Anda di halaman 1dari 23

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA INGGRIS DENGAN

INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Hukum Tata Negara
Dosen Pengampu : Cholida Hanum, M.H.

Disusun Oleh :

Pitri 33030200054
Nur Syifa Setiawan 33030200074
Sindi Fernanda Putri 33030200126

HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat, Tufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.Sholawat serta salam tak lupa kita
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan
dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan


Hukum Tata Negara dan juga untuk khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu
pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat.

Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal
mungkin.Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu
tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu
kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik saran dan pesan dari semua yang
membaca makalah ini terutama Dosen Mata Kuliah Perbandingan Hukum Tata
Negara yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.

Wassalamualaikum Wr.Wb

Salatiga,10 Juni 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA INGGRIS DENGAN INDONESIA . 1


KATA PENGANTAR ................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB 1 ........................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................ 2
BAB II ........................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 3
A. SISTEM HUKUM DI INDOESIA DAN INGGRIS.......................................... 3
B. Bentuk Konstitusi dan Sumber Hukum Negara Indonesia dan Inggris ............. 4
C. BENTUK PEMERINTAHAN INDONESIA DAN INGGRIS ......................... 6
D. Kedudukan perundang undangan di Inggris dan indonesia ............................... 7
E. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara di Inggris dan
Indonesia ................................................................................................................... 9
1. Inggris ............................................................................................................. 9
2. Indonesia ...................................................................................................... 11
F. Pemilihan Umum di Indonesia dan Inggris ...................................................... 15
BAB III ....................................................................................................................... 18
PENUTUP ................................................................................................................... 18
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 18
B. Saran ................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 19

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbandingan hukum tata negara dalam bahasa Perancis disebut dengan
La Methode Compare, Sri Soemantri Martosoewigyo memberi keterangan
bahwa perbandingan hukum tata negara adalah suatu cabang ilmu dari ilmu
hukum dengan menggunakan metode perbandingan sebagai metode
membandingkan beberapa unsur dalam hukum tata negara padadua negaraa atau
lebih. Perbandingan hukum tata negara juga dapat diartikan sebagai ilmu yang
digunakan untuk membandingkan dua negara atau lebih yang tentunya
menggunakan metode perbandingan hukum tata negara untuk menganalisis
sistem ketatanegaraan secara sistematis di berbagai negara, menemukansistem
ketatanegaraan pada negara yang diteliti, menguji hasil penelitian serta
untukmeyempurnakan sistem ketatanegaraan pada negara yang diteliti.
Kedudukan ilmu perbandingan hukum tata negara adalah untuk memberi
gambaran di suatu negara atau lebih kemudian untuk meneliti lebih jauh asal
usul dan pengembangan ilmu hukum dan tentunyahukum umum serta sebagai
pedoman untuk mewujudkan negara diinginkan atau yang dicita-citakan (staats
idee). Perbandingan hukum tata negara dapat diperoleh dari menemukanbentuk
pemerintahan,bentuk negara, sistem pemerintahan, hubungan cabang kekuasaan,
hak asasi manusia bahkan dengan konstitusi di suatu negara atau lebih.
Pendekatan yang dilakukan dalam ilmu perbandingan hukum tata negara
adalah salah satunya dengan menggunakan pendekatan traditional-institutional
atau kelembagaan. Pendekatan traditional -institutional adalah pendekatan yang
menggunakan pandangan secara normatif dengan kajian struktur formal atau
kelembagaan negara. Selain pendekatan traditional-institutional atau
kelembagaan ada juga pendekatan behavior dan post behavior. Perbandingan
hukum tata negara dapat dilihat dari konstitusi dan fungsi kekuasaan

1
legislatifnya. Konstitusi bisa disebut sebagai aturan hukum yang sangat penting
dan menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara. Negara juga
mempunyai parlemen atau lembaga legislatif yang setiap negara juga berbeda-
beda dan pastinya akan mempunyai peran yang berbeda pula.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Bentuk Konstitusi dan Sumber Hukum, Bentuk Pemerintahan,
dan Sistem Hukum di Negara Indonesia dan Inggris?
2. Bagaimana Kedudukan Peundang-undangan, lembaga negara, dan hubungan
antar lembaga negara di Indonesia dan Inggris?
3. Bagaimana Pemilihan Umum di Indonesia dan Inggris?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Bentuk Konstitusi dan Sumber Hukum, Bentuk
Pemerintahan, dan Sistem Hukum di Negara Indonesia dan Inggris.
2. Untuk Mengetahui Kedudukan Peundang-undangan, lembaga negara, dan
hubungan antar lembaga negara di Indonesia dan Inggris.
3. Untuk mengetahui Pemilihan Umum di Indonesia dan Inggris.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. SISTEM HUKUM DI INDOESIA DAN INGGRIS

Indonesia sebagai negara yang menganut Sistem Hukum Eropa


Kontinental (civil law system), eksistensi peraturan perundang-undangan
sangatlah penting, karena bila dikaitkan dengan asas legalitas yang berarti setiap
tindakan pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Oleh para pakar hukum Indonesia disebut dengan nama sistem
hukum Pancasila, dimana dalam sistem hukum Pancasila ini merangkum dari
berbagai sistem-sistem hukum yang dianggap baik dan sesuai dengan bangsa
Indonesia yang umumnya terdiri dari sistem hukum eropa kontinental, anglo
saxon, hukum Islam dan hukum adat yang merupakan hukum tertua di
Indonesia. ada juga klasifikasi mixed system, di Indonesia salah satunya, di mana
berlaku sistem hukum perundang-undangan, hukum adat, dan hukum Islam.
Persoalan pluralitas masyarakat Indonesia harus menjadi pertimbangan khusus
dalam penegakan hukum.1
Sistem hukum Inggris adalah sistem hukum common law. Walaupun
kerajaan Romawi sempat menjajah Inggris selama empat tahun, tampaknya hal
ini sedikit pun tidak meninggalkan dampak yang signifikan terhadap sistem
hukum Inggris. Pada dasarnya, cummon law tercipta bukan dengan sarana
legislasi, melainkan dibuat oleh pengadilan-pengadilan yang menggunakan
keputusan-keputusan peradilan mereka sebagai preseden. Sehingga, sistem
hukum Inggris sangat dipengaruhi substansinya dari putusan-putusan pengadilan
yang dimana pada prinsipnya inilah yang menjadi sumber utama penegakan
hukum di sistem cummon law. Secara filosofis, hal ini bertujuan untuk
menyesuaikan penegakan hukum dengan nilai-nilai yang hidup dalam

1
Michael Bogdan. 2010. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Bandung : Penerbit Nusa Media

3
masyarakatnya.

B. Bentuk Konstitusi dan Sumber Hukum Negara Indonesia dan Inggris

Indonesia adalah salah satu negara hukum yang dicantumkan dalam


Pasal 1 Ayat (3) bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Setiap
negara hukum mempunyai sistem hukum yang mempunyai karakteristik yang
berbeda. Sistem hukum common law mempunyai karakteristik yang beroientasi
pada kasus, sedangkan sistem hukum civil law mengarah atau berorientasi pada
undang- undang. Namun, peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara
detail dalam pemenuhan aturan hukum di dalam peristiwa hukum, maka
dilengkapi dengan yurisprudensi. Negara yang menggunakan sistem hukum
common law diantaranya adalah negara Inggris, Australia dan Amerika Serikat ,
sedangkan negara dengan menggunakan sistem hukum civil law antara lain
Indonesia, Perancis, Cina, Jerman dan Jepang. Setiap negara pasti mempunyai
konstitusi baik konstutusi tertulis maupun konstitusi tidak tertulis. Konstitusi
berarti pembentukan sebagaimana dalam bahasa Perancis konstutusi berasal dari
kata kerja constituer yang mempunyai arti membentuk.

Indonesia sebagai negara hukum mempunyai sumber hukum formil dan


materiil, sumber hukum formil tersebut antara lain undang-undang, konvensi,
traktat atau perjanjian antar negara, keputusan-keputusan hakim atau
yurisprudensi dan doktrin, sedangkan dari sumber hukum materiil meliputi
pandangan hidup, hubungan sosial politik, dan lain sebagainya.

Indonesia mempunyai konstitusi tunggal dan tertulis (ducumentary


constitution) seperti negara Belanda, Jepang, Perancis, dan Amerika Serikat.
Konstitusi tertulis di Indonesia yaitu UUD 1945.2 Suatu produk hukum dalam
hal ini Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi negara harus benar-benar

2
Jimly Asshiddiqie. 2014. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika

4
diperhatikan dalam kehidupan bernegara khususnya Indonesia. Penyelenggraan
kehidupan bernegara dalam penyerahan kekuasaannya juga harus dilakukan
dengan kedaulatan rakyat dan berdasarkan pada konstitusi.

Konstitusi tertulis di Indonesia memungkinkan terjadi perubahan atau


amandemen konstitusi misalnya pada pasal- pasal yang bersifat rigid atau supel.
Indonesia sendiri telah mengalami amandemen konstitusi atau amandemen
undang-undang dasar, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945 asli,Undang-
Undang Dasar RIS/ Konstitusi RIS, Undang-Undang Dasar Sementara tahun
1950, kemudian yang diterapkan sampai sekarang adalah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 setelah amandemen.3 Amandemen
tersebut membuktikan bahwa Indonesia memang menggunakan konstitusi secara
tertulis atau bernaskah. Indonesia sendiri telah mengamandemen konstutusi
sebanyak 4 kali. Amandemen UUD 1945 ini telah memberikan banyak
kemajuan dan materi muatan yang terkandung didalamnya sudah memuat
kebutuhan masyarakat serta sudah mengikuti perkembangan zaman. Adanya
konstitusi tersebut jika dilihat dari legalitasnya maka konstitusi akan lebih
terjamindari pada konstitusi yang tidak tertulis.

Inggris (Britania Raya) adalah negara super power dan memegang penuh
persemakmuran. Inggris adalah negara dengan bentuk pemerintahan monarki
konstutusional dan mempunyai konstitusi. Bentuk konstitusi di negara
Inggris adalah konstitus tidak tertulis. Konstitusi di Inggris tidak tertulis disini
berarti konstitusi tidak dalam wujud tunggal dan tertulis seperti halnya
Indonesia. Konstitusi yang berlaku di Inggris adalah peraturan yang tersebar di
dokumen negara yang memang tidak di kodifikasi atau terpisah-pisah. Meskipun
konstitusi di negara inggris tidak dalam satu dokumen tungal, tetapi peraturan-
peraturan yang ada di dalam konstitusi telah mengatur banyak hal seperti halnya

3
Dickey, A.V. 2015. Pengantar Studi Hukum Konstitusi. Bandung : Penerbit Nusamedia

5
konstitusi tertulisdi negara lian.

C. BENTUK PEMERINTAHAN INDONESIA DAN INGGRIS

Ada banyak bentuk-bentuk pemerintahan di dunia, semua itu


dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor fundamental suatu negara. Bentuk
pemerintahan Indonesia adalah Republik. Dalam negara yang berbentuk republik
ini, kedaulatan rakyat memiliki kedudukan yang sangat sentral, pada umumnya
dicirikan dengan adanya prinsip-prinsip demokrasi dan terlaksananya Pemilu.
Indonesia jelas berbentuk negara republik, yang dimana juga telah ditegaskan
dalam konstitusi mengenai kedudukannya. Dorongan dari reformasi semakin
memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara yang berbentuk republik.
Sehingga dalam ketatanegaraan Indonesia, demokrasi sangat diagung-agungkan.
Kalimat terkenal mantan presiden Amerika Serikat dari Abraham Lincoln
mengenai defenisi demokrasi yang berbunyi “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat” adalah kalimat yang akan sering digaungkan di Indonesia.4
Bentuk pemerintahan Inggris adalah monarki konstitusional. Pada
awalnya, sama seperti perkembangan sejarah monarki, Inggris juga menganut
monarki absolut. Dalam hal ini, negara hanya dipegang oleh satu orang saja, dan
pemerintahannya itu ditujukan untuk kepentingan umum. Namun seiring
perkembangannya, monarki absolut yang dahulu pernah berlaku di negara
(kerajaan) Inggris beralih menjadi monarki konstitusional. Adapun yang
dimaksud dengan monarki konstitusional adalah bentuk negara monarki yang
dibatasi oleh konstitusi (hukum).5 Sehingga kekuasaan raja telah dibatasi, dalam
sejarahnya, kekuasaan yang pertama kali dicabut dari raja adalah kekuasaan
yudikatif. Kekuasaan yudikatif inilah yang pada umumnya sering

4
Nabella Puspa. 2015. Hukum Tata Negara. Yogyakarta : Genta Publishing

5
Huda, Ni’Matul. 2015. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

6
disalahgunakan oleh raja/ratu sehingga menimbulkan absolutisme. Pemikir
Inggris yang berpengaruh dalam hal menggagas pembatasan kekuasaan raja/ratu
adalah Jhon Locke, yang juga merupakan tokoh paling berpengaruh dalam
menggagas lahirnya konsep trias politica yang akan dikembangkan oleh
Montesquieu nantinya.

D. Kedudukan perundang undangan di Inggris dan indonesia


Di Britania Raya, Undang-Undang Parlemen adalah undang-undang
primer dan sekunder yang disahkan oleh Parlemen Britania Raya. Undang-
Undang Parlemen di Britania Raya, sebagai hasil dari Revolusi Agung dan
penegasan kedaulatan parlemen, merupakan hukum tertinggi yang tidak dapat
dibatalkan oleh lembaga mana pun selain Parlemen.
Sebagai hasil dari devolusi (pendelegasian wewenang), Majelis Nasional
untuk Wales, Majelis Irlandia Utara, dan Parlemen Skotlandia dapat membuat
undang-undang primer untuk lembaga-lembaga yang didelegasikan masing-
masing. Badan legislatif yang didelegasikan ini dapat membuat undang-undang
terkait semuanya kecuali reserved and excepted matters. Namun, Undang-Undang
Parlemen di Britania Raya tetap yang tertinggi dan dapat mengesampingkan
badan legislatif yang didelegasikan. Dengan konvensi, Parlemen Inggris tidak
melakukan hal ini tanpa mosi persetujuan legislatif.6
Indonesia yang sejak awal dibentuk merupakan negara hukum yang
dipengaruhi oleh sistem hukum civil law yang menjadikan perundangan-
undangan sebagai hukum tertinggi di Indonesia ini. Peraturan perundang-
undangan di Indonesia juga mengenal hierarki. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU
12/2011 menerangkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia terdiri atas:
 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

6
Wikipedia ( https://id.m.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Parlemen_di_Britania_Raya ) diakses
pada 13 Juni 2023, Pukul 19:48

7
 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
 Peraturan Pemerintah;
 Peraturan Presiden;
 Peraturan Daerah Provinsi; dan
 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa hierarki peraturan


perundang-undangan di Indonesia yang paling tinggi adalah UUD 1945.
Kemudian, penting untuk diketahui bahwa kekuatan hukum peraturan perundang-
undangan yang disebutkan berlaku sesuai dengan hierarkinya dan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jenis dan hierarki peraturan perundang undangan selain yang dimaksud di
atas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:
 Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”);
 Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”);
 Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”);
 Mahkamah Agung;
 Mahkamah Konstitusi (“MK”);
 Badan Pemeriksa Keuangan;
 Komisi Yudisial;
 Bank Indonesia;
 Menteri;
 Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang (“UU”) atau pemerintah atas perintah UU;
 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi dan DPRD
kabupaten/kota; dan

8
 Gubernur, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.7

E. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara di Inggris dan


Indonesia
1. Inggris
Inggris sudah menggunakan sistem pemerintahan monarki pada abad
ke-9 berubah menjadi monarki konstitusional pada abad ke-17
(Bimbie.com, 2018). Sistem pemerintahan di Inggris didasarkan pada
konstitusi tidak tertulis. Inggris adalah salah satu dari negara-negara di dunia
yang tidak memiliki konstitusi tunggal dan tertulis. Sebaliknya, di Inggris
yang berlaku adalah konvensi-konvensi, hokum yang berlaku umum,
kebiasaan-kebiasaan tradisional dan bagian- bagian yang terpisah dari hukum
tata negara. konstitusi kerajaan Inggris memang tidak memiliki bentuk yang
terkodifikasi, namun aturan-aturan hukum yang memuat berbagai hal tertentu
dan saling terpisah banyak ditemukan dengan istilah “constitution”.
Monarki konstitusional adalah Raja atau Ratu yang hanya
diposisikan sebagai simbol kedaulatan negara sehingga tidak mempunyai
kekuasaan politik. Sedangkan roda pemerintahan dilaksanakan oleh ada
lembaga eksekutif yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilu. Namun, antara Raja atau Ratu dan
pemerintah tidak berada dalam posisi yang konfrontatif atau saling
bertentangan. Untuk sistem pemerintahan, Inggris menganut sistem
perlementer (Susilo, 2018).
Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana

7
Nisrina Irbah Sati. Ketetapan MPR dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia,
Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 4, 2019.

9
parlemen memiliki peranan yang sangat besar di dalam pemerintahan.
Parlemen yang duduk di pemerintahan berhak atau memiliki wewenang
untuk mengangkat perdana menteri, dan juga dapat menjatuhkan
permerintahan yang sedang memimpin negara melalui beberapa macam cara
seperti salah satunya mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap
pemerintahan yang sedang berkuasa. Kekuasaan pemerintah terdapat pada
perdana menteri dan menteri atau bisa juga disebut dengan kabinet
(Ibrahim, 2018).
Kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan Inggris berada di
tangan parlemen yang biasa disebut dengan House of Commons dan House
Of Lords. House of Commons (majelis rendah) dapat meminta Perdana
Menteri untuk mengundurkan diri atau mengadakan pemilihan umum yang
dilakukan oleh majelis Rendah dengan mengeluarkan mosi tidak percaya atau
dengan menarik dukungan terhadap Perdana Menteri. House of Lords adalah
adalah majelis tinggi dalam Parlemen Kerajaan Inggris. House of Lords tidak
mengendalikan masa jabatan Perdana Menteri atau memegang kendali
pemerintahan.
Dalam skema pemerintahan di Inggris, Ratu memiliki hubungan
khusus dengan Perdana Menteri meskipun dalam secara konstitusional Ratu
tidak mempunyai kewenangan mencampuri urusan pemerintahan dan harus
bersikap netral. Tetapi Ratu boleh untuk memberikan pendapat kepada
Perdana Menteri tentang jalannya pemerintahan. Ada waktu khusus yang
disiapkan secara berkala untuk audiensi antara Ratu dengan Perdana
Menteri.
Sistem parlemen dua kamar (bicameral) Inggris inilah yang menjadi
cikal bakal dari sistem parlemen bicameral di negara-negara lainnya seperti
Indonesia dan Amerika Serikat. Model parlemen seperti ini dianggap
sebagai bagian dari demokrasi yang tidak bisa dipisahkan.
Negara Inggris dikenal dengan sebutan The Mother of Parliaments

10
atau pelopor sistem parlementer. Inggris berhasil mempraktekkan sistem
parlemen ini dengan baik dan diikuti oleh negara yang lainnya. Inggris
dapat mengatasi masalah sosial yang membuat kesejahteraan di
negaranya meningkat melalui pemilihan demokratis dan prosedur
parlementaria.
Inggris dikenal dengan sistem dwi partainya dengan pemerintahan
mayoritas satu partai yang kuat dan kerap mengalami pertukaran kekuasaan
antara kubu Konservatif dan Buruh. Arus suara pemilih berpindah-pindah dari
konservatif ke Buruh berulang-ulang sebanyak enam kali dari tahun 1945
hingga 1987. Partai yang menang dalam pemilu adalah partai yang berkuasa
pada periode tersebut dengan tugasnya menyusun pemerintahan.
Namun juga terdapat partai-partai kecil yang bertindak sebagai Partai
Oposisi dimana partai ini adalah partai yang kalah dalam pemilu yang
bertugas mengawasi pemerintahan sehingga partai yang berkuasa pada saat
itu bersikap hati-hati dalam bertindak. Secara teoritis, partai-partai oposisi
tidak terlibat dalam penyusunan kebijakan. Tindakan-tindakan yang dilakukan
partai oposisi lebih kepada upaya untuk mempersiapkan kemenangan pada
pemilu selanjutnya.8

2. Indonesia
Hubungan antar lembaga negara yang telah dibatasi pada hubungan
antara Presiden dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah
Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) menjadi fokus pada pembahasan kajian ini, yang diawali dengan
merujuk pada UUD 1945 amandemen keempat.
Dalam hubungan mekanisme antara Presiden dengan MPR, terjadi
pada saat proses pelantikan yang mengacu pada Pasal 3 ayat 2 UUD 1945,

8
UMY Repository ( repository.umy.ac.id>f. BAB II.pdf )

11
yang merupakan suatu kegiatan yang sifatnya sebagai proses peresmian
(ceremonial) atau formalitas. Karena jika diperhatikan, sebelum dilakukannya
proses atau mekanisme pelantikan tersebut, MPR selalu dihadapkan dalam
suatu kondisi yang harus menghasilkan suatu keputusan dengan tidak
menutup kemungkinan adanya keterlibatan dari lembaga negara lain. Dalam
konteks tersebut hubungan yang terjadi bersifat mutual adjustment, karena
proses peresmian yang dilaksanakan dapat terjadi dalam empat kondisi
dengan mekanisme atau tata cara atau aturan yang telah ditentukan dengan
cukup jelas.
Dalam kondisi mekanisme hubungan antara Presiden dengan DPR
terkait dengan adanya pembahasan suatu undang‐undang, jika dicermati
sebenarnya dapat terjadi dalam 2 kondisi, yaitu pembahasan suatu RUU
inisiatif dari DPR, dan pembahasan RUU inisiatif Presiden (Pemerintah).
Namun analisis telah arahkan untuk memadukan mekanisme pembahasan agar
menghasilkan suatu pemahaman yang sama yaitu dengan memberikan
mekanisme yang lebih transparan dalam pembentukan suatu undang‐undang,
yang dimulai sejak penyusunan sampai dengan pemberian persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan atas sebuah undangundang (mutual
adjustment). Mekanisme yang transparan yang dimaksud adalah pengaturan
kewajiban untuk menyatakan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
secara terbuka di dalam sidang majelis yang telah ditentukan. Dimana dengan
pelaksanaan mekanisme ini, diharapkan tindakan seorang Presiden dan para
anggota DPR atas pembentukan suatu undang‐undang dapat melewati
pertanggungjawaban publik, sehingga secara moral maupun politis tindakan
tersebut dapat dinilai oleh masyarakat dan institusi‐institusi di dalam
masyarakat dan di luar pemerintah, yang juga menjalankan fungsi kontrol
terhadap jalannya pemerintahan, sehingga jangan sampai adanya pembatalan
akan undang‐undang yang telah disahkan oleh Presiden, atau menjadi

12
mudahnya muncul suatu Perpu.
Selanjutnya dalam hubungan mekanisme yang terjadi antara Presiden
dengan DPD adalah pada saat DPD dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undangundang tertentu, dimana jika dicermati dalam mekanisme
yang ada terdapat ketidakjelasan akan batasan waktu dalam proses yang ada,
sehingga mekanisme bagaimana DPD perlu diberitahu atau tidaknya akan
hasil tindak lanjut tersebut pun oleh DPR, tidak ada kejelasan yang tegas.
Artinya, pengawasan yang telah dilakukan oleh DPD, hanyalah sebatas
pengawasan secara formil, sedangkan tindaklanjut dan batasan waktu akan
hasil suatu koreksian atau temuan, belum ada pula mekanisme pengaturannya.
Untuk itu, penyempurnaan akan mekanisme yang ada sebaiknya perlu
ditambahkan akan hal ini.
Kemudian dalam proses pemberhentian terhadap Presiden dan/atau
Wakil Presiden, yang dapat dilakukan dengan proses dan keputusan politik
melalui impeachment maka dalam analisis mencoba untuk menghidupkan
suatu mekanisme baru yaitu melalui forum previlegiatum dimana hubungan
mekanisme ini terjadi antara Presiden dengan Mahkamah Agung dengan
adanya dasar dugaaan yang diusulkan oleh DPR. Melalui forum
privilegiatum diharapkan akan lebih efektif dalam memproses usul dugaan
tersebut, karena jika termasuk dalam kategori tindak pidana, maka hal tersebut
termasuk dalam permasalahan hukum yaitu masalah kriminal sehingga tidak
dapat dipolitisir dan itu termasuk ke dalam ranah Mahkamah Agung. Namun,
jika tidak termasuk tindak pidana, maka lembaga negara yang dilibatkan
adalah Mahkamah Konstitusi, dan proses impeachment dapat dilakukan
(seperti di dalam UUD 1945). Maksud dalam mekanisme ini adalah agar
dugaan yang muncul tidak hanya difokuskan pada Mahkamah Konstitusi saja
dalam proses pembuktiannya, seperti yang tercantum dalam Pasal 7B ayat 1
UUD 1945.
Hubungan mekanisme yang terjadi angtara Presiden dengan

13
Mahkamah Agung, terjadi pada saat Presiden dalam memberikan grasi dan
rehabilitasi dengan memperhatikan adanya pertimbangan dari Mahkamah
Agung. Mekanisme pemberian grasi sebenarnya, telah secara jelas diatur
dalam UU No. 22 Tahun 2002 tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa
pengaturan akan kekuasaan Presiden dalam hal ini telah cukup baik karena
instansi yang dilibatkan tidak hanya Mahkamah Agung saja melainkan juga
melibatkan beberapa instansi teknis terkait yang berkaitan dengan sistem
peradilan pidana. Namun, satu hal penting yang menjadi catatan bahwa
mekanisme rehabilitasi tampaknya masih belum dapat dicerminkan ke dalam
suatu undang‐undang, artinya mekanisme pelaksanaan rehabilitasi masih
menjadi bagian dari undang‐undang grasi tersebut.
Sedangkan mekanisme hubungan yang terjadi antara Presiden dengan
BPK yaitu pada saat BPK berperan sebagai lembaga pemeriksa keuangan.
Namun, hasil yang disampaikan tampak belum terlihat adanya mekanisme
tindak lanjut yang jelas, tetapi hal ini jelas bukan salah akan kinerja dari BPK
melainkan oleh para aparat yang telah diberikan tembusan. Dalam proses
tindaklanjut hasil temuan BPK, hendaknya BPK perlu melakukan pemilahan
terlebih dahulu sebelum melaporkan akan adanya suatu temuan. Pemilahan
dapat dilakukan dengan membagi menjadi dua bagian yaitu yang bersifat
administrasi dan pidana. Jika temuan bersifat admnistrasitif, maka perlu
diserahkan kepada instansi pengguna anggaran negara atau anggaran daerah
itu sendiri, untuk diperbaiki secara administrasi. Sedangkan temuan yang
sifatnya pidana, BPK dapat membuat laporan kepada pihak pengadilan,
sehingga tidak berhenti hanya di DPR atau di DPRD saja. Untuk itu, dalam
pandangan lain, ada baiknya antara BPK dengan KPK dapat saling
berkoordinasi.
Hal diatas merupakan contoh kecil analisis dalam kajian ini, karena
kajian ini juga membahas akan hubungan antar lembaga‐lembaga negara

14
lainnya, walaupun pembahasan tidak terlalu detail. Adapun analisis
pembahasan tersebut yaitu mekanisme hubungan antara Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah, Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan
Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat dengan
Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat dengan Badan Pemeriksa
Keuangan, dan antara Mahkamah Agung dengan Badan Pemeriksa Keuangan
.9

F. Pemilihan Umum di Indonesia dan Inggris


Pada hakikatnya sistem pemilihan umum dibangun agar terwujudnya
penyelenggaraan pemilihan umum yang mampu dipertanggungjawabkan, baik
secara proses maupun hasilnya. Sistem pemilu yang dilaksanakan harus mampu
mengimplementasikan seluruh keinginan masyarakat pemilih sehingga angka
partisipasi masyarakat dapat meningkat. Salah satu indikator keberhasilan sebuah
penyelnggaraan pemilihan umum dapat dilihat dari seberapa besar tingkat
partisipasi masyarakat yang menggunakan hak pilihnya. Artinya jika masyarakat
antusias mengikuti kegiatan pemilihan umum, demokrasi dapat dipandang
mampu melibatkan aspirasi masyarakat melalui proses pemilihan yang
demokratis.10
Partisipasi masyarakat dalam konteks demokrasi erat kaitannya dengan
masalah keputusan politik pemerintah. Keputusan politik yang dibuat dan
dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga
masyarakat, sehingga warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi

9
Jurnal Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan : institusional publisher, Ringkasan Eksekutif
10
Agus Dedi, “Analisis Sistem Pemilihan Umum Serentak”, Jurnal MODERAT, Volume 5, Nomor 3,
Agustus 2019, halaman. 221.

15
keputusan politik. Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan partisipasi politik
menurut Surbakti yaitu keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan
segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.
Pemilihan umum merupakan salah satu sarana untuk menegakkan tatanan
demokrasi atau kedaulatan rakyat yang memiliki fungsi sebagai alat menyehatkan
menyempurnakan demokrasi bukan sebagai tujuan demokrasi. Adapun pengertian
lain yang dikemukakan oleh Parulian Donald dalam bukunya Khairuddin dan M.
Iwan Stariawan yang menyebutkan bahwa pemilihan umum bukanlah segala-
galanya yang menyangkut demokrasi. Pemilihan umum hanyalah merupakan
sarana pelaksanaan asas demokrasi dan sendi-sendi demokrasi. namun, sekalipun
demikian pemilihan umum memiliki arti yang sangat penting dalam proses
dinamika negara.11
Sistem pemilihan umum antara Indonesia dan Inggris yaitu dimana
Indonesia menganut sistem Proporsional (Proporsional system) yang merupakan
mempertimbangkan proporsi jumlah kursi dengan jumlah penduduk/pemilih di
sebuah daerah pemilihan. Dalam sistem ini, daerah pemilihan yang memiliki
jumlah penduduk yang besar akan mendapatkan jumlah kursi yang lebih besar
pula dalam sebuah lembaga perwakilan. Selain itu, dipertimbangkan juga proporsi
perolehan suara partai politik untuk dikonversi menjadi kursi yang diperoleh oleh
partai politik. Dengan demikian, partai politik dapat mencalonkan lebih dari satu
kandidat dalam daerah pemilihan, juga terbuka peluang bagi partai-partai kecil
untuk mendulang kursi dalam daerah pemilihan tersebut.12
Sedangkan Inggris menganut sistem Distrik (Plurality and majority
system). Sistem distrik disebut Plurality and Majority System atau Single
Member Constituency. Sistem pemilu distrik adalah sistem pemilu berdasarkan

11
Khairuddin dan M. Iwan Stariawan. 2018. Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Depok: Rajawali Pers, halaman 73.
12
KPU Blitar, “Memahami Sistem Pemilu Distrik, Proporsional, dan Campuran”, melalui
http://kpu.blitarkota.go.id/detailpost/memahami-sistem-pemilu-distrik-proporsional-dancampuran-
sebuah-pengantar, diakses pada tanggal 14 Juni 2023. Pukul 11.39.

16
lokasi daerah pemilihan bukan berdasarkan jumlah penduduk. Dalam sistem ini
wilayah negara dibagi ke dalam beberapa distrik pemilihan yang biasanya
berdasarkan pada jumlah penduduk. Kandidat yang mendapatkan suara terbanyak
akan mengambil seluruh suara yang diperolehnya tanpa memperhitungkan selisih
perolehan suara. Menurut Encyclopaedia Britannica, sistem pluralitas adalah cara
paling sederhana untuk menentukan hasil Pemilu. Untuk menang, seorang
kandidat hanya perlu mendapatkan lebih banyak suara daripada lawannya.
Semakin banyak kandidat yang bersaing memperebutkan kursi, besar
kemungkinan kandidat yang menang hanya akan menerima sedikit suara.13

13
Arum Sutrisni Putri, "Perbedaan Sistem Pemilu Distrik dan Proporsional", melalui
https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/20/090000069/perbedaan-sistem-pemilu-distrik-
danproporsional?page=all , diakses pada 14 Juni 2023. Pukul 11.39.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan dalam beberapa poin yaitu:
1. Sistem hukum indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental (Civil
Law System), sedangkan Inggris menganut sistem hukum Common Law.
2. Bentuk konstitusi Indonesia yaitu bernaskah. Sedangkan Inggris yaitu tidak
bernaskah.
3. Bentuk pemerintahan Indonesia yaitu Republik, sedangkan Inggris yaitu
Monarki Konstitusional.
4. Bentuk negara Indonesia dan Inggris yaitu sama-sama berbentuk negara
kesatuan.
5. sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem pemerintahan presidensil,
sedangkan sistem pemerintahan Inggris adalah parlementer.
6. struktur legislatif Indonesia maupun Inggris sama-sama sistem dua kamar
(bikameral). Indonesia terdiri dari DPR dan DPD, sedangkan Inggris terdiri
dari The Lords of Cummons dan The House of Lords.
7. Sistem pemilihan umum antara Indonesia dan Inggris yaitu dimana Indonesia
menganut sistem Proporsional (Proporsional system). Sedangkan Inggris
menganut sistem Distrik (Plurality and majority system).

B. Saran
Demikian makalah ini disusun dan penyusun sadar bahwasanya masih
banyak kekurangan baik dalam penyusunan maupun penyampaian. Maka dari itu,
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki
penyusunan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, aamiin.

18
DAFTAR PUSTAKA

Michael Bogdan. 2010. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Bandung : Penerbit


Nusa Media

Jimly Asshiddiqie. 2014. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta :


Sinar Grafika
Dickey, A.V. 2015. Pengantar Studi Hukum Konstitusi. Bandung : Penerbit
Nusamedia

Nabella Puspa. 2015. Hukum Tata Negara. Yogyakarta : Genta Publishing

Huda, Ni’Matul. 2015. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo


Persada
Nisrina Irbah Sati. Ketetapan MPR dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan di Indonesia, Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 4, 2019.
UMY Repository ( repository.umy.ac.id>f. BAB II.pdf )
Jurnal Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan : institusional publisher,
Ringkasan Eksekutif
Agus Dedi, “Analisis Sistem Pemilihan Umum Serentak”, Jurnal MODERAT,
Volume 5, Nomor 3, Agustus 2019, halaman. 221.
Khairuddin dan M. Iwan Stariawan. 2018. Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Depok: Rajawali Pers,
halaman 73.
KPU Blitar, “Memahami Sistem Pemilu Distrik, Proporsional, dan Campuran”,
melalui http://kpu.blitarkota.go.id/detailpost/memahami-sistem-pemilu-
distrik-proporsional-dancampuran-sebuah-pengantar, diakses pada tanggal
14 Juni 2023. Pukul 11.39.
Arum Sutrisni Putri, "Perbedaan Sistem Pemilu Distrik dan Proporsional", melalui
https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/20/090000069/perbedaan-
sistem-pemilu-distrik-danproporsional?page=all , diakses pada 14 Juni 2023.

19
Pukul 11.39.
Wikipedia ( https://id.m.wikipedia.org/wiki/Undang-
Undang_Parlemen_di_Britania_Raya ) diakses pada 13 Juni 2023, Pukul
19:48

20

Anda mungkin juga menyukai