Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PROSES PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DENGAN


INTERPRESTASI SOSIOLOGIS
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan : pengantar ilmu hukum
Dosen pengampu : Hanafi, sh, mh

Disusun oleh : kelompok 3


1. Nor diana hikmawati 202207010003
2. Moh budi sudarsono 2022070100015
3. Nurul efendi 2022070100012
4. Irfan 2022070100013

FAKULTAS HUKUM
PRODY ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM MADURA
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pamekasan : 06 November 202


Penulis : Kelompok 3

1
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................... 1
DAFTAR ISI ...........................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................3
1 LATAR BELAKANG MASALAH ....................................................3
2 RUMUSAN MASALAH ......................................................................6
3 TUJUAN .............................................................................................6
4 MANFAAT ...........................................................................................6
BAB 11 PEMBAHASAN ......................................................................7
1 Metode Penafsiran Hukum1 ...............................................................7
2 Sistem penemuan hukum oleh hakim dengan interprestasi sosiologis ...............................10
BAB 111 PENUTUP .............................................................................12
1.Kesipulan ............................................................................................12
2.saran ...................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................13
1.Buku ....................................................................................................13

1
.
2
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak hubungan hukum tercipta, tanpa di
sadari manusia telah melakukan kegiatan yang menimbulkan hak dan kewajiban.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah banyak timbul peristiwa-peristiwa hukum yang
memungkinkan timbulnya beragam konflik di dalam masyarakat yang mana tentu
diharapkan suatu penyelesaian. Hal ini merupakan tantangan bagi sarjana hukum di bidang
hukum untuk mencari hukum yang dapat menyelesaiankan setiap konflik.
Seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau
fungsi utama yaitu senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang
konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat,
dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang
hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh
seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat
ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-
undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
Selanjutnya bahwa seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan
penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada,
dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan
sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan
perkembangan didalam masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum
lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum
konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das sollen)
yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam

3
penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya
untuk peristiwa konkit.2
Tanggungjawab dalam penemuan hukum ini di wajibkan untuk tidak menolak setiap
perkara yang datang kepadanya, apalagi dengan dalih hukumnya tidak ada atau kurang jelas.
Didalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menentukan “bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Jadi pada dasarnya hakim darus
menyelesaiakn setiap perkara yang datang kepadanya (di pengadilan) walaupun tidak ada
atau kurang jelasnya aturan hukum tersebut.
Kejelasan suatu undang-undang sangatlah penting dan oleh karena itu setiap undang-
undang selalu dilengkapi dengan penjelasan. Akan tetapi sekalipun nama dan maksudnya
sebagi penjelasan, namun seringkali terjadi, penjelasan tersebut tidak juga memberi
kejelasan. Karena hanya dinyatakan cukup jelas, padahal teks undang-undangnya tidak jelas
dan masih memerlukan penjelasan.3
Dalam kasus seperti ini hukumnya harus dicari, diketemukan bukan diciptakan
walau tidak tertutup kemungkinan bahwa hakim dalam menemukan hukum tanpa disadari,
tanpa disengaja menciptakan hukum, tetapi hakim dilarang untuk menciptakan peraturan
yang mengikat secara umum. 4
. Pada Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman juga dijelaskan bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.Menurut Paul Scholten
di dalam perilaku manusia terdapat hukumnya. Jadi hukum itu tidak semata-mata terdapat di
dalam peraturan perundang-undangan saja. “Penggalian” inilah yang pada dasarnya
dimaksud dengan penemuan hukum (rechtsvinding, law making) dan bukan penciptaan
hukum. 5
2
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.37-
38.
3
Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993, hlm. 12.
4
Algemene Bepalingen Van Wetgeving, pasal 21.
5
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 31.
Keadaan seperti ini sangat berpengaruh terhadap rasa kenyamanan masyarakat
terhadap hukum. Masyarakat membutuhkan kepastian hukum dalam setiap tindakannya,
apalagi Indonesia termasuk kedalam Mix Legal System6 yang mana memberlakukan banyak
sistem hukum.7 Artinya dengan banyak nyasistem hukum yang berlaku di Indonesia maka
akan memudahkan bagi hakim untuk menggali hukum dari sistem-sistem hukum tersebut,
untuk itu seorang hakim harus menjabarkan terlebih dahulu peristiwa hukum kongkret dan
kemudian menggali hukum di tengah masyarakat yang berlaku dan dapat diterapkan
sehingga rasa keadilan masyarakat yang bersangkutan dapat dipenuhi.
Dengan keberagaman sistem hukum keanekaragaman budaya di Indonesia tidak
jarang terjadi adanya ketidak selarasan aturan-aturan hukum, hal ini terjadi karena pada
setiap daerah memiliki budaya dan hukum adatnya tersendiri sehingga tidak mungkin meng-
generalisir semua aturan hukum adat tersebut. Dapat kita lihat pada saat RUU Pornografi
dan Pornoaksi di bahas, timbul berbagai permasalahan mengenai definisi dan batasan dari
pornografi dan pornoaksi itu sendiri. Perbedaan budaya di setiap daerah menjadi latar
belakang permasalahan tersebut. Akibatnya RUU itu pun di ubah dengan sangat ekstrim
yaitu dengan menghilangkan unsur porno aksi dalam RUU tersebut dan kemudian menjadi
Undang-undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dapam penerapan UU pornografi ini perlu juga Hakim menggali kaidah-kaidah
hukum dalam masyarakat supaya penerapanya dapat lebih tepat sasaran. Misalnya di daerah
Sumatera Barat yang merupakan masyarakat adat Minangkabau yang terkenal dengan
ungkapan “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandikitabullah”. Ungkapan tersebut bermakna
bahwa masyarakat Minangkabau dalam memahami dan memaknai eksistensinya sebagai
mahluk Allah. Untuk itu perlu kiranya hakim memahami nilai-nilai budaya yang ada di
dalam setiap masyarakat.

6
Mix Legal System merupakan gabungan dari beberapa sistem hukum yang terlihat didalam
penerapannya memberlakukan Perundang-undangan (Eropa Kontinental), Hukum Adat (customary law), Hukum
Islam (Muslim Law System), dan Yurisprudence (Common Law).

5
7
.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk membuat suatu tulisan yang
akan menggambarkan tentang Proses Penemuan Hukum Oleh Hakim dengan metode
interprestasi sosiologis.

2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut maka penulis merumuskan permasalahan yang
akan dibahas dan menjadi batasan bagi penulis dalam penulisan ini. Pada penulisan ini
penulis ingin membahas tentang Proses Penemuan Hukum Oleh Hakim dengan metode
interprestasi sosiologis.

3. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah

Agar para pembaca mengerti dan memahami dari difinisi penemuan hukum dengan

metode interprestasi sosiologis.

4. Manfaat

Dengan adanya penemuan hukum denagn metode inter prestasi sosiologis dapat

memper mudah bagi masyarakat dalan mendapatkan informasi .

6
BAB II
PEMBAHASAN

Proses Penemuan Hukum Oleh Hakim Dengan dengan Interprestasi Sosiologis

1. Metode Penafsiran Hukum8


a. Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal)
Suatu cara penafsiran Undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada
Undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa seharihari
yang umum., Misalnya Peraturan per Undang-undangan yang melarang orang
menghentikan “Kenderaannya” pada suatu tempat. Kata kenderaan bisa ditafsirkan
beragam, apakah roda dua, roda empat atau kenderaan bermesin, bagaimana dengan sepeda
dan lain-lain. Jadi harus diperjelas dengan kenderaan yang mana yang dimaksudkan.
b. Metode Interprestasi secara historis 
Merupakan suatu metode penafsirkan Undang-undang dengan cara melihat sejarah
terjadinya suatu Undang-undang. Penafsiran historis ini ada 2 yaitu yang pertama penafsiran
menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu cara penafsiran
dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang
berhubungan dengan hukum seluruhnya.Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu
undang-undang (Wethistoirsche interpretatie) yaitu penafsiran Undang-undang dengan
menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak  dibuat, perdebatan-perdebatan yang
terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk Undang-undang
pada waktu pembentukannya.
c. Metode interprestasi secara istemati
Merupakan suatu metode penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan apasal
yang lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan Undang-
undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita memahami
8
Syahrani, Riduan, Seluk – Beluk dan Asas – asas Hukum Perdata, alumni, Bandung,
2000.

7
maksudnya, misalnya dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan “Tidak cakap membuat
persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa”. Timbul pertanyaan :
“Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa”. Untuk hal tersebut harus
dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang mengatur batasan orang yang belum dewasa
yaitu belum berumur 21 tahun.
d. Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis 
Merupakan suatu metode penafsiran yang mana makna Undang – undang ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan perUndang-undangan disesuaikan
dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan Undang-undang yang sudah tidak
sesuai lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk memecahkan/menyelesaikan
sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang lama dibuat aktual. Penafsiran
seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada hakim-hakim di Indonesia mengingat
negara Indonesia yang pluralistik dan kompleks. Peraturan per Undang-undangan dalam
tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai kondisi sosial suatu
daerah.
e. Metode Intepretasi secara Authentik (Resmi) 
Merupakan suatu metode penafsiran yang resmi yang diberikan oleh pembuat Undang-
undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam Undang-undang tersebut. Contoh :
Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi (authentik) tentang arti
beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang dimaksud
“sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah masa yang lamanya 30 hari,
tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya berlaku juga untuk kata-
kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana diluar KUHP artinya Hakim tidak hanya
bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan
hukum itu sendiri dan menmsosialisasikannya kepada masyarakat.
f. Metode interpretasi secara ekstentif 
Merupakan metode penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam
Undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya. Contoh :

8
Bahwa Jurisprudensi di Nederland “Menyambung” atau “menyadap” aliran listrik dapat
dikenakan pasal 362 KUHP artinya Jurisprudensi memperluas pengertian unsur barang
(benda), dalam pasal 362 KUHP.

g. Metode Interpretasi Restriktif


Merupakan metode penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam
Undang-undang seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per Kereta Api “Linden
baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata juga termasuk kerugian
immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati sehingga pejalan kaki juga harus
menanggung tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang dirugikan juga ada kesalahannya)
h. Metode interpretasi Analogi
Merupakan suatu metode penafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi kias
pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu
peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan tersebut.

i. Metode interpretasi argumentus a contrario


Merupakan metode penafsiran yang memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa
konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan
perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang dihadapi tidak termasuk
kedalam pasal tersebut melainkan diluar peraturan per undang-undangan.

Scolten mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada perbedaan antara menjalankan Undang-
undang secara analogi dan menerapkan Undang-undang secara argumentum a contrario
hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undangundang tersebut berbeda-beda, analogi membawa
hasil yang positip sedangkan menjalankan Undang-undang secara Argumentus a contrario
membawa hasilyang negatif.

9
Contoh : Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak
dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari sejak
perceraian dengan suaminya. Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya) maka
ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria.

Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai waktu
300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa iddah yaitu 100 hari atau 4 x

masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih terdapat benih dari
suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa iddah menimbulkan ketidak
jelasan status anak yang dilahirkan dari suami berikutnya..

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis kemukakan diatas, ada beberapa yang dapat di tarik sebagai
kesimpulan akhir dari makalah ini, yaitu :
1. Bahwa dalam proses penemuan hukum, hakim harus memperhatikan kondisi sosial dan
budaya masyarakat setempat.
2. Interprestasi sosiologis dilakukan dalam rangka menafsirkan aturan hukum agar sesuai
dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat sekitar.

2. Saran
1. Hakim dalam membuat keputusan haruslah memperhatikan kepentingan umum dengan
melihat budaya dan adat istiadat masyarakat setempat
2. Dalam menafsirkan ketentuan aturan perundang-undangan hendaknya hakim tidak
mengabaikan tujuan aturan tersebut di bentuk oleh pembentuk undang-undang tersebu
12

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori peradilan, Prenada Media Group, Jakarta, 2012,
hlm 499.

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2001

Sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993

Syahrani, Riduan, Seluk – Beluk dan Asas – asas Hukum Perdata, alumni, Bandung, 2000.

Zainudin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006

2Website

Detiknews, “inilah isi RUU Pornografi dan Pornoaksi”, 16 September 2008, Dalam
Wikipedia.com, di akses 3 November 2012.
www.jarwo.wordpress.com/Algemene Bepalingen Van Wetgeving, pasal 21.
www.logikahukum.com,
www.hukumonline.com,

13

Anda mungkin juga menyukai