Anda di halaman 1dari 42

Kata Pengantar

Puji Syukur Khadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga kami
kelompok 5 dapat menyelesaikan tugas makalah perbandingan hukum pidana ini tepat pada
waktunya ,salam dan salawat semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhhammad Sallahu
Alaihi Wasallam brserta keluarga ,sahabat dan pengikutnya ,makalah ini di susun dengan
metode kupustakaan dengan mencoba membandikan sistem hukum pidana Indonesia dan negara
negara lain

Kami mengucapkan banyak terimahkasih kepada dosen kami ibu Hasna Septiadi SH.,MH. Yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kami tentang
perbandingan hukum pidana

Dalam penyusunan proposal ini kami menyadari sepenuhnya bahwa proposal ini masi jauh dari
kesempurnaan karena pengalaman dan pengetahuan kami yang masi terbatas ,oleh karena itu
semua kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terimah dengan senang hati,kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan

1
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

Kata Pengantar ………………………………………………………………………………...…1

Daftar Isi ………………………………………………………………………………………...2

A. Latar Belakang ……………………………………………………………………………....3

B. RumusanMasalah……………………………………………………………………………..4

C. Tujuan Makalah …………………………………………………………………………….4

BAB II PEMBAHASAN

Perbandingan Penanganan Kekerasan Dalam rumah tangga ( KDRT ) di Indonesia dan


Singapura……………………..…………………………………………………………………5

Perbandingan Sistem Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Malasysia Tentang Tindak
Pidana Pemerkosaan ……………………………………………………………………………15

Perbandingan Sistem Hukum Pidana Indonesia dan Arab


Saudi……………………………………………………………………………………………..1
8

Perbandingan Sistem Hukum Pidana Idonesia dan China ……………………………………20

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN …………………………………………………………………………………39

SARAN …………………………………………………………………………………………40

Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………..41

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku pada suatu masyarakat
dalam suatu sistem negara yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk menentukan
tindakan-tindakan yang tidak dapat dilakukan dan dengan disertai ancaman hukuman bagi yang
melanggar aturan tersebut. Keberadaan hukum di suatu Negara yaitu : sebagai alat perubahan,
penertiban dan perlindungan terhadap masyarakat, mengingat keberadaan hukum itu sendiri
adalah atas keinginan masyarakat yang mendambakan rasa aman dan tenteram dalam kehidupan
sehari-harinya. Hukum juga sebagai alat untuk mengatur hubungan antara masyarakat dengan
masyarakat dengan penguasa atau pemerintah, dengan maksud agar masing-masing mengerti
tentang hak-haknya. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : Untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan hukum pidana antara Negara Indonesia dengan beberapa
negara.

Perbandingan hukum pidana merupakan kegiatan memperbandingkan sistem hukum yang satu
dengan yang lain baik antar bangsa,negara,bahkan agama,dengan maksud mencari dan
mensinyalir perbedaan-perbedaan serta persamaan-persamaan dengan memberi
penjelasannya dan meneliti bagaimana berfungsinya hukum dan bagaimana pemecahan
yuridisnya di dalam praktek serta faktor-faktor non hukum yang mana saja yang
mempengaruhinya.penjelasannya hanya dapat di ketahui dalam sejarah hukumnya,sehingga
perbandingan hukum yang ilmiah memerlukan perbandingan sejarah hukum.

Manfaat Perbandingan Hukum ialah: Berguna untuk unifikasi dan kodifikasi nasional, regional
dan internasional.Untuk harmonisasi hukum, antara konvensi internasional dengan peraturan
perndang-undangan nasional.Untuk pembaharuan hukum, yakni dapat memperdalam
pengetahuan tentang hukum nasional dan dapat secra obyektif melihat kebaikan dan
kekurangan hkum nasional. Untuk menentukan asas-asas umum dari hukum (terutama bagi

3
hakim pengadilan internasional). Hal ini penting untuk menentukan the general principles of
law yang merupakan sumber penting dari public internasional.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Jelaskan pengertian perbandingan hukum pidana?

2. Jelaskan perbedaan tindak pidana Indonesia dengan beberapa negara?

3. Bagaimana perbedaan unsur-unsur pidana Indonesia dengan beberapa negara?

C. TUJUAN MAKALAH

Dengan membanding-bandingkan berbagai sistem hukum pidana dari berbagai negara maka
pengetahuan kita tentang hukum dan pranata-pranatanya akan semakin dalam dan luas. Hal ini
karena kita dapat melihat bahwa terhadap suatu problem atau kebuthan yang sama dapat dicapai
suatupenyelesaian atau problem solving yang berbeda-beda. Di samping itu dapat juga dilihat
bahwa walaupun masyarakat dan kebudayaannya berbeda-beda tetapi dapat menyelesaikan
persoalan yang sama dengan cara yang sama pula, sedang suatu masyarakat yang mempunyai
budaya yang sama mungkin dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan cara yang berbeda.
Hal ini tentulah akan memperluas cakrawala ataupun wawasan berpikir kita sekaligus
menghindarkan diri dari kepicikan dan mempunyai anggapan yang baik berupa anggapan bahwa
hukum kitalah yang terbaik (chauvinistis) dan menilai orang baik tidak baik atau
menganggapbahwa sistem kita tidak baik dibandingkan dengan sistem hukum negara lain (rasa
rendah diri). Selanjutnya dengan perbandingan hukum dapat ditingkatkan kualitas pendidikan
hukum. Para sarjana hukum akan mempunyai legalr reasoning tentang suatu lembaga hukum
yang ada, di samping itu juga degan perbandingan hukum ini akan menimbulkan banyak
inspirasi atas berbagai hal yang sekaligus merupakan usaha dan sumbangan yang berharga bagi
perkembangan ilmu hukum pidana yang nantinya dapat berguna dalam praktek.

4
BAB II
PEMBAHASAN

PERBANDINGAN PENANGANAN KEKERASAN DALAM


RUMAH TANGGA (KDRT) DI INDONESIA DAN SINGAPURA

A. PENGERTIAN

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terdadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secarara fisik, seksual,
psikologis dan / atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum, dalam
lingkup rumah tangga meliputi, suami, istri dan anakanak dan orang-orang yang
mempunyai hubungan keluarga dengan orang tersebut di atas karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga, atau
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Sesuai hasil Konvensi Sedunia tentang Hak Asasi manusia di Vienna tahun 1993
mengemukakan bahwa hak perempuan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang
bersifat universal, kemudian tahun 1994 Konvensi Internasional tentang Kependudukan dan
Pembangunan (ICPD) di Kairo meletakan dasar bagi rekomendasi yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi perempuan dan Tahun 1995 Konvensi Perempuan Sedunia ke-1V di
Biejing menyebutkan” Perempuan dan Kesehatan”. Konvensi Internasional tersebut telah
mendorong negara Indonesia dengan Singapura meratifikasi hasil konvensi itu dengan
lahirnya Undang Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga di Indonesia. Sedangkan pada waktu yang bersamaan di Singapura Tahun
2004 telah dilakukan Amandemen Kontitusi pada pasal 9 dalam Undang-Undang Singapura
yang tujuannya untuk meningkatkan posisi dan Hak-Hak perempuan di Singapura.

5
Pelaksanaan penanganan Kekerasan dalam keluarga di Singapura memiliki kesamaan
dengan Indonesia antara lain dengan meratifikasi kesepakatan Internasional didalam
UUKDRT. Sedangkan perbedaannya dalam hal implementasi UUKDRT. Implementasi
UUKDRT sudah lebih baik di Singapura,antara lain dengan disediakan akses melalui vidio
Remote Konferensi. Selain itu, diSingapura diadakan pertemuan berkala tahunan dan 75 %
korban sudah dapat melaporkan kasus kekerasan terhadap penegak hukum.

B. TINDAK PIDANA

Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana
penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15
juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh
suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya
adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5
juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).
Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor Tangerang, Depok
dan Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun
6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal
UU No. 23 tahun 2004 diantaranya pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak
penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri; pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik;
pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan
Pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan
terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan
menggunakan pasal-pasal KUHP (pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 & 335 untuk kasus
penganiayaan anak dan perkosaan anak); pasal 81 & 82 UU No. 23 tahun 2002 dan pasal
287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang
menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur
dalam UU Penghapusan KDRT ini.

6
C. UNSUR UNSUR PIDANA

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu
sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak pidana, yaitu:
1. Unsur Subjektif

Unsur-unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku atau yang
dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud pada suatu percobaan atau poging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1
KUHP.
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.

2. Unsur Objektif

Unsur-unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya


dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu
harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid.

2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan seorang pegawai negeri” di dalam


kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP.
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
7
Sistem Hukum Filipina

UUD 1973 menetapkan bentuk pemerintahan parlementer dan menggabung-kan


kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kepala pemerintahan, Perdana Menteri, dipilih oleh
mayoritas anggota Majelis Nasional di antara mereka sendiri dan dapat diberhentikan dengan
memilih penggantinya. Di lain pihak, Perdana Menteri mempunyai kekuasaan untuk
memberikan pendapat kepada Presiden untuk membubarkan Majelis Nasional dan mengadakan
pemilihan umum.
Bentuk pemerintahan parlementer ini tidak pernah dijalankan. Pasal-pasal peralihan dalam
UUD 1973 itu, yang menetapkan peralihan dari bentuk pemerintahan presidensial ke sistem
parlementer, telah menjadikan keputusan, dekrit, dan tindakan presiden sebagai bagian dari
hukum darat dan sekaligus memberikan kekuasaan kepada presiden untuk mengundang Majelis
Nasional yang tidak pernah diefektifkan. Namun melalui sejumlah amandemen UUD pada bulan
Oktober 1976, kekuasaan pejabat presiden dipertahankan dan ditingkatkan serta Batasang
Pambansa Sementara (Parlemen Sementara) dibentuk, dan memiliki kekuasaan yang sama
dengan badan legislatif biasa. Dalam Amandemen No.3, kekuasaan Presiden dan Perdana
Menteri digabungkan ke dalam jabatan Presiden saat itu (Ferdinand E. Marcos), yang segera
menjadi anggota Batasang Pambansa Sementara. Berkat semua amandemen ini, ia menduduki
jabatan Presiden dan Perdana Menteri, yang direncanakan hanya berlangsung selama masa
transisi atau sampai para anggota parlemen terpilih. Di bawah Amandemen No.6, Presiden juga
diberi wewenang untuk tetap menjalankan kekuasaan legislatif sampai "keadaan darurat/bahaya"
dicabut. Jika menurut penilaiannya masih ada keadaan bahaya atau ancaman, atau kapan saja
Batasan Pembansa Sementara atau Majelis Nasional hasil pemilu gagaI atau tidak mampu
menjalankan tugas dengan baik karena alasan apapun yang menurut penilaiannya memerlukan
tindakan segera, maka untuk memenuhi tuntutan itu ia dapat mengeluarkan dekrit, perintah atau
instruksi yang akan menjadi bagian dari hukum darat.

Amandemen No. 7 juga menetapkan kelangsungan barangnya (kelompok politik


terkecil) dan sanggunian (dewan) serta pelaksanaan referendum untuk mengetahui kehendak
rakyat mengenai masalah- masalah penting, apakah kepentingan nasional atau daerah.

Pada 7 April 1978, 160 wakil daerah yang terbagi di antara 13 daerah dipilih untuk
menjadi Batasang Pambansa Sementara, sedangkan 14 anggota yang mewakili golongan

8
pemuda, pertanian, buruh dan buruh industri diangkat 27 April 1978. Batasang Sementara
bersidang 12 Juni 1978 dengan seluruh anggota 192 orang.

UUD 1973 akhirnya di amandemen pada 1980 dan 1981. Amandemen 1980 menambah
batas usia pensiun hakim MA dari 65 tahun menjadi 70 tahun. Amandemen 1981
memperkenalkan bentuk sistem presidensial/parlementer yang dimodifikasi. Presiden, sebagai
kepala negara dan pemerintahan, secara langsung dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan 6
tahun. Juga ada seorang Perdana Menteri yang dipilih oleh mayoritas Batasang Pambansa atas
usulan Presiden. Ia adalah kepada kabinet dan mengawasi seluruh menteri. Batasang dapat
menarik kepercayaannya dari Perdana Menteri dan ia boleh mencari dukungan rakyat atas
persoalan penting dan meminta Presiden untuk membubarkan parlemen. Selain itu, ada pula
Komite Eksekutif yang ditangkap oleh Presiden, yang terdiri atas Perdana Menteri sebagai ketua
dan tidak lebih dari 14 anggota, dan sedikitnya setengah dari mereka adalah anggota Batasang
Pambansa. Komite Eksekutif bertugas membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan,
fungsi dan tugas-tugasnya. Amandemen lain 1981 menyangkut komposisi Batasang Pambansa;
kualifikasi anggotanya; masa jabatan mereka dan penetapan pemilu pertama pada tahun 1984;
perubahan sistem pemilu dengan pengakuan partai politik dan perubahan afiliasi partai politik;
serta ketentuan bahwa warga Filipina yang telah kehilangan kewarganegaraan Filipina dapat
menyerahkan tanahnya untuk kepentingan pemukiman. Menurut seorang pakar hukum tata
negara, meskipun UUD 1973 mengelompokkan kekuasaan pemerintahan ke dalam tiga bidang,
eksekutif, legislatif dan yudikatif, namun pemisahan kekuasaan tidak ditetapkan dengan baik
atau tidak dipatuhi secara ketat.

UU Darurat Perang dicabut 17 Januari 1981, dan pengadilan militer dihapus-kan oleh
Keputusan No. 2045. Pemilihan presiden dilaksanakan 16 Juni 1981 dan Presiden Marcos
terpilih kembali. Pada pidato pelantikannya pada tanggal 30 Juni 1981, ia mengumumkan
lahirnya Republik Keempat di bawah UUD baru. Pembunuhan mantan Senator Benigno S.
Aquino 21 Agustus 1983 telah memicu demonstrasi massa dan krisis ekonomi yang membuka
jalan ke arah amandemen lain dalam UUD 1973. Amandemen 1984 terdiri atas: (1) penetapan
bentuk pergantian presiden yang berbeda dan jabatan Wakil Presiden serta pembubaran Komite
Eksekutif; (2) pengangkatan perwakilan di Batasang Pambansa oleh provinsi, kota, dan oleh
kota madya di Metropolitan Manila; (3) hibah, sebagai bentuk lain penguasaan tanah umum dan
program pembaharuan agrarian dapat mencakup hibah atau pembagian tanah pemerintah kepada
penggarap, petani dan warga masyarakat yang tidak memiliki tanah; dan (4) mendorong negara

9
untuk melaksanakan reformasi pertanahan kota dan program perumahan sosial) bagi mereka
yang tidak memiliki rumah, tanah dan berpenghasilan Pada 14 Mei 1984, pemilihan
diselenggarakan untuk 183 kursi di Batasang Pambansa yang beranggotakan 200 orang. Badan
legislatif ini bersidang 23 Juli 1984. Keputusan impeachment (pemecatan) diajukan oleh 57
anggota yang menentang Presiden Marcos, tetapi keputusan ini ditolak oleh Komisi Hukum
Batasang karena bentuk dan substansinya tidak cukup untuk dipertimbangkan lebih lanjut.

Pada 3 November 1985, Presiden Marcos mengumumkan pemilihan presiden dan untuk
itu, Batasang Pambansa menetapkan 7 Februari 1986 sebagai tanggal 'pemilihan mendadak'.
Corazon C. Aquino dan Salvador H. Laurel sebagai calon presiden dan wakil presiden bersaing
melawan Presiden Marcos dan Arturo M. Tolentino. Pemilu pada tanggal 7 Februari telah
muncul sebagai pemilu paling ganjil yang pernah dilaksanakan di negeri ini karena banyak kartu
suara yang sudah diisi, penuh dengan kekerasan dan penganiayaan, dan pembelian suara dengan
10 % pemberi suara di Metropolitan Manila tidak memberikan hak suara mereka. Meskipun
masyarakat yang peduli dan bekerja melalui NAMFREL (National Movement for Free Election
= Gerakan Nasional untuk Pemilu Bebas) mempunyai bukti Aquino unggul dengan satu juta
suara, namun Batasang Pambansa menyatakan Marcos dan Tolentino sebagai pemenang.
Peristiwa- peristiwa selanjutnya menimbulkan pemberontakan Angkatan Bersenjata dan people
power selama empat hari, yang membuat Presiden Marcos angkat kaki dari Filipina 25 Februari
1986.

Ketika Corazon C. Aquino mengambil sumpah jabatan sebagai Presiden 25 Februari


1986, Ketetapan No. I dikeluarkan di mana ia menyatakan bahwa ia dan Wakil Presiden
memegang kekuasaan atas nama dan menurut kehendak rakyat Filipina atas dasar kedaulatan
rakyat yang diungkapkan dalam pemilu 7 Februari 1986. Pemerintahan baru berkuasa tidak
sesuai dengan prosedur yang digariskan dalam UUD 1973, tetapi sebagaimana dinyatakan dalam
pembukaan Ketetapan No. 3 yang menyatakan bahwa "pemerintah baru" ini dilantik melalui
penggunaan langsung kekuasaan rakyat Filipina yang dibantu oleh unit-unit Angkatan
Bersenjata Filipina dan tindakan heroik rakyat ini dilakukan dengan menentang ketentuan-
ketentuan UUD 1973. UUD Sementara dikenal sebagai UUD Kebebasan. Oi bawah UUD
Sementara ini, semua undang- undang, keputusan, ketetapan, instruksi dan ketentuan eksekutif
lain yang ada tetap berlaku hingga diubah atau dicabut oleh Presiden atau hingga badan legislatif
terbentuk di bawah UUD baru. Presiden terus menjalankan kekuasaan legislatif.

10
Menurut Pasal V UUD Sementara, Komisi Konstitusi dibentuk menurut Ketetapan No.9,
yang terdiri atas 48 anggota dengan tugas menyusun UUD dalam waktu yang singkat dan sesuai
dengan kebutuhan untuk mempercepat kembalinya pemerintah konstitusional yang normal.
Setelah 133 hari kerja dengan suara 45 berbanding 2, UUD baru yang diusulkan dan terdiri atas
pembukaan, 18 pasal dan 321 ayat, diserahkan kepada Presiden 15 Oktober 1986. UUD ini
disahkan oleh rakyat dalam sebuah plebisit yang diselenggarakan 2 Februari 1987. Presiden dan
Wakil Presiden yang dipilih 7 Februari 1986 memiliki masa jabatan selama enam tahun dan
harus menyelenggarakan pemilu 30 Juni 1992 menurut ketentuan peralihan. Pejabat Presiden
tetap menjalankan kekuasaan legislatif hingga Kongres pertama terbentuk dan bersidang.
Meskipun terjadi beberapa kudeta, Presiden Aquino mampu menyelesaikan masa jabatannya di
bawah UUD 1987. Pemilu diselenggarakan 11 Mei 1992 dan Fidel V. Ramos terpilih sebagai
Presiden.

a. Hukum Pidana Indonesia

Sistem Hukum Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum
Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa kontinental atau Civil Law, khususnya dari Belanda karena aspek
sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda
(Nederlandsch-indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut
Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan,
kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang
merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada
di wilayah Nusantara.

Berdasarkan isinya, hukum Indonesia dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum sipil (privat)
dan hukum publik. Hukum sipil adalah hukum yang mengatur hubungan orang perorang,
sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan warga
negaranya.
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana yang berlaku di
Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian terbesar dari
aturan-aturannya telah disusun menurut suatu sistem yang tertentu dalam satu kitab undang-
undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Aturan-
aturan pidana yang ada di luar wetboek ini, semuanya tunduk kepada sistem yang dipakai dalam
KUHP, hal mana dinyatakan dalam Pasal 103 KUHP, yang berbunyi: “Ketentuan-ketentuan
11
dalam Bab I sampai dengan Bab VIII dari buku ke-1 (aturan-aturan umum), juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh aturan-aturan dalam perundangan lain diancam dengan pidana,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang”.

KUHP terdiri atas tiga buku. Buku I memuat ketentuan-ketentuan umum (algemene
leerstukken), yaitu ketentuan-ketentuan untuk semua tindak pidana (perbuatan yang pembuatnya
dapat dikenai hukuman pidana atau strafbare feiten), baik yang disebutkan dalam Buku II dan
Buku III maupun yang disebutkan dalam undang-undang lain. Buku II menyebutkan tindak-
tindak pidana yang dinamakan misdrijven atau kejahatan. Sedangkan Buku III menyebutkan
tindak-tindak pidana yang dinamakan overtredingen atau pelanggaran.

Jenis pidana yang ada dalam KUHP adalah :

1. Pidana pokok :
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
e. Pidana tutupan
2. Pidana tambahan :
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim

Hukum Pidana Filipina Sistem hukum Filipina merupakan sistem hukum yang unik
dikarenakan sistem hukumnya terdiri dari Civil Law (Spanyol), Common Law
(AngloAmerican), Muslim (Islamic) Law dan Hukum Adat. Kodifikasi adalah yang utama di
negara-negara yang menganut sistem hukum Civil Law. Spanyol adalah sebuah Negara yang
menganut Civil Law, memperkenalkan praktek kodifikasi pada Filipina sebagai Negara yang
dijajahnya. Saat itu Kitab undang-undang yang diterapkan oleh Spanyol di Filipina adalah Civil
Code (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Penal Code (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana). Praktek Kodifikasi tetap digunakan selama periode pendudukan Amerika meskipun
Amerika adalah Negara yang menggunakan Common Law.

Ada dua sumber utama hukum di Filipina, yaitu :

12
1. Undang-undang, yang merupakan hukum tertulis sebagai produk kebijakan dari
legislatif. Undang-undang dibuat atau ditulis sesuai dengan format atau hukum yang
dibuat oleh Kongres. Secara umum ada 2 tipe Undang-undang yaitu Konstitusi dan
Undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Hal ini juga mencakup; perjanjian-
perjanjian, undang-undang, kebijakan tertulis legislatif, piagam daerah, peraturan daerah,
peraturan-peraturan pengadilan dan peraturan presiden.
2. Yurisprudensi, adalah putusan-putusan kasus terdahulu atau opini tertulis yang dibuat
oleh pengadilan atau orang-orang yang menjalankan fungsi peradilan. Yang termasuk
dalam yurisprudensi adalah semua peraturan yang dihasilkan badan administratif dan
legislatif semisal keputusan-keputusan yang dibuat oleh Presiden atau Senat atau Kantor
Pengadilan Pemilihan Umum. Untuk warga Negara yang beragama Islam (muslim),
sumber utama hukum adalah Shariah (Al Quran), Sunnaqh, Ijma dan Qiyas.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Filipina yang berlaku saat ini adalah Perubahan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Filipina – Revised Penal Code (RPC). Kitab ini disahkan
pada tahun 1930 dan diberlakukan efektif sejak 1 Januari 1932. Perubahan tersebut terdiri dari 2
bagian, yaitu Buku Pertama berisi Ketentuan Umum untuk pelaksanaan hukum dan prinsip-
prinsip umum hukum pidana. Buku ini mendefinisikan tentang tindak pidana kejahatan dan
keadaan tidak cakap melakukan tindak pidana, alasan pembenar dan alasan pemaaf, mengurangi
atau memperburuk pertanggungjawaban pidana, dan mendefinisikan klasifikasi, masa waktu
ancaman sanksi pidana dan akibat dari saksi pidana.

Buku kedua mendefinisikan kejahatan secara spesifik dan ancaman pidana terhadap
masing-masing kejahatan tersebut. Kejahatan diklasifikasikan ke dalam kejahatan terhadap
keamanan negara (seperti pengkhianatan, mata-mata dan pembajakan), kejahatan terhadap
hukum fundamental negara (pemberontakan, kudeta, penghasutan dan pembangkangan publik),
kejahatan terhadap kepentingan publik (pemalsuan uang dan pemalsuan dokumen), kejahatan
asusila, kejahatan yang dilakukan pegawai pemerintah, kejahatan terhadap perorangan
(pembunuhan, penganiayaan, perkosaan), kejahatan terhadap keamanan (penculikan), kejahatan
terhadap barang-barang (pencurian), dan lainnya. Kejahatan yang disebabkan kelalaian juga
diatur dalam Perubahan KUHP tersebut. RPC ini merupakan pelengkap undang-undang khusus,
jadi mirip dengan ketentuan Pasal 103 KUHP Indonesia.

Pada Titel Pendahuluan, diatur tentang berlakunya RPC. Sebagaimana berlakunya


KUHP Indonesia, maka dalam RPC juga menganut asas teritorialitas dan personalitas. Pada
13
Titel Tiga diatur tentang asas legalitas dan menyatakan bahwa hukum pidana berlaku surut
sepanjang menguntungkan terdakwa. Ditentukan pula dalam RPC bahwa kitab ini merupakan
pelengkap undang-undang khusus yang mengatur hukum pidana di Filipina.

Diperinci bahwa delik (peristiwa/ tindak pidana) tetap dianggap terjadi meskipun akibat
suatu perbuatan lain daripada yang dimaksud. Kejahatan dibagi atas kejahatan berat, cukup berat
dan ringan. Perbedaan terjadi dalam hal pidananya, yaitu pidana mati dan yang menimbulkan
penderitaan lahir batin bagi kejahatan berat, pidana koreksi dan penahanan ringan (arresto
menor) bagi kejahatan cukup berat, dan pidana denda bagi kejahatan ringan.

Jenis-jenis pidana Filipina sangat berbeda dengan jenis pidana Indonesia. Jenis pidana
dalam RPC dibagi atas :

1. Pidana mati
2. Pidana afliktif (dapat disejajarkan pidana pokok yang berat) :
a. Reclusion perpetua (pengasingan tetap/ pidana seumur hidup)
b. Reclusion temporal (pengasingan sementara)
c. Diskualifikasi mutlak secara tetap atau sementara
d. Diskualifikasi khusus secara tetap atau sementara Prison mayor (pidana penjara
berat)

3. Pidana yang bersifat koreksi (correctional penalties) :


a. Prison correctional (penjara koreksi)
b. Arresto mayor (pidana penahanan berat)
c. Suspension (skorsing)
d. Destierro (pidana tidak boleh memasuki suatu tempat, menurut radius tertentu)
4. Pidana ringan :
a. Arresto menor (pidana penahanan ringan)
b. Public censure (pencelaan di muka umum)
5. Pidana yang umumnya menyertai pidana tersebut terdahulu :
a. Pidana denda
b. Kewajiban memelihara ketertiban/ perdamaian
6. Pidana tambahan :
a. Diskualifikasi mutlak secara tetap atau sementara
b. Diskualifikasi khusus secara tetap atau sementara
14
c. Skorsing dari jabatan pemerintahan, hak memilih dan dipilih, profesi atau panggilan
(untuk menduduki suatu profesi)
d. Larangan perdata (civil interdiction)
e. Ganti kerugian
f. Penyitaan instrumen-instrumen dan uang yang diperoleh dari hasil kejahatan/
pelanggaran
g. Pembayaran biaya perkara

Meskipun banyak perbedaan dengan jenis pidana Indonesia, namun pada prakteknya
banyak persamaan yaitu pidana penjara, denda, pencabutan hak dan sebagainya. Pada
ketentuan pidana pengasingan tetap, akan diampuni setelah melewati masa 30 tahun, kecuali
dalam hal-hal tertentu.

Berakhirnya pertanggungjawaban pidana disebutkan dalam Titel Empat RPC yang


menyatakan bahwa, pertanggungjawaban pidana berakhir apabila :

1. Meninggalnya terpidana
2. Dijalankannya pidana
3. Dengan amnesti
4. Dengan pengampunan mutlak
5. Dengan penentuan kejahatan
6. Dengan penentuan pidana
7. Dengan kawinnya perempuan yang diserang

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA


MALAYSIA TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN

Suatu aturan tentang hukum pidana harus diatur sesuai dengan beberapa aspek yang
menjadi fundamental atau fondasi dan platform dalam suatu produk hukum dan aspek
tersebut terdiri dari aspek sosiologis, aspek filosofis, aspek yuridis, kemudian antara
aspek yang satu itu dengan aspek yang lainnya harus berkesinambungan dan berkaitan
satu sama lainnya. pemerintah atau penegak hukum seharusnya membuat serta
menciptakan suatu produk hukum harus berdasarkan ketiga aspek tersebut agar suatu
15
tujuan hukum tercapai dengan dengan baik.

Pengaturan perkosaan di Indonesia diatur pada Pasal 285 KUHP Indonesia.


Pengaturan perkosaan di Malaysia diatur dalam Laws of Malaysia Act 574 Seksyen 375
dan Sanksi pidana terhadap tindak pidana perkosaan menurut Laws Of Malaysia Act 574
diatur lebih lanjut dalam.

Perkosaan menurut Laws of Malaysia Act 574

Seksyen 376.

A. Perbedaan Unsur-unsur Tindak Pidana Perkosaan diIndonesia dengan


Malaysia.
Setiap perbuatan pidana yang ada dalam KUHP dapat dijelaskan sesuai dengan unsur- unsur
yang terkandung didalamnya.

Laws of Malaysia Act 574 mengenai delik- delik yang berkaitan dengan tindak pidana
perkosaan.

Seksyen 375. Sanksi pidana terhadap tindak pidana perkosaan menurut Laws Of Malaysia Act
574 diatur lebih lanjut dalam.
Seksyen 376. Barangiapa melakukan perkosaan akan dijatuhi sanksi pidana penjara seumur
hidup, atau sanksi pidana penjara selama jangka yang dapat sampai sepuluh tahun, dan dapat
juga dijatuhi pidana denda, atau pidana dera”.

Unsur objektif pertama pada perkosaan yang ada pada Pasal 285 KUHP adalah perbuatan
kekerasan atau ancaman kekerasan. Didalam Pasal 89 KUHP Pidana dijelaskan bahwa mirip
dengan melakukan perbuatan kekerasan, yaitu perbuatan membuat dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya. Pasal 89 KUHP pidana adalah penjelasan pengertian melakukan kekerasan,
termasuk kedalam pengertian “dengan kekerasan” pada Pasal 285 KUHP pidana. Contohnya siA
memasukan obat tidur dengan dosis tinggi ke dalam minuman yang akan diminum siB sehingga
siB pingsan. Karena tidak pengertian “dengan kekersan” dalam pidana, maka para ahli pidana
memberikan argumentasinya tentang apaitu dengan kekerasan. Sebagai contoh menarik sembari
16
meluncurkan celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tanganya dipegang
kuat-kuat, dagunya ditekan lalu dimasukan kemauluanya si pria. Mengenai apa yang
dimaksudkan dengan ancaman kekerasan adalah membat seseorang yang diancam itu ketakutan
karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Sebagai contoh mengikat
korban dengan kata-kata mengancam bahwa jika melawan akan di bunuh dengan mengikat
korban sampai mati.
Unsur objektif kedua adalah memaksa.Yang dimaksud dengan memaksa adalah suatu
perbuatan yang memojokan seseorang hingga tiada pilihan lain yang lebih wajar baginya selain
dari padamengikuti kehendak dari si pemaksa.
Unsur objektif yang ketiga adalah seorang wanita.Korbanya adalah “seorang wanita”.
Unsur objektif yang keempat adalah wanita itu bukan istrinya atau diluar perkawinan. Dilihat
tentang hukum perkawinan, yaitu “Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”.
Unsur objektif yang ke lima adalah bersetubuh atau melakukan persetubahan dengan dirinya.
Bersetubuh atau hubungan intim artinya adalah perbuatan senggama yang diperbuat manusia,
tetapi arti lebih luas menuju yang sehubungan peserta lebih sekeda penetrasi
alatkelamin perempuan.

Indonesia penjatuhan sanksi pidana pada Pasal 285 KUHP lebih rendah yaitu paling lama dua
belas tahun pidana penjara. Sedangkan Negara Malaysia penjatuhan sanksi pidana dalam Laws
Of Malaysia Seksyen 375 sampai dengan Seksyen 376 pidana penjara lebih lama yaitu dijatuhi
pidana penjara seumur hidup serta dapat juga dijatuhi pidana denda atau dapat juga dijatuhi
pidana dera. Kalau kita lihat hanya saja pengaturan tindak pidana perkosaan dalam Laws of
Malaysia Act 574 ini lebih rinci dan kongkret(jelas).

Jenis hukuman atau sanksi pidana pada kasus perkosaan di Indonesia adalah sanksi pidana
penjara, hukuman atau sanksi penjara bagi pelaku pidana perkosaan, menurut penulis sanksi
pidana penjara saja tidak cukup dan itu masa waktu pidana penjaranya maksimum hanya sampai
dua belas tahun, Sering terjadi perdebatan di penegakan hukum Indonesia tentang penghukuman
terhadap pelaku yang melakukan pidana perkosaan

17
KUHP tidak memberikan penjelasan serta batasan unsur serta pengertian yang kongkrit
tentang perkosaan terhadap batasan umur seseorang korban tindak pidana perkosaan,batas
pengertian perkosaan.Menurut penulis aparat penegak hukum memerlukan suatu mekanisme
penafsiran terhadap makna perkosaan ini. Hakim harus menafsirkan suatu unsur tindak pidana
yang tidak jelas untuk membuat keputusan sesuai dengan fakta yang terjadi pada hukum itu
sendiri, untuk mencapai kepastian hukum.

Pengaturan tindak pidana perkosaan di Negara Malaysia lebih rinci dan lebih kongkret atau jelas
serta ada batasan unsur pengertian perkosaan. Jika dilihat dari perbandingan tersebut, terlihat
dari isi pasal atau seksyen menyebutkan permasalahan umur

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN ARAB SAUDI

Definisi

Perbandingan sistem hukum pidana di Indonesia dengan Saudi Arabia sangat berbeda.  Di
Indonesia terjadi  Pluralisme hukum yang di sebabkan  karena adanya berbagai  jenis  suku, adat
kebudayaaan, dan bahasa. Kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia menyebabkan
banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok masyarakat diterapkan dalam hal tertentu
atau saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk
individu tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku
padanya. Kendala besar dalam menghadapi pluralisme hukum adalah kepastian hukum
untuk  menegakan keadilan. Dengan demikian sistem  hukum di Indonesia  masih menganut
pluralisme hukum dan yang lebih dominan  menganut mazhab legisme  dalam penemuan hukum
pidana Indonesia.

Sedangkan sistem hukum pidana Saudi Arabia adalah hukum pidana islam tradisional
sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an, hadits, dan kitab-kitab fiqh yang materinya
mencakup hudud qisas/diyat, ta’zir dan pidana rajam sudah diganti dengan eksekusi pidana
mati.

Tindak Pidana Indonesia dan Arab Saudi

18
Kebijakan penghapusan hukuman cambuk hingga hukuman mati mulai diperkenalkan di Arab
Saudi dalam rangka mempromosikan hak asasi manusia sebagai bagian dari upaya reformasi
hukum. Jika dibandingkan dengan Arab Saudi, Indonesia bisa dibilang lebih maju dalam
penghormatan Hak Asasi Manusia, maka Indonesia saat ini harus lebih menunjukkan komitmen
dalam menaati norma HAM internasional khususnya pada penghapusan hukuman mati dan
hukuman badan. Indonesia harus menjamin hukuman mati hanya pada kejahatan paling serius
dan peluang adanya komunitasi/perbuahan hukuman bagi terpidana mati dalam deret tunggu
dan penghapusan hukuman badan di seluruh wilayah Indonesia.

Arab Saudi terkenal dengan penggunaan hukuman badan (corporal punishment) secara intensif.
Cambuk merupakan hukuman yang umum diterapkan untuk berbagai jenis kejahatan. Selain itu
terdapat pula hukuman potong anggota badan untuk kasus pencurian hingga pembunuhan dan
terorisme. Namun belakangan upaya-upaya reformasi telah diperlihatkan oleh Pemerintah Arab
Saudi. Sistem pemidanaan mulai dibenahi untuk dapat mengikuti perkembangan pemidanaan
modern yang mengutamakan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Sedangkan Indonesia diketahui telah mengadopsi berbagai instrumen HAM internasional yang
melarang penggunaan hukuman badan maupun membatasi penerapan hukuman mati seperti
Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Kovensi Anti Penyiksaan (CAT). Selain itu,
dalam kebijakan pidana mati, pemerintah Indonesia juga belum mampu memperlihatkan
komitmennya secara konsisten untuk menciptakan kebijakan hukuman mati yang sejalan dengan
penghormatan HAM. Dalam konteks penyusunan RKUHP, misalnya, hukuman mati digadang-
gadang sebagai jalan tengah dengan membuka peluang adanya mekanisme komutasi atau
pengubahan hukuman mati menjadi hukuman jenis lainnya dalam masa percobaan selama 10
tahun.

Unsur-unsur Pidana Inonesia dan Arab Saudi

setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam
unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur
subjektif dan unsur-unsur objektif (hal. 193).
 
Yang dimaksud dengan unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku
atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya, yaitu segala sesuatu
19
yang terkandung di dalam hatinya (hal. 193). Sedangkan yang dimaksud unsur objektif adalah
unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan
mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan (hal. 193)

Sedangkan Arab Saudi mempunyai 3 jenis hukum pidana Islam. Jenis itu adalah Had,
Ta’zir, dan Qisas.
a. Had
setiap tindak pidana yang bentuk sanksinya telah ditetapkan dalam Al Quran dan Hadits.
Sanksi hukum jenis ini wajib diterapkan jika syarat-syarat penetapan had terpenuhi.
Dalam kasus had, apabila vonis yang dijatuhkan hakim sudah berstatus
inkracht/berkekuatan hukum tetap, maka pemerintah/ahli waris tidak mempunyai hak
untuk memaafkan pelaku.
b. Ta’zir
Setiap tindak pidana yang tidak ditentukan sanksinya dalam Al Quran dan Hadits dan
penetapannya dilakukan oleh hakim/pemerintah berdasarkan kebijakan dan ijtihadnya
sepanjang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits demi kemaslahatan umum.
Dalam kasus ta’zir, pemerintah/hakim mempunyai wewenang untuk menentukan jenis
hukumannya. Dalam kategori ini, hakim/pemerintah dapat meringankan/memberatkan
hukuman sesuai dengan pertimbangannya.
c. Qisas
Hukuman yang diberikan kepada pelaku sesuai/sepadan dengan tindak pidana yang
dilakukan pelaku. Sanksi hukum yang diberikan kepada pelaku telah ditetapkan dalam
Al-Quran dan Hadits. Dalam kasus qisas, pihak ahli waris korban berhak untuk
memaafkan pelaku dengan pembayaran uang diyat.
Jenis tindak pidana qisas, yaitu pembunuhan sengaja dengan saksi hukum hukuman mati.
Lainnya kecelakaan lalu lintas, penyiksaan orang dan pencideraan cacat dengan hukuman
membayar diyat. setiap tindak pidana yang bentuk sanksinya telah ditetapkan dalam Al
Quran dan Hadits. Sanksi hukum jenis ini wajib diterapkan jika syarat-syarat penetapan
had terpenuhi. Dalam kasus had, apabila vonis yang dijatuhkan hakim sudah berstatus
inkracht/berkekuatan hukum tetap, maka pemerintah/ahli waris tidak mempunyai hak
untuk memaafkan pelaku.

20
PERBANDINGAN PENGATURAN SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA
KORUPSI BERDASARKAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA DAN
CHINA

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan pengaturan ancaman sanksi
pidana dalam tindak pidana korupsi berdasarkan perundang-undangan Indonesia dan China.
Perbandingan tersebut meliputi persamaan, perbedaan kelebihan dan kelemahan dari masing-
masing peraturan perundang- undangan. Penulisan hukum ini merupakan penulisan hukum
normatif yang bersifat preskriptif dengan pend cekatan perbandingan. Sumber bahan
hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan
datanya dengan studi kepustakaan dan analisis data yang digunakan adalah metode silogisme
dengan pendekatan deduktif. Berdasarkan perbandingan pengaturan ancaman sanksi pidana
dalam tindak pidana korupsi berdasarkan perundang-undangan Indonesia dan China terdapat
beberapa persamaan dan perbedaan. Dari persamaan dan perbedaan tersebut dapat diketahui
kelebihan dan kelemahan dari masing-masing peraturan perundang-undangan di Indonesia dan
China. Sehingga dari perbandingan tersebut dapat ditemukan beberapa kelebihan dari Peraturan
Perundang- undangan tentang tindak pidana korupsi di China yaitu Criminal Law Of The
People’s Republic Of China yang dapat menjadi masukan untuk pembaharuan peraturan
perundang-undangan tentang ancaman sanksi tindak pidana korupsi di Indonesia sehingga
pengaturan tentang ancaman sanksi tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi lebih baik.

a. Perbedaan penerapan tindak pidana korupsi

Untuk mengatasi tingginya angka korupsi di Indonesia, tidak hanya diperlukan usaha
preventif, namun juga usaha represif oleh pemerintah Indonesia. Perlu adanya usaha represif
untuk memberi efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi dan juga shock terapy untuk
seseorang yang bermaksud melakukan tindak pidana korupsi. Salah satu usaha yang perlu
dilakukan adalah memperbaiki pengaturan tentang ancaman sanksi pidana bagi pelaku tindak
pidana korupsi.
Menurut Barda Nawawi Arief, meningkatnya kejahatan merupakan indikasi tidak
tepatnya kebijakan dalam menetapkan sanksi pidana yang selama ini ditempuh. (Barda
Nawawi Arief, 2000 : 4). Pemberian pidana sebagai bagian dari masalah mekanisme
penegakan hukum pidana, erat kaitannya dengan masalah kebijakan menanggulangi tindak

21
pidana.
Pengaturan ancaman sanksi pidana yang tidak tepat dalam pemberantasan tndak pidana
korupsi merupakan salah satu penyebab semakin meningkatnya angka tindak pidana korupsi
karena vonis yang dijatuhkan danggap belum dapat memberi efek jera bagi pelaku. Tren vonis
pada Semester I 2016 vonis hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus tindak pidana
korupsi didominasi oleh kategori ringan (1-4 tahun) mencapai angka 71,6%, sedangkan 9,6%
divonis sedang (4-10 tahun), 1,8 % mendapat vonis berat (lebih dari 10 tahun), sedangkan
untuk yang mendapat vonus bebas hingga prosentase 10%. ( Aradila Caesar, 2016: 2).
Lain halnya yang terjadi di negara China. Pada semester pertama tahun 2016, berdasarkan
data yang keluar dan bisa diakses adalah adanya ratusan kasus korupsi yang teridentifikasi
dengan rata-rata hukuman di atas 10 tahun.
(http://www.Chinafile.com/infographics/visualizing-Chinasanticorruption- campaign, diakses
tanggal 18 Februari 2017 pukul 20.00 WIB) berkat Kampanye Anti Korupsi (China’s Anti
Corruption Campaign) yang dicanangkan oleh Presiden China Xi Jinping.

Pemerintah China tidak segan-segan untuk memberi sanksi pidana berat seperti sanksi
pidana penjara 20 tahun, seumur hidup hingga pidana mati. Dari sekian banyak yang dipidana
mati, salah satu diantaranya adalah menteri perkeretaapian China Liu Zhijun yang mendapat
vonis hukuman mati karena tindak pidana korupsi. Selain itu beberapa pejabat yang pernah
dihukum mati karena kasus korupsi adalah Li Jiating (Gubernur Yunnan) dan Liu Jin Bao
(Direktur Utama Bank of China di Hongkong).
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, penelitian perbandingan hukum ini bertujuan
untuk menganalisis persamaan dan perbedaan pengaturan ancaman sanksi pidana dalam tindak
pidana korupsi berdasarkan peraturan perUndang-undangan Indonesia yaitu Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU PTPK) dan China dengan dengan
Criminal Law Of The People’s Republic Of China- nya serta kelebihan dan kelemahan
pengaturan ancaman sanksi pidana dalam tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan-
perundang-undangan Indonesia dan China.

22
PERSAMAAN
Indikato
N Indones Chin
r
o. ia a
Persama
an
1 Jenis Sanksi Pidana Pidana Pokok Pidana Pokok
- Pidana mati; - Pidana penjara
- Pidana penjara; - Pidana penjara
- Pidana denda; seumur hidup
- Pidana mati
Pidana Tambahan
- Pencabutan hak-hak Pidana Tambahan

tertentu; - Denda

- Perampasan barang- - Penyitaan


barang tertentu;
- Pengumuman putusan
hakim (Berdasarkan Pasal (Berdasarkan Pasal 33 dan
10 KUHP) Pasal 34 Criminal Law Of
The People’s Republic Of
China)
2. Perumusan Diatur per pasal Di atur berdasarkan
sanksi pidana berdasarkan kualifikasi kualifikasi tindak pidana
tindak pidana korupsi yang korupsi yang dilakukan
diatur di dalam Pasal 2, Pasal yang diatur dalam Pasal
3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, 383, Pasal 387, Pasal
23
Pasal 388A, Pasal 390, Pasal 390-
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, 1,
Pasal 12, Pasal 12A, Pasal Pasal 391, Pasal 392,
12B, Pasal 12C dan Pasal 13 Pasal
393, Pasal 395dan Pasal
396
3 Pengaturan Diatur per pasal Di atur berdasarkan
sanksi minimal berdasarkan kualifikasi kualifikasi tindak pidana
dan sanksi tindak pidana korupsi yang korupsi yang dilakukan
maksimal dilakukan yang diatur dalam yang diatur dalam Pasal
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 383, Pasal 387, Pasal
6, 388A, Pasal 390, Pasal 390-
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, 1,
Pasal Pasal 391, Pasal 392,
10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal Pasal
12A, Pasal 12B, Pasal 12C dan 393, Pasal 395dan Pasal
Pasal 13 396

a) Jenis ancaman sanksi pidana yang diatur sama, yaitu pidana mati, penjara, denda serta
penyitaan atau perampasan barang-barang tertentu ditambah putusan hakim seperti
pencabutan izin sebuah perusahaan. Hanya saja denda merupakan pidana pokok
seperti yang diatur di dalam Pasal 10 KUHP Indonesia, namun di dalam Criminal
Law Of The People’s Republic Of China merupakan pidana tambahan yang diatur di
dalam Pasal 34.
b) Perumusan besar sanksi pidana di dalam UU PTPK dan Criminal Law Of The
People’s Republic Of China diatur tiap pasal sesuai kualifikasi tindak pidana korupsi
yang dilakukan. Pengaturan sanksi pidana untuk suap, penggelapan, gratifikasi serta
untuk tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh koorporasi diatur secara berbeda
dengan besar sanksi yang berbeda pula dan diatur dalam Pasal yang berbeda.

Pengaturan sanksi minimal dan sanksi maksimal sama sama diatur di dalam Pasal-
Pasal UU PTPK dan Criminal Law Of The People’s Republic Of China, namun ada
beberapa Pasal yang tidak menerapkan sanksi minimum yaitu Pasal Pasal 12A yang

24
mengatur tentang gratifikasi yang bernilai Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), Pasal 13
tentang gratifikasi kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara dan Pasal 24
tentang pelanggaran yang dilakukan oleh saksi dan orang lain yang bersangkutan
dengan korupsi, serta beberapa Pasal di dalam Criminal Law Of The People’s
Republic Of China yang mengatur tentang ancaman sanksi pidana pada klasifikasi
sanksi pidana paling rendah. Maka dari itu bisa diasumsikan jika Pasal yang tidak
menerapkan sanksi minimum maka akan kembali ke aturan pokok, yaitu paling
sedikit satu hari menurut Pasal 12 ayat (2) KUHP atau paling sedikit 6 (enam) bulan
menurut

Pasal 44 Criminal Law Of The People’s Republic Of China.

PERBEDAAN

N Indikator Indonesia China


o. Pembeda
1 Akumulasi Tidak Diatur Diatur di dalam Pasal 383
. Jumlah Kerugian
dari Tindak
Pidana Korupsi
2 Klasifikasi Besar Diatur di dalam Pasal 12 Semua aspek dalam tindak
. Ancaman Sanksi A pidana korupsi
3 Besar ancaman Ancaman sanksi Ancaman sanksi antara
. sanksi pemberi dan antara pemberi dan pemberi dan penerima suap
penerima suap penerima suap besarnya besarnya berbeda, untuk
sama, diatur di dalam penerima suap diatur di
Pasal 5, Pasal 6 dan dalam Pasal 383, Pasal 386,
Pasal 7 Pasal 388A, sedangkan untuk
pemberi suap diatur di
dalam Pasal 389, Pasal 390
dan
Pasal 390-1
4 Sanksi untuk Tidak datur di dalam Diatur di luar bab tentang
. perusahaan UU PTPK, namun secara korupsi, namun masih dalam
Swasta eksplisit dalam KUHP satu UU, yakni dalam Pasal
25
Pasal 374 164, 183 dan
271.
5 Pengaturan Sama rata untuk tiap-tiap Besar sanksi minimal
. Sanksi Minimal jenis tindak pidana berdasarkan pada besar
korupsi kerugian yang disebabkan
6 Ancaman Disebabkan oleh Dijatuhkan karena tingkat
. Sanksi Pidana keadaan tertentu yang kerugian yang ditimbulkan
Mati diatur di dalam Pasal 2 pada kalsifikasi kerugian
ayat (2) paling tinggi, diatur di dalam
Pasal 383, Pasal 386 dan
Pasal 394
7 Penundaan Tidak Diatur Diatur dengan sebab tertentu
. Penjatuhan Sanksi di dalam Pasal 383
Pidana Mati
8 Ancaman Menjadi sanksi Dijatuhkan karena
. Sanksi Pidana maksimum yang diatur ti ngkat kerugian yang
Penjara dalam Pasal 2, Pasal 3, ditimbulkan, diatur di dalam
Seumur Hidup Pasal 12 dan Pasal 12B Pasal 383, Pasal 384,
Pasal 386, Pasal 390, Pasal
393
dan Pasal 394
9 Ancaman sanksi Diatur secara rinci di Hanya menyebutkan
. pidana berdasarkan dalam Pasal 5, Pasal 6, tentang Pejabat Negara dan
Klasifikasi Pelaku Pasal 7, dan karyawan swasta yang diatur
Pasal 12 . dalam Bab di luar Bab VIII
tentang Penggelapan dan
Suap
1 Keadaan jika Diajukan gugatan Tidak diatur
0. tersangka perdata terhadap ahi
meninggal sebelum waris, diatur dalam Pasal
ada putusan 33 dan Pasal 34

N Indikator Indonesia Chi

26
o. Pembeda na
1 Alasan Diatur pada kasus Diatur secara berbeda di
1. penghapus gratifikasi yang diatur di dalam Pasal 383, Pasal 389
ancaman sanksi dalam Pasal 12 C dan Pasal
pidana 392.
1 Pemberian Diatur di dalam Pasal 4 Diatur secara berbeda di
2. Keringanan Sanksi dalam Pasal 383 dan Pasal
392
1 Pengaturan Tidak diatur Diatur di dalam Pasal 388 A
3 Pemanfaatan dan Pasal 390-1
Jabatan Pejabat
Negara Oleh
Kerabat

a) Criminal Law Of The People’s Republic Of China mengatur tentang akumulasi dari
jumlah uang yang dikorupsi oleh pelaku tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam
Pasal 383 yang menyebutkan bahwa jika tindak pidana korupsi dilakukan berkali-
kali, maka jumlah uang yang dikorupsi akan diakumulasikan dari jumlah keseluruhan
dari kerugian yang disebabkan oleh pelaku, sehingga dari jumlah yang dihasilkan
tersebut maka akan ditentukan sanksi pidana yang sesuai sesuai klasifikasi dari besar
kerugian yang ditimbulkan. Aturan ini berlaku untuk semua jenis tindak korupsi baik
penggelapan , suap maupun tindak pidana korupsi yang lain. Hal ini tidak diatur
dalam UU PTPK di Indonesia, ancaman sanksi pidana sesuai dengan kualifikasi
tindak pidana korupsi yang hanya diatur tentang sanksi minimum dan sanksi
maksimum.
b) Pembagian klasifikasi besar ancaman sanksi sesuai jumlah uang yang dikorupsi dan
kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi diatur secara berbeda. Di dalam
UU PTPK di Indonesia pembagian klasifikasi besar hanya diatur di dalam Pasal 12 A,
yaitu bagi pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi dengan nilai kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah). Namun di dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China diatur
dengan pembagian klasifikasi besar ancaman sanksi diatur tiap Pasal yang mengatur

27
ancaman sanksi pidana tindak pidana korupsi,yaitu Pasal 383, Pasal 388A, Pasal
390,Pasal 390-1, Pasal 395 dan Pasal 396. Contoh klasifikasi pembagian besar
ancaman sanksi untuk suap dan penggelapan yang ada di Pasal 383 yaitu jika jumlah
kerugian relatif besar, maka sanksi pidannaya adalah maksimal 3 (tiga) tahun penjara
disertai denda, jika jumlah kerugian besar, maka sanksi pidananya adalah minimal 3
(tiga) tahun penjara dan maksimal 10 (sepuluh) tahun penjaradisertai denda atau
penyitaan. Jika jumlah kerugian sangat besar, sanksi pidannaya adalah minimal 10
(sepuluh) tahun dan maksimal seumur hidup disertai denda atau penyitaan. Jika
jumlah kerugian sangat besar dan negara serta masyarakat juga ikut menanggung
kerugian maka sanksi pidannaya adalah penjaraseumur hidup hingga hukuman mati
disertai penyitaan.
c) Besar ancaman sanksi pidana untuk pemberi dan penerima suap di dalam UU PTPK
diatur sama antara pemberi dan penerima seperti yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 6
dan Pasal 7. Seperti contohnya di dalam Pasal 5 ancaman sanksi pidana untuk pemberi
suap kepada pegawai negeri dan penyelenggara sekaligus bagi yang menerima suap
tersebut adalah pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah. Begitu pula
yang diatur di dalam Pasal 6 yang mengatur suap kepada hakim atau advokat namun
dengan ancaman sanksi yang lebih besar yaitu pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah. Namun di dalam Criminal Law
Of The People’s Republic Of China pengaturan ancaman sanksi pidana untuk pemberi
dan penerima suap diatur secara berbeda.

Ancaman sanksi pidana untuk penerima suap lebih ringan pada klasifikasi suap tingkat
pertama seperti yang diatur dalam Pasal 383, Pasal 386 Pasal 388, dan Pasal 388 A.
dibandingkan dengan pemberi suap diatur secara berbeda di dalam Pasal 389, Pasal
390 Pasal 390-1. Besar ancaman sanksi pemberi suap pada klasifikasi tingkat pertama
adalah pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun disertai denda seperti yang diatur di
dalam Pasal 390. Namun untuk penerima suap pada klasifikasi tingkat pertama adalah
maksimal 3 (tiga tahun) sesuai di dalam Pasal 383.
a) UU PTPK tidak mengatur tentang korupsi yang dilakukan perusahaan swasta,
28
namun secara eksplisit diatur dalam Pasal 374 KUHP yang berbunyi “Penggelapan
yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan
karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.” Korupsi di
perusahaan swasta diatur dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China.
Walaupun tidak tidak diatur di dalam Bab VIII tentang Penggelapan dan Suap,
namun di dalam Bab yang berbeda, yakni Bab III Bagian Ketiga Pasal 164, Pasal
183 dan Bab V Pasal 271. Pasal 164 mengatur pemberian sejumlah uang atau
barang/properti kepada staff sebuah perusaahaan dengan tujuan memperoleh
keuntungan secara tidak sah dengan ancaman sanksi pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun disertai dengan denda. Jika jumlah suap tersebut besar maka sanksinya
lebih berat, yakni antara 3 (tiga) hingga 10 (sepuluh) tahun . Pasal 183 mengatur
tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan di dalam perusahaan asuransi dengan
ancaman sanksi seperti yang diatur di dalam Pasal 271,dan Pasal 271 mengatur
tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan di sebuah perusahaan swasta dengan
ancaman sanksi pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun, dan jika jumlah dana yang
dikorupsi lebih besar maka sanksinya lebih besar, yakni antara 5 (lima) hingga 10
(sepuluh) tahun disertai penyitaan.
b) Pengaturan sanksi minimal di dalam UU PTPK di Indonesia diatur secara sama rata
berdasarkan masing-masing jenis tindak pidana korupsi. Berbeda halnya dengan
yang diatur di dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China, besar
sanksi minimal ditentukan berdasarkan klasifikasi besar ancaman sanksi dari
jumlah kerugian yang ditimbulkan.
c) Ancaman sanksi pidana mati di dalam UU PTPK diatur di dalam Pasal 2 ayat (2).
Pidana mati dapat dijatuhkan apabila dilakukan dalam keadaan tertentu, maksudnya
adalah apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan
bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana
alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara
dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Sedangkan dalam Criminal Law Of
The People’s Republic Of China ancaman sanksi pidana mati diatur akan
dijatuhkan pada jenis tindak pidana penggelapan, suap dan gratifikasi pada
klaifikasi paling tinggi atau menimbulkan negara mengalami kerugian yang sangat
besar serta berpengaruh pada kehidupan masyarakat China. Hal ini jauh berbeda

29
pada pengaturan sebelum diamandemen pada bulan November Tahun 2015 yang
mensyaratkan ancaman sanksi pidana mati jika kerugian yang ditimbulkan
mencapai 100.000 (seratus ribu) yuan atau sekitar Rp. 194.000.000,- (seratus
sembilan pulun empat juta rupiah) .
d) UU PTPK tidak mengatur tentang penundaan sanksi pidana mati bagi terpidana
kasus tindak pidana korupsi. Namun China mengaturnya di dalam Pasal 383 yang
dijelaskan bahwa untuk terpidana mati yang dalam putusan pengadilan mendapat
penundaan sanksi pidana mati selama 2 (dua) tahun, maka setelah menjalani masa
hukuman 2 (dua) tahun maka pengadilan dapat mempertimbangkan untuk
mengganti hukuman mati dengan hukuman penjara seumur hidup dengan syarat
tidak akan diberi pembebasan bersyarat.
e) Ancaman sanksi pidana penjara seumur hidup sama-sama diatur dalam UU PTPK
dan Criminal Law Of The People’s Republic Of China di China namun dengan
ketentuan berbeda. Di UU PTPK pengaturan ancaman sanksi pidana seumur hidup
menjadi ancaman maksimum di dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 12 dan 12 B. Namun
di China pengaturan ancaman sanksi pidana seumur hidup dijatuhan berdasarkan
tingkat kerugian yang disebabkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dengan jumlah
kerugian pada tingkat tinggi, sama dengan yang diatur pada tingkatan klasifikasi
dengan ancaman sanksi pidana mati.
f) Ancaman sanksi pidana berdasakan klasifikasi pelaku diatur di dalam UU PTPK
secara cukup rinci. Pembagian klasifikasi pelaku diatur di dalam Pasal 5 tentang
suap kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara, Pasal 6 tentang suap kepada
hakim, Pasal 7 tentang suap dan kecurangan oleh pemborong atau ahli bangunan
serta kecurangan dalam pengadaan barang keperluan TNI dan/atau POLRI sehingga
membahayakan keselamatan perang, dan Pasal 12 tentang gratifikasi kepada
pegawai negara dan penyelenggara negara, hakim dan advokat. Sedangkan di
dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China hanya mengatur tentang
pejabat negara dan tentang korupsi yang dilakukan oleh karyawan swasta yang
diatur di luar Bab VIII tentang Penggelapan dan Suap, yakni pada Pasal 164, Pasal
183 dan Pasal 271. Pengaturan klasifikasi pelaku di dalam Criminal Law Of The
People’s Republic Of China berlaku untuk semua jenis tindak pidana korupsi.

a) UU PTPK mengatur ketentuan jika tersangka meninggal dunia sebelum ada putusan.
30
Hal ini diatur di dalam Pasal 33 dan Pasal 34 UU PTPK. Pasal 33 mengatur jika
tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik akan menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya. Dalam hal ini penunjukkan ahli waris harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Jika terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara sesuai dengan
yang diatur dalam Pasal 34, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan
berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya. Namun di dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China tidak
mengatur secara jelas jika tersangka meninggal dunia bagaimana kasus akan
diselesaikan.
b) Pengaturan tentang penghapus ancaman sanksi pidana di dalam UU PTPK hanya diatur
di dalam Pasal 12 C. Penerima gratifikasi tidak akan mendapat ancaman sanksi
pidana jika melaporkan penerimaan gratifikasi tersebut kepada KPK dalam kurun
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal gratifikasi diterima. Namun di
dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China pengaturan tentang
penghapus ancaman sanksi pidana diatur di dalam Pasal 383, Pasal 389 dan Pasal 392.
Pasal 383 paragraf ketiga mengatur bahwa jika seseorang yang melakukan tindak
pidana korupsi secara jujur mengakui perbuatannya sebelum dijatuhkannya dakwaan,
menunjukkan pertaubatan dan itikad baik serta secara langsung mengembalikan
keuntungan yang didapatkan selama melakukan tindak pidana korupsi, melakukan
suatu perbuatan yang tujuannya untuk mencegah akibat yang lebih besar pada
klasifikasi tingkat pertama maka hukuman dapat diberi keringanan atau bahkan dapat
dihapuskan. Pasal 389 mengatur bahwa adalah jika pemberi suap kepada pejabat
negara tidak mendapatkan keuntungan/manfaat seperti yang diharapkan maka tidak
akan dianggap sebagai penawaran suap. Serta Pasal 392 mengatur jika seseorang yang
mencoba mengajak seorang pejaba negara untuk melakukan suap mengakui secara
sukarela perbutaannya sebelum diadakannya penyelidikan maka hukuman yang
diberikan dapat mendapat keringanan atau bahkan dibebaskan.
c) Pengaturan tentang pemberian keringanan sanksi di dalam UU PTPK diatur di

31
dalam Pasal 4, yaitu bahwa pengembalian keuangan negara yang dihasilkan dari
tindak pidana korupsi merupakan salah satu faktor yang meringankan, namun tetap
tidak dapat mengahapuskan sanksi pidana yang diancamkan. Lain halnya yang diatur
dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China. Pengaturan tentang
pemberian keringanan sanksi di dalamnya berlaku untuk kasus tindak pida asuap dan
penggelapan. Di dalam Pasal 383 paragraf ketiga diatur bahwa jika seseorang yang
melakukan tindak pidana korupsi secara jujur mengakui perbuatannya sebelum
dijatuhkannya dakwaan, menunjukkan pertaubatan dan itikad baik serta secara
langsung mengembalikan keuntungan yang didapatkan selama melakukan tindak
pidana korupsi, melakukan suatu perbuatan yang tujuannya untuk mencegah akibat
yang lebih besar pada klasifikasi tingkat pertama maka hukuman dapat diberi
keringanan atau bahkan dapat dihapuskan, berbeda jika kerugian yang disebabkan
besar hingga sangat besar maka hanya akan mendapat keringanan. Begitu juga yang
diatur di dalam Pasal 392. Pasal 392 mengatur tentang sanksi untuk seseorang yang
memperkenalkan atau mengajak pejabat Negara untuk melakukan suap adalah
maksimal pidana penjara 3 (tiga) tahun. Namun jika orang tersebut mengakui secara
sukarela perbutaannya sebelum diadakannya penyelidikan maka hukuman yang
diberikan dapat mendapat keringanan atau bahkan dibebaskan.
d) . Di dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China diatur tentang
pemanfaatan jabatan Pejabat Negara ole kerabat yang bersangkutan. Dalam Pasal
388A mengatur bagi setiap kerabat dari pejabat negara yang memanfaatkan
kekuasaan pejabat negara tersebut

untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain dengan jumlah yang relatif besar
maka akan mendapat ancaman sanksi pidana dengan penjara maksimal 3 (tiga) tahun
penjara atau penahanan kriminal/kurungan disertai denda. Jika keadaan yang
ditimbulkan lebih serius maka sanksi pidananya diperberat dengan sanksi pidana
penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 7 (tujuh) tahun disertai denda. Begitu
juga jika kerugian yang ditimbulkan sangat serius maka sanksi pidannaya penjara
minimal 7 (tujuh) tahun diserta denda atau penyitaan. Jika dalam suatu keadaan
pejabat negara tersebut telah meningggalkan posisinya atau tidak lagi menjabat, maka
hukumannya sama seperti tersebut diatas. Selain itu, Pasal 390-1 juga mengatur
sanksi untuk pemberian suap kepada kerabat pejabat negara seperti diatur dalam Pasal
388A. Sanksi untuk pemberi suap terhadap kerabat Pejabat Negara adalah maksimal 3
32
(tiga) tahun penjara disertai denda. Jika keadaan yang ditimbulkan serius maka sanksi
pidannaya adalah antara 3(tiga) tahun hingga 7 (tujuh) tahun penjara disertai dengan
denda. Dan jika keadaan yang ditimbulkan sangat serius dan mengganggu
kepentingan nasional maka sanksi pidannaya adalah antara 7(tujuh) hingga 10
(sepuluh) tahun penjara. Jika pelakunya adalah sebuah unit atau perusahaan negara,
maka sanksinya adalah perusahaan akan mendapat denda dan orang yang bertanggung
jawab akan dikenai sanksi pidana penjara maksimal 3 (tiga) tahun penjara disertai
dengan denda. Namun di Indonesia pada UU PTPK belum diatur secaa khusus tentang
Pengaturan Pemanfaatan Jabatan Pejabat Negara Oleh Kerabat.

1. Kelebihan dan Kelemahan Ancaman Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Perundang-Undangan Indonesia

Ancaman Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Perundang-


Undangan Indonesia
Kelebihan Ke
le
m
ah
an
Klasifikasi pelaku lebih Tidak mengatur besar sanksi minimal berdasarkan
rinci klasifikasi jumlah uang
yang dikorupsi
Penyebutan besar Tidak mengatur akumulasi
Pengaturan jumlah denda rendah
denda secara jelas
Beberapa aturan multitafsir
Tidak ada pengaturan pemanfaatan jabatan pejabat

33
negara oleh kerabat
Tidak adanya pengaturan tentang korupsi di dalam
perusahaan swasta
Pengaturan ancaman sanksi pidana mati masih kurang
tegas dan rinci
Tabel 3. kelebihan dan kelemahan ancaman sanksi pidana dalam tindak pidana
korupsi berdasarkan perundang-undangan Indonesia

UU PTPK Indonesia mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan jika


dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan tentang tindka pidana korupsi di
China. Beberapa kelebihannya antara lain:
a) UU PTPK mengatur secara rinci tentang klasifikasi pelaku tindak pidana korupsi.
Diantaranya adalah pembagian per pasal untuk suap kepada PNS, hakim dan advokat
serta kecurangan yang dilakukan oleh pemborong atau ahli bangunan dan kecurangan
dalam pengadaan barang keperluan TNI dan/atau POLRI sehingga membahayakan
keselamatan perang
b) Penyebutan jumlah denda yang wajib dibayar oleh pelaku tindak pidana korupsi
disebutkan secara jelas per pasalnya. Dalam perumusannya, UU PTPK mengatur
perbandingan ancaman sanksi pidana yang sama, yaitu adanya perbandingan denda
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tiap1 (satu) tahun ancaman sanksi pidana
penjara.

Sedangkan kelemahan dari ancaman sanksi pidana dalam UU PTPK adalah sebagai berikut
a) UU PTPK tidak mengatur besar sanksi minimal berdasarkan klasifikasi jumlah uang
yang dikorupsi, baik untuk kasus penggelapan, suap ataupun gratifikasi. Sehingga hal
ini menyebabkan ancaman sanksi minimal bagi dua kasus tindak pidana korupsi yang
menyebabkan kerugian

negara dengan angka berbeda menjadi sama sesuai jenis tindak pidana korupsi yang
dilakukan. Hal ini dapat menyebabkan adanya kesamaan hukuman bagi dua kasus
tindak pidana korupsi dengan angka kerugian yang jauh berbeda jika di putus oleh
dua hakim dan pengadilan yang berbeda pula.
a) UU PTPK tidak mengatur tentang akumulasi dari jumlah uang yang dikorupsi oleh
pelaku tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pelaku akan
diancamkan dengan ancaman sanksi pidana sesuai dengan kualifikasi tindak pidana
34
korupsi yang telah dilakukan tanpa adanya klasifikasi besar sanksi. Padahal jika
diatur tentang klasifikasi besar ancaman sanksi korupsi berdasarkan jumlah yang
dikorupsi, hal tersebut membuat efek jera yang lebih bagi pelaku tindak pidana korupsi
dan sebagai rambu-rambu perngingat bagi yang ingin melakukan tindak pidana
korupsi.
b) Ancaman sanksi pidana denda yang diatur didalam UU PTPK tergolong cukup
rendah jika dibandingkan dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Dengan denda
paling banyak hanya Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), angka tersebut
tergolong rendah jika dibandingkan dengan kerugian negara yang timbul dalam kasus
tindak pidana korupsi akhir-akhir ini.
c) Ada beberapa aturan yang dinilai multi tafsir dan berpeluang menyebabkan adanya
disparitas hukuman oleh hakim seperti substansi yang terkandung di dalam Pasal 2
dan Pasal 3 UU PTPK. Hingga saat ini para ahli dan penegak hukum masih berdebat
terkait inkonsistensi Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut. Selain itu hampir adanya kemiripan
substasi di dalam Pasal 11 UU PTPK dan Pasal 12 huruf a dimana ancaman sanksi
pidana di dalam Pasal 11 lebih rendah jika dibanding di dalam Pasal 12. Ancaman
sanksi pidana dalam Pasal 11 adalah paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk
pegawai negara dan penyelenggara negara yang menerima gratifikasi, namun di
dalam Pasal 12 diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk unsur yang sama yang disebutkan pada
huruf a dan b yaitu pegawai negeri atau penyelenggara yang menerima gratifikasi.
d) UU PTPK tidak mempunyai aturan tentang kerabat pejabat negara yang
memanfaatkan jabatan seorang pejabat negara demi kepentingan pribadi. Padahal
kasus seperti ini banyak terjadi di masyarakat Indonesia mengingat maraknya
nepotisme dan sulitnya birokrasi yang ada di Indonesia.
e) Ancaman sanksi pidana bagi perusahaan swasta tidak diatur di dalam UU PTPK.
Walaupun secara eksplisit telah diatur didalam Pasal 374 KUHP, namun sebagai
regulasi utama yang mengatur tentang ancaman sanksi pidana bagi tindak pidana
korupsi terutama penggelapan, suap dan gratifikasi perlu diperbaharui untuk
35
pengaturan ancaman sanksi pidana terhadap perusahaan swasta.
f) Ancaman sanksi pidana mati di dalam UU PTPK memang sudah diatur di dalam
Pasal 2 ayat (2), namun pengaturan tersebut dinilai kurang rinci dan tegas. Bahkan
sampai saat ini belum ada sekalipun terdakwa tindak pidana korupsi yang mendapat
putusan hukuman mati. Hukuman maksimal yang pernah dijatuhkan majelis hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi hanyalah hingga penjara seuumur hidup, dan
pidana penjara 20 tahun. Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi
digolongkan sebagai kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan telah menjadi
kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes), sehingga dalam upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara cara
yang luar biasa (extra-ordinary enforcement) (Ermansyah Djaja. 2013: 28). Salah satu
cara yang luar biasa adalah menegaskan ancaman sanksi pidana mati dan
menerapkannya pada terdakwa pelaku tindak pidana korupsi.

4. Kelebihan dan Kelemahan Ancaman Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Perundang-Undangan China

Ancaman Sanksi Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Perundang-


Undangan China
Kelebihan Kelemahan

Akumulasi jumlah kerugian negara diatur secara rinci Ancaman sanksi


berdasarkan klasifi kasi
pelaku terlalu sederhana
Adanya klasifikasi besar sanksi berdasarkan jumlah Tidak menyebut angka
kerugian secara pasti di dalam
hasil korupsi klasifikasi besar sanksi.
Mengatur Korupsi di Perusahaan Swasta Tidak mengatur secara rinci
jika tersangka meninggal
dunia
36
Besar ancaman sanksi pada pemberi dan penerima
gratifikasi
dan suap berbeda
Aturan ancaman sanksi pidana mati jelas dan tegas

Adanya pengaturan pemeriksaan harta kekayaan


secara aktif oleh pemerintah
Adanya Pengaturan Pemanfaatan Jabatan Pejabat
Negara Oleh Kerabat

Tabel 4 kelebihan dan kelemahan ancaman sanksi pidana dalam tindak pidana
korupsi berdasarkan perundang-undangan China.

Kelebihan yang ada di dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China adalah:

a) Adanya klasifikasi besar sanksi berdasarkan jumlah kerugian hasil korupsi, dengan
begitu semakin besar angka yang dikorupsi maka semakin besar pula ancaman sanksi
pidananya. Hal ini tentunya memberi efek jera bagi pelaku serta bisa menjadi
peringatan bagi calon pelaku yang akan melakukan tindak pidana korupsi.
b) Adanya sistem akumulasi jumlah kerugian negara. Jika tindak pidana korupsi
dilakukan berkali- kali makan jumlah kerugian yang ditimbulkan akan
diakumulasikan seluruhnya, sehingga dari jumlah keseluruhan tersebut dapat
diterapkan klasifikasi besar sanksi sesuai akumulasi dari jumlah yang dikorupsi.
c) Adanya pengaturan korupsi di perusahaan swasta. Walaupun tidak diatur di dalam
Bab VIII yang mengatur tentang pengelapan dan suap, namun diatur di dalam Bab
lain di dalam Criminal Law Of The People’s Republic Of China, yaitu Pasal 164
tentang penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan korupsi di perusahaan swasta,
Pasal 183 tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi
swasta serta Pasal 271 yang juga mengatur ancaman sanksi pidana untuk tindak
pidana korupsi yang dilakukan di perusahaan swasta.
d) Besar ancaman sanksi pada pemberi dan penerima suap berbeda. Besar ancaman
sanksi pidana kepada pemberi suap lebih berat daripada penerima suap pada
klasifikasi suap tingkat pertama atau dengan jumlah sedikit. Hal ini tentunya
merupakan langkah yang bagus bagi pemerintah untuk mencegah seseorang untuk
37
melakukan suap
e) Adanya aturan ancaman sanksi pidana mati jelas dan tegas. Banyak pejabat
pemerintah China baik di tingkat tinggi atau rendah mendapat perlakuan yang sama
yang telah mendapat eksekusi pidana mati. Ancaman sanksi pidana mati diberikan
pada semua jenis tindak pidana korupsi mulai dari suap, penggelapan hingga
gratifikasi pada tingkat paling tinggi atau menimbulkan kerugian negara yang sangat
besar dan mempergaruhi kehidupan masyarakat. Hal ini didukung dengan tegasnya
penegakan hukum oleh pemerintah China terhadap kasus tindak pidana korupsi.
f) Adanya pengaturan pemeriksaan harta kekayaan secara aktif oleh pemerintah Di
dalam Pasal 395 disebutkan jika diketahui bahwa pengeluaran dari seorang pejabat
negara secara jelas melebihi pendapat yang diterimanya secara sah, maka pejabat
negara tersebut diwajibkan sumber dari dana yang berlebih tersebut. Jika ia gagal
menjelaskannya, maka akan ditetapkan sebagai pendapatan ilegal dan akan dikenai
sanksi pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun , dan jika selisih dana tersebut sangat
besar, maka sanksinya lebih berat yakni minimal 5 (lima) tahun dan maksimal 10
(sepuluh) tahun penjara. Selisih dana yang dicurigai sebagai pendapatan negara
tersebut harus dikembalikan kepada negara. Pejabat negara di China juga harus
melaporkan tabungannya yang ada di luar negara China. Jika melanggar ketentuan
tersebut maka akan dikenai sanksi pidana penjara maksimal 2 (dua) tahun. Langkah
pemerintah yang aktif seperti ini tentunya berdampak bagus karena dengan regulasi
tersebut pejabat negara yang melakukan korupsi semakin susah untuk
menyembunyikan harta hasil korupsinya, dan juga dengan adanya aturan tersebut
maka jumlah uang yang masuk kepada negara semakin tinggi.
a) Mengatur tentang pemanfaatan jabatan pejabat negara oleh kerabat negara yang
bersangkutan demi keuntungan pribadi yang diatur di dalam Pasal 388A dan Pasal
390-1. Tentunya ini merupakan sebuah regulasi yang bagus mengingat terkadang juga
birokrasi di administrasi pemerintahan semakin rumit. Selain itu juga mencegah
pemanfaatan kerabat negara yang memanfaatkan ketidak-tahuan orang awam untuk
kepentingan pribadi pejaba negara tersebut.

Selain beberapa kelebihan yang telah dijelaskan penulis di atas,pengaturan di dalam


Criminal Law Of The People’s Republic Of China mempunyai beberapa kelemahan
yaitu pertama pengaturan ancaman sanksi berdasarkan klasifikasi pelaku terlalu
sederhana, yaoti hanya menyebut pejabat negara tanpa menjelaskan tentang jabatan
38
yang diemban, seperti contohnya hakim atau PNS biasa. Kedua adalah tidak
menyebut angka secara pasti di dalam klasifikasi besar sanksi. Ketiga adalah tidak
mengatur secara pasti jika tersangka meninggal dunia sebelum adanya putusan dari
majelis hakim. Hal ini tentunya akan membingungkan karena tidak adanya aturan
secara pasti jika pelaku tindak pidana korupsi meinggal dunia,
pertanggungjawabannya akan dialihkan atau dibiarkan.

39
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bahwa sistem hukum pidana di Indonesia berasal dari KUHP yang berasal dari
Belanda,sedangkan  negara Saudi Arabia berasal dari ijtihad Hadits dan Al Qur’an.
Sistem peradilan Indonesia mengenal adanya upaya hukum dan Saudi Arabia tidak ada.
Sanksi pelaku dalam tindak pidana di Indonesia fleksibel dan mampu mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, karena tidak mengenal sakralitas
apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah sesuai dengan keperluan. Sedangkan
sistem hukum pidana di Saudi Arabia  harus sesuai dengan sumbernya.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terdadap seseorang


terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secarara
fisik, seksual, psikologis dan / atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum, dalam lingkup rumah tangga meliputi, suami, istri dan anakanak dan orang-
orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang tersebut di atas karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap
dalam rumah tangga, atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut.

Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak
pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindak
pidana, yaitu:
b. Unsur subjektif
c. Unsur objektif

Pengaturan perkosaan di Indonesia diatur pada Pasal 285 KUHP Indonesia.


Pengaturan perkosaan di Malaysia diatur dalam Laws of Malaysia Act 574 Seksyen 375
dan Sanksi pidana terhadap tindak pidana perkosaan menurut Laws Of Malaysia Act 574
diatur lebih lanjut dalam.

40
Perbandingan sistem hukum pidana di Indonesia dengan Saudi Arabia sangat
berbeda.  Di Indonesia terjadi  Pluralisme hukum yang di sebabkan  karena adanya
berbagai  jenis  suku, adat kebudayaaan, dan bahasa. Kondisi pluralisme hukum yang ada
di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam kelompok
masyarakat diterapkan dalam hal tertentu atau saat terjadi konflik, sehingga ada
kebingungan hukum yang manakah yang berlaku untuk individu tertentu dan bagaimana
seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya. Kendala besar dalam
menghadapi pluralisme hukum adalah kepastian hukum untuk  menegakan keadilan.
Dengan demikian sistem  hukum di Indonesia  masih menganut pluralisme hukum dan
yang lebih dominan  menganut mazhab legisme   dalam penemuan hukum pidana
Indonesia.

Sedangkan sistem hukum pidana Saudi Arabia adalah hukum pidana islam
tradisional sebagaimana terdapat dalam Al Qur’an, hadits, dan kitab-kitab fiqh yang
materinya mencakup hudud qisas/diyat, ta’zir dan pidana rajam sudah diganti dengan
eksekusi pidana mati.

B. SARAN
Menyadari bahwa materi ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Maka
kedepannya pemateri akan lebih fokus dan lebih detail dalam memaparkan materi di atas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung
jawabkan. Oleh karenanya, kritik dan saran yang membangun sangat membantu dalam
penyempurnaan materi makalah ini.

41
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Jur Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Edisi Kedua Sinar Grafika,
Jakarta : 2008).

Prof. Moeljatno, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit Bumi Aksara.

Jurnal prof. Prof. Erman Radjaguguk, SH,LLM,Ph.D.  Pluralisme Hukum Harus di akui.

http://www.scribd.com/doc/19428999/Sistem-Peradilan-Dalam-Islam
https://bunghatta.ac.id/artikel-226-tindak-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html,diakses

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4266/menggugat-adik-ipar/,diakses

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5236f79d8e4b4/mengenal-unsur-tindak-
pidana-dan-syarat-pemenuhannya/,diakses

- Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ketiga, (Bandung: Refika
Aditama, 2003)

- Milagros Santos-Ong, Philippine Legal Research, dalam http:\\GlobaLex.com, akses 17


September 2018

- Milagros Santos-Ong, Philippine Legal Research, dalam http:\\GlobaLex.com, akses 17


September 2014

- Andi Hamzah, KUHP Filipina sebagai Perbandingan, ctk. 1, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987),
hlm. 37

- Kelly E. Hyland, The Impact of the Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
Persons, Especially Woman and Children, 8 Hum. Rts. Br, 30, 2001, dalam
http:\\www.westlaw.com,

Refri M Rikky, “Perbandigan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum pidana Malaysia Tentang
Tindak Pidana Pemerkosaan “,Universitas Bung Hatta: 2020
Https://
42

Anda mungkin juga menyukai