidana yang panjang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan penyidik PPA Polresta


Pinrang Perlunya penegasan terhadap kualifikasi mediasi penal yang
dibakukan dalam bentuk formulasi yang lebih konkrit agar implementasi
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Perlunya pelatihan mediator di
tingkat penyidikan yang bukan hanya dari kalangan penyidik sehingga
menghasilkan mediator yang profesianal memiliki integritas agar
Penyelesaian Kasus kekerasan dalam Rumah tangga mendapat solusi
dan tidak berujung pada hal-hal yang tidak semestinya.

Beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum


penerapan diskresi, khususnya dalam proses penegakan hukum pidana,
antara lain: Pasal 15 ayat 2) huruf k Undang-undang No. 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Berdasarkan wawancara
dengan Kanit PPA Polrestabes Pinrang Aparat penegak hukum
khususnya polisi selaku penyidik seyogyanya melakukan seleksi terhadap
kasus-kasus KDRT mana yang patut diselesaikan secara litigasi dan
mana yang bisa diselesaikan secara non litigasi dengan
mempertimbangkan kasus demi kasus dan tingkat berbahayanya pembuat
dan perbuatannya.
46

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kepolisian Polresta Pinrang dalam penyelesaian kasus-kasus
Kekerasan dalam Rumah tangga yang dilaksanakan selama ini di kota
Pinrang dengan menggunakan pendekatan mediasi penal. Pendekatan
mediasi penal yang dilaksanakan oleh Polresta Pinrang terhadap
penyelesaian Kasus kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), mediasi
penal telah dipilh sebagai salah satu proses penanganan kasus
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi dalam masyarakat.
Pendekatan Mediasi Penal oleh Pinrang oleh pihak
penyidik dilaksanakan sesuai dengan kapasitas institusi dengan landasan
Surat Edaran kapolri no.Pol. B/ 3022/ XII/2009/sdeops tanggal 14
Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui Alternatif Dispute
Resolution (ADR). Pertimbangan Penyidik Kepolisian Resort Kota Malang
dan Polrestabes Surabaya dalam proses penyelesaian Kasus Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) melalui pendekatan mediasi penal dititik
beratkan bukan pada penegakan hukumnya akan tetapi pada nilai-nilai
kemanfataan dan keadilan sebagai dasar kebutuhan atau
kepentingan para pihak untuk mendapatkan solusi, serta penghindaran
dari proses peradilan pidana yang panjang.

B. Saran
Perlunya penegasan terhadap kualifikasi mediasi penal yang
dibakukan dalam bentuk formulasi yang lebih konkrit agar implementasi
sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Perlunya pelatihan mediator di
tingkat penyidikan yang bukan hanya dari kalangan penyidik sehingga
menghasilkan mediator yang profesianal memiliki integritas agar
Penyelesaian Kasus kekerasan dalam Rumah tangga mendapat solusi
dan tidak berujung pada hal-hal yang tidak semestinya.
47

Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga perlu


dikaji ulang, mengingat telah banyak tindak pidana kekerasan yang diatur
dalam Undang-undanglain seperti: KUHP, dan Undang-undang
Perlindungan Anak, sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi
tumpang tindih.

Anda mungkin juga menyukai